• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak. Association Between Trichomoniasis Vaginalis and Siphylis Also Other Factors Contributed Among Female Sex Workers in Kuningan, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abstrak. Association Between Trichomoniasis Vaginalis and Siphylis Also Other Factors Contributed Among Female Sex Workers in Kuningan, Jawa Barat"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Antara Trikomoniasis Vaginalis dan Sifilis serta Faktor-faktor

yang Mempengaruhinya pada Pekerja Seks Komersial di Daerah Kuningan,

Jawa Barat

Gustin Candra Devi, Widiastuti

Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya 6, Jakarta, 10430, Indonesia.

gustin.candra@gmail.com

Abstrak

IMS (Infeksi Menular Seksual) merupakan kelompok penyakit pada genital yang ditularkan melalui hubungan seksual. Trikomoniasis vaginalis (15,1%) dan sifilis (8,7%) adalah salah satu jenis IMS yang paling sering terjadi setelah gonore dan kandidiasis. Infeksi ini dapat terjadi sebagai infeksi tunggal maupun infeksi campuran antara beberapa IMS. IMS dipengaruhi oleh faktor seperti pekerjaan, pendidikan, dan jenis kontrasepsi. Prostitusi merupakan salah satu jalur penyebaran IMS yang paling dominan di Indonesia dimana 67% PSK tercatat terinfeksi IMS. PSK (Pekerja Seks Komersial) sebagai salah satu komponen prostitusi merupakan individu dengan faktor risiko yang tinggi untuk terinfeksi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan antara trikomoniasis vaginalis dan sifilis pada PSK serta hubungannya dengan faktor usia, tingkat pendidikan, dan jenis kontrasepsi. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan menggunakan data sekunder mengenai IMS pada PSK yang dikumpulkan di Puskesmas Kuningan, Kuningan, Jawa Barat. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan uji chi-square dari 50% subjek yang positif trikomoniasis vaginalis juga sifilis tidak ditemukan hubungan bermakna antara keduanya (p>0,001). Selain itu, ditemukan terdapat hubungan bermakna antara faktor usia dengan koinfeksi trikomoniasis vaginalis juga sifilis (p<0,001) sedangkan faktor tingkat pendidikan (p=0,484) dan jenis kontrasepsi (p=0,084) ditemukan tidak memiliki hubungan yang bermakna. Berdasarkan hasil tersebut, trikomoniasis vaginalis dan koinfeksi sifilis dapat terjadi pada wanita usia reproduktif pada berbagai tingkat pendidikan dan jenis kontrasepsi.

Kata Kunci: IMS (Infeksi Menular Seksual); trikomoniasis vaginalis; sifilis; usia; tingkat pendidikan; jenis kontrasepsi; PSK (Pekerja Seks Komersial); dan Kuningan.

Association Between Trichomoniasis Vaginalis and Siphylis Also Other Factors Contributed Among Female Sex Workers in Kuningan, Jawa Barat

Abstract

STD (Sexual Transmitted Disease) is a group of genital disease which is distributed by sexual course. Trichomoniasis vaginalis (15,1%) and siphylis (8,7%) were the most common kind of STD after gonorrhea and candidiasis. This infection can be manifestated as single infection or combination with another kind of STD. STD can be influenced by many factors such as age, education, and contraception. Prostitution is the most common way of STD distribution in Indonesia where 67% of FSW (Female Sex Workers) were infected. FSW as an important component of prostitution is a high risk population to be infected. Therefore, this study aimed

(2)

to understand the association between trichomoniasis and siphylis in FSW also its association with age, education, and contraception used. This study used cross-sectional design with secondary entry about STD among FSW collected in Puskesmas Kuningan, Jawa Barat. The result claimed that from 50% FSW who were positif trichomoniasis vaginalis and siphylis had no significant association between trichomoniasis and siphylis (p>0,001). Beside that, there was significant association between age factor and trichomoniasis also siphylis coinfection but education and contraception didn’t have any significant association. Due to results of this study, trichomoniasis vaginalis and siphylis can infect woman in reproductive age with different education and contraception.

Keywords: STD (Sexual Transmitted Disease); trichomoniasis vaginalis; siphylis; age; education; contraception; FSW (Female Sex Worker); and Kuningan.

Pendahuluan

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual.1,2 Daili SF dkk (2011) menyebutkan bahwa padahun 1994 didapatkan data prevalensi IMS di Indonesia berkisar antara 7,4-50%.1 Harahap M (1984) menyatakan bahwa prostitusi merupakan sumber dari 80-90% kasus IMS.2 Penelitian yang dilakukan pada tahun 2005 yang dilakukan oleh Tanudyaya dkk (2010) juga menyebutkan bahwa prevalensi IMS secara umum pada pekerja seks komersial (PSK) adalah 64%, prevalensi tikomoniasis vaginalis 15,1%, dan sifilis 8,7%.3

Trikomoniasis vaginalis dan sifilis adalah infeksi genital yang tergolong dalam IMS tersering di Indonesia setelah gonore dan kandidiasis.4,5 Berdasarkan angka kejadian IMS di beberapa negara berkembang, WHO (1999) memperkirakan akan terus terjadi peningkatan pada prevalensi IMS pada negara-negara berkembang seperti Indonesia yakni sebesar 350 juta kasus baru setiap tahunnya.1,2 Harahap M (1984) menyebutkan bahwa selain faktor ekonomi, budaya, dan pendidikan prostitusi yang dilakukan oleh waria, PSK, dan homoseksual adalah salah satu faktor terbesar yang menyebabkan tingginya prevalensi IMS..2 Selain faktor risiko tinggi IMS seperti usia, pelancong, PSK, pengguna narkotika, dan homoseksual, menurut Daili dkk (2011) terdapat faktor sosial seperti mobilitas penduduk, prostitusi, kebebasan individu, dan ketidaktahuan. Penggunaan kondom merupakan salah satu upaya dalam pengendalian IMS.1

Beberapa penelitian menunjukan bahwa sebuah IMS dapat menyebabkan terjadinya IMS jenis lain. Penelitian yang dilakukan oleh Tanudyaya dkk (2010) pada PSK di sembilan propinsi di Indonesia menyebutkan bahwa beberapa PSK diantaranya terinfeksi beberapa IMS

(3)

sekaligus. 64% diantara PSK dengan gonorrhea dan Chlamydia trachomatis (C. Trachomatis). Penelitian yang dilakukan oleh Allsworth JE dkk (2009) di tahun 2004 pada NHAES menunjukkan bahwa 3,5% subjek yang Trichomonas vaginalis (T. vaginalis) positif juga terinfeksi Treponema pallidum (T. pallidum).6

Mengingat dapat terjadinya koinfeksi IMS dan besarnya sumber infeksi pada PSK, maka dilakukan penelitian mengenai besarnya prevalensi terjadinya trikomoniasis vaginalis dan sifilis serta mengetahui terdapatnya hubungan faktor usia, tingkat pendidikan, dan jenis kontrasepsi pada PSK di daerah kuningan, Jawa Barat di Indonesia.

Tinjauan Teoritis

Daili etal (2011) menyatakan bahwa IMS terbanyak di Indonesia menurut data statistik pada tahun 1988 hingga 1994 adalah gonorrhea (16-58%) yang diikuti oleh penyakit infeksi genital nonspesifik (24-54%), kandidiasis (23%), trikomoniasis, sifilis, kemudian herpes genital.1

Prevalensi IMS di Indonesia berkisar antara 7,4-50%.1 Angka ini diperkirakan WHO (1999) akan mengalami peningkatan pada negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan penambahan sekitar 350 juta kasus baru setiap tahunnya. Harahap M (1984) menyatakan faktor ekonomi, budaya, pekerjaan, dan pendidikan dapat mempengaruhi peningkatan insiden IMS.2 Peningkatan insiden IMS di Indonesia dipengaruhi oleh faktor risiko tinggi seperti usia (laki-laki pada usia 20-34 tahun, perempuan usia 16-24 tahun, usia 20-24 tahun pada kedua jenis kelamin), wisatawan, PSK, pecandu narkoba, homoseksual.1

Trikomoniasis vaginalis merupakan IMS yang disebabkan oleh protozoa anareob berflagel, Trichomonas vaginalis (T. vaginalis) dengan insisden puncak pada usia 15-24 tahun.7,8 Stadium infektif dari T. vaginalis adalah trofozoit. Protozoa ini menempati area genital perempuan bagian bawah juga, prostat, dan uretra pada pria dalam bentuk trofozoit yang akan membelah secara binari dan kemudian akan transmisikan pada area genital pasangan seksual. Stadium diagnostiknya adalah trofozoit pada sekret vagina dan prostat. Patogenesis terjadinya infeksi T. vaginalis diawali oleh proses adhesi melalui molekul adhesi pada membran plasma sel target sehingga dapat menghasilkan molekul sitotoksik pada membran plasma sel target dan menyebabkan kerusakan.9,10 Infeksi T. vaginalis pada perempuan umumnya memiliki gejala berupa cairan vagina yang purulen. Gejala tersebut dapat pula diikuti oleh gejala lain seperti lesi pada vulva vagina maupun serviks, nyeri pada daerah abdomen, disuria, dan dispareunea.11 Diagnosis dilakukan dengan menggunakan

(4)

sampel yang diambil dari sekret vagina untuk pemeriksaan langsung (sediaan basah) dengan NaCl untuk menemukan gambaran motil trofozoit pada mikroskop. Dapat pula dilakukan pewarnaan giemsa namun pemeriksaan ini kurang sensitif. 1,11

Sifilis meruipakan IMS yang disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum (T. pallidum). Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk basil panjang, ramping, menggulung seperti heliks, atau berbentuk seperti spiral atau sekrup. Sebagai satu-satunya pejamu alami dari bakteri ini, sumber lokasi infeksi sifilis pada manusia adalah lesi aktif pada kulit atau mukosa yang kemudian akan menyebar jauh melalui aliran limfatik dan darah. Sekitar dua minggu setelah inokulasi pada lokasi awal akan muncul lesi primer pada kulit atau mukosa pasien yang disebut dengan cancre yang akan mengalami penyembuhan sendiri selama 4-6 minggu. Setelah terjadi cancre yang menandai terjadinya sifilis primer akan terjadi sifilis sekunder pada sekitar 25% kasus yang tidak mendapakan penatalaksanaan yang adekuat pada infeksi sifilis primer. Pada sifilis sekunder terdapat pembesaran kelenjar getah bening generalisata dan lesi mukosa yang umumnya simetris, mukopapular, berskuama, dan pustular. Seperti halnya infeksi sifilis sekunder yang dapat sembuh sendiri meskipun tanpa pemberian antimikroba. Fase ini disebut dengan fase laten dini yang akan berkembang menjadi fase laten lanjut apabila terjadi kekambuhan apabila tidak diobati dengan baik. Sekitar sepertiga kasus sifilis akan berlanjut menjadi fase simptomatik lanjut yang terjadi selama 10-20 tahun atau disebut sebagai dengan fase sifilis tersier.13,14

Diagnosis sifilis pada stadium sifilis primer dilakukan dengan melakukan pemeriksaan mikroskopik lapang gelap dengan spesimen yang berasal dari kerokan ulkus cancre, pemeriksaan histologi yang menunjukkan gambaran hiperplasia epidermis dan hilangnya epidermis. Stadium sifilis sekunder dilakukan pemeriksaan mikroskopik untuk menemukan spirochaeta pada lesi mukosa, biopsi kelenjar getah bening yang membesar akan memperlihatkan gambaran hiperplasia nonspesifik sentrum germinativum, dan uji antibodi nontreponema juga antibodi antitreponema yang menunjukan hasil positif.Sedangkan pada stadium sifilis tersier adalah uji antibodi nontreponema yang menunjukan hasil negatif dan uji antibodi antitreponema yang menunjukkan hasil positif. 13,14

Metode Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan desain cross-sectional dengan pengkajian analitik untuk mengetahui hubungan antara trikomoniasis vaginalis dan sifilis serta hubungannya dengan faktor usia, tingkat pendidikan, dan jenis kontrasepsi dengan

(5)

menggunakan data sekunder yang diperoleh dari penelitian Departemen Parasitologi mengenai Hubungan Antara Infeksi Menular Seksual pada Pekerja Seks Komersial di daerah Kuningan, Jawa Barat. Puskesmas Kuningan, Kuningan, Jawa Barat pada Mei 2013. Pengolahan data dilaksanakan di Departemen Parasitologi FKUI pada Juni 2013-April 2014. Sampel penelitian adalah PSK yang berasal dari daerah Kuningan, Jawa Barat yang dikumpulkan di Puskesmas Kuningan, Kuningan, Jawa Barat yang bersedia untuk dilakukan anamnesis dan pengambilan sekret vagina. Sampel diambil dengan menggunakan teknik total population.

Pada penelitian ini dilakukan analisis data mengenai hubungan trikomoniasis vaginalis dan sifilis dengan variabel bebas adalah infeksi trikomoniasis vaginalis, usia, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin; sedangkan variabel terikat adalah infeksi sifilis serta hubungan faktor usia, tingkat pendidikan, serta jenis kontrasepsi dengan trikomoniasis vaginalis dan sifilis digunakan variabel bebas yakni usia, tingkat pendidikan, dan jenis kontrasepsi; sedangkan variabel terikat adalah trikomoniasis vaginalis dan sifilis. Data dikelompokkan dalam kategori usia 16 tahun sebagai usia subjek termuda, dengan interval 5 tahun hingga usia 35 tahun; tingkat pendidikan menggunakan strata pendidikan formal di Indonesia dimulai dari SD hingga D3; dan kontrasepsi menjadi kondom, nonkondom, dan tidak menggunakan kontrasepsi.

Data yang telah diolah akan dianalisis dengan cara analisis statistik inferensial secara bivariat (crosstab) antara variabel bebas dengan variabel terikat untuk mencari nilai p dengan uji Chi-square dengan SPSS for Windows versi 1615,16

Hasil Penelitian

Sebanyak 265 PSK yang telah diberikan penjelasan mengenai prosedur penelitian, seluruhnya bersedia menjadi subjek penelitian untuk kemudian dilakukan pengambilan sekret vagina. Tabel 1 menunjukkan karakteristik subjek penelitian yang terdiri dari asal daerah. Subjek penelitian terbanyak berasal dari daerah kuningan sebanyak 72 (27,7%). Sebagian kecil subjek berasal dari daerah lain seperti Jakarta, Bogor, Haeurgeulis, Jatibarang, Tangerang, Sukamandi, Tangsel, Padang, Solok, dan Subang.

(6)

Tabel 1. Sebaran karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Asal Daerah

Asal Daerah Frekuensi n (%)

Kuningan Cirebon Indramayu Sukabumi Tasikmalaya Bandung Tangerang Subang Haurgeulis Jatibarang Tangsel Bogor Harjamukti Padang Jakarta Solok (Sumbar) Sukamandi 72 (27,7) 56 (21,1) 41 (15,5) 33 (12,5) 23 (8,7) 10 (3,8) 7 (2,6) 5 (1,9) 3 (1,1) 3 (1,1) 3 (1,1) 2 (0,8) 2 (0,8) 2 (0,8) 1 (0,4) 1 (1,4) 1 (0,4)

Tabel 2 menunjukkan sebaran usia pada subjek yang digunakan dalam penelitian ini. Subjek terbanyak berusia 16 hingga 20 tahun sebanyak 128 orang (48,3%).

Tabel 2. Sebaran karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi n (%) 16-20 tahun 21-25 tahun 26-30 tahun 31-35 tahun 128 (48,3) 77 (29,1) 53 (20,0) 7 (2,6)

Tabel 3 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan yang ditempuh oleh subjek yang digunakan dalam penelitian ini. Mayoritas subjek penelitian yakni 191 (72,1%) adalah PSK

(7)

yang memiliki pendidikan terakhir SMP atau sederajat. Sebagian kecil subjek yang memiliki pendidikan lebih tinggi yakni D3 sebanyak 8 (3%).

Tabel 3. Sebaran karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Frekuensi n (%) D3 SD SMP SMA 8 (3) 38 (14,3) 191 (72,1) 28 (10,6)

Tabel 4 menunjukan jenis kontrasepsi yang digunakan oleh PSK sebagai subjek dalam penelitian ini. Mayoritas responden merupakan PSK yang menggunakan kontrasepsi selain kondom sebanyak 174 (65,7%) sedangkan sekitar 71 subjek (26,8%) menggunakan kondom dan 20 (7,5%) yang tidak menggunakan alat kontrasepsi.

Tabel 4 Sebaran karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kontrasepsi

Jenis Kontrasepsi Frekuensi n (%) Kondom Nonkodom Tidak menggunakan 71 (26,8) 174 (65,7) 20 (7,5)

Tabel 5 memperlihatkan hubungan antara infeksi trikomoniasis vaginalis dengan menggunakan uji Chi-square. Dari 167 (63%) subjek yang positif terinfeksi trikomoniasis vaginalis sekitar 50% diantaranya juga positif sifilis. Didapatkan nilai p lebih besar dari 0,05 yakni sebesar 0,962 sehingga tidak terdapat hubungan bermakna antara infeksi trikomoniasis vaginalis dan infeksi sifilis.

(8)

Tabel 5. Hubungan Infeksi Trikomoniasis Vaginalis dan Infeksi Sifilis Variabel Sifilis Nilai P Positif Negatif n % n % Trikomoniasis Positif 83 50 84 50 0,962 Negatif 49 50 49 50 Total 132 100 133 100

Tabel 6 menunjukkan hubungan antara usia dengan koinfeksi trikomoniasis vaginalis dan sifilis dengan menggunakan uji Chi-square. Nilai p yang didapatkan adalah lebih kecil dari 0,05 yakni <0,001. Nilai p tersebut menunjukkan hubungan yang bermakna antara usia dengan koinfeksi trikomoniasis vaginalis dan sifilis.

Tabel 6. Hubungan Faktor Usia dengan Koinfeksi Trikomoniasis Vaginalis dan Sifilis

Variabel

Trikomoniasis & Sifilis

Nilai P Infeksi Campur TV saja Sifilis saja Negatif n % n % n % n % Usia 16-20 52 40,6 44 34,4 23 18,0 9 7 0,000 21-25 22 28,6 23 29,9 14 18,2 18 23,4 26-30a 9 17 17 32,1 10 18,9 17 32,1 31-35b 0 0 0 0 2 28,6 5 71,4 Total 83 31,3 84 31,7 49 18,5 49 18,5

Tabel 7 menunjukkan hubungan antara tingkat pendidikan dengan koinfeksi trikomoniasis vaginalis dan sifilis dengan menggunakan uji Chi-square. Nilai p yang didapatkan adalah lebih besar dari 0,05 yakni 0,484. Nilai p tersebut menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara pendidikan dengan koinfeksi trikomoniasis dan sifilis.

(9)

Tabel 7. Hubungan Faktor Tingkat Pendidikan dengan Koinfeksi Trikomoniasis dan Sifilis

Variabel

Trikomoniasis & Sifilis

Nilai P Infeksi Campur TV saja Sifilis saja Negatif n % n % n % n % Pendidikan SD 7 18,4 13 34,2 10 26,3 8 21,1 0,484 SMP 66 34,6 58 30,4 34 17,8 33 17,3 SMAc 9 32,1 10 35,7 4 14,3 5 17,9 D3d 1 12,5 3 37,5 1 12,5 3 37,5 Total 83 31,3 84 31,7 49 18,5 49 18,5 c,d digabung untuk keperluan statistika

Tabel 8 menunjukkan hubungan antara jenis kontrasepsi dengan koinfeksi infeksi trikomoniasis dan sifilis dengan menggunakan uji Chi-square. Nilai p yang didapatkan adalah lebih besar dari 0,05 yakni 0,346. Nilai p tersebut menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara jenis kontrasepsi dengan koinfeksi trikomoniasis dan sifilis.

Tabel 8. Hubungan Faktor Jenis Kontrasepsi dengan Koinfeksi Trikomoniasis dan Sifilis

Variabel

Trikomoniasis & Sifilis

Nilai P Infeksi Campur TV saja Sifilis saja Negatif N % N % n % n % Jenis Kontra-sepsi Kondom 21 29,6 19 26,8 18 25,4 13 18,3 0,846 Non-kondom 62 32,0 65 33,5 31 16,0 13 18,6 Total 83 31,3 84 31,7 48 18,1 50 18,9 Diskusi

Pada penelitian ini didapatkan 63% subjek terinfeksi trikomoniasis vaginalis dan 50% subjek terinfeksi sifilis. Dari 63% subjek yang positif terinfeksi trikomoniasis vaginalis

