MENANTI DAYA KRITIS UMAT
Pelajaran berharga dari Pemilu dan aktivitas politik di negeri kita tercinta ialah betapa masih rendahnya nalar kritis rakyat Indonesia. Bagaimana orang harus memilih Presiden karena keren atau kesan ganteng. Karena ada tahi lalat di bibir. Karena murah senyum. Karena kesan santun seperti untuk memilih pengasuh panti atau resepsionis kantor. Karena hal-hal yang bersifat kulit luar. Bukan karena factor-faktor yang objektif dan rasional seperti kinerja, track tecord, tidak pernah terlibat masalah nasional, dan faktor-faktor kompetensi atau kemampuan yang memang dibutuhkan oleh pemimpin dari sebuah bangsa yang memerlukan penyelamatan. Memilih Presiden dan Wakil Presiden seperti kontes bintang film dan rakyat kita seolah sebagai masyarakat penggemar pertunjukan saja. Tapi itulah yang mekar di negeri ini.
Kalangan umat Islam pun seperti ikut terjangkiti penyakit taklid dan budaya selebritis seperti itu. Tiba-tiba memandang di antara calon Presiden sebagai santri dan tokoh Islam padahal dari sejarah perjalanan hidupnya tidak pernah bergumul dalam gerakan-gerakan Islam baik di organisasi kemasyarakatan Islam maupun dalam membela kepentingan-kepentingan Islam yang strategis. Bahkan boleh jadi tokoh yang didukung dan dipandang santri itu pernah satu kareta dalam rezim Orde Baru yang memarjinalkan Islam dan waktu itu tokoh-tokoh yang disebutkan itu tak memberikan pemihakan apapun kepada umat Islam. Kita lupa bagaimana para mubaligh dulu harus memiliki SIM (Surat Idzin Mubaligh), dibonsai dan ditekan hak-hak politik umat Islam, bahkan difitnah dengan gerakan Komando Jihad, kasus Tanjung Priok. Bahkan tak jauh-jauh ketika cap teroris diberikan kepada umat Islam beberapa waktu, mereka tak ada pembelaan sama sekali.
Orang Islam seperti mudah terpikat pada hal-hal sekilas, luaran, dan yang tiba-tiba seperti gincu. Bahkan sangat ironis, bagaimana isu kerudung yang sedikit kelihatan dari istri Calon Presiden bisa menjadi isu besar dalam menentukan pilihan, padahal untuk hal-hal besar seolah diabaikan. Istilahnya hujan seketika menyiram kemarau panjang. Para elit politisi muslim pun tiba-tiba seperti bingung menentukan pilihan Capres dan Cawapres yang memihak Islam dan kepentingan bangsa, padahal daya kritis dan nalar awam saja tidaklah sulit menentukannya. Hal itu karena sebagian umat dan elit muslim masih terjebak pada hal-hal kulit luar dalam memandang sesuatu, termasuk memandang keislaman, yang mengalahkan hal-hal substansial dan yang lebih luas. Selain karena terjebak kulit luar tadi, tentu saja karena kepentingan-kepentingan pragmatisme politik sesaat jauh melebihi takaran, sehingga lebih baik menjatuhkan pilihan kepada tokoh Islam samar-samar dan bahkan sumir ketimbang kepada tokoh Islam yang sudah teruji dan mengalami pergumulan dengan denyut dinamika gerakan umat. Bahkan dengan mengusung Syari’at Islam, tidak tanggung-tanggung ikut bergabung dengan kekuatan sekular dan yang menjauhi kepentingan Islam. Itulah paradoks di sebagian tubuh umat Islam.
terjebak pada pilihan-pilihan politik yang bersifat kulit luar dan sesungguhnya tidak memihak kepentingan umat Islam? Jangan-jangan hanya kepentingan elit partai saja yang diutamakan, bukan kepentingan umat dan bangsa secara keseluruhan, lantas mengatasnamakan politik Islam bahkan Syari’at Islam. (HNs)
Sumber: