• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Komparasi Peran Biobased Surfactant dari Kompos dengan Commercial Surfactant dalam Pemisahan Hidrokarbon pada Tanah Tercemar Crude Oil - ITS Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Studi Komparasi Peran Biobased Surfactant dari Kompos dengan Commercial Surfactant dalam Pemisahan Hidrokarbon pada Tanah Tercemar Crude Oil - ITS Repository"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

i

TUGAS AKHIR – RE 141581

STUDI

KOMPARASI

PERAN

BIOBASED

SURFACTANT

DARI

KOMPOS

DENGAN

COMMERCIAL

SURFACTANT

DALAM

PEMISAHAN HIDROKARBON PADA TANAH

TERKONTAMINASI

CRUDE OIL

DWIYANTI AGUSTINA WULANDARI

3313 100 029

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Yulinah Trihadiningrum, M.App.Sc.

(2)

ii

(3)

iii

TUGAS AKHIR – RE 141581

STUDI

KOMPARASI

PERAN

BIOBASED

SURFACTANT

DARI

KOMPOS

DENGAN

COMMERCIAL

SURFACTANT

DALAM

PEMISAHAN HIDROKARBON PADA TANAH

TERKONTAMINASI

CRUDE OIL

DWIYANTI AGUSTINA WULANDARI

3313 100 029

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Yulinah Trihadiningrum, M.App.Sc.

(4)

iv

(5)

v

FINAL PROJECT – RE 141581

COMPARISON

STUDY

OF

BIOBASED

SURFACTANT ROLE FROM COMPOST WITH

COMMERCIAL

SURFACTANT

IN

HYDROCARBON SEPARATION OF CRUDE OIL

CONTAMINATED SOIL

DWIYANTI AGUSTINA WULANDARI

3313 100 029

Supervisor

Prof. Dr. Yulinah Trihadiningrum, M.App.Sc.

DEPARTMENT OF ENVIRONMENTAL ENGINEERING

Faculty of Civil Engineering and Planning

(6)

vi

(7)

vii

LEMBAR PENGESAHAN

STUDI KOMPARASI PERAN BIOBASED SURFACTANT DARI

KOMPOS DENGAN COMMERCIAL SURFACTANT DALAM

PEMISAHAN HIDROKARBON PADA TANAH TERKONTAMINASI CRUDE OIL

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

pada

Program Studi S-1 Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh:

DWIYANTI AGUSTINA WULANDARI NRP. 3313 100 029

Disetujui oleh Pembimbing Tugas Akhir:

Prof. Dr. Yulinah Trihadiningrum, M.App.Sc.. NIP. 19530706 198403 2 004

(8)

viii

(9)

i

STUDI KOMPARASI PERAN BIOBASED SURFACTANT DARI

KOMPOS DENGAN COMMERCIAL SURFACTANT DALAM

PEMISAHAN HIDROKARBON PADA TANAH TERKONTAMINASI CRUDE OIL

Mahasiswa : Dwiyanti Agustina Wulandari NRP : 3313100029

Departemen : Teknik Lingkungan

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Yulinah Trihadiningrum, M.App.Sc

ABSTRAK

Tanah terkontaminasi hidrokarbon membutuhkan remediasi karena sifat hidrokarbon yang sulit diuraikan dan bersifat toksik. Salah satu teknik bioremediasi untuk penyisihan hidrokarbon pada tanah tercemar adalah co-composting. Kompos dapat berperan sebagai sumber biobased surfactant. Compost

humic acid-like (cHAL) yang memiliki sifat mirip surfaktan

komersial dapat terbentuk selama proses co-composting. Tujuan penelitian ini yaitu: (a) menentukan karakteristik cHAL yang terbentuk selama proses co-composting tanah terkontaminasi

crude oil, (b) menentukan kemampuan cHAL sebagai biobased

surfactant dalam pemisahan hidrokarbon, serta (c) menentukan

perbandingan cHAL dengan surfaktan komersial pada bioremediasi tanah tercemar crude oil.

Penelitian berskala laboratorium ini dilaksanakan dengan menggunakan 42 reaktor bervolume 3,5 L. Variasi yang digunakan adalah sumber dan konsentrasi surfaktan. Jenis sampah organik

biodegradable yang digunakan yaitu sampah kebun dan sampah

(10)

ii

diukur dengan alat Tensiometer Du-Nouy, sedangkan kemampuan emulsifikasi diukur dengan alat vortex mixer. Kandungan asam humat ditentukan dengan metode ekstraksi asam basa. Kemampuan pemisahan hidrokarbon ditentukan dengan soil

washing menggunakan metode agitasi. Penelitian dilakukan

dengan 2 ulangan.

Kadar cHAL hasil komposting pada semua reaktor ada pada kisaran 0,372-1,117%. Penurunan tegangan permukaan berkisar 6,65-21,5 dyne/cm. Isolat cHAL dapat dikategorikan sebagai surfaktan, apabila dapat menurunkan tegangan permukaan lebih dari 10 dyne/cm. Aktivitas emulsi cHAL setelah 24 jam berada pada rentang 7,4–38,1%. Proses soil washing

menggunakan cHAL menghasilkan pemisahan hidrokarbon sebesar 0,99–46,56%. Pemisahan hidrokarbon optimum oleh isolat cHAL sebesar 46,56%; 41,55%; 39,61%; 7,62%, masing-masing dicapai pada reaktor sampah kebun, campuran sampah dan tanah tercemar, sampah rumen, serta tanah tercemar (kontrol). Tween 80 mampu memisahkan 75,97% hidrokarbon pada kadar optimum 1,5%. Kemampuan pemisahan hidrokarbon optimum oleh isolat cHAL dari reaktor sampah kebun, sampah rumen, campuran tanah tercemar dan sampah, serta tanah tercemar (kontrol) masing-masing sebesar 0,60; 0,54; 0,51, dan 0,01 kali bila dibandingkan dengan Tween 80 pada kadar 1,5%. Kemampuan isolat cHAL dari reaktor sampah kebun, campuran tanah tercemar dan sampah, sampah rumen sapi serta tanah tercemar (kontrol) untuk memisahkan hidrokarbon masing-masing setara dengan kadar Tween 80 sebesar 0,98%; 0,87%, 0,83%, dan 0,106%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isolat cHAL yang terbentuk selama proses co-composting memiliki karakteristik dan potensi sebagai surfaktan.

(11)

iii

COMPARISON STUDY OF BIOBASED SURFACTANT

ROLE FROM COMPOST WITH COMMERCIAL

SURFACTANT IN HYDROCARBON SEPARATION OF

CRUDE OIL CONTAMINATED SOIL

Student Name : Dwiyanti Agustina Wulandari

ID : 3313100029

Department : Environmental Engineering

Supervisor : Prof. Dr. Yulinah Trihadiningrum,

M.App.Sc

ABSTRACT

Crude oil contaminated soil needs remediation, because of the toxic and persistent characteristics of hydrocarbons. One of the bioremediation techniques for hydrocarbon removal is co-composting. Compost can play a role as biobased surfactant source. Compost humic acid like (cHAL) compounds, which can be formed during the co-composting process, have similar characteristics to commercial surfactant. The aims of this research were: (a) to determine the characteristics of cHAL, which was form during the co-composting process, (b) to determine cHAL’s performance as a biobased surfactant in hydrocarbon separation, and (c) to determine the ratio between cHAL and commercial surfactant for bioremediation process of crude oil contaminated-soil.

This laboratory scale research used 42 reactors of 3.5 L volume. Surfactant sources and concentrations were varied during the experiment. Yard waste and rumen waste from a slaughterhouse were used as composting materials. An optimum ratio of contaminated soil and composting materials of 50:50 (w/w), as resulted in a former research, was used. Co-composting process was conducted in aerobic condition with manual agitation every 3 days. Characteristics of cHAL isolates from each reactor were compared to those of Tween 80, a commercial surfactant. Hydrocarbon content, surface tension, emulsification ability, humic acid content, and hydrocarbon removal were measured on 20th,

40th, and 60th days. Hydrocarbon content was measured using

(12)

iv

performance was determined using vortex mixer. Humic acid content was measured using acid-base extraction method. Hydrocarbon removal was measured using agitated soil washing method. The experiment was conducted in two replicates.

