• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNALIS MUSLIM DI AREA KONFLIK PADA BUKU 168 JAM DALAM SANDERA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "JURNALIS MUSLIM DI AREA KONFLIK PADA BUKU 168 JAM DALAM SANDERA."

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

JURNALIS MUSLIM DI AREA KONFLIK

PADA BUKU ‘168 JAM DALAM SANDERA’

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Penyiaran Islam

(S.Sos)

ZUR’AH BUDIARTI

NIM. B71213068

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM JURUSAN KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Zur’ah Budiarti, NIM. B71213068, 2017. Jurnalis Muslim di Area Konflik Pada Buku ‘168

Jam dalam Sandera’

Kata kunci : Jurnalis, Jurnalistik Muslim, Area Konflik

Penelitian ini menggunakan metode peneletian Analisis Naratif yang merupakan bagian dari Analisis Teks Media yang bersifat non kancah, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif.

Bagaimana sosok jurnalis muslim di area konflik pada buku 168 jam dalam sandera? Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawabannya. Dengan mencermati narasi story, plot, posisi narator dalam narasi, serta ideologi narator dalam narasi, maka dapat ditemukan beberapa poin terkait jurnalis muslim di area konflik. Pertama, mereka selalu bekerja dalam kondisi dilematis dan penuh ketertekanan. Kedua, mereka memiliki sikap tenang dan menguasai medan liputan. Ketiga, memegang prinsip penyampai kebenaran. Keempat, selalu berupaya memenuhi nurani sebagai jurnalis damai. Kelima, memperhatikan etika komunikasi konflik. Terakhir dalam poin keenam, menjadi jurnalis berdedikasi tanpa meninggalkan nurani.

Dan dari hasil temuan itu, kemudian juga membuktikan bahwasanya jurnalis muslim di area konflik juga telah melakukan berbagai bentuk – bentuk praktik jurnalis yang sesuai dengan prinsip jurnalistik secara umum, lalu jurnalistik Islam, serta ditambah lagi dengan jurnalis damai. Sementara itu, beberapa hal masih harus terus diupayakan oleh seluruh jurnalis muslim, media, maupun pemerintahan, jika berdasarkan pada apa yang disajikan pada penelitian ini, yaitu mulai dari selalu menjadi pembaharu Islam dengan menyediakan berita – berita seimbang tentang Islam sesuai dengan kaidah – kaidah jurnalistik.

(7)

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

PERTANGGUNGJAWABAN SKRIPSI ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Konseptualisasi ... 12

F. Sistematika Pembahasan... 14

BAB II : KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Teori Substantif ... 16

1. Jurnalis Muslim ... 16

2. Jurnalistik Islami ... 17

3. Jurnalisme dan Agama ... 21

4. Jurnalisme dan Agama ... 20

5. Jurnalistik Damai ... 23

6. Prinsip – prinsip Jurnalistik ... 25

7. Komunikasi Internasional ... 29

(8)

9. Komunikasi Nonverbal ... 34

10. Interaksionisme Simbolik ... 36

B. Kajian Penelitian Terdahulu ... 38

BAB III : METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 39

B. Sumber Data Penelitian ... 40

C. Tahapan Penelitian ... 41

D. Teknik Pengumpulan Data ... 42

E. Teknik Analisis Data ... 43

BAB IV : ANALISIS DATA A. Deskripsi Objek Penelitian ... 50

B. Analisis Data ... 54

C. Temuan Penelitian ... 61

1. Bergumul dengan Kondisi Dilematis dan Penuh Tekanan ... 61

2. Memiliki Sikap Tenang dan Tahu Medan ... 70

3. Memegang Prinsip Penyampai Kebenaran ... 74

4. Memenuhi Nurani Jurnalisme Damai ... 79

5. Memperhatikan Etika dalam Situasi Konflik ... 82

6. Menjadi Jurnalis Berdedikasi Tanpa Meninggalkan Nurani ... 85

D. Konfirmasi Teori ... 90

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 96

B. Rekomendasi ... 97

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel.I : Kajian Penelitian Terdahulu ... 38

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dimensi agama muncul sedikit banyak di hampir semua peliputan. Proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat muatan dan sosialisasi nilai agama, hadir sebagai konsumsi sehari – hari masyarakat. Contohnya saja agama Islam yang bukan hanya disorot akidah, kultur, serta aplikasi nilai – nilainya pada kehidupan

masyarakat, melainkan juga penerapan Islam sendiri sebagai sandaran dalam memberitakan peristiwa, ini kemudian disebut sebagai jurnalistik Islami.

Dalam disiplin dakwah, jurnalistik Islami merupakan bagian dari dakwah bil qalam

atau dakwah bil kitabah (dakwah melalui pena/tulisan). Jurnalis Muslim sebagai aktor dari pelaksanaan format dakwah melalui tulisan, berusaha memperjuangkan kebenaran akidah, pemikiran dan perilaku Islami umat Islam melalui media massa yang memiliki kekuatan massif untuk membentuk opini publik.

Berbagai kondisi peristiwa yang melibatkan Islam di dalamnya membutuhkan jurnalis Muslim yang mampu memberitakan secara lengkap, jelas, jujur dan faktual. Sekalipun dihadapkan pada serangan orientalis dan situasi liputan yang beresiko, yang biasanya kerap terjadi pada konflik internasional.

(11)

2

agama dan pemerintah terkait yang memiliki otoritas tertentu. Beberapa kasus misalnya menjelaskan.

Pressure on journalists comes not just from religious actors but also from state authorities who conflate the coverage of radical groups with complicity with religious extremism. For example, in June 2011, Urinboy Usmonov, a reporter for The British Broadcasting Corporation (BBC) World's Uzbek service, was arrested in Tajikistan and convicted of "extremism" after meeting with members of the banned Islamist group Hizb-ut-Tahrir. Although he was released on bail in July and later granted amnesty, his conviction sent a chilling message to reporters covering sensitive religious stories.1

Jadi, seorang jurnalis BBC untuk wilayah Uzbek, Urinboy Usmanov mengalami tekanan dan stigma sebagai pendukung kaum ekstrimis hanya karena bertemu dengan anggota kelompok Hizbut Tahrir. Dia ditangkap di Tajikistan, meski pada akhirnya ia dibebaskan. Ini menunjukkan bagaimana pemberitaan terkait agama begitu sensitif.

Hal lainnya, secara lebih jelas tercermin di tahun 2001 ketika gempar kasus serangan pada World Trade Center. BBC memberlakukan kebijakan yang sifatnya diskriminatif pada jurnalis Muslim. Pada konteks kasus tersebut, The Mouslim Council Of Britain (MBC) menyebutkan bahwa BBC telah menyerah pada tekanan dari anggota parlemen pro-Israel dan telah memutuskan untuk menyoroti afiliasi agama jurnalis Muslim yang menyiarkan laporan berita. Sebagai sebuah asosiasi Muslim Inggris, MCB saat itu mengecam keras tindakan BBC. Sebab hal itu merupakan bentuk ancaman bagi jurnalis Muslim dalam mengemban tugas profesinya. Jurnalis Muslim saat itu dicurigai turut andil dalam serangkaian konspirasi tindakan teror, yang menyebabkan bangunan

World Trade Center runtuh.

In a letter from the BBC Radio 4 flagship programme, The World Tonight, BBC

officials said that the journalist Faisal Bodi’s alleged position as “an avowed

1 Jean-Paul Marthoz. Extremists Are Censoring the Story of Religion. https://cpj.org/2013/02/attacks-on-

(12)

3

supporter of Islamic causes” “should have been made clear” in the introduction

to his news report of April 17th 2001.

“This perceived policy of religious discrimination against Muslim journalists is

odious and absolutely unacceptable and must be withdrawn immediately,” said Mr

Yousuf Bhailok, Secretary-General of the MCB.

It is a perverse decision. The BBC has accepted that Mr Bodi’s report was ‘factual, fair and balanced’, yet they are insisting – in the wake of pro-Israeli protests – that

Mr Bodi’s alleged political and religious affiliation should be broadcast as well. The BBC certainly does not do this for the many Jewish journalists that work for

them – so why for a Muslim journalist?” added Mr Bhailok.2

Posisi jurnalis Muslim menjadi penuh beban resiko baik dari segi tanggung jawab pemberitaan maupun fisik yang dipertaruhkan ketika menghadapi ancaman – ancaman tertentu. Menyikapi berbagai tekanan tersebut, di satu sisi, jurnalis Muslim harus memberitakan realita yang ada secara objektif sesuai dengan prinsip – prinsip jurnalistik, namun tidak dipungkiri nurani jurnalis Muslim akan ikut terlibat dalam proses peliputan dan penulisan laporan berita, ini terkait dengan prinsip kebenaran agama Islam yang coba diperjuangkan. Sebab selama ini media – media mainstream dalam skala peliputan internasional, masih banyak melibatkan pandangan ketakutan berlebihan terhadap Islam (Islamophobia). Sehingga bias – bias pemberitaan terhadap Islam pun menjadi tak terhindarkan, apalagi di lokasi – lokasi yang memantik perseteruan internasional.

