• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIDANG ARSIP DAN MUSEUM"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

JAWABAN PEMERINTAH

TERHADAP

PEMANDANGAN UMUM DPR-RI

TENTANG

RUU PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN RUU PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983

TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

RUU PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN i983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILA! BARANG DAN JASA

DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

RUU PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

RAPAT PARIPURNA DPR-RI 17 SEPTEMBER 1994

REPUBLIK INDONESIA

(2)

JAWABAN PEMERINTAH TERHADAP

PEMANDANGAN UMUM DPR-RI TEN TANG

RUU PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNOANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA

CARA PERPAJAKAN, RUU PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991, RUU PERU-BAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO MOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, DAN RUU PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

17 SEPTEMBER 1994

Saudara Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yang Terhormat,

Dalam mengawali Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umurn Dewan Perwakilan Rakyat tentang RUU Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, RUU Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, RUU Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1 983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan RUU Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 2 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, perkenankanlah terlebih dahulu kami mengajak Saudara Ketua dan para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

yang

terhormat untuk bersama-sama memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena kita masih diberikan kekuatan dan kesempat-an untuk rnelkesempat-anjutkkesempat-an pengabdikesempat-an bersama kepada bkesempat-angsa dkesempat-an negara, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan berda-sarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1 945.

1

(3)

Selanjutnya ijinkan kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Saudara Pimpinan Sidang yang terhormat, yang telah memberikan kesempat-an kepada Pemerintah untuk menyampaikkesempat-an Jawabkesempat-an Pemerintah terhadap Pemandangan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, dalam Pembicaraan Tingkat II RUU tentang Perubahan Undang-undang Perpajakan pada hari ini. Pan-dangan Dewan, baik berupa penilaian, tanggapan, saran, usulan maupun berupa pendapat dan pertanyaan yang telah disampaikan dalam forum Dewan yang terhormat ini pada tanggal 12 September 1994, sungguh merupakan masukan dan bahan pertimbangan yang sangat berharga bagi Pemerintah dalam menyempurnakan RUU Perubahan Undang-undang Perpa-jakan. Berkenaan dengan itu, perkenankanlah kami atas nama Pemerintah menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas dukungan dan berbagai masukan berharga yang diajukan oleh masing-masing Fraksi terha-dap RUU Perubahan Undang-undang Perpajakan.

Kita bersama menyadari bahwa potensi perpajakan kita memang masih luas, dan penerimaan negara dari perpajakan merupakan sarana yang sangat efektif untuk lebih meningkatkan keadilan dan pemerataan pem-bangunan. Untuk itulah pemerintah bertekad untuk bekerja lebih keras mengupayakan peningkatan penerirnaan pajak dari potensi pajak yang belum tergali. Upaya menggali potensi pajak harus dilakukan secara terus-menerus dalam jangka panjang dan memerlukan prasarana dan sarana yang memadai termasuk kesadaran masyarakat membayar pajak. Sejalan dengan itu pembe-rian pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha perlu lebih ditingkatkan kualitas dan jangkauannya. Demikian pula perlakuan yang sama dan penerapan azas keadilan akan makin ditingkatkan, dan kebijaksanaan

perpa-ja~n yang dilaksanakan harus diusahakan agar tidak menghambat sektor-sektor produktif dalam masyarakat, bahkan sistem perpajakan nasional perlu diupayakan agar dapat membantu penciptaan iklim investasi yang sehat. Saudara Ketua dan Anggota Dewan Yang Terhormat,

Setelah mengemukakan beberapa hal yang berkaitan dengan kebijak-sanaan perpajakan secara umum yang akan dilaksanakan dalarn tahun-tahun mendatang, perkenankanlah kini Pemerintah memberikan uraian yang lebih

(4)

rinci sebagai jawaban dan tanggapan terhadap pemandangan umurn yang telah disampaikan oleh Fraksi-fraksi dalam Dewan Perwakilan Rakyat, rnasing-rnasing Fraksi Karya Pembangunan oleh Anggota Yth. Sdr. H. Jusuf Talib,S.H., Fraksi ABRI oleh Anggota Yth. Sdr. Soetrisno R., Fraksi Persatuan Pembangunan oleh Anggota Yth. Sdr. Ors. H.M. Mukrom As'ad, serta Fraksi Partai Demokrasi Indonesia oleh Anggota Yth. Sdr. Setyadji Lawi; B.A. Untuk maksud tersebut pertama-tama kami ingin menanggapi berbagai permasa-lahan umum yang berkaitan dengan RUU Perubahan Undang-undang Perpa-jakan.

Menanggapi pendapat Fraksi Karya Pembangunan, Fraksi ABRI, Fraksi Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia mengenai substansi yang seharusnya diatur secara transparan dalam Undang--undang, Pemerintah berpendapat sebagai berikut. Pada dasarnya Pemerintah sepen-dapat bahwa prinsip transparansi perfu diakomodasikan dalam keernpat RUU. Namun demikian kiranya perlu diberikan kemungkinan untuk rnenyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa meninggalkan prinsip kepas-tian hukum. Dengan dernikian perlu dihindarkan pengaturan teknis yang terla~

lu kaku namun tetap diberikan batasan-batasan agar prinsip-prinsip dasar tetap dipegang.

Sehubungan dengan pertanyaan dari Fraksi Persatuan Pernbangunan mengenai upaya memperluas coverage ratio, dapat dijelaskan bahwa unsur utama di dalam peningkatan coverage ratio, yaitu perbandingan antara pene-rimaan pajak dengan potensi teoritis, umumnya tergarnbar dari sernakin jelasnya peraturan perpajakan, meningkatnya kepatuhan Wajib Pajak,

ter-til.mya administrasi perpajakan dan semakin efektifnya aparatur perpajakan. RUU Perubahan Undang-undang Perpajakan ini merupakan upaya dalam memperjelas peraturan perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Begitu juga pengembangan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensitikasi pemungutan pajak, komputerisasi .:idministrasi perpajakan, serta peningkatan sumber daya manusia yang dilakukan pemerintah adalah dalam upaya rne-ningkatkan coverage ratio. Detam prakteknya peningkatan coverage ratio antara lain tergambar dari peningkatan tax ratio yaitu perbandingan antara penerimaan pajak dengan PDB. Pemerintah mengharapkan dengan r~UU

3

(5)

Perubahan Undang-undang Perpajakan, secara bertahap tax ratio dapat di-tingkatkan, sehingga peranan pajak semakin meningkat dalam rangka mewujudkan kemandirian pembiayaan pembangunan.

Saudara Ketua dan Anggota Dewan Yang Terhormat,

Mengenai masalah pajak langsung dan pajak tidak langsung seperti yang ditanyakan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut. Dengan diturunkannya tarif Pajak Penghasilan dan perubahan lapisan Penghasilan Kena Pajak, maka disadari bahwa pada awal berlakunya perubahan Undang-undang Perpajakan ini, kemungkinan peningkatan penerimaan pajak tidak langsung akan lebih tinggi dari pajak langsung. Di masa-masa yang akan datang dengan tercip-tanya iklim usaha yang lebih kondusif, peningkatan kesadaran Wajib Pajak, hasil perluasan subyek dan obyek pajak diharapkan laju penerimaan pajak langsung akan lebih tinggi dari pajak tidak langsung, sehingga pada gilirannya akan semakin meningkatkan peranan penerimaan pajak langsung dalam penerimaan negara.

Sehubungan dengan saran dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia mengenai Dinas Luar dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Seperti diketahui, Dinas Luar adalah unit yang berhubungan langsung dengan Wajib Pajak di dalam kerangka official assessment yang mempunyai tugas utama mencari data dan sekaligus sebagai bahan untuk penetapan pajak. Dengan adanya pembaharuan sistem perpajakan pada tahun 1 983 kontak langsung antara petugas pajak (khususnya Dinas Luar) dengan Wajib Pajak dikurangi untuk memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak dalnm memenuhi sendiri kewajiban perpajakannya sesuai dengan prinsip self assessment. Dalam pembaharuan sistem perpajakan ini, salah satu fungsi Dinas Luar yaitu pencarian data dan penguasaan wilayah telah ditampung dalam organisasi yang baru melalui unit pencarian data dan pengolahan data yang diperoleh dari berbagai instansi serta data intern Direktorat Jenderal Pajak. Dengan memanfaatkan data yang dirniliki tersebut, Direktorat Jenderal Pajak dapat menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

(6)

Dalam kaitan dengan pernyataan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia tentang minimnya peranan secara langsung dari administrasi pajak dalarn mencapai penerimaan, dapat kiranya diberikan penjelasan sebagai berikut. Dalam sistem self assessment aktivitas pemenuhan kewajiban pajak oleh Wajib Pajak khususnya kewajiban membayar sendiri pajaknya merupakan unsur utama. Sebagai pelengkap dari unsur utama tersebut, withholding dianut untuk memperkuat sistem self assessment sehingga unsur penerimaan dari withholding juga akan sangat penting. Apabila kedua unsur di atas tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak, baru aparatur pajak akan mengeluarkan ketetapan pajak. Oleh karena itu peranan dari administrasi pajak dalam sistern self assessment meliputi ketiga unsur diatas yaitu pembinaan dan pengawasan baik pembayaran pajak sendiri maupun withholding, serta penetapan pajak dalam hal masih diperlukan.

Saudara Ketua dan Anggota Dewan Yang Terhormat,

Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Fraksi Persatuan Pem-bangunan mengdnai penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nomor Pengu-kuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan serta penerbitan Surat Kete-tapan Pajak Kurang Bayar Tahun Pajak 1983, dapat dijelaskan sebagai beri-kut. Menurut Ketentuan Undang-undang Nornor 6 Tahun 1 983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, daluwarsa untuk renetapan dan penagihan pajak adalah lima tahun sedangkan untuk tuntutan pidana di bidang perpajakan ad al ah 10 tahun. Oleh karena itu terhadap Tahun Pajak 1983 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara jabatan tidak mungkin lagi diterbitkan. Adapun Nomor Pokok Wajib Pajak atau NcJmor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak tetap dapat diterbitkan secara jabatan untuk meme-nuhi kewajiban perpajakan yang belum daluwarsa. Perlu ditegaskan bahwa kewajiban pajak tidak timbul karena pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak tetapi berdasarkan keadaan sebenarnya menu rut Undang-undang.

Berkenaan dengan pertanyaan yang diajukan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan mengenai pembetulan Surat Pemberitahuan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Berhubung ada tiga jenis kekeliruan yang akan dibetulkan maka terdapat tiga jenis sanksi. Adapun ketiga jenis pembetulan Surat Pemberitahuan tersebut adalah :

(7)

1. Pembetulan Surat Pemberitahuan yang dikaitkan dengan batas waktu dua tahun ad a

I

ah pembetulan yang be rs

if

at urn um yaitu membetulkan keke-liruan pengisian Surat Pemberitahuan, sehingga pembetulan dapat beraki-bat menambah atau mengurangi pajak yang seharusnya dibayar.

2. Pembetulan Surat Pemberitahuan yang dikaitkan dengan belum dilaku-kannya penyidikan adalah pembetulan terhadap perbuatan Wajib Pajak yang melanggar ketentuan pidana (alpa), dengan maksud agar tidak dilakukan tindakan penyidikan.

3. Pembetulan Surat Pemberitahuan setelah batas waktu dua tahun adalah pembetulan yang bersifat pemutihan atau pengampunan pajak agar Wajib Pajak melaporkan keadaan yang sebenarnya.

Mengenai penetapan batas waktu pembetulan selama dua tahun, dipandang cukup bagi Wajib Pajak untuk meneliti dan membetulkan Surat Pernberita-huan bila terdapat kesalahan, mengingat kepada Wajib Pajak telah diberikan kepercayaan yang besar sesuai sistem self assessment. Apabila batas waktu dua tahun dilampaui Wajib Pajak tidak dapat lagi melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan yang bersif at urn um.

Mengenai masa daluwarsa seperti yang ditanyakan oleh Fraksi ABRI, Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi Persatuan Pembangunan, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Daluwarsa yang selarna ini berlaku lima tahun ternyata dalam praktek telah disalahgunakan oleh Wajib Pajak yang tidak beriktikad baik. Daluwarsa penetapan diubah dari lima tahun menjadi sepuluh tahun dengan alasan bahwa sesuai dengan sistern self assessment seyogyanya tidak ada daluwarsa, namun mengingat ketentuan Pasal 28 ayat (6) RUU Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 yang mewajibkan menyimpan buku, catatan dan dokumen lain selama sepu-luh tahun, maka daluwarsa ditetapkan selama sepuluh tahun. Daluwarsa penagihan ditetapkan sama dengan daluwarsa penetapan agar setiap utang pajak yang ditetapkan dapat ditagih.

Menanggapi usul Fraksi Karya Pembangunan agar tidak menyebut nomor pasal Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam Pasal 21 Ran-cangan Undang-undang ini, Pemerintah sependapat dengan Fraksi Karya Pembangunan.

(8)

Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Fraksi Partai Dernokrasi Indonesia dan Fraksi Karya Pembangunan serta menanggapi usul Fraksi ABRI mengenai penyanderaan kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Penyanderaan merupakan tindakan penagihan yang terakhir, yang hanya akan dilaksanakan apabila ada dugaan yang sangat kuat bahwa Penanggung Pajak mampu melunasi kewajiban perpajakannya, tetapi dengan sengaja menyembunyikan harta kekayaannya yang menjadi obyek sita. Penyanderaan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 23 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 sejalan dengan surat Mahkamah Agung Nomor: MA/Pemb/0109/1984 tanggal 11 Januari 1984 yang ditujukan kepada Direktur Jenderal PUOD yang antara lain menyatakan bahwa penyanderaan untuk kepentingan negara dan yang bersifat umum masih dapat dilakukan. Dalam pelaksanaan penyanderaan harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Penang~

gung Pajak dapat mengajukan sanggahan atau gugatan kepada Pengadilan Negeri apabila yang bersangkutan menganggap penyanderaan tidak sah. Oleh karena itu penyanderaan dilakukan dengan sangat selektif dan semata-mata demi kepentingan negara.

Saudara Ketua dan Anggota Dewan Yang Terhormat,

Sehubungan dengan pertanyaan dan saran Fraksi Persatuan Pemban-gunan, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia, Fraksi Karya Pembangunan, dan Fraksi ABRI mengenai badan peradilan pajak dapat disarnpaikan penje-lasan sebagai berikut. Mengenai badan peradilan pajak dapat kiranya dikemu-kakan bahwa pertimbangan utama dibentuknya badan peradilan pajak ini adalah untuk menyelesaikan sengketa pajak yang semakin hari dirasakan semakin banyak dan semakin kompleks. Karenanya, penyelesaian sengketa ini difakukan oleh suatu peradilan yang khusus didirikan untuk maksud terse-but dan bersifat independen dan mempunyai keahlian khusus di bidang perpa-jakan serta dapat menyelesaikan sengketa pajak dalam waktu yang relatif cepat. Adapun mengenai nama, ruanQ lingkup kewenangan, proses peradilan, struktur organisasi dan hal-hal lain mengenai badan peradilan ini kami usulkan untuk dikembangkan lebih lanjut dalam pembicaraan tingkat Ill.

(9)

Menjawab pertanyaan yang diajukan Fraksi Partai Demokrasi Indone-sia mengenai cara mengetahui dan menentukan "Pengurus" dalam arti luas dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk menentukan orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan antara lain adalah orang yang berwenang untuk mengeluarkan uang, menandatangani kontrak-kontrak yang mengikat perusahaan dengan pihak ketiga, menandatangani letter of credit, dokumen yang berkaitan dengan ekspor-impor dan akad kredit dengan bank, dan orang yang diketahui berdasarkan keterangan pihak ketiga pada waktu dilakukan pemeriksaan.

Saudara Ketua dan Anggota Dewan Yang Terhormat,

Sehubungan dengan pertanyaan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia mengenai ancaman pidana kumulatif sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dapat dijelaskan sebagai berikut. Ancaman pidana kumulatif bertu-juan agar ketentuan perpajakan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, mengingat kepada Wajib Pajak telah diberikan kepercayaan vang besar untuk menetapkan pajak sendiri berdasarkan sistem self assessment. Oleh karena itu, dengan tidak dipenuhinya ketentuan perpajakan sewajarnya diancam dengan sanksi yang berat.

Sementara itu menanggapi pertanyaan dari Fraksi ABRI mengenai masalah seberapa jauh wewenang yang dapat diberikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil telah disesuaikan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dapat dijelaskan sebagai berikut. Wewenang Penyidik melaku-kan tindamelaku-kan lain yang perlu untuk kelancaran penyidimelaku-kan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 ayat (2) huruf k dimaksudkan agar tindakan Penyidik yang tidak disebut secara spesifik dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf j, mempunyai dasar hukum. Hal tersebut juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 7 ayat ( 1) huruf j yaitu 11

mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jaw ab", dan juga ditegaskan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M .04. PW.07 .07 Tahun 1 984 tentang Wewenang PPNS dalam Pasal 2 huruf i yaitu "mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

(10)

dapat dipertanggungjawabkan". Mengenai Pasal 44 ayat (3) bahwa Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyi-dikannya kepada Penuntut Umum adalah merupakan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 dan telah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, karena bunyi lanjutan Pasal 44 ayat (3) adalah " . . . sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1 981 tentang Hukum Acara Pidana".

Saudara Ketua dan Anggota Dewan Yang Terhormat,

Sehubungan dengan pertanyaan dari Fraksi Persatuan Pernbangunan dan saran dari Fraksi Karya Pembangunan mengenai pengenaan dan pelaksa-naan PPh atas warisan yang belum terbagi maka dapat dijelaskan sebagai berikut. Warisan yang belum terbagi sebagai Subyek Pajak adalah warisan yang memberikan penghasilan sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat ( 1) huruf a kalimat terakhir yaitu bahwa penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subyek Pajak pengganti dirnaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat di.laksanakan. Sedangkan warisan itu sendiri bukan rnerupakan obyek pajak. Ketentuan ini pada dasarnya sama dengan ketentuan yang sek.arang berlaku dalam Undang-undang Perpajakan.

Sedangkan mengenai pemberian fasilitas perpajakan untuk perusa-haan Reksa Dana, perusaperusa-haan Modal Ventura, pengusaha kecil serta koperasi yang ditanyakan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan, Pemerintah berpendapat bahwa fasilitas perpajakan yang diatur dalam RUU

Perubahan

Undang-undang Pajak Penghasilan telah cukup mendukung pengernbanyan usaha-usaha tersebut.

Sehubungan dengan pertanyaan Fraksi Persatuan Pembangunan mengenai harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) RUU Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan, Pemerintah berpendapat bahwa perlu diadakan pembatasan pengecualian harta hibahan sebagai Obyek Pajak agar tidak terjadi penyalahgunaan hibah untuk nwnghindarkan

(11)

pengenaan pajak atas pengalihan harta sebagaimana yang banyak terjadi sekarang ini dan merugi'kan negara.

Beralih kepada pertanyaan Fraksi Persatuan Pembangunan mengenai pengenaan pajak atas penghasilan Yayasan dapat dijelaskan bahwa atas penghasilan yayasan yang berasal dari bantuan, sumbangan, hibah dan dividen tidak merupakan Obyek Pajak. Namun apabila yayasan melakukan usaha yang bersifat komersial sewajarnya keuntungan atas usaha tersebut dikenakan Pajak Penghasilan. Seperti Wajib Pajak lainnya, tambahan ke-kayaan neto Yayasan yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak merupakan Obyek Pajak.

Sehubungan dengan pertanyaan dari Fraksi Persatuan Pembangunan mengenai pengenaan PPh atas transaksi saham atau sekuritas di pasar modal dapat dijelaskan sebagai berikut. Pengenaan pajak atas penghasilan dari transaksi tersebut bukan merupakan pajak atas tranksaksinya tetapi atas penghasilan yang mungkin diterima atau diperoleh dari transaksi tersebut. Disadari bahwa transaksi penjualan dan pembelian saham atau sekuritas di bursa efek berjalan silih berganti dengan cepat, mencakup banyak investor dan dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu sangat sulit untuk menghitung secara pasti penghasilan yang diterima atau diperoleh masing-masing investor, baik investor dalam negeri maupun investor luar negeri, dari transaksi tersebut untuk selama tahun pajak. Agar pengenaan pajak atas penghasilan tersebut dapat dilaksanakan dengan rnudah, pasti, cepat dan pada waktunya serta agar tidak menghambat kelancaran transaksi di pasar modal, maka atas penghasilan tersebut dikenakan pajak melalui pemungutan yang bersifat final dan dipungut kepada penjual berdasarkan pada nilai transaksi.

Menanggapi saran dari Fraksi ABRI tentang kemungkinan pemberian perlakuan khusus kepada koperasi sebagaimana pemberian fasilitas pajak bagi penanam modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat dijelaskan bahwa dalam RUU Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan, Pemerintah juga bermaksud untuk mendorong perkembangan Koperasi yang diwujudkan dalam beberapa ketentuan yaitu:

(12)

a. Pasal 4 ayat ( 3) huruf

a

bahwa bantuan, sumbangan dan hibah yang

diterima Koperasi bukan obyek pajak;

b. Pasal 4 ayat {3) huruf f bahwa dividen yang diterima koperasi tidak

termasuk Obyek Pajak;

c. Pasal 23 ayat (2) huruf b bahwa bunga simpanan

yang

dibayarkan oleh Koperasi dipotong PPh sebesar

1 5 %

dan bersifat final;

d. Pasal 23 ayat (4) huruf f bahwa pembagian SHU Koperasi tidak dipotong

PPh Pasal

23;

e. Pasal 23 ayat (4) huruf g bahwa bunga simpanan sampai jumlah tertentu yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya

tindak

dipotong

PPh

Pasal

23;

f. Pasat 31 A mengenai fasilitas perpajakan bagi penanam modal di bidang usaha-usaha tertentu dan atau di daerah~daerah tertentu berlaku juga bagi Koperasi.

Saudara Ketua dan Anggota Dewan Yang Terhormat,

Atas pertanyaan dari Fraksi Karya Pembangunan dan dukungan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia mengenai biaya penelitian dan pengem~ bangan dapat dijelaskan bahwa biaya penelitian dan pengernbangan yang dapat diperlakukan sebagai biaya perusahaan sesuai dengan Pas al 6 ayat ( 1) adalah biaya yang nyata-nyata dikeluarkan untuk ptmelitian dan pengem-bangan perusahaan. Sedangkan mengenai standar/ukuran untuk menentukan komponen kegiatan penelitian dan pengembangan perusahaan dapat dijelas-kan bahwa komponen dan standar biaya kegiatan tersebut ditentudijelas-kan sesuai dengan kelaziman menurut jenis usaha masing-masing.

Sehubungan dengan pertanyaan Fraksi Persatuan Pembangunan mengenai perbedaan fasilitas perpajakan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 26 ayat {4) dapat dijelaskan bahwa pemberian kompensasi keru-gian adalah kesempatan yang diberikan kepada Wajib Pajak untuk rnemper-hitungkan kerugian usaha yang diderita dalam suatu tahun pajak dengan keuntungan tahun-tahun berikutnya, pad a umumnya 5 tahun kecuali' ditetap-kan oleh Menteri Keuangan bisa diberiditetap-kan pafing lama 8 1ahun. Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) pada prinsipnya dikenakan pajak sama seperti

11

(13)

i

Wajib Pajak badan dalam negeri, kecuali penghasilan BUT setelah dikurangi pajak masih dikenakan lagi pajak dengan tarif 20% sesuai dengan Pasal 26 ayat (4). Untuk mendorong agar laba setelah pajak diinvestasikan kembali di Indonesia, maka Pemerintah memandang perlu untuk tidak mengenakan pemotongan pajak sebesar 20% atas laba setelah pajak tersebut sebagai-mana diatur dalam Pas al 26 ayat (4). Deng an demikian pengecualian terse but bukan merupakan tax holiday karena atas penghasilan BUT tersebut telah dikenakan pajak dengan tarif penuh.

Pemerintah sependapat dengan saran Fraksi ABRI agar penentuan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) mampu mendukung kebutuhan hidup minimum untuk setiap keluarga. Pada dasarnya kriteria yang digunakan dalam menetapkan besarnya PTKP diselaraskan dengan kebutuhan minimum secara nasional untuk setiap keluarga. Untuk menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian, diatur ketentuan yang memungkinkan pemerintah menyesuaikan besarnya PTKP.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Karya Pembangunan mengenai pengenaan PPh atas penghasilan suami istri secara terpisah berdasarkan keputusan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a kiranya perlu dijelaskan bahwa pada prinsipnya sesuai dengan Pasal 8 ayat (1 ), penghasilan wanita yang telah kawin digabungkan dengan penghasilan suami. Namun apabila suami-isteri terse but tel ah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, maka baik suami maupun isteri tetap mempunyai kewa-jiban pajaknya sendiri-sendiri. Ketentuan ini hanya diterapkan pada mereka yang tunduk pada KUH Perdata. Apabila suami-isteri tersebut telah nyata-nyata hidup berpisah sedangkan mereka tidak tunduk pada KUH Perdata, untuk memberikan perlakuan yang adil, Pemerintah dapat menyetujui masing-masing suami dan isteri mempunyai kewajiban pajak sendiri-sendiri sesuai dengan penghasilannya.

Sehubungan dengan pertanyaan dari Fraksi Karya Pembangunan mengenai pembedaan perlakuan antara cadangan pengeluaran untuk rekla-masi di bidang pertambangan dengan biaya reboisasi, dapat dijelaskan bahwa reklamasi dilakukan atas sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui

12

(14)

sehingga perlu dilakukan pencadangan agar pada waktu selesainya penam-bangan telah tersedia dana yang cukup untuk melakukan reklarnasi sesuai dengan kewajiban perusahaan. Sedangkan biaya reboisasi rnerupakan biaya rutin atas sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan pembebanannya setiap tahun sebagai biaya diperkenankan.

Mengenai saran dari Fraksi Karya Pembangunan agar ditetapkan standar harga pasar yang dipakai sebagai patokan penilaian sebagairnana disebut dalam Pasal 10

ayat

(2) dan ayat (3) dapat dijelaskan bahwa RUU

Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan menganut harga pasar karena PPh dikenakan atas keuntungan yang diterima oleh Wajib Pajak secara nyata.

Saudara Ketua dan Anggota Dewan Yang Terhormat,

Sehubungan dengan pertanyaan dari Fraksi Partai Dernokrasi Indone-sia mengenai penilaian kembali aktiva dapat dijelaskan bahwa pada prin-sipnya penilaian aktiva dilakukan berdasarkan nilai perolehannya. Oleh karena itu Wajib Pajak tidak diperkenankan untuk melakukan penilaian kernbali aktiva kecuali yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Atas selisih lebih dari penilaian kembali aktiva tersebut dikenakan Pajak Penghasilan, karena beban penyusutan didasarkan atas dasar nilainya yang baru setelah revaluasi tersebut, yang berarti akan menambah biaya penyusutan dan rnengurangi PPh-nya.

Menanggapi pertanyaan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia mengenai perubahan metode penyusutan dapat dijelaskan bahwa berdasarkan undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1991 penyusutan atas aktiva bukan bangunan hanya dapat dilakukan berdasarkan saldo menurun dengan berdasarkan penggo-longan aktiva yang bersangkutan. Dalam RUU Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan Pemerintah menganggap perlu untuk memungkinkan penggunaan rnetode penyusutan berdasarkan metode garis lurus disamping metode saldo menurun asal dilaksanakan dengan taat asas sebagairnana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11 A.

(15)

sewaktu-waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan.

Menanggapi pendapat Fraksi Partai Demokrasi Indonesia mengenai perlunya kepastian hukum tentang perbandingan antara pinjaman dengan modal sendiri (debt equity ratio), pemerintah sependapat bahwa kemungki-nan dapat terjadi rekayasa modal yang disebutkan sebagai pinjaman sehingga mengurangi besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar. Oleh karena itu dalam Pas al 18 ayat ( 1) dipandang perlu untuk mengatur tentang debt equity ratio yang ketentuannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ketentuan seper-ti ini juga sudah tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1 983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor

7

Tahun

1991,

karena pengaturan pajak tentang debt equity ratio memang sudah lazim di banyak negara sebagai bagian dari upaya untuk menangkal praktek penge-cilan pajak melalui transfer pricing.

Menanggapi pendapat Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi Persatu-an PembPersatu-angunPersatu-an mengenai dasar pertimbPersatu-angPersatu-an perlunya menambah keten-tuan baru untuk mendorong dan meningkatkan pembangunan secara lebih merata ke seluruh bidang usaha dan diseluruh wilayah Indonesia dapat disampaikan sebagai berikut. Adapun mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan fasilitas perpajakan yang akan diberikan melalui peraturan pernerintah sebagaimana dimaksud dalam Pas al 31 A dapat dijelaskan bahwa f asilitas tersebut tidak dimaksudkan untuk diberikan kepada Wajib Pajak tertentu melainkan diberikan untuk menarik para investor untuk menanarnkan investa-sinya di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu yang belum berkembang. Oleh karena itu batasan-batasan mengenai bidang-bidang usaha dan atau daerah-daerah tertentu dan bentuk-bentuk fasilitas perpajakan yang akan diberikan disesuaikan dengan kebijaksanaan pem-bangunan nasional sesuai dengan kebutuhan dan keadaan obyektif yang dihadapi.

(16)

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Karya Pembangunan mengenai penyerahan Barang Kena Pajak yang tidak atas dasar jual beli dapat dimasuk-kan dalam pengertian penyerahan kena pajak dapat dijelasdimasuk-kan bahwa penye-rahan tertentu yang tidak atas dasar jual beli, misalnya pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma, diperlakukan sama dengan penyerahan atas dasar jual beli dengan pertimbangan untuk memberikan perlakuan yang sama atas konsumsi. Ketentuan mengenai Dasar Pengenaan Pajak tetap diperlukan untuk dapat menghitung besarnya pajak yang terutang.

Atas pertanyaan dari Fraksi Karya Pembangunan mengenai apakah cakupan pengertian Daerah Pabean dalam Pasal 1 huruf a sama dengan yang dimaksudkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan yang rancangannya sedang dipersiapkan, perlu kiranya dijelaskan sebagai berikut. Dalam RUU Perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, pengertian Daerah Pabean pada dasarnya telah mengacu pada RUU Kepa-beanan. Selama RUU di bidang kepabeanan belum disahkan menjadi Undang-undang, maka pengertian Daerah Pabean mengacu pada pengertian Daerah Pabean sesuai ketentuan pada Undang-undang di bidang kepabeanan yang masih berlaku. Dengan demikian pengertian Daerah Pabean menurut RUU Perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, mengacu pada penger-tian Daerah Pabean yang sekarang berlaku.

Menanggapi µertanyaan yang diajukan oleh Fraksi Karya Pembangun-an mengenai macam dPembangun-an jenis barPembangun-ang mewah serta batasPembangun-an atau kriteria yang dipergunakan untuk menetapkan suatu barang termasuk kategori barang ~ewah, dapat dijelaskan sebagai berikut. Penentuan macam dan jenis Barang Kena Pajak tertentu yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilandasi dengan pertimbangan antara lain:

1. Barang-barang tersebut dikonsumsi oleh konsumen yang berpenghasilan tinggi, sehingga perlu dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk menyeimbangkan beban paiak antara konsumen yang berpengha-silan rendah dengan konsumen yang berpenghaberpengha-silan tinggi;

2. Barang-barang tersebut konsumsinya perlu dikendalikan, misalnya minuman keras dan kendaraan rnewah.

(17)

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Karya Pembangunan mengenai penyerahan Barang Kena Pajak yang tidak atas dasar jual beli dapat dimasuk-kan dalam pengertian penyerahan kena pajak dapat dijelasdimasuk-kan bahwa penye-rahan tertentu yang tidak atas dasar jual beli, misalnya pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma, diperlakukan sama dengan penyerahan atas dasar jual beli dengan pertimbangan untuk memberikan perlakuan yang sama atas konsumsi. Ketentuan mengenai Dasar Pengenaan Pajak tetap diperlukan untuk dapat menghitung besarnya pajak yang terutang.

Atas pertanyaan dari Fraksi Karya Pembangunan mengenai apakah cakupan pengertian Daerah Pabean dalam Pasal 1 huruf a sama dengan yang dimaksudkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan yang rancangannya sedang dipersiapkan, perlu kiranya dijelaskan sebagai berikut. Dalam RUU Perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, pengertian Daerah Pabean pada dasarnya telah mengacu pada RUU Kepa-beanan. Selama RUU di bidang kepabeanan belum disahkan menjadi Undang-undang, maka pengertian Daerah Pabean mengacu pada pengertian Daerah Pabean sesuai ketentuan pada Undang-undang di bidang kepabeanan yang masih berlaku. Dengan demikian pengertian Daerah Pabean menurut RUU Perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, mengacu pada penger-tian Daerah Pabean yang sekarang berlaku.

Menanggapi µertanyaan yang diajukan oleh Fraksi Karya Pembangun-an mengenai macam dPembangun-an jenis barPembangun-ang mewah serta batasPembangun-an atau kriteria yang dipergunakan untuk menetapkan suatu barang termasuk kategori barang mewah, dapat dijelaskan sebagai berikut. Penentuan macam dan jenis Barang Kena Pajak tertentu yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilandasi dengan pertimbangan antara lain:

1. Barang-barang tersebut dikonsumsi oleh konsumen yang berpenghasilan tinggi, sehingga perlu dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk menyeimbangkan beban pajak antara konsumen yang berpengha-silan rendah dengan konsumen yang berpenghaberpengha-silan tinggi;

2. Barang-barang tersebut konsumsinya perlu dikendalikan, misalnya minuman keras dan kendaraan rnewah.

(18)

Saudara Ketua dan Anggota Dewan Yang Terhormat,

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Karya Pembangunan rnengenai apakah perubahan tarif Barang Mewah akan cukup efektif dalarn rnengoreksi efek-efek perernbesan yang kurang menguntungkan, terutama terhadap golongan penduduk berpenghasilan rendah dan golongan

yang

rnengkonsurn-si sebagian besar pendapatannya, dapat dijelaskan sebagai berikut. RUU Perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai mernungkinkan Penwrin-tah untuk menentukan tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk jenis-jenis Barang Kena Pajak tertentu yang disesuaikan dengan penghasilan dari masyarakat tertentu yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak tersebut.

Sehubungan dengan pertanyaan dari Fraksi ABRI mengenai kemung·· kinan pemberian perlakuan khusus pengenaan Pajak Pertarnbahan Nilai dengan tarif 0% bagi suatu komoditi tertentu, misalnya pengelolaan sektor kelautan serta perlakuan khusus yang dikaitkan dengan program lnpres Desa Tertinggal, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut. Ketenturm Pasal 168

J

dalam RUU Perubahan Undang-undang Pajak Pertamb~han Nilai, dimaksud-kan sebagai wadah yang memungkindimaksud-kan bagi Pemerintah untuk rnemberidimaksud-kan fasilitas baik 1menyangkut tempat, penyerahan, impor, serta pernanf a at an

Barang Kena Pajak tidak berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar negeri. Saudara Ketua dan Anggota Dewan Yang Terhormat,

Atas pertanyaan dari Fraksi ABRI mengenai dasar pertimbangan apa yang digunakan Pemerintah, terutama dalam hal rnenyarnakan perlakuan terhadap pemakaian sendiri Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diproduksi dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya cJengan pema~

kaian sendiri tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, perlu kiranya dijelaskan sebagai berikut. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dipungut atas konsumsi dalam negeri. Perbedaan dalam cara mendapatkan barang atau jasa untuk dikonsumsi tidak boleh mengakibatkan perbedaan . perlakuan Pajak Pertambahan Nilai. Dilandasi ofeh dasar pemikiran di atas, maka memproduksi/membuat sendiri Barang Kena Pajak atau rnenyerahkan Jasa Kena Pajak tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan harus

21

(19)

juga dikenakan PPN. Namun demikian dengan mempertimbangkan kemam-puan pengawasannya, RUU ini rnembatasi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai hanya atas kegiatan membangun sendiri. Dalam pelaksanaannya, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan akan dilakukan secara selektif, sehingga tidak termasuk misalnya pembangunan dan perbaikan rumah-rumah pribadi yang memang layak dibangun sendiri.

Menanggapi pertanyaan Fraksi Persatuan Pembangunan mengenai pemberian fasilitas perpajakan untuk menunjang kebijaksanaan pemerataan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional diperlukan adanya kebijakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan untuk pelaksanaan program pembangunan nasional. Dalam Pasal 168 RUU Perubahan Undang-undang Pajak Pertambah-

j

an Nilai ditegaskan bahwa dalam upaya untuk lebih menunjang peningkatan penanaman modal, peningkatan ekspor, penciptaan lapangan kerja, pelestari-an lingkungpelestari-an hidup, dpelestari-an kebijakpelestari-an lainnya, Pemerintah dapat memberikpelestari-an perlakuan khusus di bidang Pajak Pertambahan Nilai.

Atas pertanyaan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia mengenai apakah ada kaitan antara pengenaan Pajak Ekspor atas CPO dengan tidak dikenakannya Pajak Pertambahan Nilai atas barang-barang hasil pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, dan hasil-hasil agraria lainnya, dapat kiranya dijelaskan sebagai berikut. Pengenaan Pajak Ekspor atas CPO pada dasarnya bersifat sementara dan bukan untuk tujuan penerimaan negara, tetapi dimaksudkan untuk mengendalikan harga jual minyak goreng di dalam negeri.

Saudara Ketua dan Anggota Dewan Yang Terhormat,

Sehubungan dengan pertanyaan dari Fraksi Karya Pembangunan mengenai KetP.ntuan Nilai jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebesar Rp 7 juta dapat disampaikan penjelasan bahwa angka Rp 7 juta sebelumnya telah diberlakukan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1291/KMK.04/1991 tanggal 31 Desember 1991, akan

(20)

tetapi hanya untuk bangunan saja. Ketentuan baru ini akan 1T1ernberikan rasa keadilan bagi Wajib Pajak yang hanya memiliki, menguasai, dan/atau meman-faatkan bumi saja dengan nilai tertentu yang mencakup obyek pajak sekitar

17 juta dan menyebabkan penerimaan berkurang sekitar Rp 95 milyar.

Sehubungan dengan saran Fraksi Karya Pembangunan tentang

kompensasi bagi daerah yang berkurang penerimaannya akibat diberlaku-kannya ketentuan tersebut, dapat dialokasikan dari penerirnaan PBS bagian Pemerintah Pusat sebesar 10% yang dikembalikan kepada Daer ah Tingkat II, Pemerintah sangat menghargai usul tersebut. Sehubungun dengan

pertan-yaan mengenai penentuan NJOP dapat dijelaskan bahwa dalarn prakteknya penentuan NJOP telah dilaksanakan bersama-sama dengan Pemerintah Daerah mulai· dari tingkat Kelurahan dan Kecamatan.

Mengenai pengenaan PBB yang tinggi untuk kelornpok masyarakat yang berpenghasilan rendah, Pemerintah sependapat dengan Fraksi Karya Pembangunan untuk memberikan pengurangan atas beban PBB tersebut secara kolektif sebelum diterbitkannya SPPT yang dilaksanakan melalui aparat kelurahan/desa maupun kecarnatan.

Menjawab pertanyaan yang diajukan Fraksi ABAI mengenai Nilai Jual Obyek Pajak, Pemerintah berpendapat bahwa NJOPTKP sebesar Rp7 juta adalah cukup wajar dan nilainya mendekati harga RSS. Mengenai pengenaan PBB secara progresif dapat dijelaskan bahwa hal ini telah dilaksanakan dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 1 2 Tahun 1994 dimana bagi rumah pribadi yang nilainya Rp 1 milyar ke atas dikenakan NJKP sebesar 40%, yang berarti dua kali lipat dari tarif efektif PBB yang lain.

Sehubungan dengan usul Fraksi Persatuan Pernbangunan tentang perlu ditingkatkannya NJOPTKP menjadi sebesar Rp 10 juta untuk Pedesaan dan Rp 7 juta untuk Perkotaan masing-masing untuk tanah dan bangunan, dapat dijefaskan bahwa dengan mempertimbangkan berbagai aspek termasuk penerimaan Pemda, Pemerintah berpendapat angka Rp 7 juta untuk tanah dan bangunan pada saat ini dirasa sudah cukup wajar.

23

(21)

Saudara Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yang Terhormat,

Akhirnya perkenankanlah Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan dan Dewan yang terhormac atas dukungan maupun kesempatan yang diberikan kepada kami untuk menyampaikan jawaban Pemerintah terhadap Pemandangan Umum Dewan yang terhormat mengenai keempat Rancangan Undang-undang yang kami ajukan. Untuk lebih menyempurnakan keempat rancangan undang-undang tersebut, Pemerintah akan selalu rnembuka diri terhadap saran-saran perbaikan sesuai dengan aspirasi yang hidup di kalangan Dewan. Pemerintah berharap dan percaya bahwa dengan saling pengertian dan kerjasama yang baik, tugas bersama Dewan dan Pemerintah akan dapat diselesaikan sesuai dengan azas musya-warah untuk mencapai mufakat, serta dapat memenuhi aspirasi bersama.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan petunjuk, bimbingan dan perlindunganNya kepada kita semua dalam melaksanakan tugas-tugas konstitusional untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa dan negara.

Sekian dan terima kasih.

Jakarta, 1 7 September 1994 A.N. PEMERINTAH MENTERI KEUANGAN RI

MAR'IE MUHAMMAD

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

Referensi

Dokumen terkait

Sekali lagi saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah bekerja sama dengan baik dan memberikan

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara dengan melakukan wawancara kepada pihak terkait yaitu Manajer SDM dan sales adapun pertanyaan wawancara yang diberikan

- Referensi Personil Tenaga Ahli dari Pengguna jasa (Ahli Teknik Sipil / Team Leader, Ahli Geologi, Ahli Kelautan). 6 Bukti status

Seluruh asli dokumen penawaran Saudara yang telah diunggah melalui LPSE Kota Medan. Asli Dokumen Kualifikasi sesuai data isian kualifikasi dan fotokopinya sebanyak

Dalam hubungan itu, temuan lapangan yang dilaporkan Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menunjukkan bahwa justru fakta akan proses pemiskinan dan

HUBUNGAN HUKUM HUMANITER DENGAN HAK ASASI MANUSIA “MENURUT ALIRAN INTEGRATIONIS DAN ALIRAN SEPARATIS”1. OLEH:

Setelah melakukan PPL, praktikan dapat mengambil beberapa pelajaran, antara lain: a.) praktikan mendapat pengetahuan mengenai proses tata kerja, interaksi, dan proses

[r]