ANALISIS KOEFISIEN
INBREEDING
DAN KARAKTERISTIK SUARA
JALAK PUTIH
(Sturnus melanopterus
Daudin 1800) DI PUSAT
PENYELAMATAN SATWA CIKANANGA JAWA BARAT
BANGKIT MAULANA
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis koefisieninbreeding dan karakteristik suara jalak putih (Sturnus melanopterus daudin 1800) di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, jawa barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Bangkit maulana
vi
ABSTRAK
BANGKIT MAULANA. Analisis Koefisien Inbreeding dan Karakteristik Suara Jalak Putih (Sturnus melanopterus Daudin 1800) di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga Jawa Barat. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI dan BURHANUDDIN MASY’UD.
Jalak putih merupakan satwa yang tergolong critically endangered di dalam daftar merah IUCN sehingga perlu dilakukan upaya konservasi eks-situ. Salah satu lembaga yang melakukan penangkaran eks-situ adalah Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC). Penangkaran eks-situ memiliki resiko terjadinya inbreeding yang dapat mengakibatkan penurunan daya survival dan pertumbuhan yang abnormal pada satwa. Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi manajemen pemeliharaan jalak putih secara umum, mengidentifikasi inbreeding dan membandingkan karakteristik suara pada jalak putih. Data mengenai pemeliharaan dan silsilah diambil dengan wawancara kepada pengelola dan penelusuran dokumen. Identifikasi inbreeding dilakukan dengan penelusuran silsilah dan pendekatan ukuran morfometri, serta dilakukan pembandingan suara pada tiap generasi. Pemeliharaan jalak putih, khususnya pada sistem kandang dan penjodohan diatur agar tidak terjadi perkawinan yang tidak terkontrol, tiap kandang diberi sekat dan penjodohan dilakukan dengan memerhatikan hubungan kekerabatan calon induk. Tidak ditemukan peristiwa
inbreeding pada jalak putih di PPSC melalui pendekatan silsilah, sedangkan pada pendekatan inbreeding melalui abnormalitas pertumbuhan menunjukkan adanya perbedaan performa pertumbuhan lebar kepala, panjang jari kaki ketiga. Hasil pembandingan karakteristik suara menunjukkan adanya perbedaan pada durasi dan amplitudo suara pada generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Kata kunci: inbreeding, jalak putih, PPSC, Sturnus melanopterus, suara
ABSTRACT
BANGKIT MAULANA. Analisys of Inbreeding Coefficient and Vocal Characteristic on Black-winged Starling (Sturnus melanopterus Daudin 1800) in Cikananga Animal Rescue Center West Java. Supervised by ANI MARDIASTUTI and BURHANUDDIN MASY’UD.
Black-winged Starling is critically endangered species in IUCN Red List data book, and needs to conduct ex-situ conservation. One of ex-situ captive breeding institution is Cikananga Animal Rescue Center (CARC). There are risks of inbreeding in ex-situ captive breeding, such as decreasing survival and growth abnormality. This research aimed to identify management of Black-winged Starling in general, identify inbreeding and compare Black-winged Starling’s vocalisation characteristics. Data on maintenance and studbook were taken by interviewing keepers and tracing management documents. Identification the inbreeding aimed by tracing Black-winged Starling’s studbook and morfometry size approach, and comparing vocalisation characteristics Black-winged Starling
on each generation. Black-winged Starling maintenance, notably in cage system and parents pairing regulated to avoiding uncontrolled breeding, each cage was given partition and the breeding noticed the genetic relationship of prospective parent. There was no inbreeding based on studbook approach. Inbreeding approach by abnormality in growth show there is a different in growth performance in head width and third digit lengh. Comparsion on vocalization characteristics showed a difference in duration and amplitude of the sound in the first, second, and third generation.
Keywords: Black-winged Starling, CARC, inbreeding, Sturnus melanopterus, vocalisation
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
BANGKIT MAULANA
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2014
ANALISIS KOEFISIEN
INBREEDING
DAN KARAKTERISTIK SUARA
JALAK PUTIH
(Sturnus melanopterus
Daudin 1800) DI PUSAT
PENYELAMATAN SATWA CIKANANGA JAWA BARAT
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah inbreeding
pada satwa di penangkaran, dengan judul Analisis Koefisien Inbreeding dan Karakteristik Suara Jalak Putih (Sturnus melanopterus Daudin 1800) di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Jawa Barat.
Karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik karena tidak luput dari dukungan berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung. Penghargaan dan terimakasih diberikan kepada Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, M Sc dan Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, M.S sebagai dosen pembimbing yang dengan sepenuh hati mendukung dan senantiasa memberikan kritik dan saran.
Terimakaih juga diucapkan kepada orang tua penulis, Bapak Abdul Satar dan Ibu Asiah serta kelima orang kakak penulis yang selalu menyelipkan doa dalam shalat untuk kelancaran penyusuan karya ilmiah ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Anais Tritto, Kang Iing, Kang Ajile, Kang Asep, Pak Oni serta seluruh staff Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Adinda Pryanka, Kak Aronika Kaban, M Fahmi Permana, keluarga besar Nepenthes Rafflesiana (KSHE angkatan 47), HIMAKOVA, Rekan-rekan “wearelegend47”, Angkatan XI MAN Insan Cendekia Gorontalo, Kontrakan “Rumah BETA” serta seluruh pihak yang turut menyukseskan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Waktu dan Lokasi Penelitian 2
Alat dan Bahan 2
Jenis dan Metode Pengumpulan Data 2
Analisis Data 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Hasil 5
Pembahasan 13
SIMPULAN DAN SARAN 18
Simpulan 18
Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 19
DAFTAR TABEL
1 Kategori tingkat inbreeding 4
2 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih jantan dan betina (F0,
F1 dan F2) 11
3 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih pada tiap generasi 11 4 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih betina tiap generasi 12 5 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih jantan tiap generasi 12 6 Uji beda (uji t) pada organ sisi kanan dan kiri 13 7 Perbandingan karakteristik suara jalak putih di PPSC 13
DAFTAR GAMBAR
1 (a) Silsilah Suatu individu G; (b) Aliran gen individu G 4 2 Kandang jalak putih di PPSC; (a) kandang pre-release; (b) kandang
flock; (c) kandang pasangan 7 3 Pakan jalak putih di PPSC; (a) pepaya, (b) voer, (c) belalang, dan (d)
pisang 7
4 Kartu Identitas Jalak Putih di PPSC 8
5 Nest box pada kandang jalak putih di PPSC 9 6 Penelusuran silsilah jalak putih dengan kode 269 dan 481 10 7 Oscillogram suara jalak putih pada generasi pertama (F0), kedua
(F1) dan ketiga (F2) 13
8 Perbedaan ukuran tarsometatarsus karena perbedaan ukuran ring 16
DAFTAR LAMPIRAN
1 Pengukuran peubah ukuran tubuh jalak putih di PPSC 21
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jalak putih (Sturnus melanopterus Daudin 1800) merupakan salah satu jenis burung yang mengalami perubahan status yang cepat menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) . Tahun 2000, spesies Jalak putih mulai dikategorikan ke dalam threatened species atau spesies terancam (kategori
endangered atau genting) dan pada tahun 2010 spesies ini dikategorikan sebagai
critically endangered atau kritis akibat penurunan jumlahnya di alam (IUCN 2010). Jalak putih juga telah ditetapkan sebagai satwa dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya.
Kondisi populasi Jalak putih yang mengalami tekanan ini menuntut adanya upaya konservasi dalam pelestariannya, antara lain dengan melakukan penangkaran dan pelepasliaran hasil penangkaran ini ke alam. Penangkaran satwa liar secara eks-situ dilakukan dengan cara memanipulasi kondisi lingkungan tempat hidup satwa, pakan, dan kebutuhan lainnya dengan tujuan akhir satwa dapat berkembang biak dengan baik.
Salah satu lembaga yang melakukan usaha konservasi satwa liar termasuk jalak putih adalah Yayasan Cikananga Konservasi Terpadu melalui Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) pada program pengembangan spesies terancam punah atau Cikananga Conservation Breeding Center (CCBC).Lembaga ini telah memulai pengembangbiakan jalak putih sejak tahun 2009 dengan jumlah induk yang dimiliki oleh PPSC hanya sembilan ekor. Jumlah induk yang terbatas dikhawatirkan dapat mengakibatkan tekanan inbreeding pada populasi. Saat ini, jumlah jalak putih yang berhasil dikembangbiakan mencapai 200 individu (PPSC 2013).
