• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir & Daerah Aliran Sungai ke-1 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 9 April 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir & Daerah Aliran Sungai ke-1 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 9 April 2015"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

370

Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir & Daerah Aliran Sungai ke-1 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 9 April 2015

Pemetaan Habitat Bentik Sebagai Dasar Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Pulau Menjangan Besar dan

Menjangan Kecil Kepulauan Karimunjawa)

Pramaditya Wicaksono

a

, Prama Ardha Aryaguna

b

, Hidayat Akhyar

c

a Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281, email:

prama.wicaksono@geo.ugm.ac.id

b S2 Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281, email:

aryaguna.geografi@mail.ugm.ac.id

c S1 Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281, email:

hdyt.a07072@gmail.com

Abstrak

Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, informasi spasial dan temporal mengenai distribusi sumberdaya alam habitat bentik merupakan komponen yang fundamental dan menjadi dasar pertimbangan dalam berbagai aktivitas pengelolaan. Informasi habitat bentik tersebut hanya dapat disajikan secara efektif dalam bentuk peta. Pendekatan terbaik dalam membuat peta habitat bentik adalah dengan menggunakan data penginderaan jauh sebagai sumber data utamanya. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemetaan habitat bentik di Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil, Kepulauan Karimunjawa, menggunakan integrasi data penginderaan jauh dan data lapangan habitat bentik. Citra penginderaan jauh yang digunakan adalah Worldview-2. Data lapangan habitat bentik diperoleh melalui metode photo-transect, yang digunakan untuk mendapatkan informasi tutupan habitat bentik dan persentase tutupan terumbu karang hidup. Data penginderaan jauh dan lapangan diintegrasikan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi multispektral per- piksel dan berbasis objek (OBIA) dan pemodelan empiris. Klasifikasi multispektral diterapkan pada data terkoreksi radiometrik untuk memperoleh distribusi spasial habitat bentik, sedangkan pemodelan empiris dilakukan untuk memetakan persentase tutupan terumbu karang hidup. Peta yang dihasilkan mampu menunjukkan distribusi spasial habitat bentik di kedua pulau sekaligus kondisi persentase terumbu karang hidupnya, yang dimana saat ini masih sangat jarang tersedia. Informasi dalam peta tersebut akan sangat bermanfaat bagi pengelola wilayah pesisir dalam melihat kondisi eksisiting dan kesehatan wilayah pesisirnya, membantu mengambil keputusan pengelolaan, maupun dalam mengevaluasi kebijakan pengelolaan yang telah berlangsung.

Kata kunci

Worldview-2; habitat bentik; pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil; pemetaan

PENDAHULUAN

Habitat bentik menyediakan berbagai macam fungsi, baik ekologis maupun ekonomis, bagi kehidupan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Diantara fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai sumber plasma nutfah dan biodiversitas bagi kehidupan laut, tempat mencari makan, bertelur dan berpijah bagi banyak biota laut, perlindungan pantai dari gelombang, penstabil sedimen, penjernih air, penyerap karbon, sumber material untuk farmasi dan industri, serta fungsi pariwisata (Laffoley & Grimsditch, 2009; Eveleth, 2010). Tiap tahunnya, fungsi yang disediakan oleh habitat bentik tersebut jika dikonversikan dalam bentuk nominal uang dapat mencapai 25.079 USD/ha (Fourqurean, 2014). Kerusakan habitat bentik akan berarti sebuah kerugian yang sangat besar dan berdampak jauh kedepan, karena efek dari kerusakan bentik habitat akan berimbas buruk pada ekosistem disekitarnya dan semua biota yang bergantung pada kelestarian habitat bentik. Untuk dapat menjaga dan mengamankan fungsi dari sumberdaya tersebut dengan baik dan berkelanjutan maka perlu sebuah pengelolaan yang tepat. Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, informasi spasial dan temporal mengenai distribusi sumberdaya alam habitat bentik merupakan komponen yang fundamental dan menjadi dasar pertimbangan dalam berbagai aktivitas pengelolaan.

Tema 3

(2)

Informasi spasial dan temporal mengenai habitat bentik yang sangat dibutuhkan dalam pengelolaan tersebut hanya dapat disajikan secara efektif dalam bentuk peta.

Pendekatan terbaik dalam membuat peta habitat bentik adalah dengan menggunakan data penginderaan jauh sebagai sumber data utamanya. Penginderaan jauh mampu mengatasi beberapa isyu pemetaan dengan hanya mengandalkan data lapangan. Beberapa isyu dalam survei lapangan untuk pemetaan habitat bentik adalah:

1) waktu dan biaya yang lebih tinggi, terutama jika wilayah yang dipetakan sulit diakses dan cakupannya luas, 2) data yang terkadang tidak representatif terhadap variasi kondisi habitat bentik di wilayah kajian, 3) konteks spasial dan temporal sulit diperoleh, dan 4) untuk membuat peta yang utuh pada suatu wilayah diperlukan sampel yang sangat banyak sehingga tidak efektif. Meskipun demikian, informasi yang diperoleh dilapangan sangat detail, sehingga untuk mendapatkan manfaat dari keduanya, penginderaan jauh perlu diintegrasikan dengan data lapangan untuk pemetaan habitat bentik. Integrasi data penginderaan jauh dan data lapangan telah berhasil digunakan untuk pemetaan habitat bentik secara hierarki (Phinn et al. 2012), biofisik padang lamun (Wicaksono & Hafizt, 2013; Roelfsema et al. 2014), dan makro alga (Oppelt et al. 2012; Wicaksono, 2014a).

Gambar 1. Lokasi Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemetaan habitat bentik di Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil, Kepulauan Karimunjawa (Gambar 1), menggunakan integrasi data penginderaan jauh dan data lapangan habitat bentik.

Kepulauan Karimunjawa dipilih karena dianggap mampu mewakili habitat bentik yang sedang mengalami dampak pengelolaan. Saat ini aktivitas pengelolaan pariwisata bahari di Kepulauan Karimunjawa sedang meningkat dengan pesat (Jepara, 2014), dan berpotensi untuk memberikan tekanan terhadap kelestarian habitat bentik di wilayah tersebut. Tekanan terbesar tentunya ada pada terumbu karang, yang merupakan komoditas utama pariwisata di Kepulauan Karimunjawa. Secara spesifik, Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil dipilih karena kedua pulau tersebut paling dekat dengan pulau utama dan pusat keramaian dan termasuk pulau yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan. Oleh karena itu, informasi habitat bentik yang dipetakan tidak hanya distribusi spasialnya melainkan juga informasi persentase tutupan terumbu karang hidup. Informasi terumbu karang dipetakan dengan lebih rinci karena: 1) terumbu karang memiliki nilai estetika tinggi sehingga menjadi komoditas utama pariwisata di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada umumnya dan 2) sangat riskan terhadap perubahan kondisi lingkungan dan tekanan, dan apabila rusak cukup sulit untuk pulih kembali.

Tersedianya peta habitat bentik akan sangat berguna untuk penentuan kondisi baseline dari habitat bentik, proses natural resources inventorydi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, mengevaluasi dampak pengelolaan yang sedang berlangsung, dan membantu menentukan arah kebijakan pengelolaan kedepan.

(3)

METODE Survei Lapangan

Survei lapangan dilakukan untuk mendapatkan data referensi lapangan habitat bentik dan persentase tutupan terumbu karang hidup. Data tersebut diperoleh melalui teknik photo-transect dan photo-quadrate. Teknik photo-transect dilakukan untuk mendapatkan informasi komposisi habitat bentik secara cepat dan efektif (Roelfsema &

Phinn, 2009), sedangkan teknik photo-quadrate (Wicaksono & Hafizt, 2013) dilakukan untuk mendapatkan nilai absolut dari persentase tutupan terumbu karang hidup. Lokasi transek dipilih berdasarkan sampling mapping unit yang merepresentasikan variasi pantulan spektral habitat bentik, yaitu dengan melakukan klasifikasi tak terselia Isodata pada citra Worldview-2 terkoreksi sunglint (Deglint bands). Strategi sampling yang digunakan adalah stratified random aligned sampling.

Survei lapangan dilakukan pada tahun 2008 dan 2013. Total sampel habitat bentik yang diperoleh adalah sebanyak 991 dan sampel persentase tutupan terumbu karang sebanyak 112. Dari total sampel tersebut, sebagian (50%) digunakan dalam proses klasifikasi multispektral digital dan pemodelan empiris, dan sebagian lain (50%) digunakan untuk uji akurasi hasil klasifikasi dan pemodelan. Gambar 2 menunjukkan distribusi sampel lapangan habitat bentik di kedua pulau.

Gambar 2.Distribusi sampel lapangan di Pulau Menjangan Besar, Pulau Menjangan Kecil, dan habitat bentik disekitarnya

Masing-masing sampel photo-transect dikelaskan berdasarkan habitat dominannya, mengacu pada skema klasifikasi habitat bentik yang dikembangkan oleh Wicaksono (2014b). Skema tersebut terdiri dari tiga level kedetilan komposisi habitat bentik. Penelitian ini menggunakan skema klasifikasi level 1 yang terdiri dari 1) Terumbu Karang, 2) Padang lamun, 3) Makro alga, dan 4) Substrat terbuka. Untuk sampel photo- quadrate, persentase tutupan terumbu karang hidup dihitung secara kuantitatif pada komputer menggunakan rasio terumbu karang hidup per habitat lain dalam luasan kuadrat 1 x 1 m.

Pemetaan Habitat Bentik

Pemetaan habitat bentik dilakukan secara bertingkat. Pemetaan habitat bentik secara bertingkat telah dilakukan sebelumnya, antara lain oleh Phinn et al. (2012).

Penelitian tersebut mengkelaskan habitat bentik mulai dari tingkat yang paling umum yaitu tipe dan morfologi, hingga ke tingkat yang lebih detil yaitu komposisi habitat bentik.

Pada penelitian ini, pemetaan habitat bentik secara bertingkat diawali dengan memisahkan piksel daratan, optically shallow water, dan optically deep water. Panjang gelombang penginderaan jauh hanya mampu mengindera habitat bentik hingga batas kedalaman optically shallow water. Proses pemisahan piksel daratan dan optically deep water dilakukan melalui proses masking. Proses masking daratan dilakukan secara

(4)

otomatis menggunakan bantuan band rasio (NIR/R), yang dimana mampu mempertegas batas antara daratan dan tubuh air. Piksel optically deep water dipisahkan dari piksel optically shallow water dengan memanfaatkan nilai threshold optically deep water dan optically shallow waterpada band PC2 (Principle Component2).

Distribusi spasial habitat bentik diperoleh melalui klasifikasi multispektral berbasis piksel (per-piksel) dan berbasis objek (OBIA). Algoritma klasifikasi per-piksel yang digunakan adalah minimum distance, mahalanobis distance dan maximum likelihood.

Sedangkan algoritma OBIA yang digunakan adalah algoritma watershed dengan menggunakan parameter similarity, mean dan variance. Training area untuk proses klasifikasi tersebut adalah sampel photo-transecthabitat bentik pada skema level 1. Input dataset untuk proses klasifikasi multispektral adalah citra Worldview-2 yang telah mengalami beberapa perlakuan, yaitu: 1) Terkoreksi sunglint (Deglint bands), 2) Hasil transformasi Principle Component Analysis (PC bands), 3) Terkoreksi kolom air dengan teknik Inversed Method(IM bands) (Wicaksono, 2010), 4) Hasil transformasi PCA dari IM bands (IM-PC bands), 5) Terkoreksi kolom air dengan teknik Depth Invariant Bottom Index(DII) (Lyzenga, 1978), dan 6) Hasil transformasi PCA dari DII (DII-PC bands).

Hasil klasifikasi akan diuji akurasi menggunakan confusion matrix (Congalton &

Green, 2008). Klasifikasi dengan overall accuracy tertinggi serta user dan producer accuracy tertinggi untuk kelas terumbu karang akan digunakan sebagai citra masking terumbu karang. Kelas terumbu karang pada hasil klasifikasi per-piksel akan lebih lanjut digunakan dalam pemodelan empiris persentase tutupan terumbu karang hidup. Hasil pemodelan empiris tersebut hanya diterapkan dalam citra masking tersebut dan selanjutnya diintegrasikan dengan kelas habitat bentik lain pada hasil klasifikasi per- piksel dengan akurasi terbaik tersebut. Sedangkan kelas terumbu karang terbaik hasil OBIA akan diklasifikasikan lebih lanjut dengan menggunakan parameter segmentasi yang berbeda untuk mendapatkan kelas persentase tutupan terumbu karang hidup.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemetaan Habitat Bentik Menggunakan Klasifikasi Per-Piksel

Tidak semua band pada masing-masing dataset digunakan sebagai input klasifikasi per-piksel. IM band 6 (Red-edge) tidak digunakan karena nilainya tersaturasi akibat dari karakteristik algoritma Inversed Method. IM-PCA hanya menggunakan 3 band pertama (IM-PC1, IM-PC2, dan IM-PC3) karena IM-PC selanjutnya mayoritas mengandung noisedan eigenvalueyang sangat rendah. DII-PCA hanya menggunakan 8 band pertama (DII-PC1 – DII-PC8) dikarenakan sebab yang samapada IM-PC band.

Selanjutnya, dalam klasifikasi maximum likelihood untuk data DII, hanya 3 DII yang digunakan yaitu DII23 (biru-hijau), DII25 (biru-merah), dan DII35 (hijau-merah) dikarenakan algoritma maximum likelihood gagal melakukan proses klasifikasi menggunakan keseluruhan 16 band DII. Hasil klasifikasi habitat bentik menggunakan citra Worldview-2 dan algoritma klasifikasi per-piksel disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan akurasi dari masing-masing input band pada tiap algoritma klasifikasi per-piksel. MinDis = minimum distance, Mahalo = mahalanobis distance, MaxLik = maximum

likelihood

(5)

Gambar 4. Akurasi rata-rata beserta rentang confidence level to the mean (95%CL) dari masing- masing input band dalam proses klasifikasi habitat bentik.

Gambar 3 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa akurasi habitat bentik tertinggi diperoleh dari PC bands dan Deglint bands dengan akurasi keseluruhan 69.87% and 68.35%. Dari grafik pada Gambar 3, PC bands merupakan input band yang paling konsisten pada semua algoritma klasifikasi. IM bands mempunyai akurasi paling rendah karena adanya perambatan kesalahan dari input model koreksi tersebut. Hasil klasifikasi terbaik akan dijadikan dasar dalam proses masking kelas terumbu karang yang selanjutnya akan dimodelkan secara empiris persentase tutupannya. Untuk menekan perambatan kesalahan dalam pemodelan empiris persentase tutupan terumbu karang, masking kelas terumbu karang dipilih dari hasil klasifikasi terumbu karang dengan nilai user dan producer accuracy tertinggi dan terkonsisten. Perbandingan user dan producer accuracy dari masing-masing kelas habitat bentik dari hasil klasifikasi PC bands dan Deglint bands disajikan pada Gambar 5.

Berdasarkan grafik pada Gambar 5, hasil klasifikasi PC bands dipilih sebagai dasar pembuatan masking terumbu karang. Meskipun nilai user dan producer accuracy kelas terumbu karang dari Deglint bands dan PC bands sama, namun kelas padang lamun dan makro alga --yang paling sering ter-misklasifikasi sebagai terumbu karang-- mempunyai nilai user accuracy lebih tinggi pada PC bands, sehingga peluang untuk terjadinya perambatan kesalahan dan misklasifikasi pada kelas terumbu karang relatif lebih rendah. Gambar 6 menunjukkan peta habitat bentik dari PC bands dan citra masking terumbu karang yang diperoleh dari hasil klasifikasi tersebut.

Gambar 5. Perbandingan user dan producer accuracy dari hasil klasifikasi habitat bentik Deglint bands dan PC bands

(6)

(a)

(b)

Gambar 6. (a) Peta habitat bentik dari PC bands (69.87%) dan (b) citra hasil masking terumbu karang (user acc = 58.97%, producer acc = 54.76%) pada komposit warna PC bands RGB PC123.

Pemetaan Habitat Bentik Menggunakan OBIA

Klasifikasi OBIA dilakukan pada beberapa jenis input data dengan variabel terikatnya adalah parameter similarity, weight mean dan weight variance. Pengambilan skenario nilai untuk masing-masing parameter tersebut dilakukan melalui proses trial and error. Beberapa skenario segmentasi dengan input parameter yang berbeda-beda tersebut diterapkan dengan tujuan untuk mendapatkan hasil segmentasi yang baik, sehingga nantinya akan menghasilkan klasifikasi berbasis objek dengan akurasi yang tinggi. Akan tetapi, sebuah proses segmentasi yang baik tidak hanya ditentukan dari akurasi yang tinggi, namun juga tetapi berdasarkan efisiensinya. Berikut ini adalah hasil klasifikasi OBIA pada citra Worldview-2 (Gambar 7 – Gambar 12).

(7)

Gambar 7. Hasil segmentasi pada citra Worldview-2 Deglint bands, (a) Similarity 50, weight mean 0,7, weight variance 0,3 (b) Similarity 50, weight mean 0,3, weight variance 0,7, (c) Similarity 30,

weight mean 0,5, weight variance 0,5.

Gambar 8. Hasil segmentasi pada citra Worldview-2 PC bands, (a) Similarity 50, weight mean 0,7, weight variance 0,3 (b) Similarity 50, weight mean 0,3, weight variance 0,7, (c) Similarity 30,

weight mean 0,5, weight variance 0,5.

Gambar 9. Hasil segmentasi pada citra Worldview-2 DII, (a) Similarity 30, weight mean 0,5, weight variance 0,5, (b) Similarity 50 weight mean 0,3, weight variance 0,7, (c) Similarity 50

weight mean 0,7, weight variance 0,3.

(8)

Gambar 10. Hasil segmentasi pada citra Worldview-2 DII-PC bands, (a) Similarity 30, weight mean 0,5, weight variance 0,5, (b) Similarity 50 weight mean 0,3, weight variance 0,7, (c)

Similarity 50 weight mean 0,7, weight variance 0,3

Gambar 11. Hasil segmentasi pada citra Worldview-2 IM, (a) Similarity 30, weight mean 0,5, weight variance 0,5, (b) Similarity 50 weight mean 0,3, weight variance 0,7, (c) Similarity 50

weight mean 0,7, weight variance 0,3 .

Gambar 12. Hasil segmentasi pada citra Worldview-2 IM-PC bands, (a) Similarity 30, weight mean 0,5, weight variance 0,5, (b) Similarity 50 weight mean 0,3, weight variance 0,7, (c)

Similarity 50 weight mean 0,7, weight variance 0,3.

Hasil klasifikasi OBIA menunjukkan bahwa DII-PC bands memiliki tingkat overall accuracy tertinggi, yaitu 70,68% (Tabel 1). Dibandingkan dengan citra Deglint bands atau PC bands yang hanya memiliki akurasi sebesar 69,85% dan 69,44%, terdapat selisih antara 0,83 - 1,24%. Selisih akurasi tersebut tidaklah efektif dan signifikan jika melihat fakta bahwa hasil klasifikasi OBIA dari DII-PC bands dihasilkan dari segmen-segmen yang sangat kecil dan hampir tidak ada perbedaan dengan klasifikasi berbasis piksel (Gambar 10a). Kondisi ini justru mengaburkan kelebihan dari klasifikasi berbasis objek yang mampu mengelompokkan piksel dengan tidak hanya berdasarkan nilai piksel, tetapi juga berdasarkan parameter spasial lainnya seperti bentuk, tekstur, pola dan ukuran.

