• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Padatan Semi Kristalin dan Ko-kristal Parasetamol. Semi Chrystaline and Cocrystal of Paracetamol Formation

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pembentukan Padatan Semi Kristalin dan Ko-kristal Parasetamol. Semi Chrystaline and Cocrystal of Paracetamol Formation"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

83

Pembentukan Padatan Semi Kristalin dan Ko-kristal Parasetamol

Okky Dwichandra Putra1), Ilma Nugrahani1), Slamet Ibrahim1), dan Hidehiro Uekusa2)

1)

Kelompok Keahlian Farmakokimia, Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, Bandung

2)

Department Chemistry and Material Science, Tokyo Institute of Technology, Tokyo, Japan

e-mail: dwichandraputra@fa.itb.ac.id

Diterima 30 Juni 2012, disetujui untuk dipublikasikan 13 Juli 2012

Abstrak

Penyusunan ulang susunan molekul dalam ruang kisi 3 dimensinya seperti modifikasi bentuk kristal dan ko-kristalisasi diketahui dapat meningkatkan sifat fisiko kimia dari suatu bahan seperti kelarutan. Parasetamol, antipiretik yang umum digunakan, memiliki sifat agak sukar larut dalam air. Di sisi lain, asam oksalat merupakan bahan yang larut dalam air yang dilaporkan mampu meningkatkan kelarutan senyawa yang sukar larut melalui pembentukan ko-kristal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi profil kristalinitas parasetamol dan asam oksalat setelah peleburan dan pengaruhnya terhadap kelarutan parasetamol. Hasil percobaan menunjukkan terbentuknya puncak endotermik baru di 109,5o dan 152,2o pada Differential Scanning Calorimeter (DSC)/ Differential Thermal Analyzer (DTA); perubahan spektrum di antara 2,680-2,710 cm-1 dan 835 cm-1 pada Fourier Transform Infra Red (FTIR), puncak baru pada suhu 2θ = 28o

dan 17o pada difraktogram Powder X-Ray Diffractometer (PXRD) yang secara keseluruhan mengindikasikan pembentukan ko-kristal. Selain itu, pengurangan intensitas pada puncak-puncak difraktogram mengindikasikan pembentukan semi kristalin dari parasetamol. Kedua fenomena tersebut menunjukkan peningkatan kelarutan parasetamol dari 12,98 ± 0,03 mg/mL menjadi 130,30 ± 0,03 mg/mL.

Kata kunci : Parasetamol, Asam oksalat, Semi kristalin, Ko-kristal.

Semi Chrystaline and Cocrystal of Paracetamol Formation

Abstract

Three dimensional of molecular lattice rearrangement such as crystal modification and co-crystallization are known can improve physicochemical properties such as solubility. Paracetamol, a widely used anti pyretic, is slightly soluble in water. In other hand, oxalic acid is a water soluble substance which was reported able to improve the solubility of an insoluble compounds through co-crystal formation. The aim of this research is to characterize the crystallinity profile of paracetamol and oxalic acid after melting and its influence to the solubility of paracetamol. The experiment results showed the appearance of endothermic peaks at 109.5o and 152.2o Differential Scanning Calorimeter (DSC)/ Differential Thermal Analyzer (DTA); changing of spectra between 2.680-2.710 cm-1 and 835 cm-1 through Fourier Transform Infra Red (FTIR); and new peaks at 2θ = 28o

and 17o Powder X-Ray Diffractometer (PXRD) indicated co-crystal formation. Then, the decreasing of intensity on peaks of diffractogram also indicated the formation of semi crystalline of paracetamol. These phenomena showed improvement of paracetamol solubility from 12,98 ± 0,03 mg/mL to 130,30 ± 0,03 mg/mL.

Keywords : Paracetamol, Oxalic acid, Semi crystalline, Co-crystal.

1. Pendahuluan

Desain penempatan molekul- molekul dalam suatu kisi kristal merupakan hal yang menarik dalam ilmu material organik (Mirza dkk., 2009). Perubahan susunan molekul dalam kristal seperti modifikasi bentuk kristal dan penggabungan dengan senyawa lain dalam kisi kristal yang sama (ko-kristal) telah terbukti mampu mengubah suatu sifat fisiko kimia suatu senyawa (Karki dkk., 2009). Namun, kedua hal tersebut belum pernah dilaporkan terjadi secara bersamaan.

Modifikasi bentuk kristal, seperti mengubah bentuk kristal atau amorfisasi merupakan salah satu upaya dalam mengubah sifat fisikokimia suatu bahan. Istilah kristal digunakan untuk menggambarkan derajat keteraturan internal yang tinggi, sedangkan pada padatan amorf ditemui derajat ketidakteraturan yang rendah sehingga padatan amorf diklasifikasikan sebagai golongan bahan isotropik. Ko-kristal adalah suatu kompleks kristalin dimana dua atau lebih molekul netral berada pada perbandingan yang stoikiometrik (Qiao dkk., 2011).

Parasetamol (PCA) adalah suatu antipiretik banyak digunakan dalam klinis dilaporkan memiliki

(2)

bentuk kristal 1 dan 2 yang telah diketahui dengan baik, sementara itu bentuk 3 dan amorf sejauh ini belum dikarakterisasi (Britainn, 1993; Ziemermann dan Baranovic, 2010). Asam Oksalat (OXA) dilaporkan memiliki dua bentuk kristal yaitu bentuk alfa dan beta. OXA dilaporkan mampu berperan

sebagai bahan pembentuk ko-kristal (koformer) misalnya dengan kafein melalui pembentukan ikatan hidrogen yang kuat (Sekhon, 2009). PCA dilaporkan sejauh ini dapat membentuk ko-kristal dengan OXA pada komposisi 1:1 dengan metode liquid assisted

Gambar 1. Ko-kristal PA: OXA = 1:1 struktur hipotetik (a); difraktogram (b) dan termogram (c) (Karki dkk., 2009; Bag dkk., 2011).

grinding (LAG) dan slow evaporation (SE) (Karki

dkk., 2009; Bag dkk., 2011). Hasil karakterisasi ko-kristal yang dihasilkan dari kedua metode ini dengan DSC menunjukkan danya puncak endotermik pada suhu 152o. Sedangkan, difraktogram memberikan

profil seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi karakter fisika parasetamol dan asam oksalat setelah proses peleburan serta pengaruhnya terhadap kelarutan parasetamol

2. Metode Penelitian 2.1 Alat

Differential Scanning Calorimeter (DSC)-Differential Thermal Analysis (DTA) (Perkin Elmer

Thermal Analysis DSC-6, AS; Nestch STA 449, Jerman), Fourier Transform Infra Red (FTIR) (Jasco-4200 type A, Jepang), Powder X-ray Diffractometer (PXRD) (Philips PW1710 BASED, Netherland), spektrofotometer UV (Beckman DU 7500i), pH meter (Beckman ΦTM 50) dan alat gelas lain yang lazim digunakan di laboratorium.

2.2 Bahan

Parasetamol (Hengsyuhi Jiheng, China), asam oksalat dihidrat (Merck, AS), etanol (Merck, AS) dan kristal Kaliumbromida (Merck, AS)

2.3 Metode

Peleburan

Sejumlah 9 g (1 mol) OXA dilebur dalam gelas kimia di atas pemanas elektrik dan dibiarkan sampai terjadi kristalisasi kembali. Setelah proses kristalisasi OXA, sejumlah 15,1 g (1 mol) PCA dimasukan sampai membentuk leburan campuran kemudian didinginkan pada suhu kamar.

Analisis FTIR

Sampel berbentuk serbuk dicampur dengan kristal kalium bromida dengan perbandingan molar 1: 10 dan digerus hingga homogen kemudian dikompresi pada 20 Psi menggunakan alat pengepres pelat KBr. Spektra diukur pada bilangangelombang 4500 hingga 500 cm-1 menggunakan spektrometer FTIR.

Analisis DSC

Kurang lebih 3-5 mg sampel perbandingan fraksi molar dianalisis dengan DSC sampai suhu 400 °C pada kecepatan pemanasan 10 °C/menit menggunakan cawan alumunium terbuka.

Analisis PXRD

Struktur kristal dianalisis dengan Powder X

Ray Diffractometer (PXRD) (Phillips, Netherland)

dengan kondisi sebagai berikut : target/filter (monokromator) Cu, tegangan 40 kV, arus 30 mA, lebar slit 0,2 inci. Data dikumpulkan dengan mode

scanning 0,2° - 0,5° per menit dengan jarak scanning

2θ = 5° - 60°.

Uji Kelarutan

Sejumlah padatan PCA baik dalam bentuk murni maupun dalam bentuk campuran dengan OXA dilarutkan dalam 10 mL air kemudian diaduk dengan pengaduk mekanis sampai kondisi jenuh selama 30 menit. Kemudian 100 µL larutan diencerkan dengan NaOH 0,1 M sampai pH 12. Selanjutnya larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 257 nm.

(b) (c)

(a)

mW

(3)

3. Hasil dan Pembahasan

Terbentuknya interaksi fisika antara dua bahan dapat diperkirakan dengan menggunakan analisis termal (Britainn, 2009) di mana jika terjadi perubahan bentuk kristal maka terjadi perubahan aspek termodinamika dari suatu padatan (Nugrahani, 2009). Penapisan terbentuknya interaksi fisika antara PCA dan OXA dapat dideteksi dengan DSC dengan hasil yang dapat dilihat pada Gambar 2.

Dari termogram yang terdapat pada Gambar 2c, diperkirakan terjadinya interaksi fisika antara PCA bentuk 1 dengan OXA bentuk beta karena persistesi kurva endotermik pada 101,7o yang

merupakan puncak dari OXA bentuk alfa. Kemudian baru didapatkan kurva endotermik pada 152,2o yang

merupakan puncak endotermik khas ko-kristal PCA:OXA = 1:1 yang telah dilaporkan dengan menggunakan metode Liquid Assisted Grinding dan

Slow Evaporation. Dari data ini diperkirakan bahwa

ko-kristal baru terbentuk setelah OXA bentuk beta melebur. Perkiraan ini diperkuat dengan data bahwa metode yang dilaporkan berhasil membentuk ko-kristal adalah metode-metode yang melibatkan energi yang besar. Oleh karena itu, metode peleburan didesain di mana bentuk beta dari OXA didapatkan setelah peleburan bentuk alfa.

Gambar 2. Termogram PCA (a); OXA (b) dan campuran fisik PCA:OXA = 1:1 (c).

Hasil leburan kemudian dikarakterisasi sifat termalnya menggunakan DTA dengan hasil seperti pada Gambar 3. Termogram hasil peleburan dari PCA:OXA = 1:1 juga menunjukan puncak endotermik di sekitar 152o seperti tampak pada

Gambar 3. Pada hasil leburan ini juga teramati adanya puncak endotermik lain pada 109,5o. Adanya

kedua puncak ini mengindikasikan terbentuknya suatu interaksi fisika antara PCA dan OXA dimana salah satunya diduga merupakan ko-kristal dengan indikasi kemiripan profil leburan ko-kristal PCA:OXA = 1:1 yang telah dilaporkan pada suhu sekitar 155o.

Gambar 3. Termogram hasil leburan PCA:OXA = 1:1.

Selanjutnya dilakukan analisis struktur kimia padatan menggunakan FTIR. Dari data FTIR interaksi fisika antara bahan utamanya yang berhubungan dengan ikatan hidrogen yang melibatkan –OH, C=O, dan -C-O- dapat terdeteksi di mana terjadi perubahan intensitas puncak maupun perubahan bentuk puncak (Miroshnyk dkk., 2009;

Umeda dkk., 2009; Schultheiss dan Newman, 2009).

Di sisi lain, FTIR yang mampu mendeteksi gugus fungsi dari suatu senyawa padatan juga dapat sekaligus menunjukkan apakah selama proses peleburan terdapat penguraian maupun reaksi kimia padatan.

Dari hasil spektrum FTIR pada Gambar 4 c dan 4 d teramati terjadi perubahan intensitas pada bilangan gelombang sekitar 2.900 cm-1 dan

2.680-2.710 cm-1 yang bertanda() yang merupakan daerah

regangan –OH (Storey dan Ymen, 2011). Spektrum FTIR leburan ini memiliki kemiripan dengan spektrum ko-kristal yang dilaporkan oleh Bag dkk (2011). Perubahan intensitas pada spektrum –OH ini sejalan dengan bentuk hipotetik interaksi antara PCA dan OXA, di mana terjadi ikatan hidrogen antara hidroksi cincin fenol PCA dan hidroksi pada gugus karboksilat OXA.

Selain itu, pada 835 cm-1 yang bertanda ()

teramati adanya perubahan intensitas spektrum antara hasil leburan dan campuran fisik seperti ditunjukkan pada Gambar 4d. Daerah tersebut merupakan daerah yang menandakan transformasi polimorfisme PCA (Ziemmermann dan Baranovic, 2010). Dari

(4)

kombinasi data FTIR dan analisis termal dapat diduga telah terjadi interaksi fisika antara PCA-OXA dan transformasi fasa setelah peleburan bersama PCA dan OXA.

Gambar 4. Spektrum FTIR PCA (a); OXA (b); campuran fisik PCA:OXA = 1:1 (c) dan hasil leburan (d).

Dugaan munculnya perubahan susunan molekul dalam kisi kristal selanjutnya dibuktikan dengan PXRD. Dari Gambar 5 dapat dilihat terjadinya perubahan kristalinitas PCA dan OXA serta pembentukan fasa padat baru pada leburan jika dibandingkan dengan campuran fisik dengan komposisi sama. Perubahan tersebut berupa

munculnya puncak baru di 2θ di sekitar 28 dan 17o

merupakan puncak dominan ko-kristal PCA:OXA = 1:1 yang telah dilaporkan (Bag dkk., 2011).

Gambar 5. Difraktogram PCA (a); OXA (b); campuran fisik PCA:OXA=1:1 (c) dan hasil leburan (d).

Perubahan bentuk difraktogram hasil leburan menunjukkan bahwa terjadi perubahan fasa berupa terbentuknya suatu padatan semi kristalin. Semi kristalin ditandai dengan adanya perubahan baseline berupa pelayangan difraktogram namun masih ditandai dengan adanya puncak-puncak tajam seperti pada bentuk kristalinnya (Storey dan Newman, 2011; Nugrahani, 2009). Penaikan baseline teramati terjadi pada 2θ = 15-53o dengan pelayangan difraktogram

100-200 cps pada 2θ yang sama dibandung campuran fisik. Pelayangan paling tinggi sebesar 200 cps terjadi pada 2θ = 24o dan 26o yang merupakan puncak

dominan PCA.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan metode LAE dan SE yang hanya menghasilkan satu fasa padat baru berupa ko-kristal (Karki dkk., 2009; Bag dkk., 2011), pada peleburan dihasilkan tiga fasa baru, yaitu: semi kristalin PCA, OXA dan ko-kristal PCA : OXA. Hal ini diduga pada saat melebur, kedua molekul berada pada bentuk molekularnya namun tidak seluruh molekul PCA dan OXA berinteraksi membentuk ko-kristal akibat tingginya viskositas. Proses pemadatan kembali yang berlangsung cukup cepat (2-3 menit) menyebabkan molekul-molekul yang tidak membentuk ko-kristal tidak kembali ke dalam keteraturan yang tinggi seperti pada bentuk kristalinnya. Hal ini serupa terjadi pada kondisi perubahan fasa yang berlangsung singkat yang

(5)

menghasilkan padatan non kristalin seperti pada peristiwa beku kering (Britainn, 1993).

Metode kristalisasi leburan PCA:OXA = 1:1 untuk mendapatkan suatu fasa padat tunggal dengan pelarut etanol dilakukan sampai mendapat suatu kristal tunggal. Kristal tunggal yang didapatkan adalah kristal tunggal PCA bentuk 1 yang dikonfirmasi menggunakan PXRD dan difraktogram yang dihasilkan memiliki puncak pada 2θ yang sama dengan parasetamol bentuk 1 seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Difraktogram PCA bentuk 1 (a) dan hasil kristalisasi (b).

Profil padatan bahan baku (BB), hasil leburan (LB) dan kristalisasi hasil leburan (KR) kemudian dilakukan uji kelarutan jenuhnya dalam air menggunakan spektrofotometer UV. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel I sebagai berikut.

Tabel 1. Hasil Uji Kelarutan Jenuh.

Kelarutan (mg/mL) Bahan BB LB KR PCA 12,98 ± 0,03 39,22 ±0.15 15,30±0,05 PCA:OXA =1:1 13,07 ± 0,04 130,30±0.03 13,17±0,15*)

*) Hasil kristalisasi yang didapat adalah PCA

Dari data kelarutan di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh terhadap peningkatan kelarutan PCA, pembentukan ko-kristal PCA : OXA =1:1 lebih tinggi dibandingkan dengan pembentukan semi kristalin PCA. Penelitian lain juga melaporkan bahwa ko-kristalisasi menyebabkan peningkatan kelarutan bahan-bahan lain seperti ibuprofen, norfloksasin (Walsh dkk., 2003; Oberoi dkk., 2005; Basavoju dkk., 2008).

4. Kesimpulan

Pada proses peleburan parasetamol:asam oksalat = 1:1 terjadi terbentuk campuran fasa pada semi kristalin parasetamol, asam oksalat dan ko-kristal. Padatan hasil leburan menunjukkan puncak endotermik termogram DSC/DTA pada 109,5o dan

152,2o; spektrum FTIR berubah pada 2.680-2.710

cm-1 dan 835 cm-1; PXRD yang menunjukkan

puncak baru pada 2θ = 28o dan 17o. Pembentukan

campuran fasa kristalin baru tersebut menunjukan

perubahan profil kelarutan jenuh parasetamol menjadi 130,30±0,03 mg/mL dari 12,98±0,03 mg/mL.

Daftar Pustaka

Bag, P. P., M. Patni, and C. M. Reddy, 2011, A Kinetically Controlled Crystallization Process for Identifying New Co-crystal Forms: Fast Evaporation of Solvent from Solutions to Dryness, Cryst. Eng. Comm., 13, 5650-5652.

Basavoju, S., D. Bostrom, and S. P. Velaga, 2008, Indomethacin Saccharin Co Crystal: Design, Synthesis and Preliminary Pharmaceutical Characterization, Pharm. Res., 25, 530- 541. Britainn, H. G., 1993, Analitycal Profile of Drug

Subtances & Excipients, Accademic Press,

Inc., San Diego, California.

Britainn, H. G., 2009, Polymorphism in

Pharmaceutical Solids, Marcel Decker Inc,

New York.

Karki, S., T. Friscic, L. Fabian, P. R. Laity, G. M. Day, and W. Jones, 2009, Improving Mechanical Properties of Crystalline Solids by Cocrystal Formation: New Compressible Forms of Paracetamol, J. Adv. Material, 21, 3905-3909.

Miroshnyk, I., S. Mirza, and N. Sandler, 2009, Pharmaceutical Co-Crystal an Opportunity for Drug Product Enhancement, Expert Opin. Drug Deliv., 6, 333-341.

Mirza, S., I. Miroshnyk , J. Heinamaki, and J. Yliruusi, 2009, Co Crystal: An Emerging Approach for Enhancing Properties of Pharmaceutical Solids, Dosis, 24, 90-96.

Nugrahani, I., 2009, Identifikasi Interaksi Padatan

Bahan Aktif dan Pengaruh Interaksi Amoksisilina trihidrat – Kalium klavulanat terhadap Potensi dan Profil Farmakokinetika, disertasi ITB, Bandung.

Oberoi, L. M., K. S. Alexander, and A. T. Riga, 2005, Study of Interaction between Ibuprofen and Nicotinamide using Differential Scanning Calorimetry, Spectroscopy, and Microscopy and Formulation of A Fast-Acting and Possibly Better Ibuprofen Suspension for Osteoarthritis Patients, J. Pharm. Sci., 94, 93-101.

Qiao, N., M. Li, W. Schlindwein, N. Malek, A. Davies, and G. Trappitt, 2011, Pharmaceutical Cocrystals: An Overview,

Int. J. of Pharmaceutics, 419(1-2), 1-11.

Schultheiss, N. and A. Newman, 2009, Pharmaceutical Cocrystals and Their Physicochemical Properties. Cryst, Growth

Des., 9, 2950–2967.

Sekhon, B., 2009, Pharmaceutical Co-crystals—a review, Ars Pharm., 50, 99–117.

(a)

(6)

Storey, R. A. and I. Ymen, 2011, Solid State

Characterization of Pharmaceuticals,

Blackwell Publish Ltd., London.

Umeda, Y., T. Fukami, T. Furuishi, T. Suzuki, K. Tanjoh, and K. Tomono, 2009, Characterization of Multicomponent Crystal Formed between Indomethacin and Lidocaine, Drug Dev. Ind. Pharm., 35, 843– 851.

Walsh R. D. B., M. W. Bradner, and S. Fleischman, 2003, Crystal Engineering of the Composition of Pharmaceutical Phases,

Chem. Comm., 4, 186–187.

Ziemmermann, B. and G. Baranovic, 2010, Thermal Analysis of Paracetamol Polymorphs by FT-IR Spectroscopies, J. Pharm. BioMed Anal, 54, 295-302.

Gambar

Gambar 1. Ko-kristal PA: OXA = 1:1 struktur hipotetik (a); difraktogram (b) dan termogram (c) (Karki dkk., 2009;
Gambar 3. Termogram hasil leburan PCA:OXA =  1:1.
Gambar 5. Difraktogram PCA (a); OXA (b);
Gambar 6. Difraktogram PCA bentuk 1 (a) dan hasil  kristalisasi (b).

Referensi

Dokumen terkait