• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Penelitian yang Relevan - BAB II SIGIT ANDI PRASETYA DINATA 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Penelitian yang Relevan - BAB II SIGIT ANDI PRASETYA DINATA 2"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Penelitian yang Relevan

Dalam penelitian yang membahas tentang dialek sudah sudah ada beberapa

tahun yang lalu. Penelitian yang dimaksud ialah penelitian yang sudah meneliti

bahasa dialek Sunda atau kasus-kasus penelitian hampir mirip dengan penelitian

yang akan penulis lakukan, tetapi peneliti meyakini bahwa penelitian yang penulis

akan lakukan berbeda dengan penelitian yang sudah ada atau yang penulis

cantumkan sebagai penelitian relevan. Penelitian yang sudah ada yaitu pada tahun

2010 dan 2015 yang mengangkat judul:

1. Penelitian yang diambil sebagai penelitian relevan berjudul: Studi Komparatif Penggunaan Dialek Sunda di Kecamatan Cimanggu dengan Dialek Sunda di Kecamatan Dayeh Luhur (kajian dialektologi)

Penelitian diatas adalah penelitian yang ditulis oleh Linawati dari FKIP UMP.

Penelitian yang ditulis oleh Linawati merupakan penelitian dialektologi yang

membahas bidang fonologis dan semantis, penelitian ini dilakukan di Kecamatan

Cimanggu dan Kecamatan Dayeh Luhur. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh

Linawati dengan penelitian yang penulis ajukan adalah pada bagian tempat

penelitian, tempat penelitian yang dilakukan oleh Linawati merupakan tempat yang

warga masyarakatnya masih murni menggunakan bahasa Sunda, jika penelitian yang

akan penulis ajukan dilakukan di tempat yang warga masyarakatnya mempunyai dua

bahasa yaitu bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Penulis meyakini penelitian yang

(2)

2. Selain penelitian yang ditulis oleh Linawati, peneliti juga mengambil penelitian lainnya dengan judul: Perbedaan Fonologis dan Semantis Dialek Perbatasan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas

Penelitian diatas merupakan penelitian yang ditulis oleh Yeni Arista dari FKIP

UMP pada tahun 2015. Penelitian yang dilakukan oleh Yeni Arista melakukan

penelitian di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas dan dalam penelitiannya

hanya meneliti dialek dari segi fonologis dan semantisnya saja. Persamaannya hanya

sama-sama membahas bidang fonologis dan semantis, tetapi penulis juga membahas

tentang faktor yang mempengaruhi perbedaan penggunaan dialek Sunda di Desa

Surusunda Kecamatan Karangpucung dengan Desa Majingklak Kecamatan

Wanareja.

Penulis meyakini bahwa penelitian yang peneliti ajukan ini berbeda dengan

penelitian sebelum-sebelumnya yang sudah dilakukan. Jika penelitian sebelumnya

melakukan penelitian di tempat yang memliki bahasa yang sama beda lagi dengan

penelitian yang penulis ajukan. Tempat yang akan menjadi tempat penelitian itu

masih memiliki dua bahasa yaitu bahasa Sunda dan Jawa. Jika penelitian yang sudah

ada meneliti daerah yang mempunyai bahasa yang sama, sama-sama bahasa Sunda

atau sama-sama bahasa Jawa, tetapi penelitian yang penulis ajukan dilakukan di

tempat yang memiliki dua bahasa yaitu bahasa Sunda dan Jawa, tetapi penulis tetap

memfokuskan penelitian di bahasa Sunda sesuai judul yang diajukan, dengan begitu

penelitian yang penulis ajukan tidak akan mengalami kesamaan isi dengan penelitian

yang sebelumnya atau yang sudah ada. Jadi dapat disimpulkan bahwa penelitian

yang akan diajukan oleh penulis masih original dan belum ada penulis yang meneliti

permasalahan tersebut sebelumnya dan penulis mampu mempertanggungjawabkan

(3)

B. Bahasa

1. Pengertian Bahasa

Menurut Poerwadarminta, (80, 2007) bahasa merupakan suatu sistem lambang

bunyi yang dipakai oleh suatu masyarakat dalam suatu daerah tertentu untuk

berinteraksi, bercakap muka dengan masyarakat lain, melakukan tingkah laku yang

baik dan mempunyai sifat sopan santun kepada setiap masyarakat lainnya. Rumusan

yang hampir sama dinyatakan oleh Lyons (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya 2010:

1), bahwa bahasa adalah most of them here taken the views that languages are system

of symbols, designed, as it were, for the purpose of communications (kebanyakan

dari mereka di sini berpandangan bahwa bahasa adalah sistem simbol yang dirancang

untuk berkomunikasi). Berdasarkan pendapat Lyons, dapat dikatakan bahwa bahasa

bersistem, berwujud simbol, yang dimaksud berwujud simbol adalah dapat kita lihat

dan kita dengar dalam lambang, serta bahasa juga digunakan oleh masyarakat

sehari-hari untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Pada

hakekatnya bahasa dipergunakan oleh manusia dalam segala aktivitas kehidupan.

Reching Koen (dalam Aslinda dan Leni, 2010:2) menyatakan, bahwa hakikat bahasa

bersifat (a) mengganti, (b) individu, (c) kooperatif, dan (d) serta sebagai alat

komunikasi sehari-hari.

Selain empat hakikat bahasa diatas, Chaer (2004: 11-14) juga mengatakan,

bahwa hakikat bahasa itu ada 8 butir. Delapan butir hakikat bahasa itu yaitu: (a)

bahasa merupakan sebuah sistem sistem, (b) bahasa terdiri dari lambang-lambang,

(c) bahasa bersifat arbitrer, (d) bahasa bersifat konvensional, (e) bahasa bersifat

(4)

manusiawi. Delapan butir hakikat bahasa tersebut, dapat dikatakan bahwa bahasa

merupakan hal paling penting dalam kehidupan manusia, karena dengan bahasa

manusia lebih mudah dalam beraktivitas, berinteraksi, bekerja sehari-hari dengan

masyarakat lainnya.

Chaer (2003:30) juga menambahkan bahwa bahasa itu adalah satu sistem, sama

dengan sistem-sistem lain, yang sekaligus bersifat sistematis dan bersifat sistemis.

Jadi, bahasa itu bukan merupakan satu sistem tunggal melainkan dibangun oleh

sejumlah subsistem, subsitem yang dimaksud adalah (fonologi, sintaksis, dan

leksikon). Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang, hanya saja sistem lambang

bahasa ini berupa bunyi, bukan gambaran atau tanda lain dan bunyi itu adalah bunyi

bahasa yang dilahirkan oleh alat ucap manusia yang dituturkan oleh manusia.

Bahasa itu bersifat produktif. Bahasa bersifat produktif adalah dengan sejumlah

unsur yang terbatas tersebut dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak

terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu,

(Chaer, 2012:49). Bahasa itu bersifat dinamis, maksudnya, bahasa itu tidak terlepas

dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan

tersebut dapat terjadi pada bidang: fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan

leksikon. Perubahan tersebut dapat terjadi pada setiap waktu, mungkin saja ada kosa

kata baru yang muncul tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam atau sudah

disepakati oleh masyarakat didaerah tersebut untuk tidak digunakan lagi dalam

kehidupan sehari-hari, (Chaer, 2012: 53). Bahasa bersifat manusiawi. Artinya,

bahasa sebagai alat komunikasi verbal hanya dimiliki oleh manusia. Hewan tidak

mempunyai bahasa seperti manusia, yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi

(5)

dinamis. Padahal manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara naluriah,

melainkan dengan cara belajar. Tanpa belajar manusia tidak akan bisa berbahasa.

Hewan tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajari bahasa manusia karena

hewan tidak memiliki akal dalam dirinya, Oleh karena itulah dikatakan bahwa

bahasa itu bersifat manusiawi, hanya dimiliki oleh manusia, (Chaer, 2012:58).

Dengan pengertian-pengertian bahasa menurut para ahli di atas, penulis

menarik kesimpulan bahwa pegertian bahasa secara umum adalah suatu lambang

bunyi yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk berinteraksi, bahasa juga merupakan

suatu sistem, sistem yang dimaksud adalah sistem lambang yang sama dengan

lambang lainnya. Hanya yang di maksud dari lambang bahasa ini adalah lambang

bunyi bahasa yang dilahirkan oleh alat ucap manusia. Selain itu bahasa juga berifat

produktif, dinamis dan manusiawi.

2. Fungsi Bahasa

Masyarakat setiap hari sudah pasti menggunakna bahasa untuk berkomunikasi

atau berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Pada dasarnya bahasa sudah menyatu

dalam kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan bahasa

untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Bahasa juga

merupakan sarana untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam diri

seseorang baik pikiran dan perasaan. Melalui bahasa masyarakat mampu

berkomunikasi dengan baik, mampu menerapkan etika-etika dalam berkomunikasi.

Dengan begitu jika masyarakat mampu berkomunikasi dengan etika-etika yang baik

maka sudah pasti lawan bicara juga dapat memberikan respon yang positif dan dapat

(6)

Keraf (1979:17) menyatakan bahwa fungsi bahasa dibagi menjadi empat

bagian yaitu:

a. Untuk tujuan praktis: untuk mengadakan komunikasi atau berhubungan dengan

masyarakat lainnya dalam pergaulan sehari-hari.

b. Untuk tujuan aristik: dimana manusia mengolah dan mempergunakan bahasa

itu dengan cara seindah-indahnya atau sebaik-baiknya guna pemusaran rasa

estetis manusia itu sendiri.

c. Menjadi kunci mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain.

d. Tujuan filologis: untuk mempelajari naskah-naskah tua untuk menyelidiki latar

belakang sejarah manusia, sejarah kebudayaan dan adat istiadat, serta

perkembangan bahasa itu sendiri.

3. Ragam Bahasa

Sebagai sebuah langue bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang

dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa

tersebut berada dalam masyarakat tutur yang berbeda-beda menjadikan sebuah ragam

bahasa atau tuturan yang dituturkan tidak sama. Bahasa itu menjadi beragam dan

bervariasi, terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan

oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi

sosial yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari sangat beragam. Setiap

kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu.

Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh

penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya, bahasa

Inggris yang digunakan hampir di seluruh dunia; bahasa Arab yang luas wilayahnya

(7)

bahasa agama Islam dikenal hampir di seluruh dunia); dan bahasa Indonesia yang

wilayah penyebarannya dari Sabang sampai Merauke.

Ragam bahasa atau variasi bahasa ini terbagi menjadi dua pandangan.

Pandangan pertama, variasi bahasa atau ragam bahasa itu dilihat akibat adanya

keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasai

atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi

atau berkomunikasi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Hartman dan

Stork (dalam, Chaer, 2004: 62) membedakan variasi atau ragam bahasa berdasarkan

tiga kriteria, kriteria pertama adalah (a) latar belakang geografi dan sosial penutur,

(b) medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan. Menurut Haliday

membedakan ragam bahasa berdasarkan (a) pemakai yang disebut dialek, dan (b)

pemakai yang disebut register. Variasi atau ragam bahasa itu pertama-tama

dibedakan berdasarkan penutur dan penggunaanya, berdasarkan penutur berarti,

siapa yang menggunakan bahasa tersebut, di mana penutur tersebut tinggal,

bagaimana kedudukan sosialnya di dalam masyarakat, apa jenis kelamin penutur

tersebut, dan kapan bahasa itu digunakan oleh penutur. Berdasarkan penggunaanya,

berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalur dan alatnya, dan

bagaimana situasi keporfalannya.

Menurut (Chaer, 2004: 62) Variasi bahasa dibagi menjadi empat jenis.

Keempat jenis variasi tersebut adalah Variasi dari segi penutur yang di dalamnya

terdapat idiolek, dialek, sosiolek. Kedua ada variasi dari segi penutur, yang ketiga

variasi dari segi pemakaian yang ke empat ada variasi dari segi keformalan dan yang

(8)

pokok dalam studi sosiolinguistik. Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi bukan

hanya penuturnya yang tidak homogen tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial

yang mereka lakukan sangat beragam. Adapun penjelasan variasi bahasa tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Variasi dari Segi Penutur 1) Idiolek

Variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang

mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini

berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Namun yang paling dominan adalah “warna” suara itu, sehingga jika

penutur cukup akrab dengan penutur lainnya, hanya dengan mendengar suara

bicaranya tanpa melihat orangnya kita dapat mengenalinya. “Warna” suara tersebut

dimiliki setiap orang dan sudah pasti setiap orang memiliki “warna” suara yang

berbeda-beda, dengan perbedaan tersebut maka penurut yang sudah terbiasa dengan

penutur lainnya akan mudah memahami setiap tuturan yang diucapkan. Jadi konsep

idiolek merupakan konsep yang menekankan pada ragam bahas yang unik pada

seorang individu. Hal ini diwujudkan dengan pola pemilihan kosakata, tata bahasa

atau pelafalan yang unik pada setiap orang.

2) Dialek

Variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada

(9)

wilayah atau area tempat tinggal penutu, maka dialek ini lazim disebut dialek

regional, dialek sosial, dan dialek temporal. Dialek regional, yaitu dialek yang

ciri-cirinya dibatasi oleh tempat. Sering juga dsebut dialek area karena dialek regional

biasanya berkembang diatu daerah tertentu, artinya orang luar di wilayah itu tidak

akan paham dengan dialek yang dimaksud. Dialek sosial, yaitu dialek yang dipakai

oleh kelompok sosial tertentu. Misalnya, orang yang berada di kalangan keraton pasti

memliki dialek yang berbeda dengan orang-orang di luar keraton, orang-orang yang

berada di lingkungan kantor pasti berbeda dialeknya dengan dialek yang berada di

komunitas pasar. Dialek temporal, yaitu dialek yang berada dari waktu ke waktu.

Dialek ini hanya berkembang pada kurun waktu tertentu dan bila sudah berganti

masa maka dialek itu sudah tidak ada lagi. Hal ini bisa dilihat dari ejaan, cara

penulisan, dan pengucapannya.

Penggunaan istilah dialek dan bahasa dalam masyrakat umum memang

seringkali bersifat ambigu. Secara linguistik jika masyarakat tutur masih saling

mengerti, maka alat komunikasinya adalah dua dialek dari bahasa yang sama.

Namun, secara politis, meskipun dua masyarakat tutur bahasa saling mengerti satu

sama lain dan karena kedua laat komunikasi verbalnya mempunyai kesamaan sistem

dan subsistem, tetapi keduanya dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda. Bidang

studi linguistik yang mempelajari dialek-dialek ini adalah dialektologi. Bidang studi

ini dalam kerjanya berusaha membuat peta batas-batas dialek dari sebuah bahasa

yang ada, yakni dengan cara membandingkan bentuk dan makna kosakata yang

digunakan dalam dialek-dialek itu. Peta kebahasaan tersebut yang nantinya akan

(10)

3) Sosiolek

Variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para

penuturnya. Variasi ini menyangkut semua maslah pribadi para penuturnya, seperti

usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi,

dan sebagainya. Berdasarkan usia, kita bisa lihat perbedaan variasi bahasa yang

digunakan oleh anak-anak, para remaja, orang dewasa, dan orang-orang tergolong

lansia (lanjut usia). Perbedaan variasi bahasa di sini bukanlah yang berkenaan

dengan isinya, isi pembicaraan, melainkan perbedaan dalam bidang morfologi,

sintaksis, dan juga kosakata.

b. Variasi dari Segi Pemakaian

Variasi bahasa ini berkenaan dengan penggunaanya, pemakainnya, atau

fungsinya disebut fungsiolek (dalam Chaer, 2004: 68), ragam, atau register. Variasi

bahasa ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan. Variasi bahasa

berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk

keperluan apa atau dalam bidang apa. Variasi bahasa berdasarkan segi pemakaian

menyangkut bahsa itu digunakan untuk keperluan atau bidang tertentu seperti, sastra,

jurnalistik, militer, pertanian, dan lain sebagainya. Variasi bahasa dari segi

pemakaian ini yang paling tampak cirinya adalah dalam hal kosakata yang digunakan

oleh setiap manusia dalam pengucapakan kosakata.

c. Variasi dari Segi Keformalan

Berdasarkan tingkat keformalannya, (dalam Chaer, 2004: 70) menjelaskan

(11)

(Inggris), yaitu gaya atau ragam baku (frozen) gaya atau ragam bahasa yang paling

formal yang digunakan pada siatuasi hikmat. Gaya atau ragam resmi (formal) gaya

atau ragam bahasa yang biasa digunakan pada pidato kenegaraan, rapat dinas, surat

menyurat, dan lain sebagainya. Gaya atau ragam usaha (konsultatif) variasi bahasa

yang lazim dalam pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi. Gaya atau

ragam santai (casual) ragam bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi, dan

gaya atau ragam akrab (intimate) merupakan variasi bahasa yang digunakan oleh

para penutur yang hubungannya sudah akrab atau dalam lingkungan keluarga.

d. Variasi dari Segi Sarana

Variasi bahasa pertama yang kita lihat dari segi sarana atau jalur yang

digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga

ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana, atau alat tertentu, yakni

misalnya dalam bertelpon dan bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam dan

ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis

memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini

adalah karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara

lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang

berupa nada suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala

fisik lainnya. (Chaer, 2004, 61-70).