Inbreeding atau silang dalam yang terjadi pada suatu populasi dapat meningkatkan derajat homozigositas sekaligus menurunkan derajat heterozigositas. Sebagai contoh, jika terdapat 1.000 lokus heterozigot dalam populasi, maka akan berubah menjadi 750 gen yang tetap heterozigot setelah satu generasi kawin dengan saudara dekatnya (Rahmanovic et al. 2008). Inbreeding
dapat menyebabkan penurunan performa baik produksi maupun reproduksi serta menimbulkan beberapa kelainan (abnormalitas) yang merugikan. Salah satu bentuk abnormalitas yang dapat muncul pada beberapa jenis burung adalah pertumbuhan yang abnormal dan kemampuan bersuara yang kurang akibat pertumbuhan pita suara yang tidak optimal. Penelitian mengenai karakteristik suara pada jalak putih hasil pengembangbiakan di penangkaran perlu dilakukan untuk melihat pengaruh tingkat inbreeding terhadap kemampuan bersuara burung Jalak putih.
Program penangkaran di PPSC ditujukan untuk menangkarkan jenis yang terancam punah dan dikembalikan atau dilepasliarkan ke habitat alaminya. Untuk keberhasilan pelepasliaran dibutuhkan bibit jalak putih yang berkualitas baik dengan salah satu indikator berupa kualitas genetik yang baik, oleh karena itu, diperlukan analisis koefisien inbreeding yang menjadi salah satu faktor penentu kualitas genetik yang baik.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi manajemen pemeliharaan jalak putih secara umum, mengidentifikasi inbreeding dan membandingkan karakteristik suara pada jalak putih yang dikembangkan di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC)
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai salah satu dasar dalam pengelolaan PPSC dan lembaga konservasi eks-situ lainnya.
2. Memperoleh informasi mengenai tingkat inbreeding pada jalak putih yang ada di PPSC
3. Memperoleh informasi mengenai karakteristik suara pada jalak putih yang ada di PPSC
METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan data dilakukan di PPSC, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 8 Maret 2014 hingga 30 April 2014.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain penggaris, jangka sorong (dial caliver) dengan ketelitian 0.05 mm, pita ukur dengan ketelitian 0.05 cm, timbangan dengan ketelitian alat 1 gram, kamera, kantong burung dan alat tulis. Perekaman suara dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat perekam suara SONY IC recorder ICD-PX312 yang dilengkapi dengan mikrofon, seperangkat komputer yang dilengkapi dengan program pengolah suara gold wave
dan raven. Adapun bahan atau objek penelitian adalah jalak putih yang telah mencapai umur dewasa sejumlah 37 ekor.
Jenis dan Metode Pengumpulan Data Manajemen Pemeliharaan
Metode pengumpulan data manajemen pemeliharaan dilakukan dengan cara pengamatan langsung, wawancara kepada pengelola dan penelusuran dokumen dan literatur. Data mengenai manajemen pemeliharaan mencakup sistem kandang, manajemen pakan, teknik pengembangbiakan dan teknologi breeding. Analisis Koefisien Inbreeding
Perhitungan koefisien inbreeding diawali dengan penelaahan silsilah seluruh individu jalak putih yang ada di PPSC. Data yang diperoleh dibuat ke dalam silsilah (studbook) kemudian dibuat dalam diagram panah untuk menentukan hubungan kekerabatan antar jalak putih. Pengambilan data juga
3 dilakukan dalam bentuk wawancara kepada pengelola khususnya yang mengampu program CCBC jalak putih untuk mengetahui silsilah jalak putih yang ada di PPSC.
Karakteristik Morfologis
Pengukuran karakter morfologi ini dilakukan untuk melihat perkembangan jalak putih pada tiap generasi. Perkembangan pertumbuhan individu-individu jalak putih ini akan dijadikan salah satu parameter untuk mengetahui tekanan
inbreeding yang terjadi. Salah satu dampak yang ditimbulkan akibat adanya
inbreeding adalah pertumbuhan yang tidak normal.
Parameter peubah ukuran tubuh diambil menggunakan jangka sorong dan pita ukur. Peubah ukuran tubuh yang diukur mencakup panjang paruh, tinggi paruh, lebar pangkal paruh atas, panjang kepala, lebar kepala, tinggi kepala, panjang tibia kanan dan kiri, panjang tarsometatarsus kanan dan kiri, panjang jari kaki ketiga kanan dan kiri, diameter tarsometatarsus kanan dan kiri, panjang tubuh total, panjang rentang sayap kanan dan kiri, panjang bulu ekor serta berat badan total (Lampiran 1)
Pada peubah ukuran tubuh yang tersebar secara bilateral (Kiri-kanan), maka pengukuran dilakukan pada kedua bagian tubuh tersebut (peubah ukuran tubuh bagian kiri dan bagian kanan). Data yang diperoleh dijadikan sebagai acuan dalam perhitungan fluktuasi asimetri dan sebagai salah satu indikator terhadap adanya gejala inbreeding pada jalak putih. Selain melakukan pengukuran peubah ukuran tubuh, dilakukan juga pengukuran terhadap berat tiap individu burung. Karakteristik Suara
Perekaman suara dilakukan terhadap tiga individu sampel pada tiap generasi. Pengambilan sampel suara dilakukan dengan merekam minimal lima cuplikan suara pada tiap individu burung. Tipe suara yang direkam yaitu tipe suara yang sama agar dapat dibandingkan tiap individu.
Analisis Data Perhitungan Koefisien Inbreeding
Menurut Noor (1996), koefisien inbreeding dapat dihitung menggunakan diagram panah. Pembuatan diagram panah setiap individu pada kedua silsilah tersebut dimasukkan sekali pada diagram panah walaupun pada kenyataannya individu-individu tersebut muncul beberapa kali.
Koefisien inbreeding dari individu dihitung dengan menentukan n, yaitu banyaknya individu dalam alur (tidak termasuk individu yang diperhatikan) yang terdiri dari moyang bersama dari tetua yang kawin sedarah (inbred). Nilai koefisien inbreeding dihitung dengan rumus menurut Allendorf dan Luikart (2008) :
4
Keterangan:
F = Nilai Koefisien inbreeding
n = banyaknya anak panah dalam setiap jalur = Koefisien inbreeding moyang bersama
Menurut Cervantes et al. (2007), hasil perhitungan koefisin inbreeding ini kemudian dibagi ke dalam empat selang nilai disajikan dalam Tabel 3. Adapun contoh silsilah (pohon filogeni) dan aliran genetik pada suatu sata disajikan dalam Gambar 1.
Tabel 1 Kategori tingkat inbreeding
Nilai Koefisien Inbreeding (F) Kategori
0 Non Inbreed
0-6,25% Rendah
6,25%-12,5% Sedang
> 12,5% Tinggi
Sumber: Cervantes et al. (2007)
(a) (b)
Gambar 1 (a) Silsilah Suatu individu G; (b) Aliran gen individu G
Langkah 1 : Individu G memiliki nenek moyang yang sama (B), dapat dipastikan bahwa koefisian inbreeding-nya lebih besar dari nol Langkah 2 : Nenek moyang B tidak diketahui sehingga koefisien inbreeding
B diasumsikan nol (noninbred)
Langkah 3 : Terdapat satu loop moyang bersama individu G, yaitu G-E-B-F-G, nilai n=4.
Nilai koefisien inbreeding pada individu G sebesar 0,125. Nilai koefisien
inbreeding juga akan dihubungkan dengan data hasil pengukuran peubah ukuran tubuh dan dianalisis secara deskriptif.
Perhitungan Fluktuasi Asimetri
Fluktuasi asimetri pada peubah ukuran tubuh yang tersebar secara bilateral diuji menggunakan uji t dengan selang kepercayaan 95% antara peubah ukuran tubuh kanan dan kiri serta dihubungkan dengan besarnya koefisien inbreeding
5 Suara
Seluruh data suara rekaman burung dipindah dari alat perekam ke komputer kemudian dikonversikan ke dalam bentuk WAVE sehingga kompatibel untuk dianalisis menggunakan program gold wave. Keluaran hasil dari program
gold wave berupa oscilogram yang menunjukkan alur (trace) frekuensi dalam kilohertz (kHz) dan waktu (detik). Hasil analisis suara akan dibandingkan tiap generasi dan dijelaskan secara deskriptif mengenai hubungannya dengan nilai koefisien inbreeding. Adapun parameter suara yang diambil yaitu:
1. Frekuensi, merupakan jumlah getaran per detik dari satu syllable (canggung) pada oscilogram
2. Durasi suara, adalah lama tempuh suara pada saat individu burung memproduksi suara
3. Amplitudo merupakan simpangan terjauh dari syllable (kuat suara)
Parameter yang diambil diolah menggunakan program gold wave dan dianalisis dengan program Raven dengan keluaran yang disajikan dalam oscillogram yang menunjukkan alur frekuensi suara dalam kHz dan waktu (detik).
HASIL DAN PEMBAHASAN
HasilManajemen Pemeliharaan dan Inbreeding
Pemeliharaan jalak putih di PPSC bertujuan untuk mengembangbiakan jalak putih untuk keperluan pelepasliaran kembali ke alam. Pemeliharaan dilakukan secara intensif, yaitu pemenuhan seluruh kebutuhan jalak putih disediakan oleh pengelola.
Kegiatan pemeliharaan burung di pusat penyelamatan maupun penangkaran, kandang merupakan habitat buatan pengganti habitat alami. Kandang disesuaikan dengan kebutuhan satwa yang dipelihara. Jenis kandang untuk pemeliharaan jalak putih di PPSC, yaitu kandang untuk pasangan, kandang
flock (kawanan), kandang anakan serta kandang pre-release. Penggolongan kandang lebih didasarkan pada komposisi jalak putih pengisi kandang karena fasilitas pada tiap kandang tergolong sama, kecuali nest box yang hanya diletakkan bagi pasangan yang siap berbiak
Kandang jalak putih terbuat dari rangka kayu (kecuali pada kandang pre- release) yang dipasangi kawat ram berukuran 1 cm x 1 cm. Bagian atap kandang menggunakan plastik gelombang. Ukuran kandang tiap individu bervariasi. Kandang jalak putih di PPSC dibagi menjadi ke dalam tiga blok, yaitu blok A, B dan PKBSI. Blok A berisi kandang pasangan jalak putih yang tidak produktif (tidak berbiak) dan anakan. Blok B merupakan blok untuk kandang pasangan yang siap berbiak serta jalak putih yang telah menjadi kawanan. Blok terakhir, blok PKBSI, merupakan blok yang berisi kandang pasangan yang siap berbiak saja. Pembagian ke dalam blok dilakukan untuk memudahkan pengelola dalam memberikan perlakuan dalam pemeliharaan.
Pemeliharaan kandang jalak putih mencakup pembersihan kandang dari kotoran dan rontokan bulu jalak putih di lantai kandang serta penggantian air pada
6
wadah untuk keperluan mandi jalak putih. Hal ini dilakukan untuk mencegah jamur dan penyakit lain yang dapat membahayakan jalak putih.
Kandang Pasangan
Kandang pasangan merupakan kandang untuk memelihara pasangan indukan jalak putih. Kandang pasangan terdiri dari dua jenis, yaitu kandang pasangan untuk percobaan kecocokan pasangan dan kandang pasangan untuk pasangan jalak putih yang sudah cocok (siap berbiak). Pasangan yang telah cocok diletakkan di kandang yang telah dilengkapi dengan nest box, sedangkan pasangan yang belum cocok diletakkan di kandang tanpa nest box untuk dilakukan percobaan kecocokan pasangan dengan individu lainnya. Kedua jenis kandang pasangan ini hanya dibedakan oleh ada atau tidaknya nest box yang digunakan jalak putih untuk mengerami telur selama 14-15 hari dan untuk memelihara anakan hingga anakan siap keluar kandang pada usia 23-24 hari.
Kandang pasangan juga dilengkapi daun pinus yang diletakkan di lantai kandang sebagai bahan dasar untuk membuat tempat meletakkan telur di dalam
nest box. Daun pinus digunakan untuk menggantikan rumput-rumput kasar dan jerami yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sarang oleh jalak di alam. Daun pinus yang diletakkan di lantai kandang juga dijadikan sebagai indikator bahwa induk betina akan bertelur, karena ketika jumlah daun pinus yang diletakkan di lantai kandang berkurang menandakan pasangan telah membuat sarang di dalam nest box untuk persiapan bertelur.
Kandang Anakan
Anakan jalak putih yang telah berusia 35 hari, dipisahkan dengan induknya dan diletakkan di dalam kandang yang dikelompokkan berdasarkan pasangan indukannya. Jumlah anakan jalak putih di dalam kandang berbeda-beda, sekitar dua hingga lima ekor, sesuai jumlah anak yang dihasilkan oleh suatu pasangan induk. Jenis kandang anakan sama halnya dengan kandang indukan yang masih dalam tahap pencarian pasangan, yaitu tanpa nest box.
Kandang Flock (kawanan)
Kandang flock digunakan untuk memelihara anakan jalak putih yang berasal dari beberapa indukan dan sudah siap untuk mencari pasangan. Di dalam kandang ini diamati perilaku mencari pasangan bagi jalak putih muda. Apabila terdapat jalak putih yang berpasangan, maka pasangan dipindahkan ke kandang pasangan dan diamati lebih lanjut kecocokan pasangannya, termasuk diperiksa hubungan kekerabatannya.
Kandang Pre-Release
Kegiatan breeding jalak putih di PPSC bertujuan untuk mendukung kegiatan konservasi jalak putih melalui program release. Individu jalak putih yang akan disiapkan untuk kegiatan release dipelihara di dalam kandang pre-release. Jalak putih yang ditempatkan di dalam kandang ini adalah individu-individu dewasa yang telah terbentuk sebagai suatu kawanan dan dianggap sudah siap untuk di lepas liarkan kembali ke alam. Jumlah individu pada kandang pre-release
7 Kandang pre-release terdiri dari dua ruang yang dihubungkan dengan kanal. Ruangan pertama dengan ukuran panjang 18,3 m, lebar 5,9 m dan tinggi 3,1 m sedangkan ruangan kedua memiliki panjang 5 m, lebar 4,8 m dan tinggi 2,3 m. Pada ruangan kedua, difokuskan untuk kegiatan pemberian pakan dan pengobatan serta mempermudah penangkapan jalak putih, sedangkan ruangan pertama merupakan tempat untuk habituasi awal sebelum dimasukkan ke kandang habituasi di lokasi release.
Gambar 2 Kandang jalak putih di PPSC; (a) kandang pre-release; (b) kandang
flock; (c) kandang pasangan Manajemen Pakan
Pemberian pakan jalak putih di PPSC hanya dilakukan pada pagi hari saja. Pakan yang diberikan berupa buah pisang, pepaya dan voer sedangkan bagi Jalak putih yang sedang menyapih anak, diberikan pakan tambahan berupa belalang, jangkrik atau kroto. Kroto diberikan pada pasangan jalak putih yang memiliki anakan dengan usia 1-5 hari. Apabila anakan telah berusia 6-35 hari, pakan tambahan yang diberikan berupa belalang ataupun jangkrik.
Potongan pepaya dan pisang yang telah dikupas (Gambar 3) ditempelkan pada paku yang telah dipasang di tempat bertengger di dalam kandang, sedangkan voer dan jangkrik ditempatkan di wadah pakan yang berada di dalam kandang. Selain pemberian pakan, setiap pagi juga diberikan air minum di dalam tempat minum
(a) (b) (c) (d)
Gambar 3 Pakan jalak putih di PPSC; (a) pepaya, (b) voer, (c) belalang, dan (d) pisang
Teknik Pengembangbiakan
Suatu penangkaran, keberhasilan reproduksi satwa merupakan salah satu indikator keberhasilan sebuah penangkaran. Pemilihan indukan yang tepat menentukan keberhasian reproduksi. Perkembangbiakan jalak putih di PPSC (a) (b) (c)
8
diawali dengan pemilihan pasangan dengan menggabungkan indivdu jalak putih muda di dalam kandang kawanan yang berisi beberapa individu jalak putih. Aktivitas jalak putih tersebut diamati untuk mencari individu Jalak putih yang cenderung berpasangan yang kemudian akan dipisahkan ke dalam kandang pasangan. Ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam memilih pasangan, antara lain kecocokan pasangan, kesehatan dan hubungan kekerabatan
Hubungan kekerabatan jalak putih di PPSC dapat diketahui dengan mengecek kartu biodata satwa dan buku silsilah yang merekam asal-usul tiap individu jalak putih. Gambar 4 menunjukkan biodata satwa yang mencakup nama dan nama ilmiah satwa, nomor ring satwa, kode satwa, induk jantan dan betina, tanggal lahir (tanggal kedatangan bagi satwa yang berasal dari luar PPSC), blood line tetua (pasangan nenek/kakek dari induk jantan dan betina).