(10)

tersebut 50% diantaranya juga positif sifilis. Didapatkan pula nilai P 0,962 yang menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakana antara trikomoniasis vaginalis dan sifilis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada individu yang positif trikomoniasis vaginalis dapat mengalami sifilis, begitu pula sebaliknya. Namun demikian pada penelitian ini tidak dapat diketahui hubungan kausalitas diantara keduanya karena keterbatasan penelitian yang menggunakan design crossectional.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Alsworth JE, dkkl (2009) yang menunjukkan terdapat hubungan antara infeksi trikomoniasis vaginalis dan sifils pada wanita usia reproduktif di Amerika Serikat. Pada penelitian tersebut didapatkan 3,5% subjek dengan trikomoniasis vaginalis positif juga terdeteksi positif sifilis dengan nilai P <0,001.6 Penelitian tersebut merumuskan hipotesis bahwa pada individu yang terinfeksi trikomoniasis vaginalis akan lebih mudah terinfeksi penyakit infeksi menular seksual lain seperti sifilis karena infeksi trikomoniasis vaginalis akan menyebabkan rekruitmen dari sel-sel imun lokal dan menyebabkan lesi pada daerah vagina, sehingga meningkatkan risiko masuknya patogen lain seperti T. pallidum pada vagina melalui lesi aktif tersebut. Hal serupa juga dijelaskan oleh Cohen MS dkk (1997)19 mengenai pencegahan penyakit infeksi menular seksual dan penelitian mengenai transmisi Trichomonas vaginalis oleh Sorvillo F dkk (1998).20

Subjek pada penelitian tersebut adalah wanita usia reproduktif dimana pada penelitian ini subjek yang digunakan adalah subjek dengan risiko tinggi mengalami infeksi menular seksual akibat frekuensi berhubungan seksual dan berganti pasangan yang tinggi pada PSK, sehingga terjadinya sifilis dan trikomoniasis pada PSK tinggi. Selain itu dengan metode penelitian cross sectional tidak dapat ditentukan apakah PSK dengan positif terinfeksi sifilis disebabkan oleh infeksi trikomoniasis vaginalis sebelumya melalui lesi aktif sebagai jalur masuknya infeksi T. pallidum, atau sebaliknya infeksi trikomoniasis yang justru menyebabkan terjadinya infeksi sifilis pada PSK, atau terjadinya kedua infeksi tersebut berjalan masing-masing tanpa korelasi.

Pada penelitian ini didapatkan 81 subjek (31,3%) yang teridentifikasi positif terinfeksi T. vaginalis dan positif terinfeksi T. pallidum, 40,6% diantaranya merupakan subjek yang berusia 16 hingga 20 tahun, sedangkan 28,6% diantaranya berusia 21 hingga 25 tahun, dan sisanya sekitar 17% berada pada usia 26 hingga 30 tahun. Didapatkan nilai p<0,001 sehingga didapatkan hubungan yang bermakna antara usia dan terjadinya trichomoniasis, sifilis, maupun kedua infeksi tersebut secara bersamaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa baik trikomoniasis vaginalis maupun sifilis dapat terjadi pada usia tertentu yakni usia reproduktif.

(11)

Hal serupa juga yang dijelaskan oleh Daili SF dkk (2011), bahwa usia merupakan salah satu faktor risiko tinggi yang menyebabkan seorang individu dapat terinfeksi IMS. Individu yang tergolong dalam kelompok usia risiko tinggi untuk terinfeksi IMS adalah wanita berusia 16 hingga 24 tahun.1 Dimana pada penelitian ini 2 kelompok usia terbanyak dari subjek yang digunakan merupakan wanita yang tergolong dalam wanita dengan risiko tinggi untuk terinfeksi IMS yakni 48% subjek berusia 15 hingga 20 tahun diikuti wanita yang berusia 21 hingga 25 tahun sebanyak 29,1%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Adebowale AS dkkl (2013), juga menyatakan bahwa bahwa umur merupakan salah satu faktor risiko terjadinya IMS.21

Pada peneilitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor tingkat pendidikan dengan trikomoniasis vaginalis dan sifilis. Dari 81 subjek (31,3%) yang terinfeksi T. vaginalis dan T. pallidum mayoritas memiliki pendidikan tertinggi SMP. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa baik trikomoniasis vaginalis maupun sifilis dapat terjadi pada PSK dengan berbagai tingkat pendidikan.

Hal ini berbeda dengan pernyataan Daili SF (2011), yang menyatakan bahwa faktor pendidikan, dalam hal ini adalah ketidak tahuan mengenai IMS dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya IMS.1 Penelitian yang dilakukan oleh Allsworth JE (2009)6 dan Adebowale AS dkkl (2013)21 juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan terjadinya trikomoniasis vaginalis dan sifilis. Hal ini disebabkan karena terdapat faktor variabel lain yang lebih kuat pada penelitian ini yaitu pekerjaan sebagai PSK pada usia risiko tinggi terjadinya IMS.

Pada peneilitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor jenis kontrasepsi dengan terjadinya trikomoniasis vaginalis dan sifilis. Dari 81 subjek (31,3%) yang terinfeksi T. vaginalis dan T. pallidum mayoritas subjek tidak menggunakan kondom sebagai alat kontrasepsi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa baik trikomoniasis vaginalis maupun sifilis dapat terjadi pada semua PSK dengan berbagai jenis kontrasepsi.

Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Allsworth JE (2009), yang menyatakan bahwa faktor penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi sekaligus barrier dalam penyebaran terjadinya IMS.6 Hal yang serupa juga dijelaskan oleh Adebowale AS dkkl (2013) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor penggunaan kondom dan terjadinya IMS.21 Perbedaan hasil pada penelitian ini dapat disebabkan subjek yang digunakan pada kedua penelitian ini adalah subjek yang berisiko tinggi terinfeksi IMS yakni PSK dan wanita pada usia risiko tinggi (16-24 tahun).

(12)

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagi berikut:

1. 27,7% subjek berasal dari daerah kuningan dengan rentang usia terbanyak adalah pada usia 15 hingga 20 tahun sebanyak 48,3%. Mayoritas subjek yakni 72,1% memiliki pendidikan tertinggi SMP atau sederajat. Jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh subjek adalah kontrasepsi nonkondom sebanyak 65,7%.

2. Prevalensi trikomoniasis vaginalis pada pekerja seks komersial (PSK) di daerah Kuningan, Jawa Barat adalah 63%.

3. Prevalensi infeksi sifilis pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat adalah 50%. 4. PSK yang positif terinfeksi trikomoniasis vaginalis dan positif terinfeksi sifilis adalah

50%. Tidak ditemukan hubungan antara infeksi trikomoniasis vaginalis dan infeksi sifilis pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat (p=0,926).

5. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan trikomoniasis vaginalis dan sifilis pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat (p<0,001).

6. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan trikomoniasis vaginalis dan sifilis pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat (p=0,484).

7. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kontrasepsi dengan trikomoniasis vaginalis dan sifilis pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat (p=0,084).

Saran

Saran yang dapat peneliti berikan terkait dengan penelitian ini adalah dilakukan penyuluhan kepada PSK sebagai subjek dengan risiko tinggi IMS dan pasangan usia subur di daerah Kuningan, Jawa Barat mengenai penyakit-penyakit IMS, penularannya, dan pencegahannya serta diadakan penelitian lain mengenai hubungan infeksi trikomoniasis vaginalis dan sifilis dan IMS lain yang lebih bervariasi.

(13)

1. Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi menular seksual, 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011. p 001-190.

2. Harahap M. Penyakit menular seksual. Jakarta: PT.Gramedia; 1984.

3. Tanudyaya FK, Rahardjo E, Bollen LJ, dkk. Prevalence of sexually transmitted infection and sexual risk behaviour among female sex workers in nine provinces in indonesia, 2005. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2010; 41(2): p 463-73. 4. Saifudin AB. Overview of sexual transmitted disease in Indonesia. Issues in

Management of STDs in Family Planning Settings. Jakarta. [cited on 25 November

2013 at 10.00 pm.] Available from:

http://www.hawaii.edu/hivandaids/Overview%20of%20STDs%20in%20Indonesia.pdf

5. Iskandar MB. Improved reproductive health and std services for women presenting to family planning services in North Jakarta. The Population Council - Jakarta and the Indonesian Ministry of Health HIV/AIDSPrevention Project under USAID Funding Coordinated byFamily Health International/AIDSCAP in collaboration with the U.S. Centers for Disease Control. [cited on 26 November 2013 at 08.00 pm] Available from: http://www.popcouncil.org/pdfs/frontiers/OR_TA/Asia/indo_STD.pdf

6. Allsworth JE, Ratner BS, Jeffrey FP. Trichomoniasis and other sexually transmitted infections: result from the 2001-2004 NHANES surveys. Sex Transm Dis. 2009; 36(12): p 738-44.

7. Curtis MG, Overholt S. Hopkins MP. Glass’s office gynecology. 6th ed. Lippincott william & wilkins; 2006.

8. Schwebke JR, Burgess D. Trichomoniasis. Clinical microbiology review. 2004; 17(4). p 794–803.

9. Gillespie SH, Pearson RD. Principle and practice of clinical parasitology. New york: John willey & sons; 2001. p 243-68.

10.Lamb TC. Immunity to parasitic infection. Uuk: John Willey & Sons; 2012.

11.Anonimous. Trichomoniasis. [cited on 26 November 2013 at 11.00 pm]. Available

from:

http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Frames/S-Z/Trichomoniasis/body_Trichomoniasis_page2.htm#Clinical Features

12.Anonimous. Syphilis. [cited on 26 November 2013 at 11.00 pm]. Available from: http://www.cdc.gov/std/stats11/syphilis.htm

13.Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbins and Cotran: pathologic basis of disease, 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p 750-53.

(14)

14.Brooks GF. Jawetz, Melnick, & Adelberg's medical microbiology. San Francisco: The McGraw-Hill Companies; 2007.

15.Sudigdo Sastroasmoro, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: CV Sagung Seto; 2010. p 314.

16.Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan, 5th ed. Jakarta: Salemba Medika; 2011.

17.Kartika SP, Muslimi HM, Safarianti U. Incident of gonorrhoeae infection on commercial sex workers at ex-localization pembantuan subdistrict landasan ulin banjarbaru. Epidemiology and Zoonis Journal. 2012; 4(1). p 29-35.

18.Duff P, Shoveller J, Zhang R, Alexson D, Montaner JSG, Shannon K. High lifetime pregnancy and low contraceptive usage among sex workers who use drugs-an unmet reproductive health need. BMC Pregnancy Childbirth. 2011; 11(61). p 1-8.

19.Cohen MS, Hoffman IF, Royce RA, dkk. Reduction of concetration of hiv-1 in semen sfter treatment of urethritis; implication for prevention of sexual transmion of HIV-1. AIDSCAP Malawi Research Group. Lancet. 1997; 349(9096). p 1868-73.

20.Sorvillo F, Kerndt P. Trichomonas vaginalis and Amplification of HIV-1 Transmission. Lancet. 1998; 351(9097). p 213-4.

21.Adebowale AS, Titiloye, Fagbamigbe AF, Akinyemi OJ. Statistical modeling of social risk factors for sexually transmitted dieases among female youth in Nigeria. J.Infect Dev Ctries. 2013; 7(1): 017-027.

Gambar

Tabel 1. Sebaran karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Asal Daerah
Tabel 4 menunjukan jenis kontrasepsi yang digunakan oleh PSK sebagai subjek dalam  penelitian  ini
Tabel 5. Hubungan Infeksi Trikomoniasis Vaginalis dan Infeksi Sifilis  Variabel  Sifilis  Nilai P Positif Negatif  n  %  n  %  Trikomoniasis  Positif  83  50  84  50  0,962  Negatif  49  50  49  50  Total  132  100  133  100
Tabel 7. Hubungan Faktor Tingkat Pendidikan dengan Koinfeksi Trikomoniasis dan  Sifilis

Referensi

Dokumen terkait

According to available data from 2008 to 2016 and studies on a variety of modeling methods using time series analysis, the modeling is based on polynomial method and

Nama Dokumen Kurikulum PGSD FKIP UMMI. Tanggal 14

Upaya penegakan hukum lainnya, yakni terkait dengan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal yang berbendera asing (KIA), yang diduga telah

Sehubungan dengan penelitian untuk tesis pada Magister Sains Ilmu Akuntansi Universitas Sumatera Utara Medan, yang berjudul : Pengaruh Kewenangan Formal, Sistem Informasi

Untuk mengetahui dan menganalisa signifikansi pengaruh kriteria fokus kepada operasi terhadap kinerja PT Trakindo Utama Cabang Medan.

Beberapa contoh kasus keberhasilan pendidikan karakter pada anak-anak usia pra-sekolah menunjukan bahwa anak-anak usia pra-sekolah sudah dapat diberikan

Pola tugas kepolisian pun terus dikembangkan, sehingga diharapkan mampu menekan terjadinya setiap permasalahan kehidupan masyarakat agar tidak terjadi kejahatan atau

Ekstraksi 50 g serbuk daun, ranting, kulit batang, dan akar pasak bumi secara berurutan dengan heksana, etil asetat, dan metanol bertingkat maupun metanol langsung