• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI GUNA RUANG RUMAH TINGGAL SUKU USING BANYUWANGI DALAM KEGIATAN SOSIAL, BUDAYA DAN AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NILAI GUNA RUANG RUMAH TINGGAL SUKU USING BANYUWANGI DALAM KEGIATAN SOSIAL, BUDAYA DAN AGAMA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

LOCAL WISDOM-JURNAL ILMIAH ONLINE, ISSN: 2086-3764

NILAI GUNA RUANG RUMAH TINGGAL SUKU USING

BANYUWANGI DALAM KEGIATAN SOSIAL, BUDAYA DAN AGAMA

Irawan Setyabudi

PPS-Arsitektur Lingkungan Binaan Universitas Brawijaya: isetyabudi.st@gmail.com

Abstract

Rumah merupakan suatu tempat makhluk untuk bermukim. Suatu kebutuhan dasar untuk tinggal ini berawal dari manusia yang membentuk kehidupan sosial, hidup bersama dan membentuk suatu tradisi. Permukiman tersebut bisa disebut sebagai permukiman tradisional yang mana mengandung nilai-nilai lokal sebagai karakter identitas kawasan yang mana secara morfologis cenderung mengalami perubahan. Salah satu obyek yang masih cukup asli berada di Kabupaten Banyuwangi, terdapat permukiman Suku Using yang masih satu akar budaya jawa. Awalnya penduduk mengisolir diri karena banyak diawali dengan sejarah yang kelam dan terimplementasi pada penggunaan ruang rumahnya, namun baru-baru ini penduduk mulai bisa menerima ‘perubahan ke arah lebih baik’ atau modernisasi dengan ciri keterbukaan. Pengaruh ini tidak serta merta positif, banyak nilai-nilai lokal yang mulai ditinggalkan apalagi sejak diresmikan sebagai desa wisata. Pengaruh agama-pun juga mampu mengubah pola pikir, yang mana nilai-nilai logis lebih ditonjolkan daripada sisi sinkretisme agama dan budaya. Pada kajian ini akan lebih difokuskan pada peran ruang rumah yang mengakomodasi kebutuhan sosial, budaya dan agama masyarakat Using sebagai wujud nilai-nilai lokal yang selayaknya dipertahankan. Tujuan dari studi ini adalah mengajak kembali untuk menelusuri nilai tradisi nusantara dalam konteks arsitektural, dengan metode deskriptif-eksploratif dengan berdasar pada penelitian sebelumnya. Hasilnya selain mengetahui penggunaan ruang pada rumah juga memberikan pelajaran bahwa bangunan lama seharusnya dilestarikan.

Keywords – penggunaan ruang, tradisional, Using

I. INTRODUCTION

Suku Using merupakan komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi dan merupakan bagian dari sub-etnis jawa sabrang wetan sehingga memiliki kesamaan pada bagian-bagian tertentu dari rumah jawa. Sebagai komunitas, masyarakat Using juga memiliki identitas yang membedakannya dengan lain, di antaranya adalah dialektika, adat budaya, dan rumah adatnya. Desa Kemiren adalah satu-satunya desa yang mampu mempertahankan tradisi.

Gambar 1. Peta Lokasi Suku Using, Banyuwangi Sumber : Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Banyuwangi dan google earth, 2010

(2)

Volume: III, Nom or: 1, Halaman: 01 - 08 , Februari 2011. Nilai Guna Ruang Rumah Tinggal Suku Using Banyuwangi Dlam Kegiatan Sosial, Budaya dan Agama Irawan Setyabudi

LOCAL WISDOM-JURNAL ILMIAH ONLINE, ISSN: 2086-3764

Desa Kemiren mempunyai luas wilayah 177,052 Ha dengan ketinggian wilayah 144 m dpl dan mempunyai permukaan yang bergelombang dan sebagian besar warganya adalah bertani. Secara administratif masuk kecamatan Glagah kabupaten Banyuwangi. Pembagian fungsi secara melintang timur-barat ditunjukkan pada gambar 2 yang mana sisi tengah konturnya paling tinggi, masyarakat menempatkan sebagai zona sakral dan publik dengan terdapat masjid dan kantor, sedang sisi kanan kirinya berupa permukiman dengan kontur cukup landai.

Permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan, maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UURI no 4 tahun 1992). Menurut Siswono Y. (1991), arsitektur rumah tradisional adalah bagian dari permukiman merupakan ungkapan bentuk rumah karya manusia berasal dari salah satu unsur kebudayaaan yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan suatu masyarakat, suku atau bangsa yang unsur-unsur dasarnya tetap bertahan dalam waktu yang lama dan tetap sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan suatu masyarakat, suku atau bangsa yang bersangkutan. Hal inilah sebagai alasan bahwa sisi tradisional merupakan identitas pendukung kebudayaan.

Arsitektur pada rumah tradisional juga sangat mengutamakan proses pembentukan yang mana sasarannya lebih menekankan pada proses terbentuknya yang berdasarkan ritual agama dan kepercayaan. Wujud fisik berupa bentukan dalam skala sekunder. Hal ini yang membedakan dengan arsitektur barat yang sasaran perencanaanya lebih ditekankan pada produk berupa wujud fisik denga penalaran fungsi, konstruksi dan estetika (Rapoport, 1969). Bentukan rumah bukan hasil dari faktor fisik, tetapi merupakan faktor sosial budaya yang mana memiliki makna utama dan jauh dari sekedar pelindung. Konsep pembentukan rumah tradisional berkaitan dengan aspek kosmologis yang mana rumah adalah miniatur dari semesta.

Nilai-nilai tradisional tidak selamanya mampu bertahan oleh gesekan jaman. Menurut Kartono (1999), proses akulturasi budaya modern-tradisional mampu mewujudkan tatanan budaya dan makna baru :

a. Bentuk tetap dengan makna tetap

Bentukan arsitekturalnya tetap mengadopsi bentukan lama meskipun dengan perubahan material dan makna lama. Ini dimungkinkan pada masyarakat yang masih homogen, kuat strukutr sosialnya dan masih berpegang pada nilai norma sehingga nilai-nilai lokal masih dominan

b. Bentuk tetap dengan makna baru

Bentukan arsitekturalnya tetap mengadopsi bentukan lama tetapi diberi makna baru sehingga mengalami transisi akibat pengadopsian nilai-niai budaya asing. Mereka masih enggan meninggalkan budaya masa lalu, kalaupun terpaksa maka membutuhkan waktu yang cukup lama.

c. Bentukan baru dengan makna tetap

Penampilan bentuk arsitekturnya menghadirkan bentuk baru dalam arti unsur-unsur lama yang diperbarui jadi tidak lepas sama sekali karena interpretasi baru bentuk lama tetapi diberi makna lama untuk menghindari kejutan budaya. Ini terjadi pada masyarakat transisi yang mana proses akulturasi masih disadari

d. Bentuk baru dengan makna baru

Penampilan bentuknya menghadirkan bentuk baru dan makna baru karena terjadi perubahan paradigma arsitektur secara total dalam akulturasi, kebudayaan lama ditinggalkan, kalaupun dipakai hanya sebagai tempelan

Gambar 2. Penampang melintang timur-barat Desa Kemiren

(3)

LOCAL WISDOM-JURNAL ILMIAH ONLINE, ISSN: 2086-3764

Salah satu faktor adanya perubahan awal adalah masuknya islam yang menggeser kepercayaan lama (animisme dan hindu ciwa) namun tidak merubah konsep awal sehingga bentukan tetap dengan makna baru, hal ini dibuktikan dengan bentukan rumah yang tetap seperti masa kerajaan dahulu sedangkan budaya berkembang dengan sinkretisme islam-hindu. Di era modern ini perubahan kembali terjadi karena masuknya teknologi sehingga kecenderungan muncul bentukan baru dengan makna baru yang mana mulai menghilangkan citra kawasan sebagai kawasan tradisional. Berdasarkan penelitian sebelumnya (2002 & 2008) sudah ada bentuk pelestarian dengan mengetahui karakteristik Using di desa Kemiren baik dalam fisik maupun nonfisik. Permasalahan yang diangkat dari eksisting yang masih ada akan dicari nilai-nilai lokal khususnya penggunaan ruang rumah dalam aspek sosial, budaya dan agama apakah masih sesuai dengan kondisi asal ataukah sudah mengalami perubahan konsep.

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian pada tulisan ini adalah analisis deskriptif-eksploratif dari lingkup diakronis dengan membahas pengaruh tradisi baik aktivitas sosial, budaya dan agama terhadap ruang rumah tinggal yang digunakan. Obyek berupa Desa Kemiren bersifat given dari penelitian sebelumnya yang mana pada studi ini diambil fokus yang belum dikaji.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Aspek Sejarah

Using merupakan keturunan raja Blambangan sekitar abad 18-20, dengan diwarnai sejarah yang kelam.

1). Kerajaan Blambangan didirikan oleh Raja Wiraraja dari Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, kerajaan Blambangan menjadi perebutan kerajaan di Bali, Pasuruan dan Mataram Islam, bahkan VOC. Desakan itu menyebabkan resistensi terhadap luar Blambangan atau disebut Osing/Using yang berarti tidak berpihak. Resistensi ini membentuk konsep permukiman.

2) Tahun 1965, pasca pemberontakan PKI, penduduk banyak yang menjadi korban. Sebagai catatan, lagu genjer-genjer diciptakan oleh warga Banyuwangi

3) Tahun 1998, tersiar isu ilmu hitam sehingga banyak warga yang ahli kesaktian menjadi sasaran pembunuhan

Bukti fisik sejarah desa Kemiren adalah pohon durian merah yang masih tersisa dari pembabatan hutan dan jalan utama desa yang merupakan acuan permukiman masyarakat yang berkembang secara linier mengikuti jalan tersebut.

3.2. Aspek Demografis

Menurut Aliyah dalam Nur (2009) menyatakan bahwa permukiman terbentuk dari kesamaan profesi. Sebagian besar penduduk di Kemiren adalah berprofesi bidang kesenian seperti gandrung, barong, angklung, gedogan, kuntulan, jaran kecak, mocoan lontar dan bordah. Namun selain bidang kesenian juga dalam bidang pertanian. Masyarakat yang masih percaya pada Dewi Sri yang memberikan kesuburan padi yang ditanam diwujudkan dengan selamatan menanam padi. Pada tahun 1998 jumlah penduduknya berjumlah 2663 jiwa dengan didominasi oleh laki-laki (53%) dan pertumbuhan penduduk 0,3% pertahun. Angka natalitas yang semakin meningkat akan mempengaruhi pertumbuhan permukiman.

3.3. Aspek Arsitektural

Perkembangan penduduk yang timbul dari sifat tertutup dan saling curiga akibat sejarah yang kelam dan budayanya tidak ingin dicampuri menyebabkan bentukan rumah yang tertutup, meskipun sekarang sudah mulai tergerser modernisasi. Kondisi yang tertutup ini menyebabkan ruang dalam gelap ditambah tidak ada jendela. Konsep ini sedikit berbeda dengan daerah lain seperti di Sasak, Lombok yang menyatakan bahwa ketika memasuki rumah akan seperti kembali dalam rahim ibu, meskipun keduanya sama kondisi gelap. Selain itu masih menganggap dengan nilai kosmologis bahwa rumah merupakan pusat semesta.

