• Tidak ada hasil yang ditemukan

MONITORING PERDA SYARIAT ISLAM DI BULUKUMBA Perda Nomor 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur an bagi Siswa dan Calon Pengantin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MONITORING PERDA SYARIAT ISLAM DI BULUKUMBA Perda Nomor 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur an bagi Siswa dan Calon Pengantin"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

MONITORING PERDA SYARIAT ISLAM DI BULUKUMBA

Perda Nomor 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin

BAB I

PENGANTAR

A.Gambaran Umum Wilyah Monitoring

Bulukumba adalah daerah yang terletak dibagian selatan Sulsel. Daerah ini terkenal sebagai

daerah pembuat perahu pinisi, sebutannya adalah Butta panrita lopi..Secara administratif

Kabupaten Bulukumba dibagi menjadi 10 Kecamatan dengan jumlah Desa 103 buah

dengan kelurahan 21 buah.Adapun Kecamatan tersebut sebagai berikut :

1.

Kecamatan Ujung Bulu terdiri dari 8 Desa / Kelurahan

2.

Kecamatan Gangking terdiri dari 12 Desa / Kelurahan

3.

Kecamatan Bulukumpa terdiri dari 16 Desa / Kelurahan

4.

Kecamatan Kajang terdiri dari 19 Desa / Kelurahan

5.

Kecamatan Bontobahari terdiri dari 8 Desa / Kelurahan

6.

Kecamatan Bontotiro terdiri dari 12 Desa / Kelurahan

7.

Kecamatan Rilau Ale terdiri dari 13 Desa / Kelurahan

8.

Kecamatan Herlang terdiri dari 8 Desa / Kelurahan

9.

Kecamatan Kindang terdiri dari 8 Desa / Kelurahan

10.

Kecamatan Ujung Loe terdiri dari 12 Desa / Kelurahan

Penduduk daerah pada tahun 2006 mencapai 383.870 jiwa, yang berarti mengalami

peningkatan 1,18% dari tahun 2004 yang hanya berjumlah 379.411 jiwa, dengan Laju

pertumbuhan penduduk sebesar 1,62% per tahun selama periode 2002 – 2006

Dari 10 kecamatan yang ada di kabupaten Bulukumba jumlah penduduk terbesar terdapat

di kecamatan Gantarang yaitu sebesar 68.774 jiwa, sedangkan kecamatan yang mempunyai

jumlah penduduk terkecil terdapat di kecamatan Bontobahari yaitu sebesar 22.871 jiwa

Penduduk Kabupaten Bulukumba mayoritas memeluk agama Islam. Dari jumlah penduduk

tahun 2006 yakni 383.870 jiwa; 375.187 jiwa atau 99,75% yang memeluk agama Islam.

Meski demikian masyarakat Bulukumba tidak bisa disebut masyarakat homogen, disana

juga terdapat agama lain. Sekitar 473 jiwa atau 0,13% memeluk agama Kristen Protestan,

214 jiwa atau 0,06% memeluk agama Kristen Katolik, 212 jiwa atau 0,06% memeluk

agama Budha dan 21 jiwa atau 0,05% memeluk agama Hindu. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada tabel berikut ini:

Banyaknya Penduduk Menurut Pemeluk Agama Dirinci Perkecamatan di Kabupaten

Bulukumba Tahun 2006

(2)

2

ISLAM

KRISTEN

PROTESTAN

KRISTEN

KATOLIK HINDUBUDHA

1 GANTARANG 68.656 73

29

4

12

68.774

2 UJUNGBULU 41.199 258 145

4

169

41.775

3 UJUNG

LOE 36.640 25

7

-

1

36.673

4 BONTOBAHARI22.833 9

4

3

22

22.871

5 BONTOTIRO 24.621 9

3

-

-

24.633

6 HERLANG

23.856 8

8

-

1

23.873

7 KAJANG

45.362 25

3

3

-

45.393

8 BULUKUMPA 55.218 30

6

3

4

55.261

9 RILAU

ALE 34.526 20

8

3

2

34.559

10 KINDANG

30.037 18

1

1

1

30.058

BULUKUMBA 375.187 475 214

21

212

383.870

Pluralitas itu juga ditandai dari pemaknaan dan praktik Islam di daerah ini sangat plural.

Sejak dulu daerah Bulukumba dikenal dengan beberapa aliran tarekatnya sepeti

Khalwatiah

,

Qadariyah

dan

Naqasabandiah

disamping organisasi Islam lain sepertu NU dan

Muhammadiyyah dan Darul Istiqamah Di samping itu di daerah ini juga dikenal

komunitas-komunitas lokal seperti komunitas

Haji Bawakaraeng

,

Komunitas Ara

dan

Komunitas Tanah Toa Kajang

. Komunitas-komunitas lokal semacam ini meskipun secara

resminya digolongkan kedalam agama Islam tetapi dalam praktek keagamaan dan ritual

mereka sehari-hari, kepercayaan lama mereka tetap nampak mewarnai. Bagi komunitas lokal

ini, beragama Islam tidak berarti Islamnya persis sama dengan yang berasal dari tradisi

Arab. Bagi komunitas lokal , praktek ke-Islaman tidak lain seperti yang telah dilakukan

selama ini yaitu memadukan antara ajaran Islam dengan keyakinan lokal.

Sejak tahun 2002 di daerah ini mulai berlaku Perda-perda Syariat Islam, antara lain

Perda

Nomor 03 tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan,Penertiban dan Penjualan Minuman

Keras

,. Perda Nomor 02 tahun 2003 tentang pengelolaan Zakat profesi, Infaq dan

Shadaqah, Perda Nomor 05 tahun 2003 tentang Pakaian Muslim dan Muslimah, Perda

Nomor 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan calon

Pengantin.

Untuk penerapan awal dari Perda-perda ini, maka pada tahun dibuatlah desa-desa

percontohan muslim. Desa-desa itu antara lain desa Padang dan desa Barombong di

kecamatan Gantarang, Kelurahan Bintarore dan Kelurahan Ela-ela di kecamatan Ujung

Bulu, desa Lembanna Kec Kajang, Desa Singa di Kecamatan Herlang, desa Ballasaraja Kec

Bulukumpa, desa Balong di Kecamatan Ujung Loe, desa Palampang kecamatan Rilau Ale,

desa Tritiro di Kecamatan Bonto Tiro, desa Garuntungan di Kecamatan Kindang dan desa

Darubiah di Kecamatan Bonto Bahari.

(3)

3

Pada desa-desa inilah proses pelaksanaan perda-perda syariat dilakukan dengan ketat.

Khususnya pada saat pertama kalinya desa muslim ini dibentuk, yaitu pada tahun 2003.

Gambaran Umum Perda

Perda No. 6/2003 tentang Baca Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Perda “Syariat Islam” di daerah ini

yang sudah disahkan ada empat yaitu

Perda Nomor 03 tahun 2002 tentang Larangan,

Pengawasan,Penertiban dan Penjualan Minuman Keras

,. Perda Nomor 02 tahun 2003

tentang pengelolaan Zakat profesi, Infaq dan Shadaqah, Perda Nomor 05 tahun 2003

tentang Pakaian Muslim dan Muslimah, Perda Nomor 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca

Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan calon Pengantin.

Meski demikian, focus monitoring ini hanya pada dua Perda, yaitu Perda Nomor 06 tahun

2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan calon Pengantin dan Perda

Nomor 05 tahun 2003 tentang Pakaian Muslim dan Muslimah . Perda inilah yang akan

ditelusuri implementasinya, kaitannya dengan persoalan HAM, korban dari Perda bila ada

dan juga prespektif masyarakat terhadap Perda ini.

Perda Nomor 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan calon

Pengantin adalah Perda “Syariat Islam” terakhir yang di sahkan di Bulukumba. Perda no.6

ini merupakan payung hukum dari dua point dari delapan crash program keagamaan di

Bulukumba, yaitu point

Pembinaan dan Pengembangan TKA – TPA dan

Pembinaan serta

Pengembangan Hifdzil Qur’an. Delapan crash program keagamaan ini sendiri, awalnya

adalah kebijakan pengembangan agama di Bulukumba yang dilaksanakan lewat jalur

pendidikan, dakwah dan pengembangan TPA. Pada awalnya tidak ada regulasi yang

mengatur berjalannya Crash program keagamaan ini. Namun belakangan karena pemerintah

menganggap perlu ada payung hukum agar pelaksanaaa crash program keagamaan ini bisa

didorong lebih cepat, maka dibuatkanlah beberapa Perda.

Khusus untuk Perda Baca tulis al-Qur’an dibuat dengan alasan yang sering dikemukakan

Pemda bahwa masih banyak masyarakat Bulukumba yang masih buta aksara al-Qur’an .

Tahun 2000 misalnya, tamatan TKA & TPA hanya 3225, sangat sedikit dibanding jumlah

penduduk saat itu yang sudah 352.662 Jiwa dengan jumlah orang Islam 99%.

Perda ini sendiri terdiri dari Lima Bab dan Sepuluh Pasal. Pada bagian menimbang dari

Perda ini salah satunya disebutkan bahwa kemampuan baca al-Qur’an bagi setiap murid

adalah bagian dari pendidikan islam yang memiliki arti strategis untuk mencerdasakan

kehidupan bangsa, khususnya dalam memananmkan nilai ketaqwaan bagi generasi muda

dan masyarakat. Sedangkan pada bagian mengingat regulasi yang dijadikan landasan antara

(4)

4

lain adalah UU pembentukan daerah di sulsel , yaitu UU No 29/1959 dan UU Otonomi

daerah No 22/1999. (selengkapnya Lihat lampiran).

Sasaran Perda ini sendiri ditujukan khususnya pada anak sekolah dan calon pengantin.

Adapun cakupan wilayahnya adalah semua daerah yang berada dibawah naungan Kabupaten

Bulukumba, termasuk daerah-daerah adat.

B.

Metode

1.

Alasan Memilih Tempat

Bulukumba dipilih menjadi daerah monitoring untuk Perda-perda “Syariat Islam” sebab

selama ini Bulukumba adalah daerah yang pertama di sulsel dalam menerapkan Perda

“Syariat Islam”. Bulukumba inilah yang banyak dicontoh daerah-daerah lain di sulsel,

bahkan diluar sulsel dalam merumuskan perda-perda keagamaan. Sampai saat ini

Bulukumba telah menerapkan empat perda “Syariat Islam”. Proses penerapannya meski

dianggap oleh Pemda disetujui oleh masyarakat Bulukumba namun sesungghnya banyak

persoalan di lapangan. Persoalan-persoalan itu berkaitan dengan persoalan dikriminasi dan

pelanggaran terhadap Hak Asazi seseorang. Sampai saat ini, persoalan itu belum pernah

ditelusuri lebih jauh, padahal daerah ini telah menerapkan Perda sejak tahun 2001.

Soal lainya adalah konteks daerah ini yang plural, baik dari segi perbedaan agama, aliran

dan sekte-sekte keagamaan maupun soal suku. Keberadaan Perda ini pada titik tertentu

sangat mungkin mencederai pluralitas itu. Hal inilah yang menarik diamati lebih jauh.

2.

Observasi dan Wawancara

Metode monitoring dilakukan dengan observasi ke lapangan. Dimana tim monitoring

mengamati berbagai hal berkaitan dengan pelaksannan syraiat Islam khususnya yang

berkaitan dengan dua Perda yang menjadi focus monitoring ini. Pengamatan itu dilakukan

khususnya di TKA/TPA, di masyarakat adapt, kantor dan beberapa teampat lainnya yang

dianggap signifikan.

Selain observasi metode yang digunakan juga dengan cara wawancara mendalam. Dimana

beberapa masyarakat, pejabat, termasuk korban, di wawancarai secara mendalam berkaitan

dengan keberadaan Perda No 6/2003

(5)

5

3. Tujuan Monitoring

Monitoring ini dilaksanakan dengan tujuan :

a.

Mengamati penerapan Perda “Syariat islam di Bulukumba, khususnya Perda

No.6/2006 tentang baca tulis al-Qur’an dan…

b.

Merekam tanggapan pemerintah dan masyarakat menegnai keberadaan Perda ini

c.

Memantau ekses dari Perda ini khususnya berkaitan dengan pelanggaran HAM dan

Diskriminasi terhadap kelompok tertentu

d.

Merekam tanggapan korban akibat dari ekses Perda tersebut.

BAB II

PEMANTAUAN IMPLEMENTASI PERDA NO 6/2003

A.

Proses Pembuatan Perda No 6/2003, Keterlibatan & Tanggapan Masyarakat

Perda baca tulis al-Qur’an yang kemudian dituangkan dalam Perda No 6/2003,

bila menelusuri pengakuan dari pihak penggagas merupakan implementasi dari crash

program keagamaan di Bulukumba. Dalam salah satu Crash program keagamaan disebutkan

perlunya

Pembinaan dan Pengembangan TKA – TPA dan

Pembinaan serta Pengembangan

Hifdzil Qur’an. Crash Program keagamaan ini sendiri disahkan oleh Gubernur Sulsel pada

tahun 1998 oleh Zainal Basri Palaguna. Crash program kegamaan ini didukung oleh

berbagai organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, kerena menurut

organisasi-organisasi ini, Crash program keagamaan itu sejalan dengan dakwah cultural

mereka selama ini.

Menurut penjelasan Tjamiruddin, selah satu penggagas Perda yang saat itu menjabat

Ketua Tanfidziah NU dan Kepala DEPAG Bulukumba. Perda Baca Tulis al-Quran sendiri

dikeluarkan berdasarkan usul dari dirinya. Menurutnya saat itu, Ia melihat bahwa crash

progrm keagamaan saja tidak cukup untuk mendorong masyarakat Bulukumba yang

mayoritas Islam agar giat mempelajari al-Qur’an sebagai kitab sucinya. Perlu ada payung

hukum, agar pelaksanaannya bisa diperketat dan juga bisa mendapatkan anggaran dari

PEMDA. Menurutnya saat itu masih banyak masyarakat Bulukumba yang belum bisa

membaca al-Qur’an. Tahun 2000 misalnya, tamatan TKA & TPA hanya 3225, sangat

sedikit dibanding jumlah penduduk saat itu yang sudah 352.662 Jiwa dengan jumlah orang

Islam 99%

1

.

1

(6)

6

Hal ini juga pernah ditegaskan oleh Patabai Pabokori, Bupati Bulukumba saat itu.

Menurutnya pembuatan Perda ini adalah kebutuhan masyarakat Bulukumba. Masyarakat

Bulukumba yang mayoritas Islam mestinya bisa menjalankan agamanya secara lebih baik.

Seperti dituturkannya berikut ini :

“...Perda Syariat Islam yang empat itu sebenarnya keinginan dari umat Islam

di Bulukumba. Jadi ketemu antara keinginan dari bawah dan keinginan

pemerintah, sehingga diramulah dan dibuatlah perda Syariat Islam dan

ternyata mendapat sambutan dari anggota DPRD Bulukumba, karena

bagaimana pun eksekutif berjuang kalau tidak mendapat respon dari anggota

DPRD kan itu menghambat. Kemudian yang kedua kami banyak mendapat

dukungan dari Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI), juga

Jundullah yang saat itu gencar gerakannya. Pada saat itu kami buat konsep

Perda dan itulah (merekalah, pen.) yang memberikan dorongan, motivasi dan

tekanan pada DPRD Bulukumba sehingga cepat proses pengesahannya,…..

.”

2

Merunut penjelasan Patabai Pabokori ini, maka proses pembuatan Perda-perda

Syariat, termasuk Perda No 6/2007 ini digodok oleh kalanga Pemda, namun mendapat

dorongan dari kelompok KPPSI dan Jundullah. Hal ini bisa terjadi, karena perjuangan

KPPSI sendiri adalah menegakkan dan menjalankan Syariat Islam lewat jalur politik.

Karena perjuangan ditingkat pusat banyak mendapatkan batu sandungan, locusnya

kemudian dialihakna ke daerah-daerah.

Mengenai Perda Baca tulis al-Qur’an pihak KPPSI juga memiliki pandangan yang

sama mengenai pentingnya Perda ini dan kenapa harus hadir di Bulukumba. Hal ini

dikemukakan oleh H. Amiruddin, salah seorang ketua KPPSI di daerah Gantarang.

Menurutnya :

“Pada waktu Perda no.6/ 2003 ini digarap kitalah dari kalanga KPPSI paling serius

mendukungnya, kami ke kantor DPRD aksi, agar anggota DPRD segera

mengesahkan Perda ini. Menurut kami Perda ini penting karena masih banyak dari

anak-anak kami yang tidak pintar mengaji. Karena itu pemerintah memang wajib

untuk membuat aturan agar anak-anak dan semua orang Islam terdorong untuk

mempelajari kitab sucinya”

3

Hal senada juga diungkapkan ketua Muhammadiyah yang juga ketua dewan syuro

KPPSI Bulukumba, Drs. Kamaluddin Jaya; menurutnya “pembuatan perda-perda ini

merupakan kebutuhan masyarakat dan direspon dengan baik karena masyarakat Bulukumba

adalah mayoritas muslim.”

4

2

Dokumen LAPAR, 2005. Lihat pula, Patabai Pabokori, Peran dan Strategi Pemda dalam membumikan Syariat Islam, dalam Irfan Yahya (ed), Op. Cit, hlm., 285.

3

Wawancara H. Amiruddin, 17 November 2008

4

(7)

7

Selain karena Perda ini dianggap sebagi representasi kepentingan masyarakat

muslim, dalam berbagai kesempatan, sejarah Islamisasi di Bulukumba senantiasa juga

dijadikan landasan munculnya Perda-perda Syriat Islam termasuk Perda Baca Tulis

al-Qur’an ini.

5

Proses pembuatan Perda No 6/2003 ini, hamper sama dengan proses pembuatan

Perda-perda “Syariat Islam” lainnya. Di godok oleh kalangan PEMDA, diantaranya H.

Tjamiruddin, ketua NU dan H.Kamaluddin Jaya dari Muhammadiyah juga terlibat.

Setelah itu hasil dari penggodokan mereka diserahkan ke Legislatif.

Lalu bagaimana pembahasannya ditingkat Legislatif ?. Disisni Perda Baca tulis

al-Qur’an diterima dengan mulus, tidak ada perdebatan signifikan, kecuali memperbaiki

beberap redaksinya. Tiga fraksi, yaitu Golkar, Fraksi Gabungan dan Fraksi TNI menerima

secara bulat Perda ini. Pada saat itu salah seorang dari Fraksi TNI bernama Butung Nunga

kurang merespon adanya Perda ini, dia beragama Kristen. Namun karena tidak memiliki

argument untuk menolak, akhirnya Iapun menerima Perda tersebut.

Bila didalam tidak terjadi perdebatan yang berarti, diluar kelompok yang setuju

dengan Perda ini sering melakukan aksi mendesak agar Perda ini segera disahkan.

Bagaimana keterlibatan masyarakat ?. Abu Hak, salah seoarang anggota DPRD,

periode 1999-2004, menyatakan bahwa proses pembuatan Perda tidak bisa dikatakan tidak

melibatkan masyarakat, karena organisasi Islam semacam NU dan Muhammadiyah,

senantiasa terlibat dalam diskusi pembuatan Perda ini. Namun Abu Hak sendiri tindak

membantah bahwa keterlbatan masyarakat hanya terbatas pada dua organisasi lainnya.

Masyarakat lainnya sama sekali tidak terlibat. Dialog Publik yang lebih luas dan

multistakeholder, sama sekali tidak dilakukan. Hal ini terungkap dari beberapa wawancara

yang dilakukan terhadap komunitas tertentu, misalnya kounitas adat atau kalangan anak

sekolah yang menjadi sasaran dari Perda ini. Kanto seorang komunitas adat Haji

Bawakaraeng mengaku tidak tahu menahu dengan keberadan Perda ini. Dia hanya merasa

baying-bayang DI/TII dengan munculnya Perda ini seakan-akan mulai muncul.

6

Komunitas adapt Tanah Toa Kajang yang juga menjadi objek dari Perda ini, dengan

asumsi masih banyak masyarakat dari komunitas ini yang tidak bisa mengaji, juga tidak

pernah dilibatkan dalam dialog meneai pembuatan Perda ini. Puto Hatong, salah seorang

masyarakat dari komunitas ini menceritakan bahwa masyarakat adapt Tanah Toa Kajang

tidak tahu menahu bahwa ada Perda yang mewajibkan baca al-Qur’an. Tidak pernah

didengar bagaimana pendapat mereka tentang perlu tidaknya Perda baca tulis al-Qur’an.

5

Persoalan ini masih bisa diperdebatkan lebih jauh solanya bila dirunut pada sejarahmasuknya Islam di Bulukumba, tidaklah dilakukan lewat jalur politik atau kekuasaan. Datuk ri Tiro pada mulanya lebih banyak berdakwah secara cultural. Bahkan saat pertama tiba di Tiro, daerah dimana Ia memuali menyiarkan Islam, persoalan pertama yang diselesaikan adalah masalah kekeringan yang dialamai masyarakat disitu. Iapun berupaya mencarikan sumber mata air. Dengan pertolongan Allah Ia berhasil mendapatkan mata air, yang jernih dan tawar. Mata air itu sampai sekarang masih ada dan airnya masih melimpah.

6

(8)

8

“Baru kita tahu setelah ada beberapa orang masyarakat adapt yang mau menikah tiba-tiba

disuruh dulu mengaji, denganalasan sudah ada aturannya.” Ujar Puto Hatong

7

.

Dengan demikian, kita bisa katakan bahwa proses perancangan dan pembahasan

Perda ini partisipasi masyarakat sangat minim.Yang terlibat hanya kalangan Pemda,

khsuusnya Bupati saat itu, Patabai Pabokori. Di dukung oleh KPPSI, NU dan

Muhammadiyah. KPPSI sendiri adalah pendukung yang paling utama. KPSSI juga banyak

memberikan masukan pada Patabai saat itu.

Implementasi Perda

Setelah Perda ini disahkan oleh DPRD, maka proses sosialisasi dan

penerapannyapun mulai dijalankan. Perda ini khususnya berlaku bagi anak-anak sekolah

dan calon pengantin. Salah satu penlitian berkaitan dengan tanggapan masyarakat terhadap

berlakunya Perda No.6/2003 ini adalah penelitian dari Dosen-dosen Fakultas Dakwah

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar dengan Pemda Bulukumba. Riset

yang kemudian dipublikasikan dengan judul ”Membumikan Al-Qur’an di Bulukumba:

Analisis Respon Masyarakat terhadap Perda No 06 tahun 2003 tentang pandai Baca

Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin di Bulukumba.

Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa 261 atau 52% responden menyatakan

sangat setuju dengan keberadaan Perda tersebut, sebanyak 225 atau 45% responden yang

menjawab setuju, sebanyak 10 atau 2% responden menjawab tidak setuju, dan hanya 2 atau

1% responden yang menyatakan sangat tidak setuju. Termasuk dipaparkan bagaimana

pengetahuan masyarakat tentang Perda-perda ini, disebutkan 80% responden mengatakan

telah mengetahui keberadaan Perda Pandai Baca Al-Qur’an dan sebanyak 20% yang belum

mengetahui keberadaa Perda ini. Tentu saja penelitian ini dalam beberapa hal bermasalah,

khususnya ketika menentukan responden, misalnya responden dari anak sekolah yang

menjadi objek Perda tersebut tidak ada. Masyarakat yang dipilih sebagai respoonden juga

tidak mnyentuh masyarakat adat.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh dosen fak.Dakwah ini, responden dianggap

berasl dari berbagai latar belakang. Namun sesunguhnya bila dilacak lebih mendalam,

kelompok yang setuju dengan perda no.6/2003 ini adalah kelompok Islam

fundamental,khususnya yang berasal dari KPSSI dan Wahdah Islamiyah. Juga dari elit-elit

organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. Namun untuk NU, saat itu yang

getol mendukungnya hanyalah, H. Tjamiruddin ketua tanfidziah yang juga kebetulan

adalah Kepala Depag di Bulukumba. Dari Muhammadiyah sendiri ada beberapa orang

yang tidak setuju, salah satunya adalah ketua Perhimpunan Dai Bulukumba, Drs

Mardianto.

Padahal bila ditelusuri lebih jauh pada masyarakat adat, misalnya masyarakat Tanah

Toa Kajang, pendapat mereka justru tidak sama dengan yang digambarkan riset tadi.

Simaklah apa yang diutarakan Amma Toa pemimpin adat dari komunitas Tanah Toa

Kajang Ketika di sampaikan bahwa salah satu PERDA mewajibkan kepada semua kalangan

untuk pandai membaca al-quran,Amma katakan bahwa di dalam kawasan apalagi mereka

7

(9)

9

yang memahami betul

Pasanga

, maka

Pasanga

lah yang berlaku, di luarlah itu berlaku

tentang membaca al-quran. “

Ia pentingnga aturan-aturan ia anjo anre na gangguki

(Peraturan-peraturan dari luar jangan samapi mengganggu kedaulatan kami)”. Ucapnya

dalam bahasa konjo seperti bernada keluhan.

Amma kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa dalam kawasan adat

tingkatan-tingkatan mengenai pegangan hidup kita. Yang pertama disini adalah

Pasanga ri kajang

,

Baru kemudian

kitta

(

Quran)

dan terakhir

Lontara

.

“Anre na kulle ni passa taua ampilarii

nikuaia pasang ka iaminjo pammaganganta gitte”

(Kita tidak boleh dipaksakan untuk

meninggalkan pasanga sebagai pedoman hidup kita, karena itulah Pegangan kita).

Amma Toa kemudian menandaskan, bahwa ke Islaman seseorang tidak boleh

dilihat dari kulit luarnya saja. Kita tidak boleh mengatakan orang islam, hanya mereka yang

sembahyang saja secara formal, sebaliknya juga tidak boleh dikatakan bahwa yang

tapakkoro Islamnya keliru. Seseorang yang sembahyang formalnya nya rajin belum tentu

mengingat Tuhan, karena boleh jadi yang dibayangkan hanya huruf-huruf , sedangkan kita

yang tapakkoro jangan dibilang tidak pernah menginagt Tuhan, sebab bagi kami yang

terpenting adalah “Ni katutui ri alla sumpajanta” (Dijaga diantara shalat). Tandas Amma

Toa mengakhiri komentarnya

8

.

Organisasi keagamaan juga tidak semuanya menerima, ICMI salah satu organisasi

yang menolak Perda-perda ini. Ketuannya, Drs Alam, menyatakan bahwa Perda Baca tulis

al-Qur’an dan Perda-perda lainnya tidak mesti ada. Kalau pemerintah komitemen terhadap

bidang keagamaan, seharusnya menfasilitasi saja dan memaksimalkan

crash program

keagamaan yang sudah dibuat.

9

Dari kalangan anak sekolah juga memiliki respon yang tidak persis sama dengan

hasil penelitian dosen-dosen fakultas dakwah diatas. Seperti diungkapkan oleh Yuliana ,

siswi SMA 2 Bulukumba . ” Ya....kita ikut belajar mengaji karena takut tidak bisa lanjut

sekolah. Seharusnya tidak perlu dibuatkan Peraturan, tokh sekolah kita juga dari dulu

sudah ada pelajaran agama, kita juga sudah belajar mengaji

10

.

Terlepas dari pro kontra ini terhadap Perda ini, tapi setelah di sahkan pada tahun

2003, masa pemerintahan Patabai Pabokori. Perda ini mulai dilaksankan secara intensif.

TKA/TPA ramai dengan santri-santri yang mempelajari al-Qur’an. Intensifitas pelaksanaan

Perda ini dapat dilihat lebih jelas di desa-desa muslim. Berikut ini gambaran pelaksanaan

kewajiban belajar mengaji dibeberapa TPA, Salah satunya di desa muslim Padang

kecamatan Gantarang.

Untuk melakukan pemberatasan buta aksara al-Qur’an, sesuai dengan Perda No.

6/2003, pemerintah desa Padang, membuat langkah-langkah sebagai berikut:

Pembentukan TK,TPA setiap Masjid/Mushallah

Pembentukan TPA Orang Tua disetiap RT/RW /Dasawisma

8

Syamsurijal, “Islam dan Patuntung di Tanah Toa Kajang; Pergulatan tiada Akhir” dalam Hikmat Budiman (Ed), Hak Minoritas; Dilema Multikultural di Indonesia (Interseksi:Jakarta;Cet-I,2005), h. 317.

9

Wawancara Alam. F (Ketua ICMI Bulukumba), tanggal 17 November 2008

10

(10)

10

Mengadakan Penataran Guru Mengaji

Pengadaan Al-qur’an melalui gerakan waqaf Al-qur’an

Mengadakan lomba baca tulis Alqur’an setiap Pelaksanaan hari besar islam

Disamping itu juga diadakan pembinaan guru-guru mengaji dengan cara sebagai

berikut :

Mengadakan pelatihan Guru Mengaji metode Iqra dan Metode Albarqi

Memberikan Tunjangan bulanan melalui sumbangan tetap pelanggan listrik

Membagikan Zakat setiap 6 (enam) Bulan

Menerima Sumbangan wajib dari santri setiap Selesai Panen

Menerima Biaya Pembinaan Guru TK-TPA setiap tahun dari Pemerintah Desa

Dari proses ini, menurut laporan pemrintah desa Padang, jumlah santri yang

berhasil menamatkan pelajaran membaca al-Qur’annya meningkat. Meski kalau

diperhatikan, sebenarnya peningkatannya tidak signifikan. Ini dapat kita lihat pada data

dibawah ini :

DATA KEGIATAN KELOMPOK PENGAJIAN ORANG TUA/TKA/TPA SEDESA

PADANG

No

Nama Kelompok/

TKA-TPA

Tahun

Pendirian

Jumlah

Santri

Santri

Telah

diwisuda

Tempat

1

TPA Ortu Babul

Jannah

TPA Anak-anak

2003

65 orang

49 orang

60 orang

20 orang

Majid

Babuljannah

Bontobulaeng

2

TPA Ortu

AlIjetihad

TPA anak-anak

2003

80 orang

65 orang

30 orang

25 orang

Masjid

Alijetihad

Palimassang

3

TKA Hubbul

Watang

TPA Hubbul

watang

1998

2001

30 orang

25 orang

98 orang

50 orang

-Perumahan

SD 232 jepuru

-Masjid

Nurulhasnah

4

Tka Attaqwa

Tpa Attaqwa

1999

2002

32 orang

40 orang

60 orang

20 orang

Masjid

Taqwa

Palimassang

5

TKA Nurul Sabri

2004

37 orang

-

Masjid

Nurul Sabri

Bontomatene

6

TKA Nurul Hidaya 2001

41 orang

20 orang

Masjid tua

Mattoangin

7

TKA Babul

Rahman

2002

2003

60 orang

43 orang

25 orang

20 orang

Masjid

Babul Rahman

(11)

11

TPA Babul

Rahman

Borongcinranae

8

TPA Nurul

Muttakin

2004 27

orang

-

Musallah

Nurul

Muttaqin

Pagentungan

JUMLAH 480

orang 383

Dari data itu kita lihat bahwa desa Padang berhasil menamatkan sebanyak 383

santri TPA/TKA dari 480 yang belajar. Namun proses belajar itu kalau kita lihat dari data

diatas sebenarnya bukan hanya berlangsung pada saat desa ini telah menjadi desa muslim

atau setelah munculnya Perda-perda “Syariat Islam”. Hal ini sudah dimulai dari tahun

1998, 1999, 2001, 2002, 2003 dan 2004. Sekedar mengingatkan Perda “Syariat Islam”

baru muncul pada tahun 2002, itupun awalnya hanya Perda tentang minuman keras.

Sedangkan perda Baca tulis al-Qur’an ini baru muncul tahun 2003. Jadi sebenarnya tradisi

TPA/TKA ini bukanlah hal yang baru di desa Padang ini. Melihat jumlah santrinyapun

tak ada perubahan yang signifikan, sebelum dan sesudah desa ini menjadi desa muslim,

malah tahun 2001 dan 2002 lebih banyak jumlahnya dari tahun 2004. Juga tidak bisa

dikatakan dari tahun ketahun semakin berkurang santri, karena rata-rata masyarakat sudah

pintar membaca al-Qur’an, hal ini bisa dilihat dari beberapa TPA pada data tadi, jumlah

santrinya dari tahun ke tahun juga meningkat.

Menurut penjelasan, salah satu guru TPA di desa Padang, pada masa pemerintahan

Patabai, proses pembelajaran di TPA gencar di laksanakan. Santri banyak yang datang.

Guru-gurunya juga banyak, karena guru-guru dikontrak. Proses pembelajaran cukup

disiplin. Santri disuruh datang tepat waktu. Para santri harus memenuhi aturan, karena bila

tidak mereka bisa tidak dibeikan sertifikat. Juga kalau menurut aturan santri diharuskan

membayar untuk belajar mengaji. Tiap bulannya Rp. 10.000. Tapi untuk desa Padang

pembayaran itu dijadikan sumbangan wajib, yang disetor saat habis panen.

11

Hal yang sama juga terjadi di desa yang lain, di desa Tamaona, kecamatan Kindang,

proses pembelajaran TPA pada waktu pemerintahan Patabai juga berlangsung dengan ketat.

Seperti dijelaskan oleh Siri Sulistiwati salah satu guru TPA Mesjid Al-Jamiah dan TPA SD

302 LATTAE, bahwa di desa itu juga setiap TPA membebankan kepada santrinya

pembayaran bulanan. Kalau ketetapan BKPRMI biaya yang dibebankan kepada santri

adalah Rp.10.000 perbulan. Namun karena orang tua santri merasa berat, maka

pembayaran, khususnya di TPA yang dia bina diturunkan menjadi Rp.3.500. Proses

pelaksanaan belajar mengaji ini diakui oleh Siri meski berlangsung dengan cukup disiplin,

tapi murid-murid senang dating, mereka berlomba-lomba ikut mengaji. Apalagi biasanya

yang lulus dengan baik akan mendapat hadiah. Pada saat wisuda, biasanya juga Bupati saat

itu Patabai Pabokori, dating menghadiri

12

.

11

Wawancara Jumrah (Guru TPA di desa Padang), 21 November 2008

12

Wawancara Siri Sulistiwati (Guru TPA 302 Lattae dan mesjid al-Jamiah), 13 November 2008

(12)

12

Di beberapa TPA, proses belajar mengaji bahkan diawali dengan penandatanganan

surat perjanjian, anatara santri dengan pihak TKA/TPA. Misalnya di TPA al-Amanat,

santri harus menandatangani kesepakatan yang isinya :

1.

Akan tetap rajin mengaji sampai mengkhatamkan 30 juz al-Qur’an

2.

Bila dikemudian hari, berhenti sebelum mengkhatamkan al-Qur’an, maka

SANGAT SETUJU bila tidak diberikan sertifikat.

Tapi saat itu ada beberapa persoalan yang muncul.

Pertama,

persoalan yang dialami

oleh guru-guru mengaji yang dikontrak. Menurut pengakuan salah satu guru ngaji kontrak

Nurbaya, gaji yang diberikan tidak semuanya, sudah mengalami pemotongan. Sebelumnya

diberi tahukan bahwa gaji para guru mengaji yang sudah dikontrak oleh Pemda sekitar

Rp.300.000, namun biasanya yang sampai ke guru-guru mengaji hanya Rp.150.000

13

.

Kedua

, keinginan beberapa santri untuk mengaji lebih didasarkan pada ketakutan tidak

bisa melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi. Sehingga banyak kasus dimana

beberapa orang tua siswa berusaha untuk membeli sertifikat dari TPA, sebagai bukti

kelulusan mengaji. Hal ini diakui oleh Nurmala R, S.Ag, Kepala Sekolah TPA,

al-Amanat, menurutnya beberapa pejabat mendatangi TPA-nya meminta agar bisa diberikan

sertifikat. Bahkan ada yang mau mebayar tinggi yang penting sertifikatnya keluar. TPA-nya

tidak mau memberkan sertifikat, jika seorang santri belum pernah belajra mengaji

ditempatnya . Namun dia mengakui bahwa ada juga TPA di Bulukumba yang mau

mengeluarkan sertifikat palsu, bila dibayar. Menurutnya sertifikat mengaji itu akhirnya

menjadi alat untuk mencari keuntungan

14

. Ketiga, dengan munculnya TKA/TPA ini

membuat tradisi pengajian-pengajian kampung hilang. Padahla tradisi pengajian kampung

ini telah berjalan sekian lama di tiap-tiap desa, dimana seorang guru mengaji didatangi

santrinya di rumah. Belajar mengaji saat pagi dan sore. Sebagai balas jasa, biasanya santri

membawakan hasil kebun, atau mengangkatkan air untuk gurunya. Proses ini berlanjut

dengan acara khatam Qur’an yang disebut dengan

mappatamma atau anganre tamma

. Pada

acara itu selain membaca barazanji, yang khatam Qur’an, membaca al-Qur’an pada hari itu

mengikuti imam kampung sambil dipasangi sarung.

Pergantian bupati, nampaknya ikut mempengaruhi pelaksanaan dari Perda

No.6/2003 ini. Meski Perda ini tidak dicabut, tapi intesitas pelaksanaannya mulai

menurun. Saat ini TKA/TPA sendiri mulai berkurang santri-santrinya. Seperti diakui oleh

Siri, salah seorang guru TPA di desa Tamaona, saat ini jumlah santri mulai menurun,

bahkan di mesjid desa yang dia bina, muridnya sudah sangat sedikit. Menurutnya sekarang

ini Bupati tidak lagi memperhatikan TKA/TPA. Saat-saat diwisuda bupatinya tidak datang

mengikuti acara tersebut.

15

Hal senanda disampaikan oleh Nurmala S.Ag. Menurutnya saat ini tidak ada lagi

anggaran yang diberikan ke TPA-TPA. Perhatian Pemda mulai berkuang pada soal-soal

13Wawancara Nurbaya (guru ngaji di desa Tamaona), 10 September 2008

14

Wawancara Nurmala, S.Ag (Kepala TKA/TPA al-Amanat Bulukumba), 14 November 2008

15

(13)

13

keagamaan

16

. Beberapa kalangan yang menjadi pencetus Perda seperti, Drs Tjamiruddin,

yang juga ketua NU Bulukumba, merasa kecewa melihat perkembangan pelaksanaan perda

keagamaan, termasuk perda no 6/2003 ini, menurutnya sekarang perhatian Pemerintah

Daerah sudah mulai menurun

17

.

Meski ada kecenderungan menurun, tapi penerapan disekolah, misalnya tes mengaji

atau harus memperlihatkan sertifikat lulus TPA pada saat mau melanjutkan pada jenjang

yang lebih tinggi masih berlaku sampai saat ini. Hal ini disampaikan oleh Herlina, salah

seorang siswa dari SMA 2, sampai saat ini kalau siswa mau lanjut ke jenjang yang lebih

tinggi, tetap dites mengaji, atau diminta sertifikatnya.

18

Selain itu ada beberapa CPNS, yang tidak diberikan SK-nya karena tidak tahu

mengaji (selengkapnya pada Kasus-kasus berkaitan dengan Perda No.6/2003)

Bebeberapa Kasus yang Berkaitan dengan PERDA No. 6/2003

1.

Kasus Siswa Tidak bisa melanjutkan Pendidikan Pada Jenjang Yang lebih Tinggi.

Beberapa siswa, (tidak ada data tentang jumlahnya secara pasti, tapi diperkirakan

sekitar 10 orang) tidak bisa melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih

tinggi karena tidak tahu mengaji. Salah satunya adalah siswi salah satu SMP di

Bulukumba bernama Rosmi (nama minta disamarkan). Ia terpaksa menunda untuk

melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi karena belum bisa

mengaji. Kejadian ini terjadi pada tahun 2004 yang lalu. Ia jelas sedih, karena tidak

bisa melanjutkan sekolahnya. Padahal menurutnya, ia berjanji untuk belajar mengaji.

Rosmi merasa dihalangi peluangnya untuk bisa mengaskes pendidikan yang lebih

tinggi

Beberapa siswa yang lain, diantaranya Amran, mengaku karena tidak bisa mengaji

terpakasa harus mencari sekolah-sekolah yang bisa saja masuk tanpa harus tes

mengaji. Salah satu Sekolah itu adalah madrasah Aliyah Muhammadiyah. Sekolah

ini karena kekurangan siswa, maka bisa menerima siswa tanpa harus tes mengaji atau

tanpa penggunaan sertifikat. Meski dapat sekolah Amran merasa terhalangi untuk

sekolah di sekolah favorit, seperti SMA 1 atau SMA 2 Bulukumba.

Kasus tidak bisa melanjutkan sekolah ini, karena persoalan tidak bisa mengaji

melanggar HAM, yang berkaitan dengan Hak untuk memperoleh pendidikan, akses

yang sama dan diperlakukan sama. Disini karena dia siswa Islam, maka dia harus

bisa mengaji baru bisa melanjutkan pendidikan. Jelas ini bertentangan dengan hak

untuk diperlakukan sama.

16

Loc cit

17

Wawancara Tjamiruddin, 17 November 2008

18

(14)

14

2.

Kasus yang berkaitan dengan Hak-hak Komunal Masyarakat adat

Perda No 6/2003 ini, juga melanggar Hak-hak komunal masyarakat adat. Salah

satunya Masayarakat adat Tanah Toa Kajang. Sebagaimana kita ketahui masyarakat

adat ini punya pandangan tersendiri terhadap kitab suci. Meski mereka beragama

islam, tapi cara pandangnya terhadap kitab suci berbeda dengan pandangan

mainstrem umat Islam. Bagi mereka dalam masyarakat adat, Pasang ri Kajanglah

(pesan yang turun di tanah toa Kajang) yang berlaku. Tapi dengan adanya Perda

No. 6/2003, maka keyakinan mereka jelas terganggu. Menurut penegasan Bupati

Bulukumba periode, 2000-2005, patabai Pabokori, Perda ini berlaku untuk seluruh

masyarakat Bulukumba, termasuk masyarakat adat.

19

Akibat pemberlakuan ini, maka implikasinya langsung dirasakan komunitas adat ini.

Salah satunya kawasan adat semakin kecil. Hal itu terjadi karena dalam kawasan

adat didirikan pula TPA. Menurut Amma daeah yang sudah ada TPAnya, tidak

masuk lagi kawasan adat. Sehingga menurut pengakuan Puto Kalu (Sanro di

kajang), Amma Toa terpaksa membikin garis baru batas kawasan adat, dimana

rumah yang dijadikan TPA, dianggap berada diluar kawasan adat.

20

Bagi komunitas

adat Kajang, hal ini telah menghilangkan keyakinan dan kepercayaan mereka

tentang Pasanga ri Kajang.

Implikasi lainnya terjadi dalam satu pross perkawinan di Tanah Toa Kajang, yaitu

perkawinan kemenakan Puto Hatong pada tanggal 21 agustus 2004. Perkawinan

ini terancam batal, karena kemenakan puto hatong tidak bisa mengaji. Imam

kampung tidak mau menikahkan karena menganggap peraturannya harus bisa

mengaji. Puto Hatong terpaksa mendebat imam desa. Menurutnya

kemenakannyanya itu berasal dari dalam kawasan adat, memang tidak bisa mengaji,

tapi paham dengan ajaran

pasanga.

Karena Puto hatong bersikeras, akhirnya

pekawinan bisa dilaksanakan. Berkaitan dengan peristiwa itu Puto Hatong

menganggap Perda No.6/2003 diskriminatif, seharusnya hak dia sebagai komunitas

adat dulindungi.

Dalam kaitannya dengan kasus diatas ini melanggar UUD 1945 Bab VI yang

mengatur tentang pemerintahan darah disebutkan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum adapt beserta hak-hak

19

.Wawancara Patabai Pabokori, di rumah jabatan tanggal 26 Juni 2005

20

(15)

15

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dnegan perkembangan masyarkat dan prinsip Negara kesatuan RI, yang diatur dalam UU.

Bab X A yang megatur tentang HAM, pada pasal 28-1 ayat 3 juga mengaskan kedudukan masyarakat adat, dimana berbunyi : Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Instrumen Hukum internasional tentang HAM juga melindungi keberadaan mereka. Misalnya Konvensi ILO 169/1989 tentang masyarakt adapt dan suku di negra merdeka

3.

Kasus Pembatalan Pernikahan Karena Tidak Bisa Mengaji

Akibat diterapkannya Perda No 6/2003 ini ada beberapa calon pengantin yang

batal atau tertunda proses perkawinannya. Sebagian , menurut penjelasan Asdar,

warga Anrihua, kec, Kindang memilih menikah didaerah tetangga yaitu Bantaeng.

21

Ada beberapa yang tertunda bahkan hampir batal. Salah satunya yang dialami oleh

Hasaning dan Rabiah (nama samaran) pada tanggal 21 April 2005, di desa

Kindang, Bulukumba. Imam desa tidak mau menikahkan, karena Hasaning tidak

tahu mengaji. Kedua keluarga mempelai mulai tegang, undangan sudah disebar.

Akhirnya mereka berdua menghadap ke KUA. KUA dengan pertimbangan

kemasalahatan,akhirnya memutuskan untuk menikahkan.

Meski sempat menikah tak urung peristiwa ini membuat kecewa Hasaning.

Menurutnya keluarganya dan keluarga perempuan sudah konflik, dari pihak

perempuan ada yang menyesal menikahkan keluarganya dengan Hasaning.

Hal ini jelas membatasi hak orang untuk berkeluarga. Lebih jauh lagi membatasi

seseorang untuk mendapatkan keturunan.

4.

Kasus Pembatalan SK bagi sejumlah CPNS

Bupati Bulukumba Sukri Sappewali membatalkan pemberian surat keputusan (SK) bagi 48 CPNS yang tidak bisa mengaji pda tanggal 30 Mei 2008. Alasannya Bupati ingin melihat CPNS semuanya bisa mengaji apalagi Bulukumba telah ada Perda khusus Baca tulis Al-Qur’an. Bupati sendiri yang mengetes para CPNS tersebut. Selain di tes mengaji mereka juga ditanyakan mengenai rukun Islam, rukun Iman dan harus menghapal surah-surah pendek.

21

(16)

16

Hal ini dilakukan Bupati dengan alasan agar semua CPNS bisa mengaji.Menurutnya dia tidak bermaskud menghalangi seseorang untuk menjadi CPNS. Cuma dia ingin semua pegawai di Bulukumba tahu mengaji. Hal ini juga dianggap sebagai bagian dari implementasi Perda No.6/2003, tentang kewajiban baca tulis al-Qur’an.

Ini jelas melanggar hak seseorang untuk mendapatkan kerja. Juga melanggar orang untuk berekspresi dan melakukan satu kegiatan. Sebab dengan tidak diturunkannya SK, maka seseorang belum sah dianggap sebagai pegawai negeri dalam instansi tertentu.

Komitmen Pemda terhadap Penegakan HAM

Saat ini memang pemberlakukan beberapa Perda tidak seketat dulu lagi. Beberpa desa muslim, menurut keterangan, Tjamiruddin, sudah tidak berjalan seperti dulu. Namun meski demikian, ini tidak berarti bahwa Pemda telah memiliki komitmen yang tinggi terhadap persoalan HAM. Pemberlakukan Perda yang tidak seketat dulu hanya karena perhatian Pemda saat ini di fokuskan pada parawisata, tepatny pengelolaan tempat rekreasi. Juga sampai saat ini Pemda tidak mau mencabut empat Perda Syariat Islam, yang sesungguhnya dalam beberapa hal diskriminatif. Disamping itu ada beberapa indicator lain yang bisa dikemukakan untuk menunjukkan komitmen Pemda yang masih kurang terhadap persoalan HAM :

1. Bulan Februari 2006, sorang peneliti diusir dari Tanah Toa Kajang oleh kelompok muslim yang menamakan dirinya AMB (Aliansi Muslim Bulukumba). Peneliti yang bernama Timothy ini dianggap melakukan Kristenisasi. Meski tidak ada bukti yang valid, Pemda setempat sama sekali tidak memberikan perlindungan pada Timothy

2. Bulan February 2006, juga terjadi pengusiran dai Ahmadiyah dari Bulukumba. Bupati saat itu malah ikut menggembok mesjid Ahmadiyah. Meski alasannya untuk keamanan, tapi yang jelas Pemda sudah tidak melindungi kebebsan Ahmadiyah untuk beribadah dan memiliki tempat ibadah . Ini jelas melanggar UUD 1945 Pasal 28e, juga pasal 29 dan Melanggar UU RI No 39 Tahun 1999

Pasal 22 ayat 2. “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang me-meluk agamanya masing-

masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu” Pernyataan Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 18. “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama;dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksana-kan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,dimuka umum maupun sendiri”

3. Tanggal 25 Mei 2007, Kelompok Waria Bulukumba berencana melaksanakan Fetifal Olahraga dan Seni. Keinginan ini dihalangi oleh kelompok KPPSI. Mengikuti saran KPPSI, Pemda akhirnya tidak mengizinkan kegiatan ini. Jelas

(17)

17

ini melanggar kebebsan berekspresi dari masyarakatnya. Hal ini bertentangan Pernyataan Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 18. “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama;dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksana-kan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,dimuka umum maupun sendiri”

4. Tanggal 22 November 2007, terjadi penyerangan terhadap aliran naqsabandiah. Dalam penyerangan itu tempat ibadahnya di rusak. Tarekat ini kemudian tidak diterima keberadaannya disatu daerah di Bulukumba yaitu Tanah Beru. Pemda sama sekali tidak memberikan perlindungan. Bahkan tidak memberikan jaminan bila Naqsabandiah tetap ingin eksis di daerah itu. Laporan jamaah ini pada pihak kepolisian tentang pengrusakan tempat ibadah sampai sekarang belum mendapatkan tanggapan apa-apa. Ini melanggar Pasal 18 ICCPR, Pasal 1(1), 6 (1) Deklarasi PBB tentang pengrusakan rumah ibadah. JUga melanggar UU No 39/1999 pasal 22, tentang setiap orang bebas memleluk agama masing-masing dan beibadah menurut agamanya.

Dari beberpa persoalan yang berkaitan dengan HAM diatas, nampaknya komitmen

pemerintah derah untuk penegakan HAM masih kurang. Pemda belum punya kebijakan

dalam melindungi hak-hak masyarakatnya, khususnya hak yang berkaitan dengan

keyakinan, hak untuk berekspresi dan juga hak kalangan komunitas-komunitas adapt.

Referensi

Dokumen terkait