1
MONITORING PERDA SYARIAT ISLAM DI BULUKUMBA
Perda Nomor 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin
BAB I
PENGANTAR
A.Gambaran Umum Wilyah Monitoring
Bulukumba adalah daerah yang terletak dibagian selatan Sulsel. Daerah ini terkenal sebagai
daerah pembuat perahu pinisi, sebutannya adalah Butta panrita lopi..Secara administratif
Kabupaten Bulukumba dibagi menjadi 10 Kecamatan dengan jumlah Desa 103 buah
dengan kelurahan 21 buah.Adapun Kecamatan tersebut sebagai berikut :
1.
Kecamatan Ujung Bulu terdiri dari 8 Desa / Kelurahan
2.
Kecamatan Gangking terdiri dari 12 Desa / Kelurahan
3.
Kecamatan Bulukumpa terdiri dari 16 Desa / Kelurahan
4.
Kecamatan Kajang terdiri dari 19 Desa / Kelurahan
5.
Kecamatan Bontobahari terdiri dari 8 Desa / Kelurahan
6.
Kecamatan Bontotiro terdiri dari 12 Desa / Kelurahan
7.
Kecamatan Rilau Ale terdiri dari 13 Desa / Kelurahan
8.
Kecamatan Herlang terdiri dari 8 Desa / Kelurahan
9.
Kecamatan Kindang terdiri dari 8 Desa / Kelurahan
10.
Kecamatan Ujung Loe terdiri dari 12 Desa / Kelurahan
Penduduk daerah pada tahun 2006 mencapai 383.870 jiwa, yang berarti mengalami
peningkatan 1,18% dari tahun 2004 yang hanya berjumlah 379.411 jiwa, dengan Laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1,62% per tahun selama periode 2002 – 2006
Dari 10 kecamatan yang ada di kabupaten Bulukumba jumlah penduduk terbesar terdapat
di kecamatan Gantarang yaitu sebesar 68.774 jiwa, sedangkan kecamatan yang mempunyai
jumlah penduduk terkecil terdapat di kecamatan Bontobahari yaitu sebesar 22.871 jiwa
Penduduk Kabupaten Bulukumba mayoritas memeluk agama Islam. Dari jumlah penduduk
tahun 2006 yakni 383.870 jiwa; 375.187 jiwa atau 99,75% yang memeluk agama Islam.
Meski demikian masyarakat Bulukumba tidak bisa disebut masyarakat homogen, disana
juga terdapat agama lain. Sekitar 473 jiwa atau 0,13% memeluk agama Kristen Protestan,
214 jiwa atau 0,06% memeluk agama Kristen Katolik, 212 jiwa atau 0,06% memeluk
agama Budha dan 21 jiwa atau 0,05% memeluk agama Hindu. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Banyaknya Penduduk Menurut Pemeluk Agama Dirinci Perkecamatan di Kabupaten
Bulukumba Tahun 2006
2
ISLAM
KRISTEN
PROTESTAN
KRISTEN
KATOLIK HINDUBUDHA
1 GANTARANG 68.656 73
29
4
12
68.774
2 UJUNGBULU 41.199 258 145
4
169
41.775
3 UJUNG
LOE 36.640 25
7
-
1
36.673
4 BONTOBAHARI22.833 9
4
3
22
22.871
5 BONTOTIRO 24.621 9
3
-
-
24.633
6 HERLANG
23.856 8
8
-
1
23.873
7 KAJANG
45.362 25
3
3
-
45.393
8 BULUKUMPA 55.218 30
6
3
4
55.261
9 RILAU
ALE 34.526 20
8
3
2
34.559
10 KINDANG
30.037 18
1
1
1
30.058
BULUKUMBA 375.187 475 214
21
212
383.870
Pluralitas itu juga ditandai dari pemaknaan dan praktik Islam di daerah ini sangat plural.
Sejak dulu daerah Bulukumba dikenal dengan beberapa aliran tarekatnya sepeti
Khalwatiah
,
Qadariyah
dan
Naqasabandiah
disamping organisasi Islam lain sepertu NU dan
Muhammadiyyah dan Darul Istiqamah Di samping itu di daerah ini juga dikenal
komunitas-komunitas lokal seperti komunitas
Haji Bawakaraeng
,
Komunitas Ara
dan
Komunitas Tanah Toa Kajang
. Komunitas-komunitas lokal semacam ini meskipun secara
resminya digolongkan kedalam agama Islam tetapi dalam praktek keagamaan dan ritual
mereka sehari-hari, kepercayaan lama mereka tetap nampak mewarnai. Bagi komunitas lokal
ini, beragama Islam tidak berarti Islamnya persis sama dengan yang berasal dari tradisi
Arab. Bagi komunitas lokal , praktek ke-Islaman tidak lain seperti yang telah dilakukan
selama ini yaitu memadukan antara ajaran Islam dengan keyakinan lokal.
Sejak tahun 2002 di daerah ini mulai berlaku Perda-perda Syariat Islam, antara lain
Perda
Nomor 03 tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan,Penertiban dan Penjualan Minuman
Keras
,. Perda Nomor 02 tahun 2003 tentang pengelolaan Zakat profesi, Infaq dan
Shadaqah, Perda Nomor 05 tahun 2003 tentang Pakaian Muslim dan Muslimah, Perda
Nomor 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan calon
Pengantin.
Untuk penerapan awal dari Perda-perda ini, maka pada tahun dibuatlah desa-desa
percontohan muslim. Desa-desa itu antara lain desa Padang dan desa Barombong di
kecamatan Gantarang, Kelurahan Bintarore dan Kelurahan Ela-ela di kecamatan Ujung
Bulu, desa Lembanna Kec Kajang, Desa Singa di Kecamatan Herlang, desa Ballasaraja Kec
Bulukumpa, desa Balong di Kecamatan Ujung Loe, desa Palampang kecamatan Rilau Ale,
desa Tritiro di Kecamatan Bonto Tiro, desa Garuntungan di Kecamatan Kindang dan desa
Darubiah di Kecamatan Bonto Bahari.
3
Pada desa-desa inilah proses pelaksanaan perda-perda syariat dilakukan dengan ketat.
Khususnya pada saat pertama kalinya desa muslim ini dibentuk, yaitu pada tahun 2003.
Gambaran Umum Perda
Perda No. 6/2003 tentang Baca Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Perda “Syariat Islam” di daerah ini
yang sudah disahkan ada empat yaitu
Perda Nomor 03 tahun 2002 tentang Larangan,
Pengawasan,Penertiban dan Penjualan Minuman Keras
,. Perda Nomor 02 tahun 2003
tentang pengelolaan Zakat profesi, Infaq dan Shadaqah, Perda Nomor 05 tahun 2003
tentang Pakaian Muslim dan Muslimah, Perda Nomor 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca
Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan calon Pengantin.
Meski demikian, focus monitoring ini hanya pada dua Perda, yaitu Perda Nomor 06 tahun
2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan calon Pengantin dan Perda
Nomor 05 tahun 2003 tentang Pakaian Muslim dan Muslimah . Perda inilah yang akan
ditelusuri implementasinya, kaitannya dengan persoalan HAM, korban dari Perda bila ada
dan juga prespektif masyarakat terhadap Perda ini.
Perda Nomor 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan calon
Pengantin adalah Perda “Syariat Islam” terakhir yang di sahkan di Bulukumba. Perda no.6
ini merupakan payung hukum dari dua point dari delapan crash program keagamaan di
Bulukumba, yaitu point
Pembinaan dan Pengembangan TKA – TPA dan
Pembinaan serta
Pengembangan Hifdzil Qur’an. Delapan crash program keagamaan ini sendiri, awalnya
adalah kebijakan pengembangan agama di Bulukumba yang dilaksanakan lewat jalur
pendidikan, dakwah dan pengembangan TPA. Pada awalnya tidak ada regulasi yang
mengatur berjalannya Crash program keagamaan ini. Namun belakangan karena pemerintah
menganggap perlu ada payung hukum agar pelaksanaaa crash program keagamaan ini bisa
didorong lebih cepat, maka dibuatkanlah beberapa Perda.
Khusus untuk Perda Baca tulis al-Qur’an dibuat dengan alasan yang sering dikemukakan
Pemda bahwa masih banyak masyarakat Bulukumba yang masih buta aksara al-Qur’an .
Tahun 2000 misalnya, tamatan TKA & TPA hanya 3225, sangat sedikit dibanding jumlah
penduduk saat itu yang sudah 352.662 Jiwa dengan jumlah orang Islam 99%.
Perda ini sendiri terdiri dari Lima Bab dan Sepuluh Pasal. Pada bagian menimbang dari
Perda ini salah satunya disebutkan bahwa kemampuan baca al-Qur’an bagi setiap murid
adalah bagian dari pendidikan islam yang memiliki arti strategis untuk mencerdasakan
kehidupan bangsa, khususnya dalam memananmkan nilai ketaqwaan bagi generasi muda
dan masyarakat. Sedangkan pada bagian mengingat regulasi yang dijadikan landasan antara
4
lain adalah UU pembentukan daerah di sulsel , yaitu UU No 29/1959 dan UU Otonomi
daerah No 22/1999. (selengkapnya Lihat lampiran).
Sasaran Perda ini sendiri ditujukan khususnya pada anak sekolah dan calon pengantin.
Adapun cakupan wilayahnya adalah semua daerah yang berada dibawah naungan Kabupaten
Bulukumba, termasuk daerah-daerah adat.
B.
Metode
1.
Alasan Memilih Tempat
Bulukumba dipilih menjadi daerah monitoring untuk Perda-perda “Syariat Islam” sebab
selama ini Bulukumba adalah daerah yang pertama di sulsel dalam menerapkan Perda
“Syariat Islam”. Bulukumba inilah yang banyak dicontoh daerah-daerah lain di sulsel,
bahkan diluar sulsel dalam merumuskan perda-perda keagamaan. Sampai saat ini
Bulukumba telah menerapkan empat perda “Syariat Islam”. Proses penerapannya meski
dianggap oleh Pemda disetujui oleh masyarakat Bulukumba namun sesungghnya banyak
persoalan di lapangan. Persoalan-persoalan itu berkaitan dengan persoalan dikriminasi dan
pelanggaran terhadap Hak Asazi seseorang. Sampai saat ini, persoalan itu belum pernah
ditelusuri lebih jauh, padahal daerah ini telah menerapkan Perda sejak tahun 2001.
Soal lainya adalah konteks daerah ini yang plural, baik dari segi perbedaan agama, aliran
dan sekte-sekte keagamaan maupun soal suku. Keberadaan Perda ini pada titik tertentu
sangat mungkin mencederai pluralitas itu. Hal inilah yang menarik diamati lebih jauh.
2.
Observasi dan Wawancara
Metode monitoring dilakukan dengan observasi ke lapangan. Dimana tim monitoring
mengamati berbagai hal berkaitan dengan pelaksannan syraiat Islam khususnya yang
berkaitan dengan dua Perda yang menjadi focus monitoring ini. Pengamatan itu dilakukan
khususnya di TKA/TPA, di masyarakat adapt, kantor dan beberapa teampat lainnya yang
dianggap signifikan.
Selain observasi metode yang digunakan juga dengan cara wawancara mendalam. Dimana
beberapa masyarakat, pejabat, termasuk korban, di wawancarai secara mendalam berkaitan
dengan keberadaan Perda No 6/2003
5
3. Tujuan Monitoring
Monitoring ini dilaksanakan dengan tujuan :
a.
Mengamati penerapan Perda “Syariat islam di Bulukumba, khususnya Perda
No.6/2006 tentang baca tulis al-Qur’an dan…
b.
Merekam tanggapan pemerintah dan masyarakat menegnai keberadaan Perda ini
c.
Memantau ekses dari Perda ini khususnya berkaitan dengan pelanggaran HAM dan
Diskriminasi terhadap kelompok tertentu
d.
Merekam tanggapan korban akibat dari ekses Perda tersebut.
BAB II
PEMANTAUAN IMPLEMENTASI PERDA NO 6/2003
A.
Proses Pembuatan Perda No 6/2003, Keterlibatan & Tanggapan Masyarakat
Perda baca tulis al-Qur’an yang kemudian dituangkan dalam Perda No 6/2003,
bila menelusuri pengakuan dari pihak penggagas merupakan implementasi dari crash
program keagamaan di Bulukumba. Dalam salah satu Crash program keagamaan disebutkan
perlunya
Pembinaan dan Pengembangan TKA – TPA dan
Pembinaan serta Pengembangan
Hifdzil Qur’an. Crash Program keagamaan ini sendiri disahkan oleh Gubernur Sulsel pada
tahun 1998 oleh Zainal Basri Palaguna. Crash program kegamaan ini didukung oleh
berbagai organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, kerena menurut
organisasi-organisasi ini, Crash program keagamaan itu sejalan dengan dakwah cultural
mereka selama ini.
Menurut penjelasan Tjamiruddin, selah satu penggagas Perda yang saat itu menjabat
Ketua Tanfidziah NU dan Kepala DEPAG Bulukumba. Perda Baca Tulis al-Quran sendiri
dikeluarkan berdasarkan usul dari dirinya. Menurutnya saat itu, Ia melihat bahwa crash
progrm keagamaan saja tidak cukup untuk mendorong masyarakat Bulukumba yang
mayoritas Islam agar giat mempelajari al-Qur’an sebagai kitab sucinya. Perlu ada payung
hukum, agar pelaksanaannya bisa diperketat dan juga bisa mendapatkan anggaran dari
PEMDA. Menurutnya saat itu masih banyak masyarakat Bulukumba yang belum bisa
membaca al-Qur’an. Tahun 2000 misalnya, tamatan TKA & TPA hanya 3225, sangat
sedikit dibanding jumlah penduduk saat itu yang sudah 352.662 Jiwa dengan jumlah orang
Islam 99%
1.
1
6
Hal ini juga pernah ditegaskan oleh Patabai Pabokori, Bupati Bulukumba saat itu.
Menurutnya pembuatan Perda ini adalah kebutuhan masyarakat Bulukumba. Masyarakat
Bulukumba yang mayoritas Islam mestinya bisa menjalankan agamanya secara lebih baik.
Seperti dituturkannya berikut ini :
“...Perda Syariat Islam yang empat itu sebenarnya keinginan dari umat Islam
di Bulukumba. Jadi ketemu antara keinginan dari bawah dan keinginan
pemerintah, sehingga diramulah dan dibuatlah perda Syariat Islam dan
ternyata mendapat sambutan dari anggota DPRD Bulukumba, karena
bagaimana pun eksekutif berjuang kalau tidak mendapat respon dari anggota
DPRD kan itu menghambat. Kemudian yang kedua kami banyak mendapat
dukungan dari Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI), juga
Jundullah yang saat itu gencar gerakannya. Pada saat itu kami buat konsep
Perda dan itulah (merekalah, pen.) yang memberikan dorongan, motivasi dan
tekanan pada DPRD Bulukumba sehingga cepat proses pengesahannya,…..
.”
2Merunut penjelasan Patabai Pabokori ini, maka proses pembuatan Perda-perda
Syariat, termasuk Perda No 6/2007 ini digodok oleh kalanga Pemda, namun mendapat
dorongan dari kelompok KPPSI dan Jundullah. Hal ini bisa terjadi, karena perjuangan
KPPSI sendiri adalah menegakkan dan menjalankan Syariat Islam lewat jalur politik.
Karena perjuangan ditingkat pusat banyak mendapatkan batu sandungan, locusnya
kemudian dialihakna ke daerah-daerah.
Mengenai Perda Baca tulis al-Qur’an pihak KPPSI juga memiliki pandangan yang
sama mengenai pentingnya Perda ini dan kenapa harus hadir di Bulukumba. Hal ini
dikemukakan oleh H. Amiruddin, salah seorang ketua KPPSI di daerah Gantarang.
Menurutnya :
“Pada waktu Perda no.6/ 2003 ini digarap kitalah dari kalanga KPPSI paling serius
mendukungnya, kami ke kantor DPRD aksi, agar anggota DPRD segera
mengesahkan Perda ini. Menurut kami Perda ini penting karena masih banyak dari
anak-anak kami yang tidak pintar mengaji. Karena itu pemerintah memang wajib
untuk membuat aturan agar anak-anak dan semua orang Islam terdorong untuk
mempelajari kitab sucinya”
3Hal senada juga diungkapkan ketua Muhammadiyah yang juga ketua dewan syuro
KPPSI Bulukumba, Drs. Kamaluddin Jaya; menurutnya “pembuatan perda-perda ini
merupakan kebutuhan masyarakat dan direspon dengan baik karena masyarakat Bulukumba
adalah mayoritas muslim.”
4
2
Dokumen LAPAR, 2005. Lihat pula, Patabai Pabokori, Peran dan Strategi Pemda dalam membumikan Syariat Islam, dalam Irfan Yahya (ed), Op. Cit, hlm., 285.
3
Wawancara H. Amiruddin, 17 November 2008
4
7
Selain karena Perda ini dianggap sebagi representasi kepentingan masyarakat
muslim, dalam berbagai kesempatan, sejarah Islamisasi di Bulukumba senantiasa juga
dijadikan landasan munculnya Perda-perda Syriat Islam termasuk Perda Baca Tulis
al-Qur’an ini.
5Proses pembuatan Perda No 6/2003 ini, hamper sama dengan proses pembuatan
Perda-perda “Syariat Islam” lainnya. Di godok oleh kalangan PEMDA, diantaranya H.
Tjamiruddin, ketua NU dan H.Kamaluddin Jaya dari Muhammadiyah juga terlibat.
Setelah itu hasil dari penggodokan mereka diserahkan ke Legislatif.
Lalu bagaimana pembahasannya ditingkat Legislatif ?. Disisni Perda Baca tulis
al-Qur’an diterima dengan mulus, tidak ada perdebatan signifikan, kecuali memperbaiki
beberap redaksinya. Tiga fraksi, yaitu Golkar, Fraksi Gabungan dan Fraksi TNI menerima
secara bulat Perda ini. Pada saat itu salah seorang dari Fraksi TNI bernama Butung Nunga
kurang merespon adanya Perda ini, dia beragama Kristen. Namun karena tidak memiliki
argument untuk menolak, akhirnya Iapun menerima Perda tersebut.
Bila didalam tidak terjadi perdebatan yang berarti, diluar kelompok yang setuju
dengan Perda ini sering melakukan aksi mendesak agar Perda ini segera disahkan.
Bagaimana keterlibatan masyarakat ?. Abu Hak, salah seoarang anggota DPRD,
periode 1999-2004, menyatakan bahwa proses pembuatan Perda tidak bisa dikatakan tidak
melibatkan masyarakat, karena organisasi Islam semacam NU dan Muhammadiyah,
senantiasa terlibat dalam diskusi pembuatan Perda ini. Namun Abu Hak sendiri tindak
membantah bahwa keterlbatan masyarakat hanya terbatas pada dua organisasi lainnya.
Masyarakat lainnya sama sekali tidak terlibat. Dialog Publik yang lebih luas dan
multistakeholder, sama sekali tidak dilakukan. Hal ini terungkap dari beberapa wawancara
yang dilakukan terhadap komunitas tertentu, misalnya kounitas adat atau kalangan anak
sekolah yang menjadi sasaran dari Perda ini. Kanto seorang komunitas adat Haji
Bawakaraeng mengaku tidak tahu menahu dengan keberadan Perda ini. Dia hanya merasa
baying-bayang DI/TII dengan munculnya Perda ini seakan-akan mulai muncul.
6Komunitas adapt Tanah Toa Kajang yang juga menjadi objek dari Perda ini, dengan
asumsi masih banyak masyarakat dari komunitas ini yang tidak bisa mengaji, juga tidak
pernah dilibatkan dalam dialog meneai pembuatan Perda ini. Puto Hatong, salah seorang
masyarakat dari komunitas ini menceritakan bahwa masyarakat adapt Tanah Toa Kajang
tidak tahu menahu bahwa ada Perda yang mewajibkan baca al-Qur’an. Tidak pernah
didengar bagaimana pendapat mereka tentang perlu tidaknya Perda baca tulis al-Qur’an.
5
Persoalan ini masih bisa diperdebatkan lebih jauh solanya bila dirunut pada sejarahmasuknya Islam di Bulukumba, tidaklah dilakukan lewat jalur politik atau kekuasaan. Datuk ri Tiro pada mulanya lebih banyak berdakwah secara cultural. Bahkan saat pertama tiba di Tiro, daerah dimana Ia memuali menyiarkan Islam, persoalan pertama yang diselesaikan adalah masalah kekeringan yang dialamai masyarakat disitu. Iapun berupaya mencarikan sumber mata air. Dengan pertolongan Allah Ia berhasil mendapatkan mata air, yang jernih dan tawar. Mata air itu sampai sekarang masih ada dan airnya masih melimpah.
6
8
“Baru kita tahu setelah ada beberapa orang masyarakat adapt yang mau menikah tiba-tiba
disuruh dulu mengaji, denganalasan sudah ada aturannya.” Ujar Puto Hatong
7.
Dengan demikian, kita bisa katakan bahwa proses perancangan dan pembahasan
Perda ini partisipasi masyarakat sangat minim.Yang terlibat hanya kalangan Pemda,
khsuusnya Bupati saat itu, Patabai Pabokori. Di dukung oleh KPPSI, NU dan
Muhammadiyah. KPPSI sendiri adalah pendukung yang paling utama. KPSSI juga banyak
memberikan masukan pada Patabai saat itu.
Implementasi Perda
Setelah Perda ini disahkan oleh DPRD, maka proses sosialisasi dan
penerapannyapun mulai dijalankan. Perda ini khususnya berlaku bagi anak-anak sekolah
dan calon pengantin. Salah satu penlitian berkaitan dengan tanggapan masyarakat terhadap
berlakunya Perda No.6/2003 ini adalah penelitian dari Dosen-dosen Fakultas Dakwah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar dengan Pemda Bulukumba. Riset
yang kemudian dipublikasikan dengan judul ”Membumikan Al-Qur’an di Bulukumba:
Analisis Respon Masyarakat terhadap Perda No 06 tahun 2003 tentang pandai Baca
Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin di Bulukumba.
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa 261 atau 52% responden menyatakan
sangat setuju dengan keberadaan Perda tersebut, sebanyak 225 atau 45% responden yang
menjawab setuju, sebanyak 10 atau 2% responden menjawab tidak setuju, dan hanya 2 atau
1% responden yang menyatakan sangat tidak setuju. Termasuk dipaparkan bagaimana
pengetahuan masyarakat tentang Perda-perda ini, disebutkan 80% responden mengatakan
telah mengetahui keberadaan Perda Pandai Baca Al-Qur’an dan sebanyak 20% yang belum
mengetahui keberadaa Perda ini. Tentu saja penelitian ini dalam beberapa hal bermasalah,
khususnya ketika menentukan responden, misalnya responden dari anak sekolah yang
menjadi objek Perda tersebut tidak ada. Masyarakat yang dipilih sebagai respoonden juga
tidak mnyentuh masyarakat adat.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh dosen fak.Dakwah ini, responden dianggap
berasl dari berbagai latar belakang. Namun sesunguhnya bila dilacak lebih mendalam,
kelompok yang setuju dengan perda no.6/2003 ini adalah kelompok Islam
fundamental,khususnya yang berasal dari KPSSI dan Wahdah Islamiyah. Juga dari elit-elit
organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. Namun untuk NU, saat itu yang
getol mendukungnya hanyalah, H. Tjamiruddin ketua tanfidziah yang juga kebetulan
adalah Kepala Depag di Bulukumba. Dari Muhammadiyah sendiri ada beberapa orang
yang tidak setuju, salah satunya adalah ketua Perhimpunan Dai Bulukumba, Drs
Mardianto.
Padahal bila ditelusuri lebih jauh pada masyarakat adat, misalnya masyarakat Tanah
Toa Kajang, pendapat mereka justru tidak sama dengan yang digambarkan riset tadi.
Simaklah apa yang diutarakan Amma Toa pemimpin adat dari komunitas Tanah Toa
Kajang Ketika di sampaikan bahwa salah satu PERDA mewajibkan kepada semua kalangan
untuk pandai membaca al-quran,Amma katakan bahwa di dalam kawasan apalagi mereka
7
9
yang memahami betul
Pasanga
, maka
Pasanga
lah yang berlaku, di luarlah itu berlaku
tentang membaca al-quran. “
Ia pentingnga aturan-aturan ia anjo anre na gangguki
(Peraturan-peraturan dari luar jangan samapi mengganggu kedaulatan kami)”. Ucapnya
dalam bahasa konjo seperti bernada keluhan.
Amma kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa dalam kawasan adat
tingkatan-tingkatan mengenai pegangan hidup kita. Yang pertama disini adalah
Pasanga ri kajang
,
Baru kemudian
kitta
(
Quran)
dan terakhir
Lontara
.
“Anre na kulle ni passa taua ampilarii
nikuaia pasang ka iaminjo pammaganganta gitte”
(Kita tidak boleh dipaksakan untuk
meninggalkan pasanga sebagai pedoman hidup kita, karena itulah Pegangan kita).
Amma Toa kemudian menandaskan, bahwa ke Islaman seseorang tidak boleh
dilihat dari kulit luarnya saja. Kita tidak boleh mengatakan orang islam, hanya mereka yang
sembahyang saja secara formal, sebaliknya juga tidak boleh dikatakan bahwa yang
tapakkoro Islamnya keliru. Seseorang yang sembahyang formalnya nya rajin belum tentu
mengingat Tuhan, karena boleh jadi yang dibayangkan hanya huruf-huruf , sedangkan kita
yang tapakkoro jangan dibilang tidak pernah menginagt Tuhan, sebab bagi kami yang
terpenting adalah “Ni katutui ri alla sumpajanta” (Dijaga diantara shalat). Tandas Amma
Toa mengakhiri komentarnya
8.
Organisasi keagamaan juga tidak semuanya menerima, ICMI salah satu organisasi
yang menolak Perda-perda ini. Ketuannya, Drs Alam, menyatakan bahwa Perda Baca tulis
al-Qur’an dan Perda-perda lainnya tidak mesti ada. Kalau pemerintah komitemen terhadap
bidang keagamaan, seharusnya menfasilitasi saja dan memaksimalkan
crash program
keagamaan yang sudah dibuat.
9Dari kalangan anak sekolah juga memiliki respon yang tidak persis sama dengan
hasil penelitian dosen-dosen fakultas dakwah diatas. Seperti diungkapkan oleh Yuliana ,
siswi SMA 2 Bulukumba . ” Ya....kita ikut belajar mengaji karena takut tidak bisa lanjut
sekolah. Seharusnya tidak perlu dibuatkan Peraturan, tokh sekolah kita juga dari dulu
sudah ada pelajaran agama, kita juga sudah belajar mengaji
10.
Terlepas dari pro kontra ini terhadap Perda ini, tapi setelah di sahkan pada tahun
2003, masa pemerintahan Patabai Pabokori. Perda ini mulai dilaksankan secara intensif.
TKA/TPA ramai dengan santri-santri yang mempelajari al-Qur’an. Intensifitas pelaksanaan
Perda ini dapat dilihat lebih jelas di desa-desa muslim. Berikut ini gambaran pelaksanaan
kewajiban belajar mengaji dibeberapa TPA, Salah satunya di desa muslim Padang
kecamatan Gantarang.
Untuk melakukan pemberatasan buta aksara al-Qur’an, sesuai dengan Perda No.
6/2003, pemerintah desa Padang, membuat langkah-langkah sebagai berikut:
•
Pembentukan TK,TPA setiap Masjid/Mushallah
•
Pembentukan TPA Orang Tua disetiap RT/RW /Dasawisma
8
Syamsurijal, “Islam dan Patuntung di Tanah Toa Kajang; Pergulatan tiada Akhir” dalam Hikmat Budiman (Ed), Hak Minoritas; Dilema Multikultural di Indonesia (Interseksi:Jakarta;Cet-I,2005), h. 317.
9
Wawancara Alam. F (Ketua ICMI Bulukumba), tanggal 17 November 2008
10
10
•
Mengadakan Penataran Guru Mengaji
•
Pengadaan Al-qur’an melalui gerakan waqaf Al-qur’an
•
Mengadakan lomba baca tulis Alqur’an setiap Pelaksanaan hari besar islam
Disamping itu juga diadakan pembinaan guru-guru mengaji dengan cara sebagai
berikut :
•
Mengadakan pelatihan Guru Mengaji metode Iqra dan Metode Albarqi
•
Memberikan Tunjangan bulanan melalui sumbangan tetap pelanggan listrik
•
Membagikan Zakat setiap 6 (enam) Bulan
•
Menerima Sumbangan wajib dari santri setiap Selesai Panen
•
Menerima Biaya Pembinaan Guru TK-TPA setiap tahun dari Pemerintah Desa
Dari proses ini, menurut laporan pemrintah desa Padang, jumlah santri yang
berhasil menamatkan pelajaran membaca al-Qur’annya meningkat. Meski kalau
diperhatikan, sebenarnya peningkatannya tidak signifikan. Ini dapat kita lihat pada data
dibawah ini :
DATA KEGIATAN KELOMPOK PENGAJIAN ORANG TUA/TKA/TPA SEDESA
PADANG
No
Nama Kelompok/
TKA-TPA
Tahun
Pendirian
Jumlah
Santri
Santri
Telah
diwisuda
Tempat
1
TPA Ortu Babul
Jannah
TPA Anak-anak
2003
65 orang
49 orang
60 orang
20 orang
Majid
Babuljannah
Bontobulaeng
2
TPA Ortu
AlIjetihad
TPA anak-anak
2003
80 orang
65 orang
30 orang
25 orang
Masjid
Alijetihad
Palimassang
3
TKA Hubbul
Watang
TPA Hubbul
watang
1998
2001
30 orang
25 orang
98 orang
50 orang
-Perumahan
SD 232 jepuru
-Masjid
Nurulhasnah
4
Tka Attaqwa
Tpa Attaqwa
1999
2002
32 orang
40 orang
60 orang
20 orang
Masjid
Taqwa
Palimassang
5
TKA Nurul Sabri
2004
37 orang
-
Masjid
Nurul Sabri
Bontomatene
6
TKA Nurul Hidaya 2001
41 orang
20 orang
Masjid tua
Mattoangin
7
TKA Babul
Rahman
2002
2003
60 orang
43 orang
25 orang
20 orang
Masjid
Babul Rahman
11
TPA Babul
Rahman
Borongcinranae
8
TPA Nurul
Muttakin
2004 27
orang
-
Musallah
Nurul
Muttaqin
Pagentungan
JUMLAH 480
orang 383
Dari data itu kita lihat bahwa desa Padang berhasil menamatkan sebanyak 383
santri TPA/TKA dari 480 yang belajar. Namun proses belajar itu kalau kita lihat dari data
diatas sebenarnya bukan hanya berlangsung pada saat desa ini telah menjadi desa muslim
atau setelah munculnya Perda-perda “Syariat Islam”. Hal ini sudah dimulai dari tahun
1998, 1999, 2001, 2002, 2003 dan 2004. Sekedar mengingatkan Perda “Syariat Islam”
baru muncul pada tahun 2002, itupun awalnya hanya Perda tentang minuman keras.
Sedangkan perda Baca tulis al-Qur’an ini baru muncul tahun 2003. Jadi sebenarnya tradisi
TPA/TKA ini bukanlah hal yang baru di desa Padang ini. Melihat jumlah santrinyapun
tak ada perubahan yang signifikan, sebelum dan sesudah desa ini menjadi desa muslim,
malah tahun 2001 dan 2002 lebih banyak jumlahnya dari tahun 2004. Juga tidak bisa
dikatakan dari tahun ketahun semakin berkurang santri, karena rata-rata masyarakat sudah
pintar membaca al-Qur’an, hal ini bisa dilihat dari beberapa TPA pada data tadi, jumlah
santrinya dari tahun ke tahun juga meningkat.
Menurut penjelasan, salah satu guru TPA di desa Padang, pada masa pemerintahan
Patabai, proses pembelajaran di TPA gencar di laksanakan. Santri banyak yang datang.
Guru-gurunya juga banyak, karena guru-guru dikontrak. Proses pembelajaran cukup
disiplin. Santri disuruh datang tepat waktu. Para santri harus memenuhi aturan, karena bila
tidak mereka bisa tidak dibeikan sertifikat. Juga kalau menurut aturan santri diharuskan
membayar untuk belajar mengaji. Tiap bulannya Rp. 10.000. Tapi untuk desa Padang
pembayaran itu dijadikan sumbangan wajib, yang disetor saat habis panen.
11Hal yang sama juga terjadi di desa yang lain, di desa Tamaona, kecamatan Kindang,
proses pembelajaran TPA pada waktu pemerintahan Patabai juga berlangsung dengan ketat.
Seperti dijelaskan oleh Siri Sulistiwati salah satu guru TPA Mesjid Al-Jamiah dan TPA SD
302 LATTAE, bahwa di desa itu juga setiap TPA membebankan kepada santrinya
pembayaran bulanan. Kalau ketetapan BKPRMI biaya yang dibebankan kepada santri
adalah Rp.10.000 perbulan. Namun karena orang tua santri merasa berat, maka
pembayaran, khususnya di TPA yang dia bina diturunkan menjadi Rp.3.500. Proses
pelaksanaan belajar mengaji ini diakui oleh Siri meski berlangsung dengan cukup disiplin,
tapi murid-murid senang dating, mereka berlomba-lomba ikut mengaji. Apalagi biasanya
yang lulus dengan baik akan mendapat hadiah. Pada saat wisuda, biasanya juga Bupati saat
itu Patabai Pabokori, dating menghadiri
12.
11
Wawancara Jumrah (Guru TPA di desa Padang), 21 November 2008
12
Wawancara Siri Sulistiwati (Guru TPA 302 Lattae dan mesjid al-Jamiah), 13 November 2008
12
Di beberapa TPA, proses belajar mengaji bahkan diawali dengan penandatanganan
surat perjanjian, anatara santri dengan pihak TKA/TPA. Misalnya di TPA al-Amanat,
santri harus menandatangani kesepakatan yang isinya :
1.
Akan tetap rajin mengaji sampai mengkhatamkan 30 juz al-Qur’an
2.
Bila dikemudian hari, berhenti sebelum mengkhatamkan al-Qur’an, maka
SANGAT SETUJU bila tidak diberikan sertifikat.
Tapi saat itu ada beberapa persoalan yang muncul.
Pertama,
persoalan yang dialami
oleh guru-guru mengaji yang dikontrak. Menurut pengakuan salah satu guru ngaji kontrak
Nurbaya, gaji yang diberikan tidak semuanya, sudah mengalami pemotongan. Sebelumnya
diberi tahukan bahwa gaji para guru mengaji yang sudah dikontrak oleh Pemda sekitar
Rp.300.000, namun biasanya yang sampai ke guru-guru mengaji hanya Rp.150.000
13.
Kedua
, keinginan beberapa santri untuk mengaji lebih didasarkan pada ketakutan tidak
bisa melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi. Sehingga banyak kasus dimana
beberapa orang tua siswa berusaha untuk membeli sertifikat dari TPA, sebagai bukti
kelulusan mengaji. Hal ini diakui oleh Nurmala R, S.Ag, Kepala Sekolah TPA,
al-Amanat, menurutnya beberapa pejabat mendatangi TPA-nya meminta agar bisa diberikan
sertifikat. Bahkan ada yang mau mebayar tinggi yang penting sertifikatnya keluar. TPA-nya
tidak mau memberkan sertifikat, jika seorang santri belum pernah belajra mengaji
ditempatnya . Namun dia mengakui bahwa ada juga TPA di Bulukumba yang mau
mengeluarkan sertifikat palsu, bila dibayar. Menurutnya sertifikat mengaji itu akhirnya
menjadi alat untuk mencari keuntungan
14. Ketiga, dengan munculnya TKA/TPA ini
membuat tradisi pengajian-pengajian kampung hilang. Padahla tradisi pengajian kampung
ini telah berjalan sekian lama di tiap-tiap desa, dimana seorang guru mengaji didatangi
santrinya di rumah. Belajar mengaji saat pagi dan sore. Sebagai balas jasa, biasanya santri
membawakan hasil kebun, atau mengangkatkan air untuk gurunya. Proses ini berlanjut
dengan acara khatam Qur’an yang disebut dengan
mappatamma atau anganre tamma
. Pada
acara itu selain membaca barazanji, yang khatam Qur’an, membaca al-Qur’an pada hari itu
mengikuti imam kampung sambil dipasangi sarung.
Pergantian bupati, nampaknya ikut mempengaruhi pelaksanaan dari Perda
No.6/2003 ini. Meski Perda ini tidak dicabut, tapi intesitas pelaksanaannya mulai
menurun. Saat ini TKA/TPA sendiri mulai berkurang santri-santrinya. Seperti diakui oleh
Siri, salah seorang guru TPA di desa Tamaona, saat ini jumlah santri mulai menurun,
bahkan di mesjid desa yang dia bina, muridnya sudah sangat sedikit. Menurutnya sekarang
ini Bupati tidak lagi memperhatikan TKA/TPA. Saat-saat diwisuda bupatinya tidak datang
mengikuti acara tersebut.
15Hal senanda disampaikan oleh Nurmala S.Ag. Menurutnya saat ini tidak ada lagi
anggaran yang diberikan ke TPA-TPA. Perhatian Pemda mulai berkuang pada soal-soal
13Wawancara Nurbaya (guru ngaji di desa Tamaona), 10 September 2008
14
Wawancara Nurmala, S.Ag (Kepala TKA/TPA al-Amanat Bulukumba), 14 November 2008
15
13
keagamaan
16. Beberapa kalangan yang menjadi pencetus Perda seperti, Drs Tjamiruddin,
yang juga ketua NU Bulukumba, merasa kecewa melihat perkembangan pelaksanaan perda
keagamaan, termasuk perda no 6/2003 ini, menurutnya sekarang perhatian Pemerintah
Daerah sudah mulai menurun
17.
Meski ada kecenderungan menurun, tapi penerapan disekolah, misalnya tes mengaji
atau harus memperlihatkan sertifikat lulus TPA pada saat mau melanjutkan pada jenjang
yang lebih tinggi masih berlaku sampai saat ini. Hal ini disampaikan oleh Herlina, salah
seorang siswa dari SMA 2, sampai saat ini kalau siswa mau lanjut ke jenjang yang lebih
tinggi, tetap dites mengaji, atau diminta sertifikatnya.
18Selain itu ada beberapa CPNS, yang tidak diberikan SK-nya karena tidak tahu
mengaji (selengkapnya pada Kasus-kasus berkaitan dengan Perda No.6/2003)
Bebeberapa Kasus yang Berkaitan dengan PERDA No. 6/2003
1.
Kasus Siswa Tidak bisa melanjutkan Pendidikan Pada Jenjang Yang lebih Tinggi.
Beberapa siswa, (tidak ada data tentang jumlahnya secara pasti, tapi diperkirakan
sekitar 10 orang) tidak bisa melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih
tinggi karena tidak tahu mengaji. Salah satunya adalah siswi salah satu SMP di
Bulukumba bernama Rosmi (nama minta disamarkan). Ia terpaksa menunda untuk
melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi karena belum bisa
mengaji. Kejadian ini terjadi pada tahun 2004 yang lalu. Ia jelas sedih, karena tidak
bisa melanjutkan sekolahnya. Padahal menurutnya, ia berjanji untuk belajar mengaji.
Rosmi merasa dihalangi peluangnya untuk bisa mengaskes pendidikan yang lebih
tinggi
Beberapa siswa yang lain, diantaranya Amran, mengaku karena tidak bisa mengaji
terpakasa harus mencari sekolah-sekolah yang bisa saja masuk tanpa harus tes
mengaji. Salah satu Sekolah itu adalah madrasah Aliyah Muhammadiyah. Sekolah
ini karena kekurangan siswa, maka bisa menerima siswa tanpa harus tes mengaji atau
tanpa penggunaan sertifikat. Meski dapat sekolah Amran merasa terhalangi untuk
sekolah di sekolah favorit, seperti SMA 1 atau SMA 2 Bulukumba.
Kasus tidak bisa melanjutkan sekolah ini, karena persoalan tidak bisa mengaji
melanggar HAM, yang berkaitan dengan Hak untuk memperoleh pendidikan, akses
yang sama dan diperlakukan sama. Disini karena dia siswa Islam, maka dia harus
bisa mengaji baru bisa melanjutkan pendidikan. Jelas ini bertentangan dengan hak
untuk diperlakukan sama.
16
Loc cit
17
Wawancara Tjamiruddin, 17 November 2008
18
14
2.
Kasus yang berkaitan dengan Hak-hak Komunal Masyarakat adat
Perda No 6/2003 ini, juga melanggar Hak-hak komunal masyarakat adat. Salah
satunya Masayarakat adat Tanah Toa Kajang. Sebagaimana kita ketahui masyarakat
adat ini punya pandangan tersendiri terhadap kitab suci. Meski mereka beragama
islam, tapi cara pandangnya terhadap kitab suci berbeda dengan pandangan
mainstrem umat Islam. Bagi mereka dalam masyarakat adat, Pasang ri Kajanglah
(pesan yang turun di tanah toa Kajang) yang berlaku. Tapi dengan adanya Perda
No. 6/2003, maka keyakinan mereka jelas terganggu. Menurut penegasan Bupati
Bulukumba periode, 2000-2005, patabai Pabokori, Perda ini berlaku untuk seluruh
masyarakat Bulukumba, termasuk masyarakat adat.
19Akibat pemberlakuan ini, maka implikasinya langsung dirasakan komunitas adat ini.
Salah satunya kawasan adat semakin kecil. Hal itu terjadi karena dalam kawasan
adat didirikan pula TPA. Menurut Amma daeah yang sudah ada TPAnya, tidak
masuk lagi kawasan adat. Sehingga menurut pengakuan Puto Kalu (Sanro di
kajang), Amma Toa terpaksa membikin garis baru batas kawasan adat, dimana
rumah yang dijadikan TPA, dianggap berada diluar kawasan adat.
20Bagi komunitas
adat Kajang, hal ini telah menghilangkan keyakinan dan kepercayaan mereka
tentang Pasanga ri Kajang.
Implikasi lainnya terjadi dalam satu pross perkawinan di Tanah Toa Kajang, yaitu
perkawinan kemenakan Puto Hatong pada tanggal 21 agustus 2004. Perkawinan
ini terancam batal, karena kemenakan puto hatong tidak bisa mengaji. Imam
kampung tidak mau menikahkan karena menganggap peraturannya harus bisa
mengaji. Puto Hatong terpaksa mendebat imam desa. Menurutnya
kemenakannyanya itu berasal dari dalam kawasan adat, memang tidak bisa mengaji,
tapi paham dengan ajaran
pasanga.
Karena Puto hatong bersikeras, akhirnya
pekawinan bisa dilaksanakan. Berkaitan dengan peristiwa itu Puto Hatong
menganggap Perda No.6/2003 diskriminatif, seharusnya hak dia sebagai komunitas
adat dulindungi.
Dalam kaitannya dengan kasus diatas ini melanggar UUD 1945 Bab VI yang
mengatur tentang pemerintahan darah disebutkan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum adapt beserta hak-hak
19
.Wawancara Patabai Pabokori, di rumah jabatan tanggal 26 Juni 2005
20
15
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dnegan perkembangan masyarkat dan prinsip Negara kesatuan RI, yang diatur dalam UU.
Bab X A yang megatur tentang HAM, pada pasal 28-1 ayat 3 juga mengaskan kedudukan masyarakat adat, dimana berbunyi : Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Instrumen Hukum internasional tentang HAM juga melindungi keberadaan mereka. Misalnya Konvensi ILO 169/1989 tentang masyarakt adapt dan suku di negra merdeka
3.
Kasus Pembatalan Pernikahan Karena Tidak Bisa Mengaji
Akibat diterapkannya Perda No 6/2003 ini ada beberapa calon pengantin yang
batal atau tertunda proses perkawinannya. Sebagian , menurut penjelasan Asdar,
warga Anrihua, kec, Kindang memilih menikah didaerah tetangga yaitu Bantaeng.
21Ada beberapa yang tertunda bahkan hampir batal. Salah satunya yang dialami oleh
Hasaning dan Rabiah (nama samaran) pada tanggal 21 April 2005, di desa
Kindang, Bulukumba. Imam desa tidak mau menikahkan, karena Hasaning tidak
tahu mengaji. Kedua keluarga mempelai mulai tegang, undangan sudah disebar.
Akhirnya mereka berdua menghadap ke KUA. KUA dengan pertimbangan
kemasalahatan,akhirnya memutuskan untuk menikahkan.
Meski sempat menikah tak urung peristiwa ini membuat kecewa Hasaning.
Menurutnya keluarganya dan keluarga perempuan sudah konflik, dari pihak
perempuan ada yang menyesal menikahkan keluarganya dengan Hasaning.
Hal ini jelas membatasi hak orang untuk berkeluarga. Lebih jauh lagi membatasi
seseorang untuk mendapatkan keturunan.
4.
Kasus Pembatalan SK bagi sejumlah CPNS
Bupati Bulukumba Sukri Sappewali membatalkan pemberian surat keputusan (SK) bagi 48 CPNS yang tidak bisa mengaji pda tanggal 30 Mei 2008. Alasannya Bupati ingin melihat CPNS semuanya bisa mengaji apalagi Bulukumba telah ada Perda khusus Baca tulis Al-Qur’an. Bupati sendiri yang mengetes para CPNS tersebut. Selain di tes mengaji mereka juga ditanyakan mengenai rukun Islam, rukun Iman dan harus menghapal surah-surah pendek.
21
16
Hal ini dilakukan Bupati dengan alasan agar semua CPNS bisa mengaji.Menurutnya dia tidak bermaskud menghalangi seseorang untuk menjadi CPNS. Cuma dia ingin semua pegawai di Bulukumba tahu mengaji. Hal ini juga dianggap sebagai bagian dari implementasi Perda No.6/2003, tentang kewajiban baca tulis al-Qur’an.
Ini jelas melanggar hak seseorang untuk mendapatkan kerja. Juga melanggar orang untuk berekspresi dan melakukan satu kegiatan. Sebab dengan tidak diturunkannya SK, maka seseorang belum sah dianggap sebagai pegawai negeri dalam instansi tertentu.
Komitmen Pemda terhadap Penegakan HAM
Saat ini memang pemberlakukan beberapa Perda tidak seketat dulu lagi. Beberpa desa muslim, menurut keterangan, Tjamiruddin, sudah tidak berjalan seperti dulu. Namun meski demikian, ini tidak berarti bahwa Pemda telah memiliki komitmen yang tinggi terhadap persoalan HAM. Pemberlakukan Perda yang tidak seketat dulu hanya karena perhatian Pemda saat ini di fokuskan pada parawisata, tepatny pengelolaan tempat rekreasi. Juga sampai saat ini Pemda tidak mau mencabut empat Perda Syariat Islam, yang sesungguhnya dalam beberapa hal diskriminatif. Disamping itu ada beberapa indicator lain yang bisa dikemukakan untuk menunjukkan komitmen Pemda yang masih kurang terhadap persoalan HAM :
1. Bulan Februari 2006, sorang peneliti diusir dari Tanah Toa Kajang oleh kelompok muslim yang menamakan dirinya AMB (Aliansi Muslim Bulukumba). Peneliti yang bernama Timothy ini dianggap melakukan Kristenisasi. Meski tidak ada bukti yang valid, Pemda setempat sama sekali tidak memberikan perlindungan pada Timothy
2. Bulan February 2006, juga terjadi pengusiran dai Ahmadiyah dari Bulukumba. Bupati saat itu malah ikut menggembok mesjid Ahmadiyah. Meski alasannya untuk keamanan, tapi yang jelas Pemda sudah tidak melindungi kebebsan Ahmadiyah untuk beribadah dan memiliki tempat ibadah . Ini jelas melanggar UUD 1945 Pasal 28e, juga pasal 29 dan Melanggar UU RI No 39 Tahun 1999
Pasal 22 ayat 2. “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang me-meluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu” Pernyataan Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 18. “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama;dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksana-kan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,dimuka umum maupun sendiri”
3. Tanggal 25 Mei 2007, Kelompok Waria Bulukumba berencana melaksanakan Fetifal Olahraga dan Seni. Keinginan ini dihalangi oleh kelompok KPPSI. Mengikuti saran KPPSI, Pemda akhirnya tidak mengizinkan kegiatan ini. Jelas
17
ini melanggar kebebsan berekspresi dari masyarakatnya. Hal ini bertentangan Pernyataan Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 18. “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama;dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksana-kan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,dimuka umum maupun sendiri”
4. Tanggal 22 November 2007, terjadi penyerangan terhadap aliran naqsabandiah. Dalam penyerangan itu tempat ibadahnya di rusak. Tarekat ini kemudian tidak diterima keberadaannya disatu daerah di Bulukumba yaitu Tanah Beru. Pemda sama sekali tidak memberikan perlindungan. Bahkan tidak memberikan jaminan bila Naqsabandiah tetap ingin eksis di daerah itu. Laporan jamaah ini pada pihak kepolisian tentang pengrusakan tempat ibadah sampai sekarang belum mendapatkan tanggapan apa-apa. Ini melanggar Pasal 18 ICCPR, Pasal 1(1), 6 (1) Deklarasi PBB tentang pengrusakan rumah ibadah. JUga melanggar UU No 39/1999 pasal 22, tentang setiap orang bebas memleluk agama masing-masing dan beibadah menurut agamanya.