The cHAL contents in the composting materials in all reactors were in a value range of 0.372–1.117%. The declining surface tension was in the range of 6.65 – 21.5 dyne/cm. The cHAL isolates could be classified as surfactant, if the declining surface tension was more than 10 dyne/cm. The emulsification performance of cHAL after 24 hours was in the range 7.4–38.1%. The soil washing using cHAL isolates resulted in hydrocarbon separation efficiency between 0.99 and 46.56%. The optimum hydrocarbon separation by cHAL isolates from the yard waste, rumen waste, combined contaminated soil and biodegradable waste, and contaminated soil control reactors were 46.56; 41.55; 39.61 and 7.62% respectively. Tween 80 could separate 75.97% of hydrocarbon in an optimum concentration of 1.5%. The optimum hydrocarbon separation abillity by cHAL isolates from the yard waste, rumen waste, combined contaminated soil and biodegradable waste, and contaminated soil control reactors were 0.60; 0.54; 0.50; and 0.01 times respectively, when compared to that of Tween 80 of 1.5%. The performance values of cHAL isolates to separate hydrocarbon in the yard waste, combined contaminated soil and biodegradable waste, rumen waste, and contaminated soil control reactors were equal to 0.98; 0.87; 0.83; and 0.106% of Tween 80 concentrations respectively. This research concluded that the cHAL isolates, which were produced during the co-composting process, showed characteristics and performance potential as surfactant.

(13)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Hamdallah bagi Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan ridho-Nya dan juga utusan-Nya, yaitu Rasulullah SAW sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas

akhir dengan judul “Studi Komparasi Peran Biobased Surfactant

dari Kompos dengan Commercial Surfactant dalam Pemisahan Hidrokarbon Pada Tanah Tercemar Crude Oil”.

Dalam laporan tugas akhir ini penulis mengucapkan terima kasih, atas segala bentuk dukungan yang telah diberikan hingga terselesaikannya laporan tugas akhir ini kepada,

1. Ibu Prof. Dr. Yulinah Trihadiningrum, M. App.Sc. selaku dosen pembimbing tugas akhir, terima kasih atas kesediaan, kesabaran, bimbingan dan ilmu yang bermanfaat dalam penyusunan tugas akhir ini.

2. Ibu IDAA Warmadewanthi, ST., M.T., Ph.D., Bapak Dr. Ali Masduqi, MT., Bapak Arseto Yekti Bagastyo, ST., M.T., M.Phil., Ph.D, Ibu Ipung Fitri Purwanti, ST., MT., PhD. selaku dan Ibu Ellina S. Pandebesie, selaku dosen pengarah dan penguji tugas akhir, terima kasih atas saran, arahan serta bimbingannya.

3. Bapak Alfan Purnomo, ST., M.T. selaku Dosen Wali yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama masa perkuliahan.

4. Bapak Adhi Yuniarto ST, MT, Ph.D selaku Ketua Departemen Teknik Lingkungan, FTSP, ITS yang telah banyak membantu kelancaran dalam pembuatan Laporan Tugas Akhir.

5. Ibu Harmin Sulistiyaningtitah, ST, MT, Ph.D selaku koordinator tugas akhir, terima kasih atas informasi, arahan dan saran dalam penyusunan tugas akhir ini.

6. Bapak Hadi Sutrisno dan tendik laboratorium Jurusan Teknik Lingkungan lainnya serta Mbak Nastiti Tri Karuniawati, S.Si dan tim analisis Laboratorium Terpadu Universitas Airlangga yang telah membantu dan memfasilitasi penelitian di laboratorium.

(14)

vi

8. Mbak Rizkiy Amaliyah Barakwan, ST., dan Mas Suhendra Amka, ST. atas kerja sama, dukungan dan sharing ilmu sebagai satu tim penelitian.

9. Keluarga tercinta baik ayah, ibu, kakak dan adik yang selalu memberikan dukungan moral dan material terkhusus atas ketulusan doa yang mengiringi setiap waktu.

10. Teman-teman Teknik Lingkungan ITS angkatan 2013 dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas dukungan dan kebersamaan dalam berjuang.

Dalam proses penyusunan tugas akhir ini telah dilakukan dan diusahakan semaksimal mungkin, namun tentunya masih terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang mampu membangun menjadi lebih baik lagi. Semoga tugas akhir ini senantiasa memberikan manfaat bagi penyusun dan pembaca.

Surabaya, 25 Juli 2017

(15)

vii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

2.1 Senyawa Hidrokarbon ... 7

2.1.1 Jenis dan Karakteristik Senyawa Hidrokarbon ... 7

2.1.2 Kasus Pencemaran Hidrokarbon dalam Tanah ... 9

2.1.3 Mekanisme Pencemaran Hidrokarbon dalam Tanah .. 10

2.1.4 Penyisihan Hidrokarbon Tanah Tercemar Crude Oil ... 11

2.2 Teknik Remediasi dengan Metode Co-composting ... 12

2.2.1 Macam Metode Co-composting ... 13

2.2.2 Penguraian Hidrokarbon dengan Co-composting ... 15

2.3 Biobased Surfactant ... 18

2.4 Parameter Pengukuran Surfactant ... 20

2.4.1 Tegangan Permukaan... 20

2.4.2 Kemampuan Emulsifikasi ... 21

2.5 Compost Humic Acid-Like (cHAL) ... 22

2.5.1 Kompos ... 22

2.5.2 Humic Acid Sebagai Asam Organik ... 24

2.5.3 Struktur dan Karakteristik Humic Acid ... 25

2.5.4 Pemisahan Humic Acid ... 26

2.5.5 Peran Asam Humat dalam Pemisahan Kontaminan Tanah . 28 2.6 Tween 80 ... 30

2.6.1 Struktur dan Sumber ... 30

2.6.2 Aplikasi Tween 80 dalam Pemisahan Hidrokarbon ... 31

2.7 Soil Washing ... 31

2.7.1 Pengertian ... 31

(16)

viii

2.8 Spektrofotometri FTIR ... 32

2.9 Penelitian Terdahulu... 34

2.10 Pertambangan Minyak Bumi Wonocolo, Bojonegoro ... 38

2.11 Penelitian Pendahuluan ... 39

2.11.1 Preparasi Bahan Co-Composting ... 39

2.11.2 Pelaksanaan Co-Composting ... 41

2.11.3 Komposisi Optimum Co-composting ... 44

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 45

3.1 Kerangka Penelitian ... 45

3.2 Tahapan Penelitian... 48

3.2.1 Ide Penelitian ... 48

3.2.2 Studi Literatur ... 48

3.2.3 Persiapan Alat dan Bahan ... 48

3.2.4 Sampling Tanah Tercemar Crude Oil ... 49

3.2.5 Analisis Pendahuluan ... 54

3.2.6 Pelaksanaan Penelitian ... 54

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

4.1 Karaktersistik Sampel Tanah Tercemar Crude Oil ... 63

4.1.1 Karakteristik Fisik ... 63

4.1.2 Karakteristik Kimia ... 64

4.2 Peran cHAL dalam Pemisahan Hidrokarbon ... 65

4.3 Preparasi dan Ekstraksi cHAL ... 65

4.4 Karakterisasi cHAL ... 69

4.4.1 Karakteristik cHAL Sumber Tanah tercemar... 71

4.4.2 Karakteristik cHAL Sumber Sampah Kebun ... 73

4.4.3 Karakteristik cHAL Sumber Sampah Rumen Sapi ... 77

4.4.4 Karakteristik cHAL Sumber Rasio Optimum ... 80

4.4.5 Karakteristik Tween 80 ... 83

4.4.6 Komparasi Karakteristik cHAL dengan Tween 80 ... 84

4.5 Kemampuan Pemisahan Hidrokarbon oleh Surfactant ... 86

4.5.1 Soil Washing oleh Variasi Sumber cHAL ... 86

4.5.2 Soil Washing oleh Variasi Konsentrasi Tween 80 ... 98

4.6 Uji Statistik ANOVA Hasil Penelitian ... 104

BAB 5 PENUTUP ... 107

5.1 Kesimpulan ... 107

5.2 Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109

LAMPIRAN A ... 121

(17)
(18)

x

(19)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Penelitian Terdahulu cHAL ... 35

Tabel 2. 2 Kandungan Hidrokarbon pada Tanah Tercemar ... 40

Tabel 2. 3 Karakteristik Komposit Tanah Tercemar Crude Oil .... 40

Tabel 2. 4 Karakteristik Sampah Organik Biodegradable ... 41

Tabel 3. 1 Variasi Sumber cHAL dan Konsentrasi Surfactant... 55

Tabel 3. 2 Metode Analisis Parameter Penelitian...57

Tabel 3. 3 Metode Analisis Penelitian... 60

Tabel 4. 1 Analisis Parameter Kimia Tanah Tercemar... 64

Tabel 4. 2 Perbandingan Warna HS, AF dan cHAL... 67

Tabel 4. 3 Komparasi ∆TP cHAL dan Tween 80... 85

Tabel 4. 4 Komparasi AE cHAL dan Tween 80... 85

Tabel 4. 5 Komparasi Pemisahan Hidrokarbon Optimum cHAL. 91 Tabel 4. 6 Gugus Fungsi Hasil FTIR... 92

Tabel 4. 7 Tabel Estimasi Konsentrasi Tween 80... 102

(20)

xii

(21)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Teknologi Co-composting Pengolahan Sludge ... 13

Gambar 2. 2 Windrow System Composting ... 14

Gambar 2. 3 Degradasi Hidrokarbon Alifatik hingga β-oksidasi . 16 Gambar 2. 4 Sistem Transport Elektron ... 16

Gambar 2. 5 Siklus Krebs... 17

Gambar 2. 6 Struktur Humic Acid ... 26

Gambar 2. 7 Ilustrasi Struktur Humic Acid ... 26

Gambar 2. 8 Diagram Alur Pemisahan Senyawa Humat ... 28

Gambar 2. 9 Rumus Bangun Tween 80 ... 30

Gambar 2. 10 Pertambangan Minyak Bumi Rakyat Wonocolo ... 38

Gambar 2. 11 Kandungan Hidrokarbon pada Variasi 50:50 ... 42

Gambar 2. 12 Kandungan Hidrokarbon Variasi 87:13 ... 43

Gambar 2. 13 Kandungan Hidrokarbon pada Variasi 75:25 ... 43

Gambar 2. 14 Kandungan Hidrokarbon pada Tanah Kontrol ... 44

Gambar 3. 1 Ilustrasi Sampling Pola Diagonal... 50

Gambar 3.2 Ilustrasi Sampling Along A Linear Source ... 51

Gambar 3. 3 Peta Lokasi Pengambilan Sampel Tanah ... 52

Gambar 3. 4 Ilustrasi Agitasi Pada Proses Soil Washing ... 59

Gambar 4. 1 Sampel Tanah Tercemar Crude Oil ... 63

Gambar 4. 2 HA, AF dan HS Sampel Perbandingan Optimum .. 68

Gambar 4. 5 Kandungan cHAL T/S Hari ke-0, 20,40, ... 69

Gambar 4. 7 Emulsi Sampel Perbandingan Optimum (T/S) ... 71

Gambar 4. 9 Tanah dan cHAL Sebelum Soil Washing ... 87

Gambar 4. 10 Suspensi Hasil Soil Washing ... 87

Gambar 4. 11 Lapisan Setelah Stabilisasi Hasil Soil Washing ... 88

(22)

xiv

(23)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

(24)

xvi

(25)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hidrokarbon adalah salah satu kontaminan paling umum yang membutuhkan remediasi karena sangat berkaitan dengan kesehatan manusia dan indikasi adanya pencemaran lingkungan (Kirk et al., 2004). Kontaminan hidrokarbon pada tanah yang sulit diuraikan dan bersifat toksik akan mengganggu pertumbuhan tanaman dan organisme lain yang tumbuh di dalamnya. Crude oil

mempunyai komponen hidrokarbon yang merupakan senyawa organik (Handrianto et al., 2012). Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis, menyatakan bahwa tanah yang terkontaminasi crude oil termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Hal ini menyebabkan tanah tercemar crude oil menjadi masalah lingkungan yang hingga saat ini selalu mendapat perhatian yang serius. Salah satu kasus kontaminasi crude oil yaitu di tambang rakyat Desa Wonocolo, Kecamatan Kedawan, Kabupaten Bojonegoro. Menurut Handrianto et al. (2012), pada tanah tercemar crude oil di daerah pertambangan minyak di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur mengandung total petroleum

hydrocarbon (TPH) sebesar 4,12%. Kadar TPH tersebut melebihi

baku mutu yang berlaku berdasarkan Lampiran 2 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2013 yaitu 1% (Kepmen LH, 2003).

Teknologi pemulihan kondisi tanah tercemar crude oil

mengandung hidrokarbon yang paling dipilih yaitu secara biologis atau teknik bioremediasi. Salah satu teknik bioremediasi untuk penyisihan hidrokarbon pada tanah tercemar crude oil adalah teknologi co-composting (Wang et al., 2011). Co-composting

sebagai teknik pencampuran tanah terkontaminasi dengan bahan organik biodegradable untuk menambahkan nutrien dan mendorong populasi dan aktivitas mikroorganisme yang mampu menyisihkan polutan hidrokarbon (Mizwar dan Trihadiningrum, 2016). Proses metabolisme oleh mikroorganisme saat

(26)

2

(Antizar-Ladislao et al. 2004). Co-composting juga melibatkan adanya proses mineralisasi bahan organik yang menghasilkan produk surfactant (Straub et al., 1999; Quagliotto et al., 2006; Mizwar, 2016). Surfactant merupakan molekul amfifatik yang tersusun atas gugus hidrofilik dan hidrofobik sehingga mampu mereduksi tegangan permukaan sehingga membantu proses pemisahan hidrokarbon yang terikat oleh partikel tanah (Almansoory et al., 2015; Chen et al., 2015). Pemisahan hidrokarbon yang terjadi mengakibatkan hidrokarbon semakin mudah terlarut dan membentuk emulsi sehingga menjadi lebih

bioavailable bagi mikroba, maka proses biodegradasi hidrokarbon

juga lebih efektif (Thapa et al., 2012; Almansoory et al., 2015).

Surfactant tersebut selanjutnya disebut sebagai biobased

surfactant (Asquith et al., 2011; Almansoory et al., 2015).

Biobased surfactant terdiri dari produk alami yang

didapatkan langsung dari bahan mentah tanpa adanya sintesis kimia atau modifikasi (Holmberg, 2001; Rybinski, 2001). Terdapat berbagai macam contoh pembentukan biobased surfactant,

seperti biosurfactant dan compost humic acid-like (cHAL).

Biosurfactant adalah senyawa aktif permukaan ekstraselular yang

disekresi sel-sel mikroba yang ditumbuhkan pada hidrokarbon tertentu, juga memungkinkan dihasilkan dari subtrat lain seperti karbohidrat (Chopinean et al., 1988). Leahly dan Colwell (1990), mengemukakan bahwa sebagian bakteri pendegradasi hidrokarbon diketahui memiliki kemampuan untuk memproduksi

biosurfactant. Pseudomonas aeruginosa diketahui memproduksi

rhamnolipid pada C12 n-alkana sebagai biosurfactant (Robert et

al., 1989). Ketersediaan biosurfactant menjadi sangat penting setelah diketahui beberapa kerugian penggunaan synthetic

surfactant. Di samping harganya mahal, synthetic surfactant

sebagian besar tidak mudah didegradasi dan beberapa bersifat toksik sehingga ada kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan akibat penggunaan senyawa ini. Selain itu Dyke (1993) mengemukakan bahwa biosurfactant lebih bervariasi jenisnya dan lebih efektif untuk keperluan-keperluan yang spesifik dibandingkan dengan synthetic surfactant atau commercial surfactant.

Pada proses mineralisasi bahan organik dalam

co-composting akan menghasilkan produk akhir berupa biomassa

(27)

3

humus tersebut juga terbentuk senyawa compost humic acid-like

(cHAL) (Avdalovic et al., 2012). Proses pembentukan cHAL pada proses pengomposan mulai terbentuk pada 20 hari dan optimal pada 40 hari, sedangkan pada ke 60 hari jumlahnya menurun (Agustian dan Gusnidar, 2004). Senyawa compost humic acid-like

(cHAL) mempunyai komposisi yang terdiri atas polimer tanaman dan fraksi hidrofilik, dimana kandungan utamanya berupa kelompok ionik seperti asam karboksilat, dan ikatan non polar seperti fenol, alkohol, aldehid, keton, amide dan amino. Karakteristik tersebut mengindikasikan bahwa cHAL mempunyai kelengkapan amfibik, dan dapat berperan sebagai biobased

surfactant. Kemampuan cHAL dalam meningkatkan kelarutan

kontaminan telah teruji langsung pada media tanah. Meskipun senyawa cHAL menunjukkan perannya sebagai biobased

surfactant, namun ide ini membutuhkan prosedur yang jelas

sebagai kontrol kualitas, sertifikasi dan verifikasi (Avdalovic et al.,

2012). Selain itu diperlukan uji untuk menentukan perbandingan antara biobased surfactant dengan commercial surfactant yang lazim digunakan dalam pemisahan hidrokarbon dari tanah.

Kajian mengenai produksi cHAL serta kemampuannya sebagai biobased surfactant dalam membantu proses biodegradasi hidrokarbon selama proses co-composting tanah terkontaminasi crude oil masih belum ditemukan. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan karakteristik tegangan permukaan dan kemampuan emulsifikasi (cHAL) yang terbentuk selama proses co-composting tanah tercemar crude oil berasal dari pertambangan minyak bumi rakyat Wonocolo, Bojonegoro serta menentukan kemampuan cHAL sebagai biobasedsurfactant dan perbandingannya dengan commercial surfactant dalam memisahkan hidrokarbon pada proses co-composting tanah terkontaminasi crude oil.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang mendasari penelitian ini adalah: 1. Bagaimana karakteristik cHAL yang tebentuk dalam 20,

(28)

4

2. Bagaimana kemampuan cHAL sebagai biobased

surfactant dalam memisahkan hidrokarbon pada proses

co-composting tanah terkontaminasi crude oil?

3. Bagaimana perbandingan antara biobased surfactant

dengan commercial surfactant dalam pemisahan hidrokarbon pada tanah terkontaminasi crude oil?

1.3 Tujuan

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menentukan karakteristik cHAL yang terbentuk dalam 20, 40, dan 60 hari selama proses co-composting tanah terkontaminasi crude oil.

2. Menentukan kemampuan cHAL sebagai biobased

surfactant dalam memisahkan hidrokarbon pada proses

co-composting tanah terkontaminasi crude oil.

3. Menentukan perbandingan antara biobased surfactant

dengan commercial surfactant dalam pemisahan hidrokarbon pada tanah terkontaminasi crude oil.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi :

1. Penelitian ini berupa penelitian eksperimental berskala laboratorium. Rangkaian penelitian dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Limbah Padat dan B3 Teknik Lingkungan-ITS Surabaya.

2. Sampel tanah terkontaminasi crude oil yang digunakan berasal dari pertambangan rakyat di Desa Wonocolo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Pengambilan sampel tanah terkontaminasi dilakukan pada tanah lapisan atas (top

soil).

(29)

5

4. Proses co-composting terhadap sumber cHAL dilakukan selama 60 hari dengan penambahan tanah tercemar crude

oil.

5. Karakterisasi cHAL dilakukan berdasarkan parameter tegangan permukaan dan kemampuan emulsifikasi.

6. Commercial surfactant yang digunakan sebagai

pembanding cHAL yaitu Tween 80. 1.5 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi mengenai potensi cHAL yang selama proses co-composting sebagai katalisator biodegradasi hidrokarbon pada aplikasi bioremediasi tanah terkontaminasi crude oil.

2. Memberikan informasi mengenai potensi cHAL yang terbentuk selama proses co-composting sebagai biobased

surfactant.

(30)

6

(31)

7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Senyawa Hidrokarbon

Hidrokarbon adalah salah satu kontaminan paling umum yang apabila masuk ke perairan atau tanah membutuhkan remediasi media tercemar karena sangat berkaitan dengan kesehatan manusia dan indikasi adanya pencemaran lingkungan (Kirk et al., 2004). Senyawa hidrokarbon berasal dari sumber minyak bumi, termasuk bahan bakar umum seperti bensin, solar, minyak tanah, minyak pelumas, dan lemak. Meskipun hidrokarbon berupa zat organik yang hanya terdiri dari karbon dan hidrogen, namun hidrokarbon termasuk senyawa dengan jenis-jenis yang berbeda berdasarkan perbedaan jumlah rantai karbon penyusunnya sehingga mempunyai sifat kimia dan fisika yang berbeda-beda (Baldan et al., 2015).

2.1.1 Jenis dan Karakteristik Senyawa Hidrokarbon

Senyawa hidrokarbon dalam crude oil berdasarkan kandungannya dapat diklasifikasikan sebagai hidrokarbon alifatik, sikloalkana, hidrokarbon aromatik, dan hidrokarbon poli-aromatik (Ali, 2012). Berikut merupakan penjelasan masing-masing jenisnya.

1. Senyawa Alifatik

Hidrokarbon alifatik mempunyai cincin atom karbon tersusun secara linier, bercabang, atau melingkar tertutup (alisiklik). Alifatik juga terbagi menjadi beberapa golongan, yaitu:

a. Alkana (parafin) yang memiliki ikatan atom C jenuh Alkana adalah hidrokarbon alifatik jenuh berikatan tunggal dan stabil terhadap reaksi kimia dengan rumus empiris CnH2n+2. Alkana merupakan

petroleum hidrokarbon yang sangat mudah terdegradasi. Namun alkana pada range C5 hingga C10

(32)

8

b. Alkena (olefin) adalah hidrokarbon alifatik tak jenuh yang memiliki minimal satu ikatan rangkap 2 dengan rumus empiris CnH2n.

c. Alkuna adalah hidrokarbon alifatik tak jenuh yang memiliki minimal satu ikatan rangkap 3 dengan rumus empiris CnH2n-2.

2. Senyawa Sikloalkana

Sikloalkana adalah hidrokarbon alisiklik (cincin siklis) tunggal dan banyak dengan rumus empiris CnH2n.

Senyawa ini sangat stabil namun lebih reaktif daripada alkana. Sebagaimana pada senyawa alkana, semakin besar jumlah atom C semakin tinggi pula specific gravity

(Sg) dan titik didihnya. Degradasi sikloalkana biasanya juga dioksidasi pada gugus terminal metil dan menjadi alkohol.

3. Senyawa Aromatik

Hidrokarbon aromatik terbentuk dari 1 molekul benzena dimana 6 buah atom tersusun menyerupai cincin dengan ikatan tunggal dan ganda (Eweis et al., 1998). Volatilitas yang tinggi dan kelarutan yang rendah umumnya dimiliki oleh hidrokarbon aromatik ini. Kandungan hidrokarbon aromatik turut menentukan tingkat toksisitas minyak bumi. Menurut Cookson (1995), cincin benzene hidrokarbon banyak terkandung dalam hidrokarbon aromatik. Contohnya adalah benzena, toluena, etilbenzena, dan xilena yang sering disebut sebagai senyawa BTEX.

Senyawa hidrokarbon aromatik sulit didegradasi dan dapat menghasilkan senyawa intermediate yang tidak diinginkan. Metode dasar penyerangan mikroba pada komponen aromatik bercincin tunggal membentuk senyawa dihidrodiol. Dihidrodiol dioksidasi membentuk alkil katekol yang merupakan senyawa intermediate. Hasil oksidasi pemecahan cincin adalah terbentuknya aldehid serta asam yang siap digunakan mikroorganisme untuk sintesa sel dan energi.

4. Senyawa Poli Aromatik

Senyawa poli aromatik disebut juga dengan

(33)

9

beberapa senyawa aromatik yang menyatu, misalnya naftalena, asenaftena, dan fluorena. PAH bersifat karsinogenik, semakin banyak jumlah molekul aromatik yang menyatu maka senyawa PAH ini semakin sulit terurai.

2.1.2 Kasus Pencemaran Hidrokarbon dalam Tanah

Proses pencemaran tanah adalah keadaan dimana bahan kimia alami dan/atau buatan manusia masuk dan mengubah tatanan tanah alami (Halifah, 2012). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa, disebutkan bahwa kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang melampaui kriteria baku kerusakan tanah. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi yang meliputi pengeboran, produksi, pengilangan, dan transportasi berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran tanah. Hal ini disebabkan oleh adanya tumpahan atau ceceran dari berbagai kegiatan tersebut. Minyak bumi mempunyai komponen hidrokarbon yang merupakan senyawa organik (Handrianto et al., 2012). Kontaminan hidrokarbon pada tanah yang sulit diuraikan dan bersifat toksik akan mengganggu pertumbuhan tanaman dan organisme lain yang tumbuh di dalamnya.

(34)

10

daerah di Indonesia. Pencemaran tanah oleh hidrokarbon terjadi di sekitar tambang minyak Minas PT CPI, Riau akibat tumpahan

crude oil saat proses pengeboran, produksi, dan transportasi

(Karwati, 2009). Ali (2012) juga menyebutkan kasus pencemaran tanah akibat hidrokarbon misalnya di PT. UNILEVER Jakarta seluas 2.2 Ha , di PT. CALTEX seluas 8 Ha, kebocoran pipa minyak mentah di PT. CONNOCO PHILLIPS sepanjang 300 meter dan masih banyak kasus pencemaran lainnya. Juliani dan Rahman (2011) mengatakan pencemaran tanah oleh limbah lumpur minyak akibat kegiatan penambangan minyak bumi oleh PT Pertamina Cilacap.

2.1.3 Mekanisme Pencemaran Hidrokarbon dalam Tanah Menurut CLAIRE (2007) pada Gambar 2.1 terdapat beberapa tipe pengikatan kontamin pada tanah, yaitu

a. kontaminan teradsorbsi, yaitu kontaminan cenderung tersorbsi pada partikel spesifik seperti tanah liat dan peaty

b. partikel diskrit, yaitu kontaminan terbentuk dalam partikel individu

c. pelapisan liquid atau semi-liquid, yaitu terdapat minyak atau tar yang melapisi bagian luar tanah

d. pelapisan endapan kimia, yaitu terdapat partikel anorganik yang melapisi bagian luar partikel tanah

e. pelapisan pada celah atau lubang pori, yaitu seperti (b) dan (c) namun partikel tanah berbentuk porus (berpori) f. kontaminasi internal, yaitu kontaminan berada di dalam

partikel tanah.

Gambar 2. 1 Jenis Kontaminasi pada Tanah Tercemar

(CLAIRE,2007)

(35)

11

Kontaminasi teradsorbsi dan partikel diskrit mengilustrasikan kontaminan secara selektif mengalami sorbsi ke tipe tanah tertentu, atau berlangsung secara diskret. Tipe partikel ini umumnya dapat diolah dengan proses pemisahan fisik. Contohnya adalah banyak kontaminan organik yang lebih cenderung berikatan dengan bahan organik peaty pada tanah. Pada pelapisan liquid atau semi-liquid dan pelapisan endapan kimia menunjukkan kontaminan menyelimuti bagian luar partikel dan dapat dipisahkan dari bagian inti partikel yang tidak terkontaminasi dengan teknik abrasi (attrition scrubbing) atau disolusi kimia. Pelapisan pada celah atau lubang pori menunjukkan kontaminan yang berpenetrasi ke dalam pori material. Penghancuran partikel dibutuhkan untuk membuka bagian yang mengandung kontaminan sehingga dapat disisihkan melalui attrition scrubbing atau disolusi kimia. Pada kontaminasi internal, kontaminan berada di pusat sebagai bagian inti partikel. Penghancuran menyeluruh dibutuhkan untuk mengakses bagian kontaminan di pusat tersebut (CLAIRE, 2007).

2.1.4 Penyisihan Hidrokarbon Tanah Tercemar Crude Oil

Dalam upaya remediasi tanah tercemar hidrokarbon diperlukan teknik atau teknologi yang sesuai. Menurut Kasmidjo (1990), suatu negara maju yang telah memiliki standar kualitas lingkungan khususnya tanah, pemulihan tanah yang terkontaminasi dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

a. Penyimpanan tanah terkontaminasi dengan cara digali dan dibawa ke gudang penyimpanan untuk selanjutnya disimpan sementara sampai ditemukan teknik pengolahan yang tepat b. Teknik ex-situ merupakan pemisahan bahan pencemaran dari tanah atau menguraikan energi panas untuk menguapkan kontaminan dari tanah

c. Teknik in-situ pengolahan tanah terkontaminasi di tempat secara biologis atau kimia

Jenis-jenis teknik pengolahan dan pemulihan tanah terkontaminasi menurut Wang et al. (2011) adalah sebagai berikut.

1. Komposting

(36)

12

organik tinggi dan tingkat kelembapan dari kompos dapat menghasilkan panas yang mengawali proses biodegradasi. Suhu dalam pengoperasian komposting jarang berada dibawah suhu 55°C. Suhu yang tinggi digunakan untuk membunuh organisme patogen, selain itu juga digunakan untuk memperbaiki kondisi lingkungan untuk mendegradasi komponen yang berbahaya (Eweis et al., 1998).

2. Landfarming

Landfarming yang disebut juga sebagai land treatment atau

land aplication, merupakan teknik pemulihan yang

dilaksanakan di permukaan tanah baik secara in-situ

maupun ex-situ. Teknik ini merupakan metode pemulihan yang paling awal dan sederhana serta sangat umum diterapkan dalam meremediasi tanah tercemar minyak. Peralatan yang dibutuhkan sama dengan peralatan dalam pembajakan lahan pertanian.

3. Bioaugmentasi

Bioaugmentasi dapat diartikan sebagai suatu teknik pemulihan tanah tercemar dengan menambahkan mikroorganisme tertentu pada daerah yang akan diremediasi. Dalam beberapa hal, teknik bioaugmentasi

juga diikuti dengan penambahan nutrisi tertentu.

4. Biostimulasi

Biostimulasi adalah teknik menambahkan nutrisi tertentu dengan tujuan merangsang aktivitas mikroorganisme-mikroorganisme setempat (indigenous).

2.2 Teknik Remediasi dengan Metode Co-composting

(37)

13

(2006), kompos sangat berpotensi untuk meremediasi tanah terkontaminasi dengan konsentrasi besar.

Co-composting adalah metode untuk komposting sampah

organik yang diinkubasi bersama dengan tanah terkontaminasi (Van Gestel et al., 2003). Co-composting juga didefinisikan sebagai penggunaan jenis limbah lain secara bersamaan dengan limbah yang biasanya digunakan pada proses pengomposan untuk meningkatkan proses sekaligus mengurangi pembuangan limbah lain (Hapsari, 2014). Penambahan bahan organik pada tanah terkontaminasi hidrokarbon bermanfaat sebagai sumber

co-substrat, nutrien, mikroorganisme, memperbaiki struktur tanah,

dan kemampuan tanah dalam menahan air (Van Gestel et al., 2003). Co-composting sebagai metode bioremediasi telah dipertimbangkan sebagai metode yang sesuai dalam bioremediasi tanah terkontaminasi dan juga dapat mengurangi kontaminan juga meningkatkan struktur dan kandungan tanah (Semple etal., 2001). Pemilihan metode co-composting juga memberikan kontribusi berkelanjutan dalam reuse sampah organik yang biodegradable

yang kaya akan nutrien dan mikroorganisme (Sayara et al., 2011). Contoh desain metode co-composting untuk pengolahan sludge

dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2. 2 Teknologi Co-composting Pengolahan Sludge (Tiley, 2004)

2.2.1 Macam Metode Co-composting

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Tchobanoglous

et al. (1993), terdapat 3 (tiga) metode komposting yang umum

dilakukan, yaitu windrow system, aerated static pile system, dan in

(38)

14

pengaplikasian remediasi tanah tercemar crude oil dengan metode

co-composting (Agarry et al., 2010). Windrow system merupakan

metode pembuatan kompos paling sederhana dan paling murah. Bahan baku kompos berupa material organik ditumpuk memanjang dengan ketinggian 0,6-1 meter dan lebar 2-5 meter serta panjangnya 40-50 meter. Metode ini memanfaatkan sirkulasi udara secara alami sehingga sangat dipengaruhi dimensi tumpukan bahan baku kompos, kelembaban, dan ruang pori. Kelemahan dari metode ini adalah memerlukan area lahan yang cukup luas. Contoh metode komposting dengan windrow system

dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2. 3 Windrow System Composting Sumber : http://gwri.calpoly.edu/cgibin/complex2/showPage.plx?pid=64

Menurut Tchobanoglous et al. (1993), pengomposan dapat dibedakan berdasarkan prosesnya yaitu proses pengomposan aerobik dan pengomposan anaerobik.

a. Metode Pengomposan Aerobik

Komposting aerobik adalah metode pengomposan yang umum digunakan pada proses biologis untuk mengkonversi sampah organik menjadi bahan yang stabil seperti humus. Beberapa aplikasi pada teknik pengomposan secara aerobik adalah sampah taman, pemisahan sampah domestik, dan co-composting dengan lumpur air limbah (Tchobanoglous et al., 1993). Reaksi yang terjadi pada pengomposan aerobik menurut Tchobanoglous

(39)

15

Materi organik + O2 + nutrien + mikroorganisme

Kompos + sel baru + CO2 + H2O + NO3 + SO42- + panas

b. Metode Pengomposan Anaerobik

Komposting anaerobik mempunyai proses yang lebih kompleks daripada komposting aerobik. Pada pengomposan anaerobik menghasilkan manfaat yang lebih banyak yaitu dihasilkannya energi terbarukan berupa pembentukan gas metana (Tchobanoglous et al., 1993). Reaksi yang terjadi pada pengomposan anaerobik menurut Tchobanoglous et al. (1993) yaitu:

Materi organik + H2O+ nutrien

Kompos + sel baru + CO2 + CH4 + NH3 + H2S + panas

2.2.2 Penguraian Hidrokarbon dengan Co-composting

Pada proses penguraian hidrokarbon melalui rangkaian

co-composting melibatkan beberapa proses. Bioenergetik atau

katabolisme adalah bagian dari proses metabolisme yang dapat menghasilkan energi kimia. Melibatkan proses penguraian molekul-molekul organik menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Hidrokarbon merupakan senyawa organik nonpolar yang keberadaannya seringkali dianggap sebagai pencemar lingkungan dipecah dari rantai kompleks menjadi rantai sederhana (Trihadiningrum, 2012).

Pada proses penguraian hidrokarbon, pertama-tama hidrokarbon dioksidasi oleh bakteri aerob. Mikroorganisme yang dapat menguraikan jenis senyawa ini meliputi Pseudomonas fluorescens, P. oleovorans, Acinobacter calcoaceticus, Candida

lipolytica, Arthrobacter paraffineus, dan Corybacterium

glutamicum. Gugus alkil terminal dioksidasi membentuk alkohol

primer. Alkohol primer yang terbentuk akan dioksidasi lebih lanjut menjadi aldehida. Senyawa ini kemudian dioksidasi menjadi asam-asam lemak oleh dehidrogenase yang memerlukan NAD.

Selanjutnya asam lemak mengalami proses β-oksidasi untuk

(40)

16

Selanjutnya pada sistem transport elektron, atom-atom H yang keluar dari asam-asam organik pada siklus Krebs dipindahkan oleh enzim dehidrogenase melalui senyawa-senyawa nukleotida (NAD dan NADP), flavoprotein dan sitokrom yang mengandung Fe. Produk akhirnya adalah air dan ATP (Trihadiningrum, 2012).

Ali (2012) mengemukakan bahwa degradasi hidrokarbon alifatik sebagian besar berlangsung secara aerobik. Pertama oksigen masuk pada hidrokarbon yang dibantu enzim oksigenase. Enzim oksigenase menyerang terminal gugus metil untuk mengubahnya menjadi alkohol. Alkohol dioksidasi menjadi aldehid dan selanjutnya menjadi asam karboksilat. Asam karboksilat didegradasi lebih jauh lagi melalui oksidase beta dan kemudian memasuki siklus Krebs. Proses degradasi hidrokarbon alifatik dapat digambarkan melalui reaksi pada Gambar 2.4, sistem transpor elektron pada Gambar 2.5 dan diagram siklus krebs pada Gambar 2.6.

Gambar 2. 4 Degradasi Hidrokarbon Alifatik hingga β-oksidasi

(Gaudy dan Gaudy, 1998)

Gambar 2. 5 Sistem Transport Elektron

(41)

17

Gambar 2. 6 Siklus Krebs

(Trihadingrum, 2012)

Pada teknik pemulihan tanah tercemar crude oil terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan yaitu bioaugmentasi dimana mikroorganisme pengurai ditambahkan untuk melengkapi populasi mikroba yang telah ada, dan biostimulasi di mana pertumbuhan pengurai hidrokarbon asli dirangsang dengan cara menambahkan nutrien. Metode biostimulasi dengan penambahan nutrien pada proses pemulihan tanah tercemar crude oil

(42)

18

pada tanah tercemar tersebut akan mendegradasi hidrokarbon pada tanah tercemar crude oil (Handrianto et al., 2012).

Sampah organik yang ditambahkan pada tanah terkontaminasi hidrokarbon pada proses co-composting berperan sebagai bahan untuk menstimulasi peningkatan aktifitas bakteri dalam tanah tercemar crude oil dan memberikan tambahan kadar hara pada tanah (Hardianto et al., 2012). Penambahan nutrien khususnya kadar hara N, P, K pada tanah tercemar crude oil akan menambah konsentrasi kadar hara pada tanah sehingga kadar hara pada tanah mencukupi (Handrianto et al., 2012). Peningkatan konsentrasi kadar hara tanah dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba, salah satunya bakteri hidrokarbonoklastik (Udiharto, 2005). Pada proses metabolisme bakteri hara N digunakan sebagai penyusun protein, asam nukleat, dan koenzim. Hara P digunakan sebagai penyusun asam nukleat, pospolipid, dan koenzim. Hara K digunakan sebagai kofaktor beberapa enzim (Handrianto et al., 2012). Unsur C digunakan bakteri sebagai penyusun makromolekul sel misalnya protein, karbohidrat, asam nukleat, dan lipid. Semua molekul yang mengandung karbon ini terlibat dalam proses metabolisme. Tercukupinya kebutuhan nutrisi untuk perkembangbiakan bakteri ini akan menambah jumlah bakteri tersebut. Pertambahan jumlah dari bakteri ini akan memaksimalkan proses degradasi hidrokarbon

crude oil sehingga penurunan konsentrasi hidrokarbon lebih

optimum (Suharni, 2008). Penambahan sampah organik juga berfungsi dalam meningkatkan struktur dan jaringan tanah (menggemburkan dan menahan air) sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanaman dan organisme lain pada tanah dan menambah pori pada tanah sehingga meningkatkan aerasi (Chijioke-Osuji et al., 2014; Atagana, 2008).

2.3 Biobased Surfactant

Senyawa aktif permukaan atau surfactant adalah suatu senyawa yang telah diketahui dapat menjadi penstabil emulsi.

Surfactant memiliki dua gugus molekul yang berbeda

(43)

19

minyak. Aktivitas surfactant diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfactant memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian nonpolar yang suka akan lemak atau minyak (lipofilik). Bagian polar molekul surfactant dapat bermuatan positif, negatif, atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfactant dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-udara-air, dan zat padat-udara-air, membentuk lapisan hidrokarbon tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fasea air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam pada fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksi (Jatmika, 1998). Ditinjau dari produksinya, surfactant dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu synthetic surfactant (kimia) dan biobased

surfactant. Synthetic surfactant biasanya digunakan dalam industri

perminyakan, makanan, dan industri farmasi (Singh, 2006).

Biobased surfactant terdiri dari produk alami yang didapatkan

langsung dari bahan mentah tanpa adanya sintesis kimia atau modifikasi (Holmberg, 2001; Rybinski, 2001). Terdapat berbagai macam contoh pembentukan biobased surfactant, seperti

biosurfactant dan compost humic acid-like (cHAL).

Biosurfactant adalah senyawa aktif permukaan ekstraselular

yang disekresi sel-sel mikroba yang ditumbuhkan pada hidrokarbon tertentu, juga memungkinkan dihasilkan dari subtrat lain seperti karbohidrat (Chopinean et al., 1988). Keutamaan kultur mikroba adalah kemampuannya mengekskresi relatif besar atau substansi aktif permukaan yang mengemulsi, atau membasahi fase hidrokarbon sehingga pembuatannya tersedia untuk absorpsi selular (Margaritis et al., 1979). Biosurfactant terdiri dari molekul-molekul hidrofilik dan hidrofobik seperti halnya synthetic surfactant.

Biosurfactant mempunyai sifat yang sama seperti synthetic

surfactant dengan berbagai karakteristik, sehingga dapat

menurunkan tegangan permukaan udara-air, dan tegangan antarmuka dalam cairan-cairan misalnya minyak dan air dan cairan padatan (Jack, 1993). Biosurfactant dapat membentuk partikel-partikel misel, pengemulsi hidrokarbon, dan mengubah karakteristik permukaan batuan.

Biosurfactant mempunyai sifat yang mirip seperti synthetic

(44)

20

toksisitasnya, mudah terurai secara biologi, lebih efektif pada suhu, pH dan kadar garam yang berlebihan, dan lebih mudah disintesis. Di samping itu, sifat aktif permukaan yang dimilikinya berbeda dengan surfactant yang disintesis secara kimia. Biosurfactant

mempunyai banyak struktur. Sebagian besar adalah lemak, yang memiliki ciri struktur surfactant amfifil. Bagian lipofil dari lemak hampir selalu gugus hidrokarbon dari satu atau lebih asam lemak jenuh atau tak jenuh dan mengandung struktur siklik atau gugus hidroksi. Sebagian besar biosurfactant bermuatan netral atau negatif. Pada biosurfactant anionik, muatan itu disebabkan oleh karboksilat dan/atau fosfat atau kelompok sulfat. Sejumlah kecil

biosurfactant kationik mengandung gugus amina (Herawan, 1998;

Ee Lin Soo et al., 2003).

Biosurfactant sebagian besar diproduksi oleh

mikroorganisme seperti bakteri, ragi (khamir) dan kapang secara biotransformasi sel. Beberapa mikroba dapat menghasilkan

surfactant pada saat tumbuh pada berbagai substrat yang

berbeda, mulai dari karbohidrat sampai hidrokarbon. Perubahan substrat seringkali mengubah juga struktur kimia dari produk sehingga akan mengubah sifat surfactant yang dihasilkan. Beberapa mikroorganisme juga ada yang menghasilkan enzim dan dapat digunakan sebagai katalis pada proses hidrolisis, alkoholisis, kondensasi, asilasi atau esterifikasi. Proses ini digunakan dalam pembuatan berbagai jenis produk surfactant termasuk monogliserida, fosfolipida dan surfactant asam amino (Herawan, 1998; Ee Lin Soo et al., 2003).

2.4 Parameter Pengukuran Surfactant

Pengukuran kondisi surfactant secara umum dapat menggunakan parameter yang menunjukkan eksistensi surfactant

sama halnya pada biobased surfactant misalnya melalui parameter tegangan permukaan dan kemampuan emulsifikasi.

2.4.1 Tegangan Permukaan

(45)

21

menarik antara dua fase yang berbeda polaritasnya (Hargreaves, 2003).

Salah satu contoh pengukuran tegangan permukaan yaitu pada metil ester sulfonate (MES) sebesar 30,13 dyne/cm, untuk MES yang dipasaran sebesar 29,98 dyne/cm dan SLS sebesar 30,20 dyne/cm. Sedangkan tegangan antar muka untuk MES yang dibuat (A) sebesar 15,88 dyne/cm, MES dari pasaran (B) sebesar 7,13 dyne/cm, dan SLS (C) sebesar 7,77 dyne/cm. Hal ini menunjukkan kemampuan dalam menurunkan tegangan antar muka minyak air untuk A sebesar 47,29%, B sebesar 76,21% dan C sebesar 74,27%. Hal ini disebabkan karena dalam proses sulfonasi, terikatnya gugus sulfonat dalam reaksi antara asam sulfat pada atom karbon metil ester. Semakin besar ikatan gugus sulfonat pada rantai karbon metil ester akan meningkatnya jumlah gugus hidrofilik dari MES. Gugus hidrofilik ini akan menurunkan gaya kohesi dari molekul air sehingga akan menurunkan tegangan permukaan (Sampepana et al., 2012).

Menurut Suryani et al., (2000), penurunan tegangan antar muka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang tidak sejenis. Gaya tolak-menolak bersifat menstabilkan emulsi karena gaya ini mempertahankan butiran dopret agar tetap terpisah.

Semakin banyak molekul surfactant yang terbentuk dapat membuat tegangan permukaan semakin menurun. Semakin banyaknya molekul surfactant, maka gaya kohesi air akan menurun. Molekul-molekul surfactant mempunyai kecenderungan untuk berada pada permukaan sebuah cairan. Akibat dari adanya

surfactant adalah secara signifikan menurunkan jumlah total kerja

untuk memperluas permukaan karena molekulnya mengikat fasa polar, yaitu air, dan non-polar, yaitu udara (Farn, 2006).

2.4.2 Kemampuan Emulsifikasi

Emulsi adalah dispersi suatu larutan dalam larutan lainnya, pada umumnya adalah water-in-oil (w/o) atau oil-in water

(46)

22

positif bebas (tegangan antarmuka), maka sistem emulsi menjadi tidak stabil secara termodinamika. Tetapi ada kemungkinan untuk membentuk emulsi dengan stabilitas yang lama. Hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan suatu emulsifier yang akan berakumulasi pada permukaan minyak/air dan membentuk lapisan energi (Claesson et al., 2001).

Emulsifier dapat berupa surfactant anionik, zwitterionik, atau nonionik, protein, dan polimer (Holmberg et al., 2002). Menurut Claesson (2001) menyatakan bahwa penambahan bahan pengemulsi yang cukup ke dalam campuran dua larutan akan terbentuk lapisan utuh antara kedua cairan tersebut yang dapat menurunkan tegangan permukaan, sehingga tetap stabil dan lama. Menurut Suryani et al. (2000), kestabilan emulsi pada suatu

surfactant adalah kesetimbangan antara gaya tarik-menarik dan

gaya tolak-menolak yang terjadi antar partikel dalam sistem emulsi. Apabila kedua gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka globula-globula fasa terdispersi dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak tergabung. Adapun faktor-faktor yang menentukan kestabilan suatu emulsi adalah ukuran partikel dan distribusi, jenis emulsifier yang digunakan, rasio antara fasa terdispersi dan fasa pendispersi dan perbedaan tegangan antara dua fasa.

2.5 Compost Humic Acid-Like (cHAL)

2.5.1 Kompos

(47)

23

Menurut Indriani (2007) kompos mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan antara lain :

a. memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan,

b. memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai,

c. menambah daya ikat air pada tanah, memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah,

d. mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara, mengandung hara yang lengkap walaupun jumlahnya sedikit,

e. membantu proses pelapukan bahan mineral, memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba.

Kompos dibuat dari bahan organik yang berasal dari bermacam-macam sumber. Dengan demikian, kompos merupakan sumber bahan organik dan nutrisi tanaman. Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulose15-60%, hemiselulose 10-30%, lignin 5-30%, protein 5-30%, bahan mineral (abu) 3-5%, di samping itu terdapat bahan larut air panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea, garam amonium) sebanyak 2-30% dan 1-15% lemak larut eter dan alkohol, minyak dan lilin (Sutanto, 2002). Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) dan stabilisasi bahan organik oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkendali (terkontrol) dengan hasil akhir berupa humus dan kompos (Simamora dan Salundik, 2006).

(48)

24

dibanding asam fulvat, oleh karena itu asam humat dapat memperbaiki sifat dan kualitas tanah. Polifenol, yang berasal dari lignin atau disintesis oleh mikroba, yang enzimatik dikonversi ke quinon, yang mengalami kondensasi diri atau bergabung dengan senyawa amino untuk membentuk polimer yang mengandung nitrogen. Substansi humat sebagian besar disebabkan oleh adanya oksigen tinggi mengandung gugus fungsional: karboksil, fenolik, dan/atau enolic, hidroksi, alkohol, keton dari quinon dan hidroksi quinon, serta alpha dan beta keton tak jenuh (Pauli, 1967). Berdasarkan peranannya di dalam tanah, maka keberadaan asam-asam organik (humat dan fulvat) menjadi sangat penting untuk diketahui karakteristik dan jumlahnya pada kompos. Kandungan asam-asam organik (humat dan fulvat) perlu dijadikan sebagai salah satu acuan dan standar untuk menentukan kualitas kompos. Kandungan asam humat maupun asam fulvat telah terbentuk setelah 20 hari pengomposan dengan jumlah asam fulvat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan asam humat. Pada umur kompos 20 hari jumlah asam humat yang terbentuk belum berbeda nyata antar perlakuan yang dicobakan. Seiring dengan lamanya pengomposan kandungan asam humat secara perlahan meningkat, sementara asam fulvat terlihat sudah menurun jumlahnya pada umur kompos pada umur 60 hari. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Inbar et al. (1990) dimana dikatakan bahan organik yang perombakannya baru pada tahap awal biasanya mengandung asam fulvat lebih banyak dibandingkan asam humat dan jika perombakannya telah berlanjut asam fulvat menurun atau tetap jumlahnya. Sedangkan asam humat justru meningkat (Agustian dan Gusnidar, 2004).

2.5.2 Humic Acid Sebagai Asam Organik

Istilah asam humat dikemukakan oleh Berzelius pada tahun 1830 yang menggolongkan fraksi humat ke dalam:

a. Asam humat, yakni fraksi yang larut dalam basa,

b. Asam krenik dan apokrenik, yakni fraksi yang larut dalam asam, dan

(49)

25

istilah asam krenik dan apokrenik. Sekarang senyawa humat didefinisikan sebagai bahan koloidal terdispersi bersifat amorf, berwarna kuning hingga coklat-hitam dan mempunyai berat molekul relatif tinggi (Tan, 1993; Millar, 1959; Stevenson, 1982).

Berdasarkan hasil penelitian, secara kimia ketiga fraksi senyawa humat baik asam humat, asam fulvat dan humin mempunyai komposisi yang hampir sama, tetapi berbeda dalam hal bobot molekul dan kandungan gugus fungsionalnya. Asam fulvat mempunyai bobot molekul rendah, tetapi kandungan gugus fungsional yang mengandung O, yaitu COOH (karboksil), -OH (fenolik) dan - C=O (karbonil) lebih tinggi per satuan bobot dibanding dengan asam humat dan humin (Kononova, 1966). 2.5.3 Struktur dan Karakteristik Humic Acid

Humic Acid merupakan substrat organik yang berupa

konstituen alami pada tanah (Senesi dan Loffredo, 2000) dan air (Boggs et al., 1985; Gasparovic dan Cosovic, 2003). Humic Acid

mempunyai komposisi yang terdiri atas polimer tanaman dan fraksi hidrofilik, dimana kandungan utamanya berupa kelompok ionik seperti asam karboksilat, dan ikatan nonpolar seperti fenol, alkohol, aldehid, keton, amide dan amino. Karakteristik tersebut mengindikasikan bahwa humic acid mempunyai kelengkapan amfibik, dan dapat digunakan sebagai naturalsurfactant (biobased

surfactant).

Kemampuan humic acid dalam meningkatkan kelarutan kontaminan telah teruji langsung pada media tanah. Humic Acid

pada konsentrasi 10 mg/L dapat melakukan pemisahan sejumlah polutan dan polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH), triophene dari tanah sama halnya dengan SDS dan Triton X-100. Asam humic menunjukkan perannya sebagai surfactant dan dapat digunakan untuk substitusi synthetis surfactant pada berbagai aplikasi. Namun ide ini membutuhkan prosedur yang jelas sebagai kontrol kualitas, sertifikasi dan pengemasan. Tanpa langkah tersebut akan sulit untuk melakukan promosi dan pengembangan di pasar yang kompetitif (Avdalovic et al., 2012). Struktur humic acid menurut Stevenson (1994) dapat dilihat pada Gambar 2.7. Humic acid

(50)

26

Gambar struktur hidrofobik dan hidrofilik dari humic acid dapat dilihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2. 7 Struktur Humic Acid (Stevenson, 1994)

2.5.4 Pemisahan Humic Acid

Teknik pemisahan Compost Acids Humic - Like (cHAL) dapat dilakukan dengan melakukan serangkaian prosedur yang meliputi pembuatan ekstraksi surfactant, pengukuran pH, pengukuran cmc, pengukuran absorbansi, pengukuran tegangan permukaan dan parameter termodinamik (Munanha dan Khan, 2015). Kandungan asam-asam organik dari bahan kompos telah dipelajari oleh Rahmawati (2003) dengan melihat karakterisasi

Hidrofilik Hidrofobik

(51)

27

asam humat yang dihasilkan dari hasil ekstraksi kompos gambut dan kompos daun karet menunjukkan bahwa kualitas bahan sangat menentukan kandungan asam humat dan asam fulvat yang dihasilkan serta sifat kimia lainnya. Rahmawati (2003) juga menerangkan bahwa kemasaman total dari gugus karboksil (-COOH) dan gugus fenol (-OH) meningkat (7.84 – 12.17) me/g setelah gambut dikomposkan, kemasaman total yang tinggi merefleksikan kompleksasi yang tinggi ataupun kapasitas khelat yang tinggi dari 20 asam humat. Sedangkan Wahjudin (2006) menunjukkan bahwa manfaat pemberian kompos pada tanah

(Vertic Hapludult) yang diberikan tambahan (2%) kompos dari

jerami padi yang masih mentah (C/N>45) akan meningkatkan kandungan asam humat pada bahan campuran sampai hampir 50 kali lipat lebih besar dari kandungan asam humat pada bahan kompos itu sendiri dan meningkatkan produksi tanaman uji. Walaupun terdapat keraguan dari mana terjadinya peningkatan asam humat sebesar itu, tetapi informasi tersebut paling tidak menunjukkan bahwa asam humat dan asam fulvat merupakan salah satu sifat penting pada kompos.

Pemisahan asam humat didasarkan atas kelarutannya dalam asam dan alkali. Diagram alur untuk pemisahan senyawa-senyawa humat ke dalam fraksi-fraksi humat yang berbeda dapat terlihat pada Gambar 2.9. Pemisahan asam humat menjadi sangat penting untuk diketahui dan dipahami supaya memudahkan dalam penentuan kualitas kompos, Tan (1993) mengemukakan bahwa pemilihan ekstrakan yang cocok didasarkan pada dua pertimbangan yaitu:

a. pengekstrak seharusnya tidak mempunyai pengaruh merubah sifat fisik dan kimia bahan yang diekstrak; dan b. pengekstrak harus dapat secara kuantitatif memisahkan

bahan humat dari tanah.

(52)

28

NaOH 0,1 N lebih disukai oleh sifat ekstraknya yang tidak terlalu kuat dibanding NaOH 0,5 N.

Bahan Organik Tanah

Gambar 2. 9 Diagram Alur Pemisahan Senyawa Humat

(Tan, 1993; Stevenson, 1982 dengan Modifikasi)

2.5.5 Peran Asam Humat dalam Pemisahan Kontaminan Tanah

(53)

29

fraksi hidrofilik, yang terdiri atas gugus ionik seperti asam karboksilat, dan kutub nonionik seperti fenol, alkohol, aldehida, keton, amida dan amina. Karakteristik ini menunjukkan bahwa HAs memiliki sifat amphiphilic. Asam humat bertindak sebagai natural

surfactant atau biobased surfactant yaitu mereka mampu

menurunkan tegangan permukaan pada konsentrasi tinggi, seperti struktur micelle dan membentuk emulsi dengan kontaminan (Guetzloff dan Rice, 1994; Kleber et al., 2007).

Selain dari sifat hidrofobik dan hidrofiliknya juga terdapat fenomena adsorpsi oleh surfactant mengacu pada kumpulan molekul pada permukaan luar atau permukaan internal padatan atau cairan (Dabrowski, 2001; Desta, 2013). Selama proses banjir, molekul surfactant cenderung membentuk agregat pada permukaan batuan yang menurunkan konsentrasi awal dimana dibutuhkan untuk menurunkan tegangan antarmuka (IFT). Jumlah

surfactant yang teradsorbsi bergantung pada berbagai parameter

seperti; Jenis surfactant yang digunakan, mineralogi dan karakteristik morfologi batuan, adanya co-surfactant dan alkohol, kotoran, sifat elektrolit yang ada dalam larutan, suhu reservoir dan pH reservoir (Bera, 2015; Wilson et al., 2014; Alvarado dan Manrique, 2010; Sheng, 2015).

Kemurnian surfactant anionik, rantai hidrokarbon dan kelompok fungsional semua kondisi ini memainkan aturan dalam adsorpsi. Kemurnian anionic surfactant tidak banyak diperhitungkan dalam industri minyak dan gas namun menjadi pertimbangan terbentuknya koloid. Beberapa laporan menyebutkan bahwa efek kelompok fungsional memainkan peran penting dalam struktur yang teradsorpsi lapisannya tergantung pada bentuk molekul serta tergantung pada tolakan yang sama. Isomer surfactant dengan kelompok fungsional yang sama, perbandingan adsorpsi tetap sama dan sangat tergantung pada biaya pada kelompok fungsional (Scamehorn et al., 1982; Bera et

al., 2013; Mao et al., 2015). Akibatnya, surfactant dengan rantai

hidrokarbon yang lebih lama memiliki penggerak yang jauh lebih besar kekuatan untuk agregasi, ini menunjukkan bahwa anionic

surfactant dengan rantai yang lebih panjang memiliki hubungan

langsung dengan agregat di atas batu karang permukaan (Bera et

(54)

30

2.6 Tween 80

2.6.1 Struktur dan Sumber

Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat. Penamaan tersebut dikarenakan Tween 80 atau Polysorbate 80 juga merupakan ester oleat dari sorbitol di mana tiap molekul anhidrida sorbitolnya berkopolimerisasi dengan 20 molekul etilenoksida. Rumus molekul Tween 80 adalah C64H124O26 dengan

rumus struktur pada Gambar 2.10.Tween 80 berupa cairan kental berwarna kuning dan agak pahit (Rowe et al., 2009). Secara spesifik pada suhu 25ºC, Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Larut dalam air dan etanol, tidak larut dalam minyak mineral.

Gambar 2. 10 Rumus Bangun Tween 80

(Rowe, 2009)

Kegunaan Tween 80 antara lain sebagai: zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan (Rowe, 2009). Tween 80 juga berfungsi sebagai peningkat penetrasi (Akhtar, et al., 2011). Tween 80 dalam penggunaannya s sebagai emulsifying agent

(55)

31

larut dalam mineral oil dan vegetable oil. Aktivitas anti mikroba dari pengawet golongan paraben dapat mengurangi jumlah

polysorbate (Rowe et al., 2009).

2.6.2 Aplikasi Tween 80 dalam Pemisahan Hidrokarbon Dalam rangka meningkatkan kelarutan dari polutan TPH, perlu ditambahkan suatu agen aktif permukaan (emulsifier atau

surfactant). Salah satu kondisi yang membatasi proses

biodegaradasi senyawa hidrokarbon adalah tingkat kelarutan dari senyawa tersebut yang menyebabkan penurunan efisiensi serta laju degradasi. Keterbatasan tersebut dapat diatasi dengan penambahan senyawa aktif permukaan ke dalam sistem sehingga akan meningkatkan kelarutan senyawa hidrokarbon untuk didegradasi oleh mikroorganisme. Penambahan surfactant berupa

biosurfactant dan Tween 80 mampu meningkatkan kelarutan

polutan sehingga menjadi lebih tersedia untuk digunakan mikroorganisme. Hal tersebut ditunjukkan dengan efisiensi pemisahan TPH dalam reaktor dengan penambahan biosurfactant

dan reaktor penambahan Tween 80 sebesar 65,1% dan 73,8% dimana lebih besar dari reaktor kontrol yang hanya mampu menurunkan konsentrasi TPH sebesar 24,3% (Helmy dkk, 2011). 2.7 Soil Washing

2.7.1 Pengertian

Soil washing adalah proses reduksi volume atau miniminasi

limbah dimana (i) partikel tanah yang mengandung mayoritas kontaminan dipisahkan dari fraksi bulk tanah, atau (ii) kontaminan disisihkan dari tanah dengan larutan kimia dan di-recovery dari larutan dalam bentuk substrat padat. Di kedua metode, kontaminan yang telah disisihkan akan dibuang ke landfill bahan berbahaya dan beracun (B3) (atau akan diolah lebih lanjut dengan proses kimia, thermal atau biologis) (Technical Bulletin, 2007).

Proses soil washing akan selalu menggunakan air. Adapun fungsi air pada soil washing adalah:

a. pemecah gumpalan (disaggregate) tanah

b. bahan untuk mengendapkan partikel tanah sehingga proses pemisahan dapat terjadi secara efektif dan efisien

Gambar

Gambar 2. 1 Jenis Kontaminasi pada Tanah Tercemar
Gambar 2. 6 Siklus Krebs
Gambar 2. 7 Struktur Humic Acid
Gambar 2. 9 Diagram Alur Pemisahan Senyawa Humat
+7

Referensi

Dokumen terkait