C. Bahasa Sunda

Bahasa Sunda adalah sebuah bahasa dari cabang Melayu Polinesia dalam

(12)

merupakan bahasa ibu dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia setelah Bahasa

Jawa. Bahasa Sunda dituturkan di hampir seluruh provinsi Jawa Barat dan Banten,

serta wilayah barat Jawa Tengah mulai dari kali Brebes (Sungai Cipamali) di wilayah

Kabupaten Brebes dan kali Serayu (Sungai Ciserayu) di Kabupaten Cilacap, di

bagian kawasan Jakarat, serta di seluruh provinsi di Indonesia dan luar negeri yang

menjadi daerah urbanisasi Suku Sunda.

Dari segi linguistik, bersama bahasa Baduy, bahasa Sunda membentuk suatu

rumpun bahasa Sunda yang dimasukan ke dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa,

dalam bahasa Sunda mengenal kata dialek, dialek atau yang dikenal dalam bahasa

Sunda adalah basa wewengkon merupakan bahasa Sunda yang mempunyai ragam,

mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda Jawa Tengahan yang mulai

tercampur Bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya mebedakan enam dialek yang

berbeda-beda. Dialek-dialek ini adalah:

1. Dialek Barat (Bahasa Banten)

Dialek Barat dituturkan didaerah Banten dan Lampung.

2. Dialek Utara

Dialek utara mencakup daerah Sunda utara termasuk Kota Bogor dan sebagian

daerah Pantura.

3. Dialek Selatan (Priangan)

Dialek Selatan adalah dialek Piangan yang mencakup Kota Bandung dan

Sekitarnya.

4. Dialek Tengah Timur

Dialek tengah timur adalah dialek yang berada di sekitar Kabupaten

(13)

5. Dialek Timur Laut (termasuk Bahasa Sunda Cirebon)

Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kabupaten Cirebon, Kabupaten

Kuningan, juga sebagian Kabupaten Brebes dan Kabupaten Tegal di Jawa

Tengah.

6. Dialek Tenggara

Dialek tenggara adalah dialek sekitar Kabupaten Ciamis juga Kabupaten

Cilacap dan Kabupaten Banyumas di Jawa Tengah.

Bahasa Sunda Kuna adalah bentuk bahasa Sunda yang ditemukan pada

beberapa catatan tertulis, baik di batu (prasasti) maupun lembaran daun kering

(lontar). Tidak diketahui apakah bahasa ini adalah dialek tersendiri atau merupakan

bentuk yang menjadi pendahulu bahasa Sunda modern.

Bahasa Sunda terutama ditertuturkan di sebuah barat pulau Jawa, di daerah

yang dijuluki Tatar Sunda (Pasundan). Bahasa Sunda juga dituturkan dibagian barat

Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap, dikarenakan wilayah ini

dahulunya berada dibawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Banyak nama-nama tempat di

Cilacap yang masih merupakan nama Sunda dan bukan menggunakan nama Jawa

seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, dan sebagainya. Menurut beberapa

pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturnya sampai disekitar

Dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama “Dieng” yang dianggap

sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda kuna).

Seiring transmigrasi dan imigrasi yang dilakukan etnis Sunda, Penutur bahasa ini

(14)

Jambi, Riau, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara dimana penduduk etnis Sunda

dengan Jumlah signifikan menetap di daerah luar Pasundan tersebut (dalam,

Wikipedia 2016).

D. Dialektologi

1. Pengertian Dialektologi

Dialektologi berasal dari paduan kata dialek yang berarti „variasi bahasa‟ dan

logi berarti „ilmu‟. Berdasarkan etimologi, dialektologi adalah ilmu yang

mempelajari dialek atau ilmu yang mempelajari variasi bahasa. Dialektologi, yang

didefinisikan sebagai ilmu tentang dialek, pada dasarnya merupakan cabang dari

lingustik yang lahir sebagai reaksi terhadap “hukum perubahan bunyi tanpa kecuali”,

yang dikemukakan kaum Neogrammarian. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika

dalam berbagai literatur pembicaraan tentang dialektologi merupakan salah satu

bagian dari pembicara dalam linguistik komperatif (Mahsun 1995: vii). Meillet

(dalam Zulaeha, 2010: 3) menyatakan bahwa ciri utama dialek adalah perbedaan atau

karangan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Selain ciri khusus yang

dikemukakan Meillet, ada dua ciri umum yang dimiliki dialek, yaitu (1) dialek

merupakan seperangkat bentuk ujaran lokal (setempat) yang berbeda-beda yang

memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih saling mirip dibandingkan dengan

bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama. Dan (2) dialek tidak harus mengambil

semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Pada perkembangannya tersebut, kemudian

(15)

sebagai bahasa baku oleh seluruh daerah karena masyarakat bisa menerima dan

menggunakan bahasa tersebut dengan masyarakat lainnya.

2. Dialektologi dan Geografi

Sebagai disiplin ilmu yang mengkaji perbedaan unsur-sunsur kebahasaan yang

berkaitan dengan faktor geografis, yang salah satu aspek kajiannya adalah pemetaan

perbedaan-perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di antara daerah-daerah

pengamatan dalam penelitian. Dialektologi dalam kajiannya membutuhkan

pengetahuan yang berkaitan dengan letak geografi. Dalam hal ini berkaitan dengan

pemetaan, fungsi dari pemetaan tersebut adalah sebagai upaya untuk

memvisualisasikan letak geografis yang menjadi tempat digunakan suatu bentuk

bahasa tertentu. Namun, dengan penyebutan bahwa suatu bentuk bahasa tertentu

digunakan pada daerah pengamatan tertentu yang berbeda dengan daerah

pengamatan yang lainnya, padahal untuk menyatakan makna yang sama jelas-jelas

mengacu kepada dimensi geografi. Oleh karena itu, disinilah letak hubungan atau

keterkaitan yang erat antara kajian dialektologi dengan ilmu geografi. (Mahsun,

1995:20).

E. Dialek

1. Pengertian Dialek

Dialek berasal dari kata Yunani dialektos yang berpandangan dengan logat. Kata

dialektos ini mula-mula digunakan untuk menyatakan sistem kebahasaan yang

(16)

bertetangga tetapi menggunakan sistem yang erat hubungannya. Sementara itu, Keraf

(dalam Zulaeha 2010:1) menyatakan dengan menggunakan istilah geografi dialek

adalah suatu cabang ilmu bahasa yang khusus mempelajari variasi-variasi bahasa

berdasarkan perbedaan fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik.

Dialek suatu daerah bisa diketahui berdasarkan tata bunyinya. Ciri-ciri khas yang

meliputi tekanan, turun naiknya nada, dan panjang pendeknya bunyi bahasa

membangun aksen yang berbeda-beda.

2. Pembeda Dialek

Perbedaan dialek dapat disebabkan oleh beberapa faktor, faktor yang

menunjang berbedanya dialek disuatu tempat ialah faktor geografis dan faktor sosial.

