• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN

KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Tinjauan Perjanjian Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jika diperhatikan ketentuan pasal 1 Undang-undang Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Begitu pula mengenai tujuan perkawinan yang juga tercantum pada pengertian perkawinan pada bunyi Pasal 1 tersebut yaitu :”...Dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Didalam penjelasan umum Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagian dan kekal, maka untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dlam mencapai kesejahteraan

(2)

materiil dan spritual.

Sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan ” Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.

”Jadi perkawinan yang sah jika terjadi jika terjadi perkawinan antar agama, adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya”.26

Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 itu, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, yang menyatakan : ”Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentang atau tidak ditentukan lain dalam

26Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

(3)

Undang-undang ini”.

Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang-orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

Akan tetapi Undang-undang Perkawinan tidak memperhatikan bahwa masih ada beberapa kelompok masyarakat yang masih menganut animisme seperti yang terdapat di Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur dan beberapa desa di pedalaman Jawa dan pedalaman Kalimantan. Apakah perkawinan mereka tidak sah hanya karena mereka animisme sedangakan kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia.

Menurut Wakil Ketua Mahkamah Agung Purwoto S.Ganda Subrata bahwa: ”kurang tepatlah anggapan, bahwa suatu perkawinan yang dilakukan tidak persis sesuai dengan ketentuan ritual (hukum) agama yang bersangkutan menjadi tidak sah menurut hukum, tetapi apabila dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama/kepercayaan yang bersangkutan adalah sah menurut hukum”.27

Untuk mencapai syarat-syarat perkawinan tersebut, maka harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Menurut Pasal 6 Undang-undang Perkawinan, adapun

(4)

syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendenganr orang-orang tersebut yang memberikan izin.

6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;

2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;

3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing;

4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang

(5)

memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin.28

Menurut Pasal 8 Jo Pasal 6,7 dan 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menyatakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah/Perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh Pegawai pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai serta hari, jam dan tempat akan dilangsungkan perkawinan.

Adapun yang menjadi tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel.29 Oleh karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang menganut prinsip untuk mempersukar terjadi perceraian.30

Menurut Hilman Hadikusuma, bahwa :

”Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau ibuan atau keibubapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga

28Lihat Pasal 3,4 dan 5 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

29Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 5.

(6)

keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan. Oleh karena sistem kekerabatan antar suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda diantara suku bangsa yang satu dan suku bangsa yang berlainan, daerah yang satu dan daerah yang lain berbeda, serta akibat hukum dan upaya perkawinannya berbeda-beda”.

1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan

Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Perjanjian perkawinan pengertiannya dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, diatur dalam Bab V, Pasal 29, yaitu :

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, Agama dan kesusilaan.

3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.31

Calon suami Isteri, sebelum perkawinan dilangsungkan atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan (Huwelijkvoorwarden), yang mana antara lain :

1) Persetujuan perjanjian perkawinan tersebut diperbuat secara tertulis.

2) Perjanjian perkawinan tertulis tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

3) Sejak pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, isi ketentuan perjanjian tersebut menjadi sah kepada suami isteri dan juga terhadap

31M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, Cetakan Pertama, Penerbit CV. Zahir Trading Co, Medan, 1975, hal. 84.

(7)

pihak ketiga, sepanjang isi ketentuan isi ketentuan yang menyangkut pihak ketiga.32

4) Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak tanggal hari perkawinan dilangsungkan.33

5) Perjanjian perkawinan tidak dapat dirubah selama perkawinan, jika perubahan tersebut dilakukan secara sepihak. Perubahan Unilateral tidak boleh, akan tetapi jika perubahan atas kehendak bersama atau secara

bilateral perubahan dimaksud dapat dilakukan.34

6) Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana isi ketentuan perjanjian itu melanggar batas-batas hukum Agama dan kesusilaan.35

Bahwa pengertian dalam Pasal 29 tersebut, tidak lain dimaksud untuk tujuan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut, adalah serupa maksudnya dengan Pasal 139 KUHPerdata yakni persetujuan pemisahan harta kekayaaan dalam perkawinan.36

Perjanjian yang mengatur sampai dimana batas-batas tanggung jawab pribadi masing-masing seperti yang disebut dalam Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 197437 terhadap hutang yang dibuat oleh suami terhadap pihak ketiga. Dalam pasal ini banyak menolong pihak isteri ataupun suami atas tindakan-tindakan atau hutang yang dibuat oleh suami, maka hak isteri tidak ikut tanggung jawab atas hutang tersebut.

Dalam undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ini bahwa perkawinan tersebut otomatis membuat harta yang dibawa kedalam perkawinan menjadi terpisah. Namun demikian Pasal 35 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa ”harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.

32Lihat Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 33Lihat Pasal 29 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 34Lihat Pasal 29 ayat (4) UU No. 1 Tahun 1974

35M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum..., Op.Cit, hal. 82. 36Ibid, hal. 83.

37Menyebutkan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

(8)

Dalam Pasal 36 UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan :

1) Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak

2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Sedangkan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa ” bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing”.

Oleh karena dalam Pasal 35 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 hanya menyebutkan pemisahan harta terhadap harta bawaan masing-masing saja, maka dengann adanya Pasal 29 undang-undang tersebut calon suami dan calon isteri dapat membuat perjanjian lain mengenai harta bawaan mereka masing-masing, seperti mengenai tindakan atau hutang yang dibuat suami, harta isteri tidak ikut bertanggung jawab atas pelunasannya.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa untuk sahnya suatu perkawinan disamping harus mengikuti ketentuan-ketentuan agama, para pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam undang-undang perkawinan dan penjelasannya.

Perjanjian perkawinan yang dibuat suami isteri harus ada kesepakatan pada waktu membuat naskah perjanjian perkawinan sebelum atau setelah perkawinan tersebut dilangsungkan. Karena adanya kesepakatan dalam membuat perjanjian perkawinan, maka tidak menutup kemungkinan dengan memenuhi pedoman Pasal

(9)

1320 KUHPerdata.

Seorang belum dewasa apabila ia belum mencapai genap umur 21 (dua puluh satu) tahun dan untuk melangsungkan perkawinan ia harus mendapat izin dari kedua orang tuanya. Akan tetapi apabila telah mencapai genap umur 21 (dua puluh satu) tahun, ia dapat melangsungkan perkawinan tanpa izin dan setahu orang tuanya.38

Pada saat melangsungkan naskah perjanjian perkawinan dan menandatangani naskah tersebut, orang-orang itu atau para pihak sudah harus genap umur 18 (delapan belas) tahun dan sudah harus cakap melangsungkan perkawinan.39

Apabila pada saat perjanjian perkawinan itu diperbuat oleh orang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, sedangkan perkawinan itu dilangsungkan setelah dicapai umur yang ditentukan dalam UU No. 1 Tahun 1974, yaitu pria sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 (emam belas) tahun, maka perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan (batal), sedangkan perkawinan itu sendiri adalah sah.40 Dengan demikian untuk membuat perjanjian perkawinan orang-orang itu harus mencapai genap umur 18 (delapan belas) tahun baik pihak pria maupun pihak wanita atau sudah pernah kawin.

38Lihat Pasal 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974.

39Henry Lee A Weng, Beberapa Segi Hukum Dalam Perjanjian Perkawinan,Rimbow Medan, Jakarta, 1986, hal. 107.

(10)

2. Perkawinan Campuran Beda Agama

Perkawinan antar agama di Indonesia yang secara teoritis menurut para pakar dicatatkan dalam register perkawinan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama oleh pejabat pencatat perkawinan menurut peraturan perundang-undangan, sehingga keabsahan suatu perkawinan yang disertai pengakuan adanya perkawinan dari pihak Negara berakibat hukum pada status harta perkawinan.

Menurut Pasal 1 GHR (Regeling Op De Gemengde Huwelijken) atau yang dikenal dengan Stb. 1898 Nomor 158, yang kemudian disebut dengan Peraturan Perkawinan Campuran, menyatakan bahwa ” Yang dinamakan dengan Perkawinan Campuran , ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum-hukum yang berlainan”.

Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (2) dari Peraturan Perkawinan Campuran (GHR) ditegaskan suatu asas yang sangat prinsipil, yaitu ” Perbedaan agama, bangsa atau asal sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan itu”.

Sementara itu di dalam Pasal 66 UU Perkawinan, menyebutkan bahwa : ”Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia kristen (Huwelijks

Ordonantie Christen Indonesia S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran

(Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 159), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

Mengenai Perkawinan Campuran dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur dalam Bab XII ketentuan-ketentuan lain Bagian ketiga

(11)

dalam Pasal 57, disebutkan bahwa :” Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Pengertian perkawinan campuran yang diberikan dalam Pasal 57 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan pengertian Perkawinan Campuran yang diberikan oleh Pasal 1 GHR terdapat perbedaan. Dari perbedaan tersebut menyebabkan pengetian Perkawinan Campuran yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mempunyai arti yang sempit jika dibandingkan dengan pengertian Perkawinan Campuran yang terdapat dalam HGR.

Perkawinan Campuran dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 hanya mengatur Perkawinan Campuran antara mereka yang berbeda kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan antar agama menjadi permasalahan dimulai dari adanya permohonan Andi Vonny Gani P yang beragama Islam untuk melangsungkan perkawinan dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan yang beragama Kristen.41

Apabila seorang pria yang beragama Islam karena faktor-faktor tertentu bermaksud melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita Ahlil Kitab, maka hendaknya :

(12)

1. Perkawinan itu dilakukan menurut hukum Islam, dihadapan Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan setempat.

2. Bertanya kepada hati nurani sendiri :

a. Apakah mampu mengajak calon istri kepada agama Islam dengan cara yang bijaksana dan nasehat-nasehat yang baik, serta mendidik putera-puterinya dengan ajaran Islam.

b. Apabila hati nuraninya tidak mampu memberi jaminan, maka keinginan/hasrat itu diurungkan saja, karena mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya.

3. Perkawinan itu tidak akan mengakibatkan dirinya melanggar ketentuan Allah, seperti mempunyai anak (keturunan) yang bukan Islam atau sekurang-kurangnya menganggap remeh terhadap ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Dalam Al-Qur’an, ketentuan mengenai perkawinan antara pemeluk Islam dengan pemeluk agama lain telah ditegaskan dengan jelas dalam Surat Al-Baqarah ayat 221, dinyatakan bahwa :

”Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang yang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-perintah-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Sahnya perkawinan dalam hukum agama dapat dilaksanakan bila dilakukan pencatatan perkawinannya oleh Pejabat Pencatat Perkawinan, untuk yang beragama

(13)

Islam, pencatatan perkawinan akan dilakukan oleh Pegawai Pencatatan seperti yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk; sedangkan bagi yang tidak beragama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Pernikahan pada Kantor Catatan Sipil. Dan dengan dikeluarkannya Kutipan Akta Perkawinan (Buku Nikah), hal ini merupakan bukti pengakuan sahnya perkawinan oleh Negara.

Perkawinan yang sah berakibat pada status harta perkawinan yang diatur secara tegas dalam Pasal 35 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa :

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Hukum Harta Perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, terjadinya perstuan bulat bukan saja pada harta tetapi juga pada seluruh hutang baik sebelum dan sepanjang perkawinan.

Perkawinan yang berbeda agama yang diakui oleh pihak Negara, mempunyai akibat terhadap pengaturan hukum harta perkawinan, maka berlaku ketentuan Pasal 35 dan 36 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak memerlukan pengaturan pelaksana kerena telah mengatur secara materiil dan pokok untuk dapat dilaksanakan dalam masyarakat.

Dengan semakin bertambahnya angka perceraian di Indonesia, keinginan orang untuk membuat perjanjian perkawinan juga berkembang sejalan dengan makin

(14)

banyaknya orang menyadari bahwa pernikahan juga adalah sebuah komitmen finansial seperti pentingnya hubungan cinta itu sendiri. Namun, tidak ada yang bisa mematikan romantisme sedemikian cepat selain pembicaraan mengenai perjanjian perkawinan.

Seringkali bukan hanya calon pasangan pengantin saja yang betengkar ketika ide perjanjian pernikahan dilontarkan, namun juga merembet menjadi masalah keluarga antara calon besan. Hal ini terjadi karena perjanjian perkawinan bagi kebanyakan orang disini masih dianggap kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya.

Sayangnya dengan keterkaitan emosi yang begitu tinggi diantara pasangan yang akan menikah bisa menghalangi objektivitas untuk mengantisipasi potensi masalah finansial dalam sebuah pernikahan, termasuk risiko perceraian. Anggapan bahwa jika kita saling mencintai maka kita tidak akan memiliki masalah keuangan, sebenarnya kurang tepat.

Faktanya, masalah keuangan tetap saja muncul tidak peduli betapa suami isteri keduanya saling mencintai. Bayangkan betapa besarnya masalah keuangan yang akan muncul ketika suami isteri tidak lagi saling mencintai dan memutuskan bercerai. Tanpa bermaksud menyinggung perasaan siapapun, bersikap sinis, skeptis maupun pesimis, marilah kita berpikiran terbuka terhadap fenomena perjanjian pranikah ini dan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Seperti layaknya perjanjian kerjasama usaha, perjanjian jual beli, perjanjian hutang piutang atau polis asuransi sekalipun yang diantara para pihak pihak yang berkaitan berjanji untuk saling

(15)

memberikan manfaat yang sebaik-baiknya secara adil. Maka dengan membuat membut perjanjian perkawinan, pasangan calon pengantin mempunyai kesempatan untuk saling terbuka.

Mereka bisa berbagi rasa atas keinginan-keinginan yang hendak disepakati bersama tanpa ada yang ditutup-tutupi atau salah satu pihak merasa dirugikan karena satu sama lain sudah mengetahui dan menyetujui dan mau menjalani isi perjanjian tersebut. Perjanjian pra nikah ( Prenuptial Agreement ) adalah perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah.42 Perjanjian perkawinan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan dan isinya mengatur bagaimana harta kekayaan Anda berdua akan dibagi jika terjadi perceraian, kematian dari salah satu pasangan. Perjanjian ini juga bisa memuat bagaimana semua urusan keuangan keluarga akan diatur atau ditangani selama pernikahan berlangsung.

Dalam UU No.1 Tahun 1974 menentukan bahwa untuk sahnya suatu perkawinan di samping harus mengikuti ketentuan-ketentuan agama, para pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam undang-undang perkawinan dan penjelasannya. Perjanjian perkawinan yang dibuat suami/istri harus ada kesepakatan pada waktu membuat naskah perjanjian perkawinan sebelum atau setelah perkawinan tersebut dilangsungkan.

Menurut hasil penelitian melalui wawancara dengan Kamil mengatakan bahwa:

(16)

”Apabila pada saat perjanjian perkawinan itu diperbuat oleh orang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, sedangkan perkawinan itu dilangsungkan setelah dicapai umur yang ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1974, yaitu pria sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun, maka perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan (batal), sedangkan perkawinan itu sendiri adalah sah.”43

Dengan demikian untuk membuat perjanjian perkawinan orang-orang itu harus mencapai genap umur 18 (delapan belas) tahun baik pihak pria maupun pihak wanita atau sudah pernah kawin.

Dalam UU No.1 Tahun 1974 menentukan bahwa untuk sahnya suatu perkawinan di samping harus mengikuti ketentuan-ketentuan agama, para pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam undang-undang perkawinan dan penjelasannya. Perjanjian perkawinan yang dibuat suami istri harus ada kesepakatan pada waktu membuat naskah perjanjian perkawinan sebelum atau setelah perkawinan tersebut dilangsungkan.

Dalam Pasal 29 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, yang berbunyi ” pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis, yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.” Menurut M. Yahya Harahap, bahwa tujuan dari perjanjian perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 adalah pemisahan dari pencampuran harta kekayaan bersama (suami dan istri) sebelum perkawinan dilaksanakan atas

43

Kamil, Kepala Bagian Urusan Agama Islam, Departemen Agama, Kota Medan, Hasil

(17)

kesepakatan kedua belah pihak, atau merupakan penyimpanan dari ketentuan hukum tentang milik bersama dalam perkawinan.44

Membuat perjanjian yang dilakukan sebelum pernikahan dilangsungkan di perbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Hal ini telah diatur sesuai dengan pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam membuat perjanjian perkawinan perlu dipertimbangkan beberapa aspek yaitu :

a. Keterbukaan;

Dalam mengungkapkan semua detil kondisi keuangan baik sebelum maupun sesudah pernikahan. Berapa jumlah harta bawaaan masing-masing pihak sebelum menikah dan bagaimana potensi pertambahannya sejalan dengan meningkatnya penghasilan atau karena hal lain misalnya menerima warisan.

Kemudian berapa jumlah hutang bawaan masing-masing pihak sebelum menikah, bagaimana potensi hutang setelah menikah dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya. Tujuannya agar Anda tahu persis apa yang akan diterima dan apa yang akan di korbankan jika perkawinan berakhir, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya,

b. Kerelaan;

Perjanjian perkawinan harus disetujui dan ditanda tangani oleh ke dua belah pihak secara sukarela tanpa paksaan. Jika salah satu pihak merasa dipaksa, karena diancam atau berada dalam tekanan sehingga terpaksa menandatanganinya, maka perjanjian perkawinan tersebut bisa terancam batal karenanya,

c. Pejabat yang objektif;

Pilihlah pejabat berwenang yang yang bereputasi baik dan bisa menjaga obyektifitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian perkawinan bisa tercapai keadilan bagi kedua belah pihak,

d. Notariil.

Perjanjian perkawinan sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan tetapi harus disahkan oleh notaris. Kemudian harus dicatatkan pula dalam lembaga pencatatan perkawinan. Artinya pada saat pernikahan dilangsungkan perjanjian perkawinan juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan (KUA maupun Kantor Catatan Sipil).45

44

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 82. 45Kamil, Op.Cit.

(18)

Biasanya perjanjian perkawinan dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, yaitu suami ataupun istri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah. Asalkan isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, seperti sudah disebutkan diatas.

Pada dasarnya isi perjanjian perkawinan dapat mengatur penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama masa perkawinan, berdasarkan wawancara dengan beberapa Notaris, menyebutkan bahwa isi perjanjian perkawianan tersebut antara lain memuat:

a. Tentang pemisahan harta kekayaan, jadi tidak ada ada harta gono gini. Syaratnya, harus dibuat sebelum pernikahan, kalau setelah menikah baru dibuat, jadi batal demi hukum dan harus dicatatkan di tempat pencatatan perkawinan.Kalau sudah menikah, sudah tidak bisa lagi bikin pisah harta. Semuanya menjadi harta gono gini. Harta gono-gini adalah harta yang diperoleh setelah/dalam perkawinan. Kalau harta sebelumnya, sewaktu masih sendiri, itu adalah harta bawaan masing- masing. Mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta, bisa saja bikin perjanjian pembagian harta. Intinya dalam perjanjian perkawinan bisa dicapai kesepakatan tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset baik selama pernikahan itu berlangsung mauapun apapbila terjadi perpisahan, perceraian, atau kematian;

b. Tentang pemisahan utang, jadi dalam perjanjian perkawianan bisa juga diatur mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu. Utang yang dimaksud adalah utang yang terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian,

c. Tanggung jawab terhadap anak-anak hasil pernikahan tersebut. Terutama mengenai masalah biaya hidup anak juga biaya pendidikannya harus diatur sedemikian rupa berapa besar kontribusi masing-masing orang tua dalam hal ini tujuannya agar kesejahteraan anak-anak tetap terjamin.46

(19)

B. Tinjauan Perjanjian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan pertama-tama harus dipahami sebagai ikhtiar manusia untuk menyalurkan hasrat seksualnya secara sah dan bertanggung jawab. Dari sini, diharapkan akan terjalin hubungan kasih sayang, cinta, dan tanggung jawab untuk membentuk sebuah masyarakat kecil yang akan meneruskan perjalanan peradaban manusia.47

Sebagai dipahami dari teks-teks suci Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadist Nabi SAW), perkawinan juga dimaksudkan sebagai usaha menyelamatkan dan mengamankan alat-alat kelamin dari berbagai bentuk penyimpangan seksual yang pada gilirannya, dapat merusak fungsi-fungsi reproduksi. Jadi perkawinan merupakan sarana atau wahana bagi perkembangbiakan manusia secara sehat dalam arti yang seluas-luasnya, baik menyangkut fisik, psikis, mental dan spiritual, serta sosial.48

Menurut Kamal Muchtar sebagaimana dikutip oleh Iman Jauhari, menyebutkan bahwa perkawinan menurut istilah ilmu fiqh dipakai perkataan ”nikah” dan perkataan ”zawaaf”. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Arti sebenarnya ”nikah” ialah ”dham” yang berarti ”menghimpit, menindih, atau berkumpul”. Sedangkan arti kiasannya ialah ”wathaa”, yang berarti ”setubuh atau aqad”, yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan ”nikah” lebih banyak dipakai dalam

47

K.H. Husen Muhammad, Fiqh Perempuan, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2001, hal. 105. 48Ibid.

(20)

arti kiasan dari pada arti yang sebenarnya.49

Perkawinan merupakan proses hubungan seksual manusia harus berjalan dengan semangat kedamaian dengan menghormati hak-hak asasi manusia sebagai insan-insan sederajat antara pria dan wanita, untuk menempuh kehidupan yang baik di dunia.50

Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan disebutkan ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Menurut Ensiklopedia Indonesia perkataan perkawinan adalah nikah; sedangkan menurut Poerwadarma (1976) kawin adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri; nikah; perkawinan yaitu pernikahan. Disamping itu menurut Hornby (1957) maraiage : the union of two person as husband and wife. Ini berarti bahwa perkawinan adalah bersatunya dua orang sebagai suami isteri.51

Lembaga perkawinan adalah dasar dan asa peradaban umat manusia. Kawin pada hakikatnya suatu perikatan (aqad) suci antara calon suami dan calon isteri, yang mesti dilaksanakan oleh tiap-tiap kaum muslimin, kecuali jika ada sebab-sebab penting untuk tidak melaksanakannya. Kemudian perkawinan adalah suatu perjanjian

49Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003, hal. 16.

50Ibid, hal. 15.

(21)

untuk mensahkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan keturunan.52

Pernikahan bagi Islam bukanlah sekedar satu ikatan lahiriah atau perjanjian biasa antara seorang pria dengan seorang wanita guna memenuhi kebutuhan biologis dan pertumbuhan keturunan semata-mata, tetapi pernikahan itu adalah Sunnah Rasulullah SAW yang terikat pada ketentuan hukum Islam, yang merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, lembaga pernikahan harus dipelihara keluhurannya dan kesuciannya.

Hendaknya umat Islam, khususnya para orang tua dan remaja, dapat memelihara keluhurannya dan kesucian pernikahan, sesuai dengan norma yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, antara lain :

1. Setiap perkawinan dilaksanakan menurut hukum dan tatacara agama Islam. Untuk keperluan pembuktian dan administrasi negara, pernikahan yang dilakukan menurut agama Islam itu dicatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Seorang wanita yang beragama Islam dilarang (larangan mutlak) kawin dengan pria yang bukan beragama Islam. Pelanggaran terhadap larangan itu adalah suatu perbuatan dosa, yang mengakibatkan hubungan diantara mereka menjadi tidak halal dan karenanya membuahkan keturunan yang tidak sah.

3. Seorang pria yang beragama Islam dilarang (larangan mutlak) kawin dengan wanita yang bukan beragama Islam dan juga bukan wanita Ahlil Kitab (Yahudi dan Nasrani).

4. Pada prinsipnya, seorang pria muslim hendaklah berupaya untuk melangsungkan perkawinan dengan wanita muslimah, kecuali apabila ada faktor-faktor penyebab yang sangat mendesak, seperti pria itu hidup di

(22)

tengah-tengah lingkungan Ahlil Kitab dan atau menghindarkan diri dari kemungkaran.53

Salah satu aspek yang diatur oleh hukum Islam yang menyangkut munakhahat, yaitu mengatur masalah perkawinan, yaitu mengatur hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah menurut syariat Islam untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam ajaran Islam dianjurkan untuk melakukan perkawinan karena bermanfaat bukan saja bagi pihak yang melangsungkan perkawinan itu, tetapi juga untuk keluarga, masyarakat, bagsa dan negara. Hanya dengan melakukan perkawinan seseorang akan terhindar dari perbuatan maksiat. Bila keadaan tidak memungkinkan untuk mengadakan perkawinan, ajraan Islam menganjurkan agar melaksanakan puasa. Dengan puasa seseorang akan mampu mengendalikan dirinya gejolak birahi dan keinginan untuk melakukan hubungan sex.

Ajaran Islam menganjurkan untuk melangsungkan perkawinan, hal ini dijelaskan dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Buchari dan Muslim, yang artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud berkata: Ia telah bersabda Rasulullah SAW kepada kami artinya ”Hai orang-orang muda siapa-siapa dari kamu mampu kawin, hendaklah ia kawin karena yang demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan dan barang siapa tidak mampu hendaklah ia bersaum, karena itu pengebiri bagimu”.

53Agustina, Perkawinan Antar Agama dan Akibat Hukumnya (Kajian Putusan Mari No. 1400,

(23)

Perkawinan dalam Islam mempunyai nilai ibadah dan tidak semata-mata sebagai hubungan keperdataan biasa, karena itu dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan sebagai aqad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan merupakan ibadah melaksanakannya.54

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai rukun-rukun perkawinan dalam hukum Islam adalah sebagai berikut :

1. Adanya calon mempelai laki-laki

Bagi mempelai laki-laki hendaklah ia bukan mahram dari calon isteri, tidak terpaksa yaitu atas kemauannya sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang menjalnkan ihram haji atau umrah.

Adapun syarat suami yang sah nikah yaitu :

a. Tidak mahram bagi perempuan yang dinikahinya. Tidak sah nikah laki-laki dengan perempuan mahramnya;

b. Tidak beristeri empat orang. Tidaksah nikah laki-laki yang sedang beristeri empat orang dengan perempuan yang kelima;

c. Tidak beristerikan dengan perempuan yang haram dimadukannya dengan perempuan yang dinikahinya;

d. Nikah dengan kemauannya; Tidak sah nikah laki-laki yang dipaksa.

e. Tidak sedang ihram mengerjakan haji atau umrah. Tidak sah nikah laki-laki yang sedang ihram;

f. Mengetahui diri perempuan yang hendak dinikahinya atau mengetahui nama dan nama bapaknya;

g. Nyata ia seorang laki-laki. Tidak sah nikah orang yang banci.55

54Lihat Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.

55Sunarto, Perkawianan Di bawah Umur Ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-undang No.

1 Tahun 1974 di Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar-Riau, Tesis, Program Pascasarjana,

(24)

2. Adanya calon mempelai perempuan

Adapun bagi mempelai perempuan hendaklah ia tidak ada halangan syari’at yaitu bukan isteri seorang laki-laki lain, bukan mahram bakal suaminya, tidak dalam iddah, atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak dalam ihram haji maupun

umroh.

Syarat isteri yang sah dinikahi, yaitu :

a. Tidak mahram bagi laki-laki yang akan menikahinya;

b. Tidak isteri orang lain dan tidak dalam iddah dari suaminya yang lain;

c. Beragama Islam; Tidak sah nikah dengan perempuan yang kapir, kecuali kapir kitabiyah;

d. Nyata ia seorang perempuan; Tidak sah nikah dengan orang yang banci; e. Tertentu orangnya; Tidak sah nikah dengan perempuan yang tidak

ditentukan orangnya, misalnya kata wali: ”Aku nikahkan salah seorang diantara dua anakku yang perempuan ini kepadamu”.56

Dalam melakukan aqad nikah, pihak mempelai laki-laki dan perempuan, keduanya harus mempunyai ahli yatul ada yang sempurna yaitu telah dewasa, berakal sehat dan tidak dipaksa. Jadi anak yang belum mumayyiz atau orang yang menderita sakit ingatan tidak sah melakukan aqad nikah sendiri. Anak yang sudah tamyiz tetapi belum dewasa dipandang dipandang tidak sempurna kecakapannya, sehingga apabila hendak melakukan aqad nikah wajib dengan izin walinya. Adapun mempelai perempuan selamanya dianggap tidak cakap melakukan aqad nikah sendiri tetapi dilakukan oleh walinya. Tetapi bagi mazhab hanafi ada kemungkinan bagi mempelai perempuan melakukan aqad nikah sendiri yaitu jika perempuan tersebut janda dan

(25)

sudah dewasa.”57

a. Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, jadi tidak boleh perkawinan itu dipaksakan.

Dari Ibnu Abbas ra, bahwa seorang perempuan perawan datang kepada Nabi Muhammad SAW dan menceritakan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan seorang laki-laki, sedangkan ia tidak mau (tidak suka), maka Nabi menyerahkan keputusan itu kepada gadis itu, apakah mau menerima perkawinan itu atau dicerai.

b. Adanya Wali Nikah

Wali diartikan sebagai orang yang berkuasa penuh mengaqadnikahkan seorang perempuan dengan bakal suaminya. Wali itu boleh melakukan sendiri aqad nikah tersebut atau diwakilkan kepada siapa saja yang disukainya atau kepada juru nikah seperti kadi atau imam.

Seorang wali hendaklah mempunyai syarat-syarat tertentu untuk mengaqadnikahkan anak perempuannya. Syarat-syarat tersebut adalah :

a. Baligh. Tidak sah anak-anak yang belum baligh menjadi wali; b. Berakal. Tidak sah orang gila;

c. Merdeka. Tidak sah budak orang; d. Laki-laki. Tidak sah perempuan;

e. Tidak fasik. Tidak sah orang yang fasik dan kafir; f. Dengan kemauannya. Tidak sah orang yang dipaksa;

g. Tidak sedang ihram mengerjakan haji atau umroh. Tidak sah orang yang sedang ihram;

h. ak rusak pikirannya. Tidak sah orang yang sudah rusak pikirannya karena sudah sangat tua.58

57Iman Jauhari, Op. Cit, hal. 36. 58Sunarto, Op. Cit, hal. 20.

(26)

Para ulama berbeda pendapat tentang hamba sahaya, orang fasik dan orang bodoh. Maliki mengatakan bahwa kecerdikan bukan menjadi syarat dalam perwalian. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa ianya sebagai syarat dalam perwalian. Sementara mengenai keadilan, fuqaha berselisih pendapat mengenai segi kriterianya dengan kekuasaan untuk menjadi wali, di mana apabila tidak terdapat keadilan, maka dapat dijamin bahwa wali tidak akan memilihkan calon yang seimbang bagi wanita yang berada di bawah perwalian. Begitu pula dengan hamba sahaya, diperselisihkan tentang perwaliannya sebagaimana diperselisihkan tentang keadilannya.59

3. Adanya dua orang saksi

Rukun nikah yang keempat yaitu dua orang saksi. Aqad nikah berbeda dengan akad-akad dalam transaksi yang lain karena kesaksian merupakan salah satu dari rukun nikah sedangkan kesaksian dalam aqad-aqad muamalah lain hukumnya sunat menurut kebanyakan ulama.

Jumhur ulama berpendapat bahwa kesaksian dalam perkawinan adalah termasuk salah satu rukun perkawinan. Berdasarkan hadist Rasulullah SAW, yang artinya : ” Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (H.R. Darul Quuthi).60

Adapun mengenai syarat yang dapat dijadikan sebagai saksi dalam pernikahan adalah :

a. Baligh. Tidak sah anak-anak yang belum baligh menjadi wali; b. Berakal. Tidak sah orang gila;

59Iman Jauhari, Op. Cit, hal. 37. 60Ibid, hal. 39.

(27)

c. Merdeka. Tidak sah budak orang; d. Laki-laki. Tidak sah perempuan;

e. Beragama Islam. Tiadak sah orang kafir; f. Adil. Tidak fasik;

g. Mendengar. Tidak sah orang tuli; h. Melihat. Tidak sah orang buta; i. Berkata-kata. Tidak sah orang bisu;

j. Mengerti maksud ijab dan qabul. Tidak sah orang yang tidak mengerti maksudnya;

k. Tidak kurang betul ingatannya. Tidak sah orang yang tidak dapat mengingat dengan betul;

l. Menjaga maruahnya. Tidak sah orang yang tidak menjaga maruahnya, yaitu dengan tidak menjaga kesopanan dirinya.61

Adanya saksi ini penting untuk kemaslahatan kedua belah pihak dan kepastian hukum bagi masyarakat, demikian juga baik bagi suami maupun isteri tidak demikian juga secara mudah dapat mengingkari ikatan perjanjian perkawinan yang suci tersebut, sesuai pula dengan analogi Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 282.

4. Adanya mahar (mas Kawin)

Hendaklah suami membayar mahar kepada isterinya, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an surah An-Nisaa’ ayat 25 yang artinya berikanlah mas kawin itu dengan cara yang patut. Dalam Al-Quran tidak disebutkan berapa besarnya mahar yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai wanita, hanya menyebutkan bahwa mahar (mas kawin) merupakan pemberian yang wajib diberikan kepada mempelai wanita, namun Umar bin Khattab mengatakan besarnya mahar tidak boleh kurang dari 10 dirham.

(28)

5. Ucapan ijab dan qabul

Masalah aqad atau sighat ijab qabul di dalam hukum perkawinan Islam adalah dipandang sebagai rukun yang paling penting bagi suatu pernikahan. Pernyataan pertama sebagai menunjukkan kemauan untuk membentuk hubungan suami isteri disebut ”Ijab”. Dan pernyataan kedua yang dinyatakan rasa ridha dan setuju disebut ”qabul”.

Syarat-syarat ijab qabul adalah :

a. Beriring-iringan antara ijab dan qabul. Tidak sah jika diantarai dengan pembicaraan yang lain atau dengan diam yang lama;

b. Sesuai bunyi ijab dan qabul. Tidak sah jika tidak sesuai. Misalnya wali menikahkan Fatimah anak Ali, lalu diterima laki-laki dengan Aisyah anak Ali;

c. Didengar oleh dua orang saksi yang mengerti maksudnya. Tidak sah jika tidak terdengar mereka atau tidak mengerti maksudnya;

d. Disebutkan dengan khusus perempuan yang dinikahinya itu di dalam ijab dan qabul. Tidak sah jika tidak dikhususkan;

e. Tidak bertaklik. Tidak sah jika bertaklik. Misalnya kata wali : Aku nikahkan anakku Fatimah kepadamu jika telah diceraikan suaminya”.62

Sighat ijab dan qabul yang disepakati oleh ulama yaitu ada kata yang berakar

kata ”zawaja” dan ”nakaha”. Dua kata ini memang yang dipergunakan oleh Al-Qur’an untuk maksud pernikahan.63

Tujuan utama atau tujuan pokok perkawinan adalah bersatunya kedua belah pihak, dengan mudah mereka akan mengerti cara untuk saling membantu dalam mencapai tujuan. Tujuan pokok ini adalah yang jauh lebih besar ketimbang keinginan birahi semata-mata. Mereka dapat belajar saling menghargai satu sama lain, mencintai Allah dalam keluarga mereka dan terhadap yang lainnya, serta mengatasi

62Ibid.

(29)

kesulitan-kesulitan dan kekurangan mereka.

Sedangkan tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah untuk menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan, untuk mencegah maksiat dan untuk membina keluarga rumah tangga yng damai dan teratur.64

Menurut Ny. Soemiyati dalam buku M. Idris Ramulyo tentang Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah ” untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syariah”.65

Menurut Filosof Islam, Imam Ghazali, membagi tujuan dan faedah perkawinan dengan 5 (lima) hal, sebagai berikut :

1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia;

2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan; 3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan;

4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basah pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang;

5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.66

Pengertian Perjanjian Perkawinan dalam Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan ”perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang diucapkan

64Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hal. 24.

65M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Dari

Segi Hukum Perkawinan Islam, Edisi Revisi, Penerbit Ind-Hill Co, Jakarta, 1990, hal. 49.

(30)

calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan pada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang”.

Kata taklik merupakan masdar dari kata ’allaqa yang konjugasinya adalah menggantung atau mengaitkan. Dan kata ”talak” berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar yang konjugasinya adalah melapaskan atau menguraikan tali pengikat.67

Rumusan definisi perjanjian perkawinan yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam lebih bersifat universal-konsepsional yang berarti tidak mencampur-adukkan antara kebijakan yang sifatnya temporal dengan konsep dasar perjanjian perkawinan yang sifatnya permanen dan universal. Pengertian perkawinan yang selanjutnya dalam tesis ini disebut ta’lik talak yang dikemukakan dalam berbagai doktrin fiqh dan menempatkan ta’lik talak searah dengan perjanjian. Dalam pengertian ta’lik talak yang diucapkan oleh suami tidak perlu memperoleh persetujuan isteri. Pengertian ta’lik talak seperti ini tidak sejalan dengan asas perkawinan di Indonesia yang menempatkan suami isteri pada derajat yang sama.68

Dalam literatur yang berbahasa Indonesia seperti dirumuskan oleh Moh. Anwar disebutkan bahwa ”Ta’lik talak atau talak mu’allaq adalah menyandarkan

67Louis Ma’luf, al munjid fi al lulqah, Dar al-masyruq, Beirut- Libanon, Cet.3, 1992, hal. 348. lebih lanjut lihat terjemahan Abdul Rahman Al-Jaziri.

68Salah satu asas perkawinan yang terkandung dalam UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) adalah persamaan derajat antara pria dan wanita, konsekuensinya adalah tindakan yang membawa dampak kepada kedua belah pihak harus disetujui bersama. Lebih lanjut lihat Muhammad Daud Ali,

Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet.VII, Ed, PT. Raja

(31)

jatunya talak kepada sesuatu perkara, perbuatan maupun waktu tertentu”.69 Jadi definisi ta’lik talak yang bersifat praktis dikemukakan oleh Kamal Mukthar sebagai ”Talak yang menguntungkan yang diucapkan oleh suami dan dikaitkan dengan iwadh sesudah akad nikah sebagai suatu perjanjian perkawinan yang mengikat suaminya.70

Terminologi perjanjian menurut KHI tidak disebut rumusannya secara jelas seperti pengertian yang termuat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, namun demikian, KHI menyebutkan bahwa perjanjian yang dimaksud adalah bukan perjanjian sepihak. Ketentuan ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 45 KHI yang menyebutkan bahwa kedua mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawianan dalam bentuk :

1. Ta’lik Talak, dan

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam

Lebih lanjut mengenai perjanjian ta’lik talak sebagai perjanjian perkawinan dalam KHI yang diatur dalam Pasal 46 yang menyebutkan bahwa :

1) Isi ta’lik talak tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam

2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam ta’lik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya tidak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama

3) Perjanjian ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali

69Ahmad Anwar, Dasar-dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan

Agama, Dipenogoro, Bandung, 1991, hal. 66. Untuk membandingkan pengertian ta’lik talak yang

dikemukakan oleh Moh. Anwar dengan talak mu’allaq secara substansial dapat dilihat dalam Sayid Sabiq, tt, Fiqh Sunnah, juz II, Maktabah al Hidmah al Hadisah, Mesir, hal. 38.

70Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hal. 207. Definisi ini kurang jami’ karena hanya dapat mengaku ta’lik talak yang ada sejak tahun 1931, karena sejak itulah baru ada yang mempraktekkan iwadh dalam Sighat ta’lik. Lebih lanjut lihat Zaini Ahmad Noeh, , Pembacaan Sighat Ta’lik Talak Sesudah Akad Nikah, Dalam Mimbar Hukum No. 30 tahun VIII, 1977, hal. 65-67.

(32)

4) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang sahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan

5) Perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam

6) Di samping itu, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat

7) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kewajiban rumah tangga

8) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut, dianggap telah terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga

9) Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan, maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan

10) Dapat juga diperjanjikan bahwa pencampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga pencampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya

11) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah

12) Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya ke Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan

13) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami isteri dalam suatu surat kabar setempat

14) Apabila dalam tempo enam bulan pengumuman tidak dilakukan oleh yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga

15) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.71

71Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal. 79-81.

(33)

6. Syarat-syarat Perjanjian Perkawinan

Perkawinan Islam tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama, dimana rukun dan syarat sahnya perkawinan merupakan suatu unsur yang harus lengkap. Menurut jumhur Ulama, perkawinan yang tidak dihadiri saksi-saksi tidak sah. Jika ketika ijab qabul tidak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain, perkawinannya tetap tidak sah

Jika para saksi hadir dipesan oleh pihak yang mengadakan aqad nikah, agar merahasiakan dan tidak memberitahukannya kepada orang ramai, maka perkawinannya tetap sah.72 Dalam hukum Islam masalah kedewasaan seseorang dapat ditentukan dengan jalan ditetapkan dengan ciri-ciri khas kedewasaan, seperti

aqil baliqh bagi wanita ditandai dengan menstruasi dan bagi pria dengan lihtilam

(keluar sperma). Ada yang ditetapkan dengan tercapainya umur tertentu, apabila ciri-ciri kedewasaan tersebut tidak didapatkan pada seseorang, karena ia mendapat gangguan jasmaniyah, maka kedewasaan itu dapat ditetapkan dengan tercapainya umur tertentu. Selanjutnya menurut hukum Islam pria dan wanita telah dewasa masing-masing telah mencapai umur 19 tahun dan 16 tahun, keduanya sudah aqil

baligh dan mempunyai kecakapan sendiri untuk melakukan tindakan.

Maka untuk itu untuk dapat melangsungkan pernikahan dan membuat perjanjian perkawinan menurut hukum Islam, syarat kedewasaannya juga sangat penting, karena janji yang telah diperbuat dan telah mengikat para pihak mesti

(34)

dipenuhi/dipatuhi. Dalam hukum Islam perjanjian perkawinan ini baru sah apabila diperbuat sesudah atau setelah perkawinan tersebut dilangsungkan, sebab itulah ta’lik talak yang juga termasuk dalam perjanjian perkawinan dilaksanakan/dilakukan sesudah perkawinan dilangsungkan.73

Dalam hukum Islam, perjanjian perkawinan lebih dikenal dengan taklik talak. Taklik talak merupakan suatu pernyataan kehandak sepihak dari sang suami yang segera diucapkan setelah akad nikah itu berlangsung dan tertera dalam akta nikah. Taklik talak ini dilakukan untuk memperbaiki dan melindungi hak-hak seorang wanita yang dijunjung tinggi oleh kedatangan Islam, akan tetapi sangat disayangkan kebanyakan isteri tidak mau memperhatikan taklik talak itu ketika diucapkan oleh sang suami.

Dalam Pasal 46 KHI yang terdiri dari tiga ayat, yaitu (1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. (3) Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.74

73T. Jafizham,Op. Cit, hal, 114.

74Anonimous, 2001, Bahan Penyuluhan Hukum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI,

(35)

Taklik talak ada dua macam, yaitu pertama, taklik dimaksudkan seperti janji, karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar. Taklik seperti ini disebut dengan taklik sumpah, misalnya seorang suami berkata kepada isterinya ” jika engkau keluar rumah, maka engkau tertalak”, maksud suami melarang isteri keluar ketika dia keluar bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan talak. Kedua, taklik yang dimaksudkan untuk menjatuh talak bila telah terpenuhinya syarat. Taklik ini disebut taklik bersyarat. Umpamanya suami berkata kepada isterinya ”jika engkau membebaskan aku dari membayar sisa maharmu, maka engkau tertalak.

Kedua macam taklik ini menurut Jumhur Ulama berlaku, tetapi menurut Ibnu Hazm tidak sah. Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim menguraikannya lebih jauh, katanya taklik talak yang mengandung arti janji dipandang tidak berlaku, sedang orang yang mengucapkannya wajib membayar kafarah sumpah, jika yang dijanjikannya itu nyata terjadi, yaitu ia harus membayar kafarah dengan memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, dan jika tidak dapat, maka ia wajib berpuasa tiga hari. Sedangkan talak bersyarat, kedua orang ini berpendapat, talak bersyarat dianggap sah apabila yang dijadikan persyaratan telah terpenuhi.75

Menurut Hamid Yani, bahwa ”Apabila ucapan taklik talak dimaksudkan untuk memberi dorongan atau melarang atau membenarkan atau mendustakan, maka

75

Wan Rijawani, Pelanggaran Taklik Talak Menurut Kompilasi Hukum Islam Sebagai Alasan

Perceraian Suami Isteri. Tesis, Program Studi Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan,

(36)

bila terjadi pelanggaran atas apa yang diucapkan dalam taklik talak dipandang talaknya tidak makruh, baik taklik talaknya diucapkan dalam bentuk sumpah atau bentuk bersyarat.”76

Lebih jauh lagi Maralutan Hasibuan mengutarakan:

”Apabila ucapan taklik talak merupakan sumpah, maka sumpah seperti ini ada dua hukumnya, yaitu adakalanya sumpah itu boleh dilakukan, tetapi kalau dilanggar dikenakan kafarah, dan adakalanya sumpah itu tidak boleh dilakukan, seperti sumpah dengan nama-nama makluk, maka sumpah seperti ini tidak dikenai kafarah bagi pelanggarnya. Akan tetapi sumpah tersebut belakangan ini tidaklah ada hukumnya dalam Kitab Allah, dalam Sunnah Rasulullah dan tidak ada pula dalilnya.”77

Syarat sahnya taklik talak ada tiga, yaitu :

1. Perkaranya belum ada, tetapi mungkin terjadi kemudian, jika perkaranya telah nyata ada sungguh-sungguh ketika diucapkan kata-kata talak, seperti: jika matahari terbit, maka engkau tertalak. Sedangkan kenyataanya matahari sudah nyata terbit, maka ucapan seperti ini digolongkan tanjiz (seketika berlaku), sekalipun diucapkan dalam bentuk taklik. Jika takliknya kepada perkara yang mustahil, maka ini dipandang main-main, misalnya: jika ada onta masuk dalam lobang jarum, maka engakau tertalak.

2. Hendaknya isteri ketika lahirnya aqad (talak) dapat dijatuhi talak, umpamanya karena isteri ada di dalam pemeliharaannya.

3. Ketika terjadinya perkara yang ditaklikkan isteri berada dalam pemeliharaan suami.78

Demikian taklik yang dibuat Pemerintah yang mesti diucapkan oleh sang suami setelah upacara akad nikah dilangsungkan. Taklik itu dapat ditambah, jika ada permintaan dari sang isteri, umpamanya sang isteri tidak akan dimadukan, jika dimadukan, dia tidak sabar, sang isteri dapat meminta fasakh kepada Pengadilan

76

Hamid Yani, Kepala Kantor Urusan Agama, Medan Maimun, Hasil Wawancara, Medan, 5 April 2007.

77

Maralutan Hasibuan, Kepala Kantor Urusan Agama, Medan Amplas., Hasil Wawancara, Medan, 5 April 2007.

(37)

Agama dan suami membayar sejumlah kerugian, demikian juga dalam soal harta benda dapat diatur di dalam taklik.79

Segelintir pasangan yang dengan kesadaran bersama mau menyusun perjanjian pernikahan sebelum mereka memutuskan menghadap penghulu atau ke kantor catatan sipil. Bagi sebagian orang, perjanjian semacam itu dianggap menodai ikatan suci pernikahan. Perjanjian pernikahan sebenarnya berguna untuk acuan jika suatu saat timbul konflik. Meski semua pasangan tentu tidak mengharapkan konflik itu akan datang. Ketika pasangan harus bercerai, perjanjian itu juga bisa dijadikan rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya.

Perjanjian pernikahan ini harus tertulis dan disaksikan notaris sewaktu proses penandatanganan. Dalam Islam, perjanjian semacam ini sudah ada di halaman akhir buku nikah, yang disebut sighat ta’lik dan biasanya di bacakan oleh suami setelah dilangsungkannya ijab-qabul, namun sighat ta’lik ini dibacakan apabila pihak wanita (isteri) minta dibacakan, hal ini berarti sighat ta’lik tidak wajib dibacakan oleh suami.80

Adapun isi dari ta’lik talak yang ada pada halaman akhir buku nikah, antara lain berisikan: ” Jika suami meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut, tidak memberi nafkah wajib kepada istri selama tiga bulan, menyakiti jasmani, serta tidak memedulikannya selama enam bulan, dan istri tidak rela diperlakukan demikian,

79Kamil, Op.Cit. 80Kamil, Op.Cit.

(38)

maka jatuhlah talak satu”.81

Namun, ada yang menganggap ta’liq itu masih kurang sehingga perlu dibuat perjanjian pernikahan secara lebih mendetail dan diutarakan di depan penghulu sebelum ijab kabul. Isi perjanjian itu, misalnya mengenai harta bersama, pembagian tanggung jawab pembiayaan anak, dan pembagian harta jika pasangan berpisah atau salah satu meninggal dunia. Perjanjian juga bisa memuat larangan melakukan kekerasan, larangan untuk bekerja, pembukaan rekening bank, pemeliharaan dan pengasuhan anak jika pasangan bercerai, tanggung jawab melakukan pekerjaan rumah tangga, dan hal lain sesuai dengan kesepakatan bersama.

C. Kedudukan Perjanjian Perkawinan Yang Dilakukan Calon Suami/Istri

Pernikahan bukan hanya penyatuan emosi dan fisik semata tetapi juga penyatuan finansial, dan perjanjian perkawinan adalah sebuah langkah bijaksana dari sisi hukum maupun sisi finansial yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan finansial bagi ke dua belah pihak pasangan menikah dan terutama anak-anak. Tanpa perjanjian perkawianan, maka dalam proses pembagian harta gono-gini seringkali terjadi pertikaian dalam hal siapa yang berhak mendapatkan apa dan buka bukanlah suatu pemandangan yang indah dilihat oleh anak-anak. Jika perceraian saja sudah terlalu berat untuk mereka apalagi menyaksikan orang tuanya bersitegang tentang harta.

(39)

Memang tidak mudah membicarakan masalah uang sebelum pernikahan berlangsung, Karena itu tidak semua pasangan pengantin mau membuat perjanjian pra nikah. Biasanya perjanjian pranikah dibuat oleh calon pasangan pengantin yang sudah mapan atau bisa dikatakan mempunyai harta bawaan atau warisan dalam jumlah besar. Perjanjian perkawinan juga biasanya dibuat bagi mereka yang sudah pernah bercerai dan kini akan menikah kembali.

Ada berbagai alasan orang memperjanjikan terpisahnya harta/harta tertentu dan/atau pengelolaan atas harta tertentu di dalam perjanjian kawin. Di antaranya: a. Dalam perkawinan dengan persatuan secara bulat. Agar istri terlindung dari

kemungkinan-kemungkinan tindakan-tindakan semena-mena suami atas harta tak bergerak dan harta bergerak tertentu lainnya, yang dibawa istri ke dalam perkawinan. Tanpa adanya pembatasan yang diperjanjikan istri dalam perjanjian kawin, suami mempunyai wewenang penuh atas harta persatuan, termasuk semua harta, yang dibawa istri ke dalam persatuan tersebut. Jadi di sini yang diperjanjikan adalah pembatasan atas wewenang pengurusan suami.

b. Dalam perkawinan dengan harta terpisah. Adanya perjanjian merupakan perlindungan bagi istri terhadap kemungkinan dipertanggungjawabkannya harta tersebut, terhadap utang-utang yang dibuat oleh suami dan sebaliknya.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) untuk dapat membuat perjanjian perkawinan, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(40)

Perjanjian kawin merupakan suatu perjanjian karenanya harus memenuhi persyaratan umum suatu perjanjian, kecuali dalam peraturan khusus ditentukan lain. Adapun persyaratan umum tersebut adalah tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.82 Selain hal yang tercantum dalam Pasal 1320, perjanjian juga harus dilaksanakan dengan itikad baik, sesuai dengan ketentuan Pasal 1138 ayat (2), karena perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namum khususnya dalam pembuatan perjanjian kawin, undang-undang memberikan kemungkinan bagi mereka yang belum mencapai usia dewasa, untuk membuat perjanjian, asalkan:

1) Yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan.

2) Dibantu oleh mereka yang izinnya diperlukan untuk melangsungkan pernikahan.

3) Jika perkawinannya berlangsung dengan izin hakim, maka rencana perjanjian kawin tersebut (konsepnya) harus mendapat persetujuan pengadilan.

82Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. suatu hal tertentu

(41)

b. Syarat-syarat mengenai cara pembuatan dan mulai berlakunya perjanjian kawin. Pasal 147 dengan tegas menetapkan, perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris dengan ancaman kebatalan.

Hal itu dimaksudkan agar perjanjian kawin dituangkan dalam bentuk akta autentik, karena mempunyai konsekuensi luas dan dapat menyangkut kepentingan keuangan yang besar sekali. Pasal 147 BW juga menyebutkan, perjanjian kawin harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Setelah perkawinan dilangsungkan, perjanjian kawin, dengan cara bagaimanapun, tidak dapat diubah.

Pernikahan yang juga berarti komitmen cinta dan finansial tentu membawa dampak bagi kondisi kehidupan dan keuangannya. Mengenai perjanjian perkawinan memerlukan pemikiran yang panjang yang pada akhirnya dilaksanakan dengan tujuan tetap memiliki hak-hak atas aset-aset maupun harta yang dibawa sebelum, selama dan setelah putusnya pernikahan, tanpa harus melalui proses yang berbelit-belit. Selain itu mengurangi penderitaan, emosi dan rasa tertekan semua pihak akibat putusnya pernikahan bagi ke dua belah pihak terutama penderitaan anak-anak. Misalnya setelah selama 10 tahun menikah, mungkin kedua belah pihak (suami-isteri) ingin merubah perjanjian perkawinan dan bersikap lebih lunak satu sama lain. Maka kemungkinan perubahan perjanjian perkawinan bisa dilakukan di kemudian hari, sepanjang tidak ada pihak yang dirugikan.83

83H. Ahmad Syah Nasution. Kantor Urusan Agama Medan Area, Hasil Wawancara, 6 April 2007, menyatakan bahwa perjanjian perkawinan dapat dirubah, walaupun perkawinan telah dilangsungkan, tetapi dalam perubahan perjanjian tersebut para pihak tidak ada yang merasa dirugikan artinya untuk kepentingan bersama antara suami dan isteri.

(42)

Dalam Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam menetapkan, jika perjanjian pernikahan atau ta’liq talak dilanggar, istri berhak meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara Sofyan, Pegawai Pengadilan Agama, mengatakan bahwa dari tahun 2005-2007, menyatakan bahwa tidak ada kasus yang masuk dalam register perkara mengenai perjanjian perkawinan.84 Hal ini berarti selama dua tahun terakhir, bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak tidak ada yang bermasalah.

Berdasarkan hasil penelitian, bahwa jumlah perjanjian perkawinan yang dilakukan di 5 (lima) Kecamatan dapat dilihat pada Tabel-1 di bawah ini:

Tabel 1 : Jumlah Perjanjian Perkawinan Tahun 2002 s/d 2006

No KUA 2002 2003 2004 2005 2006 1 Medan Polonia 0 0 0 0 0 2 Medan Kota 1 0 0 0 0 3 Medan Amplas 0 0 0 0 0 4 Medan Maimun 0 0 0 0 0 5 Medan Area 0 0 0 0 0 6 Jumlah 1 0 0 0 0

Dari Tabel-1 tersebut diatas dapat diketahui bahwa perjanjian perkawinan di 5 (lima) Kecamatan hanyalah 1 saja. Sejalan dengan itu berdasarkan wawancara dengan Efendy Rambe mengatakan bahwa 1 (satu) perjanjian perkawinan itupun telah berakhir dengan perceraian, dan perjanjian perkawinan yang dibuat mereka sebelumnya dan diserahkan kepada Kantor Urusan Agama, telah diambil oleh para

(43)

pihak.85

Berdasarkan hasil penelitian diketahui melalui wawancara dengan 5 (lima) Kantor Urusan Agama di lima Kecamatan (Medan Polonia, Medan Amplas, Medan Maimun, Medan Kota dan Medan Area), serta dengan Notaris, yang menyatakan bahwa selama mereka menduduki jabatan tersebut, terutama pada Kantor Urusan Agama tidak ada seorangpun yang membuat perjanjian kawin selain yang telah tertera pada halaman akhir buku nikah, itupun banyak pasangan suami isteri yang tidak mau membacakan isi dari taklik talak tersebut, karena pembacaan isi taklik talak bukanlah merupakan kewajiban dari suami untuk membacakannya, tetapi hanya untuk melindungi hak-hak si isteri. Begitu juga berdasarkan wawancara terhadap notaris, yang membuat perjanjian perkawinan juga sedikit, terutama bagi penduduk pribumi, kebanyakan yang membuat perjanjian perkawinan adalah golongan Tionghoa, yang hendak mengadakan aturan berkenaan dengan harta kekayaan.86

Melihat kondisi tersebut, maka perjanjian perkawinan di Indonesia tidak begitu popular, karena mengadakan suatu perjanjian, mengenai harta, antara calon suami dan istri, mungkin dirasakan banyak orang merupakan hal yang tidak pantas, bahkan dapat menyinggung perasaan. Undang-Undang Perkawinan telah menganut asas bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama, dan harta bawaan dari masing-masing suami isteri adalah dibawah penguasaan

85

Efendy Rambe, Kepala Kantor Urusan Agama Medan Kota, Hasil Wawancara, Medan, 6 April 2007.

(44)

masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.87 Sehingga untuk terpisahnya harta yang dibawa suami/istri dari harta bersama, tidak perlu ditempuh melalui perjanjian kawin.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus lah mendapat ijin kedua orang tuanya. 2) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan tidak terbatas, pembatasan pakan 15% dan pemberian pakan selang sehari berpengaruh sangat nyata (P  0.01)

Suasana yang baik dalam keluarga tergantung pada bapak dan ibu (kedua orangtua) sebagai pengatur keluarga. Dasar dari pendidikan keluarga ialah perasaan

Sumber : Data Primer diolah, 2019 Pada tabel di atas menunjukkan bahwa pemilihan faktor yang lebih urgen dari matriks SWOT analisis lingkungan internal faktor kekuatan

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya terdapat nilai karakter yang termuat dalam motif batik perang antar suku, benteng pendem, dan kali

Demokra- si pada dirinya bersifat tidak sempurna, dan ia akan tercederai bila kita me ngatakan bahwa rongak (gap) antara hukum dan ke­ adilan dapat diatasi (bdk.

a) Peralatan pengeboran mudah dipindah-pindah sehingga waktu pelaksanaan relatif lebih cepat. b) Dari contoh tanah selama pengeboran dapat diketahui apakah kondisi

Keenam partisipan tidak pernah mengira bahwa dirinya akan terdiganosis HIV positif sehingga pada saat pertama kali dinyatakan positif oleh tenaga kesehatan respon diri