23 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Literatur Review
Penelitian terdahulu yang pertama dengan judul “Pengembangan Komunitas Berbasis Adaptive Governance (Studi Kasus Kampung Batik Semarang) yang ditulis oleh (Isro’ Lailia, Galih Adyatma Alaufa, Yovi Hayuning Nitria, 2019), dalam penelitian ini menjelaskan bahwa kebijakan dan pendekatan governance dengan cara pembagian cluster yang dimaksud adalah perusahaan dan individu yang mampu menghasilkan sesuatu baik itu secara langsung dan tidak langsung, The Creative Workforce adalah pelaksana yang dilatih untuk difokuskan untuk mendorong kepemimpinan industri dan The Creative Community yaitu area geografis yang berkonsentrasi terhadap organisasi budaya yang terdapat dilingkungan sekitar kampung batik.
Peneliti mengambil salah satu jurnal penelitian yang berjudul “Mengelola Pariwisata-Bencana: Perlunya Perubahan Paradigma Pengelolaan Pariwisata dari Adaptive Governance Menuju Collaborative Governance” yang ditulis oleh (Zaenuri, 2012), dimana dalam jurnal ini mendeskripsikan tentang tata kelola pemerintahan yang mampu menyelesaikan tantangan pasca bencana secara efektif, yaitu dengan cara menerapkan paradigma Adaptive Governance dinilai mampu menangani bencana alam, sedangkan untuk merespon fenomena pengelolaan pariwisata pasca bencana lebih efektif menggunakan pandangan Kolaboratif Governance. Menurut (Watson, 2011)
24
Lahirnya konsep adaptif ini bertujuan untuk menjelaskan dan menanggapi tantangan eksternal ataupun permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar guna terwujudnya tata pemerintahan yang baik, Adapun indikator yang harus diperhatikan dalam pengimplementasian konsep adaptive governance ialah informasi, kebutuhan politik dan sumberdaya.
Menambah bahan bacaan peneliti mengambil salah satu jurnal yang berjudul “Adaptive Governance:An Introduction, and Implications For Public Policy” yang ditulis oleh (Hatfield-dodds dkk., 2007) bahwa tata kelola adaptif memberikan pandangan terhadap ekonomi politik dalam suatu kebijakan dan konsep ini diterapkan pada proses pembelajaran sosial yang lebih luas dan pilihan kolektif (pilihan kolektif yang membahas mengenai ruang lingkup dan struktur lembaga yang mengatur pilihan individu dan organisasi).
Penelitian terdahulu yang keempat berjudul “Analisis Pengelolaan Taman Wisata Alam Rimbo Panti Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat” ditulis oleh (Riharno, 2010) untuk mengetahui pengelolaan yang dilakukan mulai dari (1) Tahapan Perencanaan, (2) Tahapan Pengorganisasian, (3) Tahapan Pelaksanaan, (4) Tahapan Monitoring dan (5) Tahapan evaluasi di Taman Wisata Alam Rimbo Panti, dari tahapan-tahapan tersebut sudah dijalankan akan tetapi dalam hal memonitoring dan evaluasi masih terjadi kekurangan, serta kolaborasi antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta dinilai masih kurang. Dalam melakukan pengelolaan di Taman Wisata Alam Rimbo Panti pihak pemerintah dijadikan sebagai advisory body dan masyarakat
25
sebagai pihak yang mengimplementasikij zan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Implementative body.
Mewujudkan tata kelola pariwisata disuatu daerah maka perlunya pemberdayaan terhadap masyarakat setempat, Adapun jurnal penelitian yang menjadi bacaan penulis yang berjudul “ Pemberdayaan Masyarakat Dalam Tata Kelola Pariwisata Di Kampung Wisata Dewo Bronto Yogyakarta” ditulis oleh (Rumsari Hadi Sumarto, 2019) mencari dan menganalisis pemberdayaan yang seperti apa yang digunakan di Desa Wisata Dewo untuk memberdayakan masyarakat setempat, dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pendekatan pemberdayaan masyarakat di Desa Wisata Dewo menggunakan konsep Community Based Tourism, akan tetapi masih perlunya bimbingan kepada masyarakat setempat dalam membuat merek yang digunakan sebagai simbol desa wisata.
Penelitian terdahulu yang keenam yang berjudul “Pengelolaan Objek Wisata Cagar Alam Rimbo Panti Kabupaten Pasaman” yang ditulis oleh (Afrida, 2015) terdapat 4 indikator dalam pengelolaan. (1) Perencanaan, dimana indikator ini berfokus kepada pelestarian dan perlindungan hewan ataupun tumbuhan (2) Pengorganisasian, dipimpin oleh Kepala Bidang Pariwisata Kabupaten Pasaman. (3) Pengarahan yaitu mengajak kepada segala aspek mulai dari pemerintahan sampai kepada masyarakat untuk senantiasa memberikan layanan terbaik. (4) Pengawasan dilakukan oleh pihak yang bekerja di Taman Wisata Alam Rimbo Panti seperti petugas lapangan, pihak kebersihan dan keamanan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terdapat angket yang
26
disebarkan kepada wisatawan dinilai kurangnya kemauan wisatawan untuk melakukan kunjungan lagi.
Pentingnya suatu perencanaan dan pengembangan sumberdaya untuk meningkatkan angka kunjungan wisatawan terhadap industri pariwisata, Adapun jurnal penelitian yang dijadikan sebagai bahan bacaan dengan judul “Perencanaan dan Pembangunan Sumberdaya Terhadap Industri Pariwisata di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat” yang ditulis oleh (Hamsinah, 2005) adanya pemberlakuan UU Nomor 21 Tahun 2001 menjadikan pemerintah daerah memiliki kekuatan untuk melegitimasi dalam mengelola potensi yang dimiliki daerah untuk mewujudkan kepentingan daerah. tidak hanya pemerintah daerah saja memperoleh kepentingan untuk pembiayaan pembangunan, diharapkan masyarakat juga mampu memanfaatkan kesempatan ini. Dari hasil penelitian faktor yang mempengaruhi perkembangan pariwisata adalah pengaruh trend pasar wisatawan dari mass tourism bergeser ke wisata minat khusus. Dengan begitu diharapkan kehadiran para investor untuk melakukan pemberdayaan masyarakat setempat.
Penelitian terdahulu selanjutnya dengan judul “Pengelolaan Kawasan Hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja Di Kabupeten Manokwari” ditulis oleh (Imbiri, 2015) dalam penelitian ini menghasilkan upaya dalam melakukan pengelolaan dan konservasi TWA Gunung Meja yaitu; (1) Pemerintah harus mampu bertindak dalam membuat kebiijakan dan kemauan politik untuk memanajemen objek wisata tersebut. Selanjutnya (2) dalam pengelolaan sangat tepat jika menggunakan model manajemen
27
kolaboratif. (3) meningkatkan pengelolaan di objek wisata maka diperlukannya peran masyarakat. Terakhir yaitu (4) dilakukannya penelitian untuk mengetahui beberapa informasi agar bisa digunakan untuk membuat kebijakan dalam mengelola hutan.
Meningkatkan pengelolaan dan daya tarik pariwisata akan berdampak pada peningkatan angka kunjungan wisatawan berkunjung ke objek wisata, mulai dari sarana dan prasaran yang harus dilengkapi, aksesibilitas menuju objek wisata mudah dijangkau oleh wisatawan dan lainnya. Terdapat tambahan bahan bacaan penulis dengan judul “ Analisis Kebijakan Pengelolaan Objek Wisata Taman Wisata Margasatwa Mangkang Semarang” yang ditulis oleh (Yuniningsih, 2015), menyebutkan bahwa permasalahan yang terjadi yaitu penurunan angka kunjungan wisatawan, untuk meningkatkan kembali minat wisatawan untuk berkunjung maka perlunya mengindentifikasi aspek fisik, yaitu menghadirkan alternatif baru bagi kebijakan dalam mengatasi permasalahan fisik yang sedang dihadapi.