(Zulaeha, 27:2010) menjelaskan bahwa perbedaan dialek dapat dipenggaruhi oleh

faktor geografi, dengan adanya dialek geografi yang merupakan cabang linguistik

yang bertujuan mengkaji semua gejala kebahasaan secara cermat yang disajikan

berdasarkan peta bahasa yang ada, dan variasi pemakaian bahasa yang ditentukan

oleh perbedaan wilayah pemakaian. Faktor sosial, faktor sosial juga bisa disebut

sebagai dialek sosial, yang diamksud sebagai dialek sosial adalah ragam bahasa yang

dipergunakan oleh kelompok tertentu yang membedakannya dari kelompok

masyarakat lainnya. Kelompok itu terdiri atas pekerjaan, usia, kegiatan, jenis

kelamin, pendidikan, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, dialek sosial dalam

kajian dialektologi mengacu pada dialek yang dituturkan oleh penutur di daerah

tertentu dengan variabel sosial yang lain meskipun mereka berada dan berasal di

(17)

Nadra dan Reniwati (2009: 23) menjalskan bahwa pada tingkat dialek,

perbedaan atau variasi tersebut dapat dibedakan menjadi lima unsur. Kelima unsur

perbedaan itu ialah unsur perbedaan fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantis.

Dalam penelitian ini peneliti hanya mengambil dua unsur pembeda dialek yaitu unsur

fonologis dan semantis. Setiap ragam bahasa dipergunakan di satu daerah tertentu,

dan lambat laun terbentuklah anasir kebahasaan yang berbeda-beda pula, seperti

dalam lafal, tata bahasa, dan tata arti. dalam, (Ayatrohaedi, 1979: 3-5). Perbedaan

tersebut dibagi menjadi dua, yaitu perbedaan fonetik dan perbedaan semantis.

a. Perbedaan fonologis, perbedaan fonologi biasanya si pemakai dialek atau

bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut.

b. Perbedaan semantis, yaitu dengan terciptanya kata-kata baru berdasarkan

perubahan fonologis atau geseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut, biasanya

terjadi pula geseran makna kata itu. Geseran tersebut bertalian dengan dua

corak, yaitu sinonim dan homonim. Dalam hal ini, sinonim atau padan kata

atau sama makna adalah pemberian nama (penanda) yang berbeda utuk suatu

objek (petanda) yang sama dibeberapa tempat yang berbeda. Geseran yang

dikenal dengan homonim yaitu pemberian nama yang sama untuk hal yang

berbeda di beberapa tempat yang berbeda.

Pada penelitian perbandingan dialek Bahasa Sunda di Kecamatan

Karangpucung dengan Kecamatan Wanareja, peneliti mengambil dua perbandingan

dialek bahasa Sunda Desa Majingklak Kecamatan Wanareja dan Desa Surusunda

Kecamatan Karangpucung. Dua perbandingan tersebut yang nantinya akan menjadi

dasar perbandingan yang akan diteliti, perbedaan tersebut meliputi fonologis dan

(18)

Perbedaan fonologis merupakan perbedaan dalam lafal. Perbedaan lafal dapat

disebbkan karena terjadinya gejala bahasa. Gejala bahasa meliputi penambahan

fonem, penghilangan fonem, kontraksi, metatesis, dan adaptasi.

a. Penambahan fonem adalah gejala bahasa yang berupa bertambahnya satu atau

lebih fonem dalam suatu kata. Penambahan fonem dapat dibedakan menjadi tiga

macam, yaitu protesis, epentesis, dan paragog. Protesis adalah penambahan

fonem di depan kata, contoh: ayuh menjadi hayuh ayuh) gah menjadi egah

tidak mau). Epentesis adalah penambahan fonem di tengah kata, contoh: motor

menjadi montor sepeda motor). Paragog adalah penambahan fonem di akhir

kata, contoh: roko menjadi rokok rokok) nya menjadi nyah ia).

b. Penghilangan atau penanggalan fonem merupakan gejala bahasa yang berupa

hilangnya satu atau lebih dibedakan menjadi tiga macam, yaitu afaresis, sinkop,

dan apokop. Afaresis adalah penghilangan fonem atau penanggalan fonem di

awal kata, contoh: hasep menjadi asep asap). Sinkop adalah penghilangan

fonem atau penanggalan fonem ditengah kata, contoh: getah menjadi gtah

getah). Apokop adalah penghilangan fonem atau penanggalan fonem di akhir

kata, contoh: ituh menjadi itu itu). Kontraksi merupakan gejala bahasa yang

memeprlihatkan adanya satu atau lebih fonem yang dihilangkan. Kadang-kadang

ada perubahan atau penggantian fonem, contoh: masih aya menjadi aya keneh

masih ada).

c. Metatesis merupakan gejala bahasa yang memeperlihatkan pertukaran tempat

satu atau beberapa fonem, contoh: hujan age menjadi ageng hujana (deras

(19)

Perbedaan Semantis adalah ilmu yang membicarakan makna atau arti sebuah

bahasa, dalam semantis juga membahas tentang kaosakata-kosakata baru berdasarkan

perubahan fonologis atau geseran bentuk dan bentuk kata yang berbeda. Perbedaan

semantis tersebut masih memiliki pertalian antara makna yang digunakan di daerah

pengamatan tertentu dengan makna yang digunakan pada daerah pengamatan yang

lainnya. Perbedaan itu terjadi karena pemberian konsep lebih dari satu pada

linambang (signifie) yang sama (Ayatrohaedi 1979). Perbedaan semantik mengarah

pada relasi makna yang berjenis homonim, Zulaeha, 2010: 41-47).

Bidang semantis yang berkonsentrasi pada persoalan makna kata pun tidak

jarang memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan sebuah kata bisa divariasikan

ucapannya, dan kapan tidak. Mengapa kata tahu dan teras kalau diucapkan secara

bervariasi [tahu], [tau], [teras], dan [tras] akan bermakna lain, sedangkan kata duduk

dan bidik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], dUdU?], [bidi?], [bidi?] tidak

membedakan makna? Hasil analisis fonologis lah yang dapat membantunya,

Masnur, 2009:3).

Perubahan dan penambahan kata-kata baru terjadi karena adanya perubahan

fonologis, geseran tersebut berkaitan dengan dua aspek, yaitu sinonim dan homonim.

Sinonim atau padan kata atau sama makna adalah pemberian nama (penanda) yang

berbeda untuk suatu objek (petanda) yang sama di beberapa tempat yang berbeda.

Geseran yang dikenal dengan homonim yaitu pemberian nama yang sama untuk hal

yang berbeda di beberapa tempat yang berbeda. Dalam penelitian ini perbedaan

semantis dapat digunakan untuk membandingan kosakata baru dan perubahan

kosakata baru yang terdapat dalam dua kecamatan yang diteliti, yaitu Kecamatan

(20)

F. Dialek Sunda di Kabupaten Cilacap

Kabupaten Cilacap adalah kabupaten yang mempunyai dua bahasa, kedua

bahasa itu dipakai oleh masyarakat Kabupaten Cilacap dalam kehidupan sehari-hari.

Bahasa Jawa dan bahas Sunda adalah dua bahasa yang dipakai masyarakat untuk

berinteraski sehari-hari dengan masyarakat lainnya, kedua bahasa tersebut terbagi

dalam beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Cilacap, Bahasa Jawa tersebar di

kecamatan dibagian utara, tengah dan selatan, khususnya

kecamatan-kecamatan dibagian barat di dominasi oleh bahasa Sunda. Dapat kita lihat bahwa

daerah-daerah bagian barat seperti Kecamatan Karangpucung, Kecamatan

Cimanggu, Kecamatan Majenang, Kecamatan Wanareja dan Kecamatan

Dayeuhluhur, hampir seluruh masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda, tetapi dari

setiap daerah-daerah yang masyarakatnya berbahasa Sunda tidak semua bahasa

Sunda yang digunakan sama karena faktor geografis yang berbeda.

