• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN SIMBOLIK DAN PERLAWANAN PEREMPUAN DALAM NOVEL MY LECTURER MY HUSBAND KARYA GITLICIOUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEKERASAN SIMBOLIK DAN PERLAWANAN PEREMPUAN DALAM NOVEL MY LECTURER MY HUSBAND KARYA GITLICIOUS"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KEKERASAN SIMBOLIK DAN PERLAWANAN PEREMPUAN DALAM NOVEL

MY LECTURER MY HUSBAND KARYA GITLICIOUS SYMBOLIC VIOLENCE AND WOMEN’S RESISTANCE IN

“MY LECTURER MY HUSBAND” BY GITLICIOUS

Tania Intan

Departemen Susastra dan Kajian Budaya, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung-Sumedang km. 21,7 Jatinangor

Telp: 081285319071 Pos-el: [email protected]

(Makalah diterima tanggal 12 Desember 2020 — Disetujui tanggal 18 Mei 2021)

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk membongkar dan membincangkan isu kekerasan

simbolik dan perlawanan perempuan dalam novel My Lecturer My Husband karya Gitlicious. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan kritik sastra feminis. Data berupa kata, frasa, dan kalimat dikumpulkan dengan teknik simak catat setelah dilakukan pembacaan tertutup. Data selanjutnya diklasifikasi, diinterpretasi, dan dikaji dengan teori-teori yang relevan serta hasil dari penelitian terdahulu. Landasan teoretis utama yang diapropriasi berasal dari Bourdieu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kekerasan simbolik dalam novel My Lecturer My Husband berlaku pada tiga tataran yaitu akademis, pernikahan, dan keluarga. Kekerasan simbolik terjadi karena adanya ideologi patriarkis yang memberikan pengaruh dalam menentukan peran dan posisi perempuan sebagai pihak yang tersubordinasi. Perlawanan yang dilakukan tokoh perempuan dalam menghadapi kekerasan simbolik terutama berbentuk verbal (hujatan, nama panggilan, pembalikan kata) tanpa didukung dengan tindakan yang memadai sehingga tidak berdampak. Selain itu, perlawanan juga tidak efektif karena ada pertimbangan kepatuhan perempuan pada nilai tradisional dan rasa cinta pada pasangan.

Kata Kunci: kekerasan simbolik, perlawanan perempuan, kritik sastra feminis

Abstract: This research is aimed at uncovering and discussing the issue of symbolic violence and women's resistance in Gitlicious's My Lecturer My Husband novel. The method used is descriptive qualitative with a feminist literary criticism approach. Data in the form of words, phrases, and sentences were collected using the note-taking technique after a closed reading. The data are then classified, interpreted, and reviewed with relevant theories and the results of previous research. The main theoretical basis for appropriation is that of Bourdieu. The results of this study indicate thatthe symbolic violence in the novel My Lecturer My Husband occurs at three levels, namely academics, marriage, and family. Symbolic violence occurs because of the patriarchal ideology that has an influence in determining the role and position of women as subordinate parties. The resistance carried out by female characters in facing symbolic violence is mainly in the form of verbal (blasphemy, nicknames, word reversals) without being supported by adequate actions, so that it does not have much impact. In addition, resistance is also ineffective because there are women’s considerations of adherence to traditional values and love for partner.

(2)
(3)

PENDAHULUAN “Dosen itu selalu benar dan suami itu berkuasa. Kalau dosen sekaligus suami? Kelar hidup lu.”

(Gitlicious, 2017, hlm. sampul)

Tulisan tersebut tertera pada sampul novel berjudul My Lecturer My Husband ‘Dosenku Suamiku’ (2017) karya Gitlicious, sebuah novel best-seller yang telah dibaca sebanyak 5,6 juta kali pada platform Wattpad. Novel yang dipilih sebagai objek formal penelitian ini berkisah tentang seorang mahasiswi semester enam bernama Inggita Almira Arundati yang bermasalah dengan Sadewa Bentara Arya, dosennya yang kaku dan galak sehingga dijuluki ‘kanebo kering’oleh para mahasiswanya. Permasalahan di antara kedua tokoh tersebut bertambah rumit ketika kemudian mereka dijodohkan dan langsung dinikahkan oleh orang tua masing-masing, padahal Inggit telah memiliki kekasih bernama Karatama Reinha.

Penautan tokoh dosen dan mahasiswa menjadi pasangan melalui perjodohan bukan merupakan gagasan baru di dalam dunia sastra kontemporer bergenre romance. Peneliti menemukan beberapa karya yang menggunakan mekanisme penokohan serupa, di antaranya adalah My Possessive Lecturer (Lian Fand, 2020), Pak Dosen Suamiku

(Irhen Dirga, 2019), Dosen vs Me (Indriani Sonaris, 2019), Istri Sang Dosen Killer (Annie Lee, 2019), Dosen Kutub (Roseney, 2019), serta Past and Present: You (Eva Kumiasari, 2019). Penggunaan tema, penokohan, dan permasalahan yang hampir serupa ini mengindikasikan bahwa relasi percintaan antara dosen dan mahasiswa merupakan tema yang disukai pembaca. Kesamaan lain yang juga mencolok dari karya-karya tersebut adalah posisi dosen yang merupakan privilege tokoh laki-laki, sementara tokoh perempuan selalu menjadi mahasiswi yang menempati posisi subordinat. Relasi yang timpang gender tersebut dapat diduga berpotensi menghadirkan permasalahan berupa kekerasan simbolik yang bersumber dari pandangan hegemonik sebagaimana terindikasi di dalam novel My Lecturer My Husband.

Sejumlah penelitian telah menelaah kekerasan simbolik dalam novel seperti yang dilakukan oleh Wahyuni dkk. (2019) yang mengkaji novel Suti dan Gumam Tebing Menoreh dengan menggunakan teori Bourdieu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya mekanisme kekerasan simbolik berupa eufimisme dalam bentuk belas kasih, pemberian, dan penolakan secara halus. Mekanisme sensorisasi terungkap melalui pelestarian moral positif kehormatan dan kesopanan.

(4)

Penelitian mengenai kekerasan simbolik juga dilakukan oleh Haryanto (2017) terhadap budaya pop Indonesia dengan teori Bourdieu. Kajian tersebut menunjukkan bahwa kesadaran perempuan telah terstruktur oleh ideologi patriarki. Untuk membongkarnya, diperlukan dekonstruksi budaya yang tidak sekadar membalikkan struktur dominasi, tetapi juga membangun tatanan alternatif di luar oposisi biner yang hierarkis.

Representasi kajian Farlina (2016) pada Novel Kronik Betawi adalah mempelajari bentuk kekerasan simbolik. Dalam penelitian tersebut, terungkap bahwa perempuan Betawi tidak dapat berkontribusi di ranah publik dengan leluasa karena opresi dari nilai adat dan religi. Namun, perempuan Betawi dapat berkontribusi dalam proses rekonstruksi identitas dan nilai budaya meskipun masih terjadi marginalisasi.

Tokoh perempuan tidak selalu digambarkan diam menghadapi opresi berujud kekerasan simbolik, sebagaimana yang dikaji dengan teori Foucault oleh Maryanti dkk. (2017) dalam novel berbahasa Sunda Sandekala karya Godi Suwarna. Dalam novel tersebut, tokoh perempuan diperlihatkan bersikap pasif dan dibungkam sehingga bentuk opresi yang dialami menjadi tidak jelas.

Pendisiplinan tubuh pada akhirnya dapat diatasi karena tokoh perempuan berusaha untuk keluar dari situasi inferior dan mengeksiskan tubuhnya di ruang publik.

Penelitian tentang resistensi dan negosiasi peran perempuan juga dilakukan Gunawiayu dkk. (2019) terhadap novel berbahasa Jerman berjudul Medea. Stimmen. Telaah dengan teori naratologi Bal ini menemukan bahwa sikap dan tindakan perempuan dalam resistansi dan menegosiasi perannya merupakan mekanisme untuk bertahan di dalam masyarakat patriarkal sekaligus untuk tetap memiliki otoritas terhadap dirinya.

Meskipun ada kemiripan pada permasalahan yang dikaji dan penggunaan teori Bourdieu di antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini, penelitian ini dapat dianggap memiliki nilai kebaruan. Kebaruan yang dimaksud meliputi objek formal kajian yang merupakan novel populer, serta kombinasi permasalahan di antara kekerasan simbolik dan perlawanan perempuan. Untuk membatasi wilayah kajian, tujuan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah membongkar dan membincangkan masalah kekerasan simbolik dan perlawanan perempuan di dalam novel My Lecturer My Husband karya Gitlicious.

(5)

LANDASAN TEORI

Selain menerapkan pendekatan kritik sastra feminis, pengkajian didasari oleh landasan teoretis dari Bourdieu. Dengan teori kekerasan simbolik (symbolic violence) dan teori-teori yang mendasarinya seperti habitus, modal, arena, Bourdieu (dalam Musdawati, 2017, hlm. 4) membongkar mekanisme kekerasan yang terjadi pada perempuan. Ia memandang kekerasan pada perempuan sebagai kekerasan sistemik yang sudah mengakar dan terjadi melalui proses panjang.

Menurut Bourdieu (2010, hlm. 54), kekerasan dan kekuasaan simbolik tidak menggunakan kekangan secara fisik, melainkan melalui dominasi atas pengakuan dan persetujuan yang terlepas dari kesadaran, untuk kemudian dijalankan sebagai sebuah habitus. Habitus sendiri didefinisikan Bourdieu (dalam Aune, 2011), sebagai mekanisme penataan yang muncul melalui para agen.

Kekerasan dapat terjadi baik dalam korelasi antarindividu maupun antarkelompok dari kelas sosial berbeda. Selain kekerasan fisik, fenomena yang mungkin berlangsung adalah kekerasan simbolik, yang menurut Bourdieu adalah kekerasan yang lembut. Dikatakan ‘lembut’ karena kekerasan tersebut berbentuk samar dan terselubung sehingga

tidak tampak sebagai sebuah kekerasan. Kekerasan simbolik mewujud pada doktrin, loyalitas, hadiah, pengakuan, balas budi, atau etika kehormatan (Wahyuni dkk, 2019, hlm. 129). Menanggapi kata “simbolik”, Boudieu (2010, hlm. 49) berargumentasi bahwa orang dapat menerka “kekerasan simbolik sama saja dengan meminimalkan peran kekerasan fisik”.

Wacana kekuasaan dan kekerasan simbolik meniscayakan pemahaman mengenai bahasa sebagai sistem simbol. Selain sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki peran potensial sebagai praktik kekuasaan. Bourdieu (1991, hlm. 165) berpandangan bahwa dengan simbol-simbol bahasa, ideologi yang terdapat di baliknya disemaikan secara perlahan dan tidak kentara. Bahasa juga dijadikan instrumen kekerasan untuk mendapatkan legitimasi dan memperebutkan kesempatan untuk mendefinisikan realitas. Dominasi terhadap simbol merupakan kekuasaaan yang dapat membuat orang mengenali dan mempercayai, memperkuat dan mengubah pandangan dunia.

Melalui kekuasaan simbolik, seseorang atau suatu kelompok dapat mengendalikan simbol dan mengonstruksi realitas melalui tata simbol tersebut. Dalam strata sosial, mereka berada pada posisi tertinggi berkat kepemilikan modal

(6)

ekonomi dan budaya. Ketika kuasa itu diterima begitu saja, mereka yang berada di tingkat rendah tidak menyadari bahwa kekerasan simbolik bekerja melalui simbol - simbol yang disosialisasikan. Kekuasaan bergerak menggiring mereka yang didominasi untuk mengikuti makna yang diproduksi berdasarkan kepentingan mereka yang mendominasi. Dominasi tersamar melalui cara yang halus (misalnya berupa sindiran) agar tidak dikenali sehingga korban tidak menyadari bahwa yang sedang terjadi adalah praktik kekuasaan. Alih-alih menolak, korban menerima praktik tersebut secara sukarela. Situasi itulah yang disebut Bourdieu (1991, hlm. 3939) sebagai kekerasan simbolik.

Selain kelas, gender merupakan kategori sosial yang membedakan masyarakat. Gender adalah konstruksi sosial yang mengatur peran, fungsi, dan posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pengalaman perempuan sehari-hari dibangun dengan dasar konstruksi gender yang mengatur bagaimana ia harus berperilaku dan mempresentasikan dirinya agar berterima. Sosialisasi nilai-nilai tersebut berlangsung sejak individu berada dalam keluarga dan berlanjut ketika berada dalam masyarakat, baik dalam institusi pendidikan maupun dalam kehidupan sosial secara umum.

Dalam menghadapi situasi tertentu, perempuan dapat bereaksi dengan cara menerima, bernegosiasi, atau memberontak. Pemberontakan, menurut Darma dalam Zuraida dkk (2013, hlm. 3) adalah suatu perlawanan atau hal-hal yang bersifat menentang terhadap sesuatu yang dianggap menyimpang dari peraturan maupun penyalahgunaan kekuasaan yang telah ada. Perlawanan dapat dilakukan oleh perempuan karena dipicu oleh relasi gender yang timpang, yang diwarnai oleh ketidakadilan dalam hubungan yang erat dengan kekuasaan.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan kritik sastra feminis. Pendekatan tersebut diaplikasikan karena teks yang dikaji merupakan novel yang ditulis oleh pengarang perempuan, dibaca (pada umumnya) oleh perempuan, dituturkan oleh narator perempuan, dan membincangkan terutama masalah perempuan. Showalter dalam Wiyatmi (2012, hlm. 12) menyatakan ada dua jenis kritik sastra feminis, yaitu kritik yang melihat perempuan sebagai pembaca dan kritik yang melihat perempuan sebagai penulis.

Untuk penelitian ini, pendekatan pertama yang melihat perempuan sebagai

(7)

pembaca akan digunakan. Reading as women berfokus pada citra dan stereotip perempuan di dalam karya sastra. Perempuan memang merupakan sosok yang menarik dan potensial untuk diperbincangkan (Oktasari, 2020, hlm. 42), dan melalui karya sastra, pembaca dapat memotret berbagai sisi perempuan. Dalam pendekatan feminis, analisis teks sastra tidak hanya mempelajari penggunaan unsur-unsur konstruktif teks tetapi juga menyertainya dengan kesadaran akan adanya ketimpangan antara perempuan dan laki-laki (Priyatna & Budhyono, 2020, hlm. 194). Selain itu, hal yang menjadi perhatian adalah hasrat untuk melakukan resistensi terhadap ketimpangan tersebut.

Objek penelitian yang dipilih adalah novel My Lecturer My Husband karya Gitlicious yang terbit tanggal 20 Oktober 2017. Buku setebal 256 halaman tersebut diterbitkan oleh RDM Publishers dan oleh penerbit Buku Kita pada tahun 2018. Tokoh utama novel ini (Pak Arya) diciptakan Gitlicious yang terinspirasi dari sosok penyanyi EXO (grup boyband Korea). Karya yang terbit tahun 2017 tersebut diangkat ke layar web series oleh MD Entertainment pada bulan Desember tahun 2020 dengan diperankan oleh Reza Rahardian sebagai Pak Arya dan Prilly Latuconsina sebagai Inggit. Selain novel

tersebut, Gitlicious telah menulis sejumlah karya yang juga digemari pembacanya seperti Looking for Mate (2020), Ombak di Palung Hati (2018), Dua Sisi (2017), Bad Series (2017), dan My Playboy Boss (2017).

PEMBAHASAN

Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai cerita dan permasalahan yang dikaji, pembahasan ini dibagi atas tiga bagian, yaitu narasi percintaan, representasi kekerasan simbolik, dan perlawanan perempuan sebagai ekspresi subjektif menghadapi kekerasan simbolik.

Narasi Percintaan dalam Novel My

Lecturer My Husband

Kisah ini diawali oleh situasi yang dialami Inggit yang mendapat nilai C pada mata kuliah yang diampu seorang dosen muda bernama Pak Arya. Inggit tidak menerima nilai tersebut karena merasa selalu hadir dalam kuliah dan telah bekerja dengan baik. Ia pun menemui dosen tersebut untuk meminta perbaikan. Namun, menurut Inggit, Pak Arya tampak senang mempersulit dan membuatnya kesal.

Saat libur semester, Inggit pulang ke rumah orang tuanya di Malang. Ia terkejut saat tahu dijodohkan dan akan

(8)

dinikahkan dua minggu berikutnya. Inggit lebih terkejut lagi saat mengetahui bahwa calon suaminya adalah Pak Arya yang merupakan anak sahabat ayahnya. Karena tidak ingin mengecewakan orang tua masing-masing, keduanya pun terpaksa menerima perjodohan tersebut.

Saat tinggal bersama, mereka selalu bertengkar. Inggit berusaha menyembunyikan pernikahannya di hadapan teman-temannya maupun Kara, kekasihnya. Namun, lama kelamaan semua mengetahui kenyataan tentang pernikahan Inggit dan Pak Arya.

Saat sang mertua meninggal, Inggit menyadari bahwa Pak Arya memiliki sisi lembut dan laki-laki itu membutuhkannya sebagaimana dirinya juga membutuhkan sang dosen. Dalam beberapa kesempatan lain, laki-laki itu menunjukkan sisi romantisnya. Hubungan mereka pun membaik.

Setelah Inggit lulus sidang sarjana, Pak Arya membantu istrinya itu belajar untuk menyiapkan studi lanjut S2 di luar negeri bersamanya yang akan menempuh S3. Namun, kemudian Inggit hamil tiga anak kembar yang membuatnya tidak dapat pergi bersama. Inggit merelakan beasiswanya dan memilih fokus mengurus anak-anak mereka. Setelah suasana menjadi lebih stabil, Inggit melanjutkan

studi S2nya dan kembali diajar oleh Pak Arya, suaminya.

Secara keseluruhan, alur cerita yang terdiri dari 25 bab ini bergerak progresif, mulai dari masa kuliah Inggit, pernikahan dengan Pak Arya, masa pembimbingan skripsi, saat hamil dan memiliki anak, hingga saat kembali melanjutkan studi S2.

Seluruh cerita dikisahkan dengan sudut pandang orang pertama dari narator-tokoh utama Inggit. Ia menyebut dirinya ‘gue’ dan menggunakan gaya bahasa cenderung informal, seperti sedang bercerita pada teman-temannya, yang terdiri dari Rara, Joana, Iim, Hanif, dan Altan, yang tergabung dalam the Goks Gang.

Dari judul dan kisah novel ini telah terlihat jelas latar yang mendominasi cerita adalah lingkungan kampus yang ditunjukkan dengan ruang kelas, kantin, ruang dosen, tempat parkir, serta tempat tinggal para mahasiswa berupa apartemen. Latar tempat itu menunjukkan strata sosial menengah ke atas, di kota Jakarta dan Amsterdam (saat studi lanjut). Latar kota Malang sebagai tempat asal Inggit dikisahkan hanya sekilas saat ia pulang liburan dan dinikahkan secara sederhana dengan Pak Arya.

Tema utama yang mendasari cerita ini selain permasalahan dalam ruang

(9)

akademis adalah percintaan di antara Inggit dengan Pak Arya. Dalam narasi percintaan itulah, permasalahan kekerasan simbolik dan perlawanan perempuan dalam novel My Lecturer My Husband dibingkai.

Representasi Kekerasan Simbolik

Dalam novel My Lecturer My Husband, sesuai dengan ‘peringatan’ yang telah disampaikan pengarang pada lembar sampul, tergambar adanya relasi kuasa yang bersifat cenderung abusive dari pihak dominan pada sang subordinat. Relasi semacam itu setidaknya terjadi dalam dua konteks (atau arena dalam persepsi Bourdieu), yaitu konteks akademis (dosen-mahasiswa) dan konteks pernikahan (suami-istri).

Modal budaya (cultural capital) berupa posisi Pak Arya sebagai dosen membuatnya memiliki peran penting dan kedudukan sosial di institusi pendidikan yang terhormat. Situasi ini merefleksikan pandangan Bourdieu dalam Aune (2011, hlm. 429), bahwa ruang akademis pun merupakan arena perebutan status dan dinamika politik yang berpengaruh. Megan (2017) menjelaskan deklarasi Bourdieu bahwa “all pedagogic action is objectively symbolic violence insofar as it is the imposition of a cultural arbitrary by an arbitrary power” yang berarti ‘semua

tindakan pedagogik merupakan kekerasan simbolik yang adalah pemaksaan suatu budaya secara sewenang-wenang oleh kekuasaan yang sewenang-wenang’.

Pada novel tersebut, kekerasan simbolik dalam novel terindikasi dilakukan oleh sang dosen pada tokoh Inggit sebagai salah satu mahasiswanya. Sebagai dosen, Pak Arya ditampilkan memiliki stereotipe arogan, yang ditunjukkan dengan perilaku subjektif saat memberi nilai, memberi tugas secara berlebihan, dan sering menyuruh mahasiswanya datang sendiri saja ke ruangan kantornya. Tindakan-tindakan tersebut dilegitimasi oleh modal budaya yang dimiliki tokoh laki-laki itu sebagai seorang dosen yang memegang otoritas tersendiri.

Untuk menunjukkan hierarki kuasa, dosen tersebut juga selalu menggunakan tata bahasa yang formal cenderung imperatif agar mahasiswa memahami relasi mereka yang resmi dan berjarak, “Kamu WA saya” (Gitlicious, 2017, hlm. 4).“Kalau kamu mau dapet C semester depan, silahkan” (Gitlicious, 2017, hlm. 26), serta “Nanti ke ruangan saya” (Gitlicious, 2017, hlm. 5675). Namun, narator tidak memperlihatkan jika tokoh dosen tersebut bersikap serupa pada mahasiswanya yang lain.

(10)

Gue gak tau dosa gue sebanyak apa sampe dapet nilai C di mata kuliah dengan 3 SKS […]. Gue merasa ini semua gak adil. Bayangin aja dari empat puluh enam mahasiswa yang mengambil mata kuliah itu gue satu-satunya orang yang dapet nilai C. Padahal gue udah ngumpulin semua tugas dan gak pernah absen.

(Gitlicious, 2017, hlm. 1)

Seperti tidak memiliki pilihan, Inggit sebagai perempuan-mahasiswi mau tidak mau menerima posisinya sebagai makhluk kelas dua yang patuh pada laki-laki-dosen itu. Bentuk internalisasi kepatuhan tersebut diterima sebagai kewajaran. Kondisi ini pun sudah dapat digolongkan ke dalam bentuk kekerasan simbolik.

Sebagai dosen, Pak Arya berada pada level dominan sehingga ia selalu menyebut dirinya “Saya” dengan tonalitas tertentu sebagai subjek yang penting dan berkuasa, dan menyebut Inggit (dan mahasiswa lainnya) dengan panggilan “Kamu” yang menunjukkan subordinasi. Dalam konteks kesetaraan, sebenarnya ada sebutan “Anda” atau “Saudara” yang lebih ramah untuk digunakan dalam konteks akademis.

Posisi atasan terhadap bawahan tersebut memungkinkan Pak Arya untuk memberi perintah yang tidak dapat dibantah. Superioritas tersebut juga memungkinkan baginya mendapatkan ‘upeti konkret’ berupa sebuah dompet berharga mahal dari Inggit sebagai ‘tanda

terima kasih’ karena telah diberi kesempatan untuk memperbaiki nilai, dan kepatuhan perempuan itu padanya sebagai ‘upeti abstrak’.

“Kamu yang kemarin kan? Bikin aja makalah tentang mata kuliah saya. Tema bebas, minimal tiga puluh halaman. Semua harus rapih dengan format spasi dan huruf seperti skripsi. Kalau gak tau formatnya, tanya senior kamu yang lagi skripsi, dan besok pagi udah ada di meja saya,” kata dia tanpa jeda. (Gitlicious, 2017, hlm. 7) Kutipan tersebut memperlihatkan situasi saat Pak Arya yang dominan memerintahkan Inggit untuk mengerjakan tugas yang cukup banyak. Tokoh mahasiswa ini pun tidak memiliki alasan untuk tidak patuh menghadapi sanksi yang menurutnya “berat” dan “gak masuk akal” tersebut. Dalam hal itu, kekerasan simbolik dilembagakan lewat perantaraan kesepakatan yang tidak dapat dilakukan oleh si terdominasi kepada si dominan, ketika si terdominasi tidak memiliki apa pun kecuali instrumen pengetahuan yang juga dimiliki oleh si dominan (Bourdieu, 2010, hlm. 5051).

Kekerasan simbolik berikutnya terjadi dalam ranah rumah tangga yang dilakukan oleh suami pada istri. Sebagai kepala rumah tangga, Pak Arya merasa memiliki pilihan dalam mengendalikan dan menjalankan kekuasaannya. Ia juga merasa memiliki kuasa untuk membuat sang istri mematuhi perintahnya untuk

(11)

mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sebagai suami, ia tidak menganggap perlu untuk menyampaikan rencana pergi ke suatu tempat atau meminta izin pada istrinya. Sementara itu, ia mewajibkan Inggit untuk melapor dan meminta izin padanya jika akan bepergian.

Karena merasa terintimidasi bahkan setelah menikah beberapa bulan dengan dosennya, Inggit tidak dapat melepaskan diri dari superioritas sang suami itu yang ditunjukkannya dengan panggilan ‘Pak Arya’ alih-alih ‘mas’ atau ‘abang’. Baru setelah hubungan mereka menjadi lebih intim dan memiliki anak, mereka pun saling memanggil ‘ayah-bunda’. Meskipun demikian, gambaran relasi kuasa yang timpang masih terlihat dengan jelas.

Perempuan yang telah dikonstruksi sebagai makhluk penurut pun dilarang keluarganya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan sifat-sifat keperempuanan yang telah dilekatkan kepadanya. Sebagaimana dinyatakan Musdawati (2017, hlm. 11), anak perempuan telah diajarkan cara bertutur kata dan berperilaku lembut, sehingga ketika berkeluarga, ia akan menurut pada suaminya.

Dalam novel My Lecturer My Husband, terungkap bahwa di dalam buku hitamnya Pak Arya merencanakan untuk

memiliki lima orang anak dari sang istri. Akibatnya, kehamilan tiga anak kembarnya di kemudian hari terbukti menjadi hambatan bagi Inggit untuk melanjutkan studi S2 di luar negeri dan membuatnya mengorbankan beasiswa. Sementara itu, sang suami tetap bersekolah S3 sesuai dengan rencana semula.

“Saya pergi ke sini untuk ada di samping Mas, bukan untuk kuliah. Meskipun memang awalnya saya juga ingin menuntut ilmu di luar negeri, tapi saya sadar sekarang prioritas saya adalah mereka,” kata gue sambil mengusap perut gue yang sudah sangat membesar. (Gitlicious, 2017, hlm. 248)

Perempuan selalu diidentikkan dengan mengasuh anak karena kemampuan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang alamiah melekat padanya. Pak Arya pun tidak luput menyosialisasikan gagasan tersebut pada Inggit meskipun tersamar di dalam perilaku yang dianggap romantis, yaitu ketika menggendong sang istri di punggungnya saat sepatu Inggit rusak.

“Di bawah telapak kaki perempuan ada surga, gak boleh kotor.”

“Bukannya surga ada di balik telapak kaki ibu?” tanya gue bingung.

“Kamu juga calon ibu, bukan? Ayo cepet saya udah pegel nih.”

Pipi gue bersemu merah karena ucapannya barusan, gue pun akhirnya memposisikan tubuh gue untuk digendong belakang sama dia. (Gitlicious, 2017, hlm. 9495)

(12)

Mitos positif tentang ‘surga terletak di bawah kaki ibu/perempuan’ tersebut sebagaimana dinyatakan Darwin yang dikutip Haryanto (2017, hlm. 98) dimanfaatkan laki-laki sebagai alat untuk menyenangkan perempuan sekaligus pembungkus nilai patriarki yang mewarnai hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat . Pipi Inggit yang memerah di dalam kutipan tersebut menunjukkan bagaimana perempuan itu merasa tersanjung karena teperdaya oleh kata-kata suaminya. Ia menginternalisasi ide bahwa ia dihargai oleh laki-laki itu sebagai (calon) ibu dari anak-anak mereka. Situasi ini mendeskripsikan gagasan Bourdieu (2010, hlm. 13) bahwa kekuatan tatanan maskulin terlihat pada fakta bahwa tatanan itu hadir dengan justifikasi/pembenaran.

Dalam perspektif Bourdieu, habitus mengasuh anak yang dimiliki perempuan berasal dari pembatinan struktur obyektif selama hidupnya yang diajarkan oleh keluarga. Dengan demikian, seolah-olah tidak ada keharusan bagi Pak Arya untuk mengasuh ketiga anaknya karena itu adalah tugas Inggit sebagai ibu dan istri. Perempuan ini pun dengan penuh kerelaan mengorbankan beasiswa yang telah didapatkannya dengan susah payah.

Pak Arya juga mengubah tatanan apartemen Inggit tempat mereka berdua

tinggal setelah menikah sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya tanpa meminta izin atau bernegosiasi terlebih dahulu. Ia bahkan mengatur gaya berpakaian istrinya yang akan pergi ke pesta dan melarangnya minum. Tokoh laki-laki ini digambarkan memiliki kekuatan simbolik, yang dijelaskan Bourdieu (2010, hlm. 54) sebagai suatu bentuk kekuasaan yang diberlakukan atas tubuh secara langsung dan bekerja seperti sihir. Kekuasaan itu berlaku tanpa menggunakan kekangan atau kekerasan fisik.

“Saya belum memberikan ijin kalau kamu ingat,” kata Pak Arya yang membuat gue membalikkan tubuh gue untuk menghadap dia. “Bapak ngancem saya?” tanya gue gak abis pikir.

“Anggap saja ya,” timpal dia dengan kedua tangan bersidekap di depan dada. (Gitlicious, 2017, hlm. 65)

Dari gestur dan ujaran-ujarannya, tokoh laki-laki itu juga memperlihatkan kekuasaannya yang tidak dapat diintrusi, seperti menahan dompet dan telepon genggam Inggit saat sang istri pulang terlalu malam setelah pesta dengan teman-temannya.

Dalam banyak situasi, ujarannya sering berupa kalimat perintah “tidur, sudah malam” (Gitlicious, 2017, hlm. 64), “berhenti panggil saya ‘bapak’ atau ‘om’” (Gitlicious, 2017, hlm. 65), dan ancaman “mau saya kunciin di luar

(13)

sampai pagi?” (Gitlicious, 2017, hlm. 64). Pak Arya juga ternyata tidak ragu untuk mengunci Inggit di dalam mobil saat (calon) istrinya itu merajuk. Hal itu membuktikan bahwa kekerasan simbolik terjadi selain melalui ujaran juga dapat berbentuk tindakan.

“Kalau gak mau turun kamu saya kunci di dalem,” kata Pak Arya, setelahnya dia menutup lagi pintu mobilnya dan berjalan menjauh. Gue masih diam dan belum beranjak sampai gue mendengar suara khas suara pintu mobil terkunci.

Kurang ajar, dia beneran ngunci gue! (Gitlicious, 2017, hlm. 28)

Selain konteks akademis dan pernikahan tersebut, kekerasan simbolik juga dialami oleh Inggit di dalam konteks hubungan keluarga yang dilakukan orang tuanya melalui perjodohan. Sebagai anak yang patuh, Inggit tidak dapat menolak karena sejak lahir perempuan telah diikat oleh nilai dan norma dalam masyarakat. Perempuan juga telah dikonstruksi sebagai makhluk yang penurut, lemah lembut, dan pasif sehingga bila ia menentang perempuan itu dianggap melanggar (Musdawati, 2017, hlm. 10).

“Papah udah tua, gak selamanya ada terus-terusan untuk kamu. Papah percaya sama Arya. Dia yang terbaik untuk kamu, jadi terima perjodohan ini, biar kami lebih tenang untuk melepas kamu.”

Gue mau nangis sekarang, paling benci kalau bokap udah ngomong kayak gini. […] “Lagian sebenernya mau kamu siap atau gak undangannya juga udah dicetak, dan akan disebar besok,” kata nyokap.

(Gitlicious, 2017, hlm. 2324)

Dengan ilustrasi bahwa di daerah Malang (tempat tinggal orang tuanya) perjodohan merupakan hal biasa dan bahkan kedua orang tuanya pun merupakan produk dari perjodohan, Inggit tidak dapat melawan rencana pernikahannya karena takut durhaka. Hal itu sesuai dengan hasil penelitian Farlina (2016) bahwa perempuan mengalami kekerasan simbolik di antaranya melalui nilai tradisional dan religi. Dalam perspektif Bourdieu (2010, hlm. 56), pihak yang terdominasi kerap menjadi korban ilusi dengan mempercayai bahwa kekerasan simbolik dapat dikalahkan dengan kesadaran dan keinginan. Logika kewajiban (anak pada orang tua) dalam hal ini menyatu dengan pengalaman rasa hormat yang tidak dapat dilawan oleh Inggit.

Dari pembahasan ini, dapat diketahui bahwa kekerasan simbolik dalam novel My Lecturer My Husband terjadi karena adanya nilai-nilai patriarkis yang memberikan pengaruh dalam menentukan peran dan posisi perempuan menjadi termarginalisasi dan tersubordinasi. Kekerasan simbolik seringkali dianggap sebagai kekerasan murni yang bersifat “spiritual” dan dengan demikian tidak dianggap memiliki efek nyata (Bourdieu, 2010, hlm. 49). Namun,

(14)

dalam novel terungkap adanya tendensi perlawanan yang ditunjukkan oleh tokoh perempuan, sebagaimana yang akan dibahas dalam bagian berikut ini.

Perlawanan Perempuan sebagai

Ekspresi Menghadapi Kekerasan

Simbolik

Dalam penelitian Zuraida dkk. (2013), diungkapkan bahwa perempuan selalu dipandang sebagai sosok yang lemah dan hal tersebut disebabkan oleh konstruksi sosial yang menganggap bahwa perempuan berkarakter irasional dan emosional sehingga tidak dapat menempati posisi penting dalam masyarakat.

Inggit yang ditampilkan sebagai perempuan muda yang cerdas dan berani, memiliki kebiasaan berbicara ceplas-ceplos. Oleh karena itulah, kecenderungan perlawanan yang ditampilkan tokoh perempuan tersebut mengarah dan terbatas hanya pada pemberontakan secara lisan, berupa pemberian julukan, kutukan, dan perdebatan dengan dosen sekaligus suaminya, Pak Arya. Alih-alih bersikap asertif dengan cara bertanya langsung atau menghadapi permasalahannya dengan dewasa, Inggit justru lebih kerap ngeroweng ‘mengeluh’ (Gitlicious, 2017, hlm. 1) pada teman-temannya, the Goks Gang.

“Setan emang itu dosen satu!” umpat gue yang mengundang teguran dari Hanif. “Setan itu harus dikasih sesajen, Git, mending lo kasih dia sesuatu deh biar agak melunak sedikit dia. biar nilai lo aman juga,” usul Altan yang diangguki oleh Juna dan Yuda.

“Gue bawain menyan?” tanya gue yang otomatis membuat Joana menoyor kepala gue.” (Gitlicious, 2017, hlm. 13)

Di belakang sosok yang tidak disukainya itu, Inggit juga menggunakan panggilan-panggilan negatif dan pejoratif pada Pak Arya, yaitu: “Arya” (tanpa Pak) (Gitlicious, 2017, hlm. 9), “dosen tukang bikin susah” (Gitlicious, 2017, hlm. 9),“setan” (Gitlicious, 2017, hlm. 13), “kanebo kering” (Gitlicious, 2017, hlm. 6), “killer” (Gitlicious, 2017, hlm. 1), “ga woles” (Gitlicious, 2017, hlm. 3), “random” (Gitlicious, 2017, hlm. 2), “Om” (Gitlicious, 2017, hlm. 26). Kadang-kadang Inggit juga melancarkan kata-kata kutukan baik dalam hati maupun ketika sedang mengeluh pada teman-temannya.

Mau lo banyak urusan kek, kayang di tengah jalan kek, gue gak peduli. (Gitlicious, 2017, hlm. 14)

“Bodo amat sih gue kesel sama dia, gue sumpahin hidupnya susah dan gak laku-laku ntar!” kata gue.

(Gitlicious, 2017, hlm. 18)

Selain mengadukan masalahnya pada teman-teman dan ibunya, Inggit juga kerap mengeluh di dalam hati, yang di dalam novel ditunjukkan dengan tulisan

(15)

berkarakter italik, seperti ‘Hhhh … gue mau nangis aja rasanya.’ (hlm. 4), ‘Rasanya gue mau jambak rambutnya sekarang juga’ (Gitlicious, 2017, hlm. 7), ‘Kurang ajar, dia beneran ngunci gue!’ (Gitlicious, 2017, hlm. 28), ‘Nikah gak membuat dia berubah sama sekali.’ (Gitlicious, 2017, hlm. 49). Keluhan ini lebih banyak dipendam dalam hatinya yang berarti tidak dapat disuarakan. Karena tidak disuarakan, maka secara otomatis, Pak Arya tidak memahami isi hati Inggit sehingga tidak ada negosiasi yang bermakna di dalam relasi mereka.

Selain itu, tokoh perempuan tersebut juga hanya dapat menunjukkan bahasa tubuh yang mengindikasikan rasa tidak suka pada dosen sekaligus suaminya tersebut, seperti “gak bisa nahan air mata karena saking keselnya sekarang” (Gitlicious, 2017, hlm. 25), “tidur memunggungi Pak Arya” (Gitlicious, 2017, hlm. 111), “mencebikkan bibir” (Gitlicious, 2017, hlm. 120). Sesekali saja, Inggit juga melakukan pembalikan kata-kata dan berani melayani perdebatan Pak Arya jika hanya sedang berdua.

“Berapa kali saya harus mengulang ke kamu kalau jangan panggil saya Om kalau di luar!”

“Ini di dalem mobil, Om gak sepesifik menyebut kata di luar yang Om maksud itu di mana. Jadi menurut saya sah aja saya manggil Om sekarang.”

Gue bales deh tuh! Rasain lo! Emang lo doang yang bisa!

(Gitlicious, 2017, hlm. 27)

Dalam situasi tertentu, Inggit memberanikan diri untuk berani memprotes dan mengemukakan isi hatinya tentang laki-laki itu. Perlawanan tersebut merupakan upaya yang dilakukan perempuan dalam memainkan habitus dan modal yang dimilikinya (Musdawati, 2017, hlm. 11).

“Ingatan kamu lemah? Kata Pak Arya yang membuat gue berdecak.

“Mas ngatain saya sebagai suami apa dosen?” tanya gue. (Gitlicious, 2017, hlm. 98)

Habitus yang dimiliki Inggit dalam hal ini berupa bentuk sikap pemberani hasil pengasuhan orang tuanya dan pendidikan yang baik.

“Bapak selalu mikirin diri sendiri tanpa mikir apa pun tentang saya. Mungkin setelah ini enak karena terlepas dari segala tuduhan yang dilayangkan ke Bapak, tapi saya? Gimana saya harus ngejelasin ke temen-temen dan juga pacar saya?” Gue dengan sesenggukan. (Gitlicious, 2017, hlm. 58)

Namun, Inggit tidak selalu melayani pancingan untuk berdebat dari laki-laki itu. Sesekali ia memilih “untuk menghindari perdebatan […] masuk ke dalam kamar” (Gitlicious, 2017. hlm. 191). Ketidaksigapan tokoh perempuan menghadapi pasangannya juga tergambar dalam berbagai situasi. Pada suatu saat, tokoh perempuan seperti diberi hak oleh

(16)

calon suaminya untuk memilih cincin pernikahan. Namun, tetap saja, pada akhirnya, yang terjadi adalah Pak Arya yang memilih model cincinnya. Dengan demikian, kebebasan yang dimiliki perempuan itu terasa sumir.

“Cepet pilih,” kata Pak Arya gak sabaran. […]

“Yang nomor dua, Mbak,” jawab gue. “Bungkus yang nomor tiga,” kata Pak Arya sambil ngeluarin kartu miliknya. Kalau dia yang milih ujungnya, kenapa harus ngajak gue ke sini? (Gitlicious, 2017, hlm. 28)

Meskipun ditampilkan sebagai sosok berkarakter keras kepala dan cukup berani melawan, ada kelemahan-kelemahan tokoh perempuan yang tidak disembunyikan oleh pengarang. Inggit misalnya bahkan diperlihatkan tidak memiliki cukup kepercayaan diri untuk memilih gelang untuknya sendiri. Ia tidak memiliki estimasi diri yang cukup untuk hal yang sederhana tersebut.

Ada beberapa jepitan dan ikat rambut yang terbuta dari kerang yang menarik. Gue sebenarnya mau beli tapi bingung karena banyak yang bagus […] penilaian orang itu penting untuk menjadi faktor gue jadi beli apa enggak. […] Gue bahkan belum membeli satu barang pun karena gak punya penilaian dari orang lain. (Gitlicious, 2017, hlm. 189)

Dari paparan ini diketahui bahwa sebagaimana dalam penelitian Maryanti (2017), tokoh perempuan termotivasi untuk melakukan perlawanan menghadapi ketidakadilan yang dialaminya. Namun,

perlawanan itu menjadi tidak tampak berarti karena tokoh tersebut digambarkan masih belum memiliki modal yang cukup untuk dapat melawan. Posisi perempuan dalam novel ini sama halnya dengan pola pendisiplinan tubuh yang dinyatakan Bartky (1994, hlm. 9394), yaitu docile bodies ‘tubuh yang patuh’.

Meskipun ditunjukkan memiliki karakter pemberontak dan menunjukkan upaya resistensi dan perlawanan perempuan terhadap kekerasan simbolik yang dialamatkan padanya, tokoh Inggit tidak dapat berkontribusi secara optimal di ranah publik. Dalam pandangan Bourdieu (2010, hlm. 55), meskipun “tidak menyukai kondisinya dan tubuhnya menolak”, perilaku perempuan sebagai pihak yang didominasi justru memperkuat dominasi yang dialaminya. Pada akhirnya, Inggit pun harus menyesuaikan diri dengan peran gendernya di masyarakat yaitu menjadi istri yang patuh pada suami dan ibu yang penyayang serta rela berkorban untuk anak-anaknya. Hal tersebut dapat dipahami terjadi karena kepatuhan perempuan pada konstruksi normatif berupa nilai-nilai tradisional dan pertimbangan tentang rasa cinta pada pasangannya.

(17)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam sebuah novel populer berjudul My Lecturer My Husband, kekerasan simbolik terjadi dalam tiga tataran arena, yaitu akademis, pernikahan, dan keluarga. Kekerasan simbolik terjadi karena adanya ideologi patriarkis yang memberikan pengaruh dalam menentukan peran dan posisi perempuan sebagai pihak yang tersubordinasi. Perlawanan yang dilakukan tokoh perempuan dalam menghadapi kekerasan simbolik terutama berbentuk verbal (hujatan, nama panggilan, pembalikan kata) tanpa didukung dengan tindakan yang terukur dan memadai sehingga tidak terlalu berdampak. Selain itu, perlawanan juga tidak efektif karena ada pertimbangan kepatuhan pada nilai tradisional dan rasa cinta pada pasangan.

Penelitian ini berimplikasi pada menguatnya gagasan pelanggengan dominasi patriarki melalui institusi-institusi struktural seperti sekolah, pernikahan, dan keluarga. Meskipun terlihat ada upaya deliberasi tokoh perempuan dalam menentukan pilihan, tetapi pengarang tidak benar-benar mendukungnya untuk bergerak di ranah publik sebagaimana ditunjukkan oleh penentuan nasibnya yang masih berada di tangan laki-laki, baik sebagai dosen, suami, maupun ayah.

Penelitian ini belum sepenuhnya dikatakan tuntas karena masih menyisakan celah untuk penelitian lanjutan. Peneliti menyarankan pendekatan lain yang dapat digunakan untuk mengupas novel My Lecturer My Husband maupun karya populer kontemporer dengan tema serupa lainnya, misalnya dengan psikologi sastra atau sosiologi sastra.

DAFTAR PUSTAKA

Aune, J. A. (2011). The Scholastic Fallacy, Habitus, and Symbolic Violence: Pierre Bourdieu and the Prospects of Ideology Criticism. Western Journal of Communication. 75 (4), 429 - 433.

Bartky, S. L. (1994). “Foucault,

Femininity, and the Modernization of Patriarchal Power”, dalam M.D Tietjens (Ed.), During Feminist Social Tought: A Reader. London: Routledge.

Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Cambridge: Polity Press.

Bourdieu, P. (2010). Dominasi Maskulin. Yogyakarta: Jalasutra.

Farlina, N. (2016). Representasi Kekerasan Simbolik terhadap Perempuan Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala. Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 3(1), 52 - 66.

Gitlicious. (2017). My Lecturer My Husband. Jakarta: RDM Publishers.

(18)

Gunawiayu, A.; Purnomowulan, N.R.; Wardiani, S.R. (2019). Resistensi dan Negosiasi Peran Perempuan dalam Roman Medea. Stimmen Karya Christa Wolf.

Metahumaniora. 9 (2). 276 - 290. Haryanto, S. (2017). Kekerasan Simbolik

Berbasis Gender dalam Budaya Pop Indonesia. Prosiding. Seminar Nasional tentang membangun Etika Sosial Politik menuju Masyarakat yang Berkeadilan.

Maryanti, S.; Rahayu, L.M.; Aksa, Y. (2017). Perlawanan Perempuan dalam Novel Sunda Sandekala Karya Godi Suwarna. Jurnal Pesona. 3 (2). 174 - 188.

Musdawati. (2017). Kekerasan Simbolik dan Pengalaman Perempuan

Berpolitik di Aceh. Jurnal Justisia. 2(2), 1 - 16.

Oktasari, A. F. & Kasanova, R. (2020). Perempuan dalam Novel Perempuan Kembang Jepun Karya Lan Fang. Jurnal Bébasan. 7 (1). 40 - 54. Priyatna, A. & Budhyono, R. (2020).

Subjektivitas Perempuan dalam Dua Cerpen Karya Margaret Atwood dan Elizabeth Taylor. Aksara. 32 (2), 191 – 208.

Wahyuni, S.; Supratno, H.; Kamidjan. (2019). Kekerasan Simbolik dalam Novel Indonesia. Retorika: Jurnal Bahasa, Sastra dan Pengajarannya. 12(2), 128 - 140.

Watkins, M. (2017). Little room for capacitation: rethinking Bourdieu on pedagogy as symbolic violence. British Journal of Sociology of Education.

http://dx.doi.org/10.1080/01425692. 2017.1304202

Wiyatmi. (2012). Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Zuraida, T. R; Sumartini; Qomariah, U. (2013). Pemberontakan Perempuan dalam Novel Perempuan Badai Karya Mustofa Wahid Hasyim: Kajian Feminisme. Jurnal Sastra Indonesia. 2 (1). 1 – 10.

Referensi

Dokumen terkait