• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI MEMPERPANJANG UMUR TEMPAT PENGOLAHAN AKHIR (TPA) SAMPAH DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI MEMPERPANJANG UMUR TEMPAT PENGOLAHAN AKHIR (TPA) SAMPAH DI INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

JRL Vol. 4 No.1 Hal 27-38 Jakarta, Januari 2008 ISSN : 2085-3866

STRATEGI MEMPERPANJANG UMUR

TEMPAT PENGOLAHAN AKHIR (TPA) SAMPAH DI INDONESIA

Adi Mulyanto

Balai Teknologi Lingkungan (BTL), BPPT Gedung 412, PUSPIPTEK, Serpong, Tangerang-15314

Abstract

The existence of Municipal Solid Waste (MSW) is not received by the community. The problem is MSW always be generated by the activities of human being. All of the cities, especially in Java Island, face diffi culties to look for an area for dumping the MSW. The most effective strategy is the prolongation of landfi ll site. The method applied is to build the small facility of MSW handling in small area such as RWs (administrative unit at the next-to-lowest level in city) or in the villages. The main product will be compost and other recyclable materials such as plastics, metals, and so forth. Therefore, maximum about 10% to 20% of MSW will be discard in the landfi ll site. To realize the facility of MSW handling in the area, it needs several equipment to help for producing the good compost.

Key words: MSW, composting process.

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Sampah merupakan limbah yang berbentuk padat. Keberadaan sampah ini tidak disukai oleh masyarakat, padahal sampah ada merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk pengelolaan dan pengolahan yang baik berdasarkan asas-asas yang berlaku, seperti misalnya asas-asas lingkungan, keekonomian dan kemudahan dalam mengelola dan mengolah sampah. Keberadaan sampah pada saat ini harus merupakan suatu sumber daya, bukan material yang semata-mata harus dibuang begitu saja. Salah satu fungsi sumber daya sampah yang pada saat ini belum digali dengan baik adalah sampah organiknya. Komposisi bahan organik sampah sangat berbeda dari satu daerah dengan daerah yang lain. Pada satu daerahpun komposisi bahan organiknya

bisa berbeda. Sebagai contoh adalah komposisi bahan organik dalam sampah rumah tangga di DKI Jakarta. Pada tahun 1995, komposisi bahan organiknya adalah 21%, tetapi pada tahun 2005, komposisi bahan organik di dalam sampah rumah tangga tinggal 19%. Hal ini membuktikan bahwa ketersediaan bahan yang berpotensi menjadi sampah sudah berubah. Misalnya masyarakat (dalam hal ini para pedagang) memilih bahan kemasan yang terbuat dari plastik atau kertas daripada bahan dari daun-daunan. Pilihan ini tentu saja karena bahan plastik atau kertas lebih mudah didapat dan harganyapun lebih murah dibanding dengan daun-daunan.

Kandungan bahan organik di dalam sampah di kota besar jauh lebih rendah dibanding di kota yang lebih kecil. Sebagai contoh, komposisi bahan organik dan anorganik di dalam sampah rumah tangga di daerah perumahan Cimindi Raya, Cimahi Utara adalah sebagai berikut: bahan organik sebesar 62% dan bahan anorganik

(2)

sebesar 38%. Salah satu pemanfaatan sampah organik sebagai sumber daya adalah sebagai bahan baku pembuatan kompos. Kompos yang adalah pengkondisi tanah (bukan pupuk) sangat dibutuhkan oleh lahan di seluruh Indonesia. Lahan di Indonesia dinyatakan oleh para ahli tanah mempunyai kondisi yang sangat memprihatinkan. Kondisi tanah di Indonesia sudah dinyatakan dalam keadaan sakit. Lahan pertanian dan perkebunan di Indonesia hanya mengandung bahan organik <2%, padahal lahan dinyatakan sehat kalau kandungan bahan organiknya 3-5%. Sumber bahan organik yang sangat baik untuk diaplikasikan ke lahan adalah kompos. Untuk mencapai kondisi sehat, lahan di Indonesia memerlukan kompos antara 5 ton sampai 20 ton per hektar.

Isu NIMBY (Not In My Back Yard) juga merupakan hal yang sangat umum. Orang tidak mau menampung atau menerima sampah dari tetangga. Satu wilayah tidak akan mau menerima sampah dari wilayah lain. Tetapi satu wilayah tentunya akan senang hati menerima kompos yang sudah jadi dari wilayah lain. Dengan demikian, proses pembuatan kompos menjadi suatu alternatif yang paling mudah untuk dilakukan.

Pengaruh terhadap lingkungan, pembuatan kompos akan menjaga kelestarian bercocok tanam, menjaga pertanian yang berkelanjutan. Keuntungan lain adalah mencegah timbulnya gas metana apabila sampah organik dibiarkan ditumpuk begitu saja di TPA yang pada umumnya masih menggunakan sistem open dumping.

Perlu diketahui, bahwa gas metana ini mempunyai tingkat bahaya sebesar 21 kali lipat dibanding dengan gas karbon dioksida dalam hal penyebab kerusakan lapisan ozon. Cara pembuatan kompos yang cepat menggunakan proses aerob. Gas yang dihasilkan adalah karbon dioksida. Keuntungan lain yang tidak kalah pentingnya adalah dengan dibuatnya kompos dari sampah organik ini dapat memperpanjang umur pakai dari tempat pengolahan sampah akhir.

1.2 Tujuan

Teknologi pembuatan kompos ini sudah sangat lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Namun dalam realisasinya, bahan organik di dalam sampah rumah tangga hanya sebesar kurang dari 1% yang diupayakan diproses menjadi kompos. Untuk itu akan dibahas teknologi pengkomposan sebagai alternatip pengolahan sampah untuk memperpanjang usia TPA.

2. Pembahasan

2.1 Kebiasaan yang Berlaku Pada Saat Ini

Keberadaan sampah di lingkungan sekitar cukup memprihatinkan. Sebagai contoh penutupan TPA Bantar Gebang di Bekasi pada tahun 2000, perusakan TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) Bojong pada November 2004, serta longsornya sampah di TPA Leuwigajah di Bandung pada 21 Februari 2005. Peristiwa tersebut telah menjadi suatu pertanda mengenai buruknya penanganan sampah di Indonesia pada saat ini.

Kebiasaan yang berlaku pada saat ini dalam pengelolaan sampah rumah tangga (dan sampah domestik yang lain) adalah pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan. Kebiasaan tersebut adalah kebiasaan lama yang pada saat ini sudah harus ditinggalkan.

Kebiasaan lama tersebut mengandung banyak sekali kelemahan ditinjau dari sudut lingkungan dan ekonomi. Lahan untuk pembuangan akhir sampah pada saat ini sangat terbatas keberadaannya. Kalaupun masih ada, maka harganya sudah sangat mahal dan lokasinyapun sudah semakin jauh dari sumber penghasil sampah. Lokasi yang semakin jauh tersebut pada umumnya dipilih daerah yang berbatasan dengan wilayah lain. Dengan makin jauhnya tempat pengolahan sampah akhir, maka masalah transportasipun akan muncul. Masyarakat yang tinggal di daerah yang dilalui kendaraan pengangkut sampah akan mengadakan protes keras. Kemacetan lalu lintas yang akhir-akhir ini

(3)

menjadi masalah di banyak wilayah menyebabkan biaya dan waktu untuk mengangkut sampah dari tempat pengumpulan sementara ke tempat pembuangan akhir menjadi tidak efi sien. Tempat pembuangan akhir sampah yang pada saat ini ada adalah open dumping, bukan sanitary landfi ll, sehingga berbahaya terhadap kualitas air sumur dan menjadi tempat subur untuk berkembang biaknya berbagai hewan penyebab penyakit, seperti lalat dan tikus.

Pembuangan sampah yang dilakukan secara open dumping tersebut juga merupakan ‘bom waktu’ yang harus diwaspadai. ‘Bom waktu’ tersebut adalah dalam bentuk gas metana. Gas ini mempunyai sifat yang sangat mudah terbakar. Pada umumnya, setelah suatu tempat pembuangan sampah akhir sudah penuh, maka serta merta tempat tersebut ditinggalkan begitu saja. Kemudian ada beberapa pihak yang memanfaatkannya untuk mendirikan tempat tinggal (rumah, perkantoran dan fasilitas lainnya) di atas bekas tumpukan sampah tersebut. Sampah organik yang tertumpuk tersebut masih aktif untuk menghasilkan gas metana selama puluhan tahun sejak tempat pembuangan sampah akhir tersebut dinyatakan penuh dan tertutup.

Pendapat lain yang juga sudah menjadi kebiasaan di kalangan pengambil kebijakan adalah membangun tempat pengolahan sampah yang mempunyai skala besar dan proses pemilahan di rumah tangga. Pendapat tersebut tidaklah salah. Namun, untuk Indonesia, langkah-langkah tersebut belum dapat diterapkan. Langkah tepat untuk Indonesia dalam hal pengelolaan dan pengolahan sampah adalah dilakukan di setiap kawasan, misalnya RT, RW, atau paling besar kawasan kelurahan. Sedangkan pengelolaan dan pengolahan sampah skala rumah tangga masihsangat sulit untuk direalisasikan, mengingat bahwa tingkat kesadaran dan kemauan untuk melakukan pengelolaan (misalnya pemilahan)

belum sama antara keluarga satu dengan lainnya.

Jadi dalam pengelolaan dan pengolahan sampah ini berlaku pedoman sebagai berikut: Kalau bisa kecil, mengapa harus besar. Ukuran kecil disini adalah skala kawasan. Dengan melakukan pengelolaan dan pengolahan sampah berskala kawasan ini, maka diharapkan para penduduk yang tinggal di kawasan tersebut dapat menyaksikan betapa repotnya sampah yang sudah mereka campur dari rumah tersebut dipilah. Dengan demikian diharapkan akan timbul kesadaran untuk memilah sampah mereka sendiri di rumah-rumah penduduk, sehingga dapat menolong petugas pengelola dan pengolah sampah kawasan. Dengan mengelola dan mengolah sampah kawasan ini, maka akan tersedia paling tidak tiga sumber penghasilan, yakni iuran warga, penjualan barang-barang seperti plastik, besi dan lain-lain, serta penjualan kompos.

2.2 Kebiasaan Baik yang Harus

Ditumbuhkan

Kebiasaan baik yang harus ditumbuhkan pada masyarakat adalah pendekatan Produksi Bersih (Cleaner Production). Produksi bersih ini merupakan salah satu pendekatan seperti: • merancang ulang suatu industri yang tidak

efi sien,

• merubah pola kerja dalam industri tersebut,

• mengganti bahan baku atau bahan penolong yang lebih ramah lingkungan dan tindakan yang lain yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya,

• mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk serta limbah yang aman dalam kerangka siklus ekologi.

(4)

Gambar 1. Kegiatan kumpul-angkut-buang di salah satu TPA sampah.

(5)

Prinsip-prinsip Produksi Bersih bisa dilakukan dengan cara:

Reduce (mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan. Hal ini membuktikan bahwa dalam segala proses, tidak mungkin dicapai efisiensi sampai dengan 100%.

Reuse (memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang sekali pakai, terus dibuang. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia akhirnya tidak berguna dan menjadi sampah. • Recycle (mendaur ulang); sebisa mungkin,

barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain. Dengan demikian kita menjadikan sampah sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan lebih lanjut. • Replace (mengganti); teliti barang yang kita

pakai sehari-hari. Gantilah barang- barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang bisa dipakai berkali-kali dan lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.

Langkah yang menganut produksi bersih yang dapat dan mudah untuk dilakukan adalah memproses bahan organik yang ada di dalam sampah menjadi kompos. Kecuali untuk kepentingan lingkungan, kompos yang dihasilkan juga merupakan sumber bahan organik yang sangat ideal sebagai pengkondisi lahan pertanian/ perkebunan.

2.3 Proses Pembuatan Kompos

Proses pembuatan kompos dari sampah rumah tangga pada pengelolaan dan pengolahan secara kawasan dilakukan melalui beberapa tahapan proses, yaitu : pengangkutan sampah dari rumah-rumah dalam kawasan tersebut ke tempat pengelolaan dan pengolahan sampah, pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik, pencacahan sampah organik, formulasi bahan baku kompos, penumpukan bahan baku, pengamatan suhu dan pembalikan tumpukan, serta pemanenan kompos. Agar kompos yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik, maka setelah pemanenan dilakukan proses penghancuran dan pengayakan kompos sebelum dilakukan pengepakan kompos (dalam karung atau kantong plastik).

Biasanya, petugas kebersihan mengambil sampah dari rumah-rumah masih dalam keadaan tercampur dan ditempatkan di dalam kantong-kantong plastik atau karung. Sebagai gambaran, suatu kawasan dengan jumlah 300 kepala keluarga akan menghasilkan sampah rata-rata 1m3 per hari. Dengan jumlah sampah

sebesar itu, maka aktivitas pengambilan sampah dapat dilakukan sekali dalam dua hari. Dengan demikian, sampah yang terkumpul sebanyak 2 m3 per dua hari. Karena tempat pengelolaan

dan pengolahan sampah ada di dalam kawasan tersebut, maka pada hari itu juga dapat dilakukan aktivitas pemilahan antara bahan organik dan anorganik. Sampah sebanyak 2m3 tersebut dipilah

oleh 2 orang dan memerlukan waktu sekitar 4 jam. Sampah anorganik yang mempunyai nilai jual kemudian dikumpulkan menurut jenisnya dan ditempatkan di dalam karung-karung sambil menunggu pembeli, sedangkan sampah anorganik lain, seperti popok, pampers dan lain-lain seyogyanya dibakar di dalam insinerator yang memenuhi syarat. Bahan organik hasil pemilahan kemudian dicacah menggunakan mesin pencacah sampah organik. Tujuan proses pencacahan ini untuk memperluas permukaan sampah, membuka sel-sel sampah (yang berupa daun-daunan), dan dapat juga meningkatkan bulk density sampah, sehingga dalam luasan atau volume ruang tertentu

(6)

dapat mengolah sampah lebih banyak dari pada sebelum dilakukan pencacahan terhadap sampah. Sebelum ditumpuk (menggunakan sistem open wind row), cacahan sampah ini kadang diberi bioaktivator dengan tujuan untuk mempercepat terjadinya proses pengkomposan atau dicampur dengan kotoran sapi atau kotoran ternak lain. Pada dasar tumpukan dilengkapi dengan terowongan udara untuk memperlancar proses aerasi terhadap tumpukan sampah. Tumpukan sampah ‘dicetak’ sedemikian rupa, sehingga hasilnya merupakan tumpukan sampah organik tercacah berbentuk kotak. Bentuk ini terlihat rapi.

Setelah tersusun rapi, maka dilakukan pengamatan suhu dari tumpukan tersebut. Pengamatan suhu menggunakan termometer yang dimasukkan ke dalam tumpukan. Apabila temperatur di dalam tumpukan sudah mencapai sekitar 70 oC atau lebih, maka perlu dilakukan

proses pembalikan. Proses pembalikan ini membentuk tumpukan lagi yang diletakkan disamping tumpukan yang lama. Jangan lupa terowongan udara juga dibuat pada dasar tumpukan yang baru. Pengukuran suhu terus dilakukan pada setiap hari. Satu minggu kemudian (bahkan mungkin kurang dari waktu tersebut) suhu di dalam tumpukan akan mencapai sekitar 70 oC kembali. Untuk itu proses pembalikan harus

kembali dilakukan dan seterusnya sampai suhu di dalam tumpukan menunjukkan suhu ambient (lingkungan sekitar). Kompos dinyatakan matang setelah melalui proses perlakukan selama 1 sampai 2 bulan. Setelah matang, kompos kembali dihancurkan dan diayak dengan lubang ayakan sekitar 1 cm untuk memperoleh tekstur kompos yang bagus dan mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Setelah diayak, kompos dimasukkan ke dalam karung-karung dan siap dipakai untuk media tanam yang sehat.

2.3.1 Fase Pengkomposan

Kompos merupakan hasil proses yang terkontrol dari dekomposisi atau pelapukan bahan organik yang dilakukan oleh mikro-organisme. Jadi pembuatan kompos dilakukan secara biologis. Defi nisi tersebut sangat penting mengingat pada saat ini banyak orang yang

mengemukakan bermacam-macam metoda yang menggunakan proses kimia maupun fi sik yang mengenyampingkan proses biologi. Metode pembuatan kompos yang paling murah untuk skala diatas 100 kepala rumah tangga dilakukan dengan cara penimbunan terbuka (open wind row). Tumpukan atau timbunan bahan organik yang akan dikomposkan diletakkan di ruangan yang beratap dan lantai yang (paling tidak) diplester menggunakan semen. Plesteran ini dimaksudkan agar supaya air lindi yang terjadi tidak meresap ke dalam tanah yang pada gilirannya akan mengakibatkan tercemarnya air sumur. Air lindi ini dapat digunakan untuk membasahi tumpukan dengan cara menyemprot tumpukan tersebut dengan alat semprot (sprayer). Apabila berlebih, air lindi ini dapat diolah lebih lanjut secara aerob untuk menghasilkan cairan yang sangat disukai oleh mikroba tanah, sehingga tanah yang disemprot dengan air lindi terolah ini menjadi lebih subur. Untuk mempercepat berlangsungnya proses pembuatan kompos, penggunaan bio-aktivator perlu ditambahkan.

Secara garis besar ada 4 fase yang terjadi dalam proses pembuatan kompos, yaitu:

a) Fase Mesophilic

Fase ini memerlukan asupan oksigen yang optimum. Asupan oksigen dilakukan dengan cara pembalikan tumpukan sampah. Oksigen juga masuk melalui terowongan udara yang dibuat di dasar tumpukan. Proses masuknya udara ke dalam tumpukan adalah menyerupai efek cerobong (chimney effect), dimana udara panas akan menuju ke bagian atas tumpukan dan meninggalkan tumpukan. Aksi ini akan menyedot udara masuk ke dalam tumpukan. Kelembaban yang optimum juga dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangbiakan mikro-organisme (bacteria, fungi dan actinomycetes). Kelembaban yang dibutuhkan sekitar 60%. Secara fi sik, kelembaban tersebut bisa diukur dengan cara menggenggam material tumpukan dan memerasnya, kemudian mengendorkan remasan tersebut. Pada saat diperas, hendaknya tidak mengeluarkan air. Kalau mengeluarkan air, maka menandakan bahwa material tumpukan tersebut terlalu basah dan bila perlu ditambah

(7)

material lain yang relatif lebih kering (misalnya hasil cacahan dari daun kering). Kemudian pada saat melepaskan genggaman, material hendaknya buyar kembali (tidak terus menggumpal). Apabila terus menggumpal, menandakan bahwa material tersebut masih terlalu basah. Temperatur pada fase ini bisa mencapai 40 oC. Proses degradasi

atau pelapukan ini akan menghasilkan panas. Oleh sebab itu, temperatur pada fase ini bisa mencapai lebih dari 40 oC. Pada temperatur ini,

aktivitas bakteri mesophilic akan terhenti. Bahkan bakteri mesophilic tersebut bisa mati. Asam-asam organik yang terbentuk dari aktivitas bakteri mesophilic akan menurunkan pH dari timbunan kompos.

b) Fase Thermophilic

Aktivitas mikro-organisme yang meningkat akan menaikkan temperatur sampai dengan 40 – 60 oC dalam waktu 4 – 6 hari.

Mikro-organisme thermophilic yang hidup subur ini akan memproduksi amoniak, sehingga nilai pH dari tumpukan kompos akan naik. Pada temperatur lebih dari 60 oC, aktivitas fungi akan terhenti.

Proses selanjutnya akan dilakukan oleh bacteria dan actinomycetes. Temperatur kemudian akan meningkat mencapai sekitar 70 – 80 oC. Pada

temperatur ini, mikro-organisme pathogen dan biji-biji gulma akan mati. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa proses sterilisasi terjadi selama pengkomposan. Dan panas yang ditimbulkan oleh aktivitas mikroba menyebabkan matinya mikroba yang bersangkutan. Dengan demikian, kompos adalah produk yang sangat aman dan ramah terhadap lingkungan.

c) Fase Pendinginan

Karena berkurangnya bahan makanan dan tingginya temperatur, maka mikro-organisme akan mati. Hal ini menyebabkan berkurangnya aktivitas metabolisme di dalam mikro-organisme. Oleh karena itu, temperatur akan turun sampai dengan temperatur ambien.

d) Fase Pematangan

Dalam fase ini, temperatur kompos telah mencapai kondisi yang stabil. Rasio atau perbandingan C/N akan mencapai sekitar 10 –

12. Dalam fase ini kompos siap untuk dikemas dan diaplikasikan ke lahan pertanian atau perkebunan.

2.3.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh Pada Proses Pengkomposan

Beberapa faktor yang berpengaruh dalam proses pembuatan kompos adalah: rasio C/N dan nutrisi, ukuran bahan, kelembaban, keasaman, temperatur, kandungan oksigen dan aerasi, ukuran tumpukan dan penambahan bio-aktivator.

Faktor-faktor tersebut dapat diterangkan sebagai berikut:

A. Rasio C/N dan Nutrisi

Rasio C/N yang optimum dari bahan yang akan dikomposkan harus bernilai sekitar 25 – 35. Carbon dikonsumsi oleh mikro-organisme sebagai sumber tenaga, sedangkan nitrogen digunakan untuk pertumbuhan sel dan sintesis protein. Pada saat nilai karbon terlalu tinggi, maka perlu ditambahkan bahan yang mengandung unsur nitrogen tinggi, misalnya ditambahkan daun-daunan dari keluarga polong-polongan atau bahkan dilakukan penambahan urea yang mengandung unsur N tinggi, yaitu sekitar 46%. Sebaliknya, apabila unsur N terlalu tinggi, maka dapat ditambahkan bahan yang kaya akan karbon, misalnya rumput kering, jerami atau daun-daunan dari pohon yang tidak termasuk ke dalam polong-polongan. Nilai unsur karbon dan nitrogen ini secara sekunder terdapat dalam beberapa literatur.

B. Ukuran Material

Bahan baku seyogyanya dihancurkan menjadi potongan-potongan kecil untuk mempercepat proses pengkomposan. Dengan melakukan proses pencacahan, maka luas permukaan dari bahan yang akan dikomposkan dengan drastis akan bertambah. Kecuali itu, bagi daun-daunan yang masih segar, proses pencacahan akan memecah sel sehingga akan mempermudah aktivitas mikroba pengkomposan. Proses pencacahan ini akan menghasilkan cacahan sampah sampai dengan sekitar 5 cm. Proses pencacahan juga bisa menaikkan nilai bulk densitas dari sampah tercacah. Sebagai hasilnya,

(8)

dalam luasan atau volume tertentu, suatu tempat akan dapat menampung lebih banyak sampah yang akan dikomposkan. Mesin pencacah yang baik dapat mereduksi volume sampah menjadi 25% sampai 30%.

C. Kelembaban

Kelembaban yang optimum di dalam proses pembuatan kompos dijaga pada rentang 50 – 65%. Proses pembasahan tumpukan sampah tercacah bisa menggunakan air lindi hasil dari tumpukan itu sendiri. Perlu diingat, bahwa kelembaban tidak boleh kurang atau lebih dari rentang tersebut di atas. Apabila kurang, maka mikroorganisme di dalam tumpukan sampah tercacah akan terhambat aktivitasnya, demikian juga kalau tumpukan terlalu basah. Akibat lain dari

tumpukan yang teralu basah adalah terhambatnya proses aerasi yang diakibatkan oleh terhambatnya difusi udara atau oksigen ke dalam tumpukan.

D. Keasaman

Bahan baku yang baik yang digunakan mempunyai nilai pH antara 5 and 7. Dengan pengontrolan proses, misalnya dengan cara pembalikan, pH optimum akan dicapai (nilainya diantara 6.5 – 8.5). Hal ini merupakan akibat dari proses thermophilic yang menghasilkan amoniak. Tetapi apabila pH terlalu rendah (asam), maka dapat ditambahkan kapur ke dalam tumpukan untuk menaikkan nilai derajat keasaman (pH). Nilai pH ini dapat diukur menggunakan pH meter sebagaimana yang dipakai untuk mengukur pH tanah.

(9)

Gambar 4. Mesin pembalik kompos.

E. Temperatur

Temperatur supaya dijaga pada 55 – 60 oC

untuk rentang waktu lebih kurang 3 – 4 hari untuk membunuh mikro-organisme pathogen dan biji-biji gulma. Dengan demikian, proses sterilisasi/disinfeksi dilakukan sendiri oleh sistem pengkomposan tersebut. Hal ini sangat penting sebab bahan baku yang dikomposkan mengandung baik kotoran sapi maupun kotoran hewan lainnya yang ditambahkan ke dalam tumpukan.

F. Kandungan Oksigen dan Aerasi

Kondisi aerobik harus dijaga dengan cara pembalikan terhadap tumpukan kompos dan juga pembuatan terowongan udara di dasar tumpukan. Dasar melakukan pembalikan adalah kenaikan suhu di dalam tumpukan. Untuk kapasitas yang besar, maka proses pembalikan dilakukan menggunakan mesin pembalik kompos (gambar 4.).

(10)

Gambar 5. Mesin penyaring kompos.

G. Ukuran Tumpukan

Ukuran tumpukan cacahan sampah yang mudah diterapkan dan mudah dikontrol adalah: lebar= 1,5 m, panjang = 2 m, dan tinggi tumpukan = 1,5 m. Ukuran tersebut adalah untuk proses pengkomposan ukuran kecil (skala kawasan). Pada skala besar, maka panjang bisa tidak terbatas dan tinggi bisa lebih dari 1,5 m. Hal ini dimungkinkan karena proses pembalikan dilakukan menggunakan mesin pembalik.

H. Penambahan Bio-aktivator

Bio-aktivator yang digunakan untuk mempercepat proses dekomposisi bahan kompos adalah bio-aktivator yang bisa didapat dari pasaran.

2.4 Kompos yang Dihasilkan

Untuk memperbaiki tekstur kompos yang sudah matang, maka kompos tersebut perlu dilembutkan dengan alat pelembut kompos. Alat tersebut bisa sama dengan alat penghancur sampah organik. Setelah dilembutkan, maka kompos disaring menggunakan mesin penyaring kompos (gambar 5.). Alat penyaring kompos ini mempunyai lubang (ram) berukuran ½ inchi. Sebagai penggerak, terdapat dua pilihan, yaitu diesel dan elektromotor.

Untuk memperbaiki kualitas kompos yang juga akan digunakan sebagai pupuk, maka kompos yang sudah matang diperkaya dengan berbagai unsur hara, misalnya N, P, K, Ca, Co, Mo, Mg dan sebagainya. Penambahan unsur hara ini dilakukan di dalam suatu alat, yaitu mixer kompos (gambar 6.). Penggerak yang dipakai menggunakan diesel. Gambar 7. menunjukkan bentuk dari mesin pencacah plastik.

(11)

Kompos yang dihasilkan sebelum diperkaya dengan unsur hara mempunyai standar

berdasarkan standar kualitas kompos Bank Dunia seperti terlihat dalam tabel berikut.

Tabel : Standar Kualitas Kompos Parameter 1. Umum a. Kandungan air. b. Rasio C/N. 2. Logam berat a. Cr (Chromium) b. Cu (Cuprum) c. Pb (Plumbum) d. Zn (Zinc) Unit % tak berdimensi mg/kg basis kering s.d.a s.d.a s.d.a

Standar kualitas kom-pos Bank Dunia

< 45 < 20 < 45 < 150 < 150 < 400

(12)

Gambar 7. Mesin pencacah botol/lembaran plastik.

3. Kesimpulan

Sampah, apabila dijadikan sumber daya akan sangat memperkecil masalah. Bahan organik yang mencapai 60% dari total sampah dapat dijadikan kompos sebagai sumber bahan organik tanah yang sangat baik untuk pengkondisian tanah, sehingga dengan aplikasi kompos ini, maka tanah menjadi sehat, tanah mempunyai kemampuan untuk menyimpan air, melepaskan unsur hara dengan teratur, kaya akan mikroba tanah yang menguntungkan dan sangat baik porositasnya, sehingga pernafasan akar berjalan dengan baik.

Kebiasaan yang kurang baik hendaknya diubah. Kebiasaan kumpul-angkut-buang hendaknya diubah menjadi kebiasaan yang produktif. Mesin-mesin pengolah sampah sudah tersedia dan siap untuk digunakan.

Daftar Pustaka

1. Anonim, 2005. Report on Composting Subsidiary Program on Western Java Environmental Management Project (WJEMP), CV. Agro Duta. Bandung. 2. Anonim, 2005. Seminar Nasional Peran

Pengomposan dalam Pengelolaan Sampah dan Pameran Produk Daur Ulang, Kementerian Lingkungan Hidup dan the World Bank, Jakarta.

3. Simarmata, 2003. Teknologi Produksi Kompos dan Paradigma Pengelolaan Limbah Perkotaan yang Berkelanjutan di Indonesia. Materi Pelatihan Pupuk, Bandung.

Gambar

Gambar 1. Kegiatan kumpul-angkut-buang di salah satu TPA sampah.
Gambar 3. Mesin pencacah sampah organik.
Gambar 4. Mesin pembalik kompos.
Gambar 5. Mesin penyaring kompos.
+3

Referensi

Dokumen terkait

dari proses pengolahan sampah organik menjadi kompos ini yaitu untuk.. mengurangi

Pada penelitian ini direncanakan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) untuk mereduksi sampah dengan fasilitas pembuatan kompos dan pengemasan barang lapak yang masih dapat

Hasil penelitian terkait kajian terhadap pengolahan sampah organik dengan Black Soldier Fly (BSF)menunjukkan bahwa tahapan dalam proses pengolahan sampah

(c) Dijadikan pupuk (Composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk (kompos), khususnya untuk sampah organic daun-daunan, sisa makanan dan sampah lain yang

memahamkan cara pengolahan sampah rumah tangga dan pelatihan pembuatan kerajinan tangan dari koran bekas dengan metode community based participatory action yang

Setelah sosialisasi mengenai pentingnya memilah sampah organik dan anorganik, serta paparan mengenai pembuatan kompos skala rumah tangga dengan metode Takakura,

Medan dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; (2) Melaksanakan teknik dan prosedur penggunaan teknologi Alfimer dalam pengolahan

Pemanfaatan sampah organik untuk pembuatan eco-enzyme sangat sesuai untuk mengurangi jumlah sampah rumah tangga sebab jenis sampah organik rumah tangga