• Tidak ada hasil yang ditemukan

INKULTURASI SEBAGAI JALAN BAGI UMAT PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR DALAM MEMAHAMI MAKNA PERAYAAN EKARISTI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Progam Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "INKULTURASI SEBAGAI JALAN BAGI UMAT PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR DALAM MEMAHAMI MAKNA PERAYAAN EKARISTI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Progam Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Progam Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

DANIAL DODI NIM : 051124023

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

dan kakakku Kristianus Purnomo,

yang selalu memberikan doa dan dukungannya kepada penulis,

Christina Desy Priandari yang selalu bersedia membantu penulis dan

memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini,

sahabat-sahabatku di IPPAK angkatan 2005,

(5)

v

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam

perkara-perkara besar”

(6)
(7)
(8)

viii

penulis terhadap kebudayaan Sunda, khususnya yang diinkulturasikan dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur. Namun dalam ketertarikan itu mulai muncul keprihatinan, antara lain kurangnya minat kaum muda untuk mendalami inkulturasi maupun kebudayaan tradisional. Selain itu, pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi sepertinya masih kurang karena Perayaan Ekaristi masih dianggap sebagai suatu kewajiban atau rutinitas belaka. Inkulturasi, yang pada awalnya ditujukan untuk membantu umat Paroki Kristus Raja Cigugur dalam memahami makna Perayaan Ekaristi, menjadi kurang bisa dipahami bahkan mengaburkan pemahaman akan keseluruhan Perayaan Ekaristi.

Istilah inkulturasi sendiri sebenarnya merupakan proses humanisasi diri dengan kebudayaan setempat. Bagi orang Sunda di Cigugur, proses humanisasi itu adalah menjadi orang Sunda seutuhnya. Sedangkan dalam Perayaan Ekaristi proses tersebut lebih mendalam, yaitu menjadikan Perayaan Ekaristi sebagai bagian dari umat dan mengakar dalam diri umat sehingga umat memiliki kerinduan untuk ikut ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah, yang terungkap secara nyata dalam Perayaan Ekaristi. Bahkan diharapkan bahwa Perayaan Ekaristi mampu menyentuh inti hidup umat yang paling dalam.

(9)
(10)

x

Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji, karena atas kasih dan penyertaanNya penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul INKULTURASI

SEBAGAI JALAN BAGI UMAT PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR

DALAM MEMAHAMI MAKNA PERAYAAN EKARISTI ini merupakan salah

satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Ilmu Pendidikan

Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta. Penulis memilih judul skripsi tersebut dengan harapan dapat

memberi sumbangan pemikiran untuk umat, khususnya kaum muda di Paroki

Kristus Raja Cigugur dalam memahami dan menghayati makna Perayaan Ekaristi.

Selain itu, penulis menganggap perlu untuk mengangkat suatu tema tentang

kebudayaan dan Perayaan Ekaristi karena dianggap sejalan dengan perkembangan

dan kebutuhan umat dewasa ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa adanya

pendampingan, bimbingan, bantuan dan arahan dari segenap pihak. Oleh karena

itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih

kepada:

1. Rm. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, SJ, M.Ed., selaku dosen

pembimbing utama yang telah memberikan perhatian, waktu dan

sumbangan pemikiran dengan penuh kesabaran dan perhatian. Terima

kasih untuk masukan dan kritiknya sehingga penulis merasa dikuatkan dari

(11)

xi

3. Bapak Yosep Kristianto, SFK, selaku dosen penguji ketiga yang juga

selalu memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis untuk segera

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik dan memberi

dukungan kepada penulis selama belajar hingga penulisan skripsi ini.

5. Segenap Staf Sekretariat, Perpustakaan dan seluruh karyawan IPPAK yang

telah memberikan dukungan, tegur sapa dan perhatiannya.

6. Rm. Martasudjita, Pr, yang ikut memberikan masukan yang

sungguh-sungguh berguna bagi penulis.

7. Rm. Y. Abukasman, OSC, selaku Pastor Paroki Kristus Raja Cigugur,

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan

penelitian.

8. Rm. Antoon Rutten, OSC, yang juga selalu memberikan perhatian kepada

penulis dan membukakan pintunya lebar-lebar, sehingga mempermudah

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas buku-buku

tentang sejarah Paroki Cigugur yang telah dipinjamkan kepada penulis.

9. Bapak, Mamah, Aa, dan seluruh keluargaku tercinta. Terima kasih atas

cinta, doa, dan dukungan yang boleh penulis terima.

10.Keluarga di Ambarawa, yang memberikan masukan dan dukungan bagi

(12)

xii

12.Sahabat-sahabatku angkatan 2005/2006 di IPPAK; Christina Desy

Priandari, Agustina Eri Susanti, Lisnawati Br. Pinem, Henrika Jamlean,

Almatia Nuri, Magdalena Mada Hede, Lusia Windu Andari, Haryanto,

Yohanes Pratamto Henri dll, yang telah banyak membantu dan

memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13.Sahabat-sahabatku di Cigugur; Fransiskus Yanuar Triwacana, Antonius

Satia, dll, yang juga ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini.

14.Segenap responden yang telah memberikan waktunya untuk diwawancarai,

sehingga penulis memperoleh data yang cukup lengkap dan representatif.

15.Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih

atas doa dan dukungannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa karya yang tidak sempurna ini masih

menyisakan kekurangan di sana-sini. Oleh sebab itu, kiranya tiada gading yang

tak retak karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Dengan rendah hati, penulis

mengharapkan masukan berupa kritik atau saran yang membangun. Semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Yogyakarta, 15 September 2009

Penulis

(13)

xiii

PENGESAHAN ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

A. Latar Belakang Penulisan... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan... 5

D. Manfaat Penulisan... 6

E. Metode Penulisan ... 6

F. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II. INKULTURASI DALAM PERAYAAN EKARISTI ... 9

A. Inkulturasi ... 9

1. Pengertian dan Hakikat Inkulturasi ... 9

2. Dasar Inkulturasi ... 17

3. Tujuan Inkulturasi ... 18

B. Perayaan Ekaristi ... 21

1. Makna Perayaan Ekaristi ... 21

2. Tata Perayaan Ekaristi... 24

C. Tahap-tahap Inkulturasi Liturgi dalam Perayaan Ekaristi ... 28

BAB III.INKULTURASI KEBUDAYAAN SUNDA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR ... 35

A. Gambaran Umum Paroki Kristus Raja Cigugur ... 36

(14)

xiv

B. Penelitian tentang Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki

Kristus Raja Cigugur... 47

e. Instrumen Pengumpulan Data ... 52

f. Metode Pembahasan Data Penelitian ... 54

3. Laporan dan Pembahasan hasil Penelitian ... 54

a. Responden ... 54

b. Pemahaman Umat akan Makna Perayaan Ekaristi... 55

c. Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi... 69

4. Kesimpulan Hasil Penelitian ... 76

BAB IV. KATEKESE INKULTURATIF DALAM RANGKA MENINGKATKAN PEMAHAMAN UMAT AKAN MAKNA PERAYAAN EKARISTI ... 78

A. Katekese Inkulturatif... 78

1. Hakikat dan Tujuan Katekese ... 78

2. Mengusahakan Katekese Inkulturatif... 82

B. Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Salah Satu Model Katekese Inkulturatif... 87

1. Komponen-komponen Pokok SCP ... 88

a. Shared ... 88

b. Christian ... 89

c. Praxis ... 90

2. Langkah-langkah SCP... 91

a. Langkah I: Pengungkapan praksis faktual ... 91

b. Langkah II: Refleksi kritis pengalaman faktual ... 92

(15)

xv

Kerajaan Allah di dunia ... 96

C. Usulan Program Katekese ... 97

1. Latar Belakang Penyusunan Program Katekese ... 97

2. Alasan Pemilihan Tema ... 98

3. Penjabaran Program Katekese... 99

4. Contoh Usulan Katekese ... 102

BAB V. PENUTUP... 116

A. Kesimpulan ... 116

B. Saran... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120

LAMPIRAN... 122

Lampiran 1: Daftar Pertanyaan Panduan Wawancara ... (1)

Lampiran 2: Deskripsi Hasil Penelitian ... (2)

Lampiran 3: Peta Keuskupan Bandung ... (18)

(16)

xvi

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan

kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama

Republik Indonesia dalam rangka PELITA III). Ende: Arnoldus, 1981, hal 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CT: Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II

kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese

masa kini, 16 Oktober 1979.

SC: Sacrosanctum Concilium, Konstitusi tentang Liturgi Suci, 4 Desember

1965.

C. Singkatan Lain

ADS: Agama Djawa Sunda

Art: Artikel

bdk: bandingkan

dkk: dan kawan-kawan

dll: dan lain-lain

GKP: Gereja Kristen Pasundan

KWI: Konfrensi Waligereja Indonesia

(17)

xvii

P dan K: Pendidikan dan Kebudayaan

PACKU: Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang

PAKEM: Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat

PKKI: Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia

PUMR: Pedoman Umum Misale Romawi

PWI: Panitia Waligereja Indonesia

SCP: Shared Christian Praxis

(18)

A. Latar Belakang Penulisan

Perkembangan globalisasi dewasa ini ternyata membawa pengaruh

yang cukup besar bagi peradaban manusia pada umumnya. Dampak dari

perkembangan ini juga begitu terasa di Indonesia. Dalam hal kebudayaan, kita

tidak bisa menyangkal lagi bahwa sedikit banyak kita sudah terpengaruh oleh

kebudayaan barat. Bahkan kebudayaan asli yang telah lama tumbuh dan

berkembang di negeri ini semakin lama semakin menyusut. Kebudayaan asli

ini seringkali dipandang sebagai kebudayaan yang primitif atau tidak relevan

lagi dengan zaman yang sudah maju ini. Hal ini dapat dilihat dengan semakin

sedikitnya orang yang mau belajar atau mempertahankan kebudayaan

daerahnya. Untuk sekarang ini, sepertinya bukan hal yang aneh jika seseorang

tidak menguasai dan memahami bahasa daerahnya sendiri. Fenomena

semacam ini terjadi di berbagai pelosok di Indonesia yang terkenal dengan

kekayaan budayanya. Oleh karena itu, untuk beberapa tahun terakhir ini, di

beberapa daerah di Indonesia sedang digalakkan kembali studi mengenai

kebudayaan daerah. Dengan tujuan untuk menjaga kebudayaan asli Indonesia

dan agar kebudayaan yang telah ada tersebut tidak hilang begitu saja.

Begitu juga dengan Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan II yang

semakin membuka diri terhadap dunia, atau dengan kata lain memberikan

(19)

pendekatan lewat kebudayaan jemaat setempat dengan tujuan agar Gereja

Katolik semakin diterima oleh dunia. Dengan demikian kebudayaan menjadi

salah satu jalan bagi Gereja untuk menginkulturasikan tradisi dan

ajaran-ajarannya agar semakin diterima dan dipahami oleh umat. Sebagai contoh,

para misionaris yang dahulu datang di Indonesia untuk mewartakan Injil, pada

awalnya mereka mempelajari budaya umat Indonesia, termasuk di dalamnya,

bahasa, tradisi, ataupun unggah-ungguh. Lewat pendekatan tersebut, ternyata

membuat sebagian besar orang di Indonesia memahami dan tertarik pada

ajaran Kristiani, sehingga pada akhirnya memutuskan untuk menjadi Katolik.

Seiring berjalannya waktu, kebudayaan daerah semakin lama semakin

kurang dikenal orang dan dinilai kuno, sehingga inkulturasi kebudayaan dalam

Gereja pun semakin pudar dan makna inkulturasi itu pun semakin kabur. Yang

paling jelas dapat dilihat adalah dalam perayaan Ekaristi. Pada mulanya

inkulturasi kebudayaan dalam perayaan Ekaristi tersebut dimaksudkan agar

umat Kristiani lebih mampu menghayati Ekaristi lewat kebudayaannya

masing-masing. Namun, pada kenyataannya, tidak semua umat Kristiani di

Indonesia sekarang memahami kebudayaan daerahnya secara jelas. Dengan

kata lain, inkulturasi kebudayaan dalam perayaan Ekaristi seolah-olah tidak

begitu penting untuk tetap dipertahankan. Apalagi dalam masa Paus

Benediktus XVI sekarang ini penggunaan bahasa setempat untuk teks-teks

terjemahan harus benar-benar disesuaikan dengan bahasa aslinya. Sebagai

contoh, tidak semua gereja yang ada di Keuskupan Bandung menggunakan

(20)

masih tetap menggunakan bahasa Sunda dalam perayaan Ekaristi, dengan

alasan bahwa tidak semua umat Katolik di Keuskupan Bandung adalah orang

Sunda. Di luar itu, gereja-gereja di Keuskupan Bandung lebih dominan

menggunakan bahasa Indonesia dalam perayaannya. Lalu, bagaimana dengan

umat Katolik di Keuskupan Bandung yang berasal dari Sunda?

Jika kita berbicara mengenai orang Sunda Katolik di Keuskupan

Bandung, maka penulis akan mengawalinya dari Cigugur, tempat di mana

terdapat umat Katolik yang benar-benar berasal dari orang-orang Sunda dan

sekaligus merupakan jantung dari kebudayaan Sunda, di mana tradisi-tradisi

dan kebudayaan yang sudah ada masih dipelihara dan terus diperkembangkan.

Hal ini tidak dapat terlepas dari sejarah munculnya umat Katolik Cigugur ini.

Mereka merupakan peralihan dari penganut ADS (Agama Djawa Sunda),

sehingga sedikit banyak, umat Katolik Cigugur ini, yang hidup dalam

lingkungan kebudayaan Sunda Cigugur, telah dihidupi oleh adat-istiadat dan

kebudayaan tersebut. Nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan Sunda telah

tertanam dalam jiwa mereka. Dengan demikian, keseluruhan hidupnya tidak

bisa dipisahkan dari kebudayaan Sunda, termasuk cara menghayati iman

Kristiani mereka. Hal ini tentu saja membuka peluang yang lebar bagi Gereja

Katolik untuk masuk ke dalam jiwa umat Katolik Cigugur lewat kebudayaan

mereka. Atau dengan kata lain kebudayaan Sunda menjadi pintu gerbang bagi

Gereja Katolik untuk masuk dan memahami umat Katolik Cigugur. Begitu

juga sebaliknya, umat Katolik Cigugur akan mampu menerima dan memahami

(21)

Oleh karena itu, baik untuk disadari bahwa inkulturasi kebudayaan

daerah dalam gereja, khususnya dalam perayaan Ekaristi, sedikit banyak telah

berperan dalam memperkembangkan iman umat dan membantu umat dalam

menghayati perayaan Ekaristi. Lewat inkulturasi kebudayaan dalam perayaan

Ekaristi, sebagian besar umat telah terbantu untuk memahami makna Ekaristi

yang menjadi puncak dalam hidup Kristiani. Hal ini juga membuat sebagian

umat ingin mempertahankan nilai-nilai dari inkulturasi tersebut, walaupun

sebagian lainnya menganggap bahwa inkulturasi tidak begitu relevan lagi

dalam perayaan Ekaristi pada masa sekarang.

Berawal dari keprihatinan tersebut, penulis mencoba menggali lagi

nilai-nilai inkulturasi kebudayaan yang ada dalam perayaan Ekaristi. Karena

penulis menganggap bahwa inkulturasi merupakan bagian dari karya

pelayanan Gereja sekaligus menjadi bagian dari perkembangan Gereja Katolik

di Indonesia. Tanpa adanya inkulturasi dalam proses pewartaan ini, belum

tentu orang mampu memahami ajaran dan tradisi-tradisi Kristiani secara utuh

dan menyeluruh. Proses pewartaan pun tentu saja tidak akan menyentuh hati

jemaat sampai ke bagian yang paling dalam, apalagi sampai umat mampu

mencintai dan mengikuti Yesus Kristus dengan sepenuh hati, jiwa dan tenaga

mereka. Bagaimana umat mampu menghayati Injil secara benar jika umat

sendiri tidak mampu menerima ajaran-ajaran Kristiani yang diberikan?

Melalui inkulturasi, umat diperkenalkan dengan iman Kristiani sesuai dengan

tradisi ataupun nilai-nilai kebudayaan yang mereka miliki, sehingga iman

(22)

menjadi identitas bagi umat-umat Kristiani di manapun juga. Oleh sebab itu,

inkulturasi menjadi hal yang sangat penting bagi perkembangan Gereja

Katolik di Indonesia sampai saat ini, sehingga nilai-nilai yang ada di dalamnya

tentu saja harus tetap dijaga dan dipertahankan terus menerus karena masalah

inkulturasi merupakan masalah umat dalam usaha mengerti dan menjalani Injil

dalam setiap situasi hidupnya. Kiranya dengan adanya tulisan ini, umat akan

lebih mampu memahami Ekaristi lewat kebudayaan masing-masing, sehingga

secara langsung umat juga akan semakin memahami dan menghargai

kebudayaan daerah yang ada.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi?

2. Unsur-unsur kebudayaan Sunda macam apa saja yang dapat

diinkulturasikan dalam perayaan Ekaristi?

3. Bagaimana katekese inkulturatif digunakan sebagai jalan bagi umat

Kristiani di Paroki Kristus Raja Cigugur dalam menghayati makna

perayaan Ekaristi?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai lewat tulisan ini adalah :

1. Memaparkan gambaran mengenai inkulturasi dalam gereja Katolik,

(23)

2. Memaparkan unsur-unsur kebudayaan Sunda yang dapat diinkulturasikan

dalam perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur.

3. Memaparkan peranan katekese inkulturatif dalam membantu umat Paroki

Kristus Raja Cigugur menghayati makna perayaan Ekaristi.

4. Memenuhi syarat kelulusan program pendidikan Strata 1 (S1) di prodi Ilmu

Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata

Dharma, Yogyakarta.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan skripsi dengan judul ”Inkulturasi sebagai Jalan

bagi Umat Paroki Kristus Raja Cigugur dalam Memahami Makna Perayaan

Ekaristi” adalah :

1. Supaya penulis memiliki pengalaman, pengetahuan dan wawasan baru

baik dalam hal liturgi yang inkulturatif maupun dalam memahami

kebudayaan Sunda.

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi umat Katolik di Paroki Kristus

Raja Cigugur pada khususnya, dan umat Katolik lain pada umumnya,

dalam memahami makna Perayaan Ekaristi lewat kebudayaan mereka.

E. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan metode

deskriptif analisis yaitu memaparkan dan menganalisis permasalahan yang ada

(24)

menggunakan studi pustaka serta mencari sumber-sumber yang relevan dan

mendukung.

F. Sistematika Penulisan

Tulisan ini mengambil judul ”Inkulturasi sebagai Jalan bagi Umat

Paroki Kristus Raja Cigugur dalam Memahami Makna Perayaan Ekaristi” dan

dikembangkan ke dalam lima bab :

Bab I. Pendahuluan

Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan,

rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode

penulisan dan sistematika penulisan

Bab II. Inkulturasi Kebudayaan dalam Perayaan Ekaristi

Dalam bab kedua ini penulis menyajikan materi mengenai pengertian dan

hakikat inkulturasi, dasar inkulturasi, tujuan inkulturasi, makna Perayaan

Ekaristi, Tata Perayaan Ekaristi dan Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi yang

secara khusus membahas tentang tahap-tahap inkulturasi liturgi.

Bab III. Inkulturasi Kebudayaan Sunda dalam Perayaan Ekaristi di Paroki

Kristus Raja Cigugur

Dalam bab ini penulis menyajikan gambaran Paroki Kristus Raja Cigugur

secara umum dan penelitian mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di

Paroki Kristus Raja Cigugur.

Bab IV. Katekese Inkulturatif dalam Rangka Meningkatkan Pemahaman Umat

(25)

Dalam bab ini penulis menyajikan mengenai katekese inkulturatif, Shared

Christian Praxis (SCP) sebagai salah satu model katekese yang inkulturatif

dan usulan program katekese.

Bab V. Penutup

(26)

Dalam Bab II ini disajikan landasan-landasan teori yang mendukung dan

mendasari gagasan-gagasan penulis yang telah dituangkan dalam Bab I.

Kedudukan Bab II dalam keseluruhan skripsi ini adalah mengkaji teori-teori

mengenai Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Adapun Bab II ini disusun dari tiga

sub-bab yang berisi tentang Inkulturasi, Perayaan Ekaristi dan Inkulturasi dalam

Perayaan Ekaristi. Sub-bab Inkulturasi menyajikan pengertian dan hakikat

inkulturasi, dasar inkulturasi serta tujuan inkulturasi. Sedangkan dalam sub-bab

mengenai Perayaan Ekaristi akan disajikan perihal makna Perayaan Ekaristi dan

Tata Perayaan Ekaristi. Pada sub-bab ketiga mengenai Inkulturasi dalam Perayaan

Ekaristi, secara khusus akan dibahas mengenai tahap-tahap inkulturasi liturgi.

A. INKULTURASI

1. Pengertian dan Hakikat Inkulturasi

Inkulturasi berasal dari bahasa Latin, in dan cultur-cultura. Kata depan

in mengandung pengertian “(masuk) ke dalam”, sedangkan kata cultur atau

cultura berasal kata kerja colore yang berarti “mengolah tanah”. Pengertian

kultur adalah segala karya yang membantu kehidupan manusia. Sinonimnya

dengan kata lain ialah “kebudayaan”, dari “budi-daya” dan “peradaban” dari

(27)

Dengan demikian, istilah inkulturasi, secara umum, dipahami sebagai suatu

usaha Gereja membudaya.

Menurut Martasudjita (wawancara pada tanggal 20 Mei 2009), istilah

inkulturasi dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun

keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena dalam setiap usaha

inkulturasi pasti selalu merangkul budaya setempat. Tetapi tidak semua

penyesuaian budaya dapat disebut inkulturasi. Selain itu, istilah inkulturasi

juga merupakan istilah yang hanya ada dalam tradisi Kristiani yang selalu

menunjuk pada perwujudan Injil Yesus Kristus dalam budaya setempat.

Istilah inkulturasi ini muncul pertama kali dalam literatur misiologis

tahun 1960, yang diperkenalkan oleh seorang dosen di Universitas Gregoriana,

Masson, dalam artikelnya ”L’eglise ouverte sur Le Monde”. Dengan istilah

ini, Masson mau mengungkapkan fakta integrasinya warta keselamatan

Kristen atau Gereja ke dalam kebudayaan kelompok tertentu. Istilah ini untuk

pertama kalinya digunakan dalam dokumen resmi Gereja pada tahun 1977,

yaitu oleh sinode para Uskup di Roma mengenai katekese, yang mengeluarkan

naskah terakhir “Pesan kepada Umat Allah” (Komisi Liturgi MAWI, 1985:

19).

Dokumen De Liturgia Romana et Inculturatione (art. 4) merumuskan

inkulturasi merupakan inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang

otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke

dalam kehidupan Gereja. Dengan kata lain inkulturasi merupakan usaha suatu

(28)

penyesuaian tersebut muncul transformasi yang mendalam dari nilai-nilai

budaya asli yang diintegrasikan ke dalam tradisi Kristiani.

Selain itu, beberapa ahli juga telah berusaha merumuskan istilah

inkulturasi ini, salah satunya Giancarlo Collet, yang dikutip oleh Prier (1999:

8) :

Inkulturasi adalah suatu proses yang berlangsung terus dimana Injil diungkapkan di dalam situasi sosio-politik dan religius-budaya sedemikian rupa sehingga ia tidak hanya diwartakan melalui unsur-unsur situasi tersebut, tetapi menjadi suatu daya yang menjiwai dan mengolah budaya tersebut sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja Universal.

Dalam pengertian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

dalam inkulturasi, Injil Yesus Kristus diwujudnyatakan melalui budaya umat

setempat secara terus menerus, sehingga mengakar di dalam kehidupan umat.

Melalui inkulturasi, unsur-unsur budaya umat setempat dirangkul, dimaknai

dan dijiwai oleh Injil Yesus Kristus. Inkulturasi bukanlah suatu proses yang

singkat karena inkulturasi berlangsung terus-menerus dan senantiasa

mengikuti perkembangan umat sesuai dengan konteks zamannya. Proses yang

terjadi terus-menerus ini akan membuat umat semakin mengimani Injil Yesus

Kristus dalam kebudayaannya bahkan mampu menjadi identitas bagi umat di

suatu wilayah tertentu karena telah menjadi satu dengan hidup umat.

Selain Collet, ada pula Crollius (Muda,1992:23) yang merumuskan

inkulturasi sebagai berikut:

(29)

dengan itu menciptakan satu persekutuan baru bukan saja dalam kebudayaan tertentu itu melainkan juga sebagai sumbangan untuk Gereja Universal.

Maksudnya adalah bahwa adanya integrasi antara Injil dengan kebudayaan

setempat akan mampu memaknai atau menjiwai kebudayaan setempat

tersebut. Dalam inkulturasi, pengalaman Kristen tidak semata-mata

diekspresikan dalam bentuk kebudayaan setempat saja, tetapi lebih dimaknai

dan dijiwai oleh semangat Injil Yesus Kristus.

Mantan Jenderal Yesuit, Arrupe (Muda,1992:24), merumuskan

inkulturasi sebagai berikut :

Inkulturasi adalah inkarnasi kehidupan dan warta keselamatan Kristen ke dalam kebudayaan tertentu sehingga pengalaman ini tidak hanya menemui ungkapannya atau ekspresinya lewat unsur-unsur kebudayaan tertentu tersebut, melainkan menjadi dasar atau prinsip yang menjiwai, mengarahkan, menyatukan dan mengubahnya kepada satu ciptaan baru.

Dalam misteri inkarnasi, Yesus Kristus turun ke dunia dan mengambil rupa

manusia, sehingga Ia pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan situasi

konkret di sekitarnya. Begitu pula dalam inkulturasi, ketika Injil

diinkulturasikan ke dalam kebudayaan umat setempat, maka keduanya tidak

dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya saling merangkul dan memperkaya.

Dalam suatu usaha inkulturasi, biasanya tidak banyak dimunculkan

bentuk-bentuk yang baru dalam pengungkapannya, melainkan bentuk-bentuk yang sudah ada

sebelumnya semakin dimaknai dengan Injil Yesus Kristus. Atau dengan kata

lain pembaharuan terjadi dalam makna kebudayaan yang terinkulturasi oleh

(30)

Seminar inkulturasi yang diadakan di Yogyakarta, atas kerjasama

dengan Fakultas Misiologi di Gregoriana Roma (Muda,1992:24) merumuskan

inkulturasi sebagai berikut :

Inkulturasi adalah satu proses dimana persekutuan gereja menghidupi iman dan pengalaman Kristennya dalam konteks kebudayaan tertentu, sehingga penghayatan ini tidak hanya dapat diungkapkan lewat elemen-elemen kebudayaan setempat, melainkan menjadi suatu kekuatan yang menjiwai, membentuk, dan secara mendalam membaharui kenyataan itu, sehingga terciptalah pola-pola baru persekutuan, dan komunikasi dalam kebudayaan dan di luar kebudayaan itu sendiri.

Dari pengertian tersebut, dapat dilihat pemaknaan Injil dalam kebudayaan

umat setempat justru mampu menghidupi kebudayaan tersebut. Dengan

adanya pemaknaan tersebut, baik Injil maupun kebudayaan memiliki suatu

kekuatan baru yang semakin membentuk identitas sebuah gereja lokal.

Dari ketiga rumusan inkulturasi tersebut, dapat diambil suatu intisari

bahwa dengan inkulturasi ada pemaknaan baru dalam pengungkapan

kebudayaan setempat. Nilai-nilai dari suatu kebudayaan yang sudah ada

semakin kuat karena dijiwai oleh semangat Injil. Selain itu, usaha Gereja

untuk berinkulturasi dengan kebudayaan setempat juga semakin mengarahkan

dan memperbaharui kebudayaan tersebut sehingga menghasilkan suatu ciptaan

atau kebudayaan baru yang lebih memampukan umat untuk menghayati dan

mewujudkan iman mereka sesuai dengan citarasa umat sendiri. Hal ini sejalan

dengan pendapat Banawiratma, dalam artikelnya ”Menjernihkan Inkulturasi”,

yang dimuat dalam ”Bina Liturgia I: Inkulturasi” (Komisi Liturgi

(31)

Inkulturasi bukanlah penerapan kebenaran-kebenaran abstrak dalam situasi konkret. Inkulturasi adalah pergulatan kreatif umat setempat untuk menghayati hidup sebagai ciptaan baru. Ciptaan baru itu bukan hanya pakaian baru, melainkan hubungan kita dengan Yesus Kristus yang hidup

Namun, tentu saja perlu diingat bahwa inkulturasi bukanlah

satu-satunya yang paling penting karena menurut Koendjono, inkulturasi ada demi

penghayatan Kerajaan Allah (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 11). Jadi Kerajaan

Allah tetap menjadi yang terpenting. Karena inkulturasi hanyalah jalan yang

menjembatani antara nilai-nilai budaya dengan nilai-nilai Injili untuk

mencapai penghayatan Kerajaan Allah. Atau dengan kata lain dapat

diungkapkan bahwa umat akan mampu menghayati Injil dan Kerajaan Allah

melalui dan di dalam kebudayaan mereka masing-masing. Maka, apakah suatu

unsur kebudayaan kita dapat dimasukkan dalam penghayatan agama,

tergantung apakah membantu penghayatan agama kita atau tidak. Suatu unsur

kebudayaan bagaimanapun tinggi nilainya kalau tidak membantu tidak baik

dimasukkan sebagai sarana penghayatan agama.

Sebagai contoh, dalam kebudayaan Sunda, dikenal dengan istilah

tangan saé, artinya ketika orang hendak menerima suatu barang maka harus

disambut dengan tangan kanan di atas. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan

penghormatan yang tulus baik kepada orang yang memberikan maupun pada

barang yang diterima, apalagi jika barang tersebut berupa makanan. Di Gereja

Paroki Kristus Raja Cigugur, tradisi ini dianggap baik dan bermakna bagi

penghayatan iman umat. Oleh karena itu, pada saat penerimaan komuni, umat

(32)

tangan saé dalam Gereja Katolik di Paroki Kristus Raja Cigugur semakin

dimaknai dengan semangat Injili. Dengan menerima Tubuh Kristus

menggunakan tangan kanan di atas, umat berarti memberikan

penghormatannya kepada Tubuh Kristus. Selain itu, mereka juga dengan

rendah hati menyediakan dirinya untuk bersatu dengan Kristus.

Dari contoh tersebut, dapat dilihat bahwa tradisi umat setempat

ditampung oleh Gereja Katolik, kemudian ditawarkan kepada umat dan umat

pun menerimanya. Dalam hal ini, terjadi dialog antara Gereja dan tradisi umat

setempat sehingga menghasilkan suatu bentuk inkulturasi. Jadi, inkulturasi

merupakan proses dua arah, yakni asimilasi antara warta Kristen dan jalan

hidup Kristen ke dalam kebudayaan kelompok bangsa tertentu. Hal ini juga

bisa dikatakan sebagai penerimaan kebudayaan lokal bersama-sama dengan

kehidupan Kristen lokal ke dalam warta keselamatan. Baik itu warta Kristen

maupun kebudayaan umat setempat, keduanya saling merangkul,

mempengaruhi dan memperkaya. Selain itu, warta Kristen memberikan makna

baru dalam kebudayaan tersebut. Umat pun akan mampu memahami dan

menghayati warta Kristen tersebut melalui kebudayaan mereka. Dengan

demikian terciptalah ciptaan baru atau bentuk baru kesatuan dan persekutuan

dalam gereja lokal dan merupakan sesuatu yang memperkaya gereja universal.

Dalam inkulturasi terjadi suatu interaksi sedemikian hingga budaya lama

maupun budaya baru mengalami suatu transformasi (Prier, 1999: 7). Yang

perlu digarisbawahi di sini adalah dalam suatu interaksi tentu saja hubungan

(33)

Inkulturasi juga merupakan relasi dinamis antara warta keselamatan

kristen dengan pelbagai kebudayaan, integrasi kehidupan kristen ke dalam

kebudayaan tertentu, satu proses kontinu dari interpretasi kritis dan timbal

balik serta asimilasi antar keduanya (Muda, 1992 : 34). Oleh karena itu, dalam

inkulturasi selalu ada kerjasama atau hubungan timbal balik yang saling

menguntungkan baik bagi kebudayaan setempat maupun bagi tradisi-tradisi

Kristiani. Keduanya tentu saja tidak dapat dipisahkan ataupun berjalan

sendiri-sendiri. Karena kedua hal tersebut merupakan inti dari inkulturasi dalam

Gereja. Inkulturasi hanya akan terjadi apabila ada dialog timbal balik antara

tradisi-tradisi Kristiani dengan kebudayaan setempat.

Pada hakikatnya inkulturasi merupakan perjumpaan yang bersifat

berkelanjutan antara iman Kristiani dengan kebudayaan, dan Yesus Kristus

sebagai pusatnya. Dengan demikian dalam proses inkulturasi harus nampak

bagaimana jemaat di dalam pergulatan hidupnya sehari-hari mengimani

Kristus dan menemukan kehadiranNya dalam segala aspek kehidupannya.

Pernyataan tersebut juga didukung dengan penegasan dari Lane (Heryatno,

2000: 124) bahwa pada intinya inkulturasi merupakan perjumpaan antara

kebudayaan dan Injil yang saling mengisi, mempengaruhi dan membentuk.

Oleh karena itu, budaya dan Injil tidak bisa dipisahkan, seperti diungkapkan

oleh Paus Paulus VI bahwa pemisahan antara Injil dan kebudayaan merupakan

drama hidup jemaat yang tidak dapat dilupakan. Inilah yang disebut sebagai

hakikat inkulturasi, yaitu membantu jemaat Kristiani agar iman mereka

(34)

seluruh pengalaman pergulatan mereka. Karena iman yang belum menjadi

kebudayaan merupakan iman yang belum sepenuhnya diterima dan dihidupi

secara sungguh-sungguh oleh umat (Heryatno, 2000: 123). Atau dengan kata

lain iman seseorang harus benar-benar tercermin dalam kesehariannya.

Hal ini tentu saja akan menghasilkan dampak yang begitu positif bagi

umat Kristiani. Mereka akan semakin mampu membangun hidup berimannya

maupun komunitasnya. Selain itu, mereka juga semakin memiliki iman

Katolik yang menyatu dan mengakar pada kebudayaan dan nilai-nilai setempat

yang mereka yakini bersifat positif, karena telah terbukti berharga bagi

perjuangan kehidupan mereka. Dengan demikian, dapat ditegaskan kembali

bahwa inkulturasi sungguh berkaitan dengan praksis atau keterlibatan jemaat

di dalam menghayati Injil Yesus Kristus menurut kebudayaan mereka sendiri.

Dalam sebuah artikel mengenai ”Katekese sebagai Salah Satu Momen

Penting dalam Inkulturasi”, Heryatno (2000: 121) menyatakan bahwa

inkulturasi merupakan kenyataan yang bersifat kompleks yang hakikatnya

tidak akan dimengerti dengan baik apabila hanya digali berdasarkan konsep

yang semata-mata bersifat teoritis. Inkulturasi sejati harus berangkat dari

konteks praksis sosio-kultural jemaat atau dengan kata lain inkulturasi harus

bertolak dari budaya setempat (Martasudjita, 1999: 88).

2. Dasar Inkulturasi

Dasar inkulturasi yang pertama kali dipikirkan ialah misteri inkarnasi

(35)

dalam permulaan Injil Yohanes (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 39). Dalam

misteri inkarnasi ini, Yesus mengenakan kodrat manusia atau dengan kata lain

hidup Allah sendiri menginkulturasi dalam adat kebudayaan manusia. Namun,

hal ini tentu saja belum begitu mencukupi, pendasaran inkulturasi tidak boleh

berhenti pada misteri inkarnasi saja. Pusat pengalaman Kristiani tidak boleh

dilupakan, yakni Dia yang telah disalibkan bangkit kembali. Hal ini juga

diungkapkan oleh Martasudjita (1999:81) bahwa dasar teologi inkarnasi ialah:

Misteri kasih trinitaris yang diwahyukan dalam rangka sejarah dan mengalami puncak dan kepadatannya dalam peristiwa Yesus Kristus, dimana Sang Putera menjadi manusia (inkarnasi) dan menerima konsekuensi terakhirnya sebagai manusia: wafat, namun kemudian dibangkitkan oleh Bapa dalam Roh Kudus (misteri paskah).

Dengan dasar tersebut, unsur budaya setempat diangkat dan diterima

oleh Injil sebagai media dialog keselamatan Allah dan manusia. Dan dengan

dasar misteri Paskah (inkarnasi), unsur budaya setempat ditebus dan

diperbaharui oleh Injil Yesus Kristus. Dengan demikian dapat dilihat bahwa

inkulturasi mengungkapkan betapa berharga dan bernilainya budaya dan

tradisi umat setempat dalam iman Kristiani (Martasudjita, 1999: 84).

3. Tujuan Inkulturasi

Adapun yang menjadi tujuan dari inkulturasi adalah agar umat semakin

mengenali, mencintai dan mengikuti Yesus Kristus dengan sepenuh jiwa, hati,

dan tenaga menurut kebudayaan dan nilai-nilai pokok hidup umat sendiri.

Dalam konteks liturgi, inkulturasi merupakan pengungkapan / perayaan liturgi

(36)

umat yang beribadat. Dengan demikian ”umat yang mengikuti ibadat

terpesona oleh lagu, doa, lambang / hiasan, upacara, karena semuanya

langsung dapat dimengerti; karena semuanya bagus menurut penilaian yang

dipakai dalam hidup kebudayaan setempat” (Prier, 1999: 13). Hal ini tentunya

akan membuat umat semakin mampu memahami segala sesuatu yang ada di

dalam Gereja dan ikut serta terlibat dalam segala bentuk kegiatan hidup

menggereja demi penghayatan imannya akan Yesus Kristus. Penghayatan

iman akan Yesus Kristus ini kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan umat

sehari-hari. Inkulturasi juga secara tidak langsung akan menyelamatkan

adat-kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga

kebudayaan yang diwariskan dari nenek moyang tidak hilang begitu saja,

tetapi semakin dilestarikan.

Di dalam inkulturasi, tidak hanya iman Kristiani yang dipribumikan,

tetapi juga sebaliknya kebudayaan pribumi pun dikristenkan. Dengan artian

bahwa iman Kristiani dapat diterima sebagai milik umat pribumi dan

kebudayaan pribumi pun menjadi bagian dalam Iman Kristiani. Karena

inkulturasi merupakan dialog timbal balik antara iman kristen dan kebudayaan

setempat.

Sebagai contoh, dalam tradisi Sunda Cigugur dikenal ritual khusus

pada malam jumat kliwon. Sebelum agama Katolik masuk ke Cigugur, ritual

ini berlangsung di tempat-tempat khusus yang sudah disucikan. Selain itu,

ritual ini ditujukan kepada leluhur atau arwah-arwah yang sudah meninggal

(37)

dimanfaatkan untuk meminta bantuan / pertolongan kepada yang didoakan,

khususnya yang telah meninggal, dengan anggapan bahwa orang yang sudah

meninggal pasti memiliki kesempurnaan. Hal ini dianggap baik oleh Gereja

Katolik pada waktu itu. Ketika agama Katolik mulai berkembang di Cigugur,

tradisi berdoa di malam Jumat Kliwon ini tidak dihilangkan begitu saja dari

masyarakat Cigugur, namun diterima dan diangkat dalam suatu Perayaan

Ekaristi. Gereja Katolik meluruskan dan memaknai ritual tersebut menurut

semangat Injili. Ritual malam Jumat Kliwon pada masa sekarang ini dijadikan

sebagai suatu perayaan syukur kepada Tuhan dan segala doa serta

permohonan pun hanya ditujukan kepada Tuhan.

Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tanpa adanya

dialog antara tradisi Kristiani dengan tradisi umat setempat, maka tidak

mungkin tercipta suatu bentuk inkulturasi yang selaras dan diterima oleh umat

setempat. Namun perlu diingat juga bahwa pelaku/subyek utama dari

inkulturasi adalah umat sendiri. Oleh karena itu, baik tujuan maupun hakikat

inkulturasi selalu bertitik tolak dari konteks praksis yang dialami umat. Selain

itu, proses meresapnya Injil secara mendalam hanya mungkin bila semua umat

melibatkan diri (Komisi liturgi MAWI, 1985: 36). Hal tersebut juga

ditegaskan kembali oleh Hardawiryana (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 37)

bahwa kaum awam bertanggung jawab sepenuhnya atas kehidupan dan misi

(38)

B. PERAYAAN EKARISTI

Istilah ”Ekaristi” berasal dari bahasa Yunani eucharistia yang berarti

puji syukur. Kata eucharistia adalah sebuah kata benda yang berasal dari kata

kerja bahasa Yunani eucharistein yang berarti memuji, mengucap syukur

(Martasudjita, 2005: 28). Pada intinya, istilah Ekaristi menunjuk dengan bagus

isi dari apa yang dirayakan dalam seluruh Perayaan Ekaristi, yaitu pujian dan

syukur atas karya penyelamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus Kristus,

sebagaimana berpuncak dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus.

Dengan pujian syukur itu, Gereja mengenangkan dan menghadirkan misteri

penebusan Kristus pada masa sekarang (Martasudjita, 2005: 29).

1. Makna Perayaan Ekaristi

Gereja adalah paguyuban orang beriman yang percaya kepada Yesus

Kristus. Umat beriman dipersatukan dalam Gereja karena imannya akan Yesus

Kristus. Umat kemudian menanggapinya dengan merayakan dan

mengenangkan misteri kelahiran, kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus

Kristus dalam suatu perayaan liturgis yang disebut Ekaristi.

Martasudjita (2005:105), dalam bukunya yang berjudul ”Ekaristi:

Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral”, menyebutkan bahwa Ekaristi

merupakan sebuah perayaan. Kata perayaan menerjemahkan kata Latin

celebratio yang kata kerjanya celebrare. Kata celebrare ini mempunyai

banyak kemungkinan arti, antara lain: merayakan, mengunjungi atau

(39)

melakukan, memasyhurkan, memuji atau memuja. Oleh karena itu, makna

dasar celebratio atau perayaan selalu berunsur plural. Dalam Perayaan

Ekaristi, umat merayakan warta penyelamatan Yesus Kristus yang telah

diterima dan diimani, kemudian dikenangkan lagi dalam ungkapan syukur atas

tindakan penyelamatan Alah melalui Yesus Kristus (Komisi Liturgi MAWI.

1985: 25). Merayakan di sini berarti umat satu sama lain menciptakan

kehadiran Kristus dan membuat hidup misteri yang dirayakan tersebut, dan itu

terasa menyentuh mereka yang merayakannya atau kerapkali disebut dengan

istilah memoria Iesu (Komisi Liturgi MAWI. 1985: 50). Apabila Ekaristi

dipandang sebagai sebuah Perayaan, maka banyak peluang yang dapat

dijadikan sarana berinkulturasi.

Dalam pengertian teologis – liturgis, kata perayaan mengandung tiga

arti pokok, yaitu: segi kebersamaan, segi partisipasi dan segi konteks

(Martasudjita, 2005: 106-108).

1. Segi kebersamaan

Sebuah perayaan selalu merupakan suatu kegiatan bersama atau

sekurang-kurangnya melibatkan lebih dari satu orang. Ekaristi sebagai sebuah

perayaan pertama-tama adalah perayaan seluruh Tubuh Mistik Yesus

Kristus, yakni Kepala dan para anggotanya. Dengan kata lain, subyek

Perayaan Ekaristi adalah Tuhan Yesus Kristus dan Gereja-Nya. Subyek

menunjuk siapa yang merayakan Ekaristi, yaitu Kristus dan bersama

seluruh Gereja. Hal ini berarti seluruh Gereja juga menjadi subyek atau

(40)

Kristus, di dalam Kristus dan bersama Kristus. Itulah sebabnya, Konsili

Vatikan II menegaskan makna eklesial Ekaristi dan semua kegiatan liturgis

lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam SC 26 bahwa ”Upacara-upacara

liturgi bukanlah tindakan perorangan melainkan perayaan Gereja sebagai

sakramen kesatuan”. Dan sebagai suatu perayaan seluruh Gereja, Ekaristi

selalu bersifat resmi, umum, eklesial, artinya menghadirkan seluruh

Gereja. Oleh karena itu konsekuensi pastoralnya adalah Ekaristi tidak

pernah boleh dirayakan menurut selera pribadi.

2. Segi partisipasi

Suatu perayaan juga selalu menunjuk makna keterlibatan atau partisipasi

dari seluruh hadirin. Demikian pula Ekaristi sebagai liturgi resmi

menuntut partisipasi sadar dan aktif dari semua yang hadir. Kata sadar

menunjuk segi pemahaman atau dengan kata lain tahu apa yang ia

lakukan. Oleh karena itu, umat beriman perlu memahami seluruh makna

Perayaan Ekaristi, termasuk arti semua simbolnya. Sedangkan kata aktif

menunjuk keterlibatan yang sepenuhnya dan seutuhnya. Itulah sebabnya

para Bapa Konsili Vatikan II mendesak umat beriman agar mereka

merayakan Ekaristi bukan sebagai penonton yang bisu, melainkan bisa

memahami misteri yang dirayakan dengan baik dan ikut serta secara

penuh, khidmat, dan aktif (SC 48). Partisipasi sadar dan aktif ini

mencakup pemahaman akan seluruh misteri yang dirayakan sekaligus

(41)

hingga sesudah perayaan, yakni dengan ikut menghasilkan buah-buah

perwujudan iman.

3. Segi konteks

Sebuah perayaan selalu diselenggarakan menurut situasi dan kondisi

setempat. Dalam hal ini, unsur kebutuhan setempat, situasi, tantangan

zaman, dan unsur-unsur budaya lokal ikut mempengaruhi sebuah

perayaan. Demikian halnya dengan Perayaan Ekaristi kita, yang

merupakan perayaan seluruh Gereja, juga dirayakan menurut gaya dan

model penghayatan setempat. Segi konteks ini menunjuk makna Ekaristi

yang dirayakan menurut situasi dan kondisi aktual atau konteks umat

setempat. Untuk itu, para Bapa Konsili Vatikan II sangat mendorong

berbagai penyesuaian liturgi, termasuk di dalamnya inkulturasi liturgi,

tentu saja ”asalkan selaras dengan hakikat dan semangat liturgi yang sejati

dan asli” (SC 37). Demikianlah Perayaan Ekaristi mesti menjawab

kebutuhan dan kerinduan aktual dan kontekstual dari umat beriman

setempat. Itulah sebabnya, doa-doa terutama doa umat, misalnya,

hendaknya disusun menurut situasi dan kondisi aktual Gereja setempat

pada waktu itu.

2. Tata Perayaan Ekaristi

Dalam bukunya mengenai ”Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis dan

Pastoral”, Martasudjita (2005:92-93) mengemukakan bahwa selama kurang

(42)

dipromulgasikan pada tanggal 26 Maret 1970, umat Katolik di Indonesia

merayakan Ekaristi dengan menggunakan TPE (Tata Perayaan Ekaristi) yang

masih belum bersifat tetap. Dengan turunnya Textus Recognitus Tata Perayaan

Ekaristi 2005 dari Kongregasi Ibadat, Gereja Katolik di Indonesia telah

memiliki TPE dalam bahasa Indonesia, menurut Ritus Romawi, yang definitif.

TPE 2005 ini merupakan teks yang telah disahkan oleh Sidang Para Uskup

KWI pada bulan November 2003, dan selama tahun 2004 diproses ke Roma

untuk memperoleh recognitio, dan akhirnya pada tanggal 7 Oktober 2004

mendapat recognitio dari Takhta Suci, berdasarkan Surat Kongregasi Suci

untuk Ibadat dan Tata Tertib Sakramen: Prot. No. 935/04/L, tanggal 7 Oktober

2004, dan ditandatangani oleh Kardinal Francis Arinze sebagai Prefek dan

Mgr. Dominicus Sorrentino sebagai Sekretaris (Martasudjita, 2005: 93).

Sejarah perjalanan Gereja Katolik di Indonesia untuk memiliki TPE

yang definitif amat sangat lama. TPE 1979, yang semula diberlakukan secara

ad experimentum, ternyata digunakan hampir lebih dari 25 tahun. Kendati

demikian, teologi TPE 2005 tidak berbeda dengan teologi TPE 1979 karena

semuanya mengacu pada teologi Ekaristi konsili Vatikan II. Selain itu, baik

struktur pokok maupun unsur-unsur lain dari bagian-bagian Perayaan Ekaristi

yang ada dalam TPE 2005, juga tidak berbeda dengan TPE 1979. Yang

berbeda adalah istilah dan variasi pilihannya. Misalnya saja, TPE 1979

menyebut bagian pembukaan dengan istilah ”Pembukaan” dan ”Penutup”,

(43)

(Pedoman Umum Misale Romawi), yakni ”Ritus Pembuka” dan ”Ritus

Penutup”.

Perayaan Ekaristi terdiri atas dua bagian pokok, yaitu Liturgi Sabda

dan Liturgi Ekaristi, dan kedua bagian pokok itu diapit oleh Ritus Pembuka

sebagai bagian yang mempersiapkan dan Ritus Penutup sebagai bagian yang

menutup (Martasudjita, 2005:116). Keempat bagian tersebut berhubungan

begitu erat sehingga seluruhnya menjadi satu tindakan ibadat (bdk. SC 56).

Keseluruhan tindakan ibadat ini kemudian disebut sebagai Perayaan Ekaristi.

Berikut ini disajikan struktur dasar yang ada dalam Tata Perayaan

Ekaristi beserta rincian per bagiannya (Martasudjita, 2005:116-118):

Ritus Pembuka memiliki makna dasar kehadiran Tuhan di tengah umat

beriman yang sedang berdoa. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam Ritus

Pembuka ini adalah menyatukan dan mempersiapkan umat melalui tobat dan

doa-doa. Ciri khas bagian ini adalah sebagai pembuka, pengantar dan

persiapan menuju Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Dalam bagian ritus

pembuka, dapat dirinci sebagai berikut; perarakan masuk (dengan lagu

pembuka, Tanda Salib, salam pengantar, tobat, kyrie, gloria, dan doa

pembuka.

Setelah ritus pembuka, dilanjutkan dengan Liturgi Sabda yang

memiliki makna dasar kehadiran Tuhan dan karya penebusan-Nya bagi Gereja

melalui Sabda-Nya. Peranan bagian ini dalam keseluruhan Perayaan Ekaristi

adalah pewartaan Sabda Allah sekaligus sebagai permenungan dan tanggapan

(44)

yaitu Bacaan I, mazmur tanggapan, Bacaan II, bait pengantar Injil / Alleluya,

Bacaan Injil dan Aklamasi sesudah Injil, homili / khotbah, syahadat para rasul

dan doa umat.

Struktur yang mendasari keseluruhan perayaan Ekaristi selanjutnya

adalah Liturgi Ekaristi. Liturgi Ekaristi merupakan bagian yang paling penting

dalam keseluruhan Perayaan Ekaristi. Makna yang dapat dipetik dalam Liturgi

Ekaristi ini adalah kehadiran Tuhan dan karya penebusan-Nya bagi Gereja

secara sakramental, yaitu dalam rupa roti dan anggur. Liturgi Ekaristi dibagi

menjadi tiga bagian pokok yaitu Persiapan Persembahan, Doa Syukur Agung,

dan Komuni yang memiliki peran masing-masing. Peranan Persiapan

Persembahan adalah mempersiapkan bahan-bahan persembahan, terutama roti

dan anggur. Karena bahan-bahan tersebut juga yang digunakan oleh Yesus

Kristus dalam Perjamuan Malam Terakhir hidup-Nya. Dalam persiapan

persembahan biasanya diawali dengan kolekte dan mempersiapkan altar,

perarakan persembahan, mengunjukkan roti, mengunjukkan piala, pendupaan,

pembasuhan tangan, dan doa persiapan persembahan. Setelah itu masuk ke

dalam Doa Syukur Agung yang terbagi ke dalam beberapa bagian kecil, yaitu

prefasi, kudus, postsanctus, epiklese konsekratis, kisah dan kata-kata Institusi,

aklamasis anamnesis, anamnese, persembahan, epiklese komuni, permohonan

dan doxologi. Bagian Doa Syukur Agung ini berperan sebagai ucapan puji

syukur kepada Allah Bapa atas seluruh karya penyelamatan-Nya melalui

Yesus Kristus yang wafat dan bangkit, kepada-Nya dipersembahkan roti dan

(45)

dilanjutkan dengan Komuni, yakni kesatuan umat beriman dengan Tuhan dan

sesama. Meskipun banyak, umat disatukan oleh Tubuh Kristus yang satu dan

sama. Adapun rincian dari bagian ini adalah Bapa kami, embolisme, aklamasi,

doa damai, salam damai, Agnus Dei, ajakan menyambut komuni, penerimaan

komuni, hening, madah syukur, dan doa sesudah komuni.

Setelah Liturgi Ekaristi berakhir, maka Perayaan Ekaristi diakhiri

dengan Ritus Penutup. Ritus Penutup dimaknai dengan kehadiran Tuhan yang

mengutus Gereja dan yang menyertainya dengan berkat-Nya. Tujuannya

adalah menyampaikan berkat Tuhan kepada seluruh umat beriman sebagai

kekuatan atau bekal dalam menjalankan perutusan Gereja di tengah dunia.

Ritus penutup terbagi lagi menjadi beberapa rincian kecil, yaitu pengumuman,

berkat Tuhan, pengutusan, kemudian diakhiri dengan perarakan meninggalkan

altar (diiringi lagu penutup).

C. Tahap – Tahap Inkulturasi Liturgi dalam Perayaan Ekaristi

Menurut pandangan P. Schineller, yang dikutip oleh Martasudjita

(1999:85-89) dalam bukunya yang berjudul ”Pengantar Liturgi: Makna,

Sejarah dan Teologi Liturgi”, inkulturasi dalam liturgi dibagi ke dalam 4

tahap, yaitu: pengambilalihan, penerjemahan, penyesuaian, dan yang terkahir

inkulturasi.

1. Tahap pertama : pengambilalihan

Pengambilalihan (imposition) sebenarnya belum termasuk dalam

(46)

teologi dan liturgi asing dipakai dan digunakan begitu saja secara utuh di

daerah lain. Misalnya saja, liturgi Eropa dirayakan persis dan lengkap

menurut tatacara dan bahasa aslinya tanpa disesuaikan dan diubah sama

sekali.

2. Tahap kedua : penerjemahan

Dengan penerjemahan sebuah tahap inkulturasi sudah dimulai

walaupun menurut tahapnya yang paling tipis dan sederhana. Dalam tahap

ini terjadi penerjemahan teks liturgi dari bahasa asli (Latin) ke bahasa

pribumi. Dengan pemakaian bahasa pribumi ini, biasanya liturgi secara

otomatis juga mengalami beberapa penyesuaian, karena bahasa merupakan

bagian dalam kebudayaan manusia sehingga bahasa juga mengungkapkan

aneka aspek pemahaman akan kehidupan bangsa itu. Di Indonesia, ada

beberapa teks liturgi, baik itu doa maupun nyanyian, yang secara praktis

diterjemahkan begitu saja tanpa penyesuaian sedikitpun. Hal ini baik

dilakukan, namun tentu saja belum memadai bagi suatu usaha inkulturasi

yang benar-benar hidup.

3. Tahap ketiga : penyesuaian

Pada umumnya, tahap penyesuaian (adaptatio atau accomodatio)

dipandang sebagai suatu langkah yang jauh lebih maju dibandingkan

dengan tahap penerjemahan. Dalam Konsili Vatikan II, tahap penyesuaian

ini biasanya disebut dengan istilah aptatio, namun kiranya istilah aptatio

(47)

atau accomodatio. Tahap penyesuaian ini diatur dalam Sacrosanctum

Concilium art. 37 – 39.

Pada tahap ini suatu perubahan dan penyesuaian tertentu dengan

kondisi dan budaya setempat diizinkan, namun ada batasannya. Sebagai

contoh dapat dilihat dalam SC 39:

Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan autentik buku-buku liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22 (2), berhak untuk merinci penyesuaian-penyesuaian, terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam Konstitusi ini.

Dalam tahap ini sudah sangat dimungkinkan masuknya unsur-unsur

budaya setempat ke dalam liturgi, dengan catatan: asal selaras dengan

hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli (SC 37). Unsur-unsur budaya

setempat itu bisa digunakan untuk mengganti atau menjelaskan

unsur-unsur upacara atau doa ritus Romawi. Contoh tahap penyesuaian liturgi di

Indonesia adalah tari-tarian pada prosesi awal dan persembahan,

sungkeman dalam liturgi perkawinan dan tahbisan, penggunaan gong

dalam konsekrasi, pengembangan lagu-lagu liturgis yang diwarnai dan

dijiwai budaya setempat, penggunaan alat musik daerah dalam liturgi,

penggunaan pakaian adat dalam liturgi, dan lain-lain.

4. Tahap keempat : inkulturasi

Tahap keempat ini merupakan tahap yang paling puncak. Dalam

tahap ini, penyesuaian liturgi tidak hanya sekedar penyesuaian fisik

(48)

justru bertolak dari budaya setempat. Apabila dilihat dari bentuknya,

budaya tersebut tidak berubah, namun menurut isinya, budaya tersebut

kemudian diterangi atau dimaknai oleh iman Kristiani. Oleh karena itu,

liturgi yang baru tersebut memiliki struktur dan budaya yang khas menurut

budaya setempat sekaligus bermakna Kristiani. Kaidah-kaidah inkulturasi

tersebut diatur dalam SC 40. Dalam SC 40, istilah yang digunakan

bukanlah inkulturasi melainkan penyesuaian liturgi secara lebih

mendalam. Ada tiga ketentuan yang dikemukakan dalam SC 40 ini, yaitu:

(1) Hendaknya pemimpin gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22 (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat ilahi. Penyesuaian-penyesuaian, yang dianggap berfaedah atau memang perlu, hendaknya diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan dalam Liturgi. (2) Tetapi supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya, maka Takhta Apostolik akan memberi wewenang kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk – bila perlu – dalam beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen pendahuluan yang diperlukan.

(3) Ketetapan-ketetapan tentang Liturgi biasanya menimbulkan kesulitan-kesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah Misi. Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan itu hendaknya tersedia ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan.

Dalam hal ini, berbagai bentuk inkulturasi dalam liturgi sama

sekali tidak dilarang, namun tentu saja harus mengikuti kaidah-kaidah

yang telah ditetapkan oleh Takhta Suci dan diawasi oleh para pemimpin

Gereja setempat. Atau jika diperlukan, Gereja setempat dapat

(49)

Dari keseluruhan bagian dalam Perayaan Ekaristi, ada beberapa

bagian yang memberikan peluang untuk masuknya kebudayaan umat

setempat dalam Perayaan Ekaristi. Misalnya saja dalam ritus pembuka

maupun ritus penutup. Dalam perarakan dapat menggunakan unsur

kebudayaan daerah berupa tarian, nyanyian maupun iringan musik.

Kendati demikian, ada kaidah-kaidah umum yang memang harus dipenuhi

sehubungan dengan jalannya inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi.

Kaidah-kaidah umum tersebut diungkapkan secara jelas dalam Sacrosanctum

Concilium. Salah satunya mengenai wewenang untuk mengatur liturgi

yang semata-mata ada pada pimpinan Gereja, yakni Tahta Apostolik, dan

menurut kaidah hukum pada Uskup (SC art.22). Selain itu, diungkapkan

juga mengenai tradisi dan perkembangan yang ada dalam Gereja:

Supaya tradisi yang sehat dipertahankan, namun dibuka jalan juga bagi perkembangan yang wajar, hendaknya selalu diadakan lebih dahulu penyelidikan teologis, historis dan pastoral yang cermat tentang setiap bagian Liturgi yang perlu ditinjau kembali. Kecuali itu hendaklah dipertimbangkan baik patokan-patokan umum tentang susunan dan makna Liturgi, maupun pengalaman yang diperoleh dari pembaharuan Liturgi belakangan ini serta dari izin-izin yang diberikan di sana-sini.... Sedapat mungkin hendaknya dicegah juga, jangan sampai ada perbedaan-perbedaan yang menyolok dalam upacara-upacara di daerah-daerah yang berdekatan.

Dalam suatu bingkai aggiornamento, Konsili Vatikan II memberi

tempat pada kaidah-kaidah perihal penyesuaian dengan tabiat perangai dan

tradisi bangsa-bangsa (bdk. SC 37-40). SC 37 memberi penegasan prinsip

(50)

lain, Gereja mengambil sikap hormat dan menyokong kekayaan kultural

dari segenap masyarakat.

”Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan

segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak mengharuskan suatu

keseragaman yang kaku. Sebaliknya, Gereja memelihara dan memajukan

kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam

adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul

atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan

bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada

kalanya Gereja menampungnya dalam Liturgi sendiri, asal saja selaras

dengan hakikat semangat Liturgi yang sejati dan asli.” (SC 37). Kutipan

tersebut dilengkapi dalam SC 40 yang mengafirmasi kriteria penting dan

mendesaknya pembaruan Liturgi secara mendalam. Dengan demikian,

terkait dengan kaidah kultural, Gereja menempatkan aspek kesadaran dan

partisipasi aktif umat beriman sebagai kriteria awal dalam usaha memberi

penghargaan pada budaya masing-masing jemaat.

Dalam SC 38-39, seraya mempertahankan prinsip kesatuan hakiki

dengan ritus Romawi, Konsili memberi tempat kepada kemajemukan

bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan pelbagai kelompok, daerah,

dan bangsa, terutama di daerah-daerah Misi. Terkait dengan kebijakan ini,

Konsili pun memberi tempat pada dimungkinkannya

(51)

sakramentali, perarakan, bahasa Liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal

saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam SC.

Pada kenyataannya, contoh-contoh inkulturasi liturgi yang terjadi

menurut tahap ini tidak banyak, misalnya saja: liturgi Ekaristi ritus Zaire

dan ritus India. Selain itu, contoh inkulturasi liturgi yang sangat jelas dapat

dilihat pada zaman Gereja Perdana, menggunakan unsur dan struktur

upacara agama Yahudi (misalnya: pembaptisan, liturgi sabda, Ekaristi,

pengurapan orang sakit penumpangan tangan dan pesta-pesta Yahudi),

namun unsur dan struktur upacara liturgi Yahudi tersebut mendapat arti

(52)

Pada Bab III ini penulis akan memberikan uraian berdasarkan kenyataan

yang terjadi di Paroki Kristus Raja Cigugur, setelah sebelumnya diuraikan

mengenai inkulturasi dan Perayaan Ekaristi. Adapun garis besar yang dibicarakan

dalam Bab III ini adalah gambaran umum Paroki Kristus Raja Cigugur dan

penelitian tentang inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja

Cigugur.

Dalam sub-bab mengenai gambaran umum Paroki Kristus Raja Cigugur,

akan dipaparkan letak geografis, situasi umat Paroki Kristus Raja Cigugur dan

kekhasan yang ada dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur. Hal

ini penting sekali untuk diuraikan karena mengungkapkan kondisi Paroki Kristus

Raja Cigugur secara nyata dan jelas. Sedangkan dalam sub-bab kedua, mengenai

penelitian tentang inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja

Cigugur, penulis akan memaparkan mengenai latar belakang dan metodologi

penelitian. Menurut penulis, penelitian ini penting sekali untuk diadakan karena

dalam penelitian akan dapat ditemukan masalah-masalah yang membuat

kurangnya pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi yang inkulturatif.

Dengan demikian, akan diusulkan pula suatu upaya yang dapat membantu umat

(53)

A. GAMBARAN UMUM PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR

Paroki Kristus Raja Cigugur merupakan bagian dari wilayah pastoral

Keuskupan Bandung yang menyimpan dua alur sejarah yang sangat penting.

Pertama, Cigugur menjadi basis hidup dan perkembangan bagi sebuah

kehidupan religius lokal, yaitu Agama Djawa Sunda (ADS). Kedua,

religiusitas lokal ini akan menjadi basis bagi sebuah religiusitas universal,

yaitu Katolik. Dua hal inilah yang membuat Cigugur menjadi khas dan

penting dalam peziarahan iman Keuskupan Bandung.

