Cost Recovery Usaha Hulu Migas Indonesia Relatif Rendah Oleh
Rabu, 07 Maret 2007 21:50 - Update Terakhir Rabu, 07 Maret 2007 23:53
Cost recovery perusahaan hulu migas di Indonesia relatif rendah dibanding di negara lain. Sebagai gambaran di China mencapai $US 12/ barel. Bahkan di Amerika, Rusia, Teluk Meksiko maupun Kanada jauh lebih besar. Sedang di Indonesia sebesar $US 9,1/barel.
"Jadi cost recovery
di Indonesia relatif lebih rendah," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, Rabu (7/2) di Jakarta saat tampil sebagai pembicara kunci pada diskusi tentang
cost recovery
yang diadakan oleh Forum Wartawan ESDM.
Tampil sebagai pembicara dalam diskusi yang dipandu oleh Indy Rachmawati dari ANTV itu adalah Ketua Komisi VII DPR-RI Agusman Effendi, Kepala BPKP Didi Widayadi, Kepala BPMIGAS Kardaya Warnika, Direktur Star Energy Supramu Santosa dan Pengamat Migas Kurtubi.
Diungkapkan bahwa cost recovey bukan biaya produksi. Cost recovey adalah pengembalian seluruh biaya operasi yang timbul dari kegiatan usaha hulu migas yang diatur dalam kontrak PSC. Ini diatur pasal 56 PP nomor 35 tahun 2004, ujar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro.
Menurut Kepala BPMIGAS Kardaya Warnika komposisi cost recovery terdiri dari non capital yang meliputi
exploration and development expenses ,
production expenses and administration expenses
. Kemudian kapital terdiri dari depresiasi atas investasi asset KKKS serta unrecovered cost
yaitu pengembalian atas biaya operasi tahun sebelumnya yang belum dapat diperoleh kembali.
Jika cost recovery membengkak, menurut Kepala BPMIGAS Kardaya Warnika, yang dirugikan bukan hanya pemerintah namun juga kontraktor. Sebaliknya jika cost recovery
terlalu rendah berarti mengindikasikan kontraktor kurang berinvestasi. "Oleh sebab itu pengendalian lebih penting daripada menekan cost recovery," ujar Kardaya Warnika.
Mengomentari temuan BPKP, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menguraikan bahwa hal tersebut masih belum dilakukan konfirmasi. Oleh sebab itu, temuan tersebut tidak bisa
dikategorikan sebagai sebuah praktek korupsi. Meski demikian, jika terbukti korupsi sebaiknya ditangani sesuai hukum yang berlaku.
Temuan BPKP tersebut mengindikasikan perlunya pengaturan kembali cost recovery. Untuk itu, Ditjen Migas bersama Ditjen Pajak, Ditjen Anggaran, BPMIGAS serta melibatkan BPKP kini tengah membahas upaya penyempurnaan pengaturan cost recovery. Selain itu
penyempurnaan juga didasari adanya dinamika yang terus berkembang.