Bahasa Sunda yang dipakai oleh masyarakat Kabupaten Cilacap bagian barat

memiliki perbedaan yang sangat mencolok dari setiap daerahnya, itu bisa terlihat dari

kecamatan yang paling barat adalah Kecamatan Dayeuhluhur dan Kecamatan

Wanareja, kedua kecamatan tersebut menggunakan bahasa Sunda yang lebih halus

dari pada kecamatan-kecamatan lainnya, itu dikarenakan letak geografis yang dekat

dengan perbatasan Jawa Barat, sudah pasti bahasa Sunda yang digunakan oleh kedua

kecamatan tersebut berbeda dengan Kecamatan Majenang, Kecamatan Cimanggu,

(21)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

komparatif, karena penelitian ini akan membahas mengenai perbandingan dua dialek

bahasa Sunda di Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak

Kecamatan Wanareja. Metode deskriptif dalam penelitian ini ialah, peneliti

mendeksripsikan atau menjabarkan secara rinci fenomena yang terjadi di tempat

penelitian dan menggali data dengan tekhnik wawancara kepada informan dengan

sumber koskata yang sudah disiapkan peneliti untuk diajukan kepada informan agara

mampu mengahsilkan data yang relevan atau data yang akurat. Setelah data

terkumpul peneliti membandingkan dan menganalisis data dari dua tempat yang

menjadi tempat penelitian dan dideskripsikan sesuai kaidah yang berlaku dalam

penelitian dialektologi.

Metode komparatif yang dimaksud peneliti ialah, peneliti mencari tahu sebab

akibat terjadinya perbedaan dilaek Sunda yang terjadi di Desa Surusunda Kecamatan

Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja. Peneliti menggunakan

tekhnik wawancara kepada informan yang ada di tempat penlitian. Setelah

memperoleh data, peneliti langsung menganalisis faktor penyebab terjadinya atau

munculnya fenomena perbedaan dialek Sunda di Desa Surusunda Kecamatan

Karangpucung dan Dialek Sunda Kecamatan Wanareja. Bidang studi Komparatif

dapat mencakup kehidupan masyarakat asli daerah tersebut atau masyarakat

(22)

makna dan artinya. Peneliti membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau

lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang di teliti berdasarkan penemuan perbedaan

kosakata yang diperoleh dari setiap tempat penelitian.

B. Data dan Sumber Data 1. Data

Data penelitian ini diperoleh melalui daftar pertanyaan yang berupa kosakata

dasar yang ditanyakan kepada informan. Daftar tanya pada penelitian ini terbagi

kedalam beberapa bagian diantaranya: (a) bagian tubuh manusia, (b) kata ganti, (c)

sisitem kekerabatan, (d) rumah dan bagian-bagiannya, (e) waktu, musim, keadaan

alam, benda alam, dan arah, (f) pakaian dan perhiasan, (g) jabatan, pemerintahan

desa dan pekerjaan, (h) binatang dan hewan, (i) tumbuh-tumbuhan, bagian buah, dan

hasil olahannya, (j) aktivitas, (k) penyakit, (l) bilangan dan ukuran, (m) adat istiadat.

(Zulaeha, 2010). Daftar tanya diatas merupakan daftar tanya yang akan digunakan

peneliti untuk mengambil data dialek Sunda di Desa Surusunda Kecamatan

Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu informan dari Desa Majingklak

Kecamatan Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung. Sumber data

yang diperoleh dari informan berupa tuturan yang ditanyakan kepada informan

secara langsung yang berjumlah 6 orang. Tiga orang dari Desa Majingklak

Kecamatan Wanareja dan tiga orang dari Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung.

Data yang diambil dari informan dalam penelitian ini berupa: (a) nama, (b) jenis

(23)

pekerjaan, (g) tinggal di tempat ini sejak, (h) orang tua berasal dari, (i) bahasa

pertama/ bahasa ibu, (j) bahasa yang dikuasai, (k) daerah/ tempat yang pernah

dikunjungi, (l) keperluan berkunjung, (m) kedudukan dalam masyarakat, (n) acara

TV favorit, dan (o) siaran radio favorit.

C. Tahap Penelitian

Pada tahap penelitian ini, peneliti mendeskripsikan tentang perbedaan

fonologis dan semantis dialek Sunda di Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung

dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja. Pada tahap ini peneliti mendeskripsikan

dan menganalisis satu persatu kosakata yang sudah didapat dari informan dengan

berdasarkan perbedaan secara fonologis dan semantis. Penelitian ini terbagi menjadi

tiga tahap yaitu (1) tahap penyediaan data, (2) analisis data, dan (3) tahap penyajian

hasil analisis data. Setelah semua tahap dilakukan barulah masuk tahap kesimpulan

dan saran. Peneliti menjabakan keseluruhan hasil dari penelitian yang

sudahdilakukan dan dianalisis, sel;anjutnya peneliti memberi saran kepada pembaca

dan penulis mengenai kajian dialektologi.

1. Tahap Penyediaan Data

Tahap penyediaan data merupakan kegiatan mendata yang benar dan terjamin

keasliannya. Data yang diperoleh tentunya sudah diproses dengan teknik yang benar.

Pada tahap penyediaan data ini, peneliti menggunakan metode cakap (wawancara)

yaitu percakapan antara peneliti dengan informan yang ada di Desa Surusunda

Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja. Pada metode

(24)

ini, peneliti melakukan kegiatan wawancara langsung dengan informan disertai

dengan teknik pencatatan (teknik catat dan teknik rekam) hal-hal yang penting dalam

data.

a. Teknik Dasar

Menurut Sudaryanto (dalam Zulaeha, 2010), teknik dasar metode simak adalah

teknik pancing. Pada dasaranya peneliti memang memancing terlebih dahulu data

yang akan keluar dari alat ucap informan. Dengan sikap dan prilaku informan yang

berbeda-beda, peneliti berusaha agar informan mau memberikan data yang

diharapkan peneliti. Salah satu alat yang digunakan untuk memancing informan

adalah daftar pertanyaan. Daftar pertanyaan, sebagaimana telah dikemukakan

sebelumnya, telah disiapkan oleh peneliti. Informan ditanya sesuai dengan daftar

pertanyaan tersebut. Pemanfaatan teknik pancing ini diperlukan apa bila informan

kaku dalam mengeluarkan data, dalam situasi seperti ini penggunaan teknik pancing

mampu memperlancar informan dalam memberikan data yang dibutuhkan sesuai

daftar pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

b. Teknik Lanjutan

1) Teknik Lanjut Cakap Semuka

Teknik ini merupakan teknik lanjutan dalam menggali data dari informan,

teknik lanjut cakap semuka merupakan pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara informan bertatap muka langsung dengan peneliti dan peneliti bertanya

langsung kepada informan. Bahan atau daftar pertanyaan yang diajukan oleh peneliti

(25)

cara pelafalan jawaban informan dengan baik dan kemungkinan terjadinya kesalahan

dalam penulisan data sangatkecil.

2) Teknik Lanjut Catat

Teknik ini digunaka dalam penelitian dialektologi, peneliti mencermati setiap

jawaban yang dituturkan oleh informan. Peneliti tidak hanya mencermati dan

mendengar setiap jawaban yang dituturkan oleh informan, tatapi peneliti juga

mencatat setiap jawan dari koskata yang peneliti tanyakan kepada informan. Teknik

ini merupakan teknik yang sangat penting karena hasil pencatatan jawaban dari

informan merupakan data mentah yang akan dibawa ke tahap penelitian berikutnya

yaitu tahap analisis data. Tempat catatan atau penulisan data tersebut berada

disebelah pertanyaan. Jadi, pada lembar daftar pertanyaan ada ruang yang

dikosongkan, tuang tersebut disediakan sebagai tempat mencatat jawaban yang

dituturkan oleh informan. Jawaban dari informan ditulis atau dicatat oleh peneliti

dengan menggunakan lambang fonetis (bukan huruf), dengan demikian transkripsi

data bersifat fonetis bukan ortografis.

3) Teknik Lanjut Rekam

Teknik ini merupakan teknik lanjut, dengan menggunakan media rekam,

peneliti data memperhatikan cara pelafalan jawaban informan dengan baik. Media

rekam itu dihidupkan selama wawancara berlangsung. Rekaman itu dapat diputar

kembali apabila muncul keraguan ketika mendeskripsikan dan menganalisis data.

Peneliti perasumsi bahwa dengan teknik lanjutan rekam akan lebih meyakinkan

(26)

yang salah atau data yang tertukar. Dapat disimpulkan bahwa teknik lanjut rekam

akan lebih membantu dalam tahap analisis data yang harus dilakukan oleh peneliti.

2. Tahap Analisis Data

Tahap analisis data merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti untuk

langsung melakukan analisis hasil penelitian yang sudah dilakukan, analisis data

adalah suatu cara mengolah data yang telah terkumpul agar dapat diuraikan. Dalam

tahap ini peneliti menggunakan metode padan dan agih. Metode padan merupakan

metode yang menggunakan alat bantu referen dan organ wicara (Sudaryanto, 1993:

13-14). Teknik dasar yang diterapkan dalam metode padan yaitu menggunakan

teknik Pilih Unsur Penentu (PUP). teknik lanjutan dari teknik pilih unsur penentu,

peneliti menggunakan Teknik Hubung Membandingkan (HBB). Metode padan

dengan teknik dasar PUP dan teknik lanjutan HBB digunakan untuk

mengklasifikasikan data kosakata dasar dan pelafalan dialek Sunda di Desa

Surusunda Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja

yang mempunyai perbedaan dari setiap bagian-bagian daftar tanya. Metode agih,

metode agih merupakan metode yang alat penentunya jusru bagian-bagian dari

bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Teknik dasar yang

digunakan dalam metode agih yaitu Teknik Bagi Unsur Langsung (BUL), dalam

teknik ini peneliti menggunakan teknik berubah wujud, teknik ganti, teknik ulang,

dan teknik perluas.

Uraian di atas merupakan gambaran dalam langkah-langkah dalam

(27)

a. Mengklasifikasi data kosakata dasar menurut bagian-bagiannya: (1) bagian

tubuh manusia, (2) kata ganti, (3) sisitem kekerabatan, (4) rumah dan

bagian-bagiannya, (5) waktu, musim, keadaan alam, benda alam, dan arah, (6)

pakaian dan perhiasan, (7) jabatan, pemerintahan desa dan pekerjaan, (8)

(binatang dan hewan, (9) tumbuh-tumbuhan, bagian buah, dan hasil olahannya,

(10) aktivitas, (11) penyakit, (12) bilangan dan ukuran, (13) adat istiadat.

b. Transkripsi dan terjemahan. Pada langkah ini peneliti melakukan

pentarnskripsian data dari kosakata dasar yang berebda dan di transkripsikan

secara fonetis agar tuturan sesuai dengan ucapan yang diucapkan oleh

informan. Setelah itu peneliti menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

c. Tabulasi, tabulasi merupakan penyajian data dalam bentuk tabel atau daftar

untuk memudahkan dalam pengamatan.

3. Tahap Penyajian Hasil Analisi Data

Tahap penyajian hasil analisis data merupakan tahap akhir setelah menganalisi

data hasil penelitian atau data yang telah diperoleh. Hasil analisis merupakan

bagian-bagian yang digunakan untuk menggabungkan runtutan penelitian yang ada. Setelah

pengumpulan data selesai, penyajian hasil analisis di dalam penelitian ini

menggunakan metode penyajian informal dan formal. Penyajian informal adalah

penyajian analisis dengan menggunakan kata-kata atau dengan menggunakan kalimat

dengan kata-kata biasa, kata-kata yang apabila dibaca dengan serta merta dapat

langsung dipahami. Kaidah itu berupa prinsip-prinsip kesinambungan wacana yang

(28)

D. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Karangpucung

dan Kecamatan Wanareja. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Karangpucung

karena masyarakat bahasa Sunda dan Jawa hidup berdampingan. Sedangkan

penelitian dilakukan di Kecamatan Wanareja merupakan pengguna bahasa Sunda

yang paling barat (mendekati dengan perbatasan Provinsi Jawa Barat). Desa yang

menjadi tempat penelitian di Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung dan Desa

Majingklak Kecamatan Wanareja.

2. Waktu Penelitian

Data penelitian ini berupa tuturan kosakata dasar dialek Sunda. Pengambilan

data yang dilakukan oleh peneliti berjalan selama satu bulan, yaitu selama bulan

maret 2016 di Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak

(29)

BAB IV

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Perbedaan Kosakata Dialek Sunda di Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja

Dialek Sunda yang digunakan di Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung

dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja adalah dialek Sunda bagian barat.

Penggunaan dialek Sunda di dua kecamatan tersebut hampir sama tetapi dalam

kosakata masih banyak sekali yang berbeda dari dua kecamatan tersebut. Perbedaan

kosakata dari dua kecamatan yang menjadi tempat penelitian yaitu Kecamatan

Wanareja dan Kecamatan Karangpucung mencapai ± 234 kosa kata yang berbeda.

Perbedaan-perbedaan kosakata tersebut dianalisi berdasarkan perbedaan fonologis

dan perbedaan semantis.

1. Perbedaan Fonologis

Perbedaan fonologis pada suatu dialek juga dapat terjadi pada vokal maupun

konsosnan, perbedaan ini dapat disebabkan karena adanya gejala bahasa yang ada.

Perbandingan kosakata di Kecamatan Karangpucung dan Kecamatan Wanareja telah

mengalami gejala fonologis. Gejala fonologis yang terjadi di Kecamatan

Karangpucung, meliputi penambahan fonem dan penghilangan fonem. Penamabahan

fonem meliputi protesis, epentesis dan paragog. Penghilangan fonem meliputi

afaresis, sinkop dan apokop.

a. Penambahan Fonem

(30)

penambahan fonem tersebut adalah sebagai berikut:

(1) penambahan fonem di depan kata (protesis), (2) penambahan fonem di tengah

kata (epentesis), dan (3) penambahan fonem diakhir kata (paragog). Data di bawah

merupakan data yang mengalami gejala bahasa penambahan fonem di Desa

Surusunda Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja.

1) Protesis

Berikut ini adalah data Protesis yang telah di analisis terdapat pada dialek

Sunda di Desa Majingklak Kecamatan Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan

Karangpucung. Data Protesis yang disertai dengan penambahan fonem di awal kata,

ada pada:

Kata [cinggir] dalam (dialek Karangpucung) mengalami proses protesis atau

penambahan fonem di awal kata. Penambahan fonem tersebut terdapat pada fonem [c

dan i]. Kata dasar dari kata [cicinggir] adalah [cinggir], setelah mengalami proses

protesis kata [cicinggir] menjadi [cinggir] dalam (dialek Wanareja). Dari data

tersebut dapat dilihat proses protesis yang terjadi pada kosakata [cinggir] menjadi

[cicinggir] yang terjadi di Desa Majingklak Kecamatan Wanareja dan Desa

Surusunda Kecamatan Karangpucung, kata tersebut dapat dilihat pada data (28).

Perubahan kosakata tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya

koskatanya yang mengalami perubahan.

Kata [sikut] terdapat pada data (59) dalam (dialek Karangpucung) mengalami

proses protesis atau penambahan fonem di awal kata. Penambahan fonem tersebut

terdapat pada fonem [s dan i]. Kata dasar dari kata [sikut] adalah [siku], setelah

(31)

Dari data tersebut dapat dilihat proses protesis yang terjadi pada kosakata [sikut]

menjadi [sisikut] yang terjadi di Desa Majingklak Kecamatan Wanareja dan Desa

Surusunda Kecamatan Karangpucung. Perubahan kosakata tersebut tidak merubah

arti katanya, melainkan hanya koskatanya yang mengalami perubahan.

Data (132) kata [asp] dalam dialek Karangpucung) mengalami proses

protesis atau penambahan fonem di awal kata. Penambahan fonem tersebut terdapat

pada fonem [h]. Kata dasar dari kata [asep] adalah [hasep], setelah mengalami proses

protesis kata [asep] menjadi [hasep] (dialek Wanareja). Dari data tersebut dapat

dilihat proses protesis yang terjadi pada kosakata [asep] menjadi [hasep] yang terjadi

di Desa Majingklak Kecamatan Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan

Karangpucung. Perubahan kosakata tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan

hanya koskatanya yang mengalami perubahan. Kosakata [asep] dan [hasep] terdapat

pada data (132).

Kata [bera] yang terdapat dalam data (200) dialek Karangpucung)

mengalami proses protesis atau penambahan fonem di awal kata. Penambahan fonem

tersebeut terdapat pada fonem [t dan i]. Kata dasar dari kata [berang] adalah

[tiberang], setelah mengalami proses protesis kata [berang] menjadi [tiberang]

(dialek Wanareja). Dari data tersebut dapat dilihat proses protesis yang terjadi pada

kosakata [berang] menjadi [tiberang] yang terjadi di Desa Majingklak Kecamatan

Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung. Perubahan kosakata

tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya kosakatanya yang mengalami

(32)

Data (219) kosakata [lurah] dalam (dialek Karangpucung) mengalami

peroses protesis atau penambahan fonem di awal kata. Penambahan fonem tersebut

terdapat pada fonem [k,a,p, dan a]. Kata dasar dari kata [lurah] adalah [kapalurah]

(dialek Wanareja). Dari data tersebut dapat dilihat proses protesis yang terjadi pada

kosakata [lurah] menjadi [kapalurah] yang terjadi di Desa Majingklak Kecamatan

Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung. Perubahan kosakata

tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya kosakatanya yang mengalami

perubahan.

Dalam kata [ngompol] yang terdapat pada data (305) merupakan (dialek

Karangpucung) mengalami proses protesis atau penambahan fonem di awal kata.

Penamabahan fonem tersebut terdapat pada fonem [n dan g]. Kata dasar dari kata

[ngompol] adalah [ompol] (dialek Wanareja). Dari data tersebut dapat dilihat proses

protesis yang terjadi pada kosakata [ompol] menjadi [ngompol] yang terjadi di Desa

Majingklak Kecamatan Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung.

Perubahan kosakata tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya

kosakatanya yang mengalami perubahan.

Tabel 4.1 Data Protesis yang disertai penambahan fonem diawal kata No

Data

Bahasa Indonesia

Kosakata Dasar

Dialek Karangpucung Dialek Wanareja Ortografis Fonemis Ortografis Fonemis

28 Kelingking Cinggir cicinggir cicigir cinggir cigir

59 Siku Siku sikut sikut sisikut sisikut

132 Asap Hasep asep asp hasep hasp

200 Siang Berang berang bera tiberang tibera

219 Kepala desa

Lurah lurah lurah kapalurah kapalurah

(33)

2) Epentesis

Berikut ini adalah data Epentesis yang telah dianalisis terdapat di dialek Sunda

di Desa Majingklak Kecamatan Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan

Karangpucung, Data Epentesis dan disertai dengan penambahan fonem di tengah

kata, ada pada:

Data epentesis yang terdapat pada data (165) kosakata [bledeg] dalam (dialek

Karangpucung) mengalami proses epentesis atau penambahan fonem di tengah kata.

Penambahan fonem tersebut terdapat pada fonem [e]. Kata dasar dari kata [bleged]

adalah [beledeg], setelah mengalami proses epentesis kata [bledeg] berubah menjadi

[beledeg] dalam (dialek Wanareja). Dari data tersebut dapat dilihat proses epentesis

yang terjadi pada kosakata [bledeg] menjadi [beledeg] yang terjadi di Desa

Majingklak Kecamatan Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung.

Perubahan kosakata tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya

koskatanya yang mengalami perubahan.

Kata [iye] yang terdapat pada data (170)dalam(dailek Wanareja) mengalami

proses epentesis atau penamabahan fonem di tengah kata. Penambahan fonem

tersebut terdapat pada fonem [y]. Kata dasar dari kata [iye] adalah [ie], setelah

mengalami proses epentesis kata [ie berubah menjadi [iye] (dalam dialek

Karangpucung). Dari data tersebut dapat dilihat proses epentesis yang terjadi pada

kosakata [ie] menjadi [iye] yang terjadi di Desa Majingklak Kecamatan Wanareja

dan Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung. Perubahan kosakata tersebut tidak

(34)

Tabel 4.2 Data Epentesis yang disertai penambahan fonem di tengah kata No

Data

Bahasa Indonesia

Kosakata Dasar

Dialek Karangpucung Dialek Wanareja Ortografis Fonemis Ortografis Fonemis

165 Guntur Beledeg bledeg bldeg Beledeg bldeg

170 Ini Ie ie Ie iye Iye

3) Paragog

Berikut ini adalah data Paragog yang telah dianalisis terdapat di dialek Sunda

di Desa Majingklak Kecamatan Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan

Karangpucung, Data Paragog hanya terdapat di Desa Majingklak Kecamatan

Wanareja.:

Data Paragog yang terdapat pada kata (171) kosakata [itu] dalam (dialek

Karangpucung) mengalami proses paragog atau penambahan fonem di akhir kata.

Penambahan fonem tersebut terdapat pada kata [h]. Kata dasar dari kata [ituh] adalah

[itu], setelah mengalami proses paragog fonem [itu] berubah menjadi [ituh] (dalam

dialek Wanareja). Dari data tersebut dapat dilihat proses paragog yang terjadi pada

kosakata [itu] menjadi [ituh] yang terjadi di Desa Majingklak Kecamatan Wanareja

dan Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung. Perubahan kosakata tersebut tidak

merubah arti katanya, melainkan hanya kosakatanya yang mengalami perubahan.

Data (183) kosakata [lapa] dalam (dialek Karangpucung) mengalami proses

paragog atau penambahan fonem di akhir kata. Penambahan fonem tersebut terdapat

pada fonem [a dan n]. Kata dasar dari [lapangan] adalah [lapang], setelah mengalami

proses paragog kata [lapang] berubah menjadi [lapangan] (dalam dialek Wanareja).

Dari data tersebut dapat dilihat proses paragog yang terjadi pada kosakata [lapang]

(35)

Surusunda Kecamatan Karangpucung. Perubahan kosakata tersebut tidak merubah

arti katanya, melainkan hanya kosakatanya yang mengalami perubahan.

Data (300) kosakata [nyeseh] dalam (dialek Karangpucung) mengalami

proses paragog atau penambahan fonem di akhir kata. Penambahan fonem tersebut

terdapat pada fonem [a dan n]. Kata dasar dari kata [nyesehan] adalah [nyeseh],

setelah mengalami proses paragog kata [nyeseh] berubah menjadi [nyesehan] (dalam

dialek Wanareja). Dari data tersebut dapat dilihat proses paragog yang terjadi pada

kosakata [nyeseh] menjadi [nyesehan] yang terjadi di Desa Majingklak Kecamatan

Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung. Perubahan kosakata

tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya kosakatanya yang mengalami

perubahan.

Tabel 4.3 Data Paragog yang disertai penambahan fonem di akhir kata No

Data

Bahasa Indonesia

Kosakat Dasar

Dialek Karangpucung Dialek Wanareja Ortografis Fonemis Ortografis Fonemis

171 Itu Itu itu itu ituh ituh

183 Lapangan Lapang lapang lapa lapangan lapaan

300 Cuci Nyeseh nyeseh nyeseh nyesehan nyesehan

b. Penghilangan Fonem

Penghilangan fonem yang terjadi dalam dialek Sunda di Desa Surusunda

Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja meliputi:

Afaresis (penghilangan fonem di awal kata), sinkop (penghilangan fonem di tengah

kata) dan apokop (penghilangan fonem di akhir kata). Data Afaresis terdapat tiga

data, data sinkop ada tiga data dan apokop terdapat satu data, apokop dibagi menjadi

dua bagian yaitu kontraksi terdapat satu data dan matatesis terdapat satu data,

(36)

1) Afaresis

Berikut adalah data Afaresis yang terdapat di dialek Sunda di desa Majingklak

Kecamatan Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung. Data afaresis

terdapat pada:

Kata [jajantung] yang terdapat pada data (22) dalam (dialek Karangpucung),

mengalami proses afaresis atau penghilangan fonem di awal kata. Penghilangan

fonem tersebut terdapat pada fonem [jdana]. Kata dasar dari kata [jajantung] adalah

[jantung], setelah mengalami proses afaresis kata [jajantung] berubah menjadi kata

[jantung] (dalam dialek Wanareja). Data tersebut dapat dilihat bahwa proses afaresis

yang terjadi pada kata [jajantung] menjadi [jantung] yang terjadi di Desa Surusunda

Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja. Perubahan

kosakata tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya kosakatanya yang

mengalami perubahan.

Kata [tulang iga] yang terdapat pada data (58) dalam (dialek

Karangpucung), mengalami proses afaresis atau penghilangan fonem di awal kata.

Penghilangan fonem tersebut terdapat pada fonem [t,u,l,a,n,g]. Kata dasar dari kata

[tulang iga] adalah [iga], setelah mengalami proses afaresis kata [tulang iga]

berubah menjadi [iga] (dalam dialek Wanareja). Data tersebut dapat dilihat bahwa

proses afaresis yang terjadi pada kata [tulang iga] menjadi [iga] yang terjadi di Desa

Surusunda Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja.

Perubahan kosakata tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya

(37)

Kata [cai mocor] yang terdapat pada data (335) dalam (dialek

Karangpucung), mengalami proses afaresis atau penghilangan fonem di awal kata.

Penghilangan fonem tersebut terdapat oada fonem [c,a,i]. Kata dasar dari kata [cai

mocor] adalah [mocor] (dalam dialek Wanareja). data tersebut dapat dilihat bahwa

proses afaresis yang terjadi pada kata [cai mocor] menjadi [mocor] yang terjadi di

Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan

Wanareja. Perubahan kosakata tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya

kosakatanya yang mengalami perubahan.

Tabel 4.4 Data Afaresis (Penghilangan fonem di awal kata)

No Bahasa Indonesia

Koskata Dasar

Dialek Karangpucung (Desa Surusunda)

Dialek Wanareja (Desa Majingklak)

Ortografis Fonemis Ortografis Fonemis

22 Jantung jajantung Jajantung jajantu jantung jantung

58 Rusuk Iga tulang iga tula iga Iga iga

335 Air

(mengalir)

Mocor cai mocor cai mocor mocor mocor

2) Sinkop

Berikut ini adalah data Sinkop yang telah di analisis terdapat di dialek Sunda di

desa Majingklak Kecamatan Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan

Karangpucung. Data Sinkop terdapat pada:

Kata [getah] yang terdapat pada data (267) dalam (dialek Wanareja),

mengalami proses sinkop atau penghilangan fonem di tengah kata. Penghilangan

fonem tersebut terdapat pada fonem [t]. Kata dasar dari kata [getah] menjadi [gtah]

(dalam dialek Karangpucung). Data tersebut dapat dilihat bahwa proses sinkop yang

(38)

Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja. Perubahan kosakata

tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya kosakatanya yang mengalami

perubahan.

Data (273) kosakata [minyak klentik] dalam (dialek Wanareja), mengalami

proses sinkop atau penghilangan fonem di tengah kata. Penghilangan fonem tersebut

terdapat pada fonem [k]. Kata dasar dari kata [minyak klentik] adalah [minyak lentik]

(dalam dialek Karangpucung). Data tersebut dapat dilihat bahwa proses sinkop yang

terjadi pada kata [minyak klentik] menjadi [minyak lentik] yang terjadi di Desa

Surusunda Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja.

Perubahan kosakata tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya

kosakatanya yang mengalami perubahan.

Kata [garelut] yang terdapat pada data (289) dalam (dialek Karangpucung),

mengalami proses sinkop atau penghilangan fonem di tengah kata. Penghilangan

fonem tersebut terdapat pada fonem [a dan r]. Kata dasar dari kata [garelut] adalah

[gelut] (dalam dialek Wanareja). Data tersebut dapat dilihat bahwa proses sinkop

yang terjadi pada kata [garelut] menjadi [gelut] yang terjadi di Desa Surusunda

Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja. Perubahan

kosakata tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya kosakatanya yang

mengalami perubahan.

Tabel 4.5 Data Sinkop (Penghilangan fonem di tengah kata) No Ortografis Fonemis Ortografis Fonemis

(39)

3) Apokop

Berikut adalah data Apokop yang telah dianalisis hanya terdapat di dialek

Sunda di desa Majingklak Kecamatan Wanareja.

Kata [embun-embunen] yang terdapat pada ata (14) dalam (dialek Wanareja),

mengalami proses apokop atau penghilangan fonem di akhir kata. Penghilangan

fonem tersebut terdapat pada fonem [edan n]. Kata dasar dari kata [embun-embunen]

adalah [embun-embun] (dalam dialek Karangpucung). Data tersebut dapat dilihat

bahwa proses apokop yang terjadi pada kata [embun-embunen] menjadi [

embun-embun] yang terjadi di Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung dan Desa

Majingklak Kecamatan Wanareja. Perubahan kosakata tersebut tidak merubah arti

katanya, melainkan hanya kosakatanya yang mengalami perubahan.

Tabel 4.6 Data Apokop (Penghilangan fonem di akhir kata) No Ortografis Fonemis Ortografis Fonemis

14

Embun-Berikut ini adalah data Kontraksi yang telah di analisis terdapat di dialek Sunda

di Desa Majingklak Kecamatan Wanareja dan Desa Surusunda Kecamatan

Karangpucung. Data Kontraksi tersebut terdapat pada:

Data (18) kosakata [hati] dalam (dialek Karangpucung), mengalami proses

kontraksi atau proses yang memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem yang di

hilangkan dan juga perubahan atau pergantian fonem. Proses kontraksi tersebut

terdapat pada fonem [i] berubah menjadi [e]. Data tersebut dapat dilihat bahwa

(40)

Surusunda Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja.

Perubahan kosakata tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya

kosakatanya yang mengalami perubahan.

Kata [jejenggot] yang terdapat pada data (23) dalam (dialek Karangpucung),

mengalami proses kontraksi atau proses yang memperlihatkan adanya satu atau lebih

fonem yang di hilangkan dan juga perubahan atau pergantian fonem. Proses

kontraksi tersebut terdapat pada fonem [j,e] [jejenggot] (dialek Surusunda) dan

fonem [m,a] [majanggot] (dialek Majingklak). Data tersebut dapat dilihat bahwa

proses kontaksi yang terjadi pada kata [jejenggot] menjadi [majenggot] yang terjadi

di Desa Surusunda Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan

Wanareja. Perubahan kosakata tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya

kosakatanya yang mengalami perubahan.

Data (110) kosakata [gendeng] dalam (dialek Karangpucung), mengalami

proses kontraksi atau proses yang memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem

yang di hilangkan dan juga perubahan atau pergantian fonem. Proses kontraksi

tersebut terdapat pada fonem [g] [gendeng] (dialek Karangpucung) dan fonem [k]

[kenteng] (dialek Wanareja). Data tersebut dapat dilihat bahwa proses kontaksi yang

terjadi pada kata [gendeng] menjadi [kenteng] yang terjadi di Desa Surusunda

Kecamatan Karangpucung dan Desa Majingklak Kecamatan Wanareja. Perubahan

kosakata tersebut tidak merubah arti katanya, melainkan hanya kosakatanya yang

mengalami perubahan.

Data (209) kosakata [sendal] dalam (dialek Karangpucung), mengalami

Gambar

Tabel 4.1 Data Protesis yang disertai penambahan fonem diawal kata
Tabel 4.2 Data Epentesis yang disertai penambahan fonem di tengah kata
Tabel 4.3 Data Paragog yang disertai penambahan fonem di akhir kata
Tabel 4.4 Data Afaresis (Penghilangan fonem di awal kata)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Belanja Bahan dalam Rangka Pelatihan Temu Teknis, Ekpose dan seminar inovasi pertanian0. >

Semoga buku ini memberi manfaat yang besar bagi para mahasiswa, sejarawan dan pemerhati yang sedang mendalami sejarah bangsa Cina, terutama periode Klasik.. Konsep

Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini pada sifat fisik yaitu bahwa mayonnaise corn oil memiliki viskositas dan kestabilan emulsi yang lebih tinggi dari pada

Gambar L.14 Rancangan Halaman Tambah Data Tu Pengarsip...L73 Gambar L.15 Rancangan Halaman Ubah Data Tu Pengarsip ...L74 Gambar L.16 Rancangan Halaman Data Jabatan ...L74 Gambar

Excess of this Dengue Rapid Test compared to resistance test of Hemaglutination which still used until now is beside having high diagnostic reliability, practical, and also can

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin yang khusus disediakan dan atau diberikan

Harga saham yang menjadi salah satu faktor dalam menghitung MVA lebih banyak ditentukan oleh kinerja keuangan masa depan daripada masa lalunya, sehingga dengan nilai EVA