1
Untuk Semua
Oleh: M. Rusli Abdillah.Pendidikan sepanjang hayat (lifelong educatin), mungkinkah terealisasikan? Bagaimana pula halnya dengan pelaksanaan pendidikan untuk semua (education for all) yang dipelopori United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) berupa gerakan pendidikan tingkat dunia, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar semua anak manusia, remaja, dan orang dewasa, yang digaungkan melalui Deklarasi Dakkar tahun 2015? Berlanjut dengan Sustainable Development Goals (SDG's) – Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Bidang Pendidikan. Fokusnya: 1. Memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua, 2. Memastikan bahwa tahun 2030 semua remaja dan sejumlah orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan, mencapai kemampuan baca-tulis dan kemampuan berhitung. Lalu, Indonesia sebagai negara anggota UNESCo, yang sangat mendukung SDG’s tesebut dengan telah menindaklanjutinya dengan menerbitkan Perpres No.59 tahun 2017 tentang Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan! Perpres tersebut juga merupakan komitmen agar pelaksanaan dan pencapaian SDG’s dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pihak?
endidikan sepanjang hayat (lifelong education) berupa slogan tentang tidak adanya kata “terlambat”, atau tidak ada pula kamus “terlalu tua” untuk belajar. Yaitu merupakan suatu konsep bahwa proses pendidikan dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja, tanpa dibatasi oleh usia. Dengan kata lain, melalui proses pendidikan sepanjang hayat, manusia mampu meningkatkan kualitas hidupnya secara berkesinambungan hingga batas akhir ajal menjemput. Adapun Knopper & Cropley, dalam Ishak Abdulhak (2012:19) secara konsep, memaknai pendidikan sepanjang hayat dan belajar sepanjang hayat saling mengisi dan tidak tepisahkan satu sama lain. “…lifelong education has been defined as a set of organisationnal, administrative, methological, and procedural measures…” dan “lifelong learning describes the habit of continuously learning throughout life, a made of behavior”. Tujuan pendidikan sepanjang hayat adalah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, yaitu bahwa individu-individu secara berkesinambungan berupaya mengikis kebodohan dan fatalisme. Ditambahkan oleh Sri Handayani (2012:21) bahwa “Belajar sepanjang hayat adalah suatu proses yang terus menerus untuk setiap oran dengan menambah dan menyesuaikan pengetahuan dan keterampilan,
P
serta pertimbangan dan kemampuan untuk tindakannya”. Berkenaan dengan “Pendidikan berkelanjutan” menurut Djauzi Moedzakir (2013:17) “adalah upaya pendidikan yang menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk perkembangannya sepanjang hayat tanpa memberi batasan latar belakang peserta didik dan pihak penyelenggaranya”.
Ditegaskan dalam Undan Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 pasal 13 ayat (1) bahwa jalur pendidikan terdiri atas jalur pendidikan formal,
nonformal dan informal. Pendidikan nonformal (PNF) menurut Djauzi Moedzakir (2014:38) adalah Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Awalan kata “non” yang membentuk kata non-formal berarti bukan” atau di luar, sehingga pendidikan nonformal berarti pendidikan yang bukan atau di luar sistem sekolah. Sementara awalan kata “in” yang membentuk kata informal berarti pendidikan yang tidak terstruktur. Adapun fungsi utama PNF adalah untuk mengganti, menambah dan melengkapi kebutuhan belajar masyarakat - sepanjang hayat - yang tidak dapat dijangkau oleh pendidikan formal. Sejalan dengan mottonya (PNF) yaitu “to reach the
un-reach” – melayani yang tak terlayani, menjangkau yang tidak terjamah. Menurut Oong Komar (2006:243) “paling tidak, ada lima terobosan yang bisa dimainkan oleh pendidikan nonformal guna memecahkan masalah mendesak yang dihadapi manusia dengan sudut pandang pendidikan, yaitu pengentasan kemiskinan, masalah pengangguran, masalah penduduk usia sekolah, masalah siswa putus sekolah (drop out), dan peluang pengembangan pribadi (keterampilan dan hobi). Lebih lanjut diurakan: 1. Pengentasan pkemiskinan dari sudut pandang pendidikan, yaitu dengan cara/teknik menjadikan PNF sebagai pendidikan alternatif yang diarahkan untuk membentuk sikap dan perilaku produktif atau sikap wiraswasta; 2. Arah pemecahan masalah pengangguran perlu diketahui latarbelakangnya, diantaranya perubahan struktur inustri, ketidakcocokan keterampilan, ketidakcocokan geografis, pergeseran demografis, kekakuan institusi, tidak bisa bekerja dan restrukturrisasi capital; 3. Masalah penduduk usia sekolah, menyangkut pendidikan formal yang belum mampu menampung seluruh usia sekolah; 4. Masalah jumlah siswa yang putus sekolah belum bisa dieliminasikan; 5. Pendidikan nonformal sebagai wahana mengisi waktu senggang masyarakat, baik dalam rangka meningkatkan keterampilan dan penyaluran hobi, maupun memperindah citra diri dan kepribadian.
Mencermati gambaran tentang jalur pendidikan di atas dapat dimaknai bahwa apapun bentuk satuan pendidikan di negeri ini, pada dasarnya diselenggarakan dalam upaya membebaskan manusia Indonesia dari berbagai persoalan hidup yang mereka alami. Yaitu
berupaya merealisasikan cita-cita mulia “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. (UU Sisdiknas No.20 Tahun 2013pasal 3 ayat (1). Termasuk juga pemberdayaan terhadap ‘disabilitas’, yaitu anak bangsa yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dana atau sosial pun berhak memperoleh pendidikan berkualitas, mendapatkan perlindungan khusus melalui perlakuan secara manusiawi, sesuai martabat dan hak perlakuan yang sama dengan warga negara lainnya.
Jenis Layanan PAUD dan Dikmas
Berbagai jenis program layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Masyarakat (Dikmas) – diperuntukkan bagi peserta didik yang dipersiapkan untuk memasuki Sekolah Dasar (pra SD) dan masyarakat kurang beruntung khususnya – dalam upaya terpenuhinya ‘ruang’ pendidikan sepanjang hayat (lifelong education) dimaksud. Satuan PAUD sendiri memiliki jenis program sesuai usia layanan: Taman Kanak-Kanak (TK), Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA) dan Satuan PAUD Sejenis (SPS). Adapun Satuan Dikmas, yang biasa juga disebut dengan istilah Pendidikan Nonformal (PNF) berupa Satuan PKBM/SKB, memiliki jenis program layanan yang meliputi Pendidikan Keaksaraan dan Pendidikan Kesetaraan. Dimana, Pendidikan Keaksaraan (literacy) sasarannya adalah masyarakat usia dewasa, yang masih buta aksara Indonesia/Latin, atau belum berkesempatan lulus Sekolah Dasar (SD). Materi utamanya berupa pembelajaran membaca-menulis-berhitung (calistung) yang dipadukan dengan keterampilan hidup bermatapencaharian (life skills). Dimana program pembelajaran dalam Pendidikan Keaksaraan terdiri atas Keaksaraan Dasar dan pasca Keaksaraan Dasar atau Keaksaraan lanjutan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Pendidikan Keaksaraan dasar merupakan program pendidikan nonformal yang memfokuskan pada program pembelajaran untuk warga belajar atau peserta didik dengan menyelenggarakan pembelajaran untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan membaca, menulis, berhitung, dan berbahasa Indonesia sebagai persiapan untuk mengikuti pendidikan tahap lanjut berupa Keaksaraan Usaha Mandiri atau Multikeaksaraan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Keaksaraan Lanjutan yang dimaksud adalah layanan pendidikan keaksaraan yang menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik yang telah selesai melaksanakan pendidikan keaksaraan dasar dalam rangka mengembangkan kompetensi bagi warga masyarakat pasca pendidikan keaksaraan dasar, sehingga harapannya agar peserta
didik yang sudah memiliki SUrat Keterangan Melek Aksara (SUKMA) tetap terpelihara keberaksaraannya. Sesui dengan tujuan pendidikan keaksaraan lanjutan pasal 2 dan 3 ayaat (1) dan ayat (3) dinyatakan bahwa: Pendidikan Keaksaraan Lanjutan terdiri atas: a) Pendidikan Keaksaraan Usaha Mandiri, b) Pendidikan Multikultural. Dijelaskan bahwa Program Pendidikan Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) intinya bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan kompetensi keaksaraan berupa menumbuhkan kemampuan berusaha pada diri lulusan pendidikan keaksaraan dasar. Adapun program Pendidikan Multikeaksaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pendidikan yang menekankan peningkatan keragaman keberaksaraan dalam segala aspek kehidupan. Area program yang dapat menjadi kompetensi pendidikan Multikeaksaraan meliputi: 1) pekerjaan, keahlian, dan profesi; 2) pengembangan dalam seni dan budaya; 3) sosial, politik, an kebansaan; 4) kesehatan dan olah raga; 5) ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam upaya memelihara kualitas penyelenggaraan program layanan, baik Pendidikan Keaksaraan Dasar maupun lanjutan (KUM dan Multikeaksaraan) masing-masing ada Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Sama halnya dengan jalur pendidikan formal, yaitu mengacu pada Silabus pada Kurikulum Tahun 2013 (K-13). Sebagaimana tertera dalam Permen Dikbu N0.42 Tahun 2015 terdiri atas Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi dasar (KD) yang mencakupi dimensi Sikap (KI-1), dimensi Pengetahuan (KI-2) dan dimensi Keterampilan (KI-3). Yang apabila diuraikan lebih lanjut berdasarkan Silabus adalah sebagai berikut: (1) Kompetensi Inti Sikap (KI-1): menhayati dan menamalkan ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya sehingga dapat berperilaku dan memiliki etika sebagai warga masyarakat yang baik; (2) Kompetensi Inti Pengetahuan (KI-2): menguasai pengetahuan factual, konseptual, dan procedural tentang cara meningkatkan peran dan fungsi dalam khidupan di masyarakat dengan memanfaatkan peluang sumber daya yang ada melalui aktivitas membaca, menulis, berbicara, dan berhitung dalam Bahasa Indonesia; (3) Kompetensi Inti Keterampilan (KI-3): mampu mengolah, menalar, dan menyaji pengetahuan yang diperoleh dalam praktik untuk kemandirian berkarya dalam menjalankan peran dan fungsi di masyarakat melalui aktivitas membaca, menulis, berbicara, dan berhitung dalam Bahasa Indonesia. Adapun Kompetensi Dasar dan Indikatornya, dijabarkan sebagai berikut. Kompetensi Dasar 1.1. Meningkatnya rasa syukur dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas potensi diri yang dimiliki. Indikatornya ada dua: 1.1.1. Melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut, 1.1.2. Memiliki kepedulian
terhadap sesama; Kompetensi Dasar 1.2. Menunjukkan sikap jujur sebagai dasar dalam membangun hubungan sosial. Indikatornya (juga) ada dua: 1.2.1. Bersikap terbuka dalam membangun hubungan sosial, 1.2.2. Bertanggung jawab dalam melakukan usaha mandiri; Kompetensi Dasar 1.3. Menunjukkan komitmen untuk membangun kebersamaan dalam mengembangkan peran dan fungsi dalam kehidupan di masyarakat. Indikatornya (juga) ada dua: 1.3.1. Bersikap disiplin dalam menjalankan aktivitas sehari-hari yang berkaitan dengan usaha mandiri, 1.3.2. Bekerja keras dalam melakukan usaha mandiri. Adapun perbedaan utama waktu pelaksanaan layanan antara Pendidikan Keaksaraan Dasar dan Pendidikan Keaksaraan lanjutan ada pada jumlah jam pelajaran. Dimana untuk Program Pendidikan Keaksaraan Dasar, jumlah jam pelajaran minimal 114 (serratus empat belas) jam dengan satu jam pelajaran berdurasi 60 menit. Sementara Program pendidikan lanjutan, Pendidikan Keaksaraan Usaha Mandiri dan Pendidikan Multikultural sama-sama 86 (delapan puluh enam) jam pelajaran minimal, dengan satu jam pelajaran berdurasi 60 menit juga. Adapun warga belajar atau peserta didik Pendidikan Keaksaraan lanjutan yang telah berhasil memenuhi kompetensi setelah mlalui proses ujian akhir, berhak mendapatkan Surat Keterangan Melek Aksara Lanjutan (SUKMA-L). Berhak pula untuk lanjut mengikuti proses pembelajaran pada Program Kesetaraan Paket A setara SD di kelas 4 (empat). Sejalan dengan paparan yang disampaikan Dr. Cecep Suryana, MM., Koordinator Pendidikan Keaksaraan dan Budaya Baca pada workshop Pendidikan Kaksaraan Lanjutan Wilayah Kalbar, Senin, 21 Desember 2020 bahwa “grand desain Pendidikan Keaksaraan Lanjutan adalah upaya percepatan mengejar ketertinggalan angka ‘Lama Sekolah’ dibanding negara lain. Harapannya bahwa keluaran (output) Program Pendidikan Keaksaraan lanjutan yang telah mendapat sertifikat SUKMA-L, langsung dapat mengikuti Program Paket A setara SD lansung kelas empat”).
Adapun jenis layanan Pendidikan Kesetaraan (equal education), sasaran utamanya adalah peserta didik drop out dari sekolah formal. Sebagaimana disebutkan dalam Permen Dikbud RI Nomor 13 Tahun 2020 pada Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (3) bahwa “Pendidikan Kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/M.Ts, dan SMA/MA yang mencakup program paket A, paket B, dan paket C”. Adapun Satuan Pendidikan ‘Serupa Kesetaraan’ di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) kita kenal dengan Program Kesetaraan Pondok Pesantren Salafi (PKPPS). Yaitu ponpes yang menyelenggarakan program: Ula setara Paket A, Wustho setara Paket B, dan Ulya setara Paket
C. Ada juga Satuan/Lembaga pendidikan setara layanan usia Taman Kanak-kanak (TK)/Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yaitu Raudhatul Athfal (RA)/Bustanul Athfal (BA).
PKBM – SKB - CLC - PKPPS
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) pengelolaannya: dari, oleh, dan untuk masyarakat. Pendidik atau gurunya akrab dengan sapaan Tutor, merupakan satuan/lembaga tempat pengelolaan layanan PAUD dan Dikmas. Program layanan yang ada di PKBM antara lain adalah program Kesetaraan: Paket A (setara SD/MI/Ula), Paket B (setara SMP/MTs/Wustho), Paket C (setara SMA/MA/Ulya) Jenis layanan serupa yang diselenggarakan pemerintah, proses pembelajarannya bertempat di Satuan Pendidikan Nonformal – Sanggar Kegiatan Belajar (SPNF-SKB). SPNF-SKB tersebut keberadaannya di hampir seluruh kabupaten/kota republik ini. Pendidik atau guru yang melakukan pendampingan di SKB – umumnya Aparatur Sivil Negara (ASN) – disebut dengan Pamong Belajar. Adapun Community Learning Center (CLC) merupakan Satuan Pendidikan sejenis SKB/PKBM, berupa wadah pembelajaran anak-anak Indonesia di luar negeri. Seperti satuan CLC untuk anak-anak TKI/ TKW di Serawak, Sabah, Saudi Arabia, Jepang, Hongkong, di bawah pantauan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) setempat. Pendidik atau Guru di CLC berstatus guru kontrak: seleksi dan penempatannya melalui Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pusat. Tentang program layanan Ula setara SD/MI/Paket A, Wustho setara SMP/M.Ts/ Paket B. dan Ulya setara SMA/MA/Paket C adanya di Pondok Pesantren Salafi binaan Kemenag. Berdasarkan uraian di atas dapat dimaknai bahwa baik Satuan SKB, PKBM, CLC maupun PKPPS, pada dasarnya adalah sama-sama Satuan Pendidikan jalur nonformal. Bedanya, SKB statusnya “plat merah” diselenggarakan oleh aparatur pemerintah, lokasinya di pusat kota/di ibu kota kabupaten. Adapun Satuan PKBM dikelola masyarakat setempat (swasta) keberadaannya menyebar hingga ke pelosok desa, dapat melayani komunitas yang sulit terjamah (to reach the un-reach). Akan halnya CLC - sudah pasti - hanya ada di luar negeri, binaan Kemdikbud! Sedangkan PKPPS merupakan Satuan Penyelenggara Pendidikan di bawah naungan Kemenag.
Acuan Pengembangan PKBM
Menurut Mustofa Kamil (2009:111) “ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan kemampuan menggali sumber-sumber yang dibutuhkan PKBM (dan sejenisnya, pen.), baik sumberdaya manusia, sumberdaya material maupun sumberdaya
finansial”. Krriteria yang diperlukan pengelola dalam menggali sumber-sumber meliputi: a. Kemampuan dan keterampilan kerjasama (cooperative skills). Keterampilan kerjasama pada prinsipnya dapat dibangun atau dikembangkan dalam diri pengelola melalui keikutsertaan dalam berbagai kegiatan, meningkatkan dan mencari pengalaman baru dengan cara studi banding (comparative study) dengan PKBM lain melakukan diskusi, meningkatkan keberanian diri, selalu menyiapkan bahan sebelum tampil, mningkatkan kemampuan berbahasa dan berbicara; b. Kemampuan analisis kebutuhan. Dengan analisis kebutuhan yang tepatsemua program akan ijalankan bedasarkan pada sumber-sumber yang tepat, baik sumberdaya manusia, sumberdaya material maupun sumberdaya finansial; c. Meningkatkan kepercayaan diri. Pada prinsipnya, factor ini sangat berkaitan dengan kemampuan atau keterampilan kerjasama. Kepercayaan diri biasanya didukung oleh factor lain seperti: keberanian, kesabaran, dan tanggung jawab (self responsibility); d. Inovatif. Pengelola (provider) KBM yang inovatif bukan hanya mampu mengembangkan program-programyang berwawasan ke depan (future) akan tetapi yang paling utama adalah mampu menjawab tantangan an persoalan yang dihadapi PKBM dan warga belajar dengan model-model yang beraneka ragam (variative) dan membumi; e. Menyatu. Karakteristik ini berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan pengelola dalam membaurkan diri dengan masyarakat, pemerintah dn tokoh-tokoh kunci lainnya di lingkungan di mana PKBM tersebu dikembangkan. Karakteristik 'menyatu' ini merupakan karakteristik sosial atau disebut dengan relasi sosial (human relations).
Bagaimana halnya tentang ‘pengakuan’ atau keabsahan keluaran atau output, alias hasil lulusan Satuan Pendidikan jalur nonformal tersebut di atas? “Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP)”. Demikian bunyi pasal 28 ayat (6) UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003. Lebih terperinci tentang tujuan penilaian atau evaluasi, ditegaskan pada pasal 57 bahwa evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa perlakuan PNF (Dikmas) adalah setara dengan mekanisme dan prosedur yang ditempuh oleh Satuan (Lembaga/Sekolah) pada jalur pendidikan formal.
Mengenai strategi pelayanan, baik di SKB, maupun pada Satuan PKBM, serta di CLC ataupun di PKPPS, dapat diimplementasikan secara fleksibel, melalui pendekatan
kemasyarakatan, mengingat karakteristik budaya dan adat kebiasaan komunitas sekitar. Begitu pun tentang kelenturan memilah dan memilih variasi metode pembelajaran. Selain harus selektif menetapkan metode – sesuai dengan situasi dan kondisi – sangat disarankan bagi guru PNF untuk mengedepankan pendekatan yang “bernuansa andragogi”. Terutama dalam upaya mendorong partisipasi aktif peserta didik – orang dewasa – yang usianya sudah tidak muda lagi. Jadi, meskipun pengelolaan satuan PNF “terkesan” lentur (flexible), akan tetapi pelaksanaannya tidak boleh tidak – harus – memenuhi tuntutan minimal SNP. Artinya, indikator “layak tidaknya” pengelolaan layanan suatu Satuan atau Lembaga, tetap merujuk pada status terakreditasi atau tidak! Lebih dalam pemaknaan akreditasi, yaitu penilaian kelayakan Satuan/Lembaga penyelenggara pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan merupakan bagian dari upaya penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan nasional. Konsep UNESCO mengenai kinerja penjaminan mutu (quality assurance) dalam Nanang Fattah (2012:2) tertuju pada proses untuk membangun kepercayaan dengan cara melakukan pemenuhan persyaratan atau standar minimum pada komponen input, komponen proccess, dan hasil atau outcome sesuai dengan yang diharapkan oleh stake holders pendidikan. Lebih lanjut tentang contoh stake holders pendidikan, seperti orang tua peserta didik, masyarakat sekitar, pemerintah, termasuklah Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) – selaku users – pihak penerima manfaat keluaran (output).
Institusi Akreditasi
Pihak manakah yang berwenang melakukan penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan terhadap ‘Penyelenggaraan Pendidikan Sepanjang Hayat untuk Semua’ di negeri ini? Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Permen Dikbud RI) No.59 Tahun 2012 berbunyi: akreditasi yang dilakukan pemerintah dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang terdiri atas: a. Badan Akreditasi Nasional Sekolah/ Madrasah (BAN S/M), b. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT), c. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN PNF). Permen Dikbud RI Nomor 13 Tahun 2018 memuat tentang perubahan (nama) Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal (BAN PAUD dan PNF). Dapat disimpulkan bahwa institusi yang berwenang melakukan penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan di Indonesia ini antara lain adalah Badan Akreditasi Nasional (BAN). Terdiri dari: BAN PT (untuk Perguruan Tinggi), BAN S/M (buat SD, SMP, SMA/SMK formal), dan BAN PAUD dan PNF (pada jalur nonformal). Dapat ditegaskan, bahwa penerima mandat sebagai institusi akreditasi jalur nonformal adalah BAN
PAUD dan PNF, dibantu oleh Badan Akreditasi Nasional Provinsi (BAN-P) beserta staf sekretariat pada setiap provinsi bersangkutan. Dengan kata lain, Satuan pendidikan jalur nonformal yang terdiri atas rumpun: PAUD (termasuk RA/BA) dan rumpun SKB/PKBM/CLC serta LKP (termasuk PKPPS), diakreditasi oleh institusi BAN PAUD dan PNF.
EDS-PA dan Integrasi Dapodik dengan EMIS pada Sispena 3.0
Dalam mengikuti akreditasi, setiap Satuan/Lembaga Pendidikan wajib melalui proses pengisian Evaluasi Diri Satuan Prasyarat Akreditasi (EDS-PA). EDS-PA tersebut merupakan model penilaian mandiri – dalam aplikasi - yang dilakukan oleh Satuan/Lembaga pendidikan (PAUD dan PNF) sebagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengikuti proses penilaian akreditasi selanjutnya. Artinya setiap satuan/lembaga yang mengajukan diri untuk diakreditasi, telebih dahulu harus memenuhi kelengkapan tuntutan minimal penilaian 8 Standar Nasional Pendidikan/8 SNP sebelum dilakukan penilaian kinerja. Fungsi utama EDS-PA adalah untuk mengidentifikasi dan memantau kesiapan satuan PAUD dan PNF untuk mengikuti proses akreditasi. Karena mulai tahun 2020, kebijakan Akreditasi BAN PAUD dan PNF menggunakan aplikasi Sispena 3.0. Berupa integrasi data dalam Sispena 3.0 tersebut dengan sumber data eksternal, yaitu: Data Pokok Pendidikan (Dapoik), Education Management Information System (EMIS), serta sumber data lainnya. Tujuan utamanya adalah sebagai alat ukur yang digunakan untuk menilai kinerja (performance) internal satuan PAUD dan PNF yang belum/tidak terungkap secara jelas dalam hasil EDS-PA (penilaian compliance) dan menjadi panduan BAN PAUD dan PNF Provinsi dalam penetapan lembaga yang lolos atau tidak lolos ke tahapan visitasi akreditasi melalui mekanisme Klasifikasi Permohonan Akreditasi (KPA). Selanjutnya disiapkan Instrumen Penilaian Visitasi (IPV) yang dirancang untuk (pasangan Asesor) agar fokus penilaian Akreditasi bergeser dari compliance (ketersediaan dokumen secara administratif) ke titik fokus performance (capaian kinerja). Fungsi lain dari IPV adalah sebagai panduan BAN PAUD dan PNF Provinsi untuk ‘memantau’ pelaksanaan kegiatan Visitasi, serta Validasi dan Verifikasi Akreditasi.
Demikianlah selayang pandang berkaitan dengan layanan Pendidikan Sepanjang Hayat Untuk Semua. Suatu pesan mulia yang telah digaungkan oleh Nabi penutup zaman sejak 15 abad lalu, agar ummat manusia “tidak pernah berhenti untuk belajar - menuntut ilmu secara berkesinambungan - sejak masih dalam ayunan ibunya hingga masuk ke liang kubur”. Tentunya, hasil maksimal bakal dicapai, apabila terjadi kerja sama tulus – saling mendukung - antar berbagai pihak secara sinergis. ***
*Penulis, M. Rusli Abdillah, M. Pd. adalah: Praktisi Pendidikan Jalur Nonformal (Tutor di PKBM), Tutor Universitas Terbuka.*
Rujukan:
1. Abdulhak, I. 2012. Penelitian Tindakan Dalam Pendidikan Nonformal. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.
2. Kamil, M. 2009. Pendidikan Nonformal – Pengembangan Melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) Di Indonesia (Sebuah Pembelajaran Dari Kominken Jepang). Bandung: Alfabeta.
3. Komar, Oong. 2006. Pilsafat Pendidikan Nonformal. Bandung: Pustaka Setia.
4. Moedzakir, Dj. 2014. Pembelajaran Transformatif Untuk Pendidikan Nonformal, Informal dan
Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
5. Moedzakir, Dj. 2013. Pendidikan Luar Sekolah Revitalisasi Konsep. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Visitasi PAUD di medan berlumpur, Sekadau 2018. Visitasi PAUD di Desa terpencil, Sintang 2018.
Visitasi Satuan PKBM di Pedalaman, Sanggau 2018. Visitasi di TK Perbatasan, Entikong 2018.
Visitasi PKPPS Mansyaul Ulum, Mempawah 2019.
Visitasi PKBM Remis Mempawah 2019. Visitasi PKPPS Nurul Jihad Peniraman 2019.