Penelitian terdahulu selanjutnya dengan judul “ Tata Kelola Pemerintahan Dalam Peningkatan Kapasitas Adaptif/Ketahanan Kota Bandar Lampung Terhadap Dampak Perubahan Iklim” ditulis oleh (Mukhlis, 2016) dalam penelitian tersebut memaparkan dengan adanya perubahan iklim yang terjadi secara terus menerus. Maka terdapat evaluasi dalam mengupayakan peningkatan kapasitas adapatif, dengan menggunakan pendekatan The Adaptive Capacity Wheel ada 6 dimensi, (1) Keberagaman (2) Kapasitas Pembelajaran (3) Kewenangan untuk berubah (4) Kepemimpinan (5) Sumberdaya dan terakhir (6) pemerintahan yang responsive. Dalam
28
hasil penelitian ini menyebutkan bahwa upaya ketahanan daerah dinilai sudah mulai mampu menjadikan perubahan yang terjadi menjadi sebuah permasalahan yang strategis, sehingga mampu mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki.
Mendukung sumber bacaan selanjutnya peneliti mengambil penelitian dengan judul “ Pengelolaan Daya Tarik Wisata Pura Taman Ayun Sebagai Bagian Dari Warisan Budaya Dunia” (Widiarta, 2016) penelitian bertujuan untuk mengetahui permasalahan dalam pengelolaan daya tarik wisatawan, serta partisipasi aktif kelompok kepentingan yang menentukan keberhasilan pengelolaan di Wisata Pura Taman Ayun dengan menggunakan 3 teori (1) Teori Persepsi (2) Teori Komponen daerah tujuan wisata (3) Teori Partisipasi (fungsional, intensif, konsultatif, manipulatif dan mandiri). Hasil dari penelitian ini menunjukkan teori partisipasi masyarakat setempat adalah masyarakat fungsional dan insentif dimana masyarakat bekerja dan digaji, serta peran masyarakat diawasi oleh UNESCO. Dengan pengelolaan yang baik, serta dari beberapa indikator penilaian dinilai sangat baik, hal ini tentunya akan berdampak pada persepsi baik dari wisatawan yang berkunjung dan berkemungkinan besar akan terjadinya kenaikan angka kunjungan.
Penelitian terdahulu selanjutnya berjudul “Revitalisasi Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Desa Sukodono Dalam Pengelolaan Objek Wisata Coban Pandawa” ditulis oleh (Asmoro & Da’awi, 2020) Wisata Coban Pandawa dikelola oleh kelompok sadar wisata Desa Sukodono, akan tetapi pokdarwis dinilai masih kurang mengetahui kewajiban sekaligus perannya sebagai tuan rumah dan pada tahun 2019 pokdarwis di
29
desa sukodono vakum. Terdapat tujuan revitalisasi organisasi pokdarwis agar menjadi kelompok wisata yang mandiri, ramah, professional dan lainnya. terdapat 3 tahapan yaitu, (1) Tahapan Penyadaran (2) Tahapan Legalitas (3) Tahapan Pemberian Kapasitas.
Penelitian terdahulu yang ketiga belas dengan judul “ Strategi kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Dalam Pengembangan Pariwisata Di Desa Canggu Kecamatan Badas Kabupaten Kediri” yang ditulis oleh (Nurmayasari, 2017) untuk mengembangkan pariwisata daerah maka dapat membentuk mitra antara pemerintah, dimana pemerintah membentuk kelompok sadar wisata bertujuan untuk meningkatkan angka kunjungan wisatawan ke Desa Canggu. Karena persoalan yang sedang dialami dalam hal pariwisata di desa ini yaitu masih banyaknya wisatawan yang mengetahui keberadaan wisata ini. Hal ini berpengaruh pada turunnya angka kunjungan wisatawan. Hasil penelitian dilapangan adalah terdapat strategi pokdarwis dalam pengembangan pariwisata, yaitu dilakukan oleh 4 bidang; (1) pengembangan industri pariwisata (2) Pengembangan destinasi pariwisata (3) pemasaran dan promosi (4) pengembangan sumber daya pariwisata yaitu pokdarwis.
