• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGALAMAN PENGEMBANGAN TANAMAN-TERNAK BERWAWASAN LINGKUNGAN DI BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGALAMAN PENGEMBANGAN TANAMAN-TERNAK BERWAWASAN LINGKUNGAN DI BALI"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMAN PENGEMBANGAN TANAMAN-TERNAK

BERWAWASAN LINGKUNGAN DI BALI

(Experience in Developing Crop-Livestock Integration Oriented Towards in

the Environment in Bali)

I.M.NITIS,K.LANA danA.W.PUGER Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan,

Universitas Udayana, Denpasar, Bali ABSTRACT

The traditional crop-livestock farming in Bali is environmental oriented, since it is based on the Tri Hita Karana concept, namely balance relation between human and God, between humans and between human with the environment; where crop and livestock are part of the environment. The crop-livestock integration in the form of agroforestry has developed into silviculture, agrisilviculture, silvipasture and agrisilvipasture. These variances further developed into 14 covariances, with Three Strata Forage System (TSFS) as one of the covariances. TSFS could increase the production of forage and fodder, production of foodcrop, production of plantation crop, production and reproduction of livestock and increase the soil fertility. TSFS intervention becaused the environment of crop, livestock, living-organism and biosphere that became bigger and green house effect become lower. TSFS could fascilitate greening and reboisation programmes and supply crop and livestock commodities for agroritual, agrotourism, tourist attraction, agroindustry and agrobussiness. Key words: Crop-livestock system, three strata forage system

ABSTRAK

Pertanian dan Peternakan tradisional di Bali adalah berwawasan lingkungan karena berlandaskan konsep Tri Hita Karana, yaitu hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan, dengan tanaman dan ternak merupakan bagian dari lingkungan tersebut. Integrasi tanaman-ternak dalam bentuk agroforestri (wanatani) telah berkembang menjadi 4 varian yaitu silvikultura, agrisilvikultura, silvipastura dan agrisilvipastura. Selanjutnya dari 4 varian tersebut telah berkembang menjadi 14 kovarian dengan Sistem Tiga Strata (STS) adalah salah satu dari kovarian tersebut. Dengan STS produksi tanaman pakan, tanaman pangan, tanaman perkebunan, produksi dan reproduksi ternak dan kesuburan lahan dapat ditingkatkan. Dengan demikian maka lingkungan tanaman, ternak, biota dan bentang alam menjadi lebih lestari dan efek rumah kaca menjadi lebih kecil. Selanjutnya STS dapat memfasilitasi program penghijauan dan reboisasi dan dapat menyediakan komoditi tanaman dan ternak untuk kegiatan agroritual, agrowisata, wisataagro, agroindustri dan agrobisnis.

Kata kunci: Sistem integrasi tanaman-ternak, system tiga strata

PENDAHULUAN

Dari 563.286 ha lahan di Bali 63,47% adalah untuk pertanian, 22,28% untuk hutan alam, 5,91% untuk pemukiman, 5,91% sebagai lahan kritis, 0,61% sebagai danau dan rawa dan 1,23% untuk lain-lain (ANONYMOUS, 2000). Dari lahan untuk pertanian tersebut 17,25% untuk sawah, 20,05% untuk tegalan dan 26,17% untuk perkebunan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk selama 5 tahun (1995–2000) setiap tahunnya sekitar

3435 ha lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan non-pertanian.

Komoditi pertanian tradisional dapat berupa tanaman pangan, tanaman perkebunan dan ternak, namun karena distribusi sumber daya alam yang tidak merata dan sumber daya manusia yang masih terbatas, maka produktivitas dan kelestarian lingkungan pertanian tradisional belum optimal.

Pada pertanian tradisional, petani biasanya menanam palawija (jagung, kacang-kacangan dan ketela pohon) pada waktu musim hujan. Sesudah panen, lahan dibiarkan kosong dan

(2)

ditumbuhi rumput lokal yang nilai gizinya tidak begitu tinggi untuk ternak. Meskipun ternak, terutama sapi, selalu diintegrasikan dengan pertanian tradisional ini, namun tidak ada lahan khusus disediakan untuk menanam hijauan makanan ternak. Hanya pada galangan ditanam rumput gajah, untuk makanan ternak waktu musim hujan, semak dan pohon untuk makanan ternak pada waktu musim kering. Dengan persediaan hijauan yang terbatas ini, maka ternak ruminansia sering kekurangan hijauan makanan ternak, terutama pada waktu musim kering.

Tujuan utama dari pertanian tradisional yang intensif adalah untuk menghasilkan tanaman pangan dan tanaman industri, dan pemeliharaan ternak merupakan usaha sambilan. Dengan demikian, maka pendapatan dari peternakan hanya 29–43% dari pendapatan dari pertanian.

Pertanian dan peternakan tradisional di Bali adalah berwawasan lingkungan, karena berlandaskan konsep Tri Hita Karana, yaitu hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Pada konsep Tri Hita Karana tersebut, tanaman dan ternak merupakan bagian dari lingkungan, yang berdasarkan Kalender Bali, ada hari yang baik atau hari yang kurang baik untuk menanam palawija atau menebang pohon bambu dan ada hari yang baik atau kurang baik untuk mengawinkan ternak atau menyapih pedet dari induknya. Tenggang waktu tersebut, memberi kesempatan kepada tanaman dan ternak untuk berfungsi dan berproduksi yang optimal, sehingga tidak mengalami kepunahan.

Baik pemerintah maupun swasta telah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan, tanaman perkebunan dan peternakan, namun pendekatan usaha-usaha belum integratif.

SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK

Pertanian tradisional di Bali pada umumnya menerapkan Sistem Agroforestri yaitu integrasi tanaman dengan ternak (NITIS, 2000), yang secara umum integrasi pertanian dan pohon-pohonan pada sebidang lahan yang sama (MELLINK et al., 1991). Berdasarkan

produksinya agroforestri diklasifikasikan menjadi 4 varian yaitu Silvikultura, Agrisilvikultura, Silvipastura dan Agrisilvipastura (Gambar 1). Pada silvikultura produksi utama adalah kayu atau buah-buahan, dan ternak merupakan produk sampingan. Pada agrisilvikultura, dibawah tanaman kayu yang masih muda ditanami tanaman pangan yang merupakan produk tambahan, dan tetap ternak merupakan produk sampingan. Pada silvipastura ternak merupakan produksi utama, sedangkan tanaman kayu (sebagai pembatas angin atau naungan) merupakan produk sampingan. Pada agrisilvipastura lahan yang agak basah ditanami tanaman pangan yang merupakan produk tambahan; sedangkan lahan kering ditanami rumput, legum, semak dan pohon untuk pakan ternak sebagai produk utama. Kayu dari semak dan pohon merupakan produk sampingan, dan dari 4 varian tersebut telah berkembang 14 kovarian (Gambar 2), dengan Sistem Tiga Strata sebagai salah satu kovarian.

SISTEM TIGA STRATA Konsep sistem tiga strata

Sistem Tiga Strata (STS) adalah suatu tata cara penanaman dan pemangkasan rumput, legum, semak dan pohon sehingga hijauan makanan ternak tersedia sepanjang tahun (Gambar 3). Stratum 1 yang terdiri dari rumput dan legum unggul menyediakan hijauan makanan ternak pada 4 bulan musim hujan; stratum 2 yang terdiri dari semak legum menyediakan hijauan makanan ternak pada 4 bulan awal musim kering; sedangkan stratum 3 yang terdiri dari pohon pakan menyediakan hijauan makanan ternak pada 4 bulan akhir musim kering.

Pada STS integrasikan tanaman legum diharapkan perbaikan kesuburan lahan karena sumbangan nitrogen dari nodul pada akar dan gizi dari hijauan pakan ternak lebih baik karena kadar protein legum yang lebih tinggi.

Satu petak STS adalah suatu areal yang luasnya 0,25 ha (25 are) yang terdiri dari 3 bagian (Gambar 4) : Bagian Inti seluas 0.16 ha (16 are), Bagian Selimut seluas 0,09 ha (9 are) dan Bagian Pinggir dengan keliling 200 m.

(3)

Gambar 1. Perkembangan agroforestri menjadi 4 varian agroforetri (NITIS, 1997)

Gambar 2. Perkembangan dari 2 varian agroforestri menjadi 14 kovarian agroforestri (NITIS, 2000) Sistem silvikultura Sistem agri-silvikultura

Tanaman hutan Tanaman perkebunan

Tanaman pangan Ternak

• Rumput

• Legum

• Semak

• Pohon Limbah pertanian

Sistem silvipastura Sistem agri-silvipastura Sistem

agroforestri

varian komponen

Sistem agrisilvi-pastura Sistem silvipastura Sistem alley

Sistem taungya Sistem sorjan Sistem SALT Sistem STS Sistem savanah

Sistem pastura unggul

Sistem bank pakan

Sistem IFG

Sistem pekarangan

Sistem teras bangku

Sistem companion cropping

(4)

D J F M A M J J A S O N

Musim hujan Awal musim kering Akhir musim kering

Gambar3. Konsep STS untuk penyediaan rumput, semak dan pohon sepanjang tahun (NITIS et al., 1989)

Bagian Inti adalah lahan yang terletak ditengah-tengah petak, yang tetap ditanami tanaman pangan atau tanaman perkebunan sesuai dengan tata cara yang biasa dilakukan petani. Bagian Selimut adalah lahan yang berbatasan dengan Bagian Inti dan Bagian Pinggir. Lahan seluas 9 are ini dibagi menjadi petak-petak dan setiap petak ditanami rumput (bafel = Cenchrus ciliaris var. Gayndah,

panikum =Panicum maximum var.

Trichoglume dan rumput urokloa = Urochloa mosambisensis var. Commom dan legum sentrosema = Centrosema pubescense, stelo skabra = Stylosanthes scabra cv. Seca dan stilo verano (Stylosanthes hamata cv. Verano) sebagai stratum 1.

Bagian pinggir adalah batas keliling petak STS. Pohon bunut = Ficus poacellii, santen =

Lannea corromandilica dan waru = Hibiscus tilliaceus ditanam pada jarak 5 m (antara 2 pohon) sekeliling petak tersebut (stratum 3). Diantara 2 pohon ditanami 50 gamal (Gliricidia sepium) dan 50 lamtoro (Leucaena leucocephala) dengan jarak tanam 10 cm

antara 2 batang semak tersebut (stratum 2). Dengan demikian setiap petak (25 are) STS berisi 9 are rumput dan legum unggul, 2000 semak dan 42 pohon.

Komposisi botani pakan hijuan yang diberikan ternak pada 4 bulan musim hujan sebagian besar terdiri dari rumput dan legum, pada 4 bulan awal musim kering sebagian besar terdiri dari daun semak, sedangkan pada 4 bulan akhir musim kering sebagian besar terdiri dari daun pohon pakan (Gambar 5). Pola penerapan STS

Penerapan STS adalah terpadu antar tanaman pangan, tanaman perkebunan dan ternak. Dengan integrasi ini maka pengawasan STS lebih baik, karena petani setiap hari pergi ke ladang untuk mengawasi tanaman palawijanya; tanaman palawija tidak diganggu oleh ternak karena dipagari oleh STS; ternak tidak perlu digembalakan karena STS menyediakan pakan; kesuburan lahan tidak

Ο Ο Ο Ο Ο Ο ✙ ✙ ✙ ✙ ✙ ✙ ✙ ✙ ✙ ✙ ✙ ✙ ✙ ✙ ✙ ✙ Ο Ο Ο Ο Ο Ο Ο Ο Ο Ο Ο Ο Ο Ο Ο Ο Ο Ο

:

Rumput dan legum

: Semak

(5)