Gambar 4 Kartu Identitas Jalak Putih di PPSC
Penulisan kode orang tua dan bloodline satwa di kartu identitas yang diletakkan di tiap kandang dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan kegiatan penjodohan pasangan jalak putih ketika di kandang, pengelola tidak harus membuka studbook kembali untuk mengetahui asal-usul satwa. Bloodline tetua diberikan kode terentu dengan menuliskan kode huruf diselingi garis miring (/). Huruf sebelum garis miring merupakan kode tetua dari induk jantan sedangkan kode setelah garis miring merupakan kode bagi tetua dari induk betina.
Pemilihan Indukan
Jalak putih yang telah memasuki masa kain dikumpulkan di dalam kandang kawanan. Selama di dalam kandang kawanan, pengelola mengamati perilaku kawin burung. Apabila terdapat burung yang telah mendapatkan pasangan, kedua burung dipindahkan di dalam kandang pasangan. Calon indukan yang dipilih yang tidak sakit dan cacat fisik serta dipertimbangkan kekerabatannya dengan cara menelusuri silsilah kedua calon indukan.
Jalak Putih (Sturnus melanopterus)
Ring number/colour : K425567/ right brown
Sex : M Origin : Cikananga CB F1 Studbook number : BWS 022 Date of birth : B. 23. 3. 08 Parents (male) : BWS 14 (female) : BWS 15
9 Penempatan Pasangan
Pasangan jalak putih yang telah cocok diletakkan di dalam kandang pasangan yang telah dilengkapi nest box (Gambar 5) dan daun pinus kering sebagai bahan untuk membuat tempat meletakkan telur. Nest box didesain agar mudah dipantau keberadaan dan jumlah telur yang ada di dalamnya. Pengecekan telur dilakukan setiap hari dan dilakukan pencatatan terkait tanggal bertelur indukan. Telur Jalak putih menetas pada usia 14-15 hari. Apabila telah memasuki hari ke-16, maka telur yang gagal menetas dibuang agar tidak membusuk di dalam
nest box.
Gambar 5 Nest box pada kandang jalak putih di PPSC Pembesaran Anakan
Anakan jalak putih yang baru menetas di dalam nest box diamati perkembangannya setiap hari. Apabila ada anakan jalak putih yang mati dibuang untuk menjaga kesehatan anakan yang masih hidup. Pemberian pakan anakan jalak putih ketika berusia 1-35 hari diberikan melalui induk. Perawatan anakan dilakukan secara alami oleh induk. Pakan diletakkan di tempat pakan induk dan induk jalak putih yang akan menyapih anaknya hingga usia 35 hari. Jalak putih usia satu sampai lima hari, pakan yang diberikan berupa kroto karena anakan belum mampu mencerna belalang maupun jangkrik sedangkan pada usia 5-35 hari, pakan yang diberikan berupa belalang dan jangkrik yang berukuran kecil.
Anakan yang telah mencapai usia 35 hari dipisahkan dari induk dan ditempatkan di kandang anakan bersama jalak putih lain yang berasal dari induk sama. Selain di dalam kandang anakan, sebagian individu juga ditempatkan langsung di dalam kandang flock. Pembesaran di dalam kandang flock dilakukan agar mempermudah pada kegiatan penentuan pasangan ketika jalak putih telah dewasa atau siap kawin.
Analisis Koefisien Inbreeding
Penentuan nilai koefisien inbreeding pada jalak putih di PPSC diawali dengan menelusuri silsilah tiap individu untuk mengetahui tetua dari individu tersebut. Penelusuran pada dua sampel jalak putih ditunjukkan pada Gambar 6. Penelusuran silsilah pada jalak putih dilakukan untuk mempermudah perhitungan nilai koefisien inbreeding. Sampel dengan kode 269 dan 481 tidak ditemukan tetua bersama, sehingga tidak dibutuhkan penghitungan nilai koefisien inbreeding pada sampel dan dipastikan sampel termasuk tidak inbreeding. Hal serupa juga terjadi pada seluruh sampel jalak putih yang berjumlah 37 ekor (Lampiran 2)
10
: F3, : F2, : F1, : F0, F: Betina, M: Jantan Gambar 6 Penelusuran silsilah jalak putih dengan kode 269 dan 481 Hasil Pengukuran Peubah Ukuran Tubuh Jalak Putih di PPSC
Selain dengan penghitungan nilai koefisien inbreeding, dilakukan juga pendekatan performa pertumbuhan untuk melihat indikasi terjadinya inbreeding
pada jalak putih di PPSC. Penelitian dilakukan dengan membandingkan peubah ukuran tubuh jalak putih jenis kelamin jantan dan betina. Peubah ukuran tubuh dan hasil pengukuran disajikan di dalam Tabel 2. Tidak diperlukan pengelompokkan sampel pada peubah ukuran tubuh yang tidak berbeda nyata, sehingga perbandingan tidak dikelompokkan antara jantan dan betina (Tabel 3). Peubah ukuran tubuh yang berbeda nyata antara jantan dan betina, sampel dikelompokkan menurut jenis kelamin dan dibandingkan pada ketiga generasi sampel. Perbandingan pada jenis kelamin betina ditunjukkan pada Tabel 4 dan perbandingan pada jenis kelamin jantan ditunjukkan pada Tabel 5. Perbandingan tiga peubah ukuran tubuh yang tersebar secara bilateral disajikan dalam Tabel 6.
Wild 018 F 017 M Wild Wild Wild 035 F Wild 015 F 014 M Wild Wild Wild 024 M 269 M Wild 048 F 019 M 018 F 017 M Wild 176 F 014 M 009 F 056 M Wild Wild 015 F 162 M 481
11 Tabel 2 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih jantan dan betina (F0, F1
dan F2)
No Parameter Jantan (n=20) Betina (n=17)
1 Panjang paruh (mm) 22.05 ± 1.24a 20.90 ± 1.09b 2 Tinggi paruh (mm) 8.01 ± 0.47a 7.80 ± 0. 54a 3 Lebar paruh (mm) 8.19 ± 0.52a 7.65 ± 0.50b 5 Tinggi kepala (mm) 23.41 ± 0.93a 22.72 ± 0.76a 6 Lebar kepala (mm) 21.95 ± 0.64a 21.25 ± 0.39b 7 Panjang kepala (mm) 34.23 ± 1.41a 33.22 ± 0.99a 8 Panjang tibia kanan (mm) 43.33 ± 3.17a 42.55 ± 3.22a
9 Panjang tibia kiri (mm) 44.04 ± 3.68a 42.88 ± 3.11a 10 Panjang tarsometatarsus kanan (mm) 35.04 ± 2.64a 33.09 ± 1.72a 11 Panjang tarsometatarsus kiri (mm) 35.28 ± 3.25a 32.77 ± 1.68a
12 Diameter tarsometatarsus kanan (mm) 5.11 ± 0.83a 4.45 ± 0.36b
13 Diameter tarsometatarsus kiri (mm) 5.08 ± 0.67a 4.48 ± 0.41b
14 Panjang jari kaki ketiga kanan (mm) 19.59 ± 0.84a 18.97 ± 0.90a 15 Panjang jari kaki ketiga kiri (mm) 19.39 ± 0.53a 19.07 ± 1.25a 16 Panjang sayap kanan (mm) 133.62 ± 3.52a 127.47 ± 3.30b
17 Panjang sayap kiri (mm) 133.27 ± 3.12a 126.98 ± 3.84b
18 Panjang tubuh total (mm) 245.83 ± 8.27a 238.24 ± 4.80b
19 Panjang bulu ekor (mm) 81.97 ± 4.60a 79.22 ± 3.68a 20 Berat tubuh total (gr) 93.33 ± 9.88a 82.98 ± 7.69b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05)
Tabel 3 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih pada tiap generasi
No Parameter F0 (n=14) F1 (n=13) F2 (n=10) 1 Tinggi paruh (mm) 7.84 ± 0.55a 8.20 ± 0.45a 7.75 ± 0.51a 2 Tinggi kepala (mm) 22.80 ± 0.66a 23.21 ± 0.88a 23.38 ± 1.22a 3 Panjang kepala (mm) 34.33 ± 1.26a 33.29 ± 1.10a 23.34 ± 1.22a 4 Panjang tibia kanan
(mm)