Bacaan selanjutnya berjudul “ Pembentukan POKDARWIS dan Pelatihan Bahasa Inggris Sebagai Upaya Peningkatan Citra Desa Wisata Timuhun Kecamatan Banjarangkan Klungkung” ditulis oleh (Uardana dkk., 2012) Desa Timuhun merupakan desa yang memiliki banyak potensi unggulan, dengan begitu perlunya penataan ulang agar dapat memaksimalkan potensi yang ada. Penataan dilakukan juga
30
harus dibarengi oleh kualitas SDM yang unggul dan kompetitif dan perlunya kesadaran sapta pesona masyarakat untuk meningkatkan potensi desa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masih perlu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat dan pelatihan Bahasa inggris yang bertujuan untuk meningkatkan citra pariwisata di desa timuhun.
Penelitian terdahulu yang kelima belas berjudul “ Strategi Media Promosi Dalam Meningkatkan Kunjungan Daya Tarik Wisata Rumah Ulin Raya” ditulis oleh (Jannah dkk., 2018), dalam penelitian ini penulis mencoba untuk meningkatkan minat wisatawan untuk berwisata melalui promosi. Adapun tahapan yang digunakan adalah 3A (Attraction,Amenities,Accessbility),dan menggunakan Above The Line, media cetak, Media Elektronik. Diharapkannya dengan menggunakan beberapa media massa sebagai alat untuk promosi maka akan dapat menyebarkan beberapa informasi, perkembangan, keunggulan dan daya tarik wisata di objek wisata Rumah Ulin. Akan tetapi terdapat faktor penghambat dalam hal promosi dikarenakan bermasalahnya jaringan internet disekitaran objek wisata rumah ulin arya yang berdampak kepada pengguna sosial media yang ingin menguppload langsung informasi-informasi atau foto yang akan dibagikan ke sosial medianya.
2.2 Pengertian Adaptive Governance dan Capacity Building
Adaptive Governance adalah bagaimana suatu instansi dapat beradaptasi terhadap perkembangan dan pembaharuan yang terjadi dilingkungan sekitar. Selanjutnya adalah cara pemerintah menghadirkan solusi untuk bisa menyelesaikan
31
permasalahan tersebut, apakah dari solusi yang dihadirkan lingkungan sekitarnya mampu beradaptasi atau tidak. Pemerintah adaptif bertujuan untuk menganalisis berbagai bentuk permasalahan, seperti masalah sosial, ekonomi, pemerintahan dan lainnya. Model pemerintahan adaptif dinilai mampu menjawab segala bentuk tantangan yang diakibatkan oleh adanya perkembangan zaman. Harapannya dengan adanya pemerintahan adaptif dapat mempercepat terjadinya transisi pada pengelolaan pemerintahan, dengan begitu segala permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dapat diselesaikan dengan menggunakan model adaptive governance.
Adaptive governance merupakan model yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat dengan cara memberikan respon cepat terhadap perubahan yang terjadi dilingkungan dan model ini muncul akibat tidak sesuainya antara karakteristik lingkungan dan cara kebijakan yang dibuat oleh organisasi pemerintah. Model pemerintahan adaptif dalam pengambilan keputusan dilakukan secara desentralisasi yaitu dengan cara melibatkan berbagai tokoh atau stakeholders yang paling dasar.
Menurut Lau (2011) indikator Adaptive Governance yaitu konteks internasional dan lokal, desain taman, memperkuat kemitraan dan dukungan komunitas, perencanaan dan pengelolaan taman. Sistem adaptive governance menurut Lau ini dapat meningkatkan pariwisata di daerah dengan melihat pengelolaan taman wisata melalui konteks internasional dan nasional, dari indikator ini akan mengetahui sejauh mana pengelolaan taman wisata yang dilakukan oleh pemerintah setempat.
32
Indikator berikutnya yaitu adanya dukungan komunitas dan memperkuat kemitraan dalam pengelolaan taman wisata alam, pada indikator ini akan dilihat seberapa besar partisipasi masyarakat atau komunitas dalam membantu pemerintah. Desain taman yang seperti apa dapat menghadirkan taman yang mampu menarik minat wisatawan untuk berkunjung dan yang terakhir yaitu perencanaan dan pengelolaan taman.
Dari beberapa indikator adaptif tersebut dapat menggambarkan kinerja pemerintah dalam pengelolaan taman wisata, pemerintahan yang adaptif juga dapat diartikan sebagai pengacuan terhadap cara-cara bagaimana suatu lembaga tersebut dapat berkembang yang bertujuan menjawab perubahan yang terjadi. Dengan begitu pemerintah harus mencari cara agar dapat memenuhi ekspektasi terhadap pemerintah, dan proses pemerintahan yang adaptif juga diharapkan mampu mempertimbangkan tata kelola pemerintahan yang baik bagi masyarakat dalam menghadapi suatu ketidakpastian pada saat memecahkan permasalahan yang terjadi. Adanya perubahan ataupun permasalahan yang tidak terduga terjadi dilingkungan sekitar berpengaruh pada terciptanya tuntutan pada struktur tata kelola pemerintahan yang bertujuan untuk merespon dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Milen dalam Andi Samsu Alam (2015) menjelaskan pengembangan kapasitas organisasi dan ilmuan mengartikan Capacity Building sebagai Pengembangan Kapasitas. Adapun pendapat Milen tentang pengembangan kapasitas meliputi kemampuan, keterampilan, pemahaman, sikap, motivasi, sumber daya dan lainnya untuk melaksanakan dan menjalankan tugas serta tujuan yang sudah ditentukan
33
sebelumnya untuk mewujudkan tujuan pembangunan yang sudah ditentukan sebelumnya. Ditambah lagi (Norman dkk., n.d.) berpendapat capacity building model ini menjelaskan bagaimana hubungannya dengan organisasi pemerintahan. Milen juga menjelaskan bahwa pengembangan kapasitas tersebut adalah kegiatan atau bisa disebut juga dengan tahapan dimana suatu individu, kelompok, organisasi, lembaga dan lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan yang dimiliki dan nanti dapat digunakan dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam menyelesaikan masalah dan paham terhadap masalah kebutuhan yang diperlukan.
Sejalan dengan pendapat Grindle dalam (Norman dkk., 2020) dalam proses pengembangan kapasitas terdapat dimensi dan fokusan kegiatan diantaranya (1) Pengembangan Sumber Daya Manusia (Training, Rekruitmen and Teknis) (2) Penguatan Organisasi (3) Pembaharuan/Reformasi Institusional. Hal inilah yang akan menggabungkan antara konsep Adaptive Governance dan Capacity Buliding dengan begitu terbentuknya Organisasi Adaptif.
Terdapat 3 dimensi pengembangan menurut Grindle, yang pertama pengembangan sumber daya manusia, yaitu memiliki SDM yang profesional, memiliki kemampuan beserta skill yang dibutuhkan, seperti pembelajaran, praktek dan rekruitmen. (2) Penguatan Organisasi yang dimaksud adalah berfokus kepada bagaimana tata manajemen yang bagus dan sesuai untuk meningkatkan dan menjadikan tujuan awal berhasil dalam menjalankan peran dan fungsi. Meliputi
34
kepemimpinan, komunikasi, struktur manajerial. Terakhir yaitu Reformasi Kelembagaan, yang berfokus kepada kelembagaan dan perubahan kebijakan.
Konteks yang disampaikan oleh grindle dalam mengembangkan sumber daya manusia berfokus pada menghadirkan serta menciptakan sumber daya manusia yang unggul, profesional memiliki kemampuan yang baik dalam melakukan pekerjaan. Untuk mewujudkan dan menciptakan SDM yang unggul maka dihadirkanlah latihan pendidikan, serta pemberian hadiah berupa pembayaran gaji bulanan, memberikan bonus sesuai dengan ketentuan instansi, manajemen lingkungan kerja dan rekruitmen pegawai yang tepat untuk menyaring para pegawai dalam bekerja.
