BAB II
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS
2.1 Defisit Anggaran Pemerintah Daerah
2.1.1 Pengertian Defisit Anggaran Pemerintah Daerah
Menurut Darise, (2009: 129), Defisit merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Dalam artian pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut dengan defisit. Secara akuntansi anggaran pemerintah terlihat bahwa penerimaan akan sama dengan pengeluaran, sehingga anggaran akan selalu terlihat dalam kondisi yang seimbang. Defisit Anggaran Pemerintah Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pasal 15 tentang struktur APBD, adalah selisih kurang Pendapatan Daerah terhadap Belanja Daerah.
Selisih antara pendapatan dan belanja dicatat dalam pos surplus/defisit. Surplus adalah selisih lebih antara pendapatan dan belanja selama satu periode anggaran, sedangkan defisit merupakan selisih kurang antara pendapatan dan belanja selama satu periode anggaran (Mahmudi, 2010: 76).
Defisit merupakan suatu kondisi di mana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) mengalami ketimpangan antara jumlah anggaran
belanja pembangunan dan pendapatan (penerimaan daerah).
Defisit secara harfiah berarti adalah kekurangan dalam kas keuangan. Defisit biasa terjadi ketika suatu organisasi (biasanya pemerintah) memiliki pengeluaran lebih banyak dari pada penerimaan. Lawan dari defisit
adalah surplus. Hal pertama yang harus dicatat, munculnya kekurangan dalam pendanaan dibanyak negara merupakan hal yang klasik. Pemerintah dibanyak daerah juga mengenal defisit anggaran, bahkan sebelum penemuan istilah anggaran umum.
2.1.2 Konsep Pengukuran dan Pembiayaan Defisit
Konsep ukuran defisit anggaran yang digunakan adalah anggaran sesuai APBD Kota Gorontalo. Dimana jumlah defisit adalah total penerimaan pemerintah ditambah dengan hibah dan kemudian diselisihkan dengan pengeluaran pemerintah. Sedangkan untuk konsep pembiayaan defisit dalam Peraturan Menteri dalam Negeri No. 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, dalam bukunya Darise, (2009: 129) APBD diperkirakan defisit, dapat didanai dari pembiayaan daerah yang bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penggunaan dana cadangan, penerimaan pinjaman, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan dan penerimaan kembali pinjaman.
2.2 Pinjaman Pemerintah Daerah
2.2.1 Pengertian Pinjaman Pemerintah Daerah
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.30 Tahun
2011 tentang pinjaman daerah, pinjaman daerah adalah semua transaksi
yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima
dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Mahmudi (2010: 180)
menjelaskan bahwa pinjaman daerah dapat berupa pinjaman kepada pemerintah pusat, pinjaman kepada pemerintah daerah lain, pinjaman kepada kepada bank maupun bukan bank dan penerbitan obligasi pemerintah daerah. UU No. 33/2004 menyebutkan bahwa pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (Kuncoro, 2012: 348).
2.2.2 Sumber-sumber Pinjaman Daerah
Darise, (2009: 102) menjelaskan pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman jangka menengah dan jangka panjang yang bersumber dari:
1. Pemerintah Pusat, berasal dari APBN termasuk dana investasi
Pemerintah, penerusan Pinjaman Dalam Negeri, dan/atau
penerusan Pinjaman Luar Negeri.
2. Pemerintah Daerah lain.
3. Lembaga Keuangan Bank, yang berbadan hukum Indonesia dan
mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4. Lembaga Keuangan Bukan Bank, yaitu lembaga pembiayaan yang
berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan
5. Masyarakat, berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui
penawaran umum kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri.
2.2.3 Jenis-jenis Pinjaman Daerah
Berdasarkan waktunya, pinjaman daerah dapat dikategorikan dalam
pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Secara
detail Darise, (2010: 101) memberikan penjelasan setiap jenis pinjaman
tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut:
1. Pinjaman Jangka Pendek
Pinjaman jangka pendek merupakan pinjaman daerah dalam jangka
waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban
pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan
biaya lain (termasuk biaya administrasi, komitmen, provisi, asuransi, dan
denda) seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang
bersangkutan. Pinjaman jangka pendek tidak termasuk kredit jangka
pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan, misalnya pelunasan
kewajiban atas pengadaan/pembelian barang dan/atau jasa tidak
dilakukan pada saat barang dan/ atau jasa dimaksud diterima. Pinjaman
jangka pendek dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas.
2. Pinjaman Jangka Menengah
Pinjaman jangka menengah merupakan pinjaman daerah dalam
jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran
kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain
harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan
Kepala Daerah yang bersangkutan. Pinjaman jangka menengah
dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak
menghasilkan penerimaan.
3. Pinjaman Jangka Panjang
Pinjaman jangka panjang merupakan pinjaman daerah dalam
jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran
kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain
(seperti: biaya administrasi, komitmen, provisi, asuransi, dan denda) harus
dilunasi pada tahun-tahun berikutnya sesuai dengan persyaratan
perjanjian pinjaman yang bersangkutan. Pinjaman jangka panjang
dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan
penerimaan.
2.2.4 Prinsip-Prinsip Umum Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah adalah salah satu sumber pembiayaan daerah
dalam pelaksanaan desentralisasi. Dalam bukunya Darise, (2009: 100)
pemerintah daerah harus dapat memenuhi ketentuan prinsip umum
pinjaman daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 33
Tahun 2004 dan PP 54 Tahun 2005 sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung
kepada pihak luar negeri. Larangan tersebut tidak berlaku dalam hal
kegiatan transaksi obligasi daerah sesuai peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
2. Pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman
pihak lain.
3. Pendapatan Daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh
dijadikan jaminan pinjaman daerah. Akan tetapi terhadap proyek
yang dibiayai dari obligasi daerah beserta barang milik daerah yang
melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi
daerah.
2.3 Analisis Defisit Anggaran Pemerintah Daerah dan Dampaknya Terhadap Pinjaman Pemerintah Daerah
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,
untuk memberikan alternatif sumber pembiayaan bagi pemerintah daerah
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah daerah dapat
melakukan pinjaman. Peraturan Menteri dalam Negeri No. 13 tahun 2006
tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, dalam bukunya Darise (2009: 129) menekankan bahwa dalam hal APBD diperkirakan defisit dapat didanai dari pembiayaan daerah yang bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran lalu, penggunaan dana cadangan, penerimaan pinjaman, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang. Langkah-langkah untuk menutupi defisit disebut penerimaan pembiayaan.
Dari uraian tersebut salah satu ukuran untuk menentukan defisit anggaran dapat ditutup yaitu dengan pinjaman daerah.
Dalam hal ini, penulis ingin menganalisis tentang sejauh mana defisit anggaran pemerintah daerah berdampak terhadap pinjaman daerah. Disisi lain, hanya sebagai pembuktian dari kecenderungan yang terjadi dalam APBD. Pinjaman merupakan sumber alternatif yang dapat
digunakan untuk menutupi defisit anggaran. Akan tetapi pinjaman daerah
perlu dianalisis dengan cermat dikarenakan jika salah menetapkan pinjaman dalam suatu daerah akan menyebabkan resiko yang sangat besar. Karena sudah jelas pinjaman daerah membawa konsekuensi dimana pemerintah harus membayar sejumlah pokok pinjaman beserta bunganya, pada saat jatuh tempo. Sehingga, Besarnya pinjaman sedapat mungkin disesuaikan dengan kemampuan daerah untuk mengembalikan
pinjaman dan tidak membebani APBD (Karismawan, 2011: 2).
2.4 Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian yang berkaitan dengan defisit anggaran telah banyak dilakukan. penelitian ini mendapat ide dan pengetahuan dari penelitian terdahulu antara lain Karismawan, (2011: 8) dengan judul penelitiannya defisit anggaran pendapatan dan belanja daerah serta pembiayaannya di
kabupaten lombok barat, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
Sumber-sumber pembiayaan daerah dapat menutupi defisit secara
sinambung, dan yang paling dominan dalam menutupi defisit APBD
perhitungan anggaran tahun lalu (SILPA), Penerimaan pinjaman daerah
serta Pencairan dana cadangan hanya pelengkap. Sedangkan dalam
penelitiannya Pamuji, (2008: 6) Hasil analisis menunjukkan bahwa defisit
anggaran yang dibiayai dari utang luar negeri akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan bersifat inflationary. Dimana dari hasil estimasi
menunjukkan bahwa defisit anggaran yang dibiayai dari utang luar negeri
akan meningkatkan jumlah uang beredar, yang akan berpengaruh pada
peningkatan tingkat harga atau inflasi.
Penelitian dari Waluyo (2006: 19) Hasil penelitian pembiayaan defisit
dengan menggunakan utang luar negeri, melalui bank sentral dan melalui bank umum akan berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan bersifat inflationary. Hasil penelitian dari Hastin, Idris dan Hasdi Aimon, (2013: 17) menunjukkan secara parsial terdapat pengaruh yang signifikan dan positif yaitu defisit anggaran terhadap penawaran obligasi pemerintah
di Indonesia. Sedangkan pinjaman luar negeri pemerintah, suku bunga
SBI, dan permintaan obligasi pemerintah mempunyai pengaruh signifikan
dan arahnya negatif terhadap penawaran obligasi pemerintah di
Indonesia. Dalam penelitian Tesamaris dan Siti Fatimah, (2005: 1) dari
hasil analisis ECM nampak bahwa ada hubungan dua arah yaitu defisit
Tabel 2: Mapping Penelitian Terdahulu
Nama Judul Hasil
Penelitian Karismawan, (2011) Pamuji, (2008) Waluyo (2006) Hastin, Idris dan Hasdi Aimon, (2013) Tesamaris dan Siti Fatimah, (2005) Defisit anggaran pendapatan dan belanja daerah serta pembiayaannya di kabupaten lombok barat
Analisis dampak defisit anggaran
Terhadap ekonomi makro Di indonesia (tahun 1993 -2007)
Pengaruh pembiayaan defisit anggaran terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi: suatu simulasi model ekonomi makro indonesia 1970 – 2003.
Analisis pasar obligasi pemerintah di indonesia.
Analisis kausalitas antara hutang luar negeri dengan defisit anggaran
Pandapatan dan belanja negara Indonesia tahun 1978-2003
Sumber-sumber pembiayaan daerah dapat menutupi defisit secara sinambung, dan yang paling dominan dalam menutupi defisit APBD Kabupaten Lombok Barat tahun anggaran 2005-2009 adalah Sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu (SILPA), Penerimaan pinjaman daerah serta Pencairan dana cadangan hanya pelengkap.
Defisit anggaran yang dibiayai dari utang luar negeri akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan bersifat inflationary. Dimana dari hasil estimasi menunjukkan bahwa defisit anggaran yang dibiayai dari utang luar negeri akan meningkatkan jumlah uang beredar, yang akan berpengaruh pada peningkatan tingkat harga atau inflasi.
Waluyo (2006) melakukan penelitian terhadap perekonomian Indonesia menggunakan data tahun 1970-2004 menyimpulkan bahwa defisit anggaran pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan defisit yang dibiayai dengan obligasi pemerintah tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Secara parsial terdapat pengaruh yang signifikan dan positif yaitu defisit anggaran terhadap penawaran obligasi pemerintah di Indonesia. Sedangkan pinjaman luar negeri pemerintah, suku bunga SBI, dan permintaan obligasi pemerintah mempunyai pengaruh signifikan dan arahnya negatif terhadap penawaran obligasi pemerintah di Indonesia.
Analisis ECM nampak bahwa ada hubungan dua arah yaitu defisit APBN mempengaruhi hutang luar negeri dan sebaliknya.
Sumber: Data Olah, 2013
2.5 Kerangka Berfikir
Otonomi daerah merupakan bagian dari demokratisasi dalam
menciptakan sebuah sistem yang powershare pada setiap level
pemerintahan serta menuntut kemandirian sistem manajemen di daerah. Distribusi kewenangan/kekuasaan, disesuaikan dengan kewenangan
pusat dan daerah termasuk kewenangan keuangan. Untuk melakukan pengambilan keputusan ekonomi, sosial dan politik, diperlukan informasi akuntansi, yang salah satunya berupa laporan keuangan (Halim, 2010: 105). Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya pengelolaan keuangan yang baik untuk menyusun laporan keuangan bagi suatu daerah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menjelaskan bahwa: 1)
pengawasan atas keuangan daerah dilakukan oleh dewan, 2) adanya
pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan daerah oleh eksternal
yaitu BPK. Selanjutnya untuk perencanaan anggaran daerah secara
keseluruhan mencakup penyusunan Kebijakan Umum APBD sampai
dengan disusunnya Rancangan APBD. Walaupun dengan dilakukannya
pengelolaan keuangan yang baik dan perencanaan APBD yang baik,
dibeberapa daerah tetap mengalami defisit anggaran.
Defisit anggaran merupakan selisih kurang antara pendapatan dan
belanja. Dalam rangka pembiayaan defisit anggaran pemerintah daerah,
diperlukan adanya sumber pembiayaan. Pembiayaan Daerah adalah
semua penerimaan yang perlu dibayar kembali atau pengeluaran yang
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan
maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah
sebagaimana dimaksud dalam Permendagri No. 13 tahun 2006, Pasal 22
ayat (1) huruf c terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran
pinjaman daerah. Pinjaman Daerah merupakan alternatif pendanaan
APBD yang digunakan untuk menutup defisit APBD, pengeluaran
pembiayaan dan kekurangan arus kas.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikembangkan kerangka pemikiran atas penelitian ini yaitu: Analisis pengaruh defisit anggaran pemerintah daerah terhadap pinjaman pemerintah daerah di Kota Gorontalo (Periode 2006 – 2013). Maka dapat digambarkan sebagai berikut: Pengelolaan Keuangan Daerah APBD Pendapatan Belanja Surplus/Defist Pembiayaan Penerimaan Pengeluaran Pinjaman Pemerintah Daerah Otonomi Daerah
Gambar 1: Kerangka Berfikir
2.6 Hipotesis
Hipotesis bisa didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Sugiyono, (2009: 96) hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis yang ingin dibangun oleh penulis dalam penelitian ini adalah semakin tinggi nilai defisit anggaran pemerintah daerah maka semakin tinggi juga nilai pinjaman pemerintah daerah.