S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Progam Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
DANIAL DODI NIM : 051124023PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
dan kakakku Kristianus Purnomo,
yang selalu memberikan doa dan dukungannya kepada penulis,
Christina Desy Priandari yang selalu bersedia membantu penulis dan
memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini,
sahabat-sahabatku di IPPAK angkatan 2005,
v
“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam
perkara-perkara besar”
viii
penulis terhadap kebudayaan Sunda, khususnya yang diinkulturasikan dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur. Namun dalam ketertarikan itu mulai muncul keprihatinan, antara lain kurangnya minat kaum muda untuk mendalami inkulturasi maupun kebudayaan tradisional. Selain itu, pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi sepertinya masih kurang karena Perayaan Ekaristi masih dianggap sebagai suatu kewajiban atau rutinitas belaka. Inkulturasi, yang pada awalnya ditujukan untuk membantu umat Paroki Kristus Raja Cigugur dalam memahami makna Perayaan Ekaristi, menjadi kurang bisa dipahami bahkan mengaburkan pemahaman akan keseluruhan Perayaan Ekaristi.
Istilah inkulturasi sendiri sebenarnya merupakan proses humanisasi diri dengan kebudayaan setempat. Bagi orang Sunda di Cigugur, proses humanisasi itu adalah menjadi orang Sunda seutuhnya. Sedangkan dalam Perayaan Ekaristi proses tersebut lebih mendalam, yaitu menjadikan Perayaan Ekaristi sebagai bagian dari umat dan mengakar dalam diri umat sehingga umat memiliki kerinduan untuk ikut ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah, yang terungkap secara nyata dalam Perayaan Ekaristi. Bahkan diharapkan bahwa Perayaan Ekaristi mampu menyentuh inti hidup umat yang paling dalam.
x
Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji, karena atas kasih dan penyertaanNya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul INKULTURASI
SEBAGAI JALAN BAGI UMAT PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR
DALAM MEMAHAMI MAKNA PERAYAAN EKARISTI ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Ilmu Pendidikan
Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta. Penulis memilih judul skripsi tersebut dengan harapan dapat
memberi sumbangan pemikiran untuk umat, khususnya kaum muda di Paroki
Kristus Raja Cigugur dalam memahami dan menghayati makna Perayaan Ekaristi.
Selain itu, penulis menganggap perlu untuk mengangkat suatu tema tentang
kebudayaan dan Perayaan Ekaristi karena dianggap sejalan dengan perkembangan
dan kebutuhan umat dewasa ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa adanya
pendampingan, bimbingan, bantuan dan arahan dari segenap pihak. Oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
kepada:
1. Rm. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, SJ, M.Ed., selaku dosen
pembimbing utama yang telah memberikan perhatian, waktu dan
sumbangan pemikiran dengan penuh kesabaran dan perhatian. Terima
kasih untuk masukan dan kritiknya sehingga penulis merasa dikuatkan dari
xi
3. Bapak Yosep Kristianto, SFK, selaku dosen penguji ketiga yang juga
selalu memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis untuk segera
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik dan memberi
dukungan kepada penulis selama belajar hingga penulisan skripsi ini.
5. Segenap Staf Sekretariat, Perpustakaan dan seluruh karyawan IPPAK yang
telah memberikan dukungan, tegur sapa dan perhatiannya.
6. Rm. Martasudjita, Pr, yang ikut memberikan masukan yang
sungguh-sungguh berguna bagi penulis.
7. Rm. Y. Abukasman, OSC, selaku Pastor Paroki Kristus Raja Cigugur,
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan
penelitian.
8. Rm. Antoon Rutten, OSC, yang juga selalu memberikan perhatian kepada
penulis dan membukakan pintunya lebar-lebar, sehingga mempermudah
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas buku-buku
tentang sejarah Paroki Cigugur yang telah dipinjamkan kepada penulis.
9. Bapak, Mamah, Aa, dan seluruh keluargaku tercinta. Terima kasih atas
cinta, doa, dan dukungan yang boleh penulis terima.
10.Keluarga di Ambarawa, yang memberikan masukan dan dukungan bagi
xii
12.Sahabat-sahabatku angkatan 2005/2006 di IPPAK; Christina Desy
Priandari, Agustina Eri Susanti, Lisnawati Br. Pinem, Henrika Jamlean,
Almatia Nuri, Magdalena Mada Hede, Lusia Windu Andari, Haryanto,
Yohanes Pratamto Henri dll, yang telah banyak membantu dan
memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13.Sahabat-sahabatku di Cigugur; Fransiskus Yanuar Triwacana, Antonius
Satia, dll, yang juga ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini.
14.Segenap responden yang telah memberikan waktunya untuk diwawancarai,
sehingga penulis memperoleh data yang cukup lengkap dan representatif.
15.Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih
atas doa dan dukungannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa karya yang tidak sempurna ini masih
menyisakan kekurangan di sana-sini. Oleh sebab itu, kiranya tiada gading yang
tak retak karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Dengan rendah hati, penulis
mengharapkan masukan berupa kritik atau saran yang membangun. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Yogyakarta, 15 September 2009
Penulis
xiii
PENGESAHAN ... iii
PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
A. Latar Belakang Penulisan... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penulisan... 5
D. Manfaat Penulisan... 6
E. Metode Penulisan ... 6
F. Sistematika Penulisan ... 7
BAB II. INKULTURASI DALAM PERAYAAN EKARISTI ... 9
A. Inkulturasi ... 9
1. Pengertian dan Hakikat Inkulturasi ... 9
2. Dasar Inkulturasi ... 17
3. Tujuan Inkulturasi ... 18
B. Perayaan Ekaristi ... 21
1. Makna Perayaan Ekaristi ... 21
2. Tata Perayaan Ekaristi... 24
C. Tahap-tahap Inkulturasi Liturgi dalam Perayaan Ekaristi ... 28
BAB III.INKULTURASI KEBUDAYAAN SUNDA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR ... 35
A. Gambaran Umum Paroki Kristus Raja Cigugur ... 36
xiv
B. Penelitian tentang Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki
Kristus Raja Cigugur... 47
e. Instrumen Pengumpulan Data ... 52
f. Metode Pembahasan Data Penelitian ... 54
3. Laporan dan Pembahasan hasil Penelitian ... 54
a. Responden ... 54
b. Pemahaman Umat akan Makna Perayaan Ekaristi... 55
c. Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi... 69
4. Kesimpulan Hasil Penelitian ... 76
BAB IV. KATEKESE INKULTURATIF DALAM RANGKA MENINGKATKAN PEMAHAMAN UMAT AKAN MAKNA PERAYAAN EKARISTI ... 78
A. Katekese Inkulturatif... 78
1. Hakikat dan Tujuan Katekese ... 78
2. Mengusahakan Katekese Inkulturatif... 82
B. Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Salah Satu Model Katekese Inkulturatif... 87
1. Komponen-komponen Pokok SCP ... 88
a. Shared ... 88
b. Christian ... 89
c. Praxis ... 90
2. Langkah-langkah SCP... 91
a. Langkah I: Pengungkapan praksis faktual ... 91
b. Langkah II: Refleksi kritis pengalaman faktual ... 92
xv
Kerajaan Allah di dunia ... 96
C. Usulan Program Katekese ... 97
1. Latar Belakang Penyusunan Program Katekese ... 97
2. Alasan Pemilihan Tema ... 98
3. Penjabaran Program Katekese... 99
4. Contoh Usulan Katekese ... 102
BAB V. PENUTUP... 116
A. Kesimpulan ... 116
B. Saran... 119
DAFTAR PUSTAKA ... 120
LAMPIRAN... 122
Lampiran 1: Daftar Pertanyaan Panduan Wawancara ... (1)
Lampiran 2: Deskripsi Hasil Penelitian ... (2)
Lampiran 3: Peta Keuskupan Bandung ... (18)
xvi
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan
kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama
Republik Indonesia dalam rangka PELITA III). Ende: Arnoldus, 1981, hal 8.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
CT: Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II
kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese
masa kini, 16 Oktober 1979.
SC: Sacrosanctum Concilium, Konstitusi tentang Liturgi Suci, 4 Desember
1965.
C. Singkatan Lain
ADS: Agama Djawa Sunda
Art: Artikel
bdk: bandingkan
dkk: dan kawan-kawan
dll: dan lain-lain
GKP: Gereja Kristen Pasundan
KWI: Konfrensi Waligereja Indonesia
xvii
P dan K: Pendidikan dan Kebudayaan
PACKU: Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang
PAKEM: Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat
PKKI: Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
PUMR: Pedoman Umum Misale Romawi
PWI: Panitia Waligereja Indonesia
SCP: Shared Christian Praxis
A. Latar Belakang Penulisan
Perkembangan globalisasi dewasa ini ternyata membawa pengaruh
yang cukup besar bagi peradaban manusia pada umumnya. Dampak dari
perkembangan ini juga begitu terasa di Indonesia. Dalam hal kebudayaan, kita
tidak bisa menyangkal lagi bahwa sedikit banyak kita sudah terpengaruh oleh
kebudayaan barat. Bahkan kebudayaan asli yang telah lama tumbuh dan
berkembang di negeri ini semakin lama semakin menyusut. Kebudayaan asli
ini seringkali dipandang sebagai kebudayaan yang primitif atau tidak relevan
lagi dengan zaman yang sudah maju ini. Hal ini dapat dilihat dengan semakin
sedikitnya orang yang mau belajar atau mempertahankan kebudayaan
daerahnya. Untuk sekarang ini, sepertinya bukan hal yang aneh jika seseorang
tidak menguasai dan memahami bahasa daerahnya sendiri. Fenomena
semacam ini terjadi di berbagai pelosok di Indonesia yang terkenal dengan
kekayaan budayanya. Oleh karena itu, untuk beberapa tahun terakhir ini, di
beberapa daerah di Indonesia sedang digalakkan kembali studi mengenai
kebudayaan daerah. Dengan tujuan untuk menjaga kebudayaan asli Indonesia
dan agar kebudayaan yang telah ada tersebut tidak hilang begitu saja.
Begitu juga dengan Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan II yang
semakin membuka diri terhadap dunia, atau dengan kata lain memberikan
pendekatan lewat kebudayaan jemaat setempat dengan tujuan agar Gereja
Katolik semakin diterima oleh dunia. Dengan demikian kebudayaan menjadi
salah satu jalan bagi Gereja untuk menginkulturasikan tradisi dan
ajaran-ajarannya agar semakin diterima dan dipahami oleh umat. Sebagai contoh,
para misionaris yang dahulu datang di Indonesia untuk mewartakan Injil, pada
awalnya mereka mempelajari budaya umat Indonesia, termasuk di dalamnya,
bahasa, tradisi, ataupun unggah-ungguh. Lewat pendekatan tersebut, ternyata
membuat sebagian besar orang di Indonesia memahami dan tertarik pada
ajaran Kristiani, sehingga pada akhirnya memutuskan untuk menjadi Katolik.
Seiring berjalannya waktu, kebudayaan daerah semakin lama semakin
kurang dikenal orang dan dinilai kuno, sehingga inkulturasi kebudayaan dalam
Gereja pun semakin pudar dan makna inkulturasi itu pun semakin kabur. Yang
paling jelas dapat dilihat adalah dalam perayaan Ekaristi. Pada mulanya
inkulturasi kebudayaan dalam perayaan Ekaristi tersebut dimaksudkan agar
umat Kristiani lebih mampu menghayati Ekaristi lewat kebudayaannya
masing-masing. Namun, pada kenyataannya, tidak semua umat Kristiani di
Indonesia sekarang memahami kebudayaan daerahnya secara jelas. Dengan
kata lain, inkulturasi kebudayaan dalam perayaan Ekaristi seolah-olah tidak
begitu penting untuk tetap dipertahankan. Apalagi dalam masa Paus
Benediktus XVI sekarang ini penggunaan bahasa setempat untuk teks-teks
terjemahan harus benar-benar disesuaikan dengan bahasa aslinya. Sebagai
contoh, tidak semua gereja yang ada di Keuskupan Bandung menggunakan
masih tetap menggunakan bahasa Sunda dalam perayaan Ekaristi, dengan
alasan bahwa tidak semua umat Katolik di Keuskupan Bandung adalah orang
Sunda. Di luar itu, gereja-gereja di Keuskupan Bandung lebih dominan
menggunakan bahasa Indonesia dalam perayaannya. Lalu, bagaimana dengan
umat Katolik di Keuskupan Bandung yang berasal dari Sunda?
Jika kita berbicara mengenai orang Sunda Katolik di Keuskupan
Bandung, maka penulis akan mengawalinya dari Cigugur, tempat di mana
terdapat umat Katolik yang benar-benar berasal dari orang-orang Sunda dan
sekaligus merupakan jantung dari kebudayaan Sunda, di mana tradisi-tradisi
dan kebudayaan yang sudah ada masih dipelihara dan terus diperkembangkan.
Hal ini tidak dapat terlepas dari sejarah munculnya umat Katolik Cigugur ini.
Mereka merupakan peralihan dari penganut ADS (Agama Djawa Sunda),
sehingga sedikit banyak, umat Katolik Cigugur ini, yang hidup dalam
lingkungan kebudayaan Sunda Cigugur, telah dihidupi oleh adat-istiadat dan
kebudayaan tersebut. Nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan Sunda telah
tertanam dalam jiwa mereka. Dengan demikian, keseluruhan hidupnya tidak
bisa dipisahkan dari kebudayaan Sunda, termasuk cara menghayati iman
Kristiani mereka. Hal ini tentu saja membuka peluang yang lebar bagi Gereja
Katolik untuk masuk ke dalam jiwa umat Katolik Cigugur lewat kebudayaan
mereka. Atau dengan kata lain kebudayaan Sunda menjadi pintu gerbang bagi
Gereja Katolik untuk masuk dan memahami umat Katolik Cigugur. Begitu
juga sebaliknya, umat Katolik Cigugur akan mampu menerima dan memahami
Oleh karena itu, baik untuk disadari bahwa inkulturasi kebudayaan
daerah dalam gereja, khususnya dalam perayaan Ekaristi, sedikit banyak telah
berperan dalam memperkembangkan iman umat dan membantu umat dalam
menghayati perayaan Ekaristi. Lewat inkulturasi kebudayaan dalam perayaan
Ekaristi, sebagian besar umat telah terbantu untuk memahami makna Ekaristi
yang menjadi puncak dalam hidup Kristiani. Hal ini juga membuat sebagian
umat ingin mempertahankan nilai-nilai dari inkulturasi tersebut, walaupun
sebagian lainnya menganggap bahwa inkulturasi tidak begitu relevan lagi
dalam perayaan Ekaristi pada masa sekarang.
Berawal dari keprihatinan tersebut, penulis mencoba menggali lagi
nilai-nilai inkulturasi kebudayaan yang ada dalam perayaan Ekaristi. Karena
penulis menganggap bahwa inkulturasi merupakan bagian dari karya
pelayanan Gereja sekaligus menjadi bagian dari perkembangan Gereja Katolik
di Indonesia. Tanpa adanya inkulturasi dalam proses pewartaan ini, belum
tentu orang mampu memahami ajaran dan tradisi-tradisi Kristiani secara utuh
dan menyeluruh. Proses pewartaan pun tentu saja tidak akan menyentuh hati
jemaat sampai ke bagian yang paling dalam, apalagi sampai umat mampu
mencintai dan mengikuti Yesus Kristus dengan sepenuh hati, jiwa dan tenaga
mereka. Bagaimana umat mampu menghayati Injil secara benar jika umat
sendiri tidak mampu menerima ajaran-ajaran Kristiani yang diberikan?
Melalui inkulturasi, umat diperkenalkan dengan iman Kristiani sesuai dengan
tradisi ataupun nilai-nilai kebudayaan yang mereka miliki, sehingga iman
menjadi identitas bagi umat-umat Kristiani di manapun juga. Oleh sebab itu,
inkulturasi menjadi hal yang sangat penting bagi perkembangan Gereja
Katolik di Indonesia sampai saat ini, sehingga nilai-nilai yang ada di dalamnya
tentu saja harus tetap dijaga dan dipertahankan terus menerus karena masalah
inkulturasi merupakan masalah umat dalam usaha mengerti dan menjalani Injil
dalam setiap situasi hidupnya. Kiranya dengan adanya tulisan ini, umat akan
lebih mampu memahami Ekaristi lewat kebudayaan masing-masing, sehingga
secara langsung umat juga akan semakin memahami dan menghargai
kebudayaan daerah yang ada.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi?
2. Unsur-unsur kebudayaan Sunda macam apa saja yang dapat
diinkulturasikan dalam perayaan Ekaristi?
3. Bagaimana katekese inkulturatif digunakan sebagai jalan bagi umat
Kristiani di Paroki Kristus Raja Cigugur dalam menghayati makna
perayaan Ekaristi?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai lewat tulisan ini adalah :
1. Memaparkan gambaran mengenai inkulturasi dalam gereja Katolik,
2. Memaparkan unsur-unsur kebudayaan Sunda yang dapat diinkulturasikan
dalam perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur.
3. Memaparkan peranan katekese inkulturatif dalam membantu umat Paroki
Kristus Raja Cigugur menghayati makna perayaan Ekaristi.
4. Memenuhi syarat kelulusan program pendidikan Strata 1 (S1) di prodi Ilmu
Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan skripsi dengan judul ”Inkulturasi sebagai Jalan
bagi Umat Paroki Kristus Raja Cigugur dalam Memahami Makna Perayaan
Ekaristi” adalah :
1. Supaya penulis memiliki pengalaman, pengetahuan dan wawasan baru
baik dalam hal liturgi yang inkulturatif maupun dalam memahami
kebudayaan Sunda.
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi umat Katolik di Paroki Kristus
Raja Cigugur pada khususnya, dan umat Katolik lain pada umumnya,
dalam memahami makna Perayaan Ekaristi lewat kebudayaan mereka.
E. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan metode
deskriptif analisis yaitu memaparkan dan menganalisis permasalahan yang ada
menggunakan studi pustaka serta mencari sumber-sumber yang relevan dan
mendukung.
F. Sistematika Penulisan
Tulisan ini mengambil judul ”Inkulturasi sebagai Jalan bagi Umat
Paroki Kristus Raja Cigugur dalam Memahami Makna Perayaan Ekaristi” dan
dikembangkan ke dalam lima bab :
Bab I. Pendahuluan
Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan,
rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode
penulisan dan sistematika penulisan
Bab II. Inkulturasi Kebudayaan dalam Perayaan Ekaristi
Dalam bab kedua ini penulis menyajikan materi mengenai pengertian dan
hakikat inkulturasi, dasar inkulturasi, tujuan inkulturasi, makna Perayaan
Ekaristi, Tata Perayaan Ekaristi dan Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi yang
secara khusus membahas tentang tahap-tahap inkulturasi liturgi.
Bab III. Inkulturasi Kebudayaan Sunda dalam Perayaan Ekaristi di Paroki
Kristus Raja Cigugur
Dalam bab ini penulis menyajikan gambaran Paroki Kristus Raja Cigugur
secara umum dan penelitian mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di
Paroki Kristus Raja Cigugur.
Bab IV. Katekese Inkulturatif dalam Rangka Meningkatkan Pemahaman Umat
Dalam bab ini penulis menyajikan mengenai katekese inkulturatif, Shared
Christian Praxis (SCP) sebagai salah satu model katekese yang inkulturatif
dan usulan program katekese.
Bab V. Penutup
Dalam Bab II ini disajikan landasan-landasan teori yang mendukung dan
mendasari gagasan-gagasan penulis yang telah dituangkan dalam Bab I.
Kedudukan Bab II dalam keseluruhan skripsi ini adalah mengkaji teori-teori
mengenai Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Adapun Bab II ini disusun dari tiga
sub-bab yang berisi tentang Inkulturasi, Perayaan Ekaristi dan Inkulturasi dalam
Perayaan Ekaristi. Sub-bab Inkulturasi menyajikan pengertian dan hakikat
inkulturasi, dasar inkulturasi serta tujuan inkulturasi. Sedangkan dalam sub-bab
mengenai Perayaan Ekaristi akan disajikan perihal makna Perayaan Ekaristi dan
Tata Perayaan Ekaristi. Pada sub-bab ketiga mengenai Inkulturasi dalam Perayaan
Ekaristi, secara khusus akan dibahas mengenai tahap-tahap inkulturasi liturgi.
A. INKULTURASI
1. Pengertian dan Hakikat Inkulturasi
Inkulturasi berasal dari bahasa Latin, in dan cultur-cultura. Kata depan
in mengandung pengertian “(masuk) ke dalam”, sedangkan kata cultur atau
cultura berasal kata kerja colore yang berarti “mengolah tanah”. Pengertian
kultur adalah segala karya yang membantu kehidupan manusia. Sinonimnya
dengan kata lain ialah “kebudayaan”, dari “budi-daya” dan “peradaban” dari
Dengan demikian, istilah inkulturasi, secara umum, dipahami sebagai suatu
usaha Gereja membudaya.
Menurut Martasudjita (wawancara pada tanggal 20 Mei 2009), istilah
inkulturasi dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun
keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena dalam setiap usaha
inkulturasi pasti selalu merangkul budaya setempat. Tetapi tidak semua
penyesuaian budaya dapat disebut inkulturasi. Selain itu, istilah inkulturasi
juga merupakan istilah yang hanya ada dalam tradisi Kristiani yang selalu
menunjuk pada perwujudan Injil Yesus Kristus dalam budaya setempat.
Istilah inkulturasi ini muncul pertama kali dalam literatur misiologis
tahun 1960, yang diperkenalkan oleh seorang dosen di Universitas Gregoriana,
Masson, dalam artikelnya ”L’eglise ouverte sur Le Monde”. Dengan istilah
ini, Masson mau mengungkapkan fakta integrasinya warta keselamatan
Kristen atau Gereja ke dalam kebudayaan kelompok tertentu. Istilah ini untuk
pertama kalinya digunakan dalam dokumen resmi Gereja pada tahun 1977,
yaitu oleh sinode para Uskup di Roma mengenai katekese, yang mengeluarkan
naskah terakhir “Pesan kepada Umat Allah” (Komisi Liturgi MAWI, 1985:
19).
Dokumen De Liturgia Romana et Inculturatione (art. 4) merumuskan
inkulturasi merupakan inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang
otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke
dalam kehidupan Gereja. Dengan kata lain inkulturasi merupakan usaha suatu
penyesuaian tersebut muncul transformasi yang mendalam dari nilai-nilai
budaya asli yang diintegrasikan ke dalam tradisi Kristiani.
Selain itu, beberapa ahli juga telah berusaha merumuskan istilah
inkulturasi ini, salah satunya Giancarlo Collet, yang dikutip oleh Prier (1999:
8) :
Inkulturasi adalah suatu proses yang berlangsung terus dimana Injil diungkapkan di dalam situasi sosio-politik dan religius-budaya sedemikian rupa sehingga ia tidak hanya diwartakan melalui unsur-unsur situasi tersebut, tetapi menjadi suatu daya yang menjiwai dan mengolah budaya tersebut sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja Universal.
Dalam pengertian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
dalam inkulturasi, Injil Yesus Kristus diwujudnyatakan melalui budaya umat
setempat secara terus menerus, sehingga mengakar di dalam kehidupan umat.
Melalui inkulturasi, unsur-unsur budaya umat setempat dirangkul, dimaknai
dan dijiwai oleh Injil Yesus Kristus. Inkulturasi bukanlah suatu proses yang
singkat karena inkulturasi berlangsung terus-menerus dan senantiasa
mengikuti perkembangan umat sesuai dengan konteks zamannya. Proses yang
terjadi terus-menerus ini akan membuat umat semakin mengimani Injil Yesus
Kristus dalam kebudayaannya bahkan mampu menjadi identitas bagi umat di
suatu wilayah tertentu karena telah menjadi satu dengan hidup umat.
Selain Collet, ada pula Crollius (Muda,1992:23) yang merumuskan
inkulturasi sebagai berikut:
dengan itu menciptakan satu persekutuan baru bukan saja dalam kebudayaan tertentu itu melainkan juga sebagai sumbangan untuk Gereja Universal.
Maksudnya adalah bahwa adanya integrasi antara Injil dengan kebudayaan
setempat akan mampu memaknai atau menjiwai kebudayaan setempat
tersebut. Dalam inkulturasi, pengalaman Kristen tidak semata-mata
diekspresikan dalam bentuk kebudayaan setempat saja, tetapi lebih dimaknai
dan dijiwai oleh semangat Injil Yesus Kristus.
Mantan Jenderal Yesuit, Arrupe (Muda,1992:24), merumuskan
inkulturasi sebagai berikut :
Inkulturasi adalah inkarnasi kehidupan dan warta keselamatan Kristen ke dalam kebudayaan tertentu sehingga pengalaman ini tidak hanya menemui ungkapannya atau ekspresinya lewat unsur-unsur kebudayaan tertentu tersebut, melainkan menjadi dasar atau prinsip yang menjiwai, mengarahkan, menyatukan dan mengubahnya kepada satu ciptaan baru.
Dalam misteri inkarnasi, Yesus Kristus turun ke dunia dan mengambil rupa
manusia, sehingga Ia pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan situasi
konkret di sekitarnya. Begitu pula dalam inkulturasi, ketika Injil
diinkulturasikan ke dalam kebudayaan umat setempat, maka keduanya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya saling merangkul dan memperkaya.
Dalam suatu usaha inkulturasi, biasanya tidak banyak dimunculkan
bentuk-bentuk yang baru dalam pengungkapannya, melainkan bentuk-bentuk yang sudah ada
sebelumnya semakin dimaknai dengan Injil Yesus Kristus. Atau dengan kata
lain pembaharuan terjadi dalam makna kebudayaan yang terinkulturasi oleh
Seminar inkulturasi yang diadakan di Yogyakarta, atas kerjasama
dengan Fakultas Misiologi di Gregoriana Roma (Muda,1992:24) merumuskan
inkulturasi sebagai berikut :
Inkulturasi adalah satu proses dimana persekutuan gereja menghidupi iman dan pengalaman Kristennya dalam konteks kebudayaan tertentu, sehingga penghayatan ini tidak hanya dapat diungkapkan lewat elemen-elemen kebudayaan setempat, melainkan menjadi suatu kekuatan yang menjiwai, membentuk, dan secara mendalam membaharui kenyataan itu, sehingga terciptalah pola-pola baru persekutuan, dan komunikasi dalam kebudayaan dan di luar kebudayaan itu sendiri.
Dari pengertian tersebut, dapat dilihat pemaknaan Injil dalam kebudayaan
umat setempat justru mampu menghidupi kebudayaan tersebut. Dengan
adanya pemaknaan tersebut, baik Injil maupun kebudayaan memiliki suatu
kekuatan baru yang semakin membentuk identitas sebuah gereja lokal.
Dari ketiga rumusan inkulturasi tersebut, dapat diambil suatu intisari
bahwa dengan inkulturasi ada pemaknaan baru dalam pengungkapan
kebudayaan setempat. Nilai-nilai dari suatu kebudayaan yang sudah ada
semakin kuat karena dijiwai oleh semangat Injil. Selain itu, usaha Gereja
untuk berinkulturasi dengan kebudayaan setempat juga semakin mengarahkan
dan memperbaharui kebudayaan tersebut sehingga menghasilkan suatu ciptaan
atau kebudayaan baru yang lebih memampukan umat untuk menghayati dan
mewujudkan iman mereka sesuai dengan citarasa umat sendiri. Hal ini sejalan
dengan pendapat Banawiratma, dalam artikelnya ”Menjernihkan Inkulturasi”,
yang dimuat dalam ”Bina Liturgia I: Inkulturasi” (Komisi Liturgi
Inkulturasi bukanlah penerapan kebenaran-kebenaran abstrak dalam situasi konkret. Inkulturasi adalah pergulatan kreatif umat setempat untuk menghayati hidup sebagai ciptaan baru. Ciptaan baru itu bukan hanya pakaian baru, melainkan hubungan kita dengan Yesus Kristus yang hidup
Namun, tentu saja perlu diingat bahwa inkulturasi bukanlah
satu-satunya yang paling penting karena menurut Koendjono, inkulturasi ada demi
penghayatan Kerajaan Allah (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 11). Jadi Kerajaan
Allah tetap menjadi yang terpenting. Karena inkulturasi hanyalah jalan yang
menjembatani antara nilai-nilai budaya dengan nilai-nilai Injili untuk
mencapai penghayatan Kerajaan Allah. Atau dengan kata lain dapat
diungkapkan bahwa umat akan mampu menghayati Injil dan Kerajaan Allah
melalui dan di dalam kebudayaan mereka masing-masing. Maka, apakah suatu
unsur kebudayaan kita dapat dimasukkan dalam penghayatan agama,
tergantung apakah membantu penghayatan agama kita atau tidak. Suatu unsur
kebudayaan bagaimanapun tinggi nilainya kalau tidak membantu tidak baik
dimasukkan sebagai sarana penghayatan agama.
Sebagai contoh, dalam kebudayaan Sunda, dikenal dengan istilah
tangan saé, artinya ketika orang hendak menerima suatu barang maka harus
disambut dengan tangan kanan di atas. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan
penghormatan yang tulus baik kepada orang yang memberikan maupun pada
barang yang diterima, apalagi jika barang tersebut berupa makanan. Di Gereja
Paroki Kristus Raja Cigugur, tradisi ini dianggap baik dan bermakna bagi
penghayatan iman umat. Oleh karena itu, pada saat penerimaan komuni, umat
tangan saé dalam Gereja Katolik di Paroki Kristus Raja Cigugur semakin
dimaknai dengan semangat Injili. Dengan menerima Tubuh Kristus
menggunakan tangan kanan di atas, umat berarti memberikan
penghormatannya kepada Tubuh Kristus. Selain itu, mereka juga dengan
rendah hati menyediakan dirinya untuk bersatu dengan Kristus.
Dari contoh tersebut, dapat dilihat bahwa tradisi umat setempat
ditampung oleh Gereja Katolik, kemudian ditawarkan kepada umat dan umat
pun menerimanya. Dalam hal ini, terjadi dialog antara Gereja dan tradisi umat
setempat sehingga menghasilkan suatu bentuk inkulturasi. Jadi, inkulturasi
merupakan proses dua arah, yakni asimilasi antara warta Kristen dan jalan
hidup Kristen ke dalam kebudayaan kelompok bangsa tertentu. Hal ini juga
bisa dikatakan sebagai penerimaan kebudayaan lokal bersama-sama dengan
kehidupan Kristen lokal ke dalam warta keselamatan. Baik itu warta Kristen
maupun kebudayaan umat setempat, keduanya saling merangkul,
mempengaruhi dan memperkaya. Selain itu, warta Kristen memberikan makna
baru dalam kebudayaan tersebut. Umat pun akan mampu memahami dan
menghayati warta Kristen tersebut melalui kebudayaan mereka. Dengan
demikian terciptalah ciptaan baru atau bentuk baru kesatuan dan persekutuan
dalam gereja lokal dan merupakan sesuatu yang memperkaya gereja universal.
Dalam inkulturasi terjadi suatu interaksi sedemikian hingga budaya lama
maupun budaya baru mengalami suatu transformasi (Prier, 1999: 7). Yang
perlu digarisbawahi di sini adalah dalam suatu interaksi tentu saja hubungan
Inkulturasi juga merupakan relasi dinamis antara warta keselamatan
kristen dengan pelbagai kebudayaan, integrasi kehidupan kristen ke dalam
kebudayaan tertentu, satu proses kontinu dari interpretasi kritis dan timbal
balik serta asimilasi antar keduanya (Muda, 1992 : 34). Oleh karena itu, dalam
inkulturasi selalu ada kerjasama atau hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan baik bagi kebudayaan setempat maupun bagi tradisi-tradisi
Kristiani. Keduanya tentu saja tidak dapat dipisahkan ataupun berjalan
sendiri-sendiri. Karena kedua hal tersebut merupakan inti dari inkulturasi dalam
Gereja. Inkulturasi hanya akan terjadi apabila ada dialog timbal balik antara
tradisi-tradisi Kristiani dengan kebudayaan setempat.
Pada hakikatnya inkulturasi merupakan perjumpaan yang bersifat
berkelanjutan antara iman Kristiani dengan kebudayaan, dan Yesus Kristus
sebagai pusatnya. Dengan demikian dalam proses inkulturasi harus nampak
bagaimana jemaat di dalam pergulatan hidupnya sehari-hari mengimani
Kristus dan menemukan kehadiranNya dalam segala aspek kehidupannya.
Pernyataan tersebut juga didukung dengan penegasan dari Lane (Heryatno,
2000: 124) bahwa pada intinya inkulturasi merupakan perjumpaan antara
kebudayaan dan Injil yang saling mengisi, mempengaruhi dan membentuk.
Oleh karena itu, budaya dan Injil tidak bisa dipisahkan, seperti diungkapkan
oleh Paus Paulus VI bahwa pemisahan antara Injil dan kebudayaan merupakan
drama hidup jemaat yang tidak dapat dilupakan. Inilah yang disebut sebagai
hakikat inkulturasi, yaitu membantu jemaat Kristiani agar iman mereka
seluruh pengalaman pergulatan mereka. Karena iman yang belum menjadi
kebudayaan merupakan iman yang belum sepenuhnya diterima dan dihidupi
secara sungguh-sungguh oleh umat (Heryatno, 2000: 123). Atau dengan kata
lain iman seseorang harus benar-benar tercermin dalam kesehariannya.
Hal ini tentu saja akan menghasilkan dampak yang begitu positif bagi
umat Kristiani. Mereka akan semakin mampu membangun hidup berimannya
maupun komunitasnya. Selain itu, mereka juga semakin memiliki iman
Katolik yang menyatu dan mengakar pada kebudayaan dan nilai-nilai setempat
yang mereka yakini bersifat positif, karena telah terbukti berharga bagi
perjuangan kehidupan mereka. Dengan demikian, dapat ditegaskan kembali
bahwa inkulturasi sungguh berkaitan dengan praksis atau keterlibatan jemaat
di dalam menghayati Injil Yesus Kristus menurut kebudayaan mereka sendiri.
Dalam sebuah artikel mengenai ”Katekese sebagai Salah Satu Momen
Penting dalam Inkulturasi”, Heryatno (2000: 121) menyatakan bahwa
inkulturasi merupakan kenyataan yang bersifat kompleks yang hakikatnya
tidak akan dimengerti dengan baik apabila hanya digali berdasarkan konsep
yang semata-mata bersifat teoritis. Inkulturasi sejati harus berangkat dari
konteks praksis sosio-kultural jemaat atau dengan kata lain inkulturasi harus
bertolak dari budaya setempat (Martasudjita, 1999: 88).
2. Dasar Inkulturasi
Dasar inkulturasi yang pertama kali dipikirkan ialah misteri inkarnasi
dalam permulaan Injil Yohanes (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 39). Dalam
misteri inkarnasi ini, Yesus mengenakan kodrat manusia atau dengan kata lain
hidup Allah sendiri menginkulturasi dalam adat kebudayaan manusia. Namun,
hal ini tentu saja belum begitu mencukupi, pendasaran inkulturasi tidak boleh
berhenti pada misteri inkarnasi saja. Pusat pengalaman Kristiani tidak boleh
dilupakan, yakni Dia yang telah disalibkan bangkit kembali. Hal ini juga
diungkapkan oleh Martasudjita (1999:81) bahwa dasar teologi inkarnasi ialah:
Misteri kasih trinitaris yang diwahyukan dalam rangka sejarah dan mengalami puncak dan kepadatannya dalam peristiwa Yesus Kristus, dimana Sang Putera menjadi manusia (inkarnasi) dan menerima konsekuensi terakhirnya sebagai manusia: wafat, namun kemudian dibangkitkan oleh Bapa dalam Roh Kudus (misteri paskah).