Untuk itu, jurnalis Muslim bukan hanya memerhatikan prinsip – prinsip kebenaran memberitakan, tetapi juga prinsip – prinsip kebenaran agama yang akan ditampilkan dalam sebuah laporannya. Tindakan tersebut bukan berdasar ambisi atau tendensi politik tertentu, melainkan untuk menjadi antitesa dari kenyataan pada kondisi peliputan internasional yang cenderung masih menyulitkan para jurnalis Muslim di banyak hal.

2 Muslim Council of Britain (MCB) Archive. BBC Religious Discrimination Policy Against Muslim Journalists.

http://archive.mcb.org.uk/bbc-religious-discrimination-policy-against-Muslim-journalists/

(13)

4

Satu aliran yang harus dipilih oleh jurnalis Muslim di area konflik adalah Jurnalisme damai, sebuah paham jurnalisme yang mengingatkan kembali insan jurnalis bahwa mereka memiliki peran untuk mendamaikan atau memanaskan.3 Tentunya pada konteks peliputan di area konflik, posisi jurnalis Muslim diletakkan sebagai agen pembawa kedamaian. Seperti yang diserukan dalam Qur’an Surat Al Imran : 104

artinya;

“Hendaklah di antara kamu segolongan yang mengajak kepada kebaikan,

menyuruh berbuat baik dan mencegah (melarang) dari perbuatan yang munkar

(perbuatan keji/maksiat).” 4

Implementasi dari ayat ini bisa termasuk dengan mencegah timbulnya konflik agama yang lebih besar. Dan berusaha membuat framing pemberitaan yang menguntungkan bagi agama Islam dengan tetap mengindahkan prinsip – prinsip jurnalistik.

Dijelaskan secara garis besar dan umum tentang tafsir ayat ini, Allah SWT berfirman bahwasanya hendaklah ada dari kalian sejumlah orang yang bertugas untuk

menegakkan perintah Allah, yaitu dengan menyeru orang-orang untuk berbuat

kebajikan dan melarang perbuatan yang mungkar, mereka adalah golongan yang

beruntung. Rasulullah pun bersabda, “Yang dimaksud dengan kebajikan ini ialah

mengikuti Al-Qur’an dan sunnahku.” Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih.5

3Srikit Syah. Membincang Pers, Kepala Negara, dan Etika Media. Jakarta : Elex Media Komputindo, 2014.

Hal. 34.

4

Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Gema Risalah Press, 1989

(14)

5

Jadi, Makna yang dimaksud dari ayat ini ialah hendaklah ada segolongan orang dari kalangan umat ini yang bertugas untuk mengemban urusan tersebut, sekalipun urusan tersebut memang diwajibkan pula atas setiap individu dari umat ini.6 Jurnalis Islam menjadi tergolong, kemudian untuk berusaha mewujudkan tegaknya perintah Allah, para insan jurnalis Muslim bekerja dengan tetap melihat Al –Qur’an dan Sunnah sebagai panduan, lantas khusus dalam menangani peliputan di area konflik jurnalis Muslim agaknya harus memperhatikan dan memilih menggunakan paham jurnalisme damai. Untuk mencegah terjadinya kemungkaran, yang dalam konteks ini berarti konflik yang lebih besar.

Pertaruhan nyawa sang jurnalis dalam proses peliputan berita ini memang tidak bisa menghalangi para jurnalis untuk tetap menerapkan profesionalisme kerja. Dalam hal ini jurnalis sesuai dengan fungsinya akan tetap berusaha menghadirkan informasi yang benar bagi masyarakat, terkait politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu undang – undang negara pun telah mengatur fungsi pers, yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol sosial.7 Untuk itu, hukum selayaknya benar – benar melindungi cara kerja jurnalis selama ini. Sebab eksistensi pers, fungsi dan peranannya telah termuat dalam Undang – Undang negara.

Realitanya, tak jarang para jurnalis Muslim di medan perang mengalami ancaman kekerasan bahkan kematian, tetapi hal tersebut tak menghalangi mereka untuk tetap memburu informasi yang paling diinginkan dan dibutuhkan masyarakat. Peliputan – peliputan yang membawa nilai resiko tersebut biasanya berhubungan dengan pemberitaan terkait konflik antar negara, politik, dan sentimen agama. Seringkali para jurnalis rela untuk bertaruh semuanya demi eksklusivitas sebuah berita. Ini kemudian

6 Ibid,. 55

7

(15)

6

menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam, tentang bagaimana kondisi peliputan yang dilakukan oleh jurnalis Muslim di area konflik. Satu contoh dari hal ini cukup kuat digambarkan pada peristiwa peliputan di Irak pada tahun 2005 yang melibatkan dua orang jurnalis Muslim asal Indonesia.

Meutya Hafid dan Budiyanto yang saat itu bekerja pada Metro TV, dalam peliputan pemilu pertama di Irak pasca invasi yang dilakukan oleh Amerika tersebut, menghadapi beberapa ancaman peliputan di medan berbahaya, seperti bersingungan langsung dengan desingan peluru bahkan ledakan bom. Setelah itu pada puncaknya, kedua jurnalis ini mengalami penculikan yang dilakukan oleh kelompok mujahidin, saat hendak melakukan peliputan terkait perayaan peringatan Asyura di Kota Karbala. Rencana peliputan itu juga tak lepas dari resiko, pasalnya pada waktu itu selama dua kali peringatan besar – besaran sebelumnya, selalu mengundang peristiwa kekerasan yang disinyalir dilakukan oleh kaum Sunni.8 Gesekan antar aliran Sunni – Syi’ah yang terjadi di Irak memang sangat kuat dan kerap memantik korban yang tak sedikit.

Kejadian yang dialami oleh Meutya dan Budiyanto tersebut telah dituliskan dalam sebuah buku memoar yang berjudul ‘168 Jam dalam Sandera’. Lantas, buku ini yang akan dikaji dan dipahami untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh mengenai dinamika peliputan di area berbahaya. Buku ‘168 Jam dalam Sandera’ dipilih karena

memiliki substansi pembahasan yang kuat tentang jurnalis Muslim di area konflik, meskipun buku ini tergolong terbitan lampau.

Meski terpaut sepuluh tahun dari tahun penerbitannya, namun buku ini tetap bisa menjadi rujukan bagi setiap jurnalis maupun pembaca umum (non profesi jurnalis) yang hendak mengetahui secara lebih dalam perihal kerja professional pers, hubungan

8

(16)

7

kerjasama antara pemerintah, maupun asosiasi pers dunia dengan para jurnalis. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan langsung beberapa jurnalis senior maupun tokoh - tokoh Nasional Indonesia yang telah membaca langsung buku ini. Seperti Rosihan Anwar, Anies Baswedan, Don Bosco Salamun, Dien Syamsudin, Haidar Baqir, hingga Dian Sastrowardoyo. Rosihan Anwar sebagai jurnalis senior, mewakili kelima tokoh lain yang hadir dalam peluncuran buku ‘168 Jam dalam Sandera’ tersebut dan menyatakan bahwa buku non-fiksi ini wajib dibaca oleh para jurnalis Indonesia.9

Adapula pernyataan menarik dari Dian Sastrowordoyo, salah satu aktris terkemuka Indonesia. Ia mengaku setelah membaca buku ‘168 Jam dalam Sandera’, dirinya menjadi begitu tertarik untuk alih profesi sebagai jurnalis. Dian yang juga pernah memerankan sebuah karakter tokoh jurnalis, dalam serial televisi Indonesia berjudul Dunia Tanpa Koma berujar, “Orang yang punya dedikasi besar untuk mengungkap sebuah kebenaran dan disampaikan kepada masyarakat, itulah tugas besar seorang jurnalis. Membaca kisah Mbak Meutya dimana dia harus laporan sebagai jurnalis sedangkan pada saat itu dirinya sedang menjadi korban, ini sangat dilematis menurut aku untuk seorang jurnalis.”10

Presiden Susilo Bambang Yudhyono selaku pemangku kebijakan negara tertinggi saat kejadian yang menimpa Meutya dan Budiyanto berlangsung, juga turut memberikan kata pengantarnya untuk buku ‘168 Jam dalam Sandera’ tersebut dengan inti bahwa pengalaman Meutya dan Budiyanto yang telah dituliskan dalam buku, sangat penting untuk diketahui komunitas jurnalis, terutama mereka yang seringkali berada dalam situasi konflik dan penuh resiko.11

9

http://perca.blogspot.co.id/2007/10/peluncuran-buku-168-jam-dalam-sandera.html

10

https://hot.detik.com/celeb/835746/index.html/speakup

11

Hafid Meutya. 168 Jam dalam Sandera: Memoar Jurnalis Indonesia yang Disandera di Irak. Jakarta :

(17)

8

Sekali lagi, meski buku ini diterbitkan bertahun – tahun lalu, tetapi gaungnya masih bisa ditemui. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Mizan.com menuliskan nama Meutya ke dalam lima tokoh pers inspiratif Indonesia, bersanding dengan nama – nama

lain seperti Andy F. Noya dan Goenawan Mohammad. Keterpilihan Meutya tentu saja disebabkan karena kiprahnya saat peliputan konflik di Irak, yang menunjukkan keprofessionalitasannya. Serta buku ‘168 Jam dalam Sandera’ yang mampu ia tuliskan sebagai pengalaman liputan dimana hingga saat ini bisa dinikmati sebagai karya jurnalistik sekaligus guidelines book untuk jurnalis Indonesia.

Sementara itu, persoalan keselamatan kerja bagi jurnalis yang dialami Meutya juga Budiyanto, serta menjadi bingkai serangkaian peristiwa pada narasi buku ‘168 Jam dalam Sandera’ sebenarnya sangat terkait dengan upaya Pemerintah Indonesia. Dalam hal ini pemerintah melindungi jurnalis lewat berlakunya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa setiap pekerja berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan, kesehatan kerja, moral dan kesusilaan serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan agama. Secara khusus juga telah ada keseriusan lebih untuk keamanan profesi ini, yang spesifik diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pasal 8 yang juga menyebutkan bahwa jurnalis dalam menjalankan profesinya mendapat perlindungan hukum.12

Bukan hanya itu saja, pada tataran internasional telah ada beberapa asosiasi yang akan membantu insan jurnalis ketika melakukan peliputan di area konflik, dimana biasanya melibatkan antar negara. Committee to Protect Journalist (CPJ) misalnya, merupakan sebuah asosiasi tingkat dunia yang mewadahi pers dari kawasan Amerika, Afrika, Eropa, Asia, dan Timur Tengah. CPJ menyediakan panduan dasar cara kerja

12

(18)

9

aman di area berbahaya. Selain itu CPJ terus berusaha mengampanyekan Protecting

Journalist Covering Conflict.

News organizations and press groups have signed up to a list of principles designed to improve safety and help journalists and news organizations talk about safety with each other. Although there is no such thing as foolproof security, there are basic steps that news organizations and individual journalists can take to understand risk and improve their chances of protecting themselves and their sources.13

Sedangkan, untuk menghadapi liputan – liputan yang berkaitan dengan agama, jurnalis Muslim bisa diwadahi oleh International Association of Religion Journalists. Organisasi ini memiliki beberapa goals yang salah satunya adalah untuk meningkatkan keterampilan yang jurnalis Muslim dalam meliput berita agama melalui pengembangan sumber daya, pelatihan industri, pedoman etika, pertemuan dan dialog serta kemitraan dengan organisasi terkait.

To encourage religion reporting and expand the global network of journalists who report on religion. Second, to foster cross-border reporting and the establishment of local and regional cooperation. And third, to enhance the skills involved in covering religion news stories through the development of religion data resources, industry training, ethical guidelines, meetings and dialogues and through

partnerships with related organizations.14

Tidak mudah memang untuk menjalani serangkaian proses peliputan yang penuh dinamika konflik bagi seorang jurnalis Muslim. Sekalipun telah ada konstitusi Negara yang melindungi mereka ataupun sejumlah asosiasi pers Internasional yang pasang badan untuk para jurnalis di medan tersebut. Berhadapan dengan banyak resiko mulai dari keterbatasan ruang gerak liputan, sulitnya menembus medan liputan, adaptasi dengan lingkungan yang penuh nuansa ketercekaman dan kegetiran karena konflik. Belum lagi sejumlah ancaman dan intimidasi yang meyertai setiap usaha pelaporan berita harus dihadapi dengan berani oleh para jurnalis. Meutya Hafid dan Budianto

13

https://cpj.org/campaigns/protecting-journalists-covering-conflict/protecting-journalists-covering-conflict.php

(19)

10

salah dua dari jurnalis Muslim Indonesia yang berhasil melewati masa – masa sulit mereka saat bertugas di area konflik. Buku meutya ‘168 jam dalam sandera’ memberikan banyak gambaran secara khusus dan mendalam kondisi jurnalis Muslim saat melakukan tugasnya di area konflik.

Lewat buku tersebut ada semangat memperkaya khasanah jurnalistik, dan simbolisme tauladan untuk kaum jurnalis yang tercermin, namun secara khusus dan personal Meutya sebagai penulis ingin memberikan perhatian lain dan menyampaikan sesuatu yang penting kepada tiap pembacanya. Bahwa dirinya yang seorang Muslim juga memiliki peran dalam profesi jurnalis yang diembannya. Jurnalistik Islam yang melibatkan aktor jurnalis Muslim membawa Meutya untuk bersikap bukan hanya sebagai penyampai kebenaran atau pengabar fakta melainkan juga agen dakwah melalui tulisan (dakwah bil qalam).

Misi seorang jurnalis Muslim atau da’i melalui tulisannya, yang harus ia tunaikan adalah memberitakan kebenaran ajaran Islam. Lewat penelitian ini akan digambarkan bagaimana sebenernya Meutya sebagai jurnalis Muslim berusaha menberitakan secara berimbang terkait Irak juga peristiwa di dalamnya, walau ia mengalami penyanderaan oleh kelompok mujahidin Irak sebagai resiko dari tugas profesinya. Dan selama bertugas pun Meutya serta Budianto tidak pernah melepaskan secara sadar nilai – nilai

atau ajaran Islam dalam proses peliputan.

B. Rumusan Masalah

(20)

11

C. Tujuan Penelitian

Memberikan gambaran jurnalis Muslim di area konflik yang tertuang dalam buku ‘168 Jam dalam Sandera’

D. Manfaat Penelitian Secara Teoritis :

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu komunikasi khususnya dalam lingkup jurnalistik Islam.

Secara Praktis :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya jurnalistik yang ada hubungannya dengan Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam.

2. Untuk membantu masyarakat memahami bentuk kinerja jurnalis dalam menghadapi ketegangan kondisi peliputan konflik, politik maupun sentimen agama.

(21)

12

E. Konseptualisasi

Jurnalis Muslim di Area Konflik

Jurnalis Muslim yaitu setiap jurnalis dan penulis cakap di media massa yang beragama Islam dan berkewajiban menjadikan Islam sebagai ideologi dalam profesinya, baik yang bekerja pada media massa umum maupun media massa Islam.15

Pada konteks ini saling terkait dengan keilmuan jurnalistik Islami atau jurnalisme dakwah.

Sama halnya dengan pengertian pers pada umumnya, sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.16

Jurnalis Muslim yang menganut Jurnalistik Dakwah atau Jurnalistik Islami juga melakukan kegiatan jurnalistik meliputi suatu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa namun ditegaskan dan ditekankan dengan muatan nilai-nilai kebenaran yang sesuai dengan ajaran Islam, khususnya yang menyangkut agama dan umat Islam. Sehingga, Jurnalistik Dakwah dapat juga dimaknai sebagai “proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai- nilai Islam”.17

Ada tambahan tertentu seperti prinsip – prinsip nurani yang diasah atau ditempa melalui pemahaman – pemahaman terhadap ayat – ayat Al – Qur’an, untuk turut

15

Muis A. Komunikasi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001 16

UU No 40 tahun 1999 tentang Pers

17

Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Dakwah: Visi dan Misi Dakwah Bil Qolam. Bandung: Remaja

(22)

13

dijadikan prinsip dalam peliputan maupun penulisan laporan berita, selain daripada prinsip – prinsip jurnalistik itu sendiri bagi seorang jurnalis Muslim. Landasan kerja mereka yaitu Q.S Ali Imran : 104. Ayat serupa yang juga digunakan oleh para pendakwah. Sebab, kesimpulannya jurnalis Muslim adalah sosok juru dakwah (da’i) di bidang pers atau media yang terikat dengan nilai-nilai, norma, dan etika Islam dalam meliput, menulis, dan menyebarluaskan berita. Karena juru dakwah menebarkan kebenaran Ilahi, maka jurnalis Muslim laksana “penyambung lidah” para nabi dan ulama.

Karena itu, ia pun dituntut memiliki sifat-sifat kenabian, seperti Shidiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah. Shidiq artinya benar, yakni menginformasikan yang benar saja dan membela serta menegakkan kebenaran itu. Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam (al-Quran dan as-Sunnah). Amanah artinya terpercaya, dapat dipercaya, karenanya tidak boleh berdusta, memanipulasi atau mendistorsi fakta, dan sebagainya.

Tabligh artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran, tidak menyembunyikannya. Sedangkan fathonah artinya cerdas dan berwawasan luas. Jurnalis Muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat. Jurnalis Muslim bukan saja para jurnalis yang bergama Islam dan comitted dengan ajaran agamanya, melainkan juga para cendekiawan Muslim, ulama, mubalig, dan umat Islam pada umumnya yang cakap menulis di media massa.18

Sementara itu Jurnalis Muslim area konflik adalah mereka yang bekerja untuk memberitakan kebenaran Islam dari kondisi peliputan peristiwa konflik di area berisiko.

(23)

14

Gambaran dari pernyataan yang dimaksud adalah beberapa kondisi daerah yang dinilai berbahaya dan menyebabkan keselamatan seorang jurnalis terancam. Seperti misalnya pada lokasi perang, krisis, dan tempat gesekan sentimen terkait politik maupun agama.

Pembatasan area konflik dalam Buku ‘168 Jam dalam Sandera’ adalah, wilayah pertempuran antara gerilyawan Irak dengan tentara koalisi, tepatnya di Ramadi dan Fallujah. Kedua wilayah tersebut merupakan basis perlawanan kelompok gerilyawan, yang masuk wilayah segitiga Sunni setelah Bagdad. Hampir seluruh warga di wilayah tersebut antipendudukan. Dua wilayah itu juga digempur habis – habisan oleh tentara koalisi ketika menginvasi Irak tahun 2003. Tak mengherankan jika gerakan perlawanan tumbuh subur di daerah Ramadi dan Fallujah.19

Ada pula contoh area yang berpotensi konflik lainnya, yakni Karbala. Kota dimana banyak dihuni oleh para penganut Syi’ah. Sementara itu juga banyak menjadi saksi gesekan antara kaum Sunni dan Syi’ah di Irak, pada waktu perayaan peringatan hari Asyura. Pada peringatan Asyura tersebut sebenarnya merupakan seremoni penghormatan atas cucu nabi yang terbunuh, Hussein bin Ali. Hussein dalam hal ini sangat diagungkan oleh orang Syi’ah.20

F. Sistematika Pembahasan

Pada bab pertama akan dijelaskan mengenai (a) latar belakang masalah, (b) rumusan masalah, (c) tujuan penelitian, (d) kegunaan penelitian, (e) definisi konseptual, dan (f) sistematika pembahasan. Bab dua berisi teori substantif, di sini adalah teori

19 Hafid Meutya. 168 Jam dalam Sandera: Memoar Jurnalis Indonesia yang Disandera di Irak. Jakarta :

(24)

15

tertentu yang sesuai dengan tema penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan teori jurnalistik Islam, jurnalisme damai, komunikasi internasional, dan sebagainya.

Yang juga termasuk dalam bab dua adalah kajian penelitian terkait, merupakan pemaparan hasil penelusuran laporan penelitian yang relevan dengan permasalahan penelitian yang dilakukan.

Bab tiga berisi metode penelitian yang terdiri atas pendekatan dan jenis penelitian, sumber dan jenis data, tahapan penelitian, teknik pengumpulan data, dan terakhir teknik analisis data. Untuk analisisnya, penelitian ini menggunakan teknik dan teori analisis naratif.

(25)

16

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Teori Substantif 1. Jurnalis Muslim

Jurnalis Muslim adalah sosok juru dakwah (da’i) di bidang pers atau media yang terikat dengan nilai-nilai, norma, dan etika Islam dalam meliput, menulis, dan menyebarluaskan berita. Karena juru dakwah menebarkan kebenaran Ilahi, maka jurnalis Muslim laksana “penyambung lidah” para nabi dan ulama. Karena itu, ia pun dituntut memiliki sifat-sifat kenabian, seperti Shidiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah.1

Shidiq artinya benar, yakni menginformasikan yang benar saja dan membela serta menegakkan kebenaran itu. Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam (al-Quran dan as-Sunnah). Amanah artinya terpercaya, dapat dipercaya, karenanya tidak boleh berdusta, memanipulasi atau mendistorsi fakta, dan sebagainya.

Tabligh artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran, tidak menyembunyikannya. Sedangkan fathonah artinya cerdas dan berwawasan luas. Jurnalis Muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat.

Jurnalis Muslim bukan saja para jurnalis yang bergama Islam

dan comitted dengan ajaran agamanya, melainkan juga para cendekiawan Muslim,

ulama, mubalig, dan umat Islam pada umumnya yang cakap menulis di media massa. Ideologi Jurnalis Muslim tentu saja Jurnalistik Islam atau Jurnalisme Dakwah. Ideologi ini akan mendorong munculnya ghirah, semangat, membela kepentingan

1 Asep Syamsul M. Romli. Jurnalistik Dakwah: Visi dan Misi Dakwah Bil Qolam. Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2003

(26)

17

Islam dan umatnya, juga menyosialisasikan nilai-nilai Islam, sekaligus

meng-counter dan mem-filter derasnya arus informasi jahili dari kaum anti-Islam.

Ciri khas jurnalistik dakwah adalah menyebarluaskan informasi tentang perintah dan larangan Allah SWT. Ia berpesan (memberikan message) dan berusaha keras untuk mempengaruhi komunikan/khalayak, agar berperilaku sesuai dengan ajaran Islam.

Jurnalistik Dakwah tentu saja menghindari gambar-gambar ataupun ungkapan-ungkapan pornografis, menjauhkan promosi kemaksiatan, atau hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti fitnah, pemutarbalikkan fakta, berita bohong, mendukung kemunkaran, dan sebagainya. Jurnalistik Islami harus mampu mempengaruhi khalayak agar menjauhi kemaksiatan, perilaku destruktif, dan menawarkan solusi Islami atas setiap masalah.2

2. Jurnalistik Islami

Alternatif lain bagi dunia jurnalistik adalah jurnalistik Islami. Dimensi ini juga merupakan salah satu bagian dari dakwah bil qalam. Semangat dari jurnalistik Islami menjadi jawaban bagi tantangan profesi ini, ketika menghadapi hal – hal yang berkaitan dengan agama atau peristiwa agama, khususnya bagi segala hal tentang Islam maupun peristiwa Islam yang hadir di tengah – tengah masyarakat dan menjadi pemberitaan.

Berbeda dengan media massa Islam, jurnalistik Islami merujuk pada proses atau aktivitas jurnalistik yang bernafaskan nilai – nilai Islam. Sedangkan media massa Islam adalah produk dari suatu proses aktivitas jurnalistik, yang umumnya berupa media

2 Ibid,.

(27)

18

dakwah atau himpunan karya jurnalistik, dengan bahan baku konsep ajaran Islam yang belum tentu sesuai dengan nilai – nilai Islam.3

Jurnalistik Islami dapat dikatakan sebagai crusade journalism, yakni jurnalisme yang memperjuangkan nilai – nilai tertentu, dalam hal ini tentu saja nilai – nilai Islam. Sementara napas dari dunia jurnalistik ini adalah jurnalisme profetik, yang memiliki bentuk tidak hanya sebagai pelapor berita secara lengkap, jelas, jujur, serta aktual, tetapi juga memberikan prediksi serta petunjuk ke arah perubahan, transformasi, berdasarkan cita – cita etik dan profetik Islam. Jurnalistik Islam secara sadar dan bertanggung jawab

memuat kandungan nilai – nilai dan cita – cita Islam serta mengemban misi yang sama dengan dakwah yaitu ‘amar ma’ruf nahi munkar’.4

Karena jurnalistik Islam memiliki misi yang sama dengan dakwah, maka setiap jurnalis Muslim, yakni jurnalis dan penulis yang beragama Islam, berkewajiban menjadikan jurnalistik Islami sebagai ideologi dalam profesinya. Baik yang bekerja pada media massa umum maupun media massa Islam. Setidaknya ada beberapa peranan yang perlu dilakukan oleh jurnalis Muslim.

Pertama, sebagai pendidik yang melaksanakan fungsi edukasi Islami. Lewat media massa, jurnalis mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.

Kedua, sebagai pelurus informasi. Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para jurnalis Muslim. Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Kedua, informasi tentang karya – karya atau prestasi umat Islam. Serta ketiga adalah tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia. Peran ini terasa relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers

3 Ibid,. Hal. 34 4 Ibid,. Hal. 35

(28)

19

Barat biasanya cenderung bias, menyimpang, berat sebelah, distortif, manipulatif, serta memojokkan Islam. Seorang jurnalis Muslim pada konteks ini berusaha mengikis islamophobia yang merupakan propaganda pers Barat sebagai wujud anti Islam.

Ketiga, sebagai pemersatu. Jurnalis Muslim harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa imparsialitas (tidak memihak pada golongan tertentu, dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi) harus ditegakkan. Jurnalis Muslim harus membuang jauh – jauh sikap sektarian yag baik secara ideal maupun komersial tidak menguntungkan tersebut.5

Dalam ranah praktis, jurnalis juga dituntut memiliki kemampuan teknis dan etis sebagaimana dituntunkan dalam Al-Qur’an. Hal ini tercermin dalam berbagai bentuk

ahlakul karimah, antara lain: (1) Menyampaikan informasi dengan benar, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta (QS. Al-Hajj: 30); (2) Bijaksana, penuh nasihat yang baik, serta argumentasi yang jelas dan baik pula. Karakter, pola pikir, kadar pemahaman objek pembaca harus dipahami sehingga berita yang disusun akan mudah dibaca dan dicerna (QS. An-Nahl: 125); (3) Meneliti fakta atau cek-ricek. Untuk mencapai ketepatan data dan fakta sebagai bahan baku berita yang akan ditulis, jurnalis muslim hendaknya mengecek dan meneliti kebenaran fakta di lapangan dengan informasi awal yang ia peroleh agar tidak terjadi kidzb, ghibah, fitnah dan namimah

(QS. Al-Hujarat: 6);

(4) Tidak mengolok-olok, mencaci-maki, atau melakukan tindakan penghinaan sehingga menumbuhkan kebencian (QS. Al-Hujarat: 11); dan (5) Menghindari prasangka atau su’udzon. Dalam pengertian hukum, jurnalis hendaknya memegang teguh asas praduga tak bersalah.6

5 Ibid,. 39

6 Muis A. Komunikasi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001

(29)

20

Selain poin-poin di atas masih ada beberapa pedoman ahlak Qur’ani yang wajib diperhatikan bagi seorang muslim yang berprofesi sebagai jurnalis atau praktisi media adalah sebagai berikut;

Pertama, dalam menyampaikan informasi, jurnalis muslim hendaknya

melandasi dengan iktikad atau niat yang tinggi untuk senantiasa melakukan pengecekan kepada pihak-pihak yang bersangkutan sehingga tidak akan merugikan siapapun.

Kedua, ketika menyampaikan karyanya, jurnalis muslim hendaknya

menggunakan bahasa yang baik dan benar dalam gaya bahasa yang santun dan bijaksana. Dengan demikian apa yang disampaikannya akan dapat dimengerti, dirasakan, dan menjadi hikmat bagi khalayak.

Ketiga, dalam melaksanakan tugas jurnalistik, hendaknya jurnalis muslim

melaksanakannya secara profesional dalam ikatan kerja yang produktif, sehingga karyanya akan memiliki hasil yang optimal dan adil untuk semua pihak sehingga ia akan dipandang sebagai aset utama perusahaan media.

Keempat, dalam melaksanakan tugas-tugasnya, jurnalis muslim hendaknya

menghindarkan sejauh mungkin prasangka maupun pemikiran negatif sebelum menemukan kenyataan objektif berdasarkan pertimbangan yang adil dan berimbang dan diputuskan oleh pihak yang berwenang.

Kelima, dalam kehidupan sehari-hari, jurnalis muslim hendaknya senantiasa

dilandasi etika Islam dan gemar melakukan aktivitas sosial yang bermanfaat bagi umat. Jurnalis muslim sudah seharusnya selalu memperkaya wawasan keislamannya untuk meningkatkan amal ibadah sehari-hari.

Keenam, dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis muslim hendaknya

(30)

21

tinggi seyogyanya diberikan pada professionalisme dan bukan ikatan primordialisme sempit.

Ketujuh, dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis muslim hendaknya senantiasa

mempererat persaudaraan sesama profesi berdasarkan prinsip ukhuwah Islamiyah tanpa harus meninggalkan asas kompetisi sehat yang menjadi tuntutan perusahaan media massa modern.

Kedelapan, dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis muslim hendaknya

menyadari betul bahwa akibat dari karyanya akan memiliki pengaruh yang luas terhadap khalayak. Karena itu, hendaknya semua kegiatan jurnalistiknya ditujukan untuk tujuan-tujuan yang konstruktif dalam rangka pendidikan dan penerangan umat.

Kesembilan, dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis muslim hendaknya

menyadari dengan penuh kesadaran memahami banwa profesinya merupakan amanat Allah, umat dan perusahaan media. Karena itu jurnalis muslim hendaknya selalau siap mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada Allah, umat dan perusahaannya.

Kesepuluh, dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis muslim hendaknya selalu

berkata atau menulis dengan prinsip-prinsip berbahasa yang diajarkan Al-Quran, yaitu qaulan ma’rufan(pantas), qaulan kariman (mulia), qaulan masyura (mudah dicerna), qaulan balighan (efektif dan mengena), dan qaulan layyinan (lemah lembut).7

3. Jurnalisme dan Agama

Media dan jurnalisme memperoleh tantangan saat berhadapan dengan pemberitaan terkait agama. Banyak kritikan yang dilontarkan kalau media bukan saja

7 Iwan Awaluddin Yusuf. Hijrah Bermedia Massa dengan Jurnalisme Dakwah. Majalah Al-Islamiyah,

Nomor 31 Tahun XIV, 2007

(31)

22

gagal menegakkan prinsip jurnalis ketika meliput berita yang sarat dengan agama, tetapi juga media punya andil besar dan bertanggung jawab dalam memanaskan dan memperburuk ketegangan dan konflik antar agama.

Jurnalis dan media dalam hal ini, seringkali disengaja atau tidak, mengembangkan stereotip terhadap kelompok tertentu dimasyarakat, atau malah membangun dan mengembangkan kebencian. Misalnya, Islamophobia yang berkembang di dunia Barat dekade terakhir tidak bisa dilepaskan dari peran media.

Penyebab utama yang melatarbelakangi, baik di Indonesia ataupun di negara lain, adalah minimnya pemahaham mengenai agama, termasuk agama mayoritas dan minoritas, serta mengenai pentingnya agama dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan objek liputan. Karena keterbatasan pengetahuan ini, media banyak sekali menyebarkan informasi yang salah atau mendistorsikan berita yang dapat menjadi sumber kesalahpahaman di masyarakat.

Sementara itu kondisi lapangan menuntut media untuk bersikap penuh tanggung jawab terkait pemberitaan agama ini. Media semestinya meliput masalah agama dengan lebih serius, dan menyajikan berita secara lebih akurat. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan media untuk meningkatkan kualitas peliputan agama, seperti yang dituliskan oleh Endy Bayuni, jurnalis Jakarta Post sekaligus salah seorang pendiri organisasi International Association of Religion Journalists (IARJ) dalam papernya.

(32)

23

terdiri dari jurnalis dari etnis dan agama yang beragam, selain adanya keseimbangan gender. Sementara redaksi media lokal harus mencerminkan keberagaman di daerahnya masing masing. Selain itu, media atau perhimpunan profesi jurnalis juga harus menyelenggarakan pelatihan atau pendidikan peliputan masalah agama, yang melibatkan organisasi berbasis agama atau tokoh agama. Kemudian terakhir, media atau perhimpunan profesi jurnalis menerbitkan buku pedoman mengenai peliputan berita yang berkaitan dengan agama dengan baik.8

4. Jurnalisme Damai

Peran media dalam memberitakan kasus-kasus pertikaian memiliki dua potensi yang sama besarnya, yakni memberikan kesempatan kepada kedua pihak yang berkonflik untuk menempuh jalan damai atau malah memperuncing keadaan atas pemberitaannya tersebut.

Media yang lebih mengedepankan korban konflik daripada mengangkat perang antara pihak yang bertikai inilah yang disebut sebagai praktik jurnalisme damai. Jurnalisme damai adalah praktik jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai manfaat aksi-aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan hikmah dari konflik itu sendiri.9 Jurnalisme damai juga merupakan konsep baru dalam sektor media.

Jake Lynch dari Associate Professor and Director of the Centre for Peace and

Conflict Studies, University of Sydney, memandang jurnalistik damai atau peace

journalism sebagai situasi ketika para editor dan reporter membuat pilihan, mengenai

apa yang akan dilaporkan dan bagaimana melaporkannya. Dimana akan menciptakan

8 Endy Bayuni. Jurnalisme dan Agama - Memperkenalkan International Association of Religion

Journalists. Paper Kuliah Umum dalam rangka peluncuran buku “Jurnalisme Keberagaman: Sebuah Panduan Peliputan” Oleh Serikat Jurnalis Keberagaman (Sejuk) Jakarta, 8 Mei 2013. Hal. 6 9 Katahati Institute. Merangkai Kata Damai. Banda Aceh: Katahati Institute, 2009. Hal. 58

(33)

24

kesempatan pula bagi masyarakat luas untuk mempertimbangkan dan menilai tanggapan non kekerasan terhadap konflik.10 Prinsip jurnalisme damai melaporkan suatu kejadian dengan bingkai lebih luas, lebih berimbang, dan lebih akurat yang di dasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan yang terjadi. Sesuai dengan istilah yang dipakai, jurnalisme damai adalah jenis jurnalisme yang lebih mengarah pada penyampaian informasi yang berdampak pada perdamaian.

Ada beberapa ciri yang menjelaskan peliputan dengan menerapkan paham jurnalistik damai, antara lain; mengeksplorasi terbentuknya konflik, membuat konflik itu transparan, memberi suara pada semua pihak, humanisasi terhadap semua pihak, fokus pada dampak-dampak kekerasan yang tidak terlihat (trauma dan kejayaan, kerusakan pada struktur budaya), orientasi kebenaran dengan mengekspos ketidak benaran di semua pihak dan mengungkap semua upaya menutupi kesalahan (cover up), orientasi pada rakyat dengan fokus pada penderitaan keseluruhan; pada kaum perempuan, orang tua, anak-anak; menyalurkan suara mereka yang tak mampu bersuara.

Jurnalisme damai juga menekankan pada beberapa aspek11antara lain;

a) Menghindari menyalahkan salah satu pihak karena memulai perselisihan. Lebih baik menunjukkan bagaimana problem dan isu bersama bisa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak.

b) Mencari cara untuk melaporkan dampak-dampak konflik yang justru tidak kelihatan. Misalnya dampak-dampak jangka panjang seperti kerusakan psikis dan trauma, mungkin juga pengaruh kekerasan yang bisa meningkat di masa mendatang baik kepada orang lain, atau juga sebagai suatu kelompok, terhadap

10 Jake Lynch. What Is Peace Journalism. Transcend Media Service Solutions, Oriented Peace

Journalism. https://www.transcend.org/tms/about-peace-journalism/1-what-is-peace-journalism/ 11

J.Anto, Edward. Resolusi Konflik Melalui Jurnalisme Damai; Panduan Untuk Peliputan Konflik Di

Aceh. Medan : KIPPAS (Kajian Informasi, Pendidikan & Penerbitan Sumatera), 2005. Hal. 57

(34)

25

kelompok atau negara lain.

c) Menghindari pemusatan perhatian hanya pada pelanggaran hak-hak asasi manusia, perlakuan kejam dan kesalahan hanya dari satu sisi saja. Lebih baik menyebutkan semua pelaku kesalahan dan memperlakukan pihak-pihak yang bertikai secara setara karena telah melakukan kekerasan. Dengan memperlakukan masalah ini secara serius bukan berarti bahwa jurnalis telah berpihak, tetapi sebaliknya dengan cara ini berarti berusaha untuk mengumpulkan berbagai bukti yang ada untuk mendukung terjadinya perdamaian, dan memperlakukan korban-korban dengan rasa hormat yang sama.

d) Menghindari pembentukan opini atau klaim yang seolah-olah sudah pasti, dengan menuliskan secara jelas sumber yang mengemukakan keterangan. Dengan cara terakhir ini akan meminimalisir berita yang dibuat sebagai serangan, oleh suatu kelompok kepada kelompok lain dalam situasi konflik.

5. Prinsip – prinsip Jurnalistik

(35)

26

relevan, melakukan peliputan komprehensif dan proporsional, bekerja dengan hati nurani.12

Pertama, kewajiban jurnalis adalah mengungkapkan kebenaran. Bagi jurnalisme kebenaran yang dikejar bukanlah secara mutlak atau filosofis, namun dalam kapasitas yang lebih membumi. Dalam artian kebenaran itu beroperasi hari demi hari. “All truths – even the laws of science – are subject to revision, but we

operate by them in the meantime because they are necessary and they work,” Kovach and Rosenstiel write in the book. Journalism, they continue, thus seeks “a practical and functional form of truth.” It is not the truth in the absolute or

philosophical or scientific sense but rather a pursuit of “the truths by which we

can operate on a day-to-day basis.”13

Kebenaran jurnalistik ini merupakan satu proses pencarian yang dilakukan berdasarkan disiplin verifikasi fakta. Bukan hanya itu saja, para jurnalis juga dituntut untuk melakukan investigasi demi memperoleh keabsahan fakta yang disajikan. Jurnalis juga harus bersikap transparan tentang sumber dan metode yang digunakan agar khalayak bisa mengambil penilaian sendiri. Akurasi menjadi landasan untuk melontarkan segala penulisan baik itu konteks, komentar, kritik, analisis, maupun perdebatan.

Kedua, loyal kepada masyarakat. Kendati media memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, namun jurnalis dan media harus memelihara kemitraan dengan masyarakat. Idealnya, kepentingan masyarakat jauh lebih besar dibandingkan dengan kepentingan lain, sekalipun itu kepentingan pemasang iklan dan pemilik media.

Jurnalis harus menyediakan berita tanpa rasa takut dan berhutang budi pada pemilik media. Sementara itu komitmen kepada publik harusnya juga dijadikan sebagai komitmen utama dan basis kredibilitas media. Sehingga pada akhirnya berita yang disajikan tidak condong kepada pemilik media maupun pemasang iklan.

12 Bill Kovach, Tom Rosenstiel. The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and The

Public Should Expect. New York : Three Rivers Press, 2001. Introduction

13 Nieman Reports. Essays about The Elements of Journalism. Cambridge : Harvard University, 2011.

Hal. 9

(36)

27

Komitmen terhadap publik juga berarti jurnalis memberikan gambaran fakta yang mewakili seluruh kelompok masyarakat. Mengabaikan kalangan tertentu dalam masyarakat akan berdampak pada merosotnya kepercayaan, sebab penilaian terhadap media dan jurnalis menjadi negatif akan implementasi prinsip keadilan dan keberimbangan sumber berita.

Ketiga, disiplin dalam memverifikasi. Jurnalis bersandar pada disiplin ini untuk menyajikan informasi. Dalam konteks ini seorang jurnalis harus bersikap transparan dalam peliputan dan penyajian fakta sebagai berita. Adapula objektivitas sebagai konsep awal proses peliputan yang mengharuskan jurnalis berupaya bebas dari bias. Objektivitas itu harus menjadi panggilan untuk selalu bersikap konsisten pada metode pengujian informasi. Dua hal ini, yaitu transparansi dan objektivitas menjadi bagian disiplin verifikasi.

Standar jurnalisme dengan disiplin verifikasi menekankan pencarian berbagai fakta, saksi dan sumber berita sebanyak mungkin untuk mendapat komentar dengan beragam perspektif demi memperkuat akurasi informasi yang tersaji. Disiplin dalam verifikasi jugalah yang membedakan jurnalisme dari berbagai model komunikasi lain seperti propaganda, fiksi, serta hiburan.

Keempat, mandiri dalam liputan peristiwa. Kemandirian adalah syarat jurnalisme yang menjadi tiang penyangga professionalisme. Hal ini berbeda dengan netralitas. Kemandirian di sini adalah mandiri dalam semangat dan pemikiran. Meski para editorialis dan penulis opini atau komentar tidak netral, tetapi bagi jurnalis keakuratan, kejelasan, keadilan intelektual, serta kemampuan menginformasikan harus tersaji secara tegas dalam tiap pelaporan berita.

(37)

28

juga termasuk dengan mencegah penguasa untuk melakukan pemerintahan yang sifatnya tirani, maka jurnalis juga harus bisa mewakili suara tertindas dalam hal ini.

Being an independent monitor of power means “watching over the powerful

few in society on behalf of the many to guard against tyranny,” Kovach and Rosenstiel write.

The watchdog role also means more than simply monitoring government.

“The earliest journalists,” write Kovach and Rosenstiel, “firmly established as a

core principle their responsibility to examine unseen corners of society.”

Finally, the purpose of the watchdog extends beyond simply making the management and execution of power transparent, to making known and understood the effects of that power. This includes reporting on successes as well as failures.14

Keenam, membuka forum bagi kritik dan kompromi publik. Media berusaha merepresentasikan berbagai sudut pandang yang berkembang di tengah masyarakat dan menempatkannya secara kontekstual sekaligus pada waktu yang sama, bukan malah memperuncing atau memperkeruh konflik, melainkan membantu menjernihkan dan menyelesaikannya.

Ketujuh, menyajikan laporan berita yang menarik dan relevan. Jurnalisme tidak sekedar mengumpulkan, menyajikan, dan mendokumentasikan fakta – fakta penting. Jurnalisme juga harus menyeimbangkan dan menyeleraskan segala hal yang menjadi keinginan khalayak. Singkatnya, jurnalisme harus menarik juga relevan.

Kedelapan, melakukan peliputan komprehensif dan proporsional. Dalam menyajikan berita seorang jurnalis harus membuat sajian yang lengkap dan proporsional. Artinya tidak memihak kepada pandangan atau kepentingan tertentu. Jurnalis juga menciptakan peta yang bisa digunakan untuk membaca secara objektif perkembangan masalah dalam masyarakat. Membesarkan peristiwa demi sensasi dan menyampaikan berita negatif mutlak harus dihindari karena akan membuat peta informasi yang dihasilkan semakin memperkeruh keadaan.

14 Ibid,. 21

(38)

29

Kesembilan, bekerja dengan hati nurani. Berkecimpung dalam kerja jurnalistik baik sebagai jurnalis, kontributor, maupun penulis lepas harus melibatkan kecakapan diri dan tanggung jawab moral. Ini penting sebab profesi dalam bidang ini menyangkut kepentingan publik, tetapi bukan tak mungkin nurani pribadi turut terlibat. Justru nurani ini bisa menjadi salah satu hal yang mendorong sikap penuh tanggung jawab. Karena memberitakan sesuatu seringkali menjadikan diri jurnalis terusik untuk menyuarakan kebenaran. Nurani yang terbangun sedemikian harus diimbangi dengan sikap skeptis dan kritis. Bahkan, tak segan seorang jurnalis harus terus mempertanyakan pada dirinya sendiri di setiap melakukan tugas peliputan, apakah telah menerapkan prinsip kerja yang penuh perhatian pada poin akurasi, keadilan, dan keseimbangan.

Media juga memiliki peranan untuk mendorong para jurnalisnya bekerja dengan hati nurani dan memperbolehkan tiap jurnalis untuk menyuarakan pemikirannya. Melalui ruang redaksi media sebagai saluran yang ada dan disediakan, maka segala bentuk diskusi dan perdebatan dikelola. Para jurnalis secara bebas bisa memberikan argumen, kritik, dan komentar objektif untuk setiap peristiwa yang diberitakan, hal tersebut sangat membantu dalam memperkaya wacana serta peta informasi.

6. Komunikasi Internasional a) Definisi

Komunikasi internasional merupakan satu proses penyampaian pesan – pesan terkait dengan kepentingan antar bangsa, dan disampaikan melalui saluran konferensi tingkat tinggi atau sejenisnya, serta melibatkan media massa yang melintasi batas negara.15 Dimensi komunikasi internasional memang memiliki cakupan luas, beberapa

15 Shoelhi Mohammad. Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik. Bandung : Simbiosa Rekatama

Media, 2009. Hal. 26

(39)

30

tokoh memiliki pandangannya masing – masing. Onong Uchjana Effendy misalkan, menilai ruang lingkup komunikasi ini pada tataran lintas negara, serta berlangsung di antara orang – orang yang berbeda kebangsaan atau lembaga – lembaga dari berbagai

negara. Sementara untuk tujuan dari melakukan komunikasi tersebut yakni untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan kerja sama. Kesemua hal itu bisa diperoleh melalui media komunikasi atau media massa internasional.16

Sedangkan K.S. Sitaram lebih spesifik membahas komunikasi internasional sebagai komunikasi antara struktur – struktur politik. Artinya, komunikasi ini sering dilakukan lewat pemimpin negara atau wakil – wakil negara (menteri luar negeri, duta besar, konsul jenderal). Para wakil negara tersebut mewakili kepentingan negaranya dalam upaya meyakinkan negara lain atas berbagai kebijakan yang tengah ditempuh.17

b) Komunikasi Internasional dalam Perspektif Jurnalistik

Studi komunikasi internasional sebenarnya disandarkan atas beberapa pendekatan dan persepktif. Ditinjau dari pendekatan interaksi yang digunakan, komunikasi internasional dapat dipelajari dari perspektif jurnalistik dan diplomatik. Dalam perspektif jurnalistik, komunikasi internasional adalah studi tentang berbagai macam interaksi yang lebih bersifat mass mediated communication (MMC) yang dilakukan antara dua atau beberapa negara.

Komunikasi internasional dalam artian mass mediated communication berbeda dengan bidang – bidang komunikasi lainnya. Sebab, komunikasi berbasis MMC ini memfokuskan perhatian lebih kuat pada isu – isu politik, ekonomi, dan kebudayaan, serta pemanfaatan jaringan media massa internasional. Dalam konteks ini, ada tiga kriteria yang membedakan komunikasi internasional dengan bentuk komunikasi

16 Ibid,. Hal 26

17 Ibid., Hal 27

(40)

31

lainnya. Pertama adalah jenis pesannya yang bersifat internasional, kedua yaitu komunikator dan komunikannya yang berbeda kebangsaan, serta terakhir ialah saluran media yang digunakan bersifat internasional.18

Kegiatan komunikasi internasional dalam perspektif jurnalistik lazimnya dilakukan melalui saluran media cetak dan media elektronik, berupa pertukaran informasi tentang peristiwa internasional untuk memengaruhi opini publik internasional, atau mendorong upaya kerja sama. Di sini para jurnalis termasuk pengamat dan penulis berperan besar dalam komunikasi internasional, karena mampu memengaruhi persepsi dan opini publik internasional, baik dari kalangan pemerintah maupun kelompok masyarakat.

Dalam perspektif jurnalistik, komunikasi internasional dilakukan melalui media massa cetak (surat kabar, majalah, tabloid), atau dengan menggunakan media elektronik (radio, televisi, film, video). Kegiatan komunikasi internasional berlangsung secara wajar, objektif, dan alami. Kegiatan ini bersifat netral dan menghindari sikap sengaja memojokkan pihak lain. Walaupun demikian, tetap ada kemungkinan perspektif jurnalistik digunakan secara subjektif, untuk kepentingan propaganda dengan tujuan akhir mengubah kebijakan dan kepentingan satu negara, atau memperlemah posisi negara lawan atau negara lain yang dipandang kurang bersahabat.

c) Komunikasi Internasional dalam Perspektif Diplomatik

Pada perspektif diplomatik, komunikasi internasional adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah atau negara dengan pemerintah atau negara lain melalui saluran diplomatik. Jalur diplomatik lebih kerap ditempuh melalui

18 Ibid,. Hal 30

(41)

32

komunikasi langsung antar pejabat tinggi negara (menteri luar negeri, duta besar, konsul jenderal, atau staf diplomatik lainnya). Komunikasi internasional yang dilakukan pada perspektif ini, merupakan kegiatan yang berupaya untuk membina rasa saling percaya, atau memperteguh keyakinan terhadap suatu gagasan. Dengan menggunakan saluran – saluran diplomatik, komunikasi internasional lebih banyak digunakan untuk memperluas pengaruh, meningkatkan komitmen dan solidaritas, menanggulangi perbedaan pendapat dan salah paham, serta menghindari pertentangan dalam masalah tujuan dan kepentingan yang dikehendaki sebuah negara.19

Selain untuk menghindari konflik, tujuan komunikasi internasional sering digunakan untuk mengembangkan kerja sama baik dalam hubungan bilateral maupun mutilateral, memperkuat posisi tawar (bargaining position) serta meningkatkan citra dan reputasi suatu negara. Di sini terasa betapa pentingnya teknik komunikasi diplomatik, serta perlunya tradisi komunikasi diplomatik di antara negara berdaulat dalam meletakkan jalur utama komunikasi internasional, untuk tujuan memelihara perdamaian dunia dan mengembangkan pembangunan internasional.

7. Etika Komunikasi dalam Situasi Konflik

Para jurnalis dihadapkan pada dilema pelik dalam situasi konflik. Mereka sering dituduh, di satu pihak, ikut mengobarkan kebencian dan konflik melalui media. Sementara di lain pihak, berkat para jurnalis, orang mendapat informasi tentang kejadian meski seringkali kejadian itu menyakitkan. Persoalan ini lebih dari sekedar masalah deontologi profesi jurnalis. Masalah ini menyangkut peran media dalam ruang publik. Bagaimana seharusnya media menyikapi perannya sebagai pembentuk opini

19 Ibid,. Hal 32

(42)

33

publik. Dalam konteks ini, membentuk opini pada situasi konflik diterjemahkan melalui upaya meredakan ketegangan. Lewat berita, derita kemanusiaan bisa tergambar. Hal tersebut adalah tugas bagi insan jurnalis yang bertugas di area konflik.

Penting dipahami untuk dilakukan oleh jurnalis di area konflik adalah menciptakan toleransi. Toleransi dalam situasi konflik harus lebih konkret, yaitu berpihak pada korban. Meski ada kemungkinan bias yang timbul dalam penentuan siapa pihak korban, setidaknya jurnalis bisa mengambil langkah penentuan korban dengan tidak membawa ideologi media yang bersangkutan atau kepentingan ekonomi pasar yang berlaku. Maka, korban bisa dikenali karena mereka tidak dijamin atau menjadi sasaran diskriminasi oleh institusi sosial yang ada. Dan lingkup kebebasan mereka dipersempit atau bahkan dibungkam melalui ancaman, intimidasi, atau kekerasan.

Kewajiban media dan insan jurnalis yang bekerja di dalamnya pada situasi konflik adalah sebagai saksi, dan lebih dari itu, mereka dituntut memihak kepada korban. Berbicara etika komunikasi, perlu memperhitungkan bahwa media berjuang juga untuk bisa bertahan secara ekonomis dan sekaligus bisa tetap hidup sebagai pemberi informasi. Masyarakat saat ini adalah masyarakat komunikasi, yang telah memahami komunikasi sebagai informasi yang diorganisir, informasi yang dikontrol, informasi yang diarahkan. Sehingga tugas jurnalis bukan hanya memberi informasi, melainkan lebih dari sekedar berkomunikasi. Mengurai, mengeksplisitkan, dan menyingkap. Atau dengan kata lain, harus berani mempertanyakan komunikasi yang menjadi dominan di masyarakat.20

20 Haryatmoko. Etika Komunikasi. Yogyakarta : Kanisius, 2007. Hal. 90

(43)

34

8. Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal dapat diartikan sebagai komunikasi tanpa kata-kata. 21 Pada kehidupan manusia, komunikasi nonverbal berperan penting dalam interaksi sehari-hari antar individu maupun antar kelompok. Sebuah penelitian pertama tentang hal ini dilakukan oleh Charles Darwin dan dituangkan dalam buku The Expression of

the Emotions in Man and Animals, yang menyatakan bahwa manusia cenderung

menunjukkan emosi lewat raut muka mereka. Tidak hanya itu saja, manusia juga menggunakan gerakan tubuhnya untuk menyampaikan pesan-pesan kepada orang lain.

Komunikasi nonverbal juga sangat kuat pengaruhnya bagi komunikasi verbal agar lebih efektif dilakukan. Karena setiap gerakan tubuh yang mengiringi ucapan memberikan penekanan khusus kepada suatu pesan yang disampaikan, sehingga akan lebih mudah menangkap makna penting yang dimaksudkan dari pesan tersebut. Alasan lainnya yaitu setiap bentuk-bentuk komunikasi nonverbal disampaikan dari hati untuk mewakili perasaan atau emosi, dimana pasti memberikan efek lebih efektif untuk pengembangan relasional.

Isyarat-isyarat Komunikasi Nonverbal, Isyarat komunikasi nonverbal memberi informasi mengenai tujuan dan respons dari suatu keadaan emosional tertentu. Dalam hal ini, dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu; Isyarat Spasial dan Temporal, Isyarat Visual, serta Isyarat Vokal. 22

Kategori isyarat visual dalam komunikasi nonverbal secara luas berkisar pada ekspresi wajah, gerakan tubuh, penampilan fisik dan penggunaan objek, serta sentuhan.

21 Stewart, sylvia, Human Communication, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996, hal 112 22 Stewart, sylvia, Op.Cit. Hal 118

(44)

35

Selain mengandung pesan tersendiri di dalamnya, isyarat visual juga biasanya digunakan untuk melengkapi informasi verbal yang disampaikan. Contoh anggukan kepala seiring dengan kata ya, atau gelengan kepala untuk menguatkan jawaban tidak.

Ekspresi Wajah

Penelitian wajah sebagai ekspresi emosi khusus memiliki sejarah panjang. Salah seorang ilmuwan yang paling terkenal dalam meneliti subjek ini adalah Charles Darwin. Menurut Darwin dalam buku klasiknya The Expression of Emotions in Man and

Animals menyatakan bahwa ekspresi wajah kita seperti senyuman tidak dipelajari

melainkan secara biologis ditentukan.

Ekspresi wajah ditentukan oleh asuhan budaya kita. Namun, dalam hal ini ekspresi wajah bisa dimungkinkan juga sebagai hal yang bisa dipahami secara universal, contoh: senyum dan tawa sebagai ekspresi senang yang ditunjukkan oleh hampir setiap orang di seluruh dunia.23

Senyum dan Tawa

Orang tersenyum dan menunjukkan ekspresi lain karena mereka punya otot wajah, seperti zygomatic, yang menarik sudut mulut ke atas dalam suatu senyuman. Dan corrigator, yang menarik alis bersama-sama dalam wajah yang memberengut. Otot-otot wajah diaktifkan oleh syaraf wajah. Terkadang orang tersenyum karena mereka senang, namun mereka dapat juga tersenyum dalam suasana hati (mood) yang berbeda misalkan, jika mereka dihadapkan pada situasi dan kondisi yang dianggap menguntungkan bagi mereka.

23 Deddy Mulyana, Komunikasi Efektif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008, hal. 201

(45)

36

Dalam beberapa budaya, senyuman juga diartikan sebagai indikasi dari rasa malu, seperti yang dilakukan oleh orang Jepang. Mereka tersenyum ketika malu, atau ketika merasakan perasaan negatif lainnya, sekalipun itu marah. Berbeda halnya dengan budaya barat yang mengaitkan tawa dengan humor (lelucon).

Perilaku Mata

Di antara bagian-bagian tubuh yang terdapat pada wajah, mata mungkin yang paling ekspresif. Mata manusia secara fisik serupa, ada alis, kelopak mata, dan bola mata. Tetapi begitu banyak makna yang tergambar pada mata seseorang dalam berbagai situasi. Terdapat begitu banyak kata sifat yang dapat digunakan untuk mengkualifikasi pandangan mata, seperti; bahagia, dendam, kejam, licik, melankolis, nakal, polos, ramah, redup, sendu, dan sebagainya.

Perilaku mata (memandang atau tidak memandang) merupakan pesan yang paling ekspresif di antara sekian banyak pesan yang terdapat pada wajah. Memandang merupakan tanda penting untuk menyukai atau tidak menyukai. Kontak mata adalah suatu sinyal penting mengenai derajat keintiman di antara dua orang. Jika kontak mata lebih banyak, maka semakin akrablah hubungan di antara keduanya.

9. Interaksionisme Simbolik

(46)

37

sasaran pendekatan ini ialah interaksi sosial; kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi 24.

Interaksionis simbolik telah diperhalus untuk dijadikan salah satu pendekatan sosiologis oleh Herbert Blumer dan George Herbert Mead, yang berpandangan bahwa manusia adalah individu yang berpikir, berperasaan, memberikan pengertian pada setiap keadaan, yang melahirkan reaksi dan interpretasi kepada setiap rangsangan yang dihadapi. Kejadian tersebut dilakukan melalui interpretasi simbol-simbol atau komunikasi bermakna yang dilakukan melalui gerak, bahasa, rasa simpati, empati, dan melahirkan tingkah laku lainnya yang menunjukan reaksi atau respon terhadap rangsangan-rangsangan yang datang kepada dirinya 25.

Kajian interaksionisme simbolik ini juga dikembangkan oleh Blumer. Blumer melihat interaksionisme simbolik berperang di dua front. Pertama adalah behaviorisme-reduksionisme dan yang kedua adalah fungsionalisme struktural. Blumer adalah orang yang paling menentang teori fungsionalisme struktural yang memandang perilaku individu ditentukan oleh kekuatan eksternal berskala luas. MenurutBlumer, masyarakat tidak tersusun dari struktur makro. “masyarakat terdiri dari manusia yang bertindak, dan kehidupan masyarakat dapat dilihat sebagai terdiri dari tindakan mereka”. Jadi maksudnya kehidupan dalam suatu masyarakat dipandang baik atau buruk oleh orang lain adalah tergantung dari tindakan anggota masyarakatnya. Tindakan manusia sebagai individu dalam suatu kelompok atau masyarakat menentukan kehidupan masyarakatnya.

24

Kamanto Sunarto. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia, 2004. Hal. 35 25

Ibid,. Hal. 36

(47)

38

Gambar

Tabel. I Penelitian Terdahulu
gambar mereka kembali yang

Referensi

Dokumen terkait