• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PEKERJA SOSIAL PADA PENDAMPINGAN PEREMPUAN PENYINTAS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) DI RUMAH PERLINDUNGAN TRAUMA CENTER (RPTC) BAMBU APUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN PEKERJA SOSIAL PADA PENDAMPINGAN PEREMPUAN PENYINTAS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) DI RUMAH PERLINDUNGAN TRAUMA CENTER (RPTC) BAMBU APUS"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PEKERJA SOSIAL PADA PENDAMPINGAN PEREMPUAN PENYINTAS KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA (KDRT) DI RUMAH PERLINDUNGAN TRAUMA CENTER (RPTC) BAMBU APUS

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Tina Ramadanti 11141110000039

HALAMAN JUDUL

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA 2021

(2)

i

(3)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswi:

Nama: Tina Ramadanti NIM: 11141110000039 Program Studi: Sosiologi

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

PERAN PEKERJA SOSIAL PADA PENDAMPINGAN PEREMPUAN PENYINTAS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) DI RUMAH PERLINDUNGAN TRAUMA CENTER (RPTC) BAMBU APUS.

………

………

………

dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Ciputat, 22 Juli 2021

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Program Studi Pembimbing

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Dr. Vinita Susanti, M.Si NIP. 197609182003122003

(4)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI PERAN PEKERJA SOSIAL PADA PENDAMPINGAN PEREMPUAN PENYINTAS KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA (KDRT) DI RUMAH PERLINDUNGAN TRAUMA CENTER (RPTC) BAMBU APUS

Oleh:

Tina Ramadanti 11141110000039

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.

Ketua, Sekretaris,

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Dr. Joharotul Jamilah, M.Si., M.A NIP. 197609182003122003 NIP.1960808161997032002

Penguji I, Penguji II,

Dra. Ida Rosyidah, M.A Dr. Dzuriyatun Toyibah, M.Si NIP. 196306161990032002 NIP. 197608032003122003 Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 22 Juli 2021

Ketua Program Studi ……

FISIP UIN Jakarta

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si NIP. 1976091820031

(5)

iv ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji mengenai Peran Pekerja Sosial pada Pendampingan pada Perempuan Penyintas Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Bambu Apus. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif dengan pendekatan naratif. Teknik pengumpulan data didapat dengan melakukan wawancara, observasi dan studi dokumen berupa laporan hasil assesmen penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Penelitian ini menggunakan kerangka teori peran menurut Biddle dan kerangka teori, metode pekerjaan sosial menurut Higham.

Dalam menjalankan perannya, pekerja sosial berpedoman pada norma (norm) yang mengatur bagaimana seharusnya pekerja sosial bertindak. Sehingga pekerja sosial mengetahui apa saja yang menjadi harapan peran (expectation) yaitu serangkaian tugas yang harus dijalankan seorang pekerja sosial, serta dapat merealisasikannya kedalam wujud perilaku (performance) berupa pendampingan terhadap perempuan penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hasil penelitian ini adalah dalam menjalankan perannya pekerja sosial berpedoman pada UU-PKDRT Nomor 23 Tahun 2004, Standar Operasional Prosedur (SOP) RPTC Bambu Apus, Etika Profesi dan norma informal lain melaui sosialisasi yang dilakukan oleh senior nya. Adapun harapan peran (expectation) yang direalisasikan ke dalam wujud perilaku (performance) untuk melakukan pendampingan terhadap perempuan penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah pekerja sosial berperan sebagai assesor, konselor, planner, suporter fasilitator, mediator, negotiator,dan menejemen kasus.

(6)

v

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Tiada kata paling indah selain puji serta syukur kepada Allah SWT, yang telah menentukan segala sesuatu berada ditangan-Nya. Berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Pekerja Sosial pada Pendampingan Perempuan Penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Bambu Apus”. Sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, para pengikut dan para penerus perjuangan beliau hingga akhir zaman.

Selama penelitian dan penulisan skripsi ini banyak sekali hambatan yang penulis alami, namun berkat bantuan, dorongan, serta bimbingan berbagai pihak, akhirnya skripsi ini terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang-orang yang penulis hormati dan penulis cintai. Yang telah membantu secara langsung, ataupun tidak langsung dalam proses penulisan skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ali Munhanif, MA. Selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Cucu Nurhayati dan Ibu Joharotul Jamilah, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

vi

3. Ibu Dr. Vinita Susanti selaku dosen pembimbing yang dengan sabar mengarahkan, memberikan masukan dan motivasi dalam proses penulisan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Zuriyatun Toyibah, M.Si yang telah memberikan bimbingan dan masukan pada penulisan skripsi ini.

5. Bapak Kesep selaku dosen yang selalu membantu diskusi, memberikan semangat dan mendengarkan keluh-kesah penulis selama penulis menempuh studi.

6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Prodi Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan banyak ilmu, pengetahuan, inspirasi dan bimbingannya selama masa perkuliahan.

7. Para staf pengurus bidang akademik dan administrasi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu pengurusan berkas dalam proses penulisan skripsi ini.

8. Ibu Maimoon Mooduto selaku ketua Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Bambu Apus, yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian, serta memberikan semangat dan bimbingan dalam proses penelitian di RPTC Bambu Apus.

9. Ibu June Simanjuntak selaku Staf Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang, Kementrian Sosial. Yang telah membantu penulis dalam proses mencari data lapangan dan selalu menyediakan waktunya untuk berdiskusi atau hanya sekedar meluapkan keluh dan kesah penulis

(8)

vii

10. Mba Priska, Mba Ira, Mba Yuci selaku pekerja sosial di RPTC Bambu Apus yang sudah menyediakan waktu untuk menjadi informan penulis.

11. Mba Rara, Mba Ruth, Mas Ari, Mas Wawan dan seluruh Staf RPTC Bambu Apus yang sudah membantu penulis untuk memperoleh data lapangan.

12. Alm Bapak Tana Suryana tercinta yang telah memberi Suport baik tenaga ataupun materi. Terimakasih karena sering mengingatkan penulis melalui mimpi untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

13. Ibu Tumirah tercinta yang selalu memperjuangkan anak perempuannya dalam menempuh pendidikan sarjana. Terima kasih atas perjuangan kasih sayang dan cinta kasih yang tak terhingga.

14. Asep Triana selaku kaka dan adik-adik Devita Meyda Sari dan Tabbyana yang selalu mengingatkan dan membuat semangat dalam penulisan skripsi ini

15. Dwiyanto Wijaya yang selalu sabar mendengarkan keluh-kesah penulis, dan selalu memberikan dukungan baik moril ataupun materil dalam proses akhir penulisan skripsi ini.

