• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PETIR CG DENGAN CURAH HUJAN DI DENPASAR MENGGUNAKAN KORELASI SPEARMAN DAN NILAI RYF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN PETIR CG DENGAN CURAH HUJAN DI DENPASAR MENGGUNAKAN KORELASI SPEARMAN DAN NILAI RYF"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Petir Cg ...| 89

HUBUNGAN PETIR CG DENGAN CURAH HUJAN DI DENPASAR MENGGUNAKAN KORELASI SPEARMAN DAN NILAI RYF

RELATION BETWEEN CG LIGHTNING AND RAINFALL IN DENPASAR USING SPEARMAN CORRELATION AND RAIN-YIELD PER FLASH VALUE

I Putu Dedy Pratama dan Ika Sulfiana Putri

Stasiun Geofisika Denpasar, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kota Denpasar memiliki kerawanan petir yang tinggi. Sambaran petir yang berdampak langsung ke manusia adalah jenis petir CG (Cloud to Ground). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah sambaran petir dan curah hujan (CH) yang terjadi di Kota Denpasar. Data yang digunakan adalah data curah hujan yang diperoleh dari penakar hujan otomatis atau Automatic Rain Gauge (ARG) dan data petir CG dari lightning detector yang terpasang di Stasiun Geofisika Denpasar. Data petir CG (positif dan negatif) dibatasi dalam radius 5 km dari Stasiun Geofisika Denpasar. Hasil yang diperoleh menunjukkan hubungan antara curah hujan dan petir CG harian dengan korelasi Spearman sebesar 0,453 yang artinya hubungan kedua variabel tersebut memiliki kekuatan sedang dengan korelasi searah dimana petir dan curah hujan tidak selalu terjadi dalam waktu bersamaan. Berdasarkan perhitungan Rain-Yield per Flash (RYF), diperoleh nilai dari hubungan petir CG dengan curah hujan sebesar 4,52 x 108 kg/fl yang menunjukkan bahwa Denpasar berada di antara kondisi wilayah daratan luas dan kepulauan tropis.

Kata Kunci: petir CG, curah hujan, Denpasar, korelasi Spearman, RYF

ABSTRACT

Denpasar has a high lightning hazard. CG (Cloud to Ground) lightning type is the lightning that have a direct impact to human. This study aims to determine the relationship between the amount of lightning strikes and rainfall that occurred in the city of Denpasar. The data used are rainfall data obtained from Automatic Rain Gauge (ARG) and Cloud to Ground (CG) lightning data from lightning detectors installed at Denpasar Geophysical Station. CG lightning data (positive and negative) is limited within a 5 km radius of Denpasar

(2)

90 | Instrumentasi, Vol. 44 No. 1, 2020

Geophysical Station. The results obtained show the relationship between daily rainfall and CG lightning with Spearman correlation of 0.453, which means that the relation between the two variables has moderate power with proportionate correlation where lightning and rainfall not always occur at the same time. Based on the Rain-Yield per Flash (RYF) calculation, the value of the CG lightning relationship with rainfall is 4.52 x 108 kg / fl, which shows that Denpasar is between the conditions of the vast land area and tropical islands.

Keywords: CG lightning, rainfall, Denpasar, Spearman correlation RYF

1. PENDAHULUAN

Petir merupakan gejala listrik alami dalam atmosfer yang dapat membahayakan dalam waktu singkat yang energinya dapat membuat langit terlihat terang (Byers, 1997). Sambaran petir dapat menimbulkan kerusakan pada peralatan elektronik di dalam atau di luar ruangan (Zoro, 2009).

Indonesia merupakan benua maritim dengan pertumbuhan awan konvektif yang tinggi. Awan konvektif jenis cumulonimbus (Cb) dapat menghasilkan hujan sangat lebat, batu es, bahkan dapat menghasilkan petir (kilat dan guruh) dan puting beliung. Hari guruh di Indonesia sekitar 100 atau lebih per tahun sedang di daerah subtropis sekitar 50 per tahun.

(Tjasyono, 2008).

Aktivitas petir memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap Curah Hujan dalam skala waktu diurnal (Fansuri, 2012;

Pratama & Negara, 2016; Septiadi &

Tjasyono, 2011; Septiadi & Hadi, 2011).

Petir merupakan indikasi cuaca buruk yang

kadang terjadi bersamaan dengan hujan lebat (Lynn & Yair, 2010). Aktivitas petir berhubungan erat terhadap hujan lebat dengan durasi pendek (Wu, dkk., 2017).

Kota Denpasar merupakan salah satu kota besar di Indonesia dengan tingkat pariwisata yang tinggi. Dengan luas 128 km2 dan penduduk 930 ribu penduduk per proyeksi 2018 (BPS Kota Denpasar, 2020) membuat kota Denpasar sangat padat aktivitas manusia. Selain itu, jumlah bangunan Hotel dan penginapan yang juga cukup banyak. Jumlah bangunan yang banyak tersebut membuat tingkat bahaya petir meningkat (Ribeiro dkk., 2014), karena dapat menyebabkan kerusakan peralatan elektronik ketika terkena sambaran petir.

Menurut jumlah permintaan data di Stasiun Geofisika Denpasar tercatat 24 permintaan data petir selama tahun 2019 untuk keperluan klaim asuransi.

Permintaan data petir merupakan jenis permintaan data paling banyak di antara

(3)

Hubungan Petir Cg ...| 91 permintaan data cuaca atau gempabumi

untuk keperluan klaim asuransi. Umumnya kerusakan peralatan akibat petir terjadi pada dini hari, sedangkan informasi korban manusia umumnya terjadi pada siang hingga sore hari. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa petir merupakan salah satu ancaman bahaya yang menjadi perhatian bagi masyarakat Kota Denpasar.

Sambaran petir yang terjadi seringkali dikaitkan dengan adanya hujan. Apabila terjadi hujan maka dapat menimbulkan adanya petir, tetapi pada saat terjadi petir belum tentu terjadi hujan. Untuk itu diperlukan kajian untuk mengetahui hubungan petir dan curah hujan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah sambaran petir dan curah hujan yang terjadi di Kota Denpasar. Hubungan ini dikaji berdasarkan analisis korelasi harian, musiman, dan komposit perjam berdasarkan analisis uji statistik. Selain itu, perlu diketahui nilai tingkat hubungan curah hujan dengan aktivitas petir di Kota Denpasar. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi untuk mitigasi bahaya petir di Kota Denpasar.

2. TEORI DASAR

Petir adalah pelepasan muatan arus listrik yang sangat tinggi di udara, dengan membawa arus puncak sebesar puluhan

ribu ampere dan memiliki suhu puncak lebih besar dari 50.000º F, sekitar lima kali lebih panas dari permukaan Matahari.

Pelepasan muatan ini disertai dengan pancaran cahaya dan radiasi elektromagnetik lainnya (Uman, 1987).

Berdasarkan proses terjadinya petir, ada 4 jenis tipe petir (Husni, 2002), yaitu : petir Cloud-to-Ground (CG) atau Petir dari awan ke tanah, petir Intra-Cloud (IC) atau petir dalam awan, petir Cloud-to-Cloud (CC) atau petir dari awan ke awan yang lainnya, dan petir Cloud-to-Air (CA) atau petir dari awan ke udara.

Dalam kajian ini yang akan dibahas adalah jenis petir CG yaitu petir yang terjadi dari awan ke tanah, karena lebih banyak berpengaruh pada kehidupan manusia. Berdasarkan muatannya petir CG dibagi menjadi dua yaitu CG+ dan CG-.

Pada awan Cb terjadi polarisasi awan dimana pada puncak awan berkumpul CG+ dan pada dasar awan berkumpul CG- . Pergerakan turbulensi di dalam awan sangat berpengaruh pada jenis muatan petir CG yang menyambar.

Gambar 1. Distribusi muatan CG+ dan CG- pada awan Cb

(4)

92 | Instrumentasi, Vol. 44 No. 1, 2020

Pada kondisi normal tanah tidak bermuatan (netral). Adanya beda potensial tinggi pada awan dan tanah membuat tanah merespon dengan bermuatan berlawanan dengan muatan listrik awan (Shivalli, 2016) (Gambar 1).

Data curah hujan diperoleh dari penakar hujan ARG (Automatic Rain Gauge) model Tipping Bucket yang terpasang di Stasiun Geofisika Denpasar.

Penakar hujan ARG dapat mencatat curah hujan setiap 10 menit dengan akurasi 0,2 mm. Data curah hujan pada alat ARG memiliki korelasi / kesesuaian yang kuat terhadap penakar hujan manual observatorium (OBS) dan penakar hujan Hellmann dengan nilai korelasi keduanya

>0.9 (Maftukhah, Wijonarko, & Rustandi, 2016). Penakar hujan ARG ini telah terpasang di 657 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Di wilayah Bali sendiri terpasang 21 penakar hujan ARG. Untuk terdapat 1 ARG. Skema alat ARG ditunjukkan pada Gambar 2.

Data petir diperoleh dari pemantauan aktivitas sambaran petir secara real time menggunakan lightning detector. Sistem lightning detector memiliki sensor Storm tracker (Gambar 3) dapat mendeteksi aktivitas kelistrikan yang teridentifikasi sebagai kejadian petir (strokes) petir secara optimal sekitar 300 mil (± 480 km) dari pusat alat (Aninoquisi, 2016). Alat ini terhubung dengan software Nexstorm yang

mampu mencatat kejadian petir di seluruh wilayah Bali. Data hasil rekaman alat ini juga sering digunakan untuk klaim asuransi peralatan yang rusak karena sambaran petir.

Gambar 2. Skema alat ARG tipe Tipping Bucket (BMKG, 2020).

Gambar 3. Antena luar dan bagian hardware Storm Tracker (Boltek, 2020)

3. METODOLOGI

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan dari ARG yang terpasang di taman alat Stasiun Geofisika Denpasar dan data petir CG (positif dan negatif) tahun 2019 dalam radius 5 km dari Stasiun Geofisika Denpasar yaitu pada koordinat 115,255-115,165 BT dan 8,63186-8,72191 LS. Sebagai pembanding digunakan data curah hujan rata-rata

(5)

Hubungan Petir Cg ...| 93 bulanan 26 tahun di lokasi yang sama.

Pembatasan koordinat petir juga dilakukan oleh Boonstra, (2008), Septiadi dkk., (2011), Septiadi & tjasyono, (2011), serta Fansury (2012).

Terlebih dahulu dilakukan uji normalitas menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov (sampel >50) dan Shapiro-Wilk (sampel <50). Pengujian diolah menggunakan perangkat lunak statistik SPSS 24. Nilai normalitas tercapai jika hasil uji signifikan mencapai suatu taraf signifikansi (α) tertentu (misalnya α = 0,05). Jika nilai signifikansi yang didapatkan dari data lebih besar dari taraf signifikansi (α>0,05), maka data berdistribusi normal, jika nilai signifikansi yang didapatkan kurang dari taraf signifikansi (α<0,05), maka data tidak berdistribusi normal. Berdasarkan hasil distribusi data dilakukan korelasi Pearson dengan syarat dua variabel yang dihubungkan keduanya harus memiliki data yang berdistribusi normal (signifikansi >0,05). Sedangkan apabila salah satu atau keduanya memiliki data yang tidak berdistribusi normal maka dilakukan korelasi Spearman’s rho (signifikansi <0,05).

Untuk melihat tingkat hubungan curah hujan dengan aktivitas petir dalam suatu radius wilayah tertentu dilakukan perhitungan Rain-Yield per Flash.

Menurut Takayabu (2006), RYF dirumuskan sebagai berikut :

RYF (mm/fl) = RR / FRD x 107... [1]

dengan :

RR : Rainfall rate atau tingkat curah hujan (mm/yr)

FRD : Total lightning flash rate (fl) density atau densitas sambaran petir (fl/km2 yr).

Menurut Peterson dan Rutledge (1998), nilai RYF dapat mengidikasikan sebuah area, misalkan, untuk nilai RYF ~108 kg/fl untuk wilayah berupa daratan yang luas, nilai RYF ~109 kg/fl untuk wilayah kepulauan tropis, dan nilai RYF ~1010 kg/fl untuk wilayah curah hujan di lautan tropis. RYF menyatakan massa curah hujan yang dihasilkan oleh setiap sambaran petir. Dalam hubungannya dengan sifat hujan RYF sangat berkaitan dengan kondisi geografis, musiman, dan iklim (Jayaratne & Kuleshov, 2006).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola hubungan petir Cloud-to-Ground (CG) dan curah hujan (CH) harian sepanjang tahun 2019 diperlihatkan pada Gambar 4. Secara umum pola petir CG dan CH tahun 2019 menunjukkan pola yang hampir sama, dimana ketika CH meningkat sambaran CG juga meningkat, begitu pula sebaliknya.

(6)

94 | Instrumentasi, Vol. 44 No. 1, 2020

Jumlah petir CG dan CH yang tinggi tercatat pada bulan Januari hingga April 2019 dan bulan Desember 2019.

Sedangkan jumlah CH dan petir CG yang rendah tercatat pada bulan Mei hingga

November 2019. Hal ini menunjukkan bahwa awan – awan konvektif banyak terbentuk pada musim penghujan yaitu pada bulan Januari hingga April dan bulan Desember (Gambar 5).

Gambar 4. Pola Hubungan CG dan Curah Hujan harian Sepanjang tahun 2019

Berdasarkan hasil uji distribusi normal (Tabel 1) antara petir CG dan CH harian tahun 2019 menunjukan keduanya tidak berdistribusi normal (signifikansi <0,05).

Sehingga korelasi yang digunakan adalah korelasi Spearman’s rho.

Tabel 1. Hasil uji distribusi normal antara petir CG dan CH pada pola harian

sepanjang tahun 2019.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.

.436 365 .000 .184 365 .000 .422 365 .000 .307 365 .000

Berdasarkan hasil uji korelasi antara petir CG dengan CH pada pola harian sepanjang tahun 2019 (Tabel 2) didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,000 yang

artinya terdapat hubungan yang bermakna antara petir CG dengan curah hujan. Nilai korelasi Spearman yang didapatkan sebesar 0,453 yang artinya hubungan kedua variabel tersebut memiliki kekuatan sedang dengan arah korelasi yang searah, dimana semakin besar CH semakin besar pula sambaran petir CG yang terjadi. Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratama, dkk. (2017) yang menganalisis hubungan antara sambaran petir dan curah hujan di Kota Manado sepanjang tahun 2016. Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai korelasi antara frekuensi sambaran petir terhadap intensitas curah hujan di Kota Manado adalah sebesar 0,674. Nilai tersebut masuk dalam kategori hubungan linier positif

(7)

Hubungan Petir Cg ...| 95 moderat. Hubungan positif ini

menunjukkan bahwa jumlah frekuensi sambaran petir berpengaruh terhadap intensitas curah hujan. Dengan semakin bertambahnya frekuensi sambaran petir, maka jumlah intensitas curah hujan juga akan meningkat.

Tabel 2. Hasil uji korelasi antara petir CG total dan CH pada pola harian

sepanjang tahun 2019

CG CH

Spear man's rho

CG Correlation Coefficient

1.000 .453**

Sig. (2-tailed) . .000

N 365 365

CH Correlation Coefficient

.453** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 365 365

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Pola hubungan petir CG dan CH bulanan sepanjang tahun 2019 diperlihatkan pada Gambar 5. Seperti pada hubungan petir CG dan CH harian, secara umum pola hubungan CG dan CH bulanan juga menunjukkan pola yang hampir sama, yaitu pada saat jumlah CG meningkat jumlah CH juga meningkat, kecuali pada bulan Maret 2019.

Pada bulan Januari dan Februari terlihat kenaikan jumlah CG dan CH secara bersamaan, sedangkan pada bulan Maret 2019 jumlah CG lebih besar daripada jumlah CH yang terjadi. Hal ini

mengindikasikan bahwa awan – awan konvektif yang terbentuk banyak menimbulkan sambaran petir namun tidak menurunkan hujan, terutama pada 21 Maret 2019 dimana dalam sehari terjadi 383 kali sambaran di Denpasar yang didominasi CG+. Hal ini mengindikasikan pola petir stratiform yang berarti awan Cb tidak tepat di bawah Denpasar.

Gambar 5. Pola Hubungan CG dan Curah Hujan Bulanan Sepanjang tahun 2019

Pada bulan April - November jumlah CH relatif rendah begitu pula dengan jumlah sambaran petir CG. Bahkan pada bulan Mei hingga Oktober tidak tecatat sambaran petir CG. Sedangkan jumlah CH selama bulan April hingga November juga tergolong rendah yaitu tidak lebih dari 50 mm setiap bulannya. Pada bulan Desember 2019 terlihat kesamaan naiknya jumlah CG dan CH.

Jumlah sambaran petir CG pada bulan Januari adalah sebanyak 393 sambaran atau sebanyak 20,3% dari keseluruhan sambaran, bulan Februari sebanyak 238 sambaran atau 12,3%, dan bulan Desember sebanyak 439 sambaran atau 22,7%.

Jumlah sambaran petir CG tertinggi terjadi

(8)

96 | Instrumentasi, Vol. 44 No. 1, 2020

pada bulan Maret yaitu sebanyak 820 sambaran atau menempati 42,3% dari keseluruhan jumlah sambaran. Jumlah curah hujan yang tercatat pada bulan Januari merupakan jumlah curah hujan tertinggi sepanjang tahun 2019 yaitu sebesar 345,8 mm yang menempati 39,4%

dari keseluruhan CH sepanjang tahun 2019. Sedangkan bulan Februari sebayak 146,6 mm atau 16,7% dan bulan Desember sebesar 190,2 mm atau 21,7%.

Berdasarkan hasil uji distribusi normal (Tabel 3) antara petir CG dan CH bulanan tahun 2019 menunjukan keduanya tidak berdistribusi normal, sehingga korelasi yang digunakan adalah korelasi Spearman’s rho. Berdasarkan hasil uji korelasi antara petir CG dengan CH pada pola harian sepanjang tahun 2019 (Tabel 4) didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,001yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara petir CG dengan curah hujan. Nilai korelasi Spearman yang didapatkan sebesar 0,844 yang artinya hubungan kedua variabel sangat kuat dengan arah korelasi yang searah, dimana semakin besar CH semakin besar pula sambaran petir CG yang terjadi

Tabel 3. Hasil uji distribusi normal antara petir CG dan CH pada pola bulanan

sepanjang tahun 2019.

Kolmogorov-

Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.

CG .366 12 .000 .693 12 .001

CH .290 12 .006 .734 12 .002 a. Lilliefors Significance Correction

Tabel 4. Hasil uji korelasi antara petir CG total dan CH pada pola bulanan sepanjang

tahun 2019

CG CH

Spear man's rho

CG Correlation Coefficient

1.000 .844**

Sig. (2-tailed) . .001

N 12 12

CH Correlation Coefficient

.844** 1.000

Sig. (2-tailed) .001 .

N 12 12

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Gambar 6. Perbandingan CH 2019 dengan rata-rata 26 tahun.

Secara umum, kondisi CH di tahun 2019 berada di bawah rata-rata dalam 26 tahun (Gambar 6). Seluruh bulan menunjukan CH di bawah rata-rata kecuali pada bulan Maret 2019 nilai CH melebihi rata-ratanya.

Berdasarkan komposit harian petir CG musiman 2019 (Gambar 7) terlihat adanya perbedaan pola diurnal pada setiap musimnya. Secara umum, pola petir Denpasar menunjukan pola semi-diunal dengan dua puncak yaitu pada siang dan

(9)

Hubungan Petir Cg ...| 97 dinihari. Grafik semidiurnal ini

menyerupai penelitian petir yang dilakukan oleh Xie, dkk. (2013) yang dilakukan di Provinsi Yunnan, Tiongkok.

Hal ini berbeda dengan penelitian di Medan (Prasetyo, Setiawan, & Irawandi, 2019) dimana pola petir dan CH menunjukan pola diurnal dengan satu puncak pada sore hari.

Pada periode DJF (Desember-Januari- Februari) pola puncak siang dan malam hari hampir sama. Untuk periode MAM (Maret-April-Mei) puncak dinihari lebih tinggi daripada siang hari dan puncak siang terjadi lebih lambat dibandingkan DJF. Untuk periode JJA (Juni-Juli- Agustus) dan SON (September-Oktober- November) berpola mendatar karena jumlah petir sangat sedikit.

Gambar 7. Komposit harian petir CG musiman tahun 2019.

Kondisi petir di periode DJF didominasi oleh faktor konvektif siang hari dan stratiform pada malam hari. Untuk periode MAM pemanasan mulai menurun sehingga pembentukan awan Cb terlambat dan terjadi pada sore hari. Pada malam

hari pola stratiform mendominasi. Hal ini dapat terlihat dari CH di bulan Maret 2019 yang sedikit dengan jumlah petir CG yang banyak.

Gambar 8. Komposit petir CG dan CH harian

Berdasarkan komposit petir CG dan CH harian (Gambar 8) sepanjang tahun 2019 terlihat pola puncak hujan mendahului puncak kejadian petir. Puncak hujan siang hari terjadi pada pukul 13:00 WITA dan malam pada pukul 00:00 WITA. Untuk puncak petir terjadi pada pukul 18:00 WITA dan 23:00 WITA.

Tabel 5. Hasil uji distribusi normal komposit setiap jam petir CG dan CH

sepanjang tahun 2019 Kolmogorov-

Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.

CG .145 24 .200* .885 24 .010 CH .289 24 .000 .714 24 .000

*. This is a lower bound of the true significance.

a. Lilliefors Significance Correction

(10)

98 | Instrumentasi, Vol. 44 No. 1, 2020

Berdasarkan hasil uji distribusi normal (Tabel 5) antara komposit petir CG dan CH setiap jam tahun 2019 menunjukan keduanya tidak berdistribusi normal (signifikansi < 0,05), sehingga korelasi yang digunakan adalah korelasi Spearman’s rho.

Berdasarkan hasil uji korelasi antara komposit petir CG dengan CH setiap jam tahun 2019 (Tabel 6) didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,446 yang artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara petir CG dengan curah hujan. Nilai korelasi Spearman yang didapatkan sebesar 0,163 yang artinya hubungan kedua variabel sangat lemah. Hal ini karena puncak pola petir CG harian selalu didahului oleh puncak CH yang terjadi tidak dalam waktu yang sama. Saat CH mengalami penurunan, petir CG mengalami peningkatan.

Tabel 6. Hasil uji korelasi komposit setiap jam petir CG dan CH sepanjang

tahun 2019

CG CH

Spear man's rho

CG Correlation Coefficient

1.000 .163

Sig. (2-tailed) . .446

N 24 24

CH Correlation Coefficient

.163 1.000

Sig. (2-tailed) .446 .

N 24 24

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Gambar 9. Komposit harian petir CG+ dan CG-

Untuk perbandingan komposit CG+

dan CG- harian (Gambar 9) terlihat pola puncak CG- lebih awal daripada puncak CG+ di siang hari dan malam hari. Hal ini menunjukan bahwa petir di wilayah Denpasar didominasi oleh konvektif lokal.

Hal ini karena setiap fase awan Cb dimana saat fase awal ke puncak petir terjadi sambaran CG- dan saat fase puncak ke musnah terjadi sambaran CG+.

Berdasarkan perhitungan Rain-Yield per Flash (RYF), diperoleh nilai dari hubungan petir CG dengan curah hujan sebesar 4,52 x 108 kg/fl untuk radius 5 km dari titik ARG. Nilai RYF untuk kota Denpasar, menunjukkan berada di antara wilayah daratan luas dan kepulauan tropis.

Kondisi geografis Denpasar yang diapit oleh lautan pada bagian timur dan selatan membuat pengaruh lautan sehingga masuk ke dalam benua maritim. Topografi mendatar membuat petir di Denpasar tidak terpengaruh oleh faktor lokal orografi sehingga hujan lebat dan petir pada dini hari lebih dominan. Sebagai pembanding,

(11)

Hubungan Petir Cg ...| 99 nilai RYF untuk wilayah pantai utara

Australia yang berjarak paling dekat dengan Denpasar adalah 2,52 x 108 kg/fl (Jayarate & Kuleshov, 2006). Pengaruh kepulauan Indonesia dan daratan benua Australia mempengaruhi pola petir dan curah hujan di Denpasar. Hal ini menunjukan bahwa geografis kepulauan Indonesia dan daratan benua Australia mempengaruhi pola petir dan curah hujan di Denpasar.

5. KESIMPULAN

Seluruh data petir CG dan CH harian, bulanan, dan setiap jam menunjukan pola tidak berdistribusi normal dengan nilai korelasi searah yang artinya peningkatan petir CG sebanding dengan CH.

Berdasarkan perhitungan Rain-Yield per Flash (RYF), diperoleh nilai dari hubungan petir CG dengan curah hujan sebesar 4,52 x 108 kg/fl yang menunjukkan bahwa kota Denpasar berada di antara wilayah daratan luas dan kepulauan tropis.

Hal ini menegaskan bahwa geografis kepulauan Indonesia dan daratan benua Australia mempengaruhi pola petir dan curah hujan di Denpasar.

6. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada BMKG Stasiun Geofisika Denpasar atas data petir dan curah hujan serta tempat untuk melakukan penelitian

ini. Kepada rekan-rekan Stasiun Geofisika Denpasar terima kasih atas diskusi dan ilmu yang sangat bermanfaat.

7. DAFTAR PUSTAKA

Aninoquisi, (2016). Ligthning/2000 version 6.7, User’s Manual

Bolek, (2020). Diakses 20 April 2020.

https://www.boltek.com/manual- pci.pdf.

Boonstra, R. (2008). Validation of SAFIR/FLITS Ligthning Detection System with Railway-Damage Reports.

De Bilt. Wagenigen University and Research Centre, Department Meteorology and Air Quality.

(BMKG) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, (2020). Diakses 1

Februari 2020.

http://data.bmkg.go.id/share/Dokumen/

deskripsisensorlintek.pdf.

(BPS) Badan Pusat Statistik Kota Denpasar. (2019). Denpasar Dalam Angka 2019. Denpasar: BPS Kota Denpasar ISSN 2338-9303.

Byers, J. (1997). Element of Cloud Physics. Chicago: The University of Chicago.

Fansury, G., H. (2012). Hubungan Aktivitas Petir Cloud-to-Ground (CG) dengan Curah Hujan di Bogor. Skripsi Institut Teknologi Bandung.

(12)

100 | Instrumentasi, Vol. 44 No. 1, 2020

Husni, M. (2002). Mengenal Bahaya Petir.

Jakarta: Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol. 3.

Jayaratne, R and Kuleshov, E (2006) Geographical and seasonal characteristics of the relationship between lightning ground flash density and rainfall within the continent of Australia. Atmospheric Research 79(1):pp. 1-14.

Lynn, B., & Yair, Y. (2010). Prediction of Ligthning Flash Density with the WRF Model. Advances in Geosciences.

Copernicus Publication behalf of the Europe Geoscience Union.

Maftukhah, T., Wijonarko, S., & Rustandi, D. (2016). Comparison and Correllation Among Measurement Result of Observatory, Hellman, and Tipping Bucket Sensor. Instrumentasi, vol. 40 no. 1.

Peterson, W., & S.A, Rutledge. (1998). On the Relationship Between Cloud- toGround Lightning and Convective Rainfall. J.Geophys. Res, 103 , 14 025- 14 040

Prasetyo, B., Setiawan, Y., & Irwandi.

(2019). Analisis Karakteristik Diurnal Petir dan Curah Hujan Berdasarkan Data Lightning Detector dan Hellmann di Medan. Jurnal Instrumentasi, vol. 43 no. 2, Hal. 125-138.

Pratama, D. A., Kurniawan, R. B., & Dica, O. R. (2017). Korelasi Frekuensi

Sambaran Petir Terhadap Intensitas Curah Hujan di Kota Manado Tahun 2016. Unnes Physics Journal, Vol. 6 (1), Hal. 12-18..

Pratama, I P. D. (2012). Analisis dan Pemetaan Sambaran Petir Wilayah Bali dan Sekitarnya Tahun 2012. Prosiding Seminar Sains Atmosfer (SSA), ISBN : 978-979-1458-73-3, hal. 136-142.

Pratama, I-P., D., dan Negara, P., K., G., A. (2016). Analisis Spasial dan Temporal Data Ligthning Detector Tahun 2009 – 2015 di Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol. 17 No.2,hal.123-127.

Ribeiro W. M. D-N., Souza, J. R. S., Lopes, M., N., G., Camara, R., K., C., Rocha, E., J., P., & Almeida, A. C.

(2014). Ligthning and Precipitation Produced by Svere Weather Systems Over Belem, Brazil. Revista Brasiileira de Meteorologia, Vol. 29, No. esp., 41 - 59,2014.

http://dx.doi.org/10.1590/0102-7 78620130039.

Septiadi, D., & Tjasyono, B. (2011).

Variabilitas Musiman Cloud Ground Lightning dan Kaitannya dengan Pola Hujan di Wilayah Jawa (Studi Kasus Bandung dan Semarang. Bandung.

Jurnal Bumi Lestari.

Septiadi D., & Hadi S. (2011).

Karakteristik Petir Terkait Curah Hujan

(13)

Hubungan Petir Cg ...| 101 Lebat di Wilayah Bandung, Jawa

Barat. Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 12 No. 2, hal. 163–170.

Septiadi, D., Hadi S., & Tjasyono, B.

(2011). Karakteristik Petir dari Awan ke Bumi dan Hubungannya dengan Curah Hujan. Jurnal Sains dan Dirgantara Vol. 9 No. 2, hal. 129-138.

Shivalli, S. (2016). Lightning Phenomenon, Effects and Protection of Structures from Lightning. IOSR Journal of Electrical and Electronics Engineering (IOSR-JEEE) Volume 11, Issue 3 Ver. I e-ISSN: 2278-1676, p- ISSN: 2320-3331, hal 44-50.

Takayabu, Y. N. (2006). Rain-Yield per Flash Calculated from TRMM PR and LIS data and its Relationship to the Contribution of Tall Convective Rain.

Geophysical Research Letters, Vol. 33, L18705, doi:10.1029/2006GL027531.

Tjasyono, B. (2008). Mikrofisika Awan dan Hujan. Jakarta: Penerbit Badan Meteorologi dan Geofisika

Wu, F., Cui, X., Zhang, D-L., & Qiau, L.

(2017). The Relationship of Ligthning Activity and Short-Duration Rainfall Events During Warm Season Over The Beijing Metropolitan Region.

Tmospheric Research, 195, hal. 31-43.

Zoro, R. (2009). Induksi dan Konduksi Gelombang Elektromanetik Akibat Sambaran Petir pada Jaringan Tegangan Rendah. Bandung: Makara Teknologi.

Gambar

Gambar 2. Skema alat ARG tipe Tipping  Bucket (BMKG, 2020).
Gambar 4. Pola Hubungan CG dan Curah Hujan harian Sepanjang tahun 2019
Tabel 2. Hasil uji korelasi antara petir  CG total dan CH pada pola harian
Tabel 4. Hasil uji korelasi antara petir CG  total dan CH pada pola bulanan sepanjang
+3

Referensi

Dokumen terkait