• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Apoteker Dalam Saintifikasi Jamu Dan QA- Kelompok 5

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Apoteker Dalam Saintifikasi Jamu Dan QA- Kelompok 5"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS SAINTIFIKASI JAMU

“Peran Apoteker dalam Saintifikasi Jamu dan Quality

Assurance”

Disusun oleh : Kelompok V

1. Khrisna Agung C. (142211101033) 2. Annisa Rahmawati (142211101034) 3. Indri Dyah K. (142211101035) 4. Egi Garcinia Z. (142211101036) 5. Hendra Widya P. (142211101037) 6. Jessica Dwi P. (142211101038) 7. Harkina Dian R. (142211101039) 8. Rini Oktaviana (142211101040)

PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat merupakan komponen pendukung utama dalam pelayanan kesehatan, sehingga upaya pembangunan kesehatan senantiasa memperhatikan pembangunan di bidang kefarmasian. Pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat essential melalui “Kebijakan Obat Nasional”. Demi menunjang ketersediaan dan pemerataan bahan baku obat maka pengembangan obat tradisional menjadi alternatif karena bahan baku obat itu sendiri berada di sekitar kita. Pemerintah pun dalam salah satu subsistem SKN disebutkan bahwa pengembangan dan peningkatan obat tradisional ditujukan agar diperoleh obat tradisional yang bermutu tinggi, aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun dalam pelayanan kesehatan formal (Kepmenkes 381 Tentang Kebijakan Obat Tradisional, 2007).

Pada tahun 2007, total nilai impor bahan farmasi penting mencapai USD 211,7 juta, 59% diantaranya adalah bahan baku antibiotika. Dan Indonesia tercatat mengimpor bahan farmasi dari RRC sebesar USD 76,5 juta, dan dari India sebesar USD 25 juta. Kondisi ini senantiasa mendorong pemerintah untuk berusaha menggapai kemandirian di bidang industri kefarmasian nasional. Indonesia termasuk mega-centre keaneka-ragaman hayati, namun belum banyak dimanfaatkan dan ekspor masih banyak dalam bentuk raw material (bahan mentah dan simplisia kering) yang memiliki nilai ekonomi rendah jika dibanding dengan ekstrak ataupun produk siap pakai (herbal terstandar, fitofarmaka ataupun sediaan kosmetik). Diperkirakan 40.000 spesies tumbuhan hidup di muka bumi ini, 30.000 di antaranya tumbuh di Indonesia. Dari jumlah itu, baru sekitar 180 spesies yang dimanfaatkan sebagai bahan oleh industri obat tradisional dan industri kosmetika.

Industri jamu pada saat ini berkembang cukup pesat. Peningkatan produksi jamu olahan antara lain disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan jumlah industrinya. Diperkirakan investasi di bidang industri obat tradisional sangat menjanjikan keuntungan dan masih untuk dikembangkan mengingat potensinya sebagai salah satu unsur pelayanan kesehatan masyarakat. Perkembangan ini didukung oleh semakin tingginya minat

(3)

masyarakat terhadap jamu tradisional, karena harganya lebih murah dan dipandang lebih aman.

Berdasarkan permenkes nomor 03 tahun 2010 tentang saintifikasi jamu antara lain

menjelaskan tentang tujuan pengaturan ketenagaan serta pencatatan tentang saintifikasi jamu, namun dalam Permenkes tersebut belum dikaji tentang peran dari apoteker. Di sisi

lain, menurut Undang undang No. 36 tahun 2009 pasal 108 serta Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Praktik kefarmasian menyatakan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan undang-undang.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Tradisional

Menurut Permenkes No 246/Menkes/Per/V/1990 yang dimaksud dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut, yang secara traditional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Sedangkan yang dimakasud dengan Obat Bahan Alam adalah semua jenis sediaan bahan alam yang belum sampai pada isolat murni. Menurut Keputusan Badan POM Nomor : HK.00.05.4.2411 tahun 2006, yang termasuk ke dalam obat bahan alam Indonesia ada 3 kategori yaitu Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Penggolangan ini dapat dilihat pada gambar 2.1.

Sediaan Berupa Simplisia Jamu

dengan Bukti Empiris

Sediaan Berupa Ekstrak Obat Herbal

dengan Bukti Ilmiah Terstandar

secara Pra Klinis (OHT)

Sediaan Berupa Ekstrak

dengan Bukti Ilmiah Fitofarmaka

secara Klinis

Gambar 2.1. Kategori Obat Bahan Alam Indonesia (BPOM, 2006)

2.2 Jamu, Obat Herbal Tersdandar dan Fitofarmaka

Obat Herbal Terstandar adalah obat bahan alam yang bentuk sediaannya sudah dalam bentuk ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang tersdandarisasi. Herbal terstandar juga harus melewati uji praklinis seperti uji keamanan (toksisitas jangka pendek dan jangka panjang), Uji Manfaat (efek farmakologinya), dan harus memenuhi kualiatas pembuatan herbal yang terstandar. Menurut BPOM, Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria Aman sesuai persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah (uji Praklinik, dan terlah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku dalam produk jadi.

(5)

Fitofarmaka adalah Obat herbal terstandar yang sudah naik kelas menjadi fitofarmaka karena sudah melalui uji klinis. Dosis pada hewan percobaan dikonversikan ke dosis aman bagi manusia. Dari uji inilah diketahui keamanan efek pada hewan percobaan dan manusia. Menurut BPOM fitofarmaka harus memenuhi kriteria seperti obat herbal terstandar hanya saja ditambahakan dengan bukti khasiat harus sudah melalui uji klinis.

Jamu adalah obat bahan alam yang sediannya masih berupa simplisia sederhana seperti ramuan dari tumbuh-tumbuhan, hewan, pelikan dan mineral yang mempunyai khasiat sebagai obat.. Khasiat dan keamanannya baru terbukti secara empiris berdasarkan pengalaman turun temurun. Disebut sebagai jamu bila sudah digunakan di masyarakat secara turun temurun melewati 3 generasi atau setara dengan 180 tahun. Menurut BPOM RI jamu harus memenuhi kriteria Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat berdasarakan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu. Perbedaan pokok antara obat modern dan obat tradisional ialah bahwa obat tradisional dalam pembuatannya tidak memerlukan bahan kimia, biasanya hanya memerlukan air dingin atau air panas sebagai penyeduhannya. Jadi zat berkhasiatnya tidak perlu dipisahkan terlebih dahulu, bahkan zat apa yang berkhasiat belum tentu diketahui secara pasti. Lagi pula obat tradisional mempunyai susunan yang jauh lebih kompleks daripada obat modern, sehingga dengan demikian untuk mempelajari susunan kimianya saja sudah lebih rumit (Depkes RI, 1995).

2.3 Proses Produksi Jamu

Proses produksi jamu dibagi menjadi 2 yaitu proses persiapan bahan baku dan proses pengolahan jamu.

1. Persiapan bahan baku a) Sortasi

Sortasi dibedakan menjadi 2 yaitu sortasi basah dan sortasi kering. Sortasi basah dilakukan pada saat bahan masih segar yang bertujuan untuk memisahkan bahan dari kotoran-kotoran yang berupa bahan-bahan yang mencemari hasil tanaman obat, misal tanah, kerikil, gulma dan rumput. Sedangkan sortasi kering bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian tanaman yang diinginkan dan pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering, misal pasir, tanah, kerikil, rambut serta bahan lain yang mencemari bahan pada saat pengeringan harus segera dihilangkan karena dapat berpengaruh pada kualitas simplisia (Widiyastuti, 2004).

(6)

Pencucian simplisia dilakukan untuk membersihkan kotoran yang melekat, terutama bahan-bahan yang berasal dari dalam tanah dan juga bahan-bahan yang tercemar pestisida. Pencucian bias dilakukan dengan menggunakan air yang berasal dari beberapa sumber sebagai berikut :

(1) Mata Air

Pencucian yang dilakukan dengan menggunakan air yang berasal dari mata air harus memperhatikan kemungkinan pencemaran yang diakibatkan oleh adanya mikroba dan pestisida.

(2) Sumur

Pencucian menggunakan air sumur, perlu memperhatikan pencemaran yang mungkin timbul akibat mikroba dan air limbah buangan rumah tangga.

(3) PAM

Pencucian menggunakan fasilitas air PAM (ledeng) sering tercemar oleh kapur khlor (Gunawan dan Sri, 2004). Pencucian bertujuan agar bahan bebas dari kotoran dan bahan bahan yang tidak dikehendaki. Pencucian dapat dilakukan dengan perendaman air (kalau perlu menggunakan air panas), dengan penyemprotan ataupun menggunakan alat pencuci dengan segala perlengkapannya (washing machine) dan lain-lain. Sebelum digunakan sebagai wadah, sebaiknya diadakan pencucian agar terhindar dari adanya kotoran-kotoran serta untuk menghilangkan bagian-bagian yang tidak dikehendaki baik logam halus pelapis dan sebagainya. Biasanya yang dipergunakan sebagai pencuci adalah air panas ataupun pencuci lainnya (Susanto, 1994).

c) Pengecilan Ukuran

Perajangan pada simplisia dilakukan untuk mempermudah proses selanjutnya, seperti pengeringan, pengemasan, penyimpanan. Perajangan biasanya hanya dilakukan pada simplisia yang tebal dan tidak lunak seperti akar, rimpang, batang dan lain-lain. Ukuran perajangan sangat berpengaruh pada kualitas bahan simplisia. Jika perajangan terlalu tipis dapat menambah kemungkinan berkurangnya zat yang terkandung dalam simplisia. Sebaliknya, jika terlalu tebal maka kandungan air dalam simplisia akan sulit dihilangkan. Tebal perajangan yang baik pada simplisia adalah 3-5 mm sehingga diperoleh ketebalan ideal simplisia kering yaitu 3-5 mm (Tilaar,2002).

(7)

Pengeringan dapat dilakukan langsung dibawah teriknya sinar matahari, diangin-anginkan atau dipanaskan pada suhu tertentu dalam ruang pengeringan, pengeringan daun digitalis misalnya pada suhu yang tidak lebih dari 60ºC. Pengeringan bertujuan mengurangi kadar air, sebab dengan keringnya bahan-bahan akan dapat dicegah :

a. Terjadinya reaksi enzimatik

b. Pertumbuhan bakteri dan cendawan (Kartasapoetra, 1992).

Pengeringan dengan memanfaatkan energi panas dari cahaya matahari langsung yang umum dilakukan. Beberapa jenis produk tanaman obat yang sering dikeringkan dengan sinar matahari langsung, meliputi bahan yang berasal dari akar, rimpang, kulit batang dan biji-bijian. Namun demikian simplisia bunga dan daun yang mengandung minyak atsiri tidak tepat bila dikeringkan dengan cahaya matahari langsung karena dapat menurunkan simplisia (Widiyastuti, 2004). Dalam pengeringan, keseimbangan kadar air menentukan batas akhir dari proses pengeringan. Kelembaban udara serta suhu udara pada simplisia kering biasanya mempengaruhi keseimbangan kadar air. Pada saat kadar air seimbang penguapan pada simplisia akan terhenti dan jumlah molekul air yang diserap oleh permukaan bahan. Laju pengeringan amat tergantung pada perbedaan antara kadar air simplisia dengan kadar air keseimbangan (Widiyastuti, 2004).

2. Pengolahan Jamu a) Penggilingan

Tiga tipe mesin yang biasa digunakan adalah plate mill, hammer mill, dan roller mill. Penggunaan mesin-mesin tersebut tergantung pada tipe produk yang akan digiling dan hasilnya seperti yang diharapkan. Penggilingan palu (hammer mill) merupakan aplikasi dari gaya pukul (impact force). Bahan masuk akan terpukul oleh palu yang berputar dan bertumbukan dengan dinding, palu atau sesama bahan. Akibatnya akan terjadi pemecahan bahan. Proses ini berlangsung terus hingga didapatkan bahan yang dapat lolos dari saringan di bagian bawah alat. Jadi selain gaya pukul dapat juga terjadi sedikit gaya sobek (Aman, 1992).

(8)

b) Pengayakan

Menurut Fellows (1990), laju pemisahan dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran partikel sifat alami bahan ayakan, amplitudo dan frekuensi goyangan ayakan dan keefektifan metode yang digunakan untuk mencegah pengeblokan ayakan. Tipe kasa banyak digunakan untuk mengayak bahan pangan kering seperti tepung, gula dan rempah-rempah. Masalah yang sering dihadapi yaitu:

 Pengeblokan, bila ukuran partikel hampir sama dengan ukuran lubang ayakan.  Partikel besar, dimana mengeblok kasa.

 Laju pemasukan bahan yang berlebih, dimana menyababkan pada kasa terjadi overloaded dan partikel kecil terhimpit partikel yang besar.

 Kelembaban tinggi yang menyebabkan partikel kecil menempel pada kasa atau mengumpil dan membentuk partikel berukuran lebih besar, sehingga melebihi ukuran dari kasa.

c) Pencampuran

Menurut Fellows (1990), pencampuran merupakan suatu proses untuk mendapatkan campuran yang seragam dari dua atau lebih komponen. Hal ini banyak diaplikasikan pada industri makanan untuk mengkombinasikan bahan sehingga didapatkan sesuatu secara fungsional atau karakteristik sensoris yang berbeda. Tingkat pencampuran yang didapatkan bergantung pada ukuran relatif partikel, bentuk dan densitas masing-masing komponen, efisiensi alat pencampur terhadap komponen, tendensi bahan untuk bercampur, kelembaban, karakteristik permukaan dan karakteristik untuk mengurai dari masing-masing komponen. Secara umum, bahan yang memiliki ukuran, bentuk, densitas yang serupa dapat menghasilkan campuran yang lebih seragam bila dibandingkan dengan bahan yang tidak serupa. Selama proses pencampuran, perbedaan properti dapat menyebabkan tidak bercampurnya sebagian dari komponen. Selain itu, penting untuk menentukan waktu pengadukan yang tepat. PERMENKES Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tetang Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.

(9)

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Peran apoteker dalam saintifikasi jamu

Menurut Permenkes no 3 tahun 2010 saintifikasi jamu adalah pemerolehan bukti ilmiah, terhadap jamu sebagai obat tradisional Indonsia, oleh dokter dan dokter gigi sebagai profesi bersumpah, dari suatu klaim penggunaan turun-temurun yang bertahap diarahkan menopang paradigma sehat yaitu promotif, preventif, rehabilitatif dan paliatif sebelum menuju indikasi kuratif melalui fasilitas layanan kesehatan. Saintifikasi jamu ini meurpakan proses penjembatanan antara penyedia layanan kesehatan yang berbasis herbal dan dilakukan oleh tenaga medis dengan penelitian dibidang herbal itu sendiri dalam rangka mempercepat promosi dan pemanfaatan herbal untuk kesehatan masyarakat.

Berdasarkan permenkes no 03 tahun 2010 tentang saintifikasi jamu antara lain

menjelaskan tentang tujuan pengaturan ketenagaan serta pencatatan tentang saintifikasi jamu, namun dalam Permenkes tersebut belum dikaji tentang peran dari apoteker. Di sisi

lain, menurut Undang undang No. 36 tahun 2009 pasal 108 serta Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Praktik kefarmasian menyatakan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut Peran dan tanggung jawab apoteker dalam saintifikasi jamu meliputi proses Pembuatan/ penyediaan simplisia dan penyimpanan, Pelayanan Resep mencakup skrining Resep, Penyiapan obat, Peracikan, pemberian Etiket, pemberian Kemasan Obat, Penyerahan Obat, dan Informasi Obat, Konseling. Monitoring Penggunaan Obat. Promosi dan Edukasi, penyuluhan Pelayanan Residensial (Home Care). Serta Pencatatan dan pelaporannya. Hal ini sesuai dengan paradigma pelayanan kefarmasian yang sekarang berkembang yaitu pelayanan kefarmasian yang berazaskan pada konsep Pharmaceutical Care, yaitu bergesernya orientasi seorang apoteker dari product atau drug oriented menjadi patient oriented. Konsep pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) merupakan pelayanan yang dibutuhkan dan diterima pasien untuk menjamin keamanan dan penggunaan obat termasuk

(10)

obat tradisional yang rasional, baik sebelum, selama, maupun sesudah penggunaan obat termasuk obat tradisional.

Peran apoteker dalam saintifikasi jamu diperlukan suatu tambahan pengetahuan meliputi Pengenalan tanaman obat, Formula jamu yang terstandar, Pengelolaan jamu di apotek (pengendalian mutu sediaan jamu, pengadaan, penyimpanan dan pengamanan jamu), Fitoterapi, Adverse reaction, Toksikologi, Dosis dan monitoring evalusi bahan aktif jamu, MESOT (Monitoring efek samping OT), Manajemen pencatatan dan pelaporan, Post

market surveilance, serta Komunikasi dan konseling. Berdasarkan riset yang dilakukan

oleh suharmiati et al. Menjelaskan bahwa peran dan tangung jawab apoteker lebih besar mulai dari skrining resep sampai diberikan kepada pasien pada rumah sakit diketiga kota diindonesia (yogyakarta, denpasar, surabaya), hasil yang diberikan tidak sesuai perundangan permenkes. Berdasarkan riset tersebut dapat disimpulkan peran apoteker saintifikasi jamu tentang preparasi jamu, sinergi dengan pengobatan konvensional dan meningkatkan penggunaan obat bahan alam sebagai pelayanan kesehatan tradisional. Di samping itu di dalam Permenkes khusus tersebut perlu dicantumkan tentang

Pharmaceutical Record yang dilakukan oleh seorang apoteker saintifikasi jamu. 3.2 Peran apoteker dalam QA (Quality Assurance) saintifikasi jamu

Konsep yang menjadi dasar pelayanan kesehatan adalah jaminan kualitas dari pelayanan pasien. Quality Assurance adalah rangkaian aktifitas yang dilakukan untuk memonitor dan meningkatkan penampilan sehingga pelayanan kesehatan seefektif dan seefisien mungkin. Quality Assurance juga dapat diartikan sebagai aktifitas yang berkontribusi untuk menetapkan, merencakan, mengkaji, memonitor, dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Aktifitas ini dapat ditampilkan sebagai akreditasi pelayanan farmasi, pengawasan tenaga kefarmasian atau upaya meningkatkan penampilan dan kualitas pelayanan kesehatan. Peningkatan kualitas dalam pelaksanaan dan praktek dari

pharmaceutical care dapat ditingkatkan dengan membuat perubahan pada sistem

pelayanan kesehatan atau sistem pelayanan kefarmasian.

Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 245/Menkes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri

Farmasi Pasal 10, suatu industri farmasi obat jadi dan bahan baku obat setidaknya harus

(11)

penanggung jawab produksi, pengawasan mutu (Quality Control/QC), dan pemastian mutu (Quality Assurance/QA).

QA bertanggung jawab untuk dengan berkaitan kualitas produk, sistem atau pelayanan dan pelatihan. Peran apoteker dalam perusahaan jamu untuk kualitas produk yaitu menentukan waktu panen tanaman obat, pengeringan, pembentukan simplisia sampai kesediaan dan akhirnya diberikan kepada pasien. Jika diruncingkan kembali, tugas Apoteker dalam Saintifikasi jamu ini yang berkaitan dengan QA atau Pemastian Mutu adalah apoteker bertugas untuk memastikan bahwa langkah-langkah dalam produksi sediaan jamu sudah sesuai dengan GMP. Mulai dari pemilihan bahan sampai dengan terbentuknya produk jadi. Berikut adalah tugas penjaminan mutu yang harus dilakukan oleh apoteker mulai dari GAP (Good Agricultular Product) atau pemilihan produk pertanian yang baik sebagai tanaman obat hingga Saintifikasi Jamu berkaitan dengan distribusi dan khasiat.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2005). Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional

yang Baik. Jakarta : BPOM RI.

Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2005). Penyiapan Simplisia Untuk Sediaan Herbal. Jakarta : BPOM RI.

Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2011). Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat

Tradisional yang Baik. Jakarta : BPOM RI.

Dewoto, Hedi R. (2007). Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi

Fitofarmaka. Makalah Ilmiah. Majalah Kedokteran Indonesia Vol. 57, No. 7 ; hal

205 – 211.Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional Badan POM RI. (2010).

Kementerian Kesehatan RI. (2010). Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis

Pelayanan Kesehatan. PerMenkes No : 003/Menkes/Per/I/2010.

Suharmiati., Handayani, L., Bahfen, F., Djuharto., dan Kristiana, L. 2012. Kajian Hukum Peran “Apoteker” Dalam Saintifikasi Jamu. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 15 No. 1 Januari 2012: 20-25.

Wahyuningsih, R. 2010. Proses Produksi Jamu di PT Jamu Air Mancur. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. [Tugas Akhir]

Gambar

Gambar 2.1. Kategori Obat Bahan Alam Indonesia (BPOM, 2006) 2.2  Jamu, Obat Herbal Tersdandar dan Fitofarmaka

Referensi

Dokumen terkait

Berbagai pekerjaan kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat, pengelolaan obat,

Praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep

Dari tujuh aspek pekerjaan kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan

Dilihat dari ketujuh aspek pekerjaan kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat,

Praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep

”Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas

0ang dimaksud praktek kefarmasian tersebut meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,  pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat,

Latar Belakang Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,