Dengan dasar tersebut, unsur budaya setempat diangkat dan diterima
oleh Injil sebagai media dialog keselamatan Allah dan manusia. Dan dengan
dasar misteri Paskah (inkarnasi), unsur budaya setempat ditebus dan
diperbaharui oleh Injil Yesus Kristus. Dengan demikian dapat dilihat bahwa
inkulturasi mengungkapkan betapa berharga dan bernilainya budaya dan
tradisi umat setempat dalam iman Kristiani (Martasudjita, 1999: 84).
3. Tujuan Inkulturasi
Adapun yang menjadi tujuan dari inkulturasi adalah agar umat semakin
mengenali, mencintai dan mengikuti Yesus Kristus dengan sepenuh jiwa, hati,
dan tenaga menurut kebudayaan dan nilai-nilai pokok hidup umat sendiri.
Dalam konteks liturgi, inkulturasi merupakan pengungkapan / perayaan liturgi
umat yang beribadat. Dengan demikian ”umat yang mengikuti ibadat
terpesona oleh lagu, doa, lambang / hiasan, upacara, karena semuanya
langsung dapat dimengerti; karena semuanya bagus menurut penilaian yang
dipakai dalam hidup kebudayaan setempat” (Prier, 1999: 13). Hal ini tentunya
akan membuat umat semakin mampu memahami segala sesuatu yang ada di
dalam Gereja dan ikut serta terlibat dalam segala bentuk kegiatan hidup
menggereja demi penghayatan imannya akan Yesus Kristus. Penghayatan
iman akan Yesus Kristus ini kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan umat
sehari-hari. Inkulturasi juga secara tidak langsung akan menyelamatkan
adat-kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga
kebudayaan yang diwariskan dari nenek moyang tidak hilang begitu saja,
tetapi semakin dilestarikan.
Di dalam inkulturasi, tidak hanya iman Kristiani yang dipribumikan,
tetapi juga sebaliknya kebudayaan pribumi pun dikristenkan. Dengan artian
bahwa iman Kristiani dapat diterima sebagai milik umat pribumi dan
kebudayaan pribumi pun menjadi bagian dalam Iman Kristiani. Karena
inkulturasi merupakan dialog timbal balik antara iman kristen dan kebudayaan
setempat.
Sebagai contoh, dalam tradisi Sunda Cigugur dikenal ritual khusus
pada malam jumat kliwon. Sebelum agama Katolik masuk ke Cigugur, ritual
ini berlangsung di tempat-tempat khusus yang sudah disucikan. Selain itu,
ritual ini ditujukan kepada leluhur atau arwah-arwah yang sudah meninggal
dimanfaatkan untuk meminta bantuan / pertolongan kepada yang didoakan,
khususnya yang telah meninggal, dengan anggapan bahwa orang yang sudah
meninggal pasti memiliki kesempurnaan. Hal ini dianggap baik oleh Gereja
Katolik pada waktu itu. Ketika agama Katolik mulai berkembang di Cigugur,
tradisi berdoa di malam Jumat Kliwon ini tidak dihilangkan begitu saja dari
masyarakat Cigugur, namun diterima dan diangkat dalam suatu Perayaan
Ekaristi. Gereja Katolik meluruskan dan memaknai ritual tersebut menurut
semangat Injili. Ritual malam Jumat Kliwon pada masa sekarang ini dijadikan
sebagai suatu perayaan syukur kepada Tuhan dan segala doa serta
permohonan pun hanya ditujukan kepada Tuhan.
Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tanpa adanya
dialog antara tradisi Kristiani dengan tradisi umat setempat, maka tidak
mungkin tercipta suatu bentuk inkulturasi yang selaras dan diterima oleh umat
setempat. Namun perlu diingat juga bahwa pelaku/subyek utama dari
inkulturasi adalah umat sendiri. Oleh karena itu, baik tujuan maupun hakikat
inkulturasi selalu bertitik tolak dari konteks praksis yang dialami umat. Selain
itu, proses meresapnya Injil secara mendalam hanya mungkin bila semua umat
melibatkan diri (Komisi liturgi MAWI, 1985: 36). Hal tersebut juga
ditegaskan kembali oleh Hardawiryana (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 37)
bahwa kaum awam bertanggung jawab sepenuhnya atas kehidupan dan misi
B. PERAYAAN EKARISTI
Istilah ”Ekaristi” berasal dari bahasa Yunani eucharistia yang berarti
puji syukur. Kata eucharistia adalah sebuah kata benda yang berasal dari kata
kerja bahasa Yunani eucharistein yang berarti memuji, mengucap syukur
(Martasudjita, 2005: 28). Pada intinya, istilah Ekaristi menunjuk dengan bagus
isi dari apa yang dirayakan dalam seluruh Perayaan Ekaristi, yaitu pujian dan
syukur atas karya penyelamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus Kristus,
sebagaimana berpuncak dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus.
Dengan pujian syukur itu, Gereja mengenangkan dan menghadirkan misteri
penebusan Kristus pada masa sekarang (Martasudjita, 2005: 29).
1. Makna Perayaan Ekaristi
Gereja adalah paguyuban orang beriman yang percaya kepada Yesus
Kristus. Umat beriman dipersatukan dalam Gereja karena imannya akan Yesus
Kristus. Umat kemudian menanggapinya dengan merayakan dan
mengenangkan misteri kelahiran, kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus
Kristus dalam suatu perayaan liturgis yang disebut Ekaristi.
Martasudjita (2005:105), dalam bukunya yang berjudul ”Ekaristi:
Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral”, menyebutkan bahwa Ekaristi
merupakan sebuah perayaan. Kata perayaan menerjemahkan kata Latin
celebratio yang kata kerjanya celebrare. Kata celebrare ini mempunyai
banyak kemungkinan arti, antara lain: merayakan, mengunjungi atau
melakukan, memasyhurkan, memuji atau memuja. Oleh karena itu, makna
dasar celebratio atau perayaan selalu berunsur plural. Dalam Perayaan
Ekaristi, umat merayakan warta penyelamatan Yesus Kristus yang telah
diterima dan diimani, kemudian dikenangkan lagi dalam ungkapan syukur atas
tindakan penyelamatan Alah melalui Yesus Kristus (Komisi Liturgi MAWI.
1985: 25). Merayakan di sini berarti umat satu sama lain menciptakan
kehadiran Kristus dan membuat hidup misteri yang dirayakan tersebut, dan itu
terasa menyentuh mereka yang merayakannya atau kerapkali disebut dengan
istilah memoria Iesu (Komisi Liturgi MAWI. 1985: 50). Apabila Ekaristi
dipandang sebagai sebuah Perayaan, maka banyak peluang yang dapat
dijadikan sarana berinkulturasi.
Dalam pengertian teologis – liturgis, kata perayaan mengandung tiga
arti pokok, yaitu: segi kebersamaan, segi partisipasi dan segi konteks
(Martasudjita, 2005: 106-108).
1. Segi kebersamaan
Sebuah perayaan selalu merupakan suatu kegiatan bersama atau
sekurang-kurangnya melibatkan lebih dari satu orang. Ekaristi sebagai sebuah
perayaan pertama-tama adalah perayaan seluruh Tubuh Mistik Yesus
Kristus, yakni Kepala dan para anggotanya. Dengan kata lain, subyek
Perayaan Ekaristi adalah Tuhan Yesus Kristus dan Gereja-Nya. Subyek
menunjuk siapa yang merayakan Ekaristi, yaitu Kristus dan bersama
seluruh Gereja. Hal ini berarti seluruh Gereja juga menjadi subyek atau
Kristus, di dalam Kristus dan bersama Kristus. Itulah sebabnya, Konsili
Vatikan II menegaskan makna eklesial Ekaristi dan semua kegiatan liturgis
lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam SC 26 bahwa ”Upacara-upacara
liturgi bukanlah tindakan perorangan melainkan perayaan Gereja sebagai
sakramen kesatuan”. Dan sebagai suatu perayaan seluruh Gereja, Ekaristi
selalu bersifat resmi, umum, eklesial, artinya menghadirkan seluruh
Gereja. Oleh karena itu konsekuensi pastoralnya adalah Ekaristi tidak
pernah boleh dirayakan menurut selera pribadi.
2. Segi partisipasi
Suatu perayaan juga selalu menunjuk makna keterlibatan atau partisipasi
dari seluruh hadirin. Demikian pula Ekaristi sebagai liturgi resmi
menuntut partisipasi sadar dan aktif dari semua yang hadir. Kata sadar
menunjuk segi pemahaman atau dengan kata lain tahu apa yang ia
lakukan. Oleh karena itu, umat beriman perlu memahami seluruh makna
Perayaan Ekaristi, termasuk arti semua simbolnya. Sedangkan kata aktif
menunjuk keterlibatan yang sepenuhnya dan seutuhnya. Itulah sebabnya
para Bapa Konsili Vatikan II mendesak umat beriman agar mereka
merayakan Ekaristi bukan sebagai penonton yang bisu, melainkan bisa
memahami misteri yang dirayakan dengan baik dan ikut serta secara
penuh, khidmat, dan aktif (SC 48). Partisipasi sadar dan aktif ini
mencakup pemahaman akan seluruh misteri yang dirayakan sekaligus
hingga sesudah perayaan, yakni dengan ikut menghasilkan buah-buah
perwujudan iman.
3. Segi konteks
Sebuah perayaan selalu diselenggarakan menurut situasi dan kondisi
setempat. Dalam hal ini, unsur kebutuhan setempat, situasi, tantangan
zaman, dan unsur-unsur budaya lokal ikut mempengaruhi sebuah
perayaan. Demikian halnya dengan Perayaan Ekaristi kita, yang
merupakan perayaan seluruh Gereja, juga dirayakan menurut gaya dan
model penghayatan setempat. Segi konteks ini menunjuk makna Ekaristi
yang dirayakan menurut situasi dan kondisi aktual atau konteks umat
setempat. Untuk itu, para Bapa Konsili Vatikan II sangat mendorong
berbagai penyesuaian liturgi, termasuk di dalamnya inkulturasi liturgi,
tentu saja ”asalkan selaras dengan hakikat dan semangat liturgi yang sejati
dan asli” (SC 37). Demikianlah Perayaan Ekaristi mesti menjawab
kebutuhan dan kerinduan aktual dan kontekstual dari umat beriman
setempat. Itulah sebabnya, doa-doa terutama doa umat, misalnya,
hendaknya disusun menurut situasi dan kondisi aktual Gereja setempat
pada waktu itu.
2. Tata Perayaan Ekaristi
Dalam bukunya mengenai ”Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis dan
Pastoral”, Martasudjita (2005:92-93) mengemukakan bahwa selama kurang
dipromulgasikan pada tanggal 26 Maret 1970, umat Katolik di Indonesia
merayakan Ekaristi dengan menggunakan TPE (Tata Perayaan Ekaristi) yang
masih belum bersifat tetap. Dengan turunnya Textus Recognitus Tata Perayaan
Ekaristi 2005 dari Kongregasi Ibadat, Gereja Katolik di Indonesia telah
memiliki TPE dalam bahasa Indonesia, menurut Ritus Romawi, yang definitif.
TPE 2005 ini merupakan teks yang telah disahkan oleh Sidang Para Uskup
KWI pada bulan November 2003, dan selama tahun 2004 diproses ke Roma
untuk memperoleh recognitio, dan akhirnya pada tanggal 7 Oktober 2004
mendapat recognitio dari Takhta Suci, berdasarkan Surat Kongregasi Suci
untuk Ibadat dan Tata Tertib Sakramen: Prot. No. 935/04/L, tanggal 7 Oktober
2004, dan ditandatangani oleh Kardinal Francis Arinze sebagai Prefek dan
Mgr. Dominicus Sorrentino sebagai Sekretaris (Martasudjita, 2005: 93).
Sejarah perjalanan Gereja Katolik di Indonesia untuk memiliki TPE
yang definitif amat sangat lama. TPE 1979, yang semula diberlakukan secara
ad experimentum, ternyata digunakan hampir lebih dari 25 tahun. Kendati
demikian, teologi TPE 2005 tidak berbeda dengan teologi TPE 1979 karena
semuanya mengacu pada teologi Ekaristi konsili Vatikan II. Selain itu, baik
struktur pokok maupun unsur-unsur lain dari bagian-bagian Perayaan Ekaristi
yang ada dalam TPE 2005, juga tidak berbeda dengan TPE 1979. Yang
berbeda adalah istilah dan variasi pilihannya. Misalnya saja, TPE 1979
menyebut bagian pembukaan dengan istilah ”Pembukaan” dan ”Penutup”,
(Pedoman Umum Misale Romawi), yakni ”Ritus Pembuka” dan ”Ritus
Penutup”.
Perayaan Ekaristi terdiri atas dua bagian pokok, yaitu Liturgi Sabda
dan Liturgi Ekaristi, dan kedua bagian pokok itu diapit oleh Ritus Pembuka
sebagai bagian yang mempersiapkan dan Ritus Penutup sebagai bagian yang
menutup (Martasudjita, 2005:116). Keempat bagian tersebut berhubungan
begitu erat sehingga seluruhnya menjadi satu tindakan ibadat (bdk. SC 56).
Keseluruhan tindakan ibadat ini kemudian disebut sebagai Perayaan Ekaristi.
Berikut ini disajikan struktur dasar yang ada dalam Tata Perayaan
Ekaristi beserta rincian per bagiannya (Martasudjita, 2005:116-118):
Ritus Pembuka memiliki makna dasar kehadiran Tuhan di tengah umat
beriman yang sedang berdoa. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam Ritus
Pembuka ini adalah menyatukan dan mempersiapkan umat melalui tobat dan
doa-doa. Ciri khas bagian ini adalah sebagai pembuka, pengantar dan
persiapan menuju Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Dalam bagian ritus
pembuka, dapat dirinci sebagai berikut; perarakan masuk (dengan lagu
pembuka, Tanda Salib, salam pengantar, tobat, kyrie, gloria, dan doa
pembuka.
Setelah ritus pembuka, dilanjutkan dengan Liturgi Sabda yang
memiliki makna dasar kehadiran Tuhan dan karya penebusan-Nya bagi Gereja
melalui Sabda-Nya. Peranan bagian ini dalam keseluruhan Perayaan Ekaristi
adalah pewartaan Sabda Allah sekaligus sebagai permenungan dan tanggapan
yaitu Bacaan I, mazmur tanggapan, Bacaan II, bait pengantar Injil / Alleluya,
Bacaan Injil dan Aklamasi sesudah Injil, homili / khotbah, syahadat para rasul
dan doa umat.
Struktur yang mendasari keseluruhan perayaan Ekaristi selanjutnya
adalah Liturgi Ekaristi. Liturgi Ekaristi merupakan bagian yang paling penting
dalam keseluruhan Perayaan Ekaristi. Makna yang dapat dipetik dalam Liturgi
Ekaristi ini adalah kehadiran Tuhan dan karya penebusan-Nya bagi Gereja
secara sakramental, yaitu dalam rupa roti dan anggur. Liturgi Ekaristi dibagi
menjadi tiga bagian pokok yaitu Persiapan Persembahan, Doa Syukur Agung,
dan Komuni yang memiliki peran masing-masing. Peranan Persiapan
Persembahan adalah mempersiapkan bahan-bahan persembahan, terutama roti
dan anggur. Karena bahan-bahan tersebut juga yang digunakan oleh Yesus
Kristus dalam Perjamuan Malam Terakhir hidup-Nya. Dalam persiapan
persembahan biasanya diawali dengan kolekte dan mempersiapkan altar,
perarakan persembahan, mengunjukkan roti, mengunjukkan piala, pendupaan,
pembasuhan tangan, dan doa persiapan persembahan. Setelah itu masuk ke
dalam Doa Syukur Agung yang terbagi ke dalam beberapa bagian kecil, yaitu
prefasi, kudus, postsanctus, epiklese konsekratis, kisah dan kata-kata Institusi,
aklamasis anamnesis, anamnese, persembahan, epiklese komuni, permohonan
dan doxologi. Bagian Doa Syukur Agung ini berperan sebagai ucapan puji
syukur kepada Allah Bapa atas seluruh karya penyelamatan-Nya melalui
Yesus Kristus yang wafat dan bangkit, kepada-Nya dipersembahkan roti dan
dilanjutkan dengan Komuni, yakni kesatuan umat beriman dengan Tuhan dan
sesama. Meskipun banyak, umat disatukan oleh Tubuh Kristus yang satu dan
sama. Adapun rincian dari bagian ini adalah Bapa kami, embolisme, aklamasi,
doa damai, salam damai, Agnus Dei, ajakan menyambut komuni, penerimaan
komuni, hening, madah syukur, dan doa sesudah komuni.
Setelah Liturgi Ekaristi berakhir, maka Perayaan Ekaristi diakhiri
dengan Ritus Penutup. Ritus Penutup dimaknai dengan kehadiran Tuhan yang
mengutus Gereja dan yang menyertainya dengan berkat-Nya. Tujuannya
adalah menyampaikan berkat Tuhan kepada seluruh umat beriman sebagai
kekuatan atau bekal dalam menjalankan perutusan Gereja di tengah dunia.
Ritus penutup terbagi lagi menjadi beberapa rincian kecil, yaitu pengumuman,
berkat Tuhan, pengutusan, kemudian diakhiri dengan perarakan meninggalkan
altar (diiringi lagu penutup).
C. Tahap – Tahap Inkulturasi Liturgi dalam Perayaan Ekaristi
Menurut pandangan P. Schineller, yang dikutip oleh Martasudjita
(1999:85-89) dalam bukunya yang berjudul ”Pengantar Liturgi: Makna,
Sejarah dan Teologi Liturgi”, inkulturasi dalam liturgi dibagi ke dalam 4
tahap, yaitu: pengambilalihan, penerjemahan, penyesuaian, dan yang terkahir
inkulturasi.
1. Tahap pertama : pengambilalihan
Pengambilalihan (imposition) sebenarnya belum termasuk dalam
teologi dan liturgi asing dipakai dan digunakan begitu saja secara utuh di
daerah lain. Misalnya saja, liturgi Eropa dirayakan persis dan lengkap
menurut tatacara dan bahasa aslinya tanpa disesuaikan dan diubah sama
sekali.
2. Tahap kedua : penerjemahan
Dengan penerjemahan sebuah tahap inkulturasi sudah dimulai
walaupun menurut tahapnya yang paling tipis dan sederhana. Dalam tahap
ini terjadi penerjemahan teks liturgi dari bahasa asli (Latin) ke bahasa
pribumi. Dengan pemakaian bahasa pribumi ini, biasanya liturgi secara
otomatis juga mengalami beberapa penyesuaian, karena bahasa merupakan
bagian dalam kebudayaan manusia sehingga bahasa juga mengungkapkan
aneka aspek pemahaman akan kehidupan bangsa itu. Di Indonesia, ada
beberapa teks liturgi, baik itu doa maupun nyanyian, yang secara praktis
diterjemahkan begitu saja tanpa penyesuaian sedikitpun. Hal ini baik
dilakukan, namun tentu saja belum memadai bagi suatu usaha inkulturasi
yang benar-benar hidup.
3. Tahap ketiga : penyesuaian
Pada umumnya, tahap penyesuaian (adaptatio atau accomodatio)
dipandang sebagai suatu langkah yang jauh lebih maju dibandingkan
dengan tahap penerjemahan. Dalam Konsili Vatikan II, tahap penyesuaian
ini biasanya disebut dengan istilah aptatio, namun kiranya istilah aptatio
atau accomodatio. Tahap penyesuaian ini diatur dalam Sacrosanctum
Concilium art. 37 – 39.
Pada tahap ini suatu perubahan dan penyesuaian tertentu dengan
kondisi dan budaya setempat diizinkan, namun ada batasannya. Sebagai
contoh dapat dilihat dalam SC 39:
Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan autentik buku-buku liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22 (2), berhak untuk merinci penyesuaian-penyesuaian, terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam Konstitusi ini.
Dalam tahap ini sudah sangat dimungkinkan masuknya unsur-unsur
budaya setempat ke dalam liturgi, dengan catatan: asal selaras dengan
hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli (SC 37). Unsur-unsur budaya
setempat itu bisa digunakan untuk mengganti atau menjelaskan
unsur-unsur upacara atau doa ritus Romawi. Contoh tahap penyesuaian liturgi di
Indonesia adalah tari-tarian pada prosesi awal dan persembahan,
sungkeman dalam liturgi perkawinan dan tahbisan, penggunaan gong
dalam konsekrasi, pengembangan lagu-lagu liturgis yang diwarnai dan
dijiwai budaya setempat, penggunaan alat musik daerah dalam liturgi,
penggunaan pakaian adat dalam liturgi, dan lain-lain.
4. Tahap keempat : inkulturasi
Tahap keempat ini merupakan tahap yang paling puncak. Dalam
tahap ini, penyesuaian liturgi tidak hanya sekedar penyesuaian fisik
justru bertolak dari budaya setempat. Apabila dilihat dari bentuknya,
budaya tersebut tidak berubah, namun menurut isinya, budaya tersebut
kemudian diterangi atau dimaknai oleh iman Kristiani. Oleh karena itu,
liturgi yang baru tersebut memiliki struktur dan budaya yang khas menurut
budaya setempat sekaligus bermakna Kristiani. Kaidah-kaidah inkulturasi
tersebut diatur dalam SC 40. Dalam SC 40, istilah yang digunakan
bukanlah inkulturasi melainkan penyesuaian liturgi secara lebih
mendalam. Ada tiga ketentuan yang dikemukakan dalam SC 40 ini, yaitu:
(1) Hendaknya pemimpin gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22 (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat ilahi. Penyesuaian-penyesuaian, yang dianggap berfaedah atau memang perlu, hendaknya diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan dalam Liturgi. (2) Tetapi supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya, maka Takhta Apostolik akan memberi wewenang kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk – bila perlu – dalam beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen pendahuluan yang diperlukan.
(3) Ketetapan-ketetapan tentang Liturgi biasanya menimbulkan kesulitan-kesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah Misi. Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan itu hendaknya tersedia ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan.
Dalam hal ini, berbagai bentuk inkulturasi dalam liturgi sama
sekali tidak dilarang, namun tentu saja harus mengikuti kaidah-kaidah
yang telah ditetapkan oleh Takhta Suci dan diawasi oleh para pemimpin
Gereja setempat. Atau jika diperlukan, Gereja setempat dapat
Dari keseluruhan bagian dalam Perayaan Ekaristi, ada beberapa
bagian yang memberikan peluang untuk masuknya kebudayaan umat
setempat dalam Perayaan Ekaristi. Misalnya saja dalam ritus pembuka
maupun ritus penutup. Dalam perarakan dapat menggunakan unsur
kebudayaan daerah berupa tarian, nyanyian maupun iringan musik.
Kendati demikian, ada kaidah-kaidah umum yang memang harus dipenuhi
sehubungan dengan jalannya inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi.
Kaidah-kaidah umum tersebut diungkapkan secara jelas dalam Sacrosanctum
Concilium. Salah satunya mengenai wewenang untuk mengatur liturgi
yang semata-mata ada pada pimpinan Gereja, yakni Tahta Apostolik, dan
menurut kaidah hukum pada Uskup (SC art.22). Selain itu, diungkapkan
juga mengenai tradisi dan perkembangan yang ada dalam Gereja:
Supaya tradisi yang sehat dipertahankan, namun dibuka jalan juga bagi perkembangan yang wajar, hendaknya selalu diadakan lebih dahulu penyelidikan teologis, historis dan pastoral yang cermat tentang setiap bagian Liturgi yang perlu ditinjau kembali. Kecuali itu hendaklah dipertimbangkan baik patokan-patokan umum tentang susunan dan makna Liturgi, maupun pengalaman yang diperoleh dari pembaharuan Liturgi belakangan ini serta dari izin-izin yang diberikan di sana-sini.... Sedapat mungkin hendaknya dicegah juga, jangan sampai ada perbedaan-perbedaan yang menyolok dalam upacara-upacara di daerah-daerah yang berdekatan.
Dalam suatu bingkai aggiornamento, Konsili Vatikan II memberi
tempat pada kaidah-kaidah perihal penyesuaian dengan tabiat perangai dan
tradisi bangsa-bangsa (bdk. SC 37-40). SC 37 memberi penegasan prinsip
lain, Gereja mengambil sikap hormat dan menyokong kekayaan kultural
dari segenap masyarakat.
”Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan
segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak mengharuskan suatu
keseragaman yang kaku. Sebaliknya, Gereja memelihara dan memajukan
kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam
adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul
atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan
bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada
kalanya Gereja menampungnya dalam Liturgi sendiri, asal saja selaras
dengan hakikat semangat Liturgi yang sejati dan asli.” (SC 37). Kutipan
tersebut dilengkapi dalam SC 40 yang mengafirmasi kriteria penting dan
mendesaknya pembaruan Liturgi secara mendalam. Dengan demikian,
terkait dengan kaidah kultural, Gereja menempatkan aspek kesadaran dan
partisipasi aktif umat beriman sebagai kriteria awal dalam usaha memberi
penghargaan pada budaya masing-masing jemaat.
Dalam SC 38-39, seraya mempertahankan prinsip kesatuan hakiki
dengan ritus Romawi, Konsili memberi tempat kepada kemajemukan
bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan pelbagai kelompok, daerah,
dan bangsa, terutama di daerah-daerah Misi. Terkait dengan kebijakan ini,
Konsili pun memberi tempat pada dimungkinkannya
sakramentali, perarakan, bahasa Liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal
saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam SC.
Pada kenyataannya, contoh-contoh inkulturasi liturgi yang terjadi
menurut tahap ini tidak banyak, misalnya saja: liturgi Ekaristi ritus Zaire
dan ritus India. Selain itu, contoh inkulturasi liturgi yang sangat jelas dapat
dilihat pada zaman Gereja Perdana, menggunakan unsur dan struktur
upacara agama Yahudi (misalnya: pembaptisan, liturgi sabda, Ekaristi,
pengurapan orang sakit penumpangan tangan dan pesta-pesta Yahudi),
namun unsur dan struktur upacara liturgi Yahudi tersebut mendapat arti
Pada Bab III ini penulis akan memberikan uraian berdasarkan kenyataan
yang terjadi di Paroki Kristus Raja Cigugur, setelah sebelumnya diuraikan
mengenai inkulturasi dan Perayaan Ekaristi. Adapun garis besar yang dibicarakan
dalam Bab III ini adalah gambaran umum Paroki Kristus Raja Cigugur dan
penelitian tentang inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja
Cigugur.
Dalam sub-bab mengenai gambaran umum Paroki Kristus Raja Cigugur,
akan dipaparkan letak geografis, situasi umat Paroki Kristus Raja Cigugur dan
kekhasan yang ada dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur. Hal
ini penting sekali untuk diuraikan karena mengungkapkan kondisi Paroki Kristus
Raja Cigugur secara nyata dan jelas. Sedangkan dalam sub-bab kedua, mengenai
penelitian tentang inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja
Cigugur, penulis akan memaparkan mengenai latar belakang dan metodologi
penelitian. Menurut penulis, penelitian ini penting sekali untuk diadakan karena
dalam penelitian akan dapat ditemukan masalah-masalah yang membuat
kurangnya pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi yang inkulturatif.
Dengan demikian, akan diusulkan pula suatu upaya yang dapat membantu umat
A. GAMBARAN UMUM PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR
Paroki Kristus Raja Cigugur merupakan bagian dari wilayah pastoral
Keuskupan Bandung yang menyimpan dua alur sejarah yang sangat penting.
Pertama, Cigugur menjadi basis hidup dan perkembangan bagi sebuah
kehidupan religius lokal, yaitu Agama Djawa Sunda (ADS). Kedua,
religiusitas lokal ini akan menjadi basis bagi sebuah religiusitas universal,
yaitu Katolik. Dua hal inilah yang membuat Cigugur menjadi khas dan
penting dalam peziarahan iman Keuskupan Bandung.
1. Letak Geografis Paroki Kristus Raja Cigugur
Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur merupakan sebuah paroki yang
terdapat di Desa Cigugur, tepatnya di Jl. RS. Sekar Kamulyan no.7
Cigugur, sekitar 3 km dari kota Kuningan ke arah barat. Cigugur juga
merupakan sebuah Kecamatan yang terletak di kaki Gunung Ciremai dan
termasuk dalam daerah tingkat II Kabupaten Kuningan, Jawa Barat,
dengan ketinggian rata-rata 700 – 850 meter di atas permukaan laut. Desa
Cigugur dibatasi oleh Kabupaten Cirebon dari arah utara, Kabupaten
Ciamis dari arah selatan, Kabupaten Majalengka dari arah barat, dan
Kabupaten Ciledug dari arah timur. Gereja Kristus Raja Cigugur sendiri
dalam bilangan Gereja Katolik Indonesia merupakan sebuah paroki dalam
lingkup Keuskupan Bandung.
Paroki Kristus Raja Cigugur memiliki wilayah yang sangat luas.
Cirebon, Paroki Tasikmalaya, dan Paroki Garut. Wilayah Paroki Cigugur
sendiri pada awalnya terdiri dari 15 stasi, yaitu Cigugur – Cipari,
Cisantana – Pasir, Cibunut – Tagog, Sukamulya, Talahab, Kuningan,
Susuru, Subang – Kancana, Wedang Temu, Pugag, Winduhaji,
Kramatmulya, Cikondang – Cibapang, Luragung, dan Cidadap.
2. Situasi Umat Paroki Kristus Raja Cigugur a. Sejarah Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur
Sejarah Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur merupakan salah satu
sejarah kehadiran Gereja yang unik di Tatar Sunda. Tentang sejarah paroki
ini dapat saja dihubungkan dengan peristiwa misi yang berlangsung
ratusan tahun di nusantara. Artinya, kehadiran Gereja Paroki Kristus Raja
Cigugur dapat merupakan buah misi yang telah berlangsung lama. Namun
di sisi lain, rupanya kehadiran Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur dapat
dilihat dari perspektif pergulatan masyarakat setempat. Inilah yang
membuatnya unik dalam perjalanan sejarah Gereja di sana. Yang
dimaksud di sini adalah terjadinya Peristiwa Cigugur, tahun 1964, yakni
peristiwa pembubaran Agama Djawa Sunda (ADS) oleh pemimpinnya,
Pangeran Tedja Buana. Peristiwa ini mengejutkan tidak hanya masyarakat
lokal sekitar Kuningan dengan Cigugur sebagai pusat ADS, melainkan
Jakarta (sebagai simbol pusat pemerintahan nasional) dan Roma (sebagai
simbol pusat Kekatolikan). Pasalnya pasca membubarkan organisasi ADS,
dibaptis, sebagaimana termuat dalam surat pernyataannya, tertanggal 21
September 1964. Dan, pasca keputusan itu, serentak ribuan umat
eks-ADS, yang tersebar di berbagai wilayah di Tatar Sunda, mendaftarkan diri
sebagai katekumen, yang jumlahnya sekitar 5.000-an, di daerah Cigugur
dan sekitarnya tercatat sekitar 1.770 kepala keluarga.
Masuknya umat eks-ADS ke dalam Gereja Katolik, selain karena
bentuk kesetiaan kepada pemimpinnya yang disebut sebagai panutan, juga
karena adanya ajaran-ajaran dalam ADS yang paralel dengan tradisi dalam
Gereja Katolik: perkawinan monogami, tidak disunat, ajaran welas asih,
dll. Selain itu, adanya penafsiran atas wahyu Camara Bodas yang telah
diungkapkan oleh pemimpin terdahulu, Kyai Madrais atau Pangeran
Sadewa Alibasa Kusuma Wijayaningrat, sebagai Kristus menurut
Pangeran Tedja Buana. Hal semacam ini dapat dimaknai sebagai salah satu
keberhasilan Gereja dalam inkulturasi, kendati agama Katolik terbilang
sebagai agama yang baru di Cigugur pada saat itu. Oleh karena itu,
ajaran-ajaran ADS yang sudah ada tersebut semakin dimaknai dan dijiwai
semangat Kristiani.
Sebagai komunitas religius lokal, yang berpengikut ribuan, ADS
berhadapan dengan komunitas religius lain yang diakui oleh pemerintah
secara resmi, khususnya Islam. Hubungan dengan Islam ini tidak
selamanya berjalan baik; hal ini telah berlangsung sejak ADS didirikan,
1848 (27 Jumadilakhir). Berbagai tekanan dialami oleh komunitas ADS
Madrais harus mengalami pembuangan dan penjara, maupun dari kalangan
pribumi yang anti-ADS. Dan puncak dari berbagai tekanan yang
berlangsung selama itu adalah terjadinya Peristiwa Cigugur pada tahun
1964.
Peristiwa Cigugur berawal dari kesalahpahaman yang terjadi antara
anggota ADS dengan kalangan Muslim tertentu, dalam hal pernikahan.
Dan kemudian peristiwa lain menyusul, yakni Peristiwa Kamid (seorang
ADS) yang dianggap menghina Al-Quran, karena bersumpah dengan
Kitab tersebut tetapi salah menempatkannya. Akhirnya, tekanan-tekanan
berlangsung, misalnya Kamid yang dituntut dan diadili di pengadilan,
diantaranya oleh PAKEM daerah Kuningan, No.01/ SKPTS/ BK.PAKEM/
K.p./ VI/64 (Iman Sukmana, 2006: 53).
Dampak selanjutnya adalah seluruh anggota komunitas ADS
dihadapkan pada kenyataan ADS yang dicap agama terlarang oleh
masyarakat Muslim ortodoks dan tekanan pemerintah setempat.
Menyikapi peristiwa ini, sebagai pemimpin ADS, P. Tedja Buana, yang
sedang sakit-sakitan dan di antaranya sempat menyepi di pastoran Paroki
St. Yosep Cirebon, mengambil keputusan untuk membubarkan organisasi
ADS. Keputusan itu diambil setelah ia menerima wahyu yang merupakan
jawaban atas wahyu Camara Bodas, tanggal 21 September 1964.
Wahyu Camara Bodas itu berbunyi: “Isuk jaganing geto anjeun
bakal baris nyalindung handapeun camara bodas anu bakal ngabeberes
berlindung di bawah Camara Bodas yang akan menata alam dunia. Wahyu
Camara Bodas itu dimaknai sebagai Kristus oleh P. Tedja Buana, sehingga
berbunyi: “Isuk jaganing geto anjeun bakal nyalindung handapeun
Kristus anu bakal ngabeberes alam dunya”. Menurut Nursananingrat
(1977: 24), alasan-alasan yang mendorong pimpinan ADS masuk Gereja
Katolik diantaranya ialah: karena ajaran atau hukum Kristiani lebih dekat
persamaannya dengan ajaran ADS, misalnya ajaran cintakasih,
perkawinan, tidak disunat dll. Oleh karena itu, Camara Bodas lebih
dimaknai sebagai Hukum Perjanjian Baru atau Hukum Kristus. Sedangkan
menurut pandangan penulis, pemaknaan wahyu Camara Bodas sebagai
Kristus tidak terlepas dari berbagai tekanan yang dihadapi oleh pengikut
ADS pada waktu itu. Perlu ditekankan kembali bahwa awal dari peristiwa
pembubaran ADS adalah karena adanya kesalahpahaman dengan para
pengikut Islam yang berbuntut panjang. Pada saat itu, P. Tedja Buana
sebagai pemimpin ADS, yang kebetulan sedang sakit, mengamankan
dirinya di pastoran Santo Yosep Cirebon. Hal ini sedikit banyak
memberikan pengaruh kepada P. Tedja Buana. Atau dengan kata lain, P.
Tedja Buana terkesan dengan kebaikan para Pastor di Paroki Santo Yosep
Cirebon sehingga muncul ketertarikan terhadap ajaran-ajaran Katolik.
Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa pemaknaan wahyu Camara
Bodas sebagai Kristus dikaitkan dengan simbol pohon cemara putih yang