UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Oleh:
Salamul Huda
NIM: C03211025
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari
’
ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Program Studi Hukum Pidana Islam
vii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TRANSLITERASI ... ix
MOTTO ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 11
C. Rumusan Masalah ... 12
D. Kajian Pustaka ... 13
E. Tujuan Penelitian ... 14
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14
G. Definisi Operasional ... 15
H. Metode Penelitian ... 16
I. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II HUKUMAN TAKZIR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM A. Pengertian Takzir ... 20
B. Dasar Hukum Takzir ... 23
C. Tujuan Hukum Takzir ... 26
D. Ruang Lingkup dan Pembagian jarimah Takzir ... 27
E. Hukum Sanksi Takzir ... 32
viii
BAB III POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN ASAL-USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
A. Poligami di Indonesia ... 50
1. Poligami menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 ... 50
2. Poligami menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 ... 52
3. Poligami menurut Kompilasi Hukum Islam ... 53
4. Hukum acara poligami ... 55
B. Tindak Kejahatan Poligami ... 59
1. Pasal 279 ayat 1... 59
2. Pasal 279 ayat 2... 63
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI HUKUM PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN TERHADAP ASAL-USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) A. Analisis Ketentuan Hukum Pasal 279 tentang kejahatan terhadap Asal-usul Pernikahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ... 66
B. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Sanksi Hukum Kejahatan terhadap Asal-usul Pernikahan dalam Pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ... 72
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 80
v ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil dari penelitian literatur tentang Analisis Hukum Pidana terhadap Sanksi Hukum tentang Kejahatan terhadap asal-Usul Pernikahan menurut Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan menjawab pertanyaan bagaimana ketentuan hukum KUHP pasal 279 tentang kejahatan asal-usul pernikahan serta analisis hukum pidana Islam terhadap sanksi hukum pasal 279 tentang kejahatan asal-usul pernikahan KUHP.
Penilitian ini adalah kajian pustaka merupakan analisis hukum tentang tidak pidana perkawinan dalam pasal 279 tentang kejahatan terhdapa asal-usul pernikhan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dianalisis dengan hukum pidana Islam dengan menggunakan metode hukuman takzir yaitu memberikan hukuman pidana dengan sanksi takzir yang dalil sanksi pidana tidak ditentukan dalam Alquran dan Hadis tetapi dentukan oleh penguasa terkait dengan hukuman sesuai dengan syarat-syarat didalamnya.
Hasil penelitian menyimpulkan terkait pertanyaan dalam rumusan masalah pertama, ketentuan hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 279 tentang kejahatan asal-usul pernikahan menyebutkan bahwa pelaku yang memenuhi unsur mengadakan perkawinan, mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada, mengetahui perkawinan-perkawinan pihak lain, adanya penghalang yang sah. Kejahatan tersebut sesuai dengan pasal 279 diancam pidana penajara 5 tahun melakukan pernikahan mengetahui adanya penghalang yang sah dan 7 tahun melakukan pernikahan menyembunyikan penghalang yang sah. Kedua, penulis menyatakan bahwa melakukan pernikahan tanpa ijin istri pertama merupakan tindak pidana dengan metode yang mengakibatkan mendapatkan hukuman takzir bahwa dalam analisis pidana islam ini merupakan jarim@ah yang menyinggung hak perorangan (individu). Sanksi takzir yang diberikan dalam pelaku tindak pidana tersebut ialah penjara yang ditentukan oleh penguasa yang disebut hukuman takzir.
BAB III
POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN
ASAL-USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA
A. Poligami di Indonesia
1. Poligami menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan
dari poli atau polus, artinya banyak, dan kata gamein atau gamos artinya kawin
atau perkawinan. Jadi perkataan poligami dapat diartikan sebagai suatu
perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang. Atau
Perkawinan Poligami merupakan sebuah bentuk perkawinan dimana seorang
lelaki mempunyai beberapa orang isteri dalam waktu yang sama. Seorang suami
mungkin mempunyai dua isteri atau lebih pada saat yang sama.
Tunisia adalah satu-satunya negara Muslim yang melarang poligami
sekarang ini. Fatwa dan tafsir Abduh yang dipegang Presiden Tunisia Bourguiba
pada tahun 1956 untuk mensahkan undang-undang (UU) yang melarang poligami.
Namun, Turki saat pemerintahan Musthafa Kemal Ataturk pada tahun 1926 juga
melarang poligami.
UU Tunisia yang tegas dan sangat berani melarang poligami tidak diikuti
negara lain. Justru sebaliknya, hampir semua negara Muslim di dunia melegalisasi
poligami, seperti di Yaman Selatan (1974), Siria (1953), Mesir (1929), Maroko
(1958), Pakistan (1961), dan negara Muslim lain.1
Poligami di Indonesia juga disahkan Sesuai Ketentuan Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu :
· Ayat 1 Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.2
Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan tersebut di atas membuka kemungkinan seorang suami dapat
melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama tentunya dengan ijin
pengadilan.
· Ayat 2a Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan
· Ayat 2b. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.3
Ketentuan diatas merupakan dasar untuk melakukan poligami di Indonesia
walapun menggunakan asas monogami dibuka juga melakukan poligami dengan
syarat yang sudah diatur dalam peraturan perundangan di Indonesia adapun
koondisi yang dapat dijadikan alasan pengajuan poligami ;(a). Sakitnya istri yang
tidak bisa disembuhkan, (b). Tidak mampunya istri memberikan keturunan, dan,
(c). Tidak mampunya istri melakukan tugasnya sebagai istri.
1Asep Saepudin Jahar,Dkk, Hukum keluarga, Pidana & Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013), 30. 2
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 3
Sementara syarat syarat yang harus dipenuhi suami ketika melakukan
poligami menangkup ; (a). Kemampuan suami untuk berlakuk adil, (b).
Kemampuan finansial suami, dan (c). Adanya ijin istri. Dalam pasal berikutnya
ketika istri tidak ada kabar dalam jangka waktu dua tahun maka tidak perlu
melakukan ijin pada istri.
2. Pelaksanaan poligami menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975.
Dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 mengatur lebih terperinci tentang
Pelaksanaan poligami Atas UUP Nomor 1 tahun 1974 tentang Pelaksanaan
beristri lebih dari seorang. Yaitu :
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41 Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:
· bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
· bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
· bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
2. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
3. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja atau.
ii. surat keterangan pajak penghasilan atau.
iii. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.
3. Poligami menurut Kompilasi Hukum Islam.
Dalam KHI ketentuan beristri lebih dari satu orang tertera dalam Bab IX
mulai pasal 55 sampai 59. Dalam KHI. Disebutkan bahwa batasan seorang suami
yang hanya boleh menikah sampai empat orang istri saja. Hal itu pun juga dengan
persyaratan yang harus dipenuhi. Pasal 55, berisi:
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Seorang suami yang hendak beristri lagi harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama untuk mendapatkan kekuatan hokum yang sah. Hal ini diatur
dalam pasal 56, yaitu:
1. Suami yang hendak beristri lebh dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadila Agama.
3. Perkawinanyang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak memunyai kekuatan hukum.
Dalam hal perizinan, seorang suami akan mendapatkan izin dari
Pengadilan Agama jika terdapat suatu keadaan yang sesuai dengan ketentuan. Hal
ini diatur daam pasal 57, yaitu:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2. Istri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sebelum Pengadilan Agama memberikan izinnya, juga harus dipenuhinya
suatu persyaratan yang sudah ditentukan. Hal ini diatur daam pasal 58, yaitu:
1. Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pegadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 UU No. 1/ 1974, yaitu:
a. Adanya persetujuan istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No 9/1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada siding Pengadilan Agama.
3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Dalam hal tidak diberikannya izin suami oleh pihak istri diatur dalam pasal
59, yaitu:
Dalam hal istri tidak mau mamberikan peretujuan, dan permohonan izin
dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang
pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di
persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi.
4. Hukum Acara Poligami.
Permohonan ijin beristri lebih dari seorang (poligami) diatur dalam
pasal-pasal 3, 4 dan 5 UU Nomor 1 tahun 1974, pasal-pasal 40 – 44 PP Nomor 9 tahun 1975,
pasal 55-59 Kompilasi hukum islam.
Tata cara permohonan ijin poligami diatur sebagai berikut;4
A. Poligami harus ada ijin dari Pengadilan Agama.
a. Seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang (poligami) harus
mendapat ijin lebih dahulu dari Pengadilan Agama (Pasal 56 ayat (1)
KHI).
B. Kewenangan Relatif Pengadilan Agama.
a. Permohonan ijin untuk beristri lebih dari seorang diajukan kepada
Pengadilan Agama di tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1)UU No.1/1974).
C. Surat Permohonan.
a. Surat permohonan ijin beristri lebih dari seorang harus memuat:
i. Nama, umur, dan tempat kediaman Pemohon, yaitu suami dan
termohon, yaitu yaitu istri/istri-istri;
ii. Alasan-alasan untuk beristri lebih dari seorang;
4Arta Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
iii. Petitum.
b. Permohonan ijin Poligami merupakan perkara contentius, karena harus
ada (diperlukan) persetujuan istri. Karena itu, perkara ini diproses di
Kepanitraan Gugatan dan didaftarkan dalam Register induk Perkara
Gugatan.
D. Pemanggilan pihak-pihak.
a. Pengadilan Agama harus memanggil dan mendengar pihak suami
dan istri ke persidangan.
b. Pemanggilan dilakukan menurut tatacara pemanggilan yang diatur
dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR
dan pasal-pasal yang berkaitan.
E. Pemeriksaan.
a. Pemeriksaan permohonan ijin poligami dilakukan oleh Majelis
Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat
permohonan beserta lampiran-lampirannya (pasal 42 ayat (2) PP No.
9/1975).
b. Pada dasarnya , pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk
umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut
pertimbangan hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan,
Pemeriksaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup (pasal 17 ayat
F. Upaya damai.
a. Pada sidang pertama pemeriksaan ijin poligami, Hakim berusaha
mendamaikan (pasal 30 ayat (1) HIR).
b. Jika mencapai perdamaian, perkara di cabut kembali oleh pemohon.5
G. Pembuktian.
a. Pengadilan agama kemudian memeriksa mengenai :
i. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin
lagi, sebagai syarat alternatif yaitu;
(1) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
(2) Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
(3) Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
ii. Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri , baik persetujuan lisan
maupun tertulis, yang harus dinyatakan di depan sidang.
iii. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan:
(1)Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang di tanda tangani
oleh bendahara tempat bekerja, atau
(2)Surat keterangan pajak penghasilan; atau
(3)Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
5
i. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau
janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
2. Sekalipun sudah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini
harus dipertegaskan dengan persetujuan lisan di depan sidang,
kecuali dalam hal istri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi
tidak hadir dalam sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai
wakilnya.
3. Persetujuan dari istri tidak diperlukan lagi dalam hal:
a.Istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak
mungkin menjadi pihak dalam perjanjian;atau
b.Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2
tahun;atau
c.Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari
Hakim Pengadilan Agama.
H. Putusan
a. Apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwacukup alasan bagi
pemohon untuk beristri lebih dari seseorang , maka Pengadilan Agama
memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari
seorang.
b. Terhadap putusan ini , baik istri maupun suami dapat mengajukan
banding atau kasasi.6
6
I. Biaya perkara
a. Biaya dalam perkara ini dibebankan kepada pemohon (pasal 89 ayat
(1) UU No.7/1989)
J. Pelaksanaan poligami
a. Pegawai pencatatan nikah dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
sebelum ada ijin dari Pengadilan Agama yang telah mempunyai
ketetapan hukum tetap.
B. Tindak Kejahatan Perkawinan
1. Pasal 279 Ayat 1.
Pada dasarnya, KUHP tidak terlepas dengan aturan aturan yang lain
perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan tata cara dan hukum masing-masing
agamanya adalah sah. Demikian ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Ini berarti
walaupun pernikahan pria dan wanita tersebut hanya dengan sesuai dengan
agamanya, pernikahan tersebut tetap sah. Akan tetapi, perlu diperhatikan juga
bahwa dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan ditegaskan bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam KUHP BAB XII Kejahatan Asal Usul Pernikahan kita dapat
mencermati Pasal 279 ;
Ke- 1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.
Ke-2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
2. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1
menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
3. Pencabutan hak berdasakan Pasal No. 1- 5 dapat dinyatakan.7
Unsur-unsur yang terdapat didalam pasal 279 ayat (1) KUHP yaitu:
1. Unsur Subyektif yaitu “barang siapa”. Barangsiapa ini menyebutkan
orang sebagai subyek hukum yanng dapat dimintai pertanggungjawaban didepan
hukum. Unsur “barangsiapa” harus memenuhi kecakapan hukum baik secara
hukum pidana maupun secara perdata.
2. Unsur Obyektif yaitu;
a. Mengadakan perkawinan.Unsur ini menyebutkan seorang suami yang
menikah lagi dengan wanita lain yang perkawinannya dipandang sah menurut
hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu sebagaimana maksud Pasal
2 ayat (1) UUP).
b. Mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada. Unsur ini
menyebutkan seorang suami yang melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan
pada hurup (a), tapi ia secara sadar mengetahui bahwa ia sedang dalam ikatan
perkawinan sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (2) UUP.
c. Mengetahui perkawinan-perkawinan pihak lain.Unsur ini menyebutkan
calon mempelai pasangannya mengetahui bahwa calon pasangannya masih dalam
ikatan perkawinan yang sah sesuai maksud Pasal 2 ayat (2) UUP.
d. Adanya penghalang yang sah. Unsur ini menyebutkan bahwa kedua calon
mempelai memang sudah mengetahui bahwa perkawinan yang akan mereka
langsungkan memiliki halangan yang sah, karena calon suaminya masih dalam
ikatan perkawinan yang sah.
Unsur utama dalam pasal 279 ayat (1) ialah:
1. Perkawinan-perkawinan yang menjadi penghalang.
Dalam point ini membahas pasal 279 ayat 1 butir Ke-1 KUHP tentang
kejahatan asal usul pernikahan;
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
Ke- 1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah
ada menjadi penghalang yang sah untuk itu8.
Penjelasan pasal diatas menerangkan dikenakan pasal tersebut ketika
sesorang melakukan perkawinan dengan sengaja mengetahui ada penghalang
dalam melakukan perkawinan. Dari sini dapat dipahami pasal ini lebih membahas
terkait pelaksanaan perkawinan yang tidak sesuai dengan UU No 1/1974.
Walaupun dalam hukum Islam diperbolehkan poligami tetapi pelaksanaanya harus
sesuai dengan Undang Undang tersebut. Ketika tidak sesuai maka akan menjadi
penghalang yang sah sehingga bisa dikenakan pasal dan ayat tersebut.
2. Perkawinan yang diadakan.
Ketika unsur perkawinan yang dimaksud dalam pasal 279 ayat 1 butir Ke- 2
maka dikenakan sanksi pidana yang isi ayat tersebut;
Ke-2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui
bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi
penghalang untuk itu9.
Dari point ini yang dimaksud ialah perkawinan yang diadakan yang sah
sesuai dengan UU Nomor 1 tahun 1974 jadi pasal ini bisa menjerat seorang
ketika melakukan perkawinan yang sah dan ada status perkawinan sah yang lain
yang menjadi penghalang untuk melakukan perkawinan. Tidak termasuk dalam
ayat ini menjadi penghalang ketika pernikahan yang pertama tidak sesuai dengan
undang-undang yang berlaku karena perkawinan yang sah yang sesuai dengan
undang-undang.
Melihat pasal pada ayat 1 menjelaskan tentang tindak pidana yang
dilakukan dengan sengaja melkukan perkawinan yang kedua. Pada pasal tersebut
dimaksudkan tidak memberitahukan perkawinan yang kedua pada perkawinan
yang pertama yang sah. Dalam ayat pertama mendapatkan ancaman penjara
maksimal 5 tahun. Coba bandingkan Pasal 279 ayat (2), maka hukuman yang
dijatuhkan lebih berat.
2. Pasal 279 ayat 2.
pasal 279 ayat 2 pasangan yang telah menikah tidak memberitahukan
statusnya, artinya terdapat kebohongan terhadap pasangan dalam perkawinan
kedua. Dalam ayat tersebut mempunyai maksud melakukan kebohongan terhadap
perkaawinan keduanya dengan menyembunyikan status penghalang yang sah
terhadap orang lain. Unsur-unsur yang terdapat didalam pasal 279 ayat (2) KUHP
yaitu:
1. Unsur Subyektif yaitu “barang siapa”. Barangsiapa ini menyebutkan
orang sebagai subyek hukum yanng dapat dimintai pertanggungjawaban didepan
hukum. Unsur “barangsiapa” harus memenuhi kecakapan hukum baik secara
hukum pidana maupun secara perdata.
2. Unsur Obyektif yaitu;
a. Mengadakan perkawinan.Unsur ini menyebutkan seorang suami yang
menikah lagi dengan wanita lain yang perkawinannya dipandang sah menurut
hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu sebagaimana maksud Pasal
2 ayat (1) UUP).
b. Mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada. Unsur ini
pada hurup (a), tapi ia secara sadar menyembunyikan bahwa ia sedang dalam
ikatan perkawinan sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (2) UUP.
d. Adanya penghalang yang sah. Unsur ini menyebutkan bahwa kedua calon
mempelai memang sudah mengetahui bahwa perkawinan yang akan mereka
langsungkan memiliki halangan yang sah, karena calon suaminya masih dalam
ikatan perkawinan yang sah.
Seseorang bisa dikenakan sanksi pidana pidana dengan pasal ini ketika
terdapat unsur yang ada dalam pasal tersebut. Beberapa unsur utama seorang
dikenakan pasal 279 ayat 2;
3. Permasalahan prosedur
Penekanan pada unsur ini dibahas di ayat dua yang ancaman penjaranya
lebih tinggi yaitu tujuh tahun. Karena dalam ayat ini terdapat masalah proseduran
dan adminitrasi. Ayatnya yang berbunyi;
4. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1
menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun10.
Dalam ayat ini ada unsur kesengajaan dalam melakukan tindak pidana
perkawinan. Maksud pasal tersebut sama dengan ayat 1 butir ke-1 tapi penekanan
disini perkawinan yang telah ada disembunyikan. Dalam pelaksanaan poligami
bisa dilaksanakan ketika mendapatkan ijin dari pengadilan. Maka saat
pelaksanaan perkawinan ada penghalang yang sah tapi disembunyikan maka bisa
diancam dengan penjara 7 tahun. Dalam ayat satu melakukan perkawinan yang
sah dan mengetahui adanya penghalang dari perkawinan tersebut. Beda dengan
ayat ini yang lebih mempermasalahkan terkait menyembunyikan status
penghalang yang sah dan melakukan perkawinan yang kedua.
Tujuan dari pasal ini yang pertama melarang seseorang menyembunyikan
status perkawinanya ketika melakukan perkawinan yang kedua padahal
perkawinan sebelumnya akan merintanginya. Karena pluralisme hukum yang ada
di Indonesia mengatisipasi terjadinya perkawinan yang dilakukanya tidak sesuai
dengan undang-undang yang berlaku. Kemudian, kedua aturan itu awalnya
ditujukan untuk mencegah hubungan seksual yang tidak diinginkan. Meskipun,
seperti kita ketahui juga, dalam prakteknya ada juga pihak-pihak yang terus
membela bahwa dengan adanya perkawinan – bagaimanapun caranya, dianggap
telah menghapuskan sifat jahat perzinahan. Padahal, kalau dilihat efeknya pada
pasangan sebelumnya yang tidak mengetahui perkawinan tersebut, tentu
dampaknya sama saja, yaitu terjadi perselingkuhan – dalam arti perbuatan tak
diinginkan terhadap pasangan sebelumnya yang dilakukan secara
1
B BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah hak perempuan merupakan topik yang selalu menarik di setiap
waktu sejak zaman dulu hingga sekarang, dan bahkan mungkin hingga di masa
depan. Diskursus ini semakin berkembang dengan beriring dengan perkembangan
Hak Asasi Manusia yang menjalar di setiap sisi dalam kehidupan, termasuk
dalam agama dan keluarga. Islam hadir di tengah-tengah masyarakat Arab yang
menempatkan perempuan dalam derajat yang sangat rendah hingga seorang
perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dapat diwariskan oleh anak dari
suaminya hanya dengan melemparkan pakaian anak tersebut pada ibu tirinya itu.1
Pada zaman Jahiliyyah, kedudukan perempuan Quraisy ibarat barang
yang hanya berfungsi untuk menjadi kesenangan bagi laki-laki. Perempuan yang
menjadi barang kesenangan bagi para laki-laki adalah mereka yang memiliki
kedudukan terhormat atau berasal dari keluarga yang terhormat. Sedangkan
perempuan yang kurang beruntung status hidupnya, ia akan mengalami siksaan
serta menjadi budak belian. Hal ini terus berlangsung dari tahun ke tahun hingga
sampai akhirnya Rasulullah datang membawa cahaya kehidupan, yakni agama
Islam.2
1Ab@@@@@@@u Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ans}@ariy al-Qurt}ubi, Al-Ja@mi’ al-Ahka@m al-Qur’@an Juz
5, (Riy@adh: D@@ar ‘Alim al-Kutb, 2003), 94.
2Abdurrahman, Aisyah, Ibunda para Nabi, (Solo: Pustaka Mantq, 1990), 9.
Kedudukan perempuan dalam zaman itu digambarkan oleh hadis
Rasulullah saw.dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani: Rasulullah saw bersabda,
ٌ ِﺋﺎَ
ُﻪﱡﻘِﺷَو
ِﺔَﺎَِﻘْا
َمْﻮَـ
َءﺎَﺟ
ﺎَُﳘاَﺪْﺣِإ
َﱃإ
َلﺎََﻓ
ِنََأَﺮْا
ُﻪَ
ْﺖَﺎَﻛ
ْ َ
“Barangsiapa yang memiliki dua istri kemudian ia condong kepada
salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan
tubuhnya miring”3
Di dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa, seorang laki-laki
diperbolehkan berpoligami. Dengan syarat agar berlaku adil yang bisa diartikan
menjauhkan dari perbuatan jahat. Rasul sangat menghargai derajat wanita
sehingga memberikan persyaratan dalam melakukan poligami, agar terhindar dari
perbuatan yang buruk.
Memang benar hukum Islam memperbolehkan poligami, namun pembolehan itu
diberikan dengan pembatasan dan syarat-syarat yang berat.
Pembatasan-pembatasan itu antara lain adalah :
1. Poligami diperbolehkan apabila bertujuan untuk mengurus anak yatim
dengan adil. Jadi beristri baru itu di sini hanya boleh dengan janda, ibu
anak yang mana anak yatim yang bersangkutan di bawah pengawasan
laki-laki yang akan berpoligami itu. Hal itu diatur dalam alquran.
2. Jumlah wanita yang dikawini tidak boleh lebih dari empat orang seperti
yang terbuat dalam alquran.
3. Akan sanggup adil diantara istri-istinya itu.
4. Wanita-wanita yang hendak dikawini itu tidak boleh ada hubungan
saudara baik sedarah maupun sesusuan. Hal itu disebut dengan jelas dalam
alquran.
Pada awalnya Islam membolehkan seorang suami atau laki-laki berpoligami
dengan alasan:
1. Menopang ekonomi para janda dan anak yatim yan telah kehilangan suami
dan ayah mereka pasca Perang Uhud.
2. Pemerataan distribusi ekonomi secara adil.
3. Kuatnya kelompok masyarakat tidak memberhalakan sesuatu selain
mengabdi kepada Allah (tauhid).
Namun, pada kenyataan yang banyak terjadi pada masa sekarang tujuan
poligami tidak kembali lagi pada tujuan awal tetapi hanya untuk memuaskan
nafsu duniawi. dijelaskan juga dalam surah an Nisa’ ayat 129 yakni ;
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al- Nisa’ : 129)
Seperti terbaca di atas, keadilan yang tidak dapat diwujudkan itu adalah
dalam hal cinta. Bahkan, cinta atau suka pun dapat dibagi. Suka yang lahir atas
disukai oleh siapa pun. Ini berdasarkan perasaan setiap orang, tetapi obat yang
sama akan disukai, dicari, dan diminum karena akal si sakit mendorongnya
menyukai obat itu walau ia pahit. Demikian suka atau cinta dapat berbeda. Yang
tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah keadilan dalam cinta atau suka
berdasarkan perasaan, sedang suka yang berdasarkan akal dapat diusahakan
manusia, yakni memperlakukan istri dengan baik, membiasakan diri dengan
kekurangan-kekurangannya, memandang semua aspek yang ada padanya, bukan
hanya aspek keburukannya. Inilah yang dimaksud dengan janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada vang kamu cintai) dan jangan juga terlalu cenderung
mengabaikan yang kamu kurang cintai.4
Untuk melakukan perkawinan juga sangat penting mengetahui asal usul
agar tidak ada penghalang dalam melakukan perkawinan. Untuk melakukan
poligami harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan Adapun ayat yang
membahas tentang mengetahui asal usul adalah ayat 22-23 surah an-nisa’ yakni :
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Nisa’ : 22 – 23)
Melihat ayat di atas, nampaknya ulama Indonesia dan lebih khususnya
peraturan perundang-undangan di Indonesia berada. Yakni membolehkan praktek
poligami, namun dibatasi dengan syarat-syarat tertentu dan dalam kondisi tertentu
untuk menghindari niat buruk dalam melakukan perkawinan.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan peraturan hukum
pidana yang saat ini tetap berlaku di Indonesia (hukum positif) yang mengatur
mengenai perbuatan pidana secara materiil atau disebut KUHP5 juga memuat
5 KUHP yang sekarang diberlakukan bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van
ketentuan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan dalam Pasal
279:
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
Ke- 1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui
bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.
Ke-2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
2. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1
menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
3. Pencabutan hak berdasakan Pasal No. 1- 5 dapat dinyatakan6.
Tindak pidana perkawinan yang diatur dalam Pasal 279 KUHP termasuk
tindak pidana kejahatan terhadap kedudukan perdata.7 KUHP Belanda menyebut
tindak pidana tersebut dengan dubble huwalijke atau bigami, karena di Belanda
dianut prinsip monogami, sehingga tindak pidana semacam itu mengakibatkan
adanya 2 (dua) perkawinan. Hasil penulusuran yurisprudensi menunjukkan
perkawinan model ini pernah dijatuhi sanksi pidana oleh Pengadilan. Perkawinan
model ini pernah dilakukan seorang laki-laki yang secara hukum masih berstatus
suami istri, akan tetapi ia melakukan perkawinan. Yurisprudensi atau Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 596 K/Pid/2013 Oktober 2002
menjatuhkan putusan menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan
dan Madura. Pada tanggal 20 September 1958, berdasarkan UU No. 7 Tahun 1958, KUHP tersebut berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
6
Moeljatno, KUHP:Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta; Bumi Aksara, 1996), 101.
7 Ada 4 (empat) pasal yang berhubungan dengan tindak pidana kejahatan terhadap kedudukan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan perkawinan,
sedangkan perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya
untuk kawin lagi” dan menghukum terdakwa ditahan selama 6 bulan.8
Tindak pidana perkawinan dalam dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 juncto
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk adalah tindak pidana pelanggaran. Penelurusan putusan pengadilan masih
belum ditemukan perkara berkaitan tindak pidana berupa pelanggaran perkawinan
terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Ketentuan-ketentuan pasal dalam KUHP maupun peraturan
perundang-undangan yang mengatur perkawinan menunjukkan bahwa tindak pidana yang
diancam sanksi pidana dalam hukum positif di Indoensia antara lain kejahatan
melakukan perkawinan sedangkan perkawinannya yang sudah ada menjadi
halangan yang sah baginya untuk kawin lagi, pelanggaran terhadap kewajiban
8 Mahkama Agung menjatuhkan Putusan Nomor 596 K/Pid/2013. tanggal 18 November 2013
yang amarnya sebagai berikut:
1 Menyatakan Terdakwa LENNY RAHAYU HARTATI alias LENY terbukti ber-salah melakukan tindak pidana ”barang siapa kawin (menikah) sedang ia mengetahui bahwa perkawinannya menjadi halanganyang sah bagi jodohnya itu akan kawin lagi”, sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan kesatu Pasal 279 ayat (1) ke-2 KUHP.
2 Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 6 (enam) bulan penjara dikurangkan dengan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa, dengan perintah Terdakwa ditahan.
3 Menyatakan barang bukti berupa ;
- 1 (satu) lembar kutipan Akta Perkawinan Nomor : 296/T/2008 tanggal 22
September 2008 yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kependudukan Keluarga Berencana dan Catatan Sipil Labuhan Batu an. Marlon Brando Sibarani dengan Ledya Roselly. Dipergunakan dalam perkara an. Marlon Brando Sibarani;
untuk mencatatkan perkawinan, dan pelanggaran memutuskan perkawinan tanpa
melalui putusan pengadilan.
Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan menuntut terwujudnya suasana tertib,
termasuk tertib hukum. Salah satu upaya pemaksaan hukum (law enforcement) itu
adalah melalui pemberlakuan sanksi pidana terhadap pihak pelanggar, mengingat
sanksi pidana membawa akibat hukum yang berkaitan dengan kemerdekaan
pribadi (berupa pidana penjara, kurungan) dan harta benda (antara lain berupa
pengenaan denda) dari pelanggar yang bersangkutan. Oleh sebab itu, hampir pada
berbagai ketentuan kaidah peraturan perundang-undangan selalu disertai dengan
pemberlakuan sanksi pidana, berupa pidana penjara, kurungan, denda, dan
semacamnya,9 termasuk bidang hukum perkawinan.
Istilah pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat
diartikan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan
kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Menurut Sudarto yang dikutip Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya
Teori-teori dan Kebijakan Pidana, pidana adalah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu.10 Alf Ross yang dikutip Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam
9Akibat hukum yang berkaitan dengan kemerdekaan pribadi berupa pidana penjara atau kurungan,
sedangkan yang berkaitan harta benda antara lain berupa pengenaan denda. A. Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara Lanjut, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000), 2.
10 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandun:, Alumni, 1998),
bukunya Teori-teori dan Kebijakan Pidana mengemukakan bahwa pidana adalah
adalah tanggung jawab sosial yang:11
a. terdapat pelanggaran terhadap aturan hukum.
b. dijatuhkan atau dikenakan oleh pihak berwenang atas nama perintah hukum
terhadap pelanggar hukum.
c. merupakan suatu nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
d. perwujudan pencelaan terhadap pelanggar.
Menurut Apeldoorn yang dikutip oleh Wirjono Projodikoro dalam buku
Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, unsur tindak pidana terdiri dari unsur
objektif yang berupa adanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum
(onrechmatig/wederrechtelijke) dan unsur subjektif berupa adanya pembuat
(toerekeningsvatbaarheid) terhadap perbuatan yang bertentangan dengan
hukum.12 Berkaitan dengan unsur-unsur tersebut, unsur atau elemen tindak pidana
yang terkadung dalam Pasal 279 KUHP, misalnya untuk ketentuan dalam ayat (1)
butir a adalah: (a) barang siapa, (b) yang kawin (mengadakan perkawinan),(c).
Sedang diketahuinya bahwa perkawinan yang telah ada menjadi halangan yang
sah baginya untuk kawin lagi.
Mahkamah Agung RI telah memberikan petunjuk berkaitan dengan
seorang suami melakukan perkawinan lagi tanpa izin pengadilan, maka dikenakan
ketentuan Pasal 45 ayat (1) huruf a juncto Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Namun, apabila suami pernah mengajukan permohonan izin, tetapi
11 Ibid., 3.
12 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama,
ditolak oleh Pengadilan dan suami tersebut tetap melakukan perkawinan, maka
dikenakan ancaman Pasal 279 ayat (1) KUHP.13
Berdasarkan eksplanasi tersebut, perlu dilakukan upaya agar tindak pidana
perkawinan tersebut tidak berlanjut yang implikasinya akan semakin meluas.
Upaya yang dapat dilakukan untuk memutus tradisi perkawinan yang sarat dengan
indikasi tindak pidana perkawinan tersebut adalah melakukan rekonstruksi
kebijakan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan dalam
hukum positif di Indonesia karena belum mampu diimplementasikan secara
optimal serta belum mampu mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam
hukum perkawinan di Indonesia
Kebijakan sanksi pidana terutama untuk tindak pidana perkawinan
selama ini berdasar pemikiran bahwa sanksi pidana sebagai ultimum remedium,
yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia. Menurut Van
Bemmelen, sanksi hukum pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan
dengan sengaja dan penerapannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak
memadai lagi.14 Proses tindak pidana perkawinan termasuk jenis delik aduan,
artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari
orang yang menjadi korban tindak pidana.15
13 Petunjuk Ketua Mahkamah Agung RI No. MA/Pemb/0156/77, tanggal 25 Februari 1997,
tentang Penetapan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, 10.
14 Andi Zainal Abidin, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1987), 16.
15Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis
Pembaruan kebijakan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana
merupakan hal yang urgen karena sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian
sehingga tidak kontekstual. Pemerintah sebagai penyelenggara negara
mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia khususnya bidang perkawinan
sebagaimana amanat Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun
1945. Politik hukum (rechtspolitiek) dalam arti kebijakan hukum terhadap
pengaturan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan dalam
hukum positif di Indonesia diharapkan akan dapat mengubah perilaku para
pelaku perkawinan yang sesuai dengan perkembangan hukum dan masyarakat
Indonesia menuju terwujudnya kebijakan atau politik pemidanaan dalam arti
keseluruhan yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.
Dengan diketahui sebuah penjelasan di atas maka hal-hal tersebut menjadi
alasan untuk melakukan penelitian dengan judul Analisis Hukum Pidana tentang
Sanksi Hukum Kejahatan terhadap Asal-usul Pernikahan menurut Pasal 279
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis dapat
mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
1. Hikmah pernikahan dalam Islam.
2. Pandangan hukum Islam tentang sanksi hukum kejahatan terhadap asal
usul pernikahan.
3. Poligami menurut hukum positif.
4. Poligami menurut hukum islam.
5. Kejahatan terhadap tindak pidana perkawinan.
6. Ketentuan hukum dalam tindak pidana perkawinan dalam KUHP pasal
279.
7. Pandangan hukum positif terhadap sanksi hukum tindak pidana
perkawinan di Indonesia.
C. Batasan Masalah
Melihat luasnya permasalahan yang muncul dari latar belakang di
atas, penulis membatasi penelitian ini dengan hanya memfokuskan
pembahasan pada masalah-masalah berikut ini :
1. Ketentuan hukum pasal 279 tentang kejahatan terhadap Asal-usul
pernikahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
2. Sanksi hukum pidana Islam terhadap ketentuan hukum postif tentang
sanksi hukum kejahatan terhadap Asal-usul pernikahan pasal 279 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, identifikasi dan batasan masalah,
maka masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan
1. Bagaimana ketentuan hukum pasal 279 tentang kejahatan terhadap
Asal-usul pernikhan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)?
2. Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap sanksi hukum tentang
kejahatan terhadap Asal-usul pernikahan pasal 279 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP)?
E. Kajian Pustaka
Dalam karya ini, penulis akan membahas “study komparasi tentang
kejahatan Asal-usul pernikahan dalam pasal 279 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang dianalisis dengan hukum pidana Islam”.
Adapun dalam kajian pustaka ini mendapatkan gambaran tentang
hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis sebelumnya agar
tidak terdapat pengulangan dalam penelitian ini.
Masalah tindak pidana perkawinan dalam analisis hukum pidana Islam
belum pernah dibahas sama sekali di UIN Sunan Ampel. Dalam hal ini
ditemukan beberapa tulisan yang membahas tentang tinjauan yuridis dan
tinjauan hukum Islam:
1. Skripsi di IAIN Sunan Ampel pada tahun 2002 dengan judul “Poloigami
Tanpa Ijin Istri sebagai Tindak Pidana Perkawinan Tinjauan Hukum Islam
terhadap Pasal 45 PP. 9 Tahun 1975” yang ditulis Ahmad Izzuddin.16
2. Skripsi di IAIN Sunan Ampel fakultas Syariah tahun 2004 dengan judul,
“Tinjauan Yuridis Penerapan Pasal 279 KUHP tentang Tindak Pidana
16 Ahmad izzuddin, “Poloigami tanpa ijin istri sebagai tindak pidana perkawinan tinjauan hukum
Perkawinan; Studi Kasus di Pengadilan Gresik” ditulis oleh Maslachatul
Ummah17.
Dari skripsi-skripsi diatas memiliki perbedaan dengan skripsi penulis
karena mentitik beratkan terhadap pandangan pidana Islam terkait tindak
pidana dalam hukum positif. Dengan demikian pembahasan “analisis hukum
pidana Islam terhadap kejahatan asal-usul pernikahan menurut pasal 279
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)” tidak ditemukan atau belum
dikaji, baik berupa buku maupun karya – karya ilmiah yang lain. Oleh karena
itu penulis berusaha untuk mengangkat persoalan diatas dengan melakukan
telaah literatur yang menunjang penelitian ini.
F. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini
adalah :
1. Mengetahui ketentuan hukum tentang kejahatan terhadap Asal-usul
pernikahan pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
2. Mengetahui analisis hukum pidana Islam tentang sanksi hukum kejahatan
terhadap Asal-usul pernikahan pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.
G. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan, setidaknya
dalam 2 (dua) hal berikut ini :
17 Maslachatul Ummah,”Tinjauan yuridis penerapan pasal 279 KUHP tentang tindak pidana
1. Aspek teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas
pengetahuan tentang pemahaman hukum pidana Islam dalam hukum
positif serta diharapkan hasil penelitian ini menjadi dasar penyusunan
penelitian lanjutan yang relevan dengan penelitian ini.
2. Aspek praktis
Dari sisi praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan
atau pertimbangan bagi mahasiswa Fakultas Syariah apabila ada masalah
yang berkaitan khusus dengan masalah tindak pidana pernikahan yang
sesuai dengan pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
H. Definisi Operasional
Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu
adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional dalam
penulisan skripsi ini agar mudah dipahami secara jelas tentang arah dan
tujuannya. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami maksud
yang terkandung
Adapun judul skripsi “Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Kejahatan
terhadap Asal-usul Pernikahan menurut Pasal 279 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana” untuk memperoleh gambaran yang luas dan pemahaman
yang utuh tentang judul penelitian ini, maka akan dijelaskan sub-sub bagian
1. Hukum pidana Islam
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan hukum pidana Islam dalam
hadits dengan istilah jinayat atau jarimah. Dalam pidana Islam ini
menggunakan jarimah takziryang berkaitan dengan kemaslahatan
individu atau perseorangan.
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Adalah kitab Undang-undang hukum yang berlaku sebagai dasar hukum
di Indonesia KUHP merupakan bagian hukum politik yang berlaku di
Indonesia, dan terbagi menjadi dua bagian: hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil. Semua hal yang berkaitan dengan hukum pidana
materiil adalah tentang tindak pidana.
3. Pasal 279 tentang Kejahatan Terhadap Asal usul Pernikahan
Pasal ini membahas kejahatan perkawinan yang dijelaskan dalam pasal
akan dikenakan sanksi pidana apabila melakukan pernikahan dengan
sengaja tetapi ada penghalang yang sah pasal ini masuk dalam BAB
Kejahatan terhadap Asal-usul Pernikahan.
I. Metode Penelitian
1. Jenis dan pendekatan penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif melalui studi kepustakaan yang relevan dengan
penelitian ini.
2. Data yang dikumpulkan.
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, untuk dapat
menjawab rumusan masalah tersebut, data yang perlu untuk dikumpulkan
adalah sebagai berikut :
a. Ketentuan hukum KUHP terhadap tindak pidana pernikahan.
b. Syarat – syarat melakukan poligami menurut hukum positif.
c. Analisis hukum pidana islam terhadap pasal 279 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
3. Sumber data.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini, semuanya berupa data tertulis,
karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Adapun
sumber-sumber data tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sumber data primer :
i. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
ii. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan
iii. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
b. Sumber data sekunder:
i. Alquran dan hadis
ii. Asas – asas Hukum Pidana, karya Moeljatno
iii. Asas – asas Hukum Pidana Islam, A. Hanafi
iv. Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam, H. Ahmad Wardi Muslich
v. Hukum Pidana Islam, H. Zainuddin
4. Teknik pengumpulan data.
Dalam penelitian kepustakaan ini, pengumpulan data dilakukan penulis
melalui teknik dokumentasi. Dengan teknik ini, penulis melakukan
penelaahan bacaan yang sesuai dengan objek penelitian yakni hukum
poligami tanpa ijin dalam pasal 279 KUHP.
5. Metode analisis data.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis dengan menggunakan pola pikir deduktif yakni dengan
mengungkapkan ketentuan dalam hukum positif, kemudian menjelaskan
hukum poligami tanpa ijin istri, serta kemudian analisis hukum pidana
Islam terhadap pasal 279 KUHP (tindak pidana pernikahan).
J. Sistematika Penulisan
Penelitian ini membutuhkan pembahasan yang sistematis agar lebih
mudah dalam memahami dan penulisan skripsi. Oleh karena itu, penulis akan
menyusun penelitian ini ke dalam 5 (lima) bab pembahasan. Adapun
sistematika pembahasan tersebut secara umum adalah sebagai berikut :
Bab pertama,merupakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka, definisi operasional, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan. Dalam bab ini, deskripsi awal yang
adalah rumusan masalah yang akan menjadi objek penelitian ini setelah
melihat latar belakangnya.
Bab kedua kajian teori tentang hukuman takzir dalam hukum pidana
Islam. Selanjutnya menjabarkan tentang pengertian jarimah takzir
dilanjutkan dengan dasar hukum takzir, tujuan sanksi takzir, ruang lingkum
dan pembagian takzir, hukum sanksi takzir dan macam macam sanksi takzir.
Bab ini sebagai landasan teori dalam menganalisis objek permasalan dalam
tulisan ini.
Bab ketiga, data yang akan diteliti dalam penelitian ini terdiri atas
penjelasan secara umum poligami di Indonesia beserta pengertian dan
syarat-syarat poligami di Indonesia menurut hukum positif sekaligus membahas
tentang penjelasan pasal 279 kitab Undang-undang hukum pidana.
Bab keempat, berupa pembahasan ketentuan hukum kitab
Undang-undang hukum pidana pasal 279 tentang kejahatan terhadap asal-usul
pernikahan. Bab ini merupakan analisis analisis sanksi hukum pidana Islam
dalam pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang kejahatan
terhadap asal usul dan perkawinan,.
Bab kelima, berupa penutup yang berisi tentang kesimpulan dari
BAB II
HUKUMAN TAKZIR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Takzir
Dalam bahasa arab Ta’z@ir adalah bentuk mashdar dari kata
َ ر
َ زْعَ ي
-ََر
َ زَع
yangsecara etimologis berarti
َ عَْماَو
َ د رلا
, yaitu menolak dan mencegah. Kata kata inimemiliki arti
َ َرَصَن
menolong atau menguatkan.Hal ini seperti firman Allah berikut.
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
“supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. AL-Fath (48):9)
Kata ta’z@ir dalam ayat ini juga berarti
ُْاَوَ قَو
ْ َُناَعَاَوْ َُرَ قَوَوْ َُم ظَع
,
yaitumembesarkan, memperhatikan, membantu, dan menguatkan (agama Allah).
Sementara itu Al-Fayyumi dalam Al-Misbah Al-Munir yang dikutip M. Nurul Irfan
dan Masyarofah dalam buku Fiqh Jina@yah mengatakan bahwa takzir adalah
pengajaran dan tidak termasuk dalam kelompok had. Begitu pula dengan beberapa
definisi takzir dibawah ini:
Takzir ialah pengajaran yang tidak sampai pada ketentuan had syar’i,
seperti pengajaran terhadap seseorang yang mencaci-maki (pihak lain) tetapi
bukan menuduh ( orang lain berbuat zina).
Dalam definisi ini terdapat kalimat tidak sampai pada ketentuan had syar’i.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Al-Fayyumi dalam definisi di atas, yaitu takzir
adalah pengajaran dan tidak termasuk dalam kelompok had. Dengan demikian takzir
tidak termasuk dalam katagori hukuman hudud. Namun, bukan berarti tidak lebih
keras dari hudud, bahkan sangat mungkin berupa hukuman mati1
Dari definisi tersebut, jelaslah bahwa takzir adalah suatu istilah untuk
hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’,
melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penetapannya maupun pelaksanaannya.
Dikalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’
dinamakan dengan jarimah takzir. Jadi, istilah takzirbisa digunakan untuk hukuman
dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
Dalam menentukan hukuman takzir, penguasa hanya menetapkan hukuman
secara global saja. Artinya, pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman
untuk masing-masing takzir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman,
dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Dengan demikian, ciri
khas dari jarimah takzir itu adalah sebagai berikut:
1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya, hukuman tersebut belum
ditentukan oleh syara’, ada batas minimal dan ada batas maksimal.
2. Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.
Jarimah takzir di samping ada yang diserahkan penentuan sepenuhnya kepada
ulil amri, juga ada yang memang sudah ditetapkan oleh syarak, seperti riba dan suap.
Selain itu yang termasuk ke dalam kelompok ini, yaitu jarimah-jarimah yang
sebenarnya sudah ditetapkan hukumannya oleh syarak (h}udu>d) akan tetapi
syarat-syarat untuk dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya,
pencurian yang tidak sampai selesei atau barang yang dicuri kurang dari nishab
pencurian, yaitu seperempat dinar.
Telah disepakati oleh ulama bahwa bentuk dan kualitas takzir tidak boleh
menyamai hukuman diyat atau ukurannya berada dibawah hukuman hudud, atau
dengan arti kata ukuran hukuman takzir untuk setiap bentuk kejahatan adalah
dibawah hukuman hudud yang diberlakukan untuk kejahatan itu. Hal ini
mengandung arti bahwa takzir untuk kejahatan seksual adalah dera yang jumlahnya
kurang dari 100 kali, atau hukuman lain yang setimpal dengan itu. Takzir untuk
fitnah bukan dalam bentuk tuduhan berbuat zina, misalnya tuduhan membunuh
hukumannya dera yang jumlahnya dibawah 80 kali atau hukuman lain yang setimpal.
Takzir untuk pencurian dalam jumlah yang kecil dikenai hukuman yang kadarnya
peminum yang tidak tergolong khamr adalah dibawah 40 kali dera atau hukuman
yang setimpal2.
B. Dasar Hukum Takzir
Dasar hukum pelaksanaan hukuman takzir dalam Alquran dan hadis nabi
Muhammad saw tidak diterapkan secara terperinci dalam segi jarimah atau
hukumanya, karena dipertimbangkan atas prinsip keadilan dalam masyarakat.
Menurut Syarbini al-Khatib, bahwa ayat alquran yang dijadikan landasan
adanya jarimah takzir adalah alquran surah al-Fath ayat 8-93:
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ ْ ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْْْ ْ“Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan. supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang”
Dari terjemahan tersebut di atas A. Hasan menerterjemahkan: watu’aziruhu
sebagaimana dikutip oleh Makhrus Munajat dalam bukunya Hukum Pidana Islam di
Indonesia dengan: dan supaya kamu teguhkan (agamanya) dan untuk mencapai
tujuan ini, satu diantaranya ialah dengan mencegah musuh-musuh Allah.4
2 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 19. 3 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia,(Yogyakarta: Teras, 2009) , 182.
Adapun hadis yang dijadikan dasar adanya jarimah takzir, sebagai berikut;
1. Hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :
َْسَبَحَْم لَسَوِْْيَلَعُْ ّاْى لَصِْ ّاَْلوُسَرْ نَأِِّْدَجْْنَعِْيِبَأْْنَعْ ميِكَحِْنْبِْزْهَ بْْنَع
ْ ةَمْهُ تْ ِفْاًسََ
“Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menahan
seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).”5
2. Hadis nabi yang diriwayatkan oleh Burdah :
ْْنَع
ْ
ِْبَأ
ْ
َْةَدْرُ ب
ْ
ِّْيِراَصْنَْْا
ْ
ُْ نَأ
ْ
َْعََِ
ْ
َْلوُسَر
ْ
ِْ ّا
ْ
ى لَص
ْ
ُْ ّا
ْ
ِْْيَلَع
ْ
َْم لَسَو
ْ
ُْلوُقَ ي
ْ
َْلْ
ُْدَلُُْ
ْ
ٌْدَحَأ
ْ
َْقْوَ ف
ْ
ِْةَرَشَع
ْ
ْ طاَوْسَأ
ْ
ْ لِإ
ْ
ِْف
ْ
ْ ّدَح
ْ
ْْنِم
ْ
ِْدوُدُح
ْ
ِْ ّا
ْ
)ْملسمْ اور(
“Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda:“Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan sebagainya.” (Riwayat Muslim)”.6
3. Hadis nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :
ُْ ّاْى لَصِْ ّاُْلوُسَرَْلاَقْْتَلاَقْاَهْ َعُْ ّاَْيِضَرَْةَشِئاَعْْنَعَْةَرْمَعْْنَعْ رْكَبْ ِبَأِْنْبِْد مَُُْْنَع
ِْْيَلَعْ
َْدوُدُْحاْ لِإْْمِِِاَرَ ثَعِْتاَئْ يَْْاْيِوَذْاوُليِقَأَْم لَسَو
“Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah gelinciran
orang-orang yang baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud,
An-Nasai, dan Baihakki).7
Secara umum ketiga hadis di atas menjelaskan sebagai dasar pelaksanaan
hukuman takzir, berikut penjelasan dari hadis tersebut;
1. Hadis pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan tersangka
pelaku tindak pidana untuk memudahkan proses penyelidikan. Apabila tidak
ditahan, dikhawatirkan orang tersebut melarikan diri, menghilangkan barang
bukti, atau mengulangi perbuatan tindak pidana8
2. Hadis kedua menjelaskan untuk membedakan dengan jarimah hudud. Dengan
batasan hukuman ini dapatlahdiketahui mana yang termasuk jarimah dan
mana yang termasuk jarimah takzir. Menurut al-Kahlani, para ulama sepakat
bahwa yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr,
hirabah, qadzaf, murtad dan pembunuhan. Selain dari jarimah-jarimah
tersebut, termasuk jarimah takzir meskipun ada juga beberapa jarimah yang
diperselisihkan oleh para fuqaha, seperti homoseksual, lesbian,dan lain-lain.9
3. Hadis ketiga menjelaskan bahwa orang baik, orang besar,
orang-orang ternama kalau tergelincir di dalam sesuatu hal, ampunkanlah, karena
biasanya mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah berbuat sesuatu
yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka.
Mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman takzir yang bisa berbeda antara
satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan
kondisi-kondisi lain yang menyertainya. Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukan kepada para
8M.Nurul Irfan, Fiqh Jinayah..., 14.
pemimpin/para tokoh, karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan takzir,
sesuai dengan luasnya kekuasaan mereka. Mereka