• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETEKSI MIKROSKOPIS SPERMATOZOA SAPI MENGGUNAKAN DEEP CONVOLUTION NEURAL NETWORK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DETEKSI MIKROSKOPIS SPERMATOZOA SAPI MENGGUNAKAN DEEP CONVOLUTION NEURAL NETWORK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

SENTRA 2018 V | 69

DETEKSI MIKROSKOPIS SPERMATOZOA SAPI MENGGUNAKAN DEEP CONVOLUTION NEURAL

NETWORK

Imam Syaifuddin*1, Reddy Alexandro Harianto2, Yosi Kristian3

Sekolah Tinggi Teknik Surabaya,Surabaya

Kontak Person:

Imam Syaifuddin Sekolah Tinggi Teknik Surabaya E-mail: [email protected]

Abstrak

Usaha ternak sapi potong di Indonesia membutuhkan perhatian khusus dalam kaitannya dengan upaya mempertahankan dan menunjang peningkatan populasi ternak. Guna peningkatan populasi tersebut maka dilakukan penyediaan semen yang berkualitas, sebelum digunakan untuk inseminasi buatan dilakukan pemeriksaan semen. Saat ini pemeriksaan semen secara mikroskopis dilakukan secara manual yang dilakukan di laboratorium dengan berapa tahapan. Perangkat modern saat ini yang digunakan untuk memeriksa semen secara mikroskopis adalah CASA (Computer Assisted Semen Analysis), tapi perangkat ini secara sistem tertutup, sehingga tidak dapat dikembangkan secara mandiri. Deteksi spermatozoa dengan akurasi yang baik memainkan peran kunci dalam pengembangan pemeriksaan semen lebih lanjut. Paper ini membahas deteksi mikroskopis spermatozoa yang diharapkan dapat menjadi perangkat pemeriksaan yang lebih murah dan dapat dikembangkan lebih lanjut. Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah Convoutional Neural Network. CNN merupakan bagian dari deep learning yang digunakan untuk melakukan proses pembelajaran pada komputer untuk mencari reprentasi terbaik. Proses pelatihan dengan menggunakan dataset ukuran 64x64 sebanyak 6000 gambar dan desain jaringan saraf tiruan 3 lapisan konvolusi, menggunakan filter 3x3 dan input data satu dimensi menghasilkan akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan 2 dan 4 lapisan konvolusi serta gambar satu dimensi dengan hasil 99 % pada saat pengujian.

Kata kunci: Semen, Spermatozoa, Convolution Neural Network, CNN, Deteksi Spermatozoa

1. Pendahuluan

Spermatozoa adalah sel yang diproduksi oleh organ kelamin jantan dan bertugas membawa informasi genetik jantan ke sel telur dalam tubuh betina. Spermatozoa berbeda dari telur yang merupakan sel terbesar dalam tubuh organisme adalah gamet jantan yang sangat kecil ukurannya dan mungkin terkecil. Kualitas sperma jauh lebih penting dari pada jumlah nya.

Beberapa faktor mempengaruhi kesuburan spermatozoa. Salah satunya adalah kualitas spermatozoa [1]. Maka perlu untuk memiliki metode pemeriksaan kualitas spermatozoa yang tidak hanya akurat, tapi cepat dan murah. Secara khusus, kesuburan atau infertilitas di analisis dari kualitas spermamatozoa. Kualitas sperma dapat ditentukan oleh konsentrasi semen, jumlah, kepadatan, kecepatan sperma, bentuk spermatozoa (morfologi) dan viabilitas spermatozoa [2, 3].

Pemerikasaan kualitas spermatozoa merupakan prosedur yang dilakukan sebelum melakukan penyimpanan spermatozoa untuk diawetkan yang selanjutnya digunakan untuk inseminasi buatan.

Salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas spermatozoa adalah jumlah spermatozoa dalam satu ejakulat [10].

Saat ini (Computer Assisted Sperm Analysis) sistem CASA digunakan sebagai perangkat untuk menghitung dan mendeteksi sperma secara mikroskopis. CASA dibuat pada tahun 80 an. Namun, cara kerja dan metode nya tidak secara terbuka dapat diakses. CASA telah digunakan untuk membantu dokter dalam menentukan kualitas spermatozoa dalam dua dekade terakhir [9].

Berbagai penelitian tentang kualitas sperma telah dilakukan baik melalui object image processing maupun video processing dengan tujuan untuk memperbaiki, kemudahan akses dan pemanfaatan pemeriksaan kualitas spermatozoa. Beberapa algoritma untuk menghitung spermatozoa dengan video stream [4], [5], [6], [7]. Algoritma yang digunakan adalah dengan menggunakan histogram equalizer yang menargetkan tingkat keabu-abuan pada objek yang di amati dan menggabungkan metode lain dengan target menghindari objek non-spermatozoa yang terdapat pada media [8].

(2)

SENTRA 2018 V | 70

Algoritma lain menggunakan konversi biner dan sasaran menyesuaikan citra biner. Keduanya tidak dapat langsung menyingkirkan benda-benda non-spermamatozoa dalam frame video.

Selain media video streaming, menggunakan object image processing juga dilakukan,penelitian Amit R. Chavan, dkk memanfaatkan metode yang digunakan adalah dengan melakukan image acquisition kemudian dilakukan image enhancement selanjutnya image segmentation dan terakhir dilakukan penghitungan objek.

Priyanto Hidayatullah, dengan fokus deteksi sperma pada suatu image, algoritma yang digunakan adalah memodifikasi local adaptive tresholding untuk binerisasi dan memodifikasi deteksi elips untuk mendeteksi kepala spermatozoa.

Dalam beberapa tahun terakhir ini Convolution Neural Network (CNN), menjadi pilihan terbaik untuk deteksi dan klasifikasi pada citra digital dengan hasil yang sangat memuaskan [11].

Paper ini membahas deteksi mikroskopis spermatozoa sapi pada video streaming dengan menggunakan video processing sebagai object penelitian dengan metode deep convolution neural network dengan tujuan untuk memperbaiki akurasi deteksi sperma secara otomatis. Berbagai uji coba akan dilakukan dalam percobaan ini yang meliputi model dari lapisan jaringan saraf tiruan, dimensi data serta berbagai filter yang digunakan untuk mendeteksi secara otomatis media yang berisi spermatozoa sapi, dengan tujuan mendapatkan hasil deteksi yang terbaik.

2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk memecahkan permasalahan pada paper ini menggunakan Deep Learning Convolution Neural Network (CNN). CNN adalah jenis khusus dari jaringan saraf tiruan, bahkan mirip dengan jaringan saraf biasa merupakan pengembangan dari Multilayer Perceptron (MLP) yang didesain untuk mengolah data dua dimensi [12].

CNNs terbuat dari neuron yang memiliki bobot yang bisa dipelajari dan bias yang sejajar dalam lapisan. Biasanya CNNs digunakan pada proses data dalam bentuk beberapa array seperti time series data atau data gambar.

Arsitektur CNN biasanya terdiri dari lapisan convolutional, lapisan pooling dan lapisan fully connected. Gambar 1, mewakili CNN yang terdiri dari dua lapisan convolutional, dua lapisan maxpooling, satu lapisan full connected dan satu lapisan output softmax [11].

Gambar 1 CNN sederhana terdiri lapisan convolutional, lapisan maxpooling, lapisan full connected dan lapisan output

Istilah konvolusi jaringan berasal dari operasi matematika, CNN menggunakan perkalian matriks. Lapisan konvolusi adalah lapisan inti dari CNN. Konvolusi untuk 1D di definisakan dengan Persamaan 1 matematika sebagai berikut.

𝑠(𝑡) = (𝑥 ∗ 𝑤)(𝑡) (1)

Dalam pengolahan citra, sinyal input adalah citra 2D atau 3D gambar dan operasi konvulsi di jaringan saraf dilakukan dalam lapisan convolutional. Di lapisan convolutional argumen pertama adalah input, kedua sering disebut sebagai kernel dan sinyal output yang dihasilkan disebut sebagai feature map karena tujuan seluruh lapisan convolutional adalah ekstrak fitur dari input.

(3)

SENTRA 2018 V | 71

Jika kita melihat input sebagai citra dua dimensi, maka kita bisa mengasumsikan t sebagai pixel dan menggantinya dengan i dan j. Oleh karena itu, operasi untuk konvolusi ke input dengan lebih dari satu dimensi dapat ditulis seperti pada Persamaan 2.

𝑆(𝑖,𝑗) = (𝐾 ∗ 𝐼)(𝑖,𝑗)∑ ∑ 𝐼(𝑖−𝑚,𝑗−𝑛)𝐾(𝑚,𝑛) (2)

Non-linear diterapkan setelah setiap operasi konvolusi di Lapisan convolutional dan ini biasanya dilakukan dengan fungsi ReLU. Pada dasar nya ReLU melakukan threshold dari 0 hingga infinity [11].

Pada fungsi ini masukan dari neuron-neuron berupa bilangan negatif, maka fungsi ini akan menerjemahkan nilai tersebut ke dalam nilai 0, dan jika masukan bernilai positif maka output dari neuron adalah nilai aktivasi itu sendiri persamaan ReLU dirumuskan seperti Persamaan 3.

𝑓(𝑥) = max (0, 𝑥) (3)

Ukuran feature map dihasilkan oleh tiga parameter: stride, padding dan kedalaman citra. Stride adalah parameter yang menentukan berapa jumlah pergeseran filter. Jika nilai stride adalah 1, maka conv. filter akan bergeser sebanyak 1 pixels secara horizontal lalu vertical. Semakin kecil stride maka akan semakin detail informasi yang kita dapatkan dari sebuah input, namun membutuhkan komputasi yang lebih jika dibandingkan dengan stride yang besar [12].

Sedangkan Padding atau Zero Padding adalah parameter yang menentukan jumlah pixels (berisi nilai 0) yang akan ditambahkan di setiap sisi dari input. Hal ini digunakan dengan tujuan untuk memanipulasi dimensi output dari lapisan konvolusi (feature map). Untuk menghitung dimensi dari feature map kita bisa gunakan rumus Persamaan 4.

𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 =𝑊 − 𝑁 + 2𝑃

𝑆 + 1 (4)

Selain itu parameter lain yang menentukan feature map adalah lapisan pooling, biasanya berada setelah lapisan convolusi. Pada prinsipnya lapisan pooling terdiri dari sebuah filter dengan ukuran dan stride tertentu yang akan bergeser pada seluruh area feature map.

Pooling yang biasa digunakan adalah Max Pooling atau Average Pooling. Tujuan dari penggunaan lapisan pooling adalah mengurangi dimensi dari feature map (downsampling), sehingga mempercepat komputasi karena parameter yang harus diupdate semakin sedikit dan mengatasi overfitting [13].

Feature map yang dihasilkan dari lapisan feature extraction masih berbentuk multidimensional array, sehingga kita harus melakukan flatten atau reshape feature map menjadi sebuah vektor agar bisa kita gunakan sebagai input dari lapisan fully-connected yang merupakan output class dari convolution neural network.

Diagram alur tahapan yang dilakukan pada penelitian ini, dapat ditunjukkan pada Gambar 2.

Tahap awal yang dilakukan adalah mengumpulkan data, Sebelum pelatihan CNN, semua data harus dilakukan pre-processing karena gambar mungkin berbeda resolusi, orientasi dan dimensi, data kemudian dibagi menjadi dua, untuk pelatihan dan untuk pengujian, selanjutnya dilakukan data pre- processing dan training terhadap data dengan model CNN.

Setelah training terhadap data, selanjutnya dilakukan testing untuk mendapatkan prediksi yang akurat terhadap data hasil training, dan terakhir dilakukan evaluasi terhadap model CNN yang dirancang.

Gambar 2 Diagram alur proses

(4)

SENTRA 2018 V | 72

2.1 Koleksi Data

Koleksi daata yang tersedia diambil dari proses pemeriksaan spermatozoa sapi sebelum dibuat semen beku Balai Inseminasi Buatan Singosari Malang. Pengambilan sample menggunakan perangkat microscope multimedia dengan pembesaran 1000x dan di rekam menggunakan software screen video recorder dengan format AVI yang menghasilkan resolusi 160x120 yang mampu menghasilkan 15 frame per detik. Melalui pemeriksaan mikroskopis sample spermatozoa di rekam dengan kamera digital masing-masing berdurasi 1-2 menit.

2.1 Data Pre-processing

Data koleksi berupa video diekstraksi menjadi still image (Gambar 3), selanjutnya diambil secara acak dua sample image untuk diperbesar resolusinya menjadi 2200x1800 pixel, kemudian dilakukan cropping terhadap sample spermatozoa maupun non-spermatozoa dengan ukuran 64x64 pixel. Masing-masing video diambil 100-120 Spermatozoa sebagai sample, sehingga total data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3000 image spermatozoa dan 3000 image non-spermatozoa.

Gambar 3 Dataset still image ekstraksi gambar dari video

Dataset yang telah dikoleksi selanjutnya diberikan nama file dengan awalan 1 sebagai spermatozoa dan 0 sebagai non-spermatozoa (Gambar 4). Selanjutnya dataset dikonversi menjadi grayscale dengan metode average dengan Persamaan 5.

𝐺𝑟𝑎𝑦𝑠𝑐𝑎𝑙𝑒 =𝑅 + 𝐺 + 𝐵

3 (5)

R, G, B merupakan channel dari citra, selanjutnya dataset yang telah dikonversi menjadi satu channel dilakukan normalisasi dengan membagi dengan nilai tertinggi dari setiap pixel, yaitu 255, kemudian setiap dataset dikonversi menjadi array dengan tipe float.

Gambar 4 Dataset non-spermatozoa hasil pre-processing

(5)

SENTRA 2018 V | 73

2.3. Training Model

Uji coba yang dilakukan selama training adalah dengan membuat berbagai desain CNN dengan jumlah convolution yang berbeda untuk mendapatkan hasil akurasi yang terbaik. Pada percobaan dilakukan juga dengan perbandingan input dataset yang berupa grayscale dan RGB, dari percobaan input yang berbeda tersebut tipe dataset apa yang menghasilkan nilai terbaik. Selain itu uji coba juga dengan rekayasa filter yang digunakan mulai dari filter 3x3, 4x4 dan 5x5. Gambar 5 merupakan desain model yang diusulkan pada penelitian ini.

Gambar 5 Dataset spermatozoa hasil pre-processing

Pada desain model yang berada pada kotak patah-patah, merupakan rekayasa model dengan menggunakannya sekali, dua kali dan tiga kali pada saat training. Model yang didesain terdiri atas lapisan ekstraksi fitur yaitu lapisan convolution yang akan menghitung output dari neuron yang terhubung ke daerah lokal dalam input, masing-masing menghitung produk titik antara bobot mereka dan wilayah kecil yang terhubung ke dalam volume input dan pooling berfungsi mereduksi input secara spasial (mengurangi jumlah parameter) dengan operasi down-sampling, pada desain yang digunakan pada penelitian ini menggunakan max pooling atau mengambil nilai terbesar dari bagian tersebut.

Lapisan berikutnya adalah lapisan klasifikasi, yang berguna mengklasifikasikan tiap neuron yang telah diekstraksi fitur sebelumnya, yang terdiri atas: flatten, yang membentuk ulang fitur menjadi sebuah vector agar bisa kita gunakan sebagai input dari lapisan fully-connected.

Fully-connected, lapisan yang akan menghitung skor kelas yang menentukan output dari data yang diolah. Seperti Jaringan Saraf biasa, setiap neuron dalam lapisan ini akan terhubung ke semua angka dalam volume

Softmax adalah lapisan yang berfungsi menghitung probabilitas dari setiap kelas target atas semua kelas target yang memungkinkan dan akan membantu untuk menentukan kelas target untuk input yang diberikan. Keuntungan utama menggunakan Softmax adalah rentang probabilitas output dengan nilai 0 hingga 1, dan jumlah semua probabilitas akan sama dengan satu. Yang paling penting dalam proses training adalah menentukan dengan tepat lost function yang digunakan, pada penelitian ini lost function yang digunakan adalah: classical categorical cross-entropy yang mempunyai persamaan matematika pada Persamaan 6.

𝐻 = − ∑ 𝑦𝑛log (𝑓(𝜃, 𝑥𝑛))

𝑁

𝑛=1

(6)

Selama training dilakukan bobot di update menggunakan algoritma Adam optimization.

Algoritma ini adalah algoritma optimasi gradient descent yang menghitung tingkat pembelajaran adaptif untuk setiap parameter. Adam merupakan algoritma yang mengombinasikan RMSProp dan classical momentum. Saat ini Adam menjadi pilihan favorit sebagai alat optimisasi pada deep learning.

Input Convolution Relu Convolution Relu Max Pooling Dropout Flatten Dense Relu Droput Dense

3x

Softmax

Lapisan fitur ekstraksi

Lapisan klaisifikasi

(6)

SENTRA 2018 V | 74

2.4. Testing Model

Desain model convolution neural network akan diimplementasikan pada python yang menggunakan keras dan tensorflow sebagai backend. Dimana keras dan tensorflow merupakan library yang saat ini sering digunakan untuk training dan testing model convolution neural network. Data sample yang digunakan untuk training dan testing mempunyai perbandingan 80:20, dimana sebanyak 80 persen digunakan sebagai training dan 20 persen digunakan sebagai testing atau validasi.

2.5. Evaluasi Model

Untuk mengukur performa hasil deteksi spermatozoa dan training CNN adalah dengan mencari nilai precision, recall, serta nilai akurasi dari suatu model. Akurasi didefinisikan sebagai persentase dari data uji yang diklasifikasikan ke kelas yang benar. Akurasi dapat dinyatakan dalam Persamaan 7.

𝐴𝑘𝑢𝑟𝑎𝑠𝑖 = 𝑇𝑃 + 𝑇𝑁

𝑇𝑃 + 𝑇𝑁 + 𝐹𝑃 + 𝐹𝑁𝑥100% (7)

Selain akurasi, nilai precision dan recall juga dapat digunakan untuk mengetahui kinerja model klasifikasi. Precision merupakan ukuran ketepatan berupa persentase dari tupple yang diklasifikasikan ke kelas positif yang benar-benar merupakan kelas positif. Sedangkan recall adalah ukuran kelengkapan berupa persentase tupple positif yang diklasifikasikan sebagai kelas positif. Perhitungan precision dan recall dilakukan berdasarkan Persamaan 8.

𝑃𝑟𝑒𝑠𝑖𝑠𝑖 = 𝑇𝑃

𝐹𝑃 + 𝑇𝑃𝑥100% (8)

3. Hasil dan Pembahasan

Untuk memastikan hasil dari parameter CNN pada metodologi adalah yang terbaik, diperlukan suatu perbandingan parameter yang lainnya. Dalam perbandingan parameter ini yang akan dibandingkan adalah dimensi data, ukuran filter, jumlah data dan jumlah convolution pada desain model.

3.1 Dimensi Data

Percobaan dengan menggunakan data yang berdimensi berbeda setelah di pre-processing dengan ukuran 64x64x1 dan 64x64x3 dengan tujuan untuk mengetahui hasil terbaik dari sisi dimensi data citra.

Hasil Training dengan menggunakan data 1D, menghasilkan akurasi terbaik dengan akurasi 98% dan validasi loss 0.02, menggunakan model kedua dengan tiga lapisan konvolusi dan filter 7x7, validasi akurasi dan loss, ditunjukkan pada Gambar 6. Sedangkan sample citra 3D, menghasilkan akurasi 97% dengan loss 0.03, dengan menggunakan model pertama yang terdiri atas dua lapisan konvolusi dan filter 7x7.

Gambar 6 Garifk akurasi dan loss data training

(7)

SENTRA 2018 V | 75

3.2 Jumlah Lapisan Konvolusi

Lapisan konvolusi merupakan lapisan terpenting dalam CNN, sehingga perlu di uji jumlah lapisan yang terbaik pada model yang di usulkan. Hasil pengujian, lapisan terbaik dengan nilai terbaik terdapat pada model yang terdiri atas tiga lapisan konvolusi, nilai akurasi yang di dapatkan ra 97% dan loss 0.03.

Model ketiga yang terdiri atas empat lapisan konvolusi, tidak terpengaruh dengan filter yang digunakan. Hasil uji coba berbagai parameter yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 1.

3.3. Ukuran Filter

Ukuran filter yang sering digunakan pada umumnya yaitu 3x3, 5x5, dan 7x7. Untuk menentukan ukuran filter yang terbaik yang digunakan, pada percobaan pada setiap model yang diusulkan. Hasil percobaan ditunjukkan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut, ukuran filter yang menghasilkan hasil terbaik adalah 7x7 dengan akurasi 98%.

Untuk ukuran filter 5x5 dan 3x3 didapatkan akurasi sebesar 97%. Seperti yang diketahui menggunakan ukuran filter lebih sedikit memang membuat jaringan memiliki banyak parameter tetapi kadang ada kasus dimana dengan sedikit parameter lebih baik.

3.4. Hasil Pengujian dan Analisis

Hasil pengujian dari model yang diusulkan pada metodologi terpapar pada Tabel 1. Akurasi terbaik pada type data yang digunakanyaitu type data 3D. Ini dikarenakan citra Citra 3D mempunyai tiga kanal sehingga lebiha banyak feature yang dapat diektrasksi dalam proses konvolution.

Model terbaik ditunjukkan pada model kedua dengan filter 7x7 dan dimensi data 1D pada tabel 1, permasalahannya model kedua akurasi nya berkurang ketika filter dikurangi dan ditambah, sehingga model kedua ini tidak bisa dijadikan acuan karena bisa berubah secara signifikan ketika filter dikurangan dan ditambahkan.

Tabel 1 Hasil akurasi dan loss data training No Dimensi Conv

Filter

3x3 5x5 7x7

Acc Loss Acc Loss Acc Loss

1

1D

2 0,97 0,03 0,46 0,54 0,46 0,54

2 3 0,46 0,54 0,81 0,19 0,98 0,02

3 4 0,93 0,07 0,46 0,54 0,9 0,1

4

3D

2 0,46 0,54 0,95 0,05 0,97 0,03

5 3 0,9 0,1 0,46 0,54 0,46 0,54

6 4 0,97 0,03 0,95 0,05 0,95 0,05

Model yang direkomendasikan dalam percobaan adalah model ketiga karena stabil terhadap jumlah filter yang diberikan

4. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan hasil ujicoba metode Deep Learning Convolutional Neural Network dalam mendeteksi spermatozoa dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Citra satu dimensi akan menghasilkan akurasi lebih baik dibandingkan tiga dimensi pada penelitian dengan objek spermatozoa.

2. Ukuran lapisan konvolusi yang semikin banyak tidak menjamin hasil akurasi deteksi lebih.

3. Penggunaan filter tidak berpengaruh signifikan jika lapisan konvolusi yang digunakan benar dan tepat.

4. Penelitian selanjut nya dapat diteliti pengaruh berbagai macam optimasi terhadap akurasi deteksi.

Daftar Notasi

Contoh penulisan notasi dapat diuraikan dengan keterangan sebagai berikut:

S(t) : Output tunggal berupa feature map x : Input

(8)

SENTRA 2018 V | 76

w : kernel atau filter i dan j : piksel dari citra K : Kernel

I : input

W : Panjang/tinggi input N : Panjang/Tinggi filter P : Zero Padding S : Stride R : Red Channel G : Green Channel B : Blue Channel

ƒ(𝜃,n) : fungsi prediksi probabiltas

N : Jumlah kelas (spermatozoa, non-spermatozoa) 𝑦𝑛 : biner indicator (0 atau 1)

TP : True Positif TN : True Negatif FN : False Negatif FP : False Positif Referensi

[1] Fereidoon Nowshiravan Rahatabad, Mohammad Hassan Moradi, Vahid Reza Nafisi: A multi steps algorithm for sperm segmentation in microscopic image. IEC (Prague) 2005: 419-421 [2] Witkowski L: An automatic system for calculating basic semen parameters. In: A. Nowakowski

(Ed.), TASK Quarterly, Sci Bul Acad Comput Centre in Gdansk, TASK Publishing, Gdansk 2004, v.8, 2: 231236

[3] Witkowski L Examination of the density of semen and analysis of sperm cell movement. Journal Of Medical Informatics & Technologies. Vol 3.2002

[4] Mohammad R. Ravanfar, Mohammad H. Moradi,” Low Contrast Sperm Detection and Tracking by Watershed Algorithm and Particle Filter”, 18th Iranian Conference on BioMedical Engineering 978-1-4673-10055/11 /$26.00 ©2011 IEEE

[5] Clement Leung, Zhe Lu, Navid Esfandiari, Robert F. Casper, Yu Sun,” Detection and Tracking of Low Contrast Human Sperm Tail”, 6th annual IEEE Conference on Automation Science and Engineering 9781-4244-5449-5/10 /$26.00 ©2010 IEEE.

[6] Ms. V.S.Abbiramy, Dr.V.Shanthi, Charanya Allidurai,” Spermatozoa Detection, Counting and Tracking in Video Streams to Detect Asthenozoospermia”, 2010 International Conference on Signal and Image Processing 978-1-4244-8594-9/10/ $26.00 2010 IEEE.

[7] P. Salembier, A. Gasull, F. Marques, E. Sayrol, “Morphological Detection based on Size and Contrast Criteria Application to Cells Detection”, ©IEEE 0-7803-0785-2/92 $03.00 1992

©IEEE.

[8] Amit R. Chavan, A. R. Shastri, R. K. Shastri and S. B. Deosarkar,” Counting of Frozen Semen Straws using Image Processing”, 2013,Third International Conference on Advances in Computing and Communications

[9] Priyanto Hidayatullah, Miftahudin Zuhdi,” Automatic Sperms Counting using Adaptive Local Threshold and Ellipse Detection”, International Conference on Information Technology Systems and Innovation (ICITSI) 2014

[10] Prof.Dr.Ir.Trinil Susilawati, Spermatologi, Edisi pertama,Malang. 2011

[11] Keiron O’Shea, Ryan Nash, An Introduction to Convolutional Neural Networks,arXiv:1511.08458v2,2015

[12] JürgenSchmidhuber, Deep learning in neural networks: An overview, Neural Networks, Volume 61, January 2015, Pages 85-117

[13] Nima Tajbakhsh ; Jae Y. Shin ; Suryakanth R. Gurudu,Convolutional Neural Networks for Medical Image Analysis: Full Training or Fine Tuning?, IEEE Transactions on Medical Imaging,Volume: 35 , Issue: 5 , May 2016

Gambar

Gambar 1 CNN sederhana terdiri lapisan convolutional, lapisan maxpooling, lapisan full connected  dan lapisan output
Diagram  alur  tahapan  yang  dilakukan  pada  penelitian  ini,  dapat  ditunjukkan  pada  Gambar  2
Gambar 3 Dataset still image ekstraksi gambar dari video
Gambar 5 Dataset spermatozoa hasil pre-processing
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah jaringan yang sederhana mempunyai struktur feedforward, dimana signal bergerak dari input kemudian melewati lapisan tersembunyi dan akhirnya mencapai unit output

Selanjutnya NNBp menggunakan nilai bobot dan bias yang dihasilkan dari proses pembelajaran untuk menghitung nilai output dari lapisan tersembunyi dan.. Wifi Positioning

Pemodelan memerlukan 6 neuron input untuk menginputkan ciri-ciri binatang dan 5 neuron output (sesuai dengan jumlah kelas yang ditentukan).. Kata Kunci : Kohonen

Pemodelan memerlukan 6 neuron input untuk menginputkan ciri-ciri binatang dan 5 neuron output (sesuai dengan jumlah kelas yang ditentukan).. Kata Kunci : Kohonen

Ketika deep learning diimplementasikan, awalnya system komputer akan kesulitan untuk memahami arti dari data input yang diberikan, seperti data gambar yang

Model RBFNN yang terbentuk dari data banyak kasus demam berdarah di Kota Surabaya adalah model dengan 8 neuron input, 11 neuron tersembunyi dan 1 output. Model Hybrid