(9)

Berbeda dengan hasil dari segmentasi Deglint bands (Gambar 7) maupun PC bands (Gambar 8) dimana segmen terbentuk dari ukuran kluster piksel yang lebih besar, sehingga proses pembuatan segmen tidak memerlukan waktu yang terlalu lama. Proses segmentasi pada DII-PC bands memerlukan waktu lebih dari 10 kali lipat lebih lama dibanding Deglint bands dan PC bands, dan lebih dari 100 kali lipat dibanding klasifikasi berbasis-piksel.

Berdasarkan beberapa percobaan segmentasi pada beberapa input data tersebut, dapat diketahui bahwa semakin banyak perlakuan yang diterapkan pada citra (misal:

koreksi radiometrik, transformasi), variasi antar pikselnya akan semakin bertambah, terutama pada daerah perairan dangkal dimana variasi habitat bentiknya sangat tinggi.

Akibatnya, untuk nilai parameter yang sama, segmen yang dihasilkan jauh lebih detail.

Kondisi tersebut dapat dengan jelas terlihat pada input DII, DII-PC bands, IM dan IM- bands (Gambar 9 - Gambar 12), sehingga ketika menggunakan input tersebut, parameter similarity perlu diperbesar nilainya agar segmen yang dihasilkan dapat lebih efektif.

Tabel 1. Overall accuracyhasil klasifikasi OBIA pada berbagai macam input data Worldview-2

No. Data dan Skenario Parameter Segmentasi Overall Accuracy (%)

1 Citra Deglint (Similarity 30 WeightMean 0,5 WeightVariance 0,5) 69,10 2 Citra Deglint (Similarity 50 Weight Mean0,5 Weight Variance0,5) 66,33 3 Citra Deglint (Similarity 50 Weight Mean0,3 Weight Variance0,7) 67,09 4 Citra Deglint (Similarity 50 Weight Mean0,7 Weight Variance0,3) 69,85 5 Citra PC bands(Similarity30 Weight Mean0,5 Weight Variance0,5) 68,94 6 Citra PC bands(Similarity50 Weight Mean0,5 Weight Variance0,5) 68,69 7 Citra PC bands(Similarity50 Weight Mean0,3 Weight Variance0,7) 67,59 8 CitraPC bands(Similarity50 Weight Mean0,7 Weight Variance0,3) 69,44 9 Citra DII-PC bands (Similarity30 Weight Mean0,5 Weight Variance0,5) 70,68 10 Citra DII-PC bands(Similarity50 Weight Mean0,7 Weight Variance0,3) 69,92 11 Citra DII-PC bands(Similarity50 Weight Mean0,3 Weight Variance0,7) 67,67 12 Citra DII (Similarity30 Weight Mean0,5 Weight Variance0,5) 60,55 13 Citra DII (Similarity50 Weight Mean0,7 Weight Variance0,3) 62,06 14 Citra DII (Similarity50 Weight Mean0,3 Weight Variance0,7) 62,81 15 Citra IM-PC bands(Similarity30 Weight Mean0,5 Weight Variance0,5) 21,94 16 Citra IM bands(Similarity30 Weight Mean0,5 Weight Variance0,5) 60,86 17 Citra IM-PC bands(Similarity50 Weight Mean0,7 Weight Variance0,3) 21,61 18 Citra IM-PC bands (Similarity50 Weight Mean 0,3 Weight Variance0,7) 20,37 19 Citra IM bands (Similarity50 Weight Mean0,7 Weight Variance0,3) 64,20 20 Citra IM bands(Similarity50 Weight Mean0,3 Weight Variance0,7) 63,19

Pemilihan hasil klasifikasi OBIA terbaik yang nantinya akan digunakan sebagai peta akhir habitat bentik dan dasar pembuatan maskingterumbu karang untuk klasifikasi persentase tutupan terumbu karang, tidak hanya dilihat dari overall accuracy tertinggi, tetapi juga mempertimbangkan beberapa faktor lain seperti producer dan user accuracy dari masing-masing kelas habitat bentik dan efektifitas waktu proses segmentasi.

Berdasarkan Gambar 13, meskipun hasil klasifikasi OBIA DII-PC bands menghasilkan akurasi tertinggi, hasil dari

Deglint bands yangakhirnya dipilih untuk membuat masking terumbu karang. Hasil segmentasi Deglint bands mempunyai nilai user dan producer accuracy kelas terumbu karang yang relatif sama baiknya dengan hasil DII-PC bands, sehingga apabila selanjutnya digunakan untuk pemetaan persentase tutupan terumbu karang, perambatan kesalahan dapat diminimalisir. Terlebih lagi, waktu proses segmentasi Deglint bandsjauh lebih cepat dibanding DII-PC bands,

(10)

Gambar 13. Grafik perbandingan user dan producer accuracy kelas terumbu karang. Nomor menunjukkan data dan skenario pada Tabel 1. Perbandingan dipilih untuk hasil klasifikasi OBIA

yang mempunyai overall accuracy hampir sama.