Proses pendirian rumah Using tidak menuntut upacara dan ritual yang rumit seperti halnya didaerah Jawa lainnya. Cukup dengan mengadzani dan bersembahyang dirumah ketika pertama kali didirikan, kemudian mengadakan selamatan. Pendirian rumah Using ditentukan dengan melihat arah hadap rumah dan hari kematian orang tua. Orientasi ke Utara untuk hari Kamis, Timur untuk hari Selasa, Selatan untuk hari Rabu, dan Barat untuk hari Senin atau Minggu. Bilamana di salah

(4)

Volume: III, Nom or: 1, Halaman: 01 - 08 , Februari 2011. Nilai Guna Ruang Rumah Tinggal Suku Using Banyuwangi Dlam Kegiatan Sosial, Budaya dan Agama Irawan Setyabudi

LOCAL WISDOM-JURNAL ILMIAH ONLINE, ISSN: 2086-3764

satu hari tersebut ternyata bertepatan dengan hari kematian orang tua, orang using memilih untuk menghindari hari tersebut.

Besar rumah tidak bergantung kepada besar kecilnya suatu keluarga, tetapi bergantung pada kemampuan pemilik dalam membangun persil yang tersedia, karena satu rumah hanya dihuni satu keluarga batih saja. Rumah anak akan diletakkan dilahan paling depan (terdekat) dengan jalan utama, dan orang tua akan mengalah mendapatkan lahan yang paling belakang (terjauh) dari jalan utama. Lahan hunian bagi orang Using, ibarat “lahan kesinambungan” antara dirinya dengan generasi berikutnya.

1) Konsep tata ruang

Konsep tata ruang dalam seperti rumah di Jawa umumnya yang menganggap bagian dalam rumah adalah sesuatu yang privat, namun yang membedakannya dengan adanya sejarah yang kelam menjadikan rumah bersifat tertutup. Penerapannya adalah tidak ada jendela, sehingga sirkulasi udara dan pencahayaan kurang. Hal ini secara kosmologis tidak serta merta ruang dalam rumah seperti ‘rahim ibu’ sebagai tempat mencari ketenangan (istirahat). Pola ruang dalam linear mulai dari pintu masuk depan berada ditengah dan membagi sisi rumah secara simetris. Ketika

Gambar 3. Beberapa contoh fasade rumah di Kemiren

Sumber : Setyabudi, 2011

Gambar 5. Pola ruang dalam Sumber : Nur, 2009 Gambar 4. Pola ruang dalam

(5)

LOCAL WISDOM-JURNAL ILMIAH ONLINE, ISSN: 2086-3764

memasuki rumah, bagian depan rumah yaitu bale (bersifat publik, profan dan cahaya cukup terang). Pada bagian lebih dalam yaitu jrumah atau inti rumah, bagian ini hanya bisa diakses oleh penghuni dan kerabat karena sifatnya privat atau orang lain dengan seizin pemilik. Ruang ini gelap tanpa ada pencahayaan alami. Selanjutnya adalah pawon atau dapur dengan sifat ruang servis/semiprivat, cahaya bisa masuk pada pintu belakang sehingga cukup terang. Dapur juga sering dipakai untuk persiapan acara selamatan penduduk. Jika pemilik cukup kaya, ada ruang transisi antara jrumah dan pawon yaitu pendopo yang fungsinya seperti ruang keluarga. Ruang dalam juga menganut prinsip dualitas dan sentralitas. Disebut dualitas karena adanya keterpasangan yang saling berlawanan seperti yang diungkapkan oleh Levi-Strauss dalam Waterson (1997) yaitu zona laki-laki-perempuan, adanya zona sakral-profan, gelap-terang dan kesimetrisan (kanan-kiri) bangunan. Tidak adanya pintu di samping menyebabkan konsep linear (Closed Ended Plan) semakin kuat. Transisi pada setiap ruang diwujudkan dalam pembatas gebyok atau panel knock-down yang berukir di setiap dinding tengah.

Selain inti rumah yang terdiri atas bale, jrumah dan pawon, bagian luar rumah terdiri atas halaman depan, amper, ampok dan halaman samping. Kebutuhan akan bagian luar rumah ini bersifat sekunder-tersier. Amper atau ampiran berfungsi ‘menerima’ tamu untuk mampir meskipun sebatas untuk tetangga, wujudnya adalah teras rumah. Ada sedikit hal yang berlawanan bahwa selain sifat tertutup, juga memiliki sifat terbuka yang dalam pembentukan ruang disebut exclusion process. Rapoport (1977) menyatakan bahwa proses ini menyebabkan adanya ‘batas’dan menekankan pada identitas sosial sehingga membagi ‘kota’ menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan sifat (homogeneity) dan kelompok masyarakat yang mempunyai perbedaan sifat (diversity). Smith (1990:1) juga berpendapat bahwa keinginan untuk berkelompok, membuat terjadinya teritori yang dikontrol oleh kelompok tersebut. Jadi exclusion process ini adalah suatu proses yang berawal dari dalam individu yang memiliki kesamaan karakter dengan individu yang lain dan membatasi individu yang berbeda karakter untuk berinteraksi sehingga dalam kasus ini ada proses privatisasi.

Ampok merupakan ruang tambahan yang terdapat di samping kanan-kiri/serambi rumah berfungsi sebagai ruang transisi dari luar dan dalam rumah. Ada hal yang menarik sebagai ciri rumah tradisional yaitu lumbung atau tempat untuk menanam padi. Meskipun dalam proses pembentukan permukiman, kebanyakan penduduk memiliki kesamaan dalam hal kesenian, juga ada sisi agraris sebagai petani. Lumbung diletakkan pada bagian depan rumah atau terpisah yang menyebabkan banyak tejadi pencurian padi, sehingga pada saat ini letak lumbung padi dimasukkan ke dalam rumah yang pada umumnya diletakkan di dalam pawon.

Perubahan pola ruang terjadi setelah kemerdekaan, pada masa sebelumnya adalah kebalikan dengan arah orientasi membelakangi jalan dan menghadap sawah dan ladang. Pawon berada di bagian depan dengan tujuan menyamarkan bale sebagai ruang pertemuan, dengan dinding depan dilengkapi dengan roji yang berguna untuk mengintip situasi di luar rumah. Perubahan pola ruang di dalam rumah tidak berpengaruh terhadap pola permukiman secara fisik tetapi berpengaruh terhadap pola pergerakan masyarakat di dalam permukiman masyarakat.

Rumah Using yang dibangun pada masa lalu memiliki orientasi kosmologis, yaitu Utara-Selatan. Yang dipengaruhi oleh kepercayaan terdahulu,dimana rumah tidak boleh menghadap gunung (orientasi terhadap kaidah agama) selain itu juga harus menghadap jalan. Dalam tradisi agama Hindu juga hampir sama yaitu gunung atau tempat lebih tinggi dipakai sebagai arah orientasi pembentukan permukiman berdasarkan arah Nawa Sanga. Hal ini cukup beralasan bahwa dahulunya warga memeluk animisme dan Hindu yang dapat diartikan bentukan baru tetapi makna tetap.

Gambar 6. Orientasi kosmologis Sumber : Setyabudi, 2011

Gambar 7. Orientasi pertumbuhan Sumber : Setyabudi, 2011

Permukiman Jalan

(6)

Volume: III, Nom or: 1, Halaman: 01 - 08 , Februari 2011. Nilai Guna Ruang Rumah Tinggal Suku Using Banyuwangi Dlam Kegiatan Sosial, Budaya dan Agama Irawan Setyabudi

LOCAL WISDOM-JURNAL ILMIAH ONLINE, ISSN: 2086-3764

Dalam proses pembentukan permukiman tentu dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah, maka dibutuhkan lagi luas ruang yang lebih. Umumnya orang tua memiliki luas lahan yang lebih sehingga rumah keturunannya diberikan bagian di depannya sampai batas jalan desa. Rumah anak pertama diletakkan pada bagian terdepan.

2). Karakteristik struktural dan formal

Bentukan rumah tradisional banyak mengambil potensi lokal berupa penggunaan materialnya, selain itu juga tipologi bentuknya yang hampir sama dengan daerah lainnya. Atap terbagi menjadi tiga bentukan yaitu cerocogan yang hampir sama dengan rumah kampung pada umumnya (terdiri atas dua sisi atap/pelana), baresan terdiri atas tiga sisi yang biasanya terdapat pada desa tradisional seperti di baran, Malang, dan tikel balung terdiri atas empat sisi. Bentukan ini mirip dengan jenis atap rumah jawa yang juga terdiri atas berbagai macam jenis. Materialnya juga bermacam seperti daun kelapa yang dikeringkan, tanah liat dan ijuk. Permukiman Using mudah dikenali dengan karakteristik atapnya, yang mana perbedaan ini tidak berhubungan dengan stratifikasi masyarakat. Untuk rumah-rumah yang sudah berubah, jenis atap yang digunakan sebagian besar tidak mengikuti adat Using dan bentuknya seperti bangunan modern pada umumnya.

Dinding sebagai batas dengan luar memiliki peran penting dalam konsep permukiman yang tertutup, apalagi tidak adanya jendela. Dinding berupa gedheg berbahan dari anyaman bambu tipis sehingga udara dan cahaya dapat masuk namun kurang optimal. Sela-sela anyaman pada dinding, oleh warga dahulu dipakai sebagai sarana pengintaian terhadap kondisi di luar rumah. Dinding fasade berupa gebyog papan kayu. Lantai rumah banyak yang masih berupa tanah ditinggikan, sedangkan yang sudah berubah menggunakan lantai ubin. Pemaknaan atas identitas rumah tinggal ini dapat disebut sebagai labeling process.

3.4. Peran Ruang Rumah dalam Kegiatan Ritual Keagamaan, Sosial dan Budaya

Arsitektur bukan hanya merupakan sebuah bangunan tunggal tetapi melingkupi tempat hubungan sosial, alam dan dengan Tuhan. Dalam hubungan antara manusia dengan lingkungannya terdapat proses pencarian keseimbangan. Hal inilah yang menyebabkan proses perubahan ruang dan dipelajari dalam Psychology and Environment oleh Levy-Leboyer (1982:143) dalam materi perkuliahan Wulandari (2009).

Faktor penyebab terjadinya perubahan ruang, diantaranya adalah: a. Karakter individu dalam ruang

b. Karakter masyarakat penghuni ruang

c. Faktor teknologi yang terkait langsung dengan bentukan arsitektural Gambar 8. Bentuk atap

Sumber : Arystianto, 2008

Gambar 9. Jenis material atap Sumber : Arystianto, 2008

Gambar 10. Dinding rumah

Sumber : Arystianto, 2008 Gambar 11. Lantai rumah Sumber : Arystianto, 2008

(7)

LOCAL WISDOM-JURNAL ILMIAH ONLINE, ISSN: 2086-3764

Proses perubahan ruang merupakan suatu hirarki yang mana dimulai dari individu yang kecil sampai pada suatu kelompok yang besar dalam masyarakat. Proses perubahan ruang terjadi pada kegiatan di masyarakat khususnya menggunakan bagian dari rumah mereka.

Kegiatan ritual budaya berkaitan dengan daur hidup yaitu selamatan kehamilan,kelahiran, khitanan/ngoloni, perkawinan, dan kematian. Pola pergerakan dan ruang yang digunakan dalam kegiatan selamatan daur hidup adalah sebagai berikut:

a) Selamatan kehamilan terdiri dari tiga tahapan, yaitu Nyelameti Telu, Tingkeban, dan Nyelameti Procot. Ruang yang digunakan adalah ruang mikro, yaitu di dalam rumah. Selamatan kelahiran terdiri dari empat tahapan, yaitu Sepasar, Selapan, Nyukit Lemah dan Mudun Lemah. Pola pergerakannya adalah memusat di dalam rumah. Ruangan yang digunakan adalah rumah dan pekarangan rumah. Zona ruang tetap berjalan sesuai dengan fungsinya yang mana pawon sebagai semiprivat sebagai tempat menyiapkan makanan, beberapa tetangga dan kerabat bisa masuk. Bale sebagai ruang penerima prosesi selamatan berfungsi sebagai ruang publik, sedangkan jrumah tempat untuk melahirkan hanya dukun bayi dan keluarga yang bisa masuk.

b) Khitanan pada masyarakat Using disebut sebagai ngoloni. Setelah arak arakan, proses selanjutnya dilaksanakan di dalam dan dipekarangan rumah sehingga bersifat meso. c) Masyarakat Using di Desa Kemiren mengenal beberapa bentuk perkawinan, yaitu

perkawinan nyolong, perkawinan ngleboni, dan perkawinan angkat-angkatan. Upacara perkawinan pada masyarakat Using terjadi 2 kali, yaitu upacara perkawinan dan upacara surup. Pada upacara perkawinan dilaksanakan di rumah mempelai wanita dan ruang publik bertempat di halaman rumah.

d) Upacara kematian tidak jauh berbeda dengan tradisi dalam agama islam yang dianut oleh masyarakat. Setelah orang yang meninggal dimakamkan, kerabat dan warga desa mengadakan tahlilan dan selamatan untuk mendoakan roh-roh yang meninggal yang kegiatannya dilaksanakan di dalam rumah.

Kegiatan budaya yang terkait dengan selamatan sebagian besar melibatkan masyarakat skala makro dengan banyak menggunakan ruang luar sebagai tempat ritual (ruang publik) namun pada tahapannya masih menggunakan bagian ruang rumah, selamatan tersebut antara lain adalah :

a) Selamatan ider bumi, di adakan setiap satu tahun 1 kali yang dilaksanakan pada hari ke-2 Syawal atau hari kedua pada saat Idul Fitri. Selamatan Barong Iderbumi bertujuan supaya masyarakat Desa Kemiren terhindar dari segala malapetaka. Selamatan Barong Iderbumi diikuti oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Proses kegiatan selamatan Iderbumi terdiri dari 4 tahap, yaitu mempersiapkan tumpeng pecel pitik di pawon, berkumpul di rumah barong, arak-arakan, dan makan bersama. Ruang rumah digunakan hanya tahap awal yaitu berada di pawon untuk menyiapkan makan dengan melibatkan anggota keluarga.

b) Selamatan tumpeng sewu, juga dikenal sebagai selamatan Bersih Desa. Selamatan Tumpeng Sewu atau Bersih Desa dilaksanakan pada hari senin atau hari jumat pada minggu pertama bulan Haji. Masyarakat menggelar selamatan Bersih Desa dengan cara makan bersama seribu nasi tumpeng (tumpeng sewu) dengan menu pecel pitik. Ruang yang dipakai adalah jalan dan halaman yang dianggap sakral sedangkan bagian rumah tidak dipakai. Pawon Jrumah Bale 1.proses persiapan makanan dan selamatan Pawon Jrumah Bale 2. Selamatan kelahiran di ruang tamu Pawon Jrumah Bale 3.prosesi kelahiran dalam jrumah

Gambar 12. Diagram proses ritual kelahiran Sumber : Setyabudi, 2011

(8)

Volume: III, Nomor: 1, Halaman: 01 - 08 , Februari 2011. Nilai Guna Ruang Rumah Tinggal Suku Using Banyuwangi Dlam Kegiatan Sosial, Budaya dan Agama Irawan Setyabudi

LOCAL WISDOM-JURNAL ILMIAH ONLINE, ISSN: 2086-3764

c) Selamatan Rebo Wekasan, adalah selamatan yang dilakukan pada setiap titik mataair yang bertujuan supaya air yang dikeluarkan dari setiap titik mata air terhindar dari segala macam penyakit. Selamatan ini diadakan pada hari terakhir di Bulan Safar. Jumlah mata air di Kemiren berjumlah 27 buah, oleh sebab itu selamatan digelar sebanyak 27 kali tanpa menggunakan bagian ruang rumah

d) Mocoan Lontar

Tradisi untuk mengusir bencana selain selamatan. Lontar yang dibaca, berisi kisah perjalanan Nabi Yusuf dan ditulis menggunakan huruf Arab dan berbahasa Jawa kuno. Pembacaan lontar selalu didahului ritual selamatan menggunakan sesaji khusus terbuat dari berbagai masakan dan hasil bumi. Di arena pembacaan lontar dibuat altar kecil. Di tempat ini lontar Yusuf diletakkan, termasuk sesaji yang digunakan. Ruang yang digunakan adalah halaman rumah.

Kegiatan religi terkait dengan ruang di luar rumah yaitu masjid. Mayoritas penduduk desa Kemiren adalah muslim dan hanya terdapat satu buah masjid, sehingga ruang yang digunakan hanya berpusat pada masjid. Kegiatan religi yang dilakukan cukup banyak, namun terdapat beberapa kegiatan yang selalu dilakukan dan dirayakan secara meriah yang di antaranya adalah acara Suroan, Isra Mi’raj, Nuzulul Quran, Muludan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Kegiatan religi tersebut merupakan acara yang melibatkan seluruh umat Islam yang ada di Desa Kemiren.

Dari berbagai kegiatan di atas, peran rumah sangat penting pada prosesi kelahiran yang melibatkan ruang mikro dalam rumah dan ruang meso yaitu pekarangan. Untuk acara yang lainnya banyak melibatkan halaman luar rumah, jalan dan masjid. Seiring berjalannya waktu, banyak tradisi yang hanya diikuti oleh orang tua karena kaum muda sudah kurang ada minat, namun beberapa telah diajarkan pada kaum muda agar rantai tradisi tidak terputus.

IV. KESIMPULAN

Rumah dalam permukiman tradisional memiliki nilai-nilai yang penting, mengandung sisi kosmologis semesta dan kegiatan-kegiatan ritual budaya dan agama yang berpengaruh dalam kehidupan sosial. Hal inilah dapat disebutkan bahwa rumah itu hidup (living) seperti disebutkan Waterson. Desa Kemiren yang kental terhadap budaya Using memiliki identitas tersendiri terhadap rumah. Berkaitan dengan pembagian hierarki ruangnya berupa bale, jrumah dan pawon juga memberikan kontribusi terhadap penggunaan ritual daur hidup khususnya prosesi kelahiran, sedangkan ritual lainnya banyak menggunakan ruang luar. Konsepsi rumah yang awalnya tertutup akhirnya juga bergeser semakin terbuka, selain adanya pengaruh islam masuk juga karena terknologi.

REFERENCES

[1] Arystianto, Deny P. (2008). Simbol Arsitektur Bangunan Tradisional Using dan Bangunan Publik Kawasan Wisata Bahari Pantai Watudodol Banyuwangi. Skripsi Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya

[2] Nur, Tri Kurnia H.M. (2009). Pelestarian Pola Permukiman Masyarakat Using di Desa Kemiren Kabupaten Banyuwangi. Arsitektur E-Journal, Volume 2 Nomor 3

[3] [3] Rapoport, Amos. (1969). House Form and Culture. Prentice Hall Inc. New York

[4] [3] Suprijanto, Iwan, (2002), Rumah Tradional Using: Konsep Ruang Dan Bentuk, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 30 No 1, Juli 2002, Surabaya

[5] [4] Waterson, Roxana. (1997). The Living House: An Anthropology of Architectural in South East Asia. National University of Singapore: Thomas and Hudson

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Suku Using, Banyuwangi  Sumber : Dinas Pekerjaan  Umum Kabupaten Banyuwangi   dan google earth, 2010
Gambar 2. Penampang melintang timur- timur-barat Desa Kemiren
Gambar 5. Pola ruang dalam  Sumber : Nur, 2009 Gambar 4. Pola ruang dalam
Gambar 6. Orientasi kosmologis  Sumber : Setyabudi, 2011
+3

Referensi

Dokumen terkait