Gambar 4. Lokasi lahan Inti, Selimut dan Pinggir pada STS (NITIS et al., 1989)

O + + + O + + + O + + + O + + + O + + + O

+

+

+

O

+ +

+ + + + +

+ + + + +

+

+

+

+

+

O = Pohon (jarak 5 m) + = Semak (jarak 10 cm) = Rumput dan legum

= Tanaman pangan atau perkebunan Keliling/pinggir (200 m) Selimut ( 9 are ) Inti (16 are) Stratum 3 Stratum 2 Stratum 1

Tanaman pangan atau perkebunan

(6)

7 0 4 4 0 2 1 5 2 0 4 5 4 0 1 0 1 5 4 5 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 9 0 1 0 0 M u s i m h u j a n A w a l m u s i m k e r i n g A k h i r m u s i m k e r i n g K o m p o s i s i b o ta n i ( % ) p P o h o n S e m a k R u m p u t d a n l e g u m

Gambar 5. Konsep STS untuk pemberian rumput, semak dan pohon sepanjang tahun (NITIS et al., 1989) menurun karena adanya pupuk kandang dan

tanaman legum pada STS dan kebutuhan petani sehari-hari dipenuhi oleh hasil palawija, sedangkan kebutuhan mendadak dipenuhi dari penjualan ternak.

Tanaman pada strata 1 dan 2 dibiarkan tumbuh dan berkembang dan baru dipangkas pada akhir tahun 1; sedangkan tanaman pada stratum 3 baru dipangkas pada akhir tahun ke 2. Ternak diintegrasikan pada awal tahun ke 3. Produktivitas STS

Pengamatan yang telah berjalan selama 18 tahun (1984–2002) menunjukkan perubahan-perubahan (NITIS et al., 1985; NITIS et al., 1989; 1994; 2000; 2001a; b; c; ANONYMOUS 2001; NITISet al., 2002 a, b).

Produksi tanaman pakan

Produksi pakan hijauan STS 91% lebih tinggi dari Sistem Tradisional karena 9 are rumput dan legum unggul, 2000 semak dan 42 pohon dan protein pakan hijauan 13% lebih

tinggi karena adanya legum. Produksi palawija 13% lebih tinggi, waktu produksi satu tahun lebih lama dan palawija yang dirabuk dengan kotoran kambing produksinya lebih tinggi dari pada palawija yang dirabuk dengan kotoran sapi. Produksi jeruk 13% lebih tinggi dan produksi kelapa 9% lebih tinggi.

Produksi ternak

Sapi Bali jantan kebiri bertambah berat badan 13% lebih besar dan mencapai berat ekspor (375 kg) 12% lebih cepat, karkas 16% lebih berat, daging loin 12% lebih besar dan lemak punggung 13% lebih tebal. Sapi induk lebih berat 70%, interval birahi 31% lebih cepat, waktu birahi 4% lebih lama, frekuensi birahi 96% lebih sering dan interval beranak 2% lebih pendek. Berat lahir pedet 15% lebih besar, berat sapih pedet 23% lebih besar dan sampai pedet ke-6, 3 ekor pedet NTS lahir cacat dan mati. Daya dukung (stocking rate)

pada waktu musim hujan dan musim kering 45 dan 30% lebih tinggi, sedangkan daya tampung (carrying capacity) 52% lebih besar. Produksi

(7)

dan daya tetas telur ayam kampung 56% dan 22% lebih besar. Satu petak STS dapat menampung 1 sapi jantan berat 371 kg atau 1 sapi induk dengan pedet berat sapih atau 6 kambing PE berat 60 kg, dan dengan 12 ekor ayam petelur dan/atau 1 koloni lebah madu.

Produksi lahan

Erosi lahan 57% lebih rendah, karena strata 2 dan 3 menahan batu dan kerikil, sedangkan strata 1 menahan tanah. Unsur hara dalam bentuk N 75% lebih tinggi, bahan organik 13% lebih tinggi dan humus 23% lebih tinggi.

Kondisi sosial ekonomi

Saat pengamatan sapi 16% lebih sedikit dan kesempatan kerja lain 10% lebih besar. Kayu api dari semak (Stratum 2) 29-112 kali lebih banyak dan dari pohon (Stratum 3) 75-271 kali lebih banyak. Pendapatan dari pertanian 30% lebih besar, pendapatan 29% lebih besar dan pendapatan dari memelihara satu sapi Bali jantan dan 3 kambing PE 13% lebih besar daripada memelihara 12 kambing PE atau 2 sapi Bali jantan. Kesejahteraan dilihat dari pengeluaran untuk pangan protein 8% lebih tinggi dan pangan karbohidrat 6% lebih rendah. Dengan adanya bunga sepanjang tahun dimungkinkan untuk pengembangan ternak lebah madu; dengan adanya semak dan pohon dimungkinkan beternak bekicot. Sesudah demoplot STS berjalan 3 tahun, dari 1 petak STS dapat dibuat 2-3 petak STS yang baru.

KELESTARIAN LINGKUNGAN STS memfasilitasi konservasi plasma nutfah tanaman dan ternak lokal dan tanaman dan ternak baru yang sudah beradaptasi dengan lingkungan lokal (NITIS, 2001).

Kelestarian lahan

Erosi lahan dan air hujan dapat dikurangi karena perakaran yang kuat dan dalam dari strata 2 dan 3 dapat, daun rimbun dari strata 1, 2 dan 3 dapat menahan abrasi karena sinar matahari dan angin dan ternak yang dikandangkan tidak merusak struktur tanah.

STS meningkatkan kesuburan lahan dengan bintil-bintil nitrogen dari tanaman legum, humus dari akar dan daun yang melapuk dan pupuk kandang dari kotoran ternak.

Kelestarian biota

Pemangkasan strata 1,2 dan 3 yaitu 2 kali pada 4 bulan musim hujan dan 2 kali pada 8 bulan musim kering menyebabkan kanopi tanaman rimbun sepanjang tahun yang menimbulkan kondisi yang nyaman untuk bekicot dan kupu-kupu. Kerimbunan juga menyebabkan tanah lebih lembab, sehingga kondisi nyaman untuk cacing tanah.

Pelapukan akar dan daun dari rumput, legum, semak dan pohon merupakan kondisi yang nyaman untuk rayap. Rumput, legum, semak dan pohon yang bergiliran berbunga sepanjang tahun, menyediakan tepung sari dan nektar untuk lebah madu.

Kelestarian bentang alam

Rumput, semak dan pohon yang dipangkas secara teratur dan terarah, berdampak hijau sepanjang tahun (Hijauan abadi). Pada bagian Inti yang kosong pada waktu musim kering (karena palawija sudah dipanen), maka stratum 1 merupakan selimut dan strata 2 dan 3 adalah pinggir berbentuk cermin berbingkai hijau. Pada lorong antara 2 STS yang berdampingan batang semak dan pohon membentuk pagar sedangkan cabangnya berbentuk atap, sehingga lorong tersebut seperti terowongan hijau (Lorong hijau). STS memfasilitasi konservasi hutan, karena keperluan rumah tangga tidak lagi menebang hutan untuk kayu api dan juga tidak menebang hutan untuk pakan ternak.

Adanya STS mengurangi efek rumah kaca dari CO2, H2, CH4 dan panas udara. Bintil-bintil akar pada tanaman legum dapat menyerap nitrogen yang bebas dari udara sehingga kepadatan nitrogen (dalam bentuk nitrit atau nitrat) yang dikeluarkan oleh industri dapat dikurangi. Adanya 9 are rumput unggul, 2000 semak dan 42 pohon ikut mengurangi polusi gas nitrogen. Mahluk hidup melalui

proses pernapasan mengisap O2 dan

mengeluarkan CO2 yang oleh kholorofil di daun diubah menjadi tepung dengan bantuan sinar matahari dan hasil asimilasi ini adalah O2 yang dapat dipakai oleh mahluk hidup.

(8)

Diperkirakan 1 ha tanaman hijau dapat mengubah 53 ton CO2 yang dikeluarkan oleh sebuah mobil yang berjalan 213.000 km (FISHER, 1994). Peningkatan produksi hijauan menyebabkan peningkatan humus dan meningkatnya limbah ternak dan produksi gas metan meningkat. Gas metan yang di udara berasal dari ternak ruminansia (20%), padi sawah (30%), proses biologi yang lain (20%) dan proses bukan biologi (30%) (KHAN, 1992). Di negara maju, sapi perah yang mutu makanannya baik, setiap liter susu yang dihasilkan berdampak 40 g gas metan, sedangkan di negara berkembang sapi perah yang mutu pakannya rendah, untuk setiap liter susu 240 g gas metan. Dengan STS mutu pakan ternak ditingkatkan sehingga polusi gas metan dari ternak ruminansia dapat dikurangi. Menyangkut CO2 yang dilepaskan menyelimuti bumi sehingga menahan sinar yang menembus ke bumi dan panas diperkirakan meningkatkan

suhu udara sebanyak 20C pada abad

mendatang. Dengan diserapnya CO2 oleh tanaman, proses peningkatan suhu udara itu

dihambat dan proses penyerapan CO2

dipercepat.

KENDALA STS SERTA USAHA UNTUK MENGATASI

Beberapa kendala perlu mendapat perhatian yaitu:

Serangan kutu loncat pada lamtoro, mengurangi sumber hijauan pada stratum 2 dan

Acasia vilosa mengganti lamtoro tersebut. Produksi sentro agak rendah karena merambatdan kombinasi sentro dengan stilo skabra meningkatkan persediaan hijauan. Pada akhir musim kering gamal lokal diserang kamal. Dan 16 provenan gamal yang diteliti, provenan Retalhuleu tahan terhadap kamal ini. Makin miring tanah makin banyak terasnya, sehingga makin sedikitlah lahan yang dapat ditanami palawija. Dengan menanam semak berjarak 1,0 m dan stratum 1 selebar 1 m sepanjang bagian bawah teras tersebut, maka persediaan dan mutu hijauan makanan ternaknya dapat ditingkatkan. Sapi Bali yang terus makan daun semak dan pohon, warna dagingnya agak gelap dan tanpa pemberian daun semak dan pohon selama 28 hari, warna

daging sapi dapat diatur sesuai dengan selera pembeli.

Investasi untuk 1 petak STS cukup besar (Rp.1.500.000–2.000.000), dan tidak terjangkau oleh petani tradisional.

PENYEBARAN STS

Pemerintah dan swasta dapat membuat percontohan pada tempat-tempat yang strategis untuk sumber bibit tanaman dan ternak pengembangan STS lebih lanjut.

Di Bali dan luar Bali telah teradopsi STS secara utuh (NITIS et al., 2001b) dengan 85 petak di Bali 82 petak di Nusa Penida, 12 petak di Malang Selatan, 26 petak di NTB dan 87 petak di NTT, 9 UPT BPT dan HMT di Sumatra, Jawa, Lombok, Kupang dan Kalimantan Selatan.

Beberapa petani dan anggota kelompok tani di Bali telah mengadopsi STS secara parsial dengan hanya menanam semak gamal atau pohon santen sebagai pagar, sesuai dengan persediaan bibit dan situasi lahan mereka.

PROSPEK STS

STS dapat memfasilitasi program penghijauan dalam bentuk 42 pohon dan 2000 semak setiap 25 are lahan; program reboisasi dengan menanam semak dan pohon dengan sistem pagar (jarak tanam semak 10 cm dan pohon 5 m), sistem lorong (jarak tanam semak 25-50 cm), sistem penyangga (jarak tanam semak 1 m dan pohon 10 m) dan sistem rumpun (jarak tanam semak 2m x 2m dan pohon 5m x 5m) (NITIS, 1995; NITIS et al., 2002a, b).

Integrasi tanaman dan ternak ditunjang STS dapat menyediakan komoditi untuk kegiatan agroritual (ayam dan kelapa untuk upacara), agrowisata (petani-peternak memelihara sapi dan menanam mangga untuk wisatawan dan wisataagro nonton atraksi sapi atau memetik dan membeli buah mangga pada waktu musim mangga), agroindustri (petani-peternak menggemukkan sapi) (daging sapi untuk hotel dan buah jagung sayur untuk hotel) dan agrobisnis (pengusaha mengemas daging sapi dan cairan jeruk dalam kaleng atau kotak karton untuk diekspor).

(9)

KESIMPULAN

Sistem Tiga Strata (STS) adalah integrasi tanaman dan ternak berwawasan lingkungan. Dengan STS produksi tanaman pakan, tanaman pangan, tanaman perkebunan, produksi dan reproduksi ternak, kesuburan lahan dan kelestarian lingkungan dapat ditingkatkan dan memfasilitasi program penghijauan dan reboisasi, sedangkan pasar komoditi tanaman dan ternak untuk kegiatan agroritual, agrowisata, wisataagro, agroindustri dan agrobisnis.

DAFTAR PUSTAKA

ANONYMOUS. 2000. Statistical year book of Indonesia. Edisi Statistical Evaluation and Report Division. Biro Pusat Statistik Jakarta, Indonesia. 589 hlm.

ANONYMOUS. 2001. Petunjuk Praktis Tata Laksana Sistem Tiga Strata. Panitia Penyuluhan STS Buku saku. Edisi ke 4. LP2M. Unud.

FISHER, M.J. 1994. Tropical grass cut green house gas. CIAT International 13 (2): 1-2.

KHAN,O.A.Z.M. 1992. Earth Ethics : Livestock and sustainable rural development. In: Animal Production and Rural Development. Proc. 16th Animal Science Congress. Thailand. P. 3-6. MELLINK, W., RAO, Y.S. and K.G.MAC DICKEN.

1991. Agroforestri in Asia and the Pacific. FAO-RAPA Publication : 1991/5.304 pp. NITIS, I.M. 1995. Usaha untuk meningkatkan

kualitas produk sapi potong guna mendukung industri pariwisata. Prospek dan permasalahannya. Seminar Nasional Peternakan, ISMAPETI, Denpasar, 23–30 Oktober, 24 hlm.

NITIS, I.M. 1997. Silvipastural system in tropical context. XVIII International Grassland Congress 2000. Canada 37 pp.

NITIS, I.M. 2000. Ketahanan pakan ternak di Kawasan Timur Indonesia. Pendekatan holistik melalui agroforestro. Buku ajar. BKS-PTN-INTIM, Makasar. 347 hlm.

NITIS,I.M.K.LANA,W. SUKANTEN dan A.W.PUGER. 2000c. Peningkatan produktivitas sapi Bali dan kelestarian lingkungan pertanian lahan kering di Bali dengan Sistem Tiga Strata. Makalah pada Pertemuan Forum Komunikasi Pimpinan Pendidikan Tinggi Peternakan

se-Indonesia tahun 2001. Depdiknas, Fapet, Unud, Denpasar, 12–15 November 2001. NITIS, I.M., K. LANA, dan A.W. PUGER. 2002b.

Peningkatan produktivitas sapi potong dan kelestarian lingkungan pertanian lahan kering di Kawasan Timur Indonesia dengan Sistem Tiga Strata. Makalah pada Semiloka Penyusunan Proposal Interkoneksitas Konsorsium Perguruan Tinggi Kawasan Timur Indonesia. Makassar 20-25 Agustus 2002. 21 hlm.

NITIS,I.M.,K.LANA,M.SUARNA,A.W.PUGER, and T.G.O. PEMAYUN. 2001a. Peningkatan produktivitas peternakan dan kelestarian lingkungan pertanian lahan kering dengan Sistem Tiga Strata. Buku Ajar. Edisi kedua (Revisi). Percetakan dan Penerbit. Unud, Denpasar. 343 hlm.

NITIS,I.M.,K.LANA,M.SUARNA,W.SUKANTEN,S. PUTRA, and W. ARGA. 1989. Three Strata System for cattle feed and feeding in dryland farming area in Bali. Final Report to IDRC. Canada. 253 pp.

NITIS,I.M.,K.LANA,M.SUARNA,W.SUKANTEN,S. PUTRA, T.G.O.PEMAYUN, and A.W. PUGER. 1994. Growth and Reproduktive Performance of Bali Heifer under Three Strata Forage System. Report to FAO. Rome. 25 pp. NITIS, I.M., K. LANA, W. SUKANTEN, T.G.O.

PEMAYUN and A.W.PUGER. 2000. Pengaruh Sistem Tiga Strata terhadap penampilan reproduksi ke lima sapi Bali; Kerjasama Proyek Nusa Tenggara (GTZ) dengan Litbang STS (Unud). Laporan STS. 27 hal.

NITIS, I.M., K. LANA, W. SUKANTEN, dan A.W. PUGER. 2001b. Pengembangan sapi Bali dengan Sistem Tiga Strata. Makalah pada RAKORTEKNAS II 2001. Ditjen Bina Produksi Peternakan, Denpasar, Bali, 8–10 Oktober 2001.

NITIS,I.M.,K.LANA,T.G.O.SUSILA,W.SUKANTEN, and S.UCHIDA. 1985. Chemical composition of the grass, shrub and tree leaves in Bali. Faculty of Animal Husbandry, Unud, Denpasar, 97 p.

NITIS, I.M., K. LANA, dan A.W. PUGER. 2002a. Peranan Sistem Tiga Strata untuk mendukung perkembangan industriagro dan bisnisagro di Bali. Makalah pada Workshop Rencana Tambahan Program Agroprocessing & Marketing pada Proyek Nusa Tenggara–GTZ, Mataram, 7–8 Agustus 2002. 8 hlm.

Gambar

Gambar 1. Perkembangan agroforestri menjadi 4 varian agroforetri (N ITIS , 1997)
Gambar 4. Lokasi lahan Inti, Selimut dan Pinggir pada STS (N ITIS  et al., 1989) O + + + O + + + O + + + O + + + O + + + O  +   + + O      + + + + + + + + + + + + +++ ++ O  =  Pohon             (jarak 5 m) + = Semak  (jarak 10 cm)          = Rumput dan
Gambar 5. Konsep STS untuk pemberian rumput, semak dan pohon sepanjang tahun (N ITIS  et al., 1989)

Referensi

Dokumen terkait

Tigaraksa Satria memandang penggunaan sistem manual sudah tidak tepat lagi, mengingat jumlah transaksi yang harus dikerjakan terus mengalami peningkatan, dengan data dan

Konidium berwarna bening (hialin), ramping, lurus atau agak membengkok, bagian pangkal tumpul tetapi meruncing ke bagian ujungnya dan bersekat-sekat, sedangkan konidioforanya

digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran haruslah berorientasi pada keaktifan siswa, salah satu metode yang bisa digunakan oleh guru untuk menciptakan keaktifan

Dengan adanya serangan yang telah terjadi, seharusnya dapat menjadi sebuah evaluasi bagi para system administrator dan developer dalam merancang dan mengamankan aplikasi dan

Tiga simpulan dari makalah ini ialah (1) ketersediaan sumber daya alam yang melimpah tidaklah serta merta berkorelasi positif dengan perbaikan tingkat kesejahteraan, (2)

ABSTRAK : Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pertumbuhan dan kandungan pigmen rumput laut merah Kappaphycus alvarezii (Doty) yang

Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan eksperimental terhadap efek antimitosis dari ekstrak n-Heksan, dan Etanol 70% daun Botto’-botto’ ( Cromolaena odorata

The product in this development research attempted to make a distance measurement tool for bullet repulsion using media technology, besides that it could also be used