(a)

(b)

Gambar 14. (a) Peta habitat bentik dariOBIADeglintbands (69,85%) dan (b) citra hasil masking terumbu karang (user acc= 62,07%, producer acc = 42,86%) pada komposit warna RGB 432.

(11)

Secara umum, klasifikasi per-piksel maupun OBIA tidak menunjukkan perbedaan signifikan dalam memetakan distribusi habitat bentik di wilayah kajian. Perbedaan utama hanya ada pada bentuk kelas yang terbentuk dimana pada klasifikasi OBIA hasilnya lebih kompak dan secara kartografis lebih baik. Hanya saja, untuk sebuah peningkatan akurasi yang tidak signifikan (69,87 menjadi 70,68%), waktu yang dibutuhkan untuk proses klasifikasi OBIA sangat lama, sehingga membuat proses klasifikasi menjadi tidak efektif jika dibandingkan klasifikasi per-piksel.

Pemetaan Persentase Tutupan Terumbu Karang Pemodelan Empiris

Persentase tutupan terumbu karang hidup dimodelkan secara empiris menggunakan analisis korelasi Pearson Product Moment r dan multiple linear regression (MLR). Pemodelan empiris ini diterapkan pada piksel hasil masking terumbu karang dari klasifikasi per-piksel. Jumlah total sampel yang digunakan untuk pemodelan empiris adalah 60 dan untuk uji akurasi sebanyak 52. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa hanya Deglint bands, PC bands dan DII-PC bands yang mempunyai hubungan signifikan (95%CL) dengan persentase tutupan terumbu karang (Tabel 2). Analisis MLR hanya dilakukan pada tiga dataset tersebut. Hasilnya analisis MLR menunjukkan bahwa tidak banyak perbedaan SE antara Deglint bands, PC bands, dan DII-PC bands.

Tabel 2. Hasil pemodelan empiris tutupan terumbu karang (n = 60, batas r (95%CL) = 0,0625)

No Data Fungsi Regresi R2(95%CL) SE(%)

1 Deglint bands

170,17-(627,068*B1) + (429,302*B3) + (528,772*B4)-

(2072,62*B5)+(1770,379*B6) 0,086 27.47

2 PCbands 64,82-(0,094*PC1) -(0,395*PC2) -(0,776*PC3) -(0,517*PC4) +

(2,554*PC5) -(1,234*PC6) 0,066 27.76

3 DII-PC bands

62,171-(19,981*DII-PC1) -(9,541*DII-PC2)-(114,503*DII-PC3)+

(67,439*DII-PC4) 0,084 27.49

Dalam permodelan empiris, informasi yang diperoleh berada pada level data kontinyu, dimana akurasinya tidak dapat diperoleh melalui analisis confusion matrix.

Analisis Standard Error of Estimates (SE) digunakan untuk menghitung akurasi pemodelan tutupan terumbu karang. Berdasarkan Tabel 2, Deglint bands mempunyai nilai SE terendah, yang berarti mempunyai akurasi tertinggi, sehingga hasil pemodelan dari Deglint bands digunakan untuk mendapatkan distribusi spasial persentase tutupan terumbu karang pada daerah masking terumbu karang.

Gambar 15. Perbandingan luas habitat bentik dan tutupan terumbu karang di Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil, Kepulauan Karimunjawa hasil klasifikasi per-piksel dan pemodelan

empiris

(12)

Gambar 16. Peta habitat bentik dan tutupan terumbu karang di Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil hasil klasifikasi per-piksel dan pemodelan empiris.

Berdasarkan pemetaan habitat bentik menggunakan PC bands dan pemodelan empiris tutupan terumbu karang menggunakan Deglint bands, terumbu karang di Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil dapat dikategorikan dalam kondisi baik, karena kelas yang paling dominan adalah terumbu karang dengan tutupan 50-75%. Luas terumbu karang dengan tutupan 50-75% mencapai 172,88 ha atau sekitar 80,4% dari keseluruhan luas terumbu karang di wilayah kajian (Gambar 15). Sebaran tutupan terumbu karang dengan tutupan 0-25% dan 25-50% utamanya terdapat pada habitat bentik Pulau Karimunjawa, dimana pengaruh aktifitas manusia seperti limbah rumah tangga dan usaha, anchoring, jalur keluar masuk kapal, dan pembangunan infrastruktur paling banyak terjadi (Gambar 16). Dampak aktivitas manusia juga diindikasikan oleh tutupan makro alga yang jauh lebih luas dibandingkan terumbu karang dan padang lamun di Pulau Karimunjawa bagian selatan. Sisi timur habitat bentik di Pulau Menjangan Besar yang menghadap ke Pulau Karimunjawa juga didominasi oleh makro alga, menunjukkan bahwa aktivitas manusia mempunyai pengaruh terhadap komposisi dan dominasi habitat bentik. Makro alga merupakan salah satu indikator kunci kesehatan perairan habitat bentik, dimana meningkatnya dominasi makro alga berhubungan dengan turunnya kualitas air dan habitat bentik (Kutser et al. 2006; Oppelt et al. 2012).

OBIA

Hasil pemetaan tutupan terumbu karang menggunakan klasifikasi OBIA memiliki pola yang mirip dengan hasil pemetaan terumbu karang menggunakan pemodelan empiris (Gambar 17). Terumbu karang dengan tutupan 50-75% dan 75-100% masih merupakan kelas yang dominan (Gambar 18). Perbedaan utama ada pada distribusi terumbu karang dengan tutupan 75-100%, dimana pada hasil klasifikasi OBIA hanya terletak di selat antara Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil, sedangkan pada hasil pemodelan empiris tersebar di hampir seluruh area Reef Crest. Perbedaan luas antara hasil OBIA dengan pemodelan empiris lebih disebabkan pada perbedaan luasan masking terumbu karang. Proses generalisasi dalam klustering piksel pada OBIA membuat luasan terumbu karang pada hasil OBIA lebih luas dibanding hasil klasifikasi per-piksel. Proses uji akurasi dilakukan menggunakan analisis confusion matrix. Hasil klasifikasi OBIA tutupan terumbu karang mampu menghasilkan akurasi sebesar 64,46%

dari Deglint bandsdengan parametersimilarity30,weight mean0,7, danweight variance 0,3.

(13)

Gambar 17. Peta habitat bentik dan tutupan terumbu karang di Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil hasil klasifikasi OBIA

Peta habitat bentik yang dibuat melalui pendekatan penginderaan jauh ini akan sangat bermanfaat bagi kepentingan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pemetaan pada level ini secara rutin dapat digunakan untuk melakukan analisis perubahan dan monitoring kondisi dan komposisi habitat bentik, yang lebih lanjut dapat dikaitkan dengan pengaruh aktivitas manusia dan dampak dari implementasi kebijakan pengelolaan.

Gambar 18. Perbandingan luas habitat bentik dan tutupan terumbu karang di Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil, Kepulauan Karimunjawa hasil klasifikasi OBIA

KESIMPULAN

Penginderaan jauh merupakan pendekatan yang sangat baik dan efektif dalam penyediaan informasi spasial dalam mendukung pengelolaan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil. Pada penelitian ini, penginderaan jauh telah membuktikan dapat digunakan untuk memberikan informasi distribusi spasial habitat bentik dengan cepat dan akurat.

Citra Worldview-2 mampu menghasilkan peta habitat bentik dengan akurasi 69,87% dari klasifikasi per-piksel dan 70,68% dari klasifikasi segmentasi. Persentase tutupan terumbu karang hidup dapat dipetakan dengan SE sebesar 27,47% melalui pemodelan empiris dan 64,46% melalui klasifikasi segmentasi. Hasilnya menunjukkan bahwa terumbu karang di kedua pulau masih baik dengan tutupan dominan adalah kelas tutupan 50-75

(14)

% yang diprediksi seluas 172,88 -179,54 ha dan diikuti dengan kelas tutupan 75-100%

seluas 40,66 - 47,63 ha. Meskipun demikian, terdapat kecenderungan bahwa pada wilayah yang dekat dengan aktivitas manusia didominasi oleh makro alga, seperti pada habitat bentik di bagian selatan Pulau Karimunjawa dan sisi timur Pulau Menjangan Besar. Fakta ini dapat dijadikan indikator awal menurunnya kualitas habitat bentik akibat dampak aktivitas pengelolaan wilayah dan manusia. Dalam penelitian ini, perambatan kesalahan dapat terjadi pada saat pertama kali masking terumbu karang diterapkan.

Sehingga, jika pada hasil klasifikasi habitat bentik suatu piksel sudah tidak terkelaskan sebagai terumbu karang, maka piksel tersebut tidak akan terproses lebih lanjut dalam pemetaan tutupan terumbu karang, meskipun kenyataannya piksel tersebut mempunyai tutupan terumbu karang. Isyu lain adalah penggunaan klasifikasi OBIA, yang memakan waktu sangat lama meskipun wilayah kajian penelitian ini tidak terlalu luas. Aplikasi OBIA untuk wilayah lain yang jauh lebih luas memerlukan strategi khusus untuk meningkatkan efektifitas proses klasifikasi tersebut. Akhirnya, peta habitat bentik ini, yang terdiri dari distribusi persentase tutupan terumbu karang hidup, padang lamun, makro alga dan substrat terbuka, memberikan informasi baseline dari kondisi habitat bentik di wilayah kajian. Informasi ini kedepan akan sangat penting bagi pengelola wilayah pesisir dalam mengevaluasi kebijakan pengelolaan yang telah berlangsung, sehingga dapat digunakan sebagai landasan dan pertimbangan penting dalam strategi pengelolaan kedepan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada DigitalGlobe dan terhadap Prof.

Stuart Phinn dari Biophysical Remote Sensing Group, University of Queensland, Australia yang telah menyediakan citra Worldview-2 Kepulauan Karimunjawa untuk penelitian ini. Terima kasih pula kepada Muhammad Hafizt, M.Sc. dan staf Balai Taman Nasional Karimunjawa atas bantuannya dalam survei lapangan.

REFERENSI

Congalton, R. G., & Green, K. (2008). Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data: Principles and Practices. Mapping Science. Boca Rotan FL: CRC Press.

Eveleth, R. (2010). Seagrass: A Potential Carbon Sink (Report ENVR 102). UNEP.

Fourqurean, J. (2014, OCtober 21). Estimates of Seagrass Carbon Storage -Indonesia. Rio Grande, Brasil: The Blue Carbon Initiative, International Scientific Working Group Meeting.

Jepara, T. I. (2014). Kunjungan Statistik Wisatawan. Retrieved April 15, 2015, from Tourism Information Center.

Your Gateaway to Jepara Tourism: http://ticjepara.com

Kutser, T., Vahtmae, E., & Mersamaa, L. (2006). Spectral library of macroalgae and benthic substrates in Estonian coastal waters. Proc. Estonian Acad. Sci. Biol. Ecol. , 55 (4), 329-340.

Laffoley, D., & Grimsditch, G. (2009). The management of natural coastal carbon sinks. (G. Grimsditch, Ed.) Gland, Switzerland: IUCN.

Lyzenga, D. R. (1978). Passive Remote-Sensing Techniques for Mapping Water Depth and Bottom Features.

Applied Optics , 17, 379-383.

Phinn, S. R., Roelfsema, C. M., & Mumby, P. J. (2012). Multi-scale, object-based image analysis for mapping geomorphic and ecological zones on coral reefs. International Journal of Remote Sensing , 33 (12), 3768-3797.

Roelfsema, C. M., & Phinn, S. R. (2009). A manual for conducting georeferenced photo transects surveys to assess the benthos of coral reef and seagrass habitats. Queensland: Centre for Remote Sensing &

Spatial Information Science, School of Geography, Planning & Environmental Management, University of Queensland.

Roelfsema, C. M., Lyons, M., Kovacs, E. M., Maxwell, P., Saunders, M. I., Samper-Villarreal, J., et al. (2014).

Multi-temporal mapping of seagrass cover, species and biomass: A semi-automated object based image analysis approach. Remote Sensing of Environment , 150, 172–187.

Wicaksono, P. (2010). Integrated Model of Water Column Correction Technique for Improving Satellite-Based Benthic Habitat Mapping. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Wicaksono, P. (2014a). Pemetaan Makro Alga Menggunakan Citra Penginderaan Jauh Resolusi Spasial Tinggi di Pulau Kemujan Kepulauan Karimunjawa. Seminar Nasional Teknologi Terapan II. Yogyakarta:

Sekolah Vokasi UGM.

Wicaksono, P. (2014b). The use of image rotations on multispectral-based benthic habitats mapping. The 12th Biennial Conference of PORSEC 2014. Denpasar, Bali: PORSEC.

Wicaksono, P., & Hafizt, M. (2013). Mapping seagrass from space: Addressing the complexity of seagrass LAI mapping. European Journal of Remote Sensing , 46,18-39.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk calon Profesor dengan prestasi sangat luar biasa di bidang keahliannya (misalnya menekuni dan merintis bidang baru serta menghasilkankarya luar biasa), Senat Akademik

 Panitia Ad Hock Pemilihan Rektor 2014 di Senat Akademik bertugas menyiapkan informasi yang diperlukan dan mengatur proses pemilihan di Senat Akademik agar pemahaman setiap

Dengan dibuatnya sistem informasi yang baru ini, sistem administrasi dan penggajian pada Bengkel Sumber Jaya Motor yang tadinya masih manual menjadi sistem yang

Dengan diterapkannya teknologi dan aplikasi pertanian padi di Lamongan dari hasil penelitian proyek ini nantinya diharapkan tiap daerah di Indonesia bisa berswasembada pangan

Pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasional, keputusan yang dihasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten untuk memaksimumkan hasil atau

Dari data di atas maka dapat diketahui bahwa efisiensi rata-rata penggunaan bahan bakar premium yang paling maksimal adalah ketika menggunakan manifold 4 dan dengan penambahan

Berdasarkan Tabel 2 dapat dijelas- kan bahwa nilai praktikalitas handout yang dilengkapi peta konsep oleh guru adalah 85,93% dengan kriteria praktis. Hal ini

Selain itu, pada website pemerintah daerah Kabupaten Kulonprogo juga belum tersedia peta-peta pertanian, sehingga dengan adanya pembuatan peta-peta pertanian yang