16. Sahabat Tercinta Viki, Hani, Mela, Nining yang telah memberikan kenangan indah selama penulis menjadi mahasiswa dan yang tak pernah lelah untuk memberi semangat saran dan masukan kepada penulis

17. Seluruh teman-teman Sosiologi B 2014 yang sudah memberikan dukungan dan semangat terhadap penulis.

(9)

viii

18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini.

Sudah tentu terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun dari setiap pembaca sangat penulis harapkan, demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak yang memerlukan dan membutuhkannya sebagai referensi penulisan penelitian yang terkait.

Jakarta, 06 Juli 2021

Tina Ramadanti

(10)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... 1

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... Error! Bookmark not defined. PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

ABSTRAK ...iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR GAMBAR ...xii

BAB I ... 1

A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1. Tujuan ... 10

2. Manfaat Penelitian ... 11

D. Tinjauan Pustaka ... 11

E. Kerangka Konseptual ... 18

1. Pengertian Pekerja Sosial ... 18

2. Fungsi Pekerja Sosial ... 20

3. Pengertian Kekerasan dan Tindak Kekerasan ... 23

F. Kerangka Teori ... 26

G. Metode Penelitian ... 33

1. Pendekatan Penelitian ... 33

2. Metode Pengumpulan Data ... 34

H. Teknik Analisis Data ... 39

I. Sistematika Penulisan ... 40

BAB II ... 42

A. Latar Belakang Berdirinya RPTC Bambu Apus ... 42

B. Struktur,Sumberdaya dan Fasilitas di RPTC Bambu Apus ... 46

C. Hak dan Kewajiban Klien di RPTC Bambu Apus... 47

(11)

x

D. Kegiatan-kegiatan yang ada di RPTC Bambu Apus ... 54

BAB III ... 57

A. Profil Pekerja Sosial dan Klien KDRT... 58

B. Peran Pekerja Sosial dalam Pendampingan Perempuan Penyintas KDRT di RPTC Bambu Apus. ... 60

BAB IV ... 86

A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.A. 1 Angka Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Personal/Privat ... 3

Tabel 1.A. 2 Angka kasus KDRT yang ditangani RPTC Bambu Apus ... 8

Table 1.A.3 Data Informan Pendukung ... 34

Tabel 1.A.4 Data Informan Utama ... 35

Tabel 2.B. 1 Sumber daya manusia di RPTC Bambu Apus ... 46

Tabel 2.B. 2 Fasilitas RPTC Bambu Apus ... 47

Tabel 3.A. 1 Profil Pendidikan Pekerja Sosial ... 59

Tabel 3.A. 2 Angka kasus KDRT yang ditangani RPTC Bambu Apus ... Error! Bookmark not defined. Tabel 3.A. 3 Profil Penangan Klien oleh Pekerja Sosial ... 60

(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Kerangka Pemikiran ... 26 Gambar 1. 2 Struktur Organisasi RPTC Bambu Apus ... 46 Gambar 1. 3 Proses Pendampingan Rehabilitasi Sosial RPTC Bambu Apus ... 52

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Kekerasan terhadap sesama manusia seakan tidak mengenal ruang dan waktu. Kekerasan tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga terjadi di ruang domestik (Rumah Tangga) (Jamaa & Hadidjah, 2008).Yang tertera dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (2004), yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja termasuk suami, istri, anak dan pembantu rumah tangga. Fakta yang ada, korban terbanyak dari tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan (istri).

The World Health Organization (WHO) telah menetapkan bahwa kekerasan pada pasangan intim merupakan bentuk kekerasan yang paling umum terhadap perempuan. Berdasarkan data yang dikutip melalui situs resmi WHO, bahwa secara global sekitar 1 dari 3 (30%) perempuan di seluruh dunia telah menjadi korban kekerasan fisik, psikis dan seksual dari pasangan intim mereka.

Hampir sepertiga (27%) perempuan berusia 15-49 tahun pernah melaporkan bahwa mereka telah mengalami bentuk kekerasan fisik dan seksual yang

(15)

2

dilakukan oleh pasangan intim mereka. Perkiraan prevalensi kekerasan pasangan intim yang menimpa pada perempuan berkisar 20% di Pasifik Barat , 22% di negara-negara berpenghasilan tinggi dan 25 % di Negara Eropa, hingga 33% di wilayah Asia Tenggara. Data ini belum termasuk data survey saat pandemi.

(Violance Againts Women, 2018).

Phumzile Mlambo Ngcuka seorang Direktur Eksekutif UN Women, entitas PBB untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menuturkan bahwa semenjak pandemi Covid-19 data laporan kekerasan terhadap perempuan di berbagai negara semakin meningkat, khususnya pada kasus KDRT. Dilansir dari AP News melalui data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama pandemi angka KDRT di Italia meningkat sebanyak 76 %. Sedangkan negara Inggris mengalami peningkatan angka laporan KDRT sebanyak 65%. Selanjutnya negara Australia menglami kenaikan angka laporan KDRT sebanyak 75% dan negara Prancis sebanyak 42%.(VOA Indonesia, 2020).

Menurut Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterss faktor penyebab meningkatnya angka kasus KDRT pada masa pandemi COVID- 19 diberbagai negara adalah karena meningkatnya tekanan sosial ekonomi seperti kehilangan mata pencaharian dapat memicu stres terhadap masyarakat. Kondisi stres ini lah yang memicu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terjadi.

Untuk menanggulangi hal tersebut, Sekjen PBB Antoni Guterss mendesak pemerintah dunia untuk melakukan pencegahan dan penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai bagian penting dari respon nasional dalam menangani akibat dari wabah COVID-19. (Putra, 2020).

(16)

3

Di Indonesia kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah personal khususnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan sebuah kasus baru.

Komnas Perempuan mencatat tren laporan kasus kekerasan diranah privat/personal yang diterima mitra pengadalayanan dari tahun 2016 sampai 2020 :

Tabel 1.A. 1 Angka Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Personal/Privat

Tahun

Jenis Kekerasan

Jumlah Kekerasan

Terhadap Istri (KTI)

Kekerasan Terhadap

Anak Perempuan

(KTAP)

Kekerasan Dalam Pacaran

(KDP)

2016 5.784 1.799 2.171 9.754

2017 5.167 2.227 1.873 9.267

2018 5.144 1.417 2.073 8.634

2019 6.555 2.341 1.815 10.711

2020 3.221 954 1.309 5.484

JUMLAH 30.973 9.581 11.025 51.579

Sumber : CATAHU 2021 Komnas Perempuan Tahun 2016-2020

Menurut Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2021, terjadinya penurunan angka laporan kasus kekerasan pada tahun 2020 tidak dapat dikatakan bahwa kasus kekerasan di ranah personal berkurang. Sejalan dengan hasil survey Komnas Perempuan tentang dinamika kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi, penurunan jumlah kasus dikarenakan penyintas tidak berani melapor karena penyintas dekat dengan pelaku selama pandemi (PSBB). Serta model layanan yang belum siap dengan kondisi pandemi belum bisa beradaptasi merubah pengaduan menjadi online (Komnas Perempuan, 2021)

(17)

4

Maraknya jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia tidak hanya terjadi pada masa pandemi. Berdasarkan data diatas tahun 2019 merupakan jumlah kekerasan tertinggi pada perempuan di ranah personal yaitu sebanyak 10.711 kasus. Jumlah tersebut di dominasi oleh kasus kekerasan terhadap istri yaitu sebanyak 6.555 kasus. Selain itu, dalam kurun waktu lima tahun, tercatat sebanyak 51.579 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah personal. Kasus Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama yaitu sebanyak 60% dengan jumlah 30.973 kasus, disusul oleh angka Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sebanyak 21% yaitu 11.025 kasus dan Kekerasan Terhadap Anak Perempuan (KTAP) sebanyak 19% yaitu 9.581 kasus.

Berdasarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2018 terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Seperti faktor perkawinan, jika dilihat dari bentuk pengesahan perkawinan, seperti melalui kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya. Perempuan yang menikah secara siri, kontrak dan lainnya berpotensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan secara resmi dan diakui negara melalui catatan sipil dan KUA (Kemenppa, 2018)

Faktor perselingkuhan pasangan, perempuan yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik, dan psikis 2,48 kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh. Selain itu, perempuan dengan suami pengguna narkotika berisiko mengalami kekerasan fisik dan psikis 2 kali lebih besar dibandingkan yang tidak pernah menggunakan narkotika. Faktor ekonomi, perempuan yang berasal dari rumah tangga dengan tingkat

(18)

5

kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan psikis oleh pasangan (Kemenppa. 2018).

Selain faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga yang sudah dijabarkan tersebut, faktor sosial budaya bisa menjadi penyebab terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Menurut Syukur (2011), ada tiga faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga yaitu ; (1) budaya patriarki, (2) kesalahfahaman terhadap ajaran agama islam khususnya dalam kewajiban suami dan istri, (3) ketidakseimbangan posisi dan kekuatan yang dimiliki oleh pasangan suami istri.

Sejalan dengan penelitian Asmarany (2013) yang mengungkapkan laki- laki memiliki peluang lebih besar untuk melakukan kekerasan karena posisi statusnya yang dianggap lebih tinggi dari perempuan. Bias gender dalam patriarki, menempatkan perempuan berada di posisi lemah sehingga membuat laki-laki dominan dalam keluarga. Didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Syukur (2011 ) menjelaskan kesalahfahaman terhadap ajaran agama membentuk relasi kuasa yang timpang, menyebabkan suami lebih ditempatkan sebagai pemimpin dan perempuan di posisikan sebagai property laki-laki. Oleh karena itu perempuan harus selalu taat pada titah suami. Dalam hal ini suami dianggap sebagai “raja” yang harus dipatuhi. Selain itu,tindakan kekerasan dalam bentuk verbal (penghinaan, caci maki) dan nonverbal (pemukulan dan penamparan) yang dilakukan oleh suami dianggap sebagai bentuk pendidikan dan hukuman agar istri tidak melakukan penyimpangan.

(19)

6

Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri merupakan hal serius. Riset yang dilakukan oleh Sutrisminah (2012) menunjukan dampak negatif yang dialami pada perempuan penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah terganggunya reproduksi perempuan. Selain itu, dalam dunia sosialnya dapat menyebabkan perempuan menjadi terisolasi karena memikirkan beban masalah keluarga hingga perempuan memilih berhenti dari pekerjaannya. Adapun dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) lainya yang dialami istri adalah mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri, mengalami trauma, depresi hingga rasa keinginan untuk bunuh diri.

Jika perempuan penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak segera ditangani maka akan berdampak pada gangguan stres traumatis yang lebih serius dan dapat mengganggu keberfungsian sosial seseorang dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari (Kementrian Sosial, 2016). Dalam hal ini pemerintah mempunyai kewajiban untuk menangani kompleksitas permasalahan terhadap penyintas kekerasan dalam rumah tangga. Seperti yang diamanatkan dalam undang-undang bahwa negara dan pemeritah memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan bagi penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (Nurdin, 2016).

Seperti yang tertera dalam UU-PKDRT No 23 tahun 2004 pasal 10 mengenai hak-hak penyintas, yaitu pemerintah memiliki peran melakukan perlindungan sosial terhadap penyintas. Dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor

(20)

7

05 Tahun 2010, pemerintah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) sebagai bentuk pelayanan bagi penyintas kekerasan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyintas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Rumah Perlindungan Sosial Wanita (RPSW), Rumah Aman, Rumah Singah dan Rumah Pelindungan Trauma Center (RPTC).

Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 102 / HUK/ tahun 2007 dalam upaya melakukan pelayanan pendampingan terhadap penyintas tindak kekerasan, perlu dilaksanakan secara terus menerus , terpadu, terkoordinasi dan komperhensif. Untuk itu, diperlukan adanya Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC). RPTC dapat dibentuk oleh setiap unsur pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun provinsi dan kabupaten/kota, maupun masyarakat (seperti lembaga kesejahteraan sosial, kalangan dunia usaha, organisasi profesi, organisasi wanita dan organisasi lainnya yang peduli dengan upaya perlindungan sosial penyintas kekerasan. Setiap RPTC yang dibentuk harus mendapat izin dan legalisasi Kementrian Sosial RI dengan melakukan pengajuan proposal. Beberapa RPTC yang sudah terbentuk adalah RPTC Tanjung Pinang Riau, RPTC Bambu Apus Jakarta, RPTC Jawa Timur dan RPTC Nusa Tenggara Barat (Kemensos, 2016)

Adapun yang menjadi lokasi dalam penelitian ini adalah Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) yang beralamat di Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur. RPTC Bambu Apus merupakan salah satu Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang dibentuk oleh Kementrian Sosial RI yang menyediakan shelter

(21)

8

unit (Rumah Perlindungan) dan dalam kapasitas trauma center untuk melakukan pendampingan rehabilitasi sosial pada penyintas KDRT. Adapun data penanganan kasus KDRT yang telah ditangani oleh RPTC Bambu Apus adalah sebagai berikut :

Tabel 1.A. 1 Angka kasus KDRT yang ditangani RPTC Bambu Apus

NO Tahun Jumlah Kasus

1 2015 38

2 2016 44

3 2017 14

4 2018 12

5 2019 97

6 2020 43

Jumlah 248

Sumber : Laporan catatan tahunan angka KDRT di RPTC Bambu Apus

Berdasarkan data diatas, dalam kurun waktu enam tahun, ada 248 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang ditangani oleh RPTC Bambu Apus. Dalam melakukan penangan dan pendampingan pada penyintas KDRT, dengan kapasitasnya sebagai pusat trauma center, RPTC Bambu Apus meberikan pendampingan dan perlindungan secara komperhensif dan menyelesaikan permasalahan KDRT secara tuntas. Seperti melakukan intervensi internal dan melakukan fungsi referal untuk menyelesaikan permasalahan penyintas di tingkat lanjutan. Untuk menyelesaikan permasalahan KDRT di tingkat lanjutan, RPTC Bambu Apus telah bekerja sama dengan instansi baik pemerintah maupun

(22)

9

swasta. Seperti Komnas Perempuan, LBH Apik, Kepolisian, Rumah Sakit, dan dengan lembah Law Firm dibeberapa kota (Kemensos, 2017). Untuk itu, Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Bambu Apus menarik untuk dikaji lebih dalam.

Selain itu, pendampingan rehabilitasi sosial yang dilakukan di RPTC Bambu Apus dijalankan dengan cara-cara yang kreatif oleh pekerja sosial yang sudah mempunyai kompetensi secara profeesional dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pengalaman praktik dibidang pekerja sosial atau kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh lembaga pemerintah dan melakukan tugas professional pekerjaan sosial(Kemensos, 2016).

Adapun harapan peran pekerja sosial dalam melakukan pendampingan dan rehabilitasi sosial adalah untuk membantu mengembalikan fungsi sosial dari penyintas KDRT agar bisa hidup normal dan kembali ke keluarga serta masyarakat. Untuk mengembalikan keberfungsian sosial seseorang, pekerja sosial mempunyai harapan peran sebagai assessor, counsellor, planner, fasilitator, mediator, negotiator, educator dan menejer kasus. Higham (2006)

Menurut Biddle (1979) Harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku yang pantas, yang seharusnya ditunjukan seseorang yang memiliki peran tertentu. Untuk itu, sebuah harapan peran (expectation) harus diwujudkan dalam bentuk perilaku (performance) oleh aktor (pekerja sosial) yang ditujukan kepada target (penyintas KDRT) sesuai dengan aturan/norma (norm) yang telah dipelajari untuk mengembalikan fungsi sosial

(23)

10

target agar bisa kembali ke keluarga dan masyarakat. Studi ini akan memungkinkan memberi penjelasan yang lebih baik dengan menggunakan teori peran dari Bruce J Biddle untuk menganalisa bagaiman peran pekerja sosial melakukan pendampingan pada penyintas KDRT. Selain itu, teori dan metode pekerja sosial yang dikemukakan oleh Higham memungkinkan dapat membantu menjelaskan peran apa saja yang dijalankan oleh pekerja sosial dalam melakukan pendampingan pada perempuan penyintas KDRT.

B. Pertanyaan Penelitian

Dengan memperhatikan latar belakang diatas, maka penelitian ini akan fokus pada pertanyaan bagaiman peran pekerja sosial dalam melakukan pendampingan pada perempuan penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Rumah Perlndungan Truma Center (RPTC) Bambu Apus?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

Untuk mendeskripsikan bagaimana peran pekerja sosial dalam memberikan pendampingan sosial terhadap perempuan penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Bambu Apus.

(24)

11 2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis, untuk mendapatkan deskripsi secara teoritis tentang peran pekerja sosial dalam memberikan pendampingan pada perempuan penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Bambu Apus.

b. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi sumbangan ilmu terhadap pekerja sosial dalam mendampingi perempuan penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penelusuran Literatur, penulis menemukan beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang peran pekerja sosial dan peran yang sudah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) serta penelitian yang membahas tentang penyebab terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Penelitian yang dilakukan oleh Yustinus Bowo, Lilik Mulyadi dan Suryana Raharja (2018) membahas mengenai “Peran Perpolisian Masyarakat Dalam Menangani Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga Guna Terwujudnya Perlindungan Hukum”. Penelitian ini membahas mengenai peran Polisi Masyarakat (Polmas) dalam menangani permasalahan dalam rumah tanga yaitu dengan melakukan bimbingan, penyuluhan, pembinaan, sosialisasi dan menyediakan informasi tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

(25)

12

Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptip kualitatif dan menggunakan unit analisa teori perlindungan hukum dengan mewawancarai 4 orang Polmas Polda Daerah Istimewa Yogayakarta, 4 orang korban KDRT dan 1 orang anggota LSM Rifka Anisa. Hasil penelitian ini adalah dalam menangani permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kepolisian menggunakan cara Alternative Dispute Resolution atau dengan kata lain adalah mediasi untuk mencapai musyawarah mufakat kedua belah pihak dan kepolisian mencarikan solusi terbaik. Jika permasalahan bisa diselesaikan dengan musyawarah untuk memberikan efek jera maka kepolisian membuat perjanjian kepada pelaku untuk tidak melakukan tindak kekerasan terhadap anggota keluarga terutama istri. Kepolisian juga bekerja sama dengan tokoh setempat untuk mengawasi pelaku untuk tidak melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tanga (KDRT) lagi.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Indira Swasti Gama Bhakti (2020) dengan judul “Upaya Preventif Aparat Desa Dalam Penanggulangan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)”. Ia menyebutkan bahwa salah satu peran pemerintah dalam upaya penanganan kasus KDRT ini adalah dengan membentuk UU-PKDRT nomor 23 tahun 2004. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan pengumpulan dokumen untuk membantu peneliti dalam rangka memperoleh informasi yang akurat terkait dengan gejala yang akan diteliti.

(26)

13

Hasil dan analisa dari penelitian ini ditemukan bahwa peran aparat desa di kabupaten Magelang untuk mencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yaitu melakukan pendekatan secara pribadi serta pendekatan hukum kepada keluarga korban. Kemudian pembentukan UU-PKDRT adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam menangani kasus KDRT yang didominasi perempuan sebagai korban dan lelaki sebagai pelaku. Sehingga proses penegakan UU-PKDRT ini tidak bisa serta merta langsung dari pemerintahan pusat, melainkan dari berbagai elemen yang berkaitan untuk mencegah adanya tindakan- tindakan kekerasan di dalam keluarga.

Sidiq Aulia dalam tesisnya (2014) “Penanganan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh Badan Keluarga Berencana Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPMPP) di kabupaten Sleman Yogyakarta 2012-2013” Jenis penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (field research) dengan mewawancarai pihak lembaga BKBPMPP terkait dengan penanganan kasus KDRT di Sleman tahun 2012-2014. Sementara pendekatan penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif-sosiologis dengan model kerangka berfikir deduktif-induktif.

Dalam penemuannya, ia mengungkapkan faktor eksternal dan internal penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Faktor eksternal diantaranya disebabkan oleh ketimpangan dalam relasi keluarga, yang diperparah oleh faktor lainnya seperti faktor lingkungan dan budaya. Dalam faktor budaya tersebut misalnya budaya diam dan budaya premisif masyarakat yang menilai KDRT adalah kasus yang biasa terjadi. Serta minimnya pemahaman tentang UU-

(27)

14

PKDRT dan diperparah oleh kondisi keagamaan korban kekerasan yang kurang baik. Sementara faktor internal biasanya disebabkan oleh lemahnya menejemen pelaku dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di keluarga. Hal ini berakibat pada krisis kepercayaan dan hilangnya kasih sayang dalam keluarga.

Selain itu, ia mengemukakan telah terjadi perubahan mekanisme penyelesaian kasus KDRT yang biasanya diselasaikan melalui jalur perceraian.

Seiring dengan tuntutan zaman dan kebutuhan masyrakat atas peliknya masalah ini, banyak aktivis dan institusi memberikan perhatian kepada korban KDRT.

Misalnya dalam penelitian ini Badan Keluarga Berencana Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPMPP) melakukan perlindungan dan pendampingan terhadap korban KDRT , terutama pada perempuan dan anak.

Seperti perlindungan hukum, bantuan kesehatan hingga reintegrasi sosial korban KDRT.

Binahayati Rusdi dan Santoso Raharjo (2018) dalam tulisannya “Peran Pekerja Sosial dalam Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak”.

Dengan metode studi dokumentasi, peneliti menggunakan berbagai sumber nasional dan internasional menganalisa peran pekerja sosial dalam menangani Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yaitu dengan melakukan intervensi krisis, layanan rumah aman, advokasi, kelompok dukungan dan konseling.

Pekerja sosial melakukan referal dan advokasi untuk menghubungkan penyintas dengan layanan lain yang dibutuhkan, bagi perempuan dan anaknya selain penguatan rehabilitasi psikologis dibutuhkan juga layanan bantuan hukum,

(28)

15

kesehatan dan pekerjaan , pekerja sosial berperan untuk memastikan bahwa kebutuhan tersebut dapat diakses oleh klien.Selain itu pekerja sosial terlibat dalam case menegement maupun pelaksana treatment bagi anak dan keluarga. Misalnya pekerja sosial bekerja sama dengan sistem pengadilan dan sistem kesejahteraan anak lainnya dan terlibat dalam pengambilan keputusan apakah memindahkan anak dari orang tuanya/keluarganya dan menempatkan pada pengasuhan alternatif diluar keluarga. Dalam melaksanakan treatment pekerja sosial dapat melakukan psikoedukasi seperti mengajari anak untuk mengatur emosi dan mengajarkan keterampilan perlindungan diri.

Penelitian lain dilakukan oleh Lisa Hendikha (2017) yaitu “Peran Pekerja Sosial dalam Pemberdayaan Korban KDRT di Balai PSW Yogyakarta”. Dengan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode wawancara yang dilakukan kepada subjek seperti pekerja sosial, pengurus dan klien penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Wanita Yogyakarta. Dengan menggunakan teori metode dalam pekerjaan sosial, hasil analisnya adalah dalam melakukan pemberdayaan korban kekerasan dalam rumah tangga pekerja sosial berperan sebagai konselor, motivator, mediator, pelindung dan educator.

Pekerja sosial berperan sebagai konselor yaitu pekerja sosial melakukan konseling secara personal terhadap korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan menjadi pendengar serta menemukan solusi dari masalah tersebut.

Pekerja sosial sebagai motivator dengan memotivasi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) agar semangat untuk menjalankan kehidupannya. Selain

(29)

16

itu pekerja sosial sebagai mediator yaitu menghubungkan klien dengan lembaga pemerintah ataupun swasta misalnya lembaga bantuan hukum, psikolog, dokter dan kepolisian apabila korban membutuhkan. Sedangkan pekerja sosial sebagai educator yaitu memberikan pengetahuan dan keterampilan agar menjadi individu yang lebih baik

Indah Asmarany (2013) dalam risetnya “Bias Gender Sebagai Prediktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)” ia menjelaskan bagaimana tingkat korelasi antara bias gender menyebabkan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori bias gender.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi meta analisis digunakan untuk menerima atau menolak hipotesis yang diajukan dan mengoreksi adanya kesalahan penelitian peneliti terdahulu. Data penelitian ini diperoleh dari hasil penelusuran jurnal penelitian yang di publikasikan dari tahun 2000-2007 maka diperoleh sebanyak 80 jurnal, namun hanya 62 studi dari 33 peneliti yang memenuhi kriteria data yang diteliti untuk dianalisis dengan metode meta analisis ini. Adapun variabel yang digunakan adalah bias gender dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Hasil dan analisa dari studi meta analisis ini memperkuat landasan teori mengenai dominasi gender memunculkan tradisi kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki. Laki-laki memiliki peluang lebih besar untuk melakukan kekerasan karena posisi status nya yang lebih tinggi dari perempuan. Bias gender mengkonstruk perempuan harus taat pada suami dan perempuan menjadi submisif menerima segala bentuk perlakuan yang tidak adil. Bias gender menempatkan

(30)

17

perempuan berada di posisi lemah sehingga membuat laki-laki dominan dalam keluarga. Hal ini sangat merugikan perempuan dan semakin membuka peluang perempuan menjadi korban kekerasan. Hasil studi meta analisis ini mendukung studi-studi terdahulu yang mengatakan bahwa ada korelasi bias gender dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bila bias gender selalu terjadi di dalam masyrakat, maka dapat diprediksikan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Begitu juga sebaliknya bila bias gender tidak terjadi dalam masyarakat maka akan mempengaruhi berkurangnya atau tidak terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Secara garis besar dari literatur diatas, peran pemerintah dalam menangani kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yaitu dengan membentuk UU- PKDRT No. 23 Tahun 2004. Dalam menjalankan UU-PKDRT Polisi Masyarakat melakukan bimbingan, penyuluhan, sosialisasi dan menyediakan informasi tentang KDRT. Selain itu aparat desa dan lembaga BKBPMPP melakukan perlindungan hukum, bantuan kesehatan dan reintegrasi sosial terhadap penyintas KDRT. Perlindungan tersebut biasanya dilakukan oleh pekerja sosial. Adapun dalam menjalankan perannya, pekerja sosial menjadi assessor, konselor, fasilitator, mediator, negotiator dan educator.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan diatas, ada beberapa kesamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama membahas peran pemerintah dalam melaksanakan perannya dalam melakukan pendampingan pada penyintas KDRT berdasarkan UU-PKDRT Nomor 23 Tahun 2004. Serta membahas mengenai peran apa saja yang dilakukan oleh pekerja sosial pada pendampingan

(31)

18

perempuan penyintas KDRT berdasarkan teori dan metode pekerjaan sosial.

Namun, belum ada yang menjelaskan secara lebih lanjut bagaimana cara kerja dari peran tersebut. Seperti bagaimana individu menginternalisasi norma untuk menjalankan sebuah harapan peran yang direalisasikan ke dalam bentuk perilaku berdasarkan teori, metode dan aturan pekerja sosial.

Penelitian ini memfokuskan pada penggalian informasi tentang pengalaman informan yaitu pekerja sosial dalam melakukan pendampingan pada penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Selain itu yang menjadi pembeda penelitian ini dari penelitian yang lain adalah menjelaskan peran pekerja sosial dalam pendampingan penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) secara sosiologis dengan munggunakan teori peran dari Bruce J Biddle sebagai pisau analisa penelitian ini dan menggunakan teori Higham untuk menjelaskan peran apa saja yang dilakukan pekerja sosial dalam melakukan pendampingan pada penyintas KDRT.

E. Kerangka Konseptual

1. Pengertian Pekerja Sosial

Pengertian pekerja sosial menurut Zastrow (1982) adalah aktivitas profesional untuk membantu individu, kelompok atau komunitas guna meningkatkan atau memperbaiki kapasitasnya untuk berfungsi secara sosial dan menciptakan kondisi masyarakat guna mencapai tujuan-tujuannya. Sedangkan menurut Skidmore et al., (1994) pekerja sosial memiliki tujuan untuk meningkatkan keberfungsian sosial baik secara individual atau kelompok dimana kegiatannya difokuskan kepada relasi sosial mereka khususnya interaksi antar manusia dan

(32)

19

lingkungannya. Pada prinsipnya pekerjaan sosial merupakan sebuah profesi yang bertujuan untuk meningkatkan fungsionalitas individu baik sebagai perorangan atau sebagai kelompok (Nelfina, 2009).

Ada tiga konsep mendasar yang menjadikan pekerja sosial sebagai profesional yaitu seorang pekerja sosial profesional disyaratkan mempunyai pendidikan keprofesian pekerja sosial, etika layanan dan jenjang kompetensi ; seorang pekerja sosial telah diakui oleh masyarakat luas yang menyediakan layanan khusus dan target utamanya memberikan bantuan pada populasi (perempuan, anak-anak, lansia, fakir miskin, minoritas dan keluarga) yang terlibat perubahan oleh diri mereka sendiri, orang sekitar mereka atau lembaga-lembaga sosial ; seorang pekerja sosial harus mempunyai tujuan yaitu untuk membantu seseorang memenuhi kebutuhan fungsi sosialnya atau menghapuskan kesulitan- kesulitan yang dihadapi sehingga dapat menggunakan kapabilitasnya diri mereka semaksimal mungkin sesuai pola kehidupan(Nelfina, 2009).

Adapun yang menjadi pengertian pekerja sosial menurut penulis adalah pekerja sosial sebuah profesi yang memberikan pertolongan kepada orang-orang yang mengalami kesulitan dengan harapan dapat membantu mengembalikan fungsi sosial seseorang sehingga bisa kembali ke keluarga dan masyarakat.

Menurut Nelfina (2009) yang menjadi target utama pekerja sosial adalah perempuan, anak, lansia, fakir miskin dan minoritas. Dalam penelitian ini, target utama pekerja sosial adalah membantu mengembalikan fungsi sosial perempuan penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

(33)

20 2. Fungsi Pekerja Sosial

Menurut Morales dan Sheafor (2004) ada dua fungsi utama dalam profesi pekerjaan sosial yaitu Pertama, membantu mengetaskan keberfungsian sosial dan mencegah disfungsi sosial dan kolektivitas. Kedua, membantu menciptakan suatu kondisi sosial berdasarkan kesesuaian pemenuhan kebutuhan yang dilayani. Karl dan Wandrei mendefinisikan keberfungsian sosial adalah kemampuan menjalan kan aktivitas terpenting dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan peranan sosialnya. Aktivitas terpenting dalam kehidupan sehari-hari mengacu pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, perlindungan, pengobatan dan kebutuhan transportasi. Sedangkan yang dimaksud peranan sosialnya mengacu pada kemampuan menjalankan posisi sebagai orang tua, anak, pelajar, pegawai, warga negara dan sebagai pasien atau klien. Fungsi kedua adalah membantu menciptakan suatu kondisi sosial berdasarkan kesesuain pemenuhan kebutuhan klien yaitu dengan cara mengidentifikasi sumber penyebab masalah dan membantu menyeselaikan masalah klien (Nelfina, 2009).

Adapun fungsi lain dalam profesi pekerjaan sosial menurutv Higham (2006) yaitu fungsi pekerja sosial sebagai assesor, counsellor, suporter, advocate, planner dan manager . Pekerja sosial sebagai assesor yaitu pekerja sosial harus mengidentifikasi dan mengadakan kontak dengan orang yang membutuhkan pertolongan dan dapat memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk mengatakan tentang kesulitan yang dialaminya ; Pekerja sosial sebagai counnsellor yaitu membantu klien dengan aktivitas layanan konsultasi. Pekerja

(34)

21

sosial harus menciptakan sebuah relasi atau hubungan timbal balik secara tatap muka (face to face) dengan klien untuk membantu mengartikulasikan perasaan dengan mendengarkan keluhan-keluhan klien untuk membantu pemecahan masalah klien (Alamsyah, 2015)

Pekerja sosial sebagai suporter yaitu pekerja sosial memberikan dorongan dan dukungan kepada klien yang sedang menghadapi masalah. Pekerja sosial memberikan penyadaran agar klien dapat menerima permasalahannya dan semangat untuk menjalani hidup. Selanjutnya pekerja sosial sebagai fasilitator dalam hal ini pekerja sosial menyediakan informasi kepada sistem unit yang lain dan dapat menghubungkan dengan lebaga baik pemerintah ataupun swasta apabila klien membutuhkan, agar klien dapat menyelesaikan permasalahannya secara lebih lanjut. Selain itu pekerja sosial juga membantu klien untuk berpartisipasi, berkontribusi dan mengikuti kegiatan keterampilan (Nelfina, 2009)

Pekerja sosial sebagai advocat, pekerja sosial melindungi hak-hak dan kepentingan klien serta menyediakan pelayanan yang dibutuhkan. Dalam hal ini pekerja sosial menjadi pelindung dari orang-orang yang beresiko dalam kehidupan klien. Selanjutnya, pekerja sosial sebagai planner yaitu pekerja sosial mengumpulkan data mengenai masalah sosial yang dihadapi klien serta menganalisa dan menyajikan alternatif tindakan yang rasional dan mengakses sistem sumber yang ada untuk mengatasi masalah individu dan menyalurkan klien agar klien mampu untuk hidup mandiri. Pekerja sosial sebagai menejer kasus, menurut Sheafor dalam hal ini pekerja sosial mengembangkan,

(35)

22

mengimplementasikan, memantau rencana aksi koordinatif pelayanan sosial agar dapat memenuhi kebutuhan klien (Rusdi dan Raharjo, 2018)

Selain itu ada beberapa fungsi lain dari pekerja sosial adalah sebagai mediator, negotiator, dan educator . Pekerja sosial sebagai mediator yaitu pekerja sosial sebagai penengah antara klien dengan pihak yang berkonflik dan membantu menyelesaikan masalah antara klien, pelaku dan keluarga. Selanjutnya pekerja sosial sebagai negotiator, peran ini ditujukan pada klien yang mengalami konflik dan mencari penyelesaian dengan kompromi sehingga mencapai kesepakatan dua belah pihak. Pekerja sosial sebagai educator, pekerja sosial berupaya untuk meningkatkan kekurangan pengetahuan dan keterampilan klien untuk bekal menjadi individu yang lebih baik lagi (Rusyidi dan Raharjo, 2018)

Selain beberapa fungsi yang telah dijabarkan menurut Mesing (2014) dalam penelitian Bina Hayati (2018) pekerja sosial mempunyai fungsi utuk melakukan intervensi krisis di layanan rumah aman.intervensi-intervensi tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan dan pemberian perlindungan kepada penyintas baik dari tindakan kekerasan susulan dari pelaku maupun dampak yang ditimbulkan dari pengamalan kekerasan yang di alami. Selain itu ditujukan untuk mengurangi perasaan terasing, membangun kemampuan penyelesaian masalah (coping),meningkaktan dukungan sosial, meningkatkan akses terhadap layanan- layanan sosial yang dibutuhkan, dan meningkatkan respon penyedia layanan untuk membantu penyintas. Hal ini sangat krusial mengingat bahwa para penyintaas KDRT umumnya menghadapi kondisi-kondisi shock, trauma,

(36)

23

kehilangan kepercayaan diri, ketakutan, trauma, kebingungan dan ketidakberdayaan.

3. Pengertian Kekerasan dan Tindak Kekerasan

Secara umum, kekerasan adalah sebuah perilaku agresif dengan maksud dan tujuan untuk menyebabkan kerusakan secara fisik dan psikologis (Khaninah dan Widjanarko, 2017). Sedangkan menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, anacaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang kemungkinan besar mengakibatkan memar, trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan dan perampasan hak (Suyanto, 2000).

Ada dua bentuk kekerasan, yaitu kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisik dapat dilihat ketika menyebabkan kematian atau luka-luka. Sedangkan kekerasan psikis berakibat pada timbulnya trauma berkepanjangan pada diri penyintas. Kekerasan dalam pengertian yang sempit mengandung makna sebuah serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau penghancuran perasaan yang sangat keras, kejam dan ganas (Windu, 1992).

Sedangkan tindak kekerasan adalah perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal dan non verbal) yang ditunjukan untuk mencederai atau merusak orang lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar Hak Azasi Manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, berdampak trauma psikososial bagi penyintas (Kemensos, 2016)

(37)

24

d). Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Menurut Undang-Undang No 23 tahun 2004, yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat menimpa siapa saja seperti suami, istri, anak, orang-orang yang mempunyai hubugan keluarga dan orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Namun faktanya, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) banyak menimpa pada istri.

Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, ada beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan seperti kekerasan yang berbentuk fisik, psikologis, ekonomi, seksual dan pembatasan aktivitas pasangan. Adapun yang dimaksud dalam kekerasan fisik adalah tindakan memukul, menampar, menendang, mendorong, mencengkram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik lainnya. Menurut survey yang dilakukan oleh Kemenppa, 18, 3% perempuan yang sudah menikah dengan jenjang usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan atau seksual. (Kemenppa, 2016)

Kekerasan emosional atau psikologis, bentuknya melputi tindakan seperti mengancam, memanggil yang tidak pantas, mempermalukan pasangan, menjelek- jelekan dan lainnya. Sebanyak 1 dari 5 perempuan yang sudah menikah pernah

(38)

25

mengalami kekerasan emosional yaitu sebesar 20.5%. Sedangkan kekerasan ekonomi dapat berupa meminta pasangan untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangan. 1 dari 4 perempuan juga mengalami kekerasan ekonomi atau sebanya 24,5%. (Kemeppa, 2016).

Bentuk kekerasan lainnya adalah kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba dan memaksa untuk melakukan hubungan sesksual dibawah ancaman. Angka kekerasan seksual dalam KDRT pada perempuan adalah sebesar 10,6%. Kekerasan selanjutnya yaitu pembatasan aktivitas oleh pasangan. Seperti misalnya pasangan yang terlalu posesif, mengekang, menaruh curiga dan mengatur apapun yang dilakukan sehingga pasangan lebih sering marah dan mengancam. Kekerasan ini merupakan kekerasan yang paling sering dialami perempuan yang sudah menikah, hingga angka kasusnya mencapai 42,3%.

(Kemenppa,2016)

Dalam UU-PKDRT No. 23 Tahun 2004, penyintas mempunyai hak untuk dilindungi dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial lainnya. Penyintas juga memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. Penanganan pada penyintas harus didasarkan dengan kerahasiaan. Selanjutnya, penyintas di damping oleh pekerja sosial, bantuan hukum pada setiap pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, dalam pasal 39 penyintas KDRT berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan penyintas seperti layanan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani.

(39)

26 F. Kerangka Teori

Gambar 1. 1 Kerangka Pemikiran

Menururt Biddle (1979) dalam bukunya Role Theory ( Expectation, Identities and Behaviors). Teori peran menawarkan perspektif yang menjembatani ilmu psikologi sosial, sosiologi dan antropologi. Teori peran adalah kendaraan untuk mengintegrasikan tiga ilmu antropologi, sosiologi, dan psikologi ke dalam disiplin tunggal yang perhatiannya adalah studi yang berkaitan dengan perilaku manusia, budaya dan masyarakat.

Bagi antropolog seperti Ralph Linthon melihat peran sebagai suatu unit budaya yang konsisten dalam sebuah masyarakat. Sedangkan menurut sosiolog

NORMA ATURAN POSISI

SOSIAL

HARAPAN PERAN

PROFESI (IDENTITAS

SOSIAL) PERAN

(BIDDLE , 1979)

ETIKA PROFESI SOP RPTC UU-PKDRT

UU AKTOR

(PEKERJA SOSIAL)

TARGET KORBAN KDRT

HIGHAM (2006)

ASESOR PLANNER COUNSELLOR SUPOTER MEDIATOR NEGOTIATOR EDUCATOR MENEJER KASUS PERILAKU

INTERAKSI (PENDAMPINGAN

SOSIAL)

(40)

27

teori peran adalah bagian integral dari fungsionalisme dalam sosiologi. Menurut Talcott Person, dalam sistem sosial peran harus dijelaskan melalui harapan peran yang dipegang oleh seseorang dan didukung oleh sanksi. Selain itu Mead mendefinisikan peran sebagai proses yang penting untuk sosialisasi dan pengembangan diri dan merupakan ekspresi dari perspektif interaksionis simbolik dalam psikologi sosial kognitif (Bidle, 1979).

Pusat perhatian teori peran adalah pada pola perilaku manusia. Perilaku adalah tindakan yang diarahkan kepada orang lain untuk pencapaian tujuan yang diatur secara normatif dan merupakan proses internal yang dipelajari melalui pengalaman. Perilaku dapat diprediksi ketika kita mengetahui identitas seseorang dan konteks dimana orang tersebut menemukan dirinya sendiri. Identitas adalah sebagai wahana untuk membahas masalah kesadaran diri dan identifikasi pribadi seperti nama, satatus, kepribadian dan kehidupan masa lalunya. Beberapa identitas berlaku untuk satu orang seperti nama pasangan dan nama panggilan pribadi.

Selain itu identitas berlaku untuk kolektivitas orang seperti sebutan pekerjaan dan kekerabatan. (Biddle, 1979)

Selain prilaku, peran sangat dikaitkan dengan posisi sosial. Posisi sosial adalah identitas yang menunjuk pada sekelompok orang yang dikenal secara umum. Posisi sosial adalah lokasi dalam struktur sosial yang dikaitkan dengan seperangkat norma sosial yang membentuk ekspektasi perilaku yang terpola atau yang lazim dan dipelajari serta dimiliki bersama oleh anggota kelompok. Setiap posisi sosial memiliki peran dan karakteristik misalnya seorang dokter, guru,

(41)

28

petugas kebersihan berprilaku dengan cara yang khas. Dokter menulis resep, guru mengajar dan petugas kebersihan menyapu dll (Sarwono, 2013).

Teori peran menjelaskan mengenai perilaku individu dalam sebuah posisi sosial berdasarkan struktur sosial tertentu. Perilaku tersebut didasarkan pada seperangkat norma atau aturan dan menyangkut tentang hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh individu dalam struktur sosial tertentu (Sarwono, 2013).

Menurut Biddle (1979) Peran adalah bagian dari posisi sosial yang terdiri dari sub-set norma sosial yang melibatkan kewajiban, hak dan kinerja yang diharapkan dari individu yang memegangnya.

Biddle dan Thomas menyepadankan peristiwa peran ini dengan “lakon”

oleh seorang pelaku dalam panggung sandiwara. Dalam sebuah teater atau pertunjukan seorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu yang patuh terhadap script (semacam skenario) dan intruksi dari sutradara. Posisi aktor dalam teater dianalogikan dengan posisi seseorang dalam masyarakat.

Sebagaimana hal nya dalam teater, peran dan posisi seseorang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam kaitan dengan adanya orang-orang lain yang berhubungan aktor tersebut. Dalam kehidupan sosial nyata, membawakan peran berarti menduduki suatu posisi sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, seseorang berprilaku harus sesuai dengan skenario berupa norma sosial, tuntutan sosial dan kaidah yang sesuai dengan posisinya. (Sarwono, 2013).

Adapun makna dari kata “peran” dapat dijelaskan dengan beberapa cara.

Pertama, dalam penjelasan historis, konsep peran dipinjam dari kalangan drama

Gambar

Gambar 1. 1 Kerangka Pemikiran .....................................................................
Tabel 1.A. 1 Angka Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah  Personal/Privat  Tahun  Jenis Kekerasan  Jumlah Kekerasan Terhadap Istri  (KTI)  Kekerasan Terhadap Anak  Perempuan  (KTAP)  Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)  2016  5.784  1.799  2.171  9.754  2017  5.
Tabel 1.A. 1 Angka kasus KDRT yang ditangani RPTC Bambu Apus
Gambar 1. 1 Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Informan dalam penelitian ini adalah pendamping di Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP), dan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang memperoleh

Sampel penelitian ini adalah konselor selaku Pendamping dan tim di Lembaga Advokasi Perempuan Damar Bandar Lampung, serta korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang

Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah:

Hasil penelitian ini dapat dijelaskan bahwa: (1) bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis dan penelantaran, (2) faktor

23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

Istilah KDRT 2 sebagaimana ditentukan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) tersebut

Artinya berdasarkan rerata yang nampak dari stabilitas, atribusi kekerasan para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi subjek penelitian ini

Hasil Kategorisasi Self-love Penyintas Trauma Pasca KDRT Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, persentase subyek yang memiliki self- love dalam kategori rendah pada penyintas