Konsep yang dikemukakan oleh grindle ini yang akan digunakan untuk mengukur seberapa adaptifnya dalam pengelolaan Taman Wisata Alam Rimbo Panti, adapun dari pengertian pembangunan kapasitas yaitu menjadikan organisasinya efektif, lebih terarah, meningkat dari segi kinerja. Dari pengertian diatas dapat disinkronkan dengan model adaptif, supaya dari indikator yang dipaparkan dapat menjawab beberapa permasalahan yang sejatinya harus diselesaikan.
2.3 Pengertian Pengelolaan Objek Wisata
Pengelolaan adalah suatu kegiatan yang dapat diartikan sebagai proses, mengelola dan bisa diartikan juga sebagai suatu tindakan yang akan menggerakkan tenaga seseorang. Jika diartikan pengelolaan memiliki arti suatu rangkaian tindakan atau usaha yang dilakukan oleh individu, kelompok, organisasi dan lainnya untuk mewujudkan tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya agar dapat diselesaikan secara
35
efektif dan efisien. Sedangkan objek wisata menurut M. Ngafenan dalam jurnal (Andriyani, 2009) adalah semua objek yang dapat menimbulkan daya tarik wisatawan untuk berkunjung.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 67 tahun 1996, terdapat 5 poin yang membahas tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pariwisata yaitu :
1. Penyelenggaraan pariwisata memiliki tujuan dalam memperkenalkan, memanfaatkan, melestarikan potensi yang dimiliki oleh objek wisata.
2. Penyelenggaraan pariwisata harus mampu melahirkan rasa kepemilikan dan menghormati setiap perbedaan yang ada.
3. Penyelenggaraan pariwisata bertujuan untuk mengetahui seberapa pentingnya untuk diselenggarakan dan nantinya akan berpengaruh pada faktor-faktor lainnya.
4. Penyelenggaraan pariwisata tidak akan lepas dari peraturan agama, norma yang berlaku di kawasan tersebut atau masyarakat setempat, untuk tetap dapat melestarikan peraturan tersebut.
5. Penyelenggaraan seni budaya yang bertujuan untuk melestarikan budaya setempat dan dapat memberikan nilai tambah terhadap daya tarik wisatawan untuk berkunjung.
Kepariwisataan membutuhkan suatu kerjasama antara organisasi-organisasi pariwisata dalam menciptakan manajemen pariwisata yang baik, harus memiliki tata kelola yang baik dan pengelolaan dijalankan sesuai dengan konsep-konsep yang sudah
36
ditentukan, beberapa point tersebut harus dijalankan jika ingin sukses dalam melakukan pengelolaan objek wisata. Terdapat alat utama atau bisa disebut sebagai fungsi dalam manajemen objek wisata yaitu; adanya keuangan, produksi dan promosi.
Fungsi-fungsi yang terdapat dalam manajemen objek wisata tersebut dikaji dan diimplementasikan secara berbeda, tergantung pada cara pengelolaan serta penentuan pada alat-alat yang akan digunakan dalam manajemen. Sukses atau tidaknya dalam pengelolaan tergantung kepada kondisi lingkungan dalam dan luar badan usaha yang melakukan pengelolaan tersebut. Point penting dalam hal ini adalah kesuksesan pengelolaan ditentukan pada bakat dan keahlian pemimpin dalam manajemen suatu badan usaha yang dipimpinnya.
Pariwisata dapat diartikan sebagai perpindahan sementara atau kegiatan seseorang atau kelompok berasal dari suatu daerah lalu bepergian dari tempat satu ke tempat lainnya. Wisatawan yang berkunjung tersebut beragam, agama dan ras yang berbeda, ada hal yang disukai oleh wisatawan ada juga yang tidak disukai dan memiliki standar dan pola hidup yang berbeda, dengan begitu pariwisata dapat diartikan suatu gejala sangat begitu sensitif sehingga dibutuhkannya cara penanganan yang berbeda dalam pengelolaan pariwisata.
Artinya penataan yang dilakukan oleh suatu organisasi pariwisata sebagai badan usaha di sektor ekonomis sejatinya mampu menghadirkan pemimpin yang bisa memaksimalkan potensi yang tersedia dapat mengatur potensi agar tepat guna. Dengan begitu pengertian dari pengelolaan objek wisata adalah mengetahui apa potensi yang
37
dimiliki oleh pariwisata kemudian setelah ditemukannya potensi maka dilakukan pengembangan potensi dan terakhir yaitu melakukan evaluasi terhadap proses pengelolaan tersebut. Evaluasi tidak hanya diperoleh dari pemerintah saja, evaluasi dapat diperoleh dari hasil implementasi pemerintah lalu di nilai wisatawan sesuai dengan permintaan, kebutuhan dan selera wisatawan.
Indikator yang membahas tentang pengelolaan pariwisata menurut Bucley dalam (Pitana, 2009) menyebutkan terdapat prinsip-prinsip penting dalam menjalankan pengelolaan objek wisata prinsip ini merupakan fungsi manajemen yang berlaku pada sektor publik maupun swasta, yaitu:
1) Pembangunan Versus Konservasi
Pengelolaan dalam pariwisata tidak mesti berkaitan dengan pembangunan kawasan seperti apa yang akan dibangun untuk dapat dijadikan sebagai objek wisata, dalam melakukan pengelolaan tersebut tentunya harus berdasarkan dan bisa mempertimbangkan ekonomi, budaya dan lingkungan disekitar kawasan objek wisata, serta perlunya keseimbangan antara pembangunan dan konservasi yang akan dilakukan untuk menunjang kepariwisataan.
2) Penawaran Versus Permintaan
Penawaran dan permintaan sangat penting sekali untuk diperhatikan dalam melakukan pengelolaan pariwisata, Adapun penawaran yaitu dapat mewakili produk pariwisata diantaranya taman alam, akomodasi, sarana dan prasarana, aktivitas budaya
38
yang dilakukan di objek wisata. Sedangkan yang berkaitan dengan permintaan menurut (Wahab, 1992) permintaan wisata dapat ditanadai dengan beberapa kategori berikut ini: (1) Kekenyalan (elasticity) seberapa jauh tingkat kelenturan dalam menghadapi perubahan-perubahan keadaan ekonomi dipasaran. (2) Kepekaan (sensitivity) memiliki kepekaan terhadap keadaan sosial dan politik selama perjalanan. (3) Perluasan (expension) adanya peningkatan kunjungan wisatawan meskipun terdapat permasalahan. (4) Musim (seasonality) kunjungan wisatawan bergantung kepada musim yang sedang terjadi, contohnya liburan akan dilaksanakan ketika pelajar libur sekolah. Jumlah permintaan perjalanan wisata merupakan suatu hal yang sangat dinantikan oleh mereka yang berkecimpung dalam perjalanan pariwisata.
Permintaan juga akan berfokus pada wistawan yang memiliki tipe atau wisatawan seperti apa yang menjadi sasaran dalam permintaan ini, berapa jumlah wisatawan yang ditargetkan, transportasi seperti apa yang akan digunakan, kegiatan seperti apa yang akan dihadirkan selama berlangsungnya kegiatan pariwisata dan lain sebagainya. Mampunya menyeimbangkan antara penawaran dan permintaan tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dalam pengelolaan pariwisata.
3) Keuntungan Versus Biaya
Keuntungan dan biaya yang akan diperoleh melalui pengeloaan pariwisata sangat penting, dimana dalam melakukan kegiatan pariwisata harus memperhatikan keuntungan dan biaya yang digunakan dapat seimbang. Indikator ini menyangkut dengan pengembalian investasi sesuai dengan pengeluaran yang sudah dikeluarkