• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILSAFAT SENI TAOISME * Oleh Made Pramono

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FILSAFAT SENI TAOISME * Oleh Made Pramono"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

FILSAFAT SENI TAOISME* Oleh Made Pramono†

Abstract

A lot of people seem look to Taoism for a justification for their “doing what they want”. That’s probably not what Taoism is about at all. Taoism has everything to do with order, "the way things work". Philosophy isn’t about idle speculation over a cup of tea. It has to do with real life. These ideas aren’t airy concepts, but are rooted in our lives. The Taoist isn’t blown about by the random forces of life. He makes choices, with a clear idea of the consequences. He understands the order in nature, especially human nature. Order, choice, and responsibility for those choices.There is much talk in Taoism about Yin and Yang, and that they must be kept in balance. It’s a dynamic balance, however. The world is forever changing, and today’s formula for putting our lives in balance doesn’t necessarily apply to tomorrow. There is no magic bullet. Taoism is an alternative scientific method. It is a scientific method that is meant to deal with the whole of things, and not just their physics. Nature, as well as human nature is included as well. It must be included, because human nature colors every aspect of our lives. In art, there are mystical relevancy in Taoisme. Art work with the principle behind something, the soul, and in this way the mystique exist. Of course, mystique shall not be comprehended as extreme irrational, but as methods or means to reach holistic view of the whole thing.

Jalan Mistik dan Relevansi Estetik

Taoisme merupakan sistem filsafat yang berkembang antara abad 5 dan 3 SM. Sesudahnya, selama abad 3 SM, doktrin ini merupakan inspirasi dari apa yang disebut agama Taois. Di masa kini praktek-praktek dan upacara-upacara agama Taoisme menampak pada pengamat biasa sebagai akumulasi dari takhayul-takhayul, padahal kenyataannya, mereka mewakili pengembangan gelora mendalam dari hidup yang memiliki asal-usulnya dalam masa-masa prasejarah Cina. Bila kita melihat pada

*

Dimuat dalam Jurnal Prasasti, Vol 15 No. 58 Septe,ber 2005, ISSN 0853- 6880.

(2)

mazhab-mazhab filosofis Taoisme (500-300SM) sebagai salah satu sistem, dan pada Lao-tzu dan Chuang-tzu, kita temukan bahwa sistem ini telah memiliki sejarah yang panjang. Sebelum abad 1 SM, perkembangan pengajaran filosofis mencapai gelar definitifnya sebagai ‘Mazhab Tao (Jalan)’.

Di dalam kitab Bunga Rampai Ajaran Confucius diceritakan, suatu saat Confucius berjumpa dengan banyak orang, yang ia namakan yin che, “orang-orang yang menarik diri dari masyarakat ramai”, dan menggambarkan mereka sebagai orang-orang “yang melarikan diri dari dunia”. Para Taois mungkin bermula dari manusia-manusia jenis ini, yang kebanyakan hidup terpisah dari khalayak ramai. Namun, bedanya dengan pertapa biasa, mereka berusaha menyusun suatu sistem pemikiran yang kiranya dapat memberi makna kepada tindakan mereka. Di antara mereka agaknya Yang chu merupakan tokoh yang paling dini (Fung Yu-Lan, 1990: 79-80).

Taoisme dianggap sebagai suatu aliran romantis oleh sementara orang. Ajarannya tidak memupuk sikap ambisi, perjuangan dan persaingan karena ia menganggap keberuntungan, sukses dan keharuman nama laksana asap rokok yang hilang dalam sekejap (To Thi Anh, 1985: 19). Seniman besar dan sejati kiranya memang menghayati seni yang dia hasilkan tanpa terjebak pada pamrih.

Apa yang kita sebut ‘Tuhan’, atau ‘Surga’ bagi konfusian, disebut ‘Tao’ bagi Taois, yang berarti Jalan, dan dalam arti yang lebih luas: realitas absolut, dasar penyebab, yang tak terselami, akal budi, logos. Lin Yutang, menyatakan bahwa “Tao yang dapat dikatakan bukanlah Tao Absolut” yang mirip dengan frase dari Martin Bruber, “Nama yang dapat dinamakan bukanlah nama yang abadi” (To Thi Anh, 1985: 12-13). Karena tak dapat diberi nama, maka ia tak dapat dimuat dalam kata-kata. Tetapi karena kita ingin berbicara mengenainya, maka terpaksa kita memberinya sejenis acuan. Menyebut Tao dengan sebutan Tao tidak sama dengan menyebut meja dengan sebutan meja. Tao tidak memiliki atribut-atribut yang dapat diberi nama semacam sebutan meja; sebutan Tao sekedar acuan, atau, dengan

(3)

menggunakan ungkapan yang lazim dalam filsafat Cina, Tao merupakan nama yang bukan nama (Fung Yu-Lan, 1990: 125).

Menurut Taoisme, karena sesuatu datang dari ketiadaan maka akan kembali kepada ketiadaan atau "non-being", jadi waktu berjalan secara sirkuler. Oleh karena itu segala sesuatu "tertulis" kembali kepada akarnya. Kembalinya sesuatu ke akarnya dinamakan "diam" (ching), ia tunduk kepada takdir (ming), tunduk kepada takdir dinamakan kekal. Mengetahui kekekalan dinamakan "tercerahi" (Lao Tzu, 1956: 16).

Pandangan demikian sesuai dengan makna Tao sebagai jalan transformasi diri. Taoisme menghindarkan diri dari kemungkinan pandangan Tao sebagai penciptaatau pengatur yang bersifat supranatural, sebab segala sesuatu berjalan sesuai dengan kodratnya (Fung Yu-Lan, 1990: 181). Inilah sebabnya, Taoisme lebih dilihat sebagai ajaran mistik daripada ke arah ilmiah. Tentu saja, mistik sebaiknya tidak dipahami sebagai keirasionalan ekstrim, tetapi sebagai metode atau jalan penyatuan dengan akar/semesta. Di sini terlihat relevansi mistik atas seni dalam ajaran Taoisme ini. Seni setidaknya berangkat dari penjiwaan atas sesuatu, dan jalan mistik menemukan diri untuk dilibatkan dalam proses penjiwaan itu.

Tao adalah substansi otis yang tidak terbatas, yang secara komplek telah

dikarakterisir oleh Lao Tzu:

1. Sebagai kesatuan segala keberadaan yang tak terpahami.

2. Sebagai akar fundamental dari surga dan bumi, hakikatnya tidak terbatas ketajamannya tak terlihat, tetapi sesungguhnya besar fungsinya, karena semua penciptaan berawal darinya (Lao Tzu, 1956: 4).

3. Sebagai pribadi primordial mempunyai unsur ke dalam semua bentuk keberadaan (Lao Tzu, 1956: 39).

4. Sebagai pola unik semua jenis aktivitas, tidak bersambungan satu sama lain tetapi pas, memutar tetapi meluruskan ke depan, mengosongkan tetapi tetap penuh.

5. Sebagai bentuk tertinggi, penuh kedamaian, seperti bayi memegang dengan erat payudara ibunya.

(4)

6. Sebagai nasib terakhir dan tujuan semua ciptaan (Lao Tzu, 1956: 15).

Hakikat Tao tak dapat diuraikan, tetapi manifestasi dan fungsinya dapat diidentifikasikan dengan segala sesuatu di alam ini. Inilah yang disebut Sachiko Murata sebagai “dualitas ilahi” (Murata, 2000: bab 2). Tao punya kesamaan dengan Brahman dalam Hindu, Logos dalam Kitab Suci Kristen (Tim Redaksi Driyarkara, 1993: 76). Bahkan Frithjof Capra lebih menukik lagi dengan menyamakan Tao dengan medan gabungan fundamental fisikal (Capra, 2001: 283). Dalam bahasa Danah Zohar dan Ian Marshall, Tao (atau ‘Tuhan’ dalam tradisi semitik) analog dengan hampa kuantum, sebagai transendensi capaian tertinggi fisika (Zohar dan Marshall, 2001: 89). Ini membawa kita pada keyakinan akan relevansi ilmiah Tao. Filsafat seni Taoisme harus dikerangkai seperti ini.

Kita perlu mengetahui dan mengenali Tao dibalik nama-nama, Tao tak ternamai dan tak terpahami. Akan tetapi Tao yang bisa kita namai mensyaratkan adanya yin dan yang, karena keduanya bersifat inheren dalam dirinya sendiri (Murata, 2000: 81).

Tao adalah paduan Yin dan Yang, dari mana suatu keselarasan bergantung

(Lao Tzu, 1956: 42). Segala sesuatu diturunkan dari Tao. Segala sesuatu dihasilkan atas pengaruh kekuatan Yin dan Yang. Yin itu pasif dan yang itu aktif. Interaksi dari

Yin dan Yang akan menghasilkan harmoni atau keselarasan (Tim Redaksi Driyarkara,

1993: 79). Harmoni dan penyatuan subjek dan objek menempati kedudukan penting dalam kreativitas seni.

Tao tak punya asal-usul. Kitab klasik besar Taoime, Tao-te Ching, memuat

frase mengagumkan tentang empat langkah besar yang memungkinkan kita masuk ke dalam misteri ‘Yang Satu’, yang tak merefleksikan sesuatupun kecuali dirinya sendiri, yang tak punya sebab lain, dan yang sifat dasar yang dimilikinya merupakan sumber segala sesuatu.

Patokan Manusia adalah Bumi Patokan Bumi adalah Surga Patokan Surga adalah Tao

(5)

Patokan Tao adalah Spontanitas

Terdapat prinsip misterius tentang keteraturan yang ada sebelum para guru Taois memasukkannya dalam sistem ‘metode dengan mana dunia diatur’. Harus terdapat penjelasan untuk segala sesuatu yang eksis, dan ini ditemukan dalam awal permulaan. Ini haruslah menjadi satu prinsip paripurna untuk segala sesuatu, dan ini mengada dari Yang Satu. Baik Yang Satu maupun Yang Awal bukanlah merupakan konsep-konsep abstrak, keduanya merupakan situasi realitas-realitas dalam dunia tak terlihat, dunia misteri. (Adalah misterius bagi orang awam dalam melihat “spontanitas” cara kerja dan hasil karya para seniman).

Chuang tzu menguraikan ‘metode Tao ini:

Tidak terpisah dari sumber utamanya susunan Manusia Surgawi

Tidak terpisah dari sifat esensialnya, susunan apa yang kita sebut Manusia Ruhani

Tidak terpisah dari kebenaran nyatanya, susunan apa yang kita sebut Manusia Sempurna (Lao Tzu, 1956: 64).

Istilah-istilah ini sering disebut dalam seluruh literatur Taois, yang mengekspresikan filsafat keberadaan yang menjadi teologi sesungguhnya. Idealitas dari manusia Sempurna’ atau ‘Manusia Sejati’ akan menjadi identik dengan Tao. Seniman Taois berdasar pada hal ini dalam memproses karyanya.

John Blofield berupaya mendefinisikan Taoisme, meski masih terasa sulit memahaminya:

Taoisme – syair kuno, misterius, impian – lahir ditengah cahaya redup yang mengelilingi peradaban awal, merupakan suatu manifestasi kehidupan dari jalan hidup kuno yang hampir lenyap dari dunia. … cerita rakyat, ilmu-ilmu gaib, kosmologi, yoga, meditasi, syair-syair, filsafat tersembunyi, mistisisme agung – semua tercakup didalamnya (Blofield, 1969: vi).

Doktrin Taois yang benar layak kita hargai karena penjelasannya tentang jalan ke arah esensial dan eternal dalam mistisisme: yakni, pada persepsi dari alam lain – cara membedakan penglihatan, sentuhan, perasaan, dan tentunya, dari kehidupan.

(6)

Dimungkinkan suatu perjalanan keluar dari kondisi manusia normal ke arah kesadaran Tao, dari kehadiran yang meresapi segala sesuatu dan bekerja di mana-mana. Di tingkatan paling imanen dari Tao, mengungkapkan transendensinya. Kesadaran mistis ini dalam filsafat seni Taois diperlukan dalam menggugah indera batin bagi penciptaan karya.

Dalam rantai ‘penciptaan’ itu, Tao tidak terpisah dari obyek-obyek ini, hadir melalui kebajikannya. Jika seseorang bertanya di mana Tao ditemukan, jawabannya haruslah ‘dimana-mana dan dalam segala sesuatu’. Meskipun kehadiran universal ini tidak dihadirkan sebagai keberadaan personal, kita dapat melihat bahwa di sini terdapat aspek dari Tao yang menggetarkan hati:

Jalan yang dapat ditunjuk, bukanlah jalan abadi;

Nama-nama yang dapat disebut bukanlah nama-nama abadi. Adalah dari tanpa nama, Surga dan Bumi terbuka;

Nama itu merupakan ibu yang membesarkan sepuluh ribu ciptaan (Lao Tzu, 1956: 118).

Ide Tao sebagai ibu segala keberadaan ini merupakan maksud agung dalam mistik Taois. Segala keberadaan berasal dari Tao. Dalam upaya meraih kontemplasi mistik kembali ke asal, ke ibu, ke Tao, seseorang harus mengubur dirinya sendiri dalam diam, dalam kekosongan. Kontemplasi ini, dalam perjalanan ke dalamnya, mencari dalam kehampaan – mengabaikan segalanya – cinta mendasarnya pada ‘Pencipta’nya. Ketika Tao hadir sebagai ibu segala keberadaan, ini menuntut sikap ta’zim yang merupakan hal yang esensial dari Taoisme. Ini jelas menjadi norma dan rambu bagi seniman Taois. Sastrawan legendaris asal Libanon, Khalil Gibran, juga menengarai bahwa kesejatian hanya dimengerti oleh ‘jiwa-jiwa sunyi’.

Sifat dasar Tao adalah spontanitas murni, sehingga seluruh ciptaan dituntut

mengikuti sifat alami diri sendiri, spontanitas. Kesalinghubungan Tao dan seluruh ciptaan dinyatakan oleh Lao tzu:

Tao memberi mereka kelahiran

‘Kekuasaan’ Tao membesarkan mereka, Membentuk mereka menurut jenis mereka,

(7)

Oleh karena itu dari sepuluh ribu benda-benda Tidak terdapat satupun yang tidak memuja Tao,

Memberi penghormatan pada kekuasaannya (Lao Tzu, 1956: 2075).

Tao juga menghormati ciptaannya. Membentuk mereka semua menurut sifat

dasarnya. Inilah mengapa Lao tzu menganjurkan orang bijak/pertapa untuk mengarahkan dirinya sendiri ke arah ciptaan-ciptaan sebagaimana Tao sendiri menciptakan mereka.

Meskipun Tao biasanya dianggap sebagai daya impersonal, harus diketahui bahwa dalam filsafat Taois ‘kelembutan sentuhan’ tertentu antara Tao dan ciptaan-ciptaan jelas kelihatan. Ini adalah satu yang dapat dikenali dalam seluruh mistik ‘alami’, dalam kedekatan kontak mereka dengan misteri eksistensi.

Seniman Taois “melarut” dalam Tao dan mengobjektivikasi “ciptaan-ciptaan” dalam kreativitas mereka. Terdapat beberapa hal yang perlu dipahami lagi dalam analisa filsafat seni Taoisme. Sub-bab berikut berusaha memaparkannya secara garis besar.

Prinsip-Prinsip Filsafat Seni Taoisme

Adanya keindahan mengandaikan adanya keburukan. Keindahan dan keburukan merupakan dua kutub polaritas dalam suatu kesatuan absolut. Yang indah memberikan ruang bagi adanya keburukan, yang buruk memberikan ruang bagi adanya keindahan. Keduanya merupakan suatu yang niscaya ada dalam keutuhan semesta. Tao-te Ching Bab 2 (Tjan Tjoe Som, 1962: 2) mengungkapkan

Begitu tahu semua orang di kolong langit tahu apa yang merupakan keindahan itu

Maka dengan sendirinya kejelekan ada

Begitu mereka tahu apa yang merupakan kebaikan itu Maka dengan sendirinya kejahatan ada.

Maka itu:

ada dan tiada yang satu melahirkan yang lain sukar dan mudah yang satu mewujudkan yang lain panjang dan pendek yang satu melengkapi yang lain

(8)

tinggi dan rendah yang satu bersandar pada yang lain bunyi dan suara yang satu selaras dengan yang lain dahulu dan kemudian yang satu menyusul yang lain. Inilah sebabnya orang suci

Bekerja tanpa bertindak Mengajar tanpa berkata

Segala benda karenanya berkembang tanpa ia mendorongnya Tumbuh tanpa ia mau memilikinya

Berbuat tanpa ia menjadi sandarannya Walaupun berjasa ia tidak menuntut Justru karena tidak menuntut

Maka tak kan musnah

Nilai-nilai estetik, seperti nilai etik, merupakan subjek dari hukum-hukum yang konstan yang ada dalam kehidupan, tetapi juga bersifat transenden. Seperti halnya pada dimensi etik, dimensi estetik menemukan dunianya diatur oleh jiwa spontanitas universal. Kesempurnaan suatu aktivitas apapun (termasuk ekspresi seni) hanya didapatkan manakala manusia (seniman) dapat menjalankan keselarasan dengan Tao dalam dualitas nilai yang relatif dalam suatu kesatuan yang absolut. Dengan mengikuti irama gerak alam semesta tanpa melakukan distorsi, penyimpangan atau perusakan (Wu-Wei), berarti ia telah memiliki kebajikan kodrati

(Te) di dalam dirinya. Semua aktivitas atau semua benda yang diciptakan merupakan

hasil dari perekaman jiwa atau pengungkapan kembali dari gerak alam semesta yang transenden. Dengan memiliki kesatuan Te dan Wu-Wei, hasil dari aktivitasnya dianggap juga merupakan manifestasi dari gerak Tao, dan manusia (seniman) tidak akan menuntut jasa atas apa yang dilakukannya, karena ia telah bahagia masuk dalam keabadian gerak Tao. Bila pada faktanya seniman lebih dilukiskan sebagai orang yang rambutnya awut-awutan, barangkali ada hubungannya dengan kepuasan berkarya yang menir-artikan apresiasi terhadap fisik subjek seniman itu sendiri. Salah satu agama juga menegaskan hal ini, yang dinyanyikan Ebiet G. Ade dalam lagu religiusnya: “…dengarkanlah kata-kataku, jangan engkau lihat siapa aku…”.

Struktur estetik Taoisme pada tataran keindahan murni tidak dapat dilepaskan dari landasan ideologis yang menyeluruh. Sebagaimana dengan ide-ide klasik bahwa

(9)

keindahan merupakan suatu yang baik dan menyenangkan, maka makna keindahan mencakup juga dimensi moral dan intelektual yang kesemuanya itu diletakkan pada adanya “katarsis” atau pencerahan dalam jiwa manusia atas tanggapan dan pengalamannya. Ide-ide estetik sebagai bagian dari kesempurnaan jiwa diungkapkan dalam Tao-te Ching Bab 67 (Tjan Tjoe Som, 1962: 105):

Kami mempunyai tiga pusaka: Yang kami pegang dan jaga: Kesatu: kasih

Kedua: hemat

Ketiga: tak mau berada di depan kolong langit.

Ketiga azas tersebut ditafsirkan Ananda Krisna sebagai berikut. Yang pertama adalah kasih, yang kedua adalah menghindari ekstremisitas, yang ketiga adalah melepaskan keinginan. Sedangkan Archie J. Bahm menafsirkannya sebagai gentleness (kelembutan), frugality (kesederhanaan), dan humility (kerendahan hati) (dalam Tjan Tjoe Som, 1962: 114).

Bagi Taoisme, ketiga azas tersebut merupakan hukum-hukum ideal universal bagi segala yang ada, termasuk entitas keindahan, karena esensi keindahan adalah keselarasan semesta, suatu kumpulan berbagai unsur dalam kesatuan yang harmonis. Keindahan hakiki ini akan ada dalam diri manusia manakala manusia telah memiliki

Te dengan mengikuti gerak irama semesta tanpa adanya sikap penyangkalan atau

pendistorsian (Wu-Wei). Ini berarti, bahwa ruang kesadaran estetik akan dicapai, manakala manusia dapat “hidup” dalam Tao dengan mengikuti 3 prinsip semesta tersebut, yaitu:

1. Kasih atau kelembutan, bermakna bahwa setiap manusia harus memiliki rasa kasih sayang untuk memelihara sifat alamiah alam semesta. Bab 76 Kitab Tao-te Ching (Tjan Tjoe Som, 1962: 115) mengungkapkan kelembutan sebagai sifat kehidupan. Ujarnya:

Manusia pada waktu hidup lemah dan lemas Kalau mati menjadi kaku dan keras

(10)

Segala benda dan tanaman pada waktu tumbuh lemah dan lemas Kalau mati menjadi kering dan keras

Maka itu

Kaku dan keras adalah teman kematian Lemah dan lemas adalah teman kehidupan

2. Hemat atau kesederhanaan, bermakna bahwa setiap manusia harus memiliki sikap kewajaran dalam bertindak dan menyikapi sesuatu. Kompleksitas dan ketidakberhinggaan alam semesta tidak disikapi sebagai kerumitan yang harus diurai, tetapi sebagai suatu kebulatan. Tao-te Ching Bab 46 (Tjan Tjoe Som, 1962: 85) mengungkapkan makna kesederhanaan merupakan sesuatu yang cukup tanpa banyak keinginan. Ujarnya:

Tak ada kesalahan yang lebih besar daripada banyak keinginan Tak ada bahaya yang lebih besar dari pada tak kenal cukup Tak ada bencana yang lebih besar daripada keinginan mendapat Maka itu

kalau tahu cukup itu sudah cukup kan selama-lamanya cukup

3. Melepaskan keinginan atau kerendahan hati, bermakna bahwa setiap manusia harus dapat mengendalikan diri, tidak mengumbar nafsu menguasai atau mengeksploitasi keinginan. Semua aktivitas manusia haruslah menggambarkan kedamaian dan ketenangan, tidak menggambarkan kemewahan, kemarahan atau ketidakpuasan. Sebagai salah satu prinsip keharmonian semesta, melalui kerendahan hati jiwa manusia dapat menjadi sempurna (Te) untuk meraih kegemilangan atau keabadian. Sebagaimana dalam Tao-te Ching Bab 22 (Tjan Tjoe Som, 1962: 60) mengungkapkan:

Inilah sebabnya orang suci

Menggenggam menjadi pegangan bagi dunia Ia tidak memperagakan diri, maka menjadi tenang Tak membenarkan diri, maka gemilang

Tak menonjolkan diri, maka berhasil Tak menjunjung diri, maka berlangsung

(11)

Ketiga pusaka atau ketiga prinsip keharmonisan alam semesta sebagai prinsip-prinsip estetik tersebut di atas dapat ditafsirkan sebagai berikut:

1. Kasih atau kelembutan (gentleness) yang mengandung arti memelihara atau melingkupi, memiliki ide penyatuan atau keselarasan agar tidak terjadi kekacauan. Setiap benda estetik harus memiliki prinsip kesatuan (unity) atau keselarasan. Prinsip kelembutan merupakan jalan utama untuk mengutuhkan penyebaran berbagai unsur yang ada. Perinsip kelembutan dalam teori yang diajukan terletak pada prinsip kesungguhan (intensity) sebagai tekanan nuansa emosi yang bersifat sublimatif.

2. Prinsip kesederhanaan (frugality) yang mengandung arti kewajaran memiliki ide keutuhan. Artinya pada setiap benda estetik harus menampakkan image keaslian (alami) dan tidak menampakkan kerumitan atau sesuatu yang berkelebihan

(excessive), dan distorsi atas fenomena alam sesungguhnya.

3. Prinsip kerendahan hati (humility) yang mengandung arti mengendalikan diri memiliki ide kemurnian. Artinya, pada setiap benda estetik harus mengungkapkan adanya image kemurnian, baik bentuk atau suasana, tidak mengungkapkan adanya pengeksploitasian emosi atau bentuk, tetapi menonjolkan kesunyian dan ketenangan.

Ketiga prinsip estetik ini pada intinya bermuara atau ditujukan untuk mencapai keselarasan (harmony) atau kesatuan (unity) sebagai cermin dari keselarasan semesta.

Pengalaman Estetik Dan Kesadaran Estetika Taoisme

Taoisme tidak pernah secara tegas memberi uraian tentang kesenian, tetapi pujian terhadap gerak bebas jiwa dan pujian terhadap keadaan alam yang asli telah memberikan inspirasi besar kepada seniman-seniman di Cina (Fung Yu-Lan, 1960: 35). Refleksi estetik atas filsafat Taoisme menjadi bersifat spekulatif dan hipotesis dalam suatu ruang interpretasi yang terbuka.

(12)

Seorang seniman besar pada Dinasti Ching pada abad ke-17 yang bernama Yun Shau Ping menegaskan bahwa seni tidak dapat dipisahkan dari kehidupan jiwa, yaitu sebagai dinamika kreatif yang memanifestasikan aktivitas imanen Tao (Gnoli dalam Tjan Tjoe Som, 1962: 43). Tao sebagai Realitas Absolut atau Ada misteri yang tidak terbantahkan di balik fenomena alam, hanya dapat dimengerti melalui geraknya atau aktivitasnya. Tao-te Ching Bab 6 (Tjan Tjoe Som, 1962: 44) menyatakan:

Diam dan gerak tak pernah berhenti:

Inilah yang dimaksud dengan “Babon Berahasia” Pintu “Babon Berahasia” ialah akar Langit dan Bumi Tak terputus-putus seperti selalu ada,

bagaimanapun digunakan tak ada habisnya

Tao mengalirkan suatu daya keteraturan, membawa manusia dari ketiadaan

kepada kenyataan individual, memberikan arah tujuan hidup dan kedirian manusia. Tak satupun bentuk kehidupan yang tidak disebabkan darinya, dan tidak ada vitalitas kehidupan yang tidak bersumber dari Tao, maka tak ada satupun bentuk kehidupan yang tidak mengekspresikan Tao, walaupun Tao tidak pernah mengungkapkan kerahasiaannya sendiri. Kitab Tao-te Ching Bab 34 (Tjan Tjoe Som, 1962: 72) mengungkapkannya:

“Jalan” Agung, meluaplah ia, Ia dapat ke kiri, maupun ke kanan;

Segala benda tumbuh dengan mendasarkan padanya.

Untuk mengerti diri sendiri dan semua benda dalam aspek metafisiknya atau aspek surgawinya (shen), seseorang harus kembali meletakkan dirinya pada Realitas Absolut yang tersembunyi ini. Perasaaan-perasaan dalam jiwa manusia sebagai sifat dari Ada, adalah abadi dan tidak pernah berubah serta tidak terikat pada suatu bentuk tertentu secara intrinsik, dan diakui sebagai sumber pusat kreativitas atau daya hidup yang tak terbatas.

Arti Tao sebagai “jalan Suci”, bermakna suatu “jalan” yang melintasi seluruh benda-benda yang berujud, pada bentuk yang datar atau yang plastis, setelah menjelajahi seluruh perwujudan dan wilayah aktivitasnya, maka Tao kembali masuk

(13)

ke dalam dirinya sendiri (Gnoli, dalam Tjan Tjoe Som, 1962: 74). Kitab Tao-te Ching Bab 40 (Tjan Tjoe Som, 1962: 78) mengungkapkan:

Berbalik: itulah geraknya “Jalan” Lemah: itulah gunanya “Jalan” Langit dan Bumi serta segala benda Berasal dari “ada”

“ada” berasal dari “tiada”

Tao adalah sumber segala yang ada dan segala gerak atau aktivitas semua

benda, maka ia menjadi tempat bersemayamnya kesucian hati dan pikiran dari segala aktivitas manusia. Bagi orang yang mengikuti “Jalan Suci” ini dapat mengikuti atau menjelajahi gerak dunia dengan mengamati seluruh benda-benda dalam suatu bentangan cakrawala yang menakjubkan dari hukum alam semesta. Kemampuan menerima di dalam hati (penghayatan) dan mengikatkan dirinya dengan hukum semesta yang sempurna itu sebagai sumber dasar keharmonisan universal, maka manusia telah selaras dengan Tao. Kitab Tao-te Ching Bab 39 (Tjan Tjoe Som, 1962: 7) menyatakan:

Inilah yang jaman dahulu mencapai kesatuan Langit mencapai kesatuan dan menjadi terang Bumi mencapai kesatuan dan menjadi tenang Roh mencapai kesatuan dan menjadi hidup

Lembah-lembah mencapai kesatuan dan mencapai penuh Segala benda mencapai kesatuan dan tumbuh

Pandangan terhadap dunia,. Baik pada tatanan spiritual (ide) maupun pada tataran penampakan (appearance) menjadi sempurna manakala di dalamnya terdapat kesatuan. Segala sesuatu yang baik, yang benar atau yang indah, rahasia kesempurnaannya hanya didapatkan dari adanya kemampuan mengendalikan diri dalam mengikuti keniscayaan watak alamiah itu sendiri. Setiap manuisia dalam semua aktivitasnya, atau seorang seniman dalam berseninya, dapat mencapai sesuatu yang indah, karena seniman telah berpartisipasi pada gerak Tao dan sekaligus ia digerakkan oleh daya aktivitas Tao itu sendiri.

Kemampuan kreatif seniman dalam mencipta sesuatu yang indah sebenarnya bersumber dari dalam diri yang paling dalam yaitu hati (hsin), tempat kedudukan

(14)

intelek dan perasaan (Gnoli, dalam Tjan Tjoe Som, 1962: 119). Semua yang diekspresikan sebenarnya ialah adanya keseimbangan hati sanubari yang dicapai ketika kemauannya telah berimbang secara harmonis dengan prinsip-prinsip keteraturan semesta.

Indera mata yang tergugah terhadap warna-warna merupakan sesuatu yang alamiah ketika manusia terpukau kagum oleh gemerlapnya batu permata. Telinga yang senang terhadap suara-suara merdu merupakan sesuatu yang alamiah ketika manusia merasa terhibur dengan nada-nada musik. Keindahan dari kesemarakan dan keragaman berbagai bentuk atau fenomena yang ditangkap oleh indera manusia, merupakan manifestasi dari keharmonisan abadi dari Tao itu sendiri. Kenikmatan estetik dari seniman di satu sisi dan rasa takjub mereka yang dapat mengenalinya dan mengalaminya di sisi lain, keduanya dapat dipertemukan dalam Tao.

Jika terjadi suatu keburukan, atau kepuasan yang diperoleh dalam pengalaman hidup manusia menghasilkan ekses keburukan, maka pertentangan atau polaritas tersebut sesungguhnya tidak dapat dihindarkan, dan seni dapat “melarut” pada polaritas tersebut, karena ekspresi seni berkaitan dengan keteraturan atau keseimbangan yang universal (Gnoli, dalam Tjan Tjoe Som, 1962: 115). Konsep

Yin-Yang yang meletakkan polaritas sebagai sesuatu yang relatif dalam keabsolutan,

predikat “indah” atau “buruk”, terletak pada tataran subjektivitas manusia, bukan pada tataran universal alam semesta.

Ide-ide estetik taoisme, sebagaimana pemikiran filsafati dalam ide-ide klasik, selalu menempatkan semua ekspresi seni sebagai manifestasi dari transendensi jiwa. Bercampurnya nilai-nilai estetik dengan nilai-nilai moral merupakan ciri khas pada setiap kebudayaan besar pada periode-periode klasik di dunia. Jika pengalaman estetik berarti manusia mengalami kesenangan karena jiwanya dapat selaras dengan keharmonisan semesta melalui persepsi terhadap benda-benda yang memiliki sifat indah sebagai pancaran keindahan Tao, maka kesadaran estetik berarti manusia menyadari adanya keindahan dalam jiwanya karena ia telah melakukan Wu-Wei dan mengikuti tiga prinsip keharmonisan semesta. Proses pengalaman estetik dan proses

(15)

kesadaran estetik sebagai bagian dari kesadaran alam semesta mengacu pada Bab 51 kitab Tao-te Ching (Tjan Tjoe Som, 1962: 89), yang mengatakan:

Ditumbuhkan oleh “Jalan” Dipupuk oleh sakti

Mendapat wujud oleh benda Diselesaikan oleh suasana Inilah sebabnya segala benda

Semuanya menghormati “Jalan” dan menghargai sakti Dihormatinya “Jalan”

Dihargainya sakti

Inilah karena tidak pernah menguasainya Dan selalu menuruti wataknya

Taoisme memandang segala aktivitas manusia haruslah merupakan manifestasi dari tendensi kodrati gerak Tao. Tao sebagai Realitas Absolut, asal dan tujuan segala sesuatu, mengandaikan manifestasi Tao dalam segala sesuatu merupakan pantulan kembali dari keniscayaan Tao ke segala benda yang secara metafora digambarkan dalam Tao-te Ching Bab 78 bagaikan air yang mengalir ke berbagai arah, dari daratan yang lebih tinggi ke dataran yang lebih rendah. Konsepsi terhadap gerak air yang terus mengalir, bermakna segala sesuatu dari hulu ke hilir dimanifestasikan dalam bentuk tulisan Cina yang tersusun dari atas ke bawah. Sebuah huruf Cina tidak hanya sekedar sejumlah coretan yang tidak terarah. Bagaikan sebuah lukisan, tuilisan Cina disusun dalam suatu keseimbangan yang harmonis secara keseluruhan. Hanya orang yang memiliki perasaan yang kuat terhadap harmoni dapat menciptakan tulisan yang benar dan indah.

Dalam buku Chinese Calligraphy yang dituilis Lucy Driscoll dan Kenji Toda dikatakan, bahwa inti keindahan dalam tulisan Cina bukan pada huruf yang ditulis, tetapi pengungkapan garis demi garis, huruf demi huruf disusun sebagai cara mengungkapkan kehidupan (Nio Joe-Lan, 1952: 133). Pemusatan Jiwa dan ketenangan pikiran sangat diperlukan dalam menulis indah. Pena yang digoreskan di atas kertas atau sutera tidak sekedar menggores dalam arti menulis saja, melainkan sebagai suatu aktivitas pengungkapan keindahan, bahwa melalui gerak tangan yang terarah akan tercurahkan suatu ide dan keindahan.

(16)

Oleh karena itu konsepsi melukis, mematung dan seni lain harus didasarkan pada dimensi kosmologik, bahwa mengenal alam merupakan cara memahami dimensi waktu atas awal-akhir, dan di dalam Tao terdapat keharmonisan melulu atau keindahan total. Apabila kesadaran tentang yang esensial telah melarut, maka kesadaran tentang waktu atas awal-akhir yang dipahami dalam gerak siklis menjadi larut dalam waktu abadi…

DAFTAR PUSTAKA

Anh, To Thi. 1985. Nilai Budaya Timur dan Barat. alih bahasa: John Yap Pareira. Jakarta: Gramedia.

(17)

Capra, Frithjof. 2001. Tao of Physics: Menyingkap Paralelisme Fisika Modern

dan Mistisisme Timur. alih bahasa: Pipit Maizier. Yogyakarta: Jalasutra.

Joe-lan, Nio. 1952. Cina Sepanjang Abad. Jakarta: Balai Pustaka.

Lan, Fung Yu. 1990. Sejarah Ringkas Filsafat Cina (Sejak Konfucius Sampai

Han Fei Tzu). alih bahasa: Soejono Soemargono. Yogyakarta: Liberty.

Murata, Sachiko. 2000. The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender

dalam Kosmologi dan Teologi Islam. alih bahasa: Rahmani Astuti dan M.S.

Nasrullah. Bandung: Mizan.

Som, Tjan Tjoe. 1962. Tao Te Ching. Jakarta: Bhatara.

Tim Redaksi Driyarkara. 1993. Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Jakarta: Gramedia.

Tzu, Lao. 1956. Tao-te Ching. alih bahasa: Arthur Waley. London.

Zohar, Danah dan Marshall, Ian. 2001. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual

Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan.

Referensi

Dokumen terkait

Enter Model 1 Variables Entered Variables Removed Method.. All reques ted variables

pen mailetan, isurpen-eskubideen merkatua, eraginkortasunaren eta energia aurreztearen aldeko diru-laguntzak, klima-aldaketaren inguruko legeak eta abar. Gainera, tresna horiek

Sentuhan mata : Gejala yang teruk boleh termasuk yang berikut: kesakitan atau kerengsaan.. berair kemerahan Kesan Kesihatan

Dari beberapa pembahasan yang penulis uraikan maka dapat di ambil kesimpulan bahwa kinerja guru di SDN Sipayo Kecamatan Paguat sangat berpengaruh

Sehubungan dengan akan diselenggarakannya seminar Proposal Pengabdian Kepada Masyarakat bidang Pemberdayaan Komunitas Marginal (PKM) dan Pengembangan Pendidikan Keagamaan (PPK),

Dalam kuesioner ini penulis mengemukakan beberapa pertanyaan yang mencerminkan pengukuran indikator dari variabel (X) program bauran promosi, dan variabel (Y)

PENERAPAN MODIFIKASI PEMBELAJARAN PERMAINAN BOLA VOLI TERHADAP PENINGKATAN BERMAIN DAN PENGEMBANGAN KOGNITIF SISWA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Dari 100 siswa yang mengikuti survey baik membuang / tidak mengaku bahwa ada beberapa factor yang mempengaruhi makan mereka seperti rasa makanan di kantin yang kurang sedap