1. Letak Geografis Paroki Kristus Raja Cigugur

Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur merupakan sebuah paroki yang

terdapat di Desa Cigugur, tepatnya di Jl. RS. Sekar Kamulyan no.7

Cigugur, sekitar 3 km dari kota Kuningan ke arah barat. Cigugur juga

merupakan sebuah Kecamatan yang terletak di kaki Gunung Ciremai dan

termasuk dalam daerah tingkat II Kabupaten Kuningan, Jawa Barat,

dengan ketinggian rata-rata 700 – 850 meter di atas permukaan laut. Desa

Cigugur dibatasi oleh Kabupaten Cirebon dari arah utara, Kabupaten

Ciamis dari arah selatan, Kabupaten Majalengka dari arah barat, dan

Kabupaten Ciledug dari arah timur. Gereja Kristus Raja Cigugur sendiri

dalam bilangan Gereja Katolik Indonesia merupakan sebuah paroki dalam

lingkup Keuskupan Bandung.

Paroki Kristus Raja Cigugur memiliki wilayah yang sangat luas.

(54)

Cirebon, Paroki Tasikmalaya, dan Paroki Garut. Wilayah Paroki Cigugur

sendiri pada awalnya terdiri dari 15 stasi, yaitu Cigugur – Cipari,

Cisantana – Pasir, Cibunut – Tagog, Sukamulya, Talahab, Kuningan,

Susuru, Subang – Kancana, Wedang Temu, Pugag, Winduhaji,

Kramatmulya, Cikondang – Cibapang, Luragung, dan Cidadap.

2. Situasi Umat Paroki Kristus Raja Cigugur a. Sejarah Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur

Sejarah Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur merupakan salah satu

sejarah kehadiran Gereja yang unik di Tatar Sunda. Tentang sejarah paroki

ini dapat saja dihubungkan dengan peristiwa misi yang berlangsung

ratusan tahun di nusantara. Artinya, kehadiran Gereja Paroki Kristus Raja

Cigugur dapat merupakan buah misi yang telah berlangsung lama. Namun

di sisi lain, rupanya kehadiran Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur dapat

dilihat dari perspektif pergulatan masyarakat setempat. Inilah yang

membuatnya unik dalam perjalanan sejarah Gereja di sana. Yang

dimaksud di sini adalah terjadinya Peristiwa Cigugur, tahun 1964, yakni

peristiwa pembubaran Agama Djawa Sunda (ADS) oleh pemimpinnya,

Pangeran Tedja Buana. Peristiwa ini mengejutkan tidak hanya masyarakat

lokal sekitar Kuningan dengan Cigugur sebagai pusat ADS, melainkan

Jakarta (sebagai simbol pusat pemerintahan nasional) dan Roma (sebagai

simbol pusat Kekatolikan). Pasalnya pasca membubarkan organisasi ADS,

(55)

dibaptis, sebagaimana termuat dalam surat pernyataannya, tertanggal 21

September 1964. Dan, pasca keputusan itu, serentak ribuan umat

eks-ADS, yang tersebar di berbagai wilayah di Tatar Sunda, mendaftarkan diri

sebagai katekumen, yang jumlahnya sekitar 5.000-an, di daerah Cigugur

dan sekitarnya tercatat sekitar 1.770 kepala keluarga.

Masuknya umat eks-ADS ke dalam Gereja Katolik, selain karena

bentuk kesetiaan kepada pemimpinnya yang disebut sebagai panutan, juga

karena adanya ajaran-ajaran dalam ADS yang paralel dengan tradisi dalam

Gereja Katolik: perkawinan monogami, tidak disunat, ajaran welas asih,

dll. Selain itu, adanya penafsiran atas wahyu Camara Bodas yang telah

diungkapkan oleh pemimpin terdahulu, Kyai Madrais atau Pangeran

Sadewa Alibasa Kusuma Wijayaningrat, sebagai Kristus menurut

Pangeran Tedja Buana. Hal semacam ini dapat dimaknai sebagai salah satu

keberhasilan Gereja dalam inkulturasi, kendati agama Katolik terbilang

sebagai agama yang baru di Cigugur pada saat itu. Oleh karena itu,

ajaran-ajaran ADS yang sudah ada tersebut semakin dimaknai dan dijiwai

semangat Kristiani.

Sebagai komunitas religius lokal, yang berpengikut ribuan, ADS

berhadapan dengan komunitas religius lain yang diakui oleh pemerintah

secara resmi, khususnya Islam. Hubungan dengan Islam ini tidak

selamanya berjalan baik; hal ini telah berlangsung sejak ADS didirikan,

1848 (27 Jumadilakhir). Berbagai tekanan dialami oleh komunitas ADS

(56)

Madrais harus mengalami pembuangan dan penjara, maupun dari kalangan

pribumi yang anti-ADS. Dan puncak dari berbagai tekanan yang

berlangsung selama itu adalah terjadinya Peristiwa Cigugur pada tahun

1964.

Peristiwa Cigugur berawal dari kesalahpahaman yang terjadi antara

anggota ADS dengan kalangan Muslim tertentu, dalam hal pernikahan.

Dan kemudian peristiwa lain menyusul, yakni Peristiwa Kamid (seorang

ADS) yang dianggap menghina Al-Quran, karena bersumpah dengan

Kitab tersebut tetapi salah menempatkannya. Akhirnya, tekanan-tekanan

berlangsung, misalnya Kamid yang dituntut dan diadili di pengadilan,

diantaranya oleh PAKEM daerah Kuningan, No.01/ SKPTS/ BK.PAKEM/

K.p./ VI/64 (Iman Sukmana, 2006: 53).

Dampak selanjutnya adalah seluruh anggota komunitas ADS

dihadapkan pada kenyataan ADS yang dicap agama terlarang oleh

masyarakat Muslim ortodoks dan tekanan pemerintah setempat.

Menyikapi peristiwa ini, sebagai pemimpin ADS, P. Tedja Buana, yang

sedang sakit-sakitan dan di antaranya sempat menyepi di pastoran Paroki

St. Yosep Cirebon, mengambil keputusan untuk membubarkan organisasi

ADS. Keputusan itu diambil setelah ia menerima wahyu yang merupakan

jawaban atas wahyu Camara Bodas, tanggal 21 September 1964.

Wahyu Camara Bodas itu berbunyi: “Isuk jaganing geto anjeun

bakal baris nyalindung handapeun camara bodas anu bakal ngabeberes

(57)

berlindung di bawah Camara Bodas yang akan menata alam dunia. Wahyu

Camara Bodas itu dimaknai sebagai Kristus oleh P. Tedja Buana, sehingga

berbunyi: “Isuk jaganing geto anjeun bakal nyalindung handapeun

Kristus anu bakal ngabeberes alam dunya”. Menurut Nursananingrat

(1977: 24), alasan-alasan yang mendorong pimpinan ADS masuk Gereja

Katolik diantaranya ialah: karena ajaran atau hukum Kristiani lebih dekat

persamaannya dengan ajaran ADS, misalnya ajaran cintakasih,

perkawinan, tidak disunat dll. Oleh karena itu, Camara Bodas lebih

dimaknai sebagai Hukum Perjanjian Baru atau Hukum Kristus. Sedangkan

menurut pandangan penulis, pemaknaan wahyu Camara Bodas sebagai

Kristus tidak terlepas dari berbagai tekanan yang dihadapi oleh pengikut

ADS pada waktu itu. Perlu ditekankan kembali bahwa awal dari peristiwa

pembubaran ADS adalah karena adanya kesalahpahaman dengan para

pengikut Islam yang berbuntut panjang. Pada saat itu, P. Tedja Buana

sebagai pemimpin ADS, yang kebetulan sedang sakit, mengamankan

dirinya di pastoran Santo Yosep Cirebon. Hal ini sedikit banyak

memberikan pengaruh kepada P. Tedja Buana. Atau dengan kata lain, P.

Tedja Buana terkesan dengan kebaikan para Pastor di Paroki Santo Yosep

Cirebon sehingga muncul ketertarikan terhadap ajaran-ajaran Katolik.

Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa pemaknaan wahyu Camara

Bodas sebagai Kristus dikaitkan dengan simbol pohon cemara putih yang

Gambar

Tabel 1. Data statistik
Tabel 2. Variabel Penelitian
Tabel 3. Identitas Responden (N=20)
Tabel 4. Pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi (N=20)

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan telah selesainya evaluasi kualifikasi terhadap penawaran yang telah disampaikan kepada Pokja VI [enam] KLP Kabupaten Tapin, maka bersama ini kami

Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel Matematis, Pemecahan Masalah Matematis, dan Self Esteem Siswa SMP melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Open Ended..

Bagi para pelatih dalam proses latihan agar mencoba latihan ladder drill. sebagia varian latihan untuk meningkatkan kemampuan kelincahan

Kesimpulan ini akan mencakup (a) Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren Modern Mathla’ul Huda Bandung; (b) Perencanaan program pendidikan karakter kedisiplinan di Pondok

Apabila teman-teman bertanya kepada saya : “Mengapa kita harus berbakti kepada orang tua ?”.. Kata pak ustadz, kita harus berbakti kepada orang tua karena Allah

[r]

mengungkapkan / operasi pasar yang dilakukan disesuaikan dengan hari pasaran / sehingga masyarakat dapat langsung membeli beras dari bulog tersebut // Dari data bulog menurut Murino

Kisi-kisi penelitian yang dilihat dari aspek ini adalah sejauhmana kondisi penurunan kunjungan wisatawan ke Tana Toraja berdasarkan persepsi pelaku wisata di Tana Toraja