43.65 ± 3.57a 41.49 ± 2.72a 43.95 ± 2.65a 5 Panjang tibia kiri
(mm) 43.78 ± 3.68a 42.01 ± 3.53a 45.08 ± 2.21a 6 Panjang tarsometatarsus kanan (mm) 34.02 ± 1.75a 33.73 ± 2.37a 34.86 ± 3.34a 7 Panjang tarsometatarsus kiri (mm) 34.39 ± 2.48a 33.16 ± 1.62a 35.01 ± 4.36a
8 Panjang jari kaki ketiga kanan (mm)
19.40 ± 0.60a 19.41 ± 1.15a 19.02 ± 0.97a 9 Panjang jari kaki
ketiga kiri (mm)
19.49 ± 1.06a 19.06 ± 0.71a 19.13 ± 1.00a 10 Panjang bulu ekor
(mm)
81.88 ± 5.23a 79.06 ± 4.00a 81.20 ± 3.02a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05)
12
Tabel 4 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih betina tiap generasi
No Parameter F0 (n=4) F1 (n=7) F2 (n=6) 1 Panjang paruh (mm) 20.21 ± 1.42a 21.33 ± 0.81a 20.85 ± 1.09a 2 Lebar paruh (mm) 7.59 ± 0.30a 7.83 ± 0.47a 7.46 ± 0.62a 3 Lebar kepala (mm) 21.43 ± 0.18a 21.42 ± 0.26a 20.94 ± 0.43b 4 Diameter tarsometatarsus kanan (mm) 4.32 ± 0.43a 4.50 ± 0.43a 4.48 ± 0.23a 5 Diameter tarsometatarsus kiri (mm) 4.59 ± 0.57a 4.43 ± 0.41a 4.47 ± 0.36a 6 Panjang sayap kanan (mm) 128.92 ± 3.50a 125.19 ± 1.70b 129.17 ± 3.41a
7 Panjang saya kiri (mm) 128.83 ± 4.46a 124.43 ± 1.15a 128.72 ± 4.27a 8 Panjang tubuh total (mm) 237.42 ± 4.79a 237.05 ± 3.65a 240.17 ± 6.09a 9 Berat tubuh (gr) 90.33 ± 11.71a 79.62 ± 2.80a 82.00 ± 6.13a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05)
Tabel 5 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih jantan tiap generasi
No Parameter F0 (n=10) F1 (n=6) F2 (n=4) 1 Panjang paruh (mm) 21.97 ± 1.19a 22.35 ± 1.15a 21.76 ± 1.86a 2 Lebar paruh (mm) 8.10 ± 0.56a 8.19 ± 0.60a 8.42 ± 0.23a 3 Lebar kepala (mm) 21.78 ± 0.80a 22.01 ± 0.50a 22.29 ± 026a 4 Diameter tarsometatarsus kanan (mm) 5.01 ± 0.65a 5.73 ± 0.97a 4.40 ± 0.11b 5 Diameter tarsometatarsus kiri (mm) 4.84 ± 0.54a 5.57 ± 0.79a 4.92 ± 0.34a 6 Panjang sayap kanan (mm) 134.37 ± 4.6 a 132.61 ± 1.68a 133.25 ± 2.47a 7 Panjang saya kiri
(mm) 133.20 ± 4.07a 133.06 ± 2.32a 133.75±1.60a 8 Panjang tubuh total (mm) 242.23 ± 8.04a 248.78 ± 9.13a 250.42 ± 3.40a 9 Berat tubuh (gr) 96.00 ± 12.51a 90.45 ± 3.17a 91.00 ± 9.13a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05)
13 Tabel 6 Uji beda (uji t) pada organ sisi kanan dan kiri
Generasi F0 (n=14) F1 (n=13) F2 (n=10)
Panjang tibia tn tn tn
Panjang tarsometatarsus tn tn tn
Panjang jari kaki ketiga tn tn *
Keterangan: tn)Tidak berbeda Nyata; *)Berbeda nyata (P<0,05)
Karakteristik Suara
Hasil perekaman suara terhadap tiga sampel pada tiap generasi menunjukkan adanya perbedaan pada beberapa karakteristik suara. Pada amplitude, perbedaan nilai terjadi secara acak atau tidak mengalami trend peningkatan ataupun penurunan seiring dengan generasinya, begitu juga dengan durasi suara (Tabel 7)
Tabel 7 Perbandingan karakteristik suara jalak putih di PPSC
Generasi F0 F1 F2
Frekuensi (Hz) 0-22050 0-22050 0-22050
Amplitudo (Hz) 32767 19774.25 32767
Durasi (detik) 4.66875 4.69025 3.22500
Suara sampel burungyang disajikan dalam bentuk oscillogram menunjukkan kemiripan pola. Perbedaan pada gambar oscillogram terjadi karena adanya perbedaan amplitudo dan durasi suara, namun secara keseluruhan pola suara pada ketiga generasi hamper sama (Gambar 7).
Gambar 7 Oscillogram suara jalak putih pada generasi pertama (F0), kedua (F1) dan ketiga (F2)
Pembahasan Manajemen Pemeliharaan dan Inbreeding
Inbreeding atau silang dalam adalah persilangan antar satwa yang memiliki hubungann kekerabatan yang lebih dekat jika dibanding dengan rataan hubungann kekerabatan kelompok tempat satwa tersebut (Noor 2008). Sedangkan
14
menurut Warwick et al. (1986), silang dalam adalah perkawinan antar individu-individu yang lebih dekat hubungannnya dibandingkan rata-rata satwa dalam bangsa atau populasi itu yaitu satwa yang mempunyai moyang bersama dalam 4 sampai 6 generasi pertama silsilahnya.
Hasil perhitungan terhadap 37 sampel menunjukkan terjadi perkawinan antara individu yang memiliki hubungan kekerabatan atau tidak ada tetua bersama pada setiap individu jalak putih di Cikananga. Keseluruh sampel tergolong non inbreed (tidak inbreeding) karena perkawinan terjadi antar tetua yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Penelusuran silsilah pada dua individu non inbred jalak putih di PPSC dicontohkan pada Gambar 6. Bagi indukan yang berasal dari alam atau penangkaran lain yang tidak diketahui asal usulnya, nilai koefisien inbreeding indukan (Fc) diasumsikan sama dengan nol (non inbred) (Wiener 1994). Penelusuran terhadap seluruh sampel jalak putih menunjukkan hal yang sama yaitu tidak terdapat loop moyang bersama dari indukan jalak putih.
Peristiwa inbreeding pada program breeding jalak putih di PPSC dapat dihindari karena pengelola terlebih dahulu melakukan penelusuran pada studbook
atau silsilah jalak putih sebelum melakukan proses pemilihan pasangan. Penelusuran yang dilakukan mengakibatkan individu-individu baru hasil pengembangbiakkan tidak memilki hubungan kekerabatan yang dekat. Jumlah populasi jalak putih yang tinggi menjadi faktor lain tidak terjadinya inbreeding di PPSC. Menurut Thohari (1987), kemungkinan terjadi inbreeding akan bertambah kecil apabila jumlah populasi pada penangkaran semakin besar.
Pengembangbiakkan jalak putih di PPSC cukup sesuai dengan beberapa cara pengembangbiakkan satwa menurut Thohari (1987) agar terhindar dari
inbreeding, antara lain:
1. Pada penangkaran jalak putih dilakukan perkawinan secara teratur dan pencatatan terhadap semua individu secara lengkap. Dengan demikian, pengelola akan tahu kedudukan seluruh individu dalam keluarga. Pengandangan jalak putih dengan sekat dilakukan agar mudah mengontrol terjadinya perkawinan antar individu jalak putih.
2. Secara berkala dimasukkan individu-individu jalak putih baru baru dan memiliki kekerabatan yang jauh dengan individu lama dalam kelompok yang sedang ditangkar. Individu baru ditambahkan pada tahun 2008, 2009, 2011 dan 2012.
Adanya peristiwa inbreeding pada satwa berpengaruh terhadap pertumbuhan satwa tersebut. Selain menggunakan perhitungan menurut Allendrof dan Luikart (2008), peristiwa inbreeding juga dapat didekati menggunakan pendekatan performa pertumbuhan pada satwa. Menurut Leary et al. (1985), individu dengan lokus yang homozigot akibat adanya inbreeding memiliki kekurangan di dalam memproduksi energi untuk perumbuhan dan perkembangannya. Pada penelitian ini, parameter yang mewakili pertumbuhan dan perkembangan satwa dilihat dari ukuran 19 peubah ukuran tubuh yang diamati.
Perbandingan Ukuran Peubah Ukuran Tubuh Jantan dan Betina
Pengaruh terjadinya inbreeding pada jalak putih di PPSC dilihat dengan membandingkan ukuran jalak putih pada tiap generasi pada individu jantan dan betina. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05)
15 antara jalak putih jantan dan betina pada peubah ukuran tubuh panjang paruh (P=0.005), diameter tarsometatarsus kanan (P=0.004), diameter tarsometatarsus
kiri (P=0.003),sayap kanan (P=0.00), sayap kiri (P=0.00), panjang tubuh total (P=0.002), dan berat tubuh (P=0.001) serta tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.005) pada parameter tinggi paruh (P=0.228), tinggi kepala (P=0.279), panjang kepala (), panjang tibia kanan (P=0.460), panjang tibia kiri (P=0.313), panjang tarsometatarsus kanan (P=0.503), panjang tarsometatarsus kiri (0.377), panjang jari kaki ketiga kanan (P=0.439), panjang jari kaki ketiga kiri (P=0.301) dan panjang bulu ekor (0.055). Pada peubah ukuran tubuh yang berbeda nyata antara individu jantan dan betina, nilai pengukuran individu jantan selalu lebih besar dibandingkan dengan betina (Tabel 5).
Jalak putih merupakan satwa yang sulit dibedakan morfologinya antara jenis kelamin jantan dan jenis kelamin betina (sexual momorfisme). Secara kualitatif, jalak putih ras Jawa dan Madura jantan dan betina memiliki ciri yang sama, yaitu pada individu dewasa memiliki bulu berwarna putih, kecuali pada sayap dan ekor berwarna hitam, warna punggung dan penutup sayap putih, kulit tanpa bulu di sekitar mata berwarna kuning, iris coklat tua, paruh kekuningan dan kaki berwarna kuning (MacKinnon et al. 2000). Kesamaan pada ciri kualitatif ini menyebabkan sulitnya dalam pengidentifikasian individu jantan dan betina. Peubah ukuran tubuh panjang paruh, diameter tarsometatarsus kanan dan kiri, sayap kanan-kiri, panjang tubuh total, dan berat tubuh dapat dijadikan ciri pembeda antara jalak putih jantan dan betina karena terdapat perbedaan yang nyata antara jenis kelamin jantan dan betina pada parameter tersebut.
Pengelolaan jalak putih di PPSC, individu jantan dan betina diidentifikasi dengan cara mengambil sampel feses pada satwa dan melakukan uji laboratorium pada feses tersebut sedangkan menurut Yunanti (2012) mengatakan bahwa untuk menentukan jenis kelamin pada Jalak bali dapat dilakukan dengan teknik endoskopi (pemeriksaan organ kelamin bagian dalam melalui pembedahan ringan dan dengan bantuan endoskop) dan analisa karyotipe (kromosoma) atau analisa DNA. Menurut Kurniawan (2014), penangkar jalak putih pada Mega Bird and Orchid Farm (MBOF) Bogor mengatakan bahwa ukuran tubuh jantan lebih besar dibandingkan dengan betina, kicauan lebih nyaring dan sering serta memiliki prilaku menari dan sebaliknya pada individu betina, selain itu, warna bulu tubuh jantan lebih cerah dan ekornya lebih panjang dibandingkan dengan betina.
Perbandingan Ukuran Tubuh Antara Generasi Pertama (F0), Kedua (F1) dan Ketiga (F2)
Hasil pengukuran peubah ukuran tubuh yang tidak memiliki perbedaan yang nyata pada jenis kelamin jantan dan betina dibandingkan pada tiap generasi (Tabel 7). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada peubah ukuran tubuh tinggi paruh (P=0.209), tinggi kepala (P=0.324), panjang kepala (P=0.108), panjang tibia kanan (P=0.107), panjang tibia kiri (P=0.095), panjang tarsometatarsus kanan (P=0.546), panjang tarsometatarsus kiri (P=0.299), panjang jari kaki ketiga kanan (P=0.535), panjang jari kaki ketiga kiri (P=0.442) dan panjang bulu ekor (P=0.227) pada generasi pertama (F0), generasi kedua (F1) dan generasi ketiga (F2). Hal ini menunjukkan tidak adanya perbedaan performa pertumbuhan pada peubah ukuran tubuh yang dibandingkan.
16
Pada peubah ukuran tubuh panjang paruh, lebar paruh, lebar kepala, diameter tarsometatarsus, panjang sayap, panjang tubuh total dan berat tubuh, pengujian statistik dibedakan antara jenis kelamin jantan dan betina karena hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang nyata antara jantan dan betina. Pada jalak putih betina, terdapat perbedaan yang signifikan pada peubuah ukuran tubuh lebar kepala (P=0.032) dan panjang sayap kanan (P=0.046) (Tabel 8), sedangkan pada jalak putih jantan terdapat perbedaan yang signifikan peubah ukuran tubuh diameter tarsometarsus (P=0.030) pada ketiga generasi (Tabel 9) (analisis sidik ragam, P<0,05).
Lebar kepala menunjukkan angka yang cenderung menurun dari generasi pertama menuju generasi ketiga. Menurut Sibley dan Aqhuist (1991) dalam
Suzzana (2007), anatomi kepala dapat dijadikan sebagai salah satu indikator dalam mengetahui hubungan kekerabatan pada beo dan mockingbird, selain syrinx
dan protein otot. Warwick et al. (1995) menyatakan bahwa ukuran-ukuran tubuh, termasuk ukuran-ukuran kepala berguna untuk menelusuri asal-usul hubungan filogenetik antar spesies. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan ukuran lebar kepala terjadi akibat adanya perbedaan performa pertumbuhan yang disebabkan oleh faktor genetik karena faktor lingkungan di PPSC bersifat homogen.
Perbedaan panjang sayap hanya terjadi pada sayap kanan saja. Hasil pengukuran yang menunjukkan perbedaan nyata pada sayap kanan dapat terjadi karena beberapa individu burung yang menjadi sampel sedang mengalami
moulting. Burung melakukan aktivitas moulting dengan melepaskan bulu-bulu yang lama (usang) secara periodik dan diganti dengan bulu-bulu yang baru (Ginn dan Melville 1983), sehingga dapat menyebabkan terjadinya perbedaan panjang sayap pada sisi kanan dan kiri pada burung.
Fenotip pada suatu individu dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik (Allendorf dan Luikart 2007). Perbedaan ukuran diameter tarsometatarsus
yang terjadi pada jalak putih di PPSC disebabkan oleh faktor lingkungan, yaitu perbedaan penempatan ring. Beberapa individu dipasang ring pada kaki kanan, sedangkan individu lainnya pada kaki kiri. Selain perbedaan penempatan, bahan dan ukuran ring yang berbeda juga akan mempengaruhi perbedaan ukuran diameter tarsometatarsus. Gambar 8 menunjukkan terdapat perbedaan ukuran diameter tarsometatarsus pada satu individu burung akibat perbedaan ukuran ring
yang digunakan.
17 Fluktuasi Asimetri
Pekembangan suatu individu dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik ditentukan oleh susunan gen dan kromosom yang dimiliki tiap individu. Faktor genetik merupakan faktor yang bersifat baka atau tidak berubah selama hidupnya sedangkan faktor lingkungan bersifat tidak baka atau tidak dapat diwariskan pada keturunannya (Hardjosubroto 2001). Jalak putih di PPSC memiliki faktor lingkungan yang homogeny (kecuali factor ring). Apabila terdapat perbedaan pada performa individu maka penyebabnya adalah faktor genetik, pengaruh lingkungan diasumsikan sama.
Pemeliharaan satwa secara eksitu memiliki resiko meningkatnya derajat homogenitas apabila perkawinan antar satwa tidak diperhatikan, karena dapat terjadi perkawinan antara individu yang memiliki kekerabatan dekat (inbreeding). Secara umum, homozigositas menyebabkan turunnya kemampuan individu untuk berkembang normal. Ciri menurunnya kemampuan berkembang adalah dengan stabilitas perkembangan yang rendah dan meningkatnya individu abnormal. Hal ini terlihat dari perbedaan bentuk ukuran, jumlah, dan ciri-ciri morfologi yang lain pada organ berpasangan antara organ bagian kiri-dan kanan (Wilkins et al.
1995) atau yang dikenal sebagai fluktuasi asimetri. Menurut Palmer dan Strobeck (1997) dalam Allendorf dan Luikart (2007), fluktuasi asimetri merupakan hasil dari ketidakseimbangan individu dalam mengontrol dan mengintegrasikan perkembangan, sehingga perbedaan fisik yang timbul secara acak pada perkembangan menyebabkan terjadinya asimetri.
Lima peubah ukuran tubuh yang menyebar secara bilateral pada jalak putih, yaitu panjang sayap, panjang tibia, panjang tarsometatarsus, diameter
tarsometatarsus dan panjang jari kaki ketiga. Pada analisis fluktuasi asimetri, peubah ukuran tubuh panjang sayap dan diameter tarsometatarsus tidak disertakan dalam uji statistik karena perbedaan yang timbul pada sisi kanan dan kiri kedua peubah ukuran tubuh ini bukan karena fakor internal (genetik) Hal ini dikarenakan peristiwa moulting pada sayap kanan dan kiri tidak dalam waktu yang bersamaan, sehingga dapat menyebabkan perbedaan panjang sayap kanan dan kiri. Pada peubah diameter tarsometatarsus terdapat pengaruh lingkungan yang heterogen yang menyebabkan perbedaan diameter tarsometatarsus kanan dan kiri, antara lain pemasangan ring yang dilakukan hanya pada salah satu kaki atau perbedaan ukuran dan bahan ring, sehingga parameter ini tidak dibahas dalam analisa fluktuasi asimetri.
Hasil penelitian menujukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada panjang organ kanan dan kiri pada peubah ukuran tubuh panjang tibia dan panjang
tarsometatarsus dan panang jari kaki ketiga pada ketiga generasi jalak putih di PPSC. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga generasi jalak putih di PPSC mampu mengontrol dan menyeimbangkan pertumbuhan organ pada sisi kanan dan kiri tubuh.
Karakteristik Suara
Burung jalak (family Sturnidae) bukan merupakan burung penyanyi yang baik, kemampuan mereka bersuara mempertahankan mereka tetap di dalam kelompok. Aktivitas bersuara pada jalak putih lebih banyak dilakukan oleh jantan sebagai bentuk pertahanan diri dan memikat betina pada proses perkawinan (Rianti 2012). Menurut Kurniawan (2014) jalak putih memiliki empat tipe suara.
18
Perekaman suara pada jalak putih dilakukan dengan membandingkan satu jenis suara (type syllable yang sama) yang dihasilkan oleh jalak putih pada generasi pertama (F0), generasi kedua (F1) dan generasi ketiga (F2). Hal ini dilakukan karena burung jalak putih (Passeriformes) mampu menghasilkan suara yang kompleks dengan berbagai macam tipe syllable dan memiliki kisaran frekuensi yang berbeda (Fitri 2002) sehingga perbedaan yang timbul pada karateristik suara hanya dikarenakan oleh faktor genetik, bukan karena perbedaan jenis (type
syllable) atau faktor lainnya. Perbedaan karakteristik suara pada ketiga generasi jalak putih di PPSC disajikan dalam Tabel 9.
Terdapat perbedaan yang timbul secara acak pada tiga generasi jalak putih di PPSC pada karakteristik suara amplitudo dan durasi suara. Amplitudo suara pada generasi kedua (F1) memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan amplitudo generasi pertama (F0) dan ketiga (F2) dan pada durasi suara, dan pada durasi suara, durasi terlama dihasilkan oleh jalak putih generasi kedua (F1). Tidak ada pola tertentu (acak) yang ditunjukkan pada perbedaan amplitudo dan suara. Perbedan karakteristik suara diduga karena adanya pengaruh hanyutan genetik (genetik drift) yang mengakibatkan perubahan alel yang timbul secara acak yang mempengaruhi fenotip pada satwa, termasuk kemampuan syrink dalam memproduksi suara. Lemahnya suara pada generasi pertama (amplitudo sebesar 19774,25 Hz) berpengaruh pada lamanya (durasi) suara tersebut karena keras suara (amplitudo) dipengaruhi oleh energi yang dimiliki tiap individu burung (Rusdin 2007). Implikasi dari rendahnya energi yang diperlukan untuk mengasilkan suara dengan amplitudo yang rendah menyebabkan burung dapat menghasilkan suara tersebut dalam durasi yang lebih lama. Pola suara disajikan di dalam oscillogram pada Gambar 7.
Pola suara jalak putih F0, F1 dan F2 tidak berbeda jauh jika dilihat pada
oscillogram suara pada ketiga generasi tersebut, walaupun terdapat perbedaan pada amplitudo dan durasi suara. Suara diawali dengan frekuensi yang tinggi yang dilakukan berulang dan diakhiri dengan suara yang rendah. Perbedaan pola pada jalak putih dapat juga disebabkan karena adanya pengaruh dari pola suara indukan baru yang diperoleh dari penangkaran lain yang telah mendapatkan pelatihan dalam bersuara. Hal ini mempengaruhi pola suara burung jalak putih yang terdapat di PPSC karena pola bersuara pada Ordo Passeriformes dapat terbentuk dari pembelajaran atau mendengar secara berulang suara burung lain (Baptista 1996).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tidak ditemukan inbreeding pada jalak putih di PPSC karena tidak adanya tetua yang memiliki kekerabatan yang dekat. Peristiwa inbreeding pada pemeliharaan jalak putih di PPSC dapat dihindari dengan sistem perkawinan yang mempertimbangkan hubungan kekerabatan antar indukan melalui penelusuran
19 silsilah (studbook). Terdapat perbedaan karakteristik suara (durasi dan amplitudo) pada jalak putih di PPSC antar generasi.
Saran
1. Perlunya dilakukan penentuan hubungan kekerabatan dengan pendekatan kualitas genetik dan nilai heretabilitas jalak putih untuk memastikan kualitas genetik jalak putih yang akan dilepasliarkan untuk meningkatkan daya survival jalak putih di alam.
2. Pengembangbiakan jalak putih di PPSC perlu dipertahankan untuk tetap mencegah terjadinya inbreeding serta dijadikan contoh oleh Lembaga Konservasi Eksitu lainnya dalam pengembangbiakkan satwa.
DAFTAR PUSTAKA
Allendorf FW, G Luikart. 2008. Conservation and the Genetics of Population. Victoria (UK): Blackwell Publishing.
Baptista LF. 1996. Nature and its Nurturing in Avian Vocal Development Ecology and Evolution of Acoustic Communication in Birds. Di dalam: Krodsma DE, Miller EH, editor. Ithaca (USA): Cornel University Press. Cervantes I, Molina A, Goyache F, Gutiérrez JP, Valera M. 2007. Population
history and genetik variability in the spanish arab horse assessed via pedigree analysis. Livestock Science 113: 24–33.
Edition A. 2008. Nestbo Guide for Waterfowl. Kanada (CD): Ducks Unlimited Canada.
Fitri LL. 2002. Panduan Singkat Perekaman dan Analisa Suara Burung. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.
Ginn HB, Melville DS. 1983. Moult in Birds. Hertfordshire (GB): British Trust for Ornithology.
Hardjosubroto W. 2001. Genetika Hewan. Yogyakarta (ID): Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2000. The 2000 IUCN red List of threatened species [Internet]. [diunduh 2013 Des 21]. Tersedia pada: www.redlist.org.
Kurniawan H. 2014. Teknik Penangkaran dan Aktivitas Harian Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Megabird and Orchid Farm Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Leary RF, Allendrof FW, Knudsen KL. 1985. Development instability as an indicator of reduce genetik variation in hatchery trout. Transaction of America Fisheries Society 114: 230-235
MacKinnon J, Phillips K, Van Balen B. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa,Bali, dan Kalimantan. Bogor (ID): Burung Indonesia.
Noor RR. 1996. Genetika Ternak. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Prana MS, Oetojo S, Utami EB. 2006. Sukses Menangkar Jalak Bali untuk Menunjang Pemamfaatan Secara Lestari. Bandung (ID): PD Maju terus.
20
Rahmanoavic A, Baban M, Telalbasic R. 2008. Inbreeding. Biotechnology in animal husbandry. 24: 1-2.
Rusdin M. 2007. Analisis Fenotipe, Genotipe dan Suara Ayam Pelung di Kabupaten
Cianjur [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Suzanna E. 2007. Analisis Hubungan Kekerabatan Berdasarkan Morfologi, Aktivitas Harian, Gambaran Darah, dan Karakter DNA Mitokondrion Beberapa Subspesies Burung Beo (Gracula religiosa Linnaeus 1758) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Thohari M. 1987. Gejala inbreeding dalam penangkaran satwa liar. Media Konservasi 1(4): 1-10
Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1984. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.
Wiener G. 1994. Animal Breeding. London (UK): The MacMillan Press
Wilkin NP, Gosling E, Linnane A, Jordan C, Courtney HP, 1995. Fluctuating asymetry in Atlantic salmon, European trout and their hybrids, including triploids. Aquaculture. 137: 77-85.
Yunanti BD. 2012. Teknik Penangkaran dan Analisis Koefisien Inbreeding pada Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
21 Lampiran 1 Pengukuran peubah ukuran tubuh jalak putih di PPSC
No Peubah Ukuran Tubuh Gambar Pengukuran
1
Panjang paruh (mm), merupakan panjang
maxila (paruh atas)
2 Tinggi paruh (mm), pada bagian paruh tertinggi
3
Lebar pangkal paruh atas (mm), diukur melintang pada lebar pangkal paru atas
5
Panjang kepala (mm), diukur dari pangkal paruh hingga pangkal leher (tulang ocipitale)
6
Lebar kepala (mm), pada bagian tengah kepala terlebar
7 Tinggi kepala (mm), pada bagian tinggi kepala terbesar
22
Lampiran 1 Pengukuran peubah ukuran tubuh jalak putih di PPSC (lanjutan) No Peubah Ukuran Tubuh Gambar Pengukuran
8
Panjang tibia (mm), diukur dari panjang tulang
femur hingga tulang
metatarsal 9 Panjang tarsometatarsus (mm), diukur daripersendian tarsometatarsus sampai tempat jari-jari kaki melekat
10
Panjang jari ketiga (mm), diukur dari pangkal hingga ujung jari ketiga
11
Diameter tarsometatarsus
(mm), diukur mengelilingi
tarsometatarsus
12 Panjang tubuh total (mm)*
13
Panjang rentang sayap kanan dan kiri dilakukan dengan mengukur rentangan sayap dari pangkal sayap hingga ujung sayap (mm)*
23 Lampiran 1 Pengukuran peubah ukuran tubuh jalak putih di PPSC (lanjutan)
No Peubah Ukuran Tubuh Gambar Pengukuran
14
Panjang bulu ekor (mm), diukur dari pangkal ekor sampai ujung ekor*
24
Lampiran 2 Pohon filogeni jalak putih di PPSC Jalak putih kode studbook 424
Jalak putih kode studbook 001
Jalak putih kode studbook 209
Jalak putih kode studbook 004
Jalak putih kode studbook 361
Keterangan: : F3, : F2, : F1, : F0, F: Betina, M: Jantan Wild Wild 361 M Wild Wild 004 M Wild Wild 001 F Wild 015 F 014 M Wild Wild Wild 023 F Wild Wild 043 M 424 M Wild Wild 045 M Wild 015 F 014 M Wild Wild Wild 023 F 209 M
25 Lampiran 2 Pohon filogeni jalak putih di PPSC (lanjutan)
Jalak putih kode studbook 352
Jalak putih kode studbook 429
Jalak putih kode studbook 345
Jalak putih kode studbook 025
Keterangan: : F3, : F2, : F1, : F0, F: Betina, M: Jantan Wild Wild 015 F Wild Wild 014 M 025 F Wild 018 F 017 M Wild Wild Wild 028 F Wild 015 F 014 M Wild Wild Wild 041 M 352 F Wild Wild 406 F Wild Wild 403 M 429 F Wild 015 F 014 M Wild Wild Wild 26 F Wild Wild 44 M 345 F
26
Lampiran 2 Pohon filogeni jalak putih di PPSC (lanjutan) Jalak putih kode studbook 269
Jalak putih kode studbook 096
Jalak putih kode studbook 218
Jalak putih kode studbook 054
Keterangan: : F3, : F2, : F1, : F0, F: Betina, M: Jantan 018 Wild Wild 015 F Wild Wild 014 M 054 F Wild 018 F 017 M Wild Wild Wild 035 F Wild 015 F 014 M Wild Wild Wild 024 M 269 M Wild Wild 045 F Wild 015 F 014 M Wild Wild Wild 023 M 096 F Wild 018 F 017 M Wild Wild Wild 028 F Wild 015 F 014 M Wild Wild Wild 041 M 218 F
27 Lampiran 2 Pohon filogeni jalak putih di PPSC (lanjutan)
Jalak putih kode studbook 017
Jalak putih kode studbook 373
Jalak putih kode studbook 078
Jalak putih kode studbook 058
Jalak putih kode studbook 015
Keterangan: : F3, : F2, : F1, : F0, F: Betina, M: Jantan Wild Wild 015 F Wild Wild 373 F Wild Wild 017 M Wild 018 F 017 M Wild Wild Wild 028 F Wild 015 F 014 M Wild Wild Wild 041 M 078 M 018 Wild Wild 015 F Wild Wild 014 M 058 M
28
Lampiran 2 Pohon filogeni jalak putih di PPSC (lanjutan) Jalak putih kode studbook 155
Jalak putih kode studbook 084
Jalak putih kode studbook 079
Jalak putih kode studbook 034
Jalak putih kode studbook 012
Keterangan: : F3, : F2, : F1, : F0, F: Betina, M: Jantan Wild Wild 012 M Wild Wild 045 F Wild 015 F 014 M Wild Wild Wild 023 M 155 F 018 Wild Wild 015 F Wild Wild 014 M 084 F 018 Wild Wild 018 F Wild Wild 017 M 079 M Wild Wild 018 F Wild Wild 017 M 034 M Wild
29 Lampiran 2 Pohon filogeni jalak putih di PPSC (lanjutan)
Jalak putih kode studbook 035
Jalak putih kode studbook 189
Jalak putih kode studbook 085
Jalak putih kode studbook 030
Keterangan: : F3, : F2, : F1, : F0, F: Betina, M: Jantan 018 Wild Wild 018 F Wild Wild 017 M 035 F Wild Wild 045 F Wild 015 F 014 M Wild Wild Wild 023 M 189 F 018 Wild Wild 015 F Wild Wild 014 M 085 M 018 Wild Wild 018 F Wild Wild 017 M 030 M
30
Lampiran 2 Pohon filogeni jalak putih di PPSC (lanjutan) Jalak putih kode studbook 010
Jalak putih kode studbook 253
Jalak putih kode studbook 013
Jalak putih kode studbook 481
Keterangan: : F3, : F2, : F1, : F0, F: Betina, M: Jantan Wild Wild 010 M Wild Wild 044 M Wild 015 F 014 M Wild Wild Wild 026 F 253 F Wild Wild 013 M Wild 048 019 018 F 017 M Wild 176 F 014 M 009 F 056 M Wild Wild 015 F 162 M 481
31 Lampiran 2 Pohon filogeni jalak putih di PPSC (lanjutan)
Jalak putih kode studbook 007
Jalak putih kode studbook 014
Jalak putih kode studbook 480
Jalak putih kode studbook 388
Keterangan: : F3, : F2, : F1, : F0, F: Betina, M: Jantan Wild Wild 007 F Wild Wild 014 M Wild Wild 388 F Wild 048 019 018 F 017 M Wild 096 F 014 M 009 F 056 M Wild Wild 015 F 131 M 480
32
RIWAYAT HIDUP
Tuhan mengamanahkan Bapak Abdul Satar dan Ibu Asiah untuk melahirkan penulis pada hari Minggu pukul 08.40 WITA tanggal 21 Juni 1992 sebagai anak keenam dari enam bersaudara. Penulis menempuh pendidikan formal Sekolah Dasar di SDN 1 Midang Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat pada tahun 1998-2004, MTsN 1 Mataram pada tahun 2004-2007, MAN Insan Cendekia Gorontalo pada tahun 2007-2010, kemudian melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan pada tahun 2010-2014.
Penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Kehutanan, Anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) yang tergabung dalam Kelompok Pemerhati Mamalia “Tarsius” dan Kelompok Pemerhati Kupu-kupu “Sarpedon” pada tahun 2012-2013.
Tahun 2011, penulis mengikuti kegiatan Ekspedisi Rafflesia di CA dan TWA Sukawayana serta TWA Tangkuban Parahu Sukabumi, pada tahun 2012 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di CA Gunung Sawal dan CA serta TWA Pangandaran, pada tahun 2012 penulis juga mengikuti ekspedisi SURILI HIMAKOVA di TN Bukit Tiga Puluh, Riau dan Jambi. Penulis mengikuti Praktek Pengenalan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan mengikuti kegiatan Ekspedisi SURILI HIMAKOVA di TN Manusela, Maluku pada tahun 2013.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Analisis Koefisien Inbreeding dan Karakteristik Suara Jalak Putih (Sturnus melanopterus Daudin 1800) di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Jawa Barat” dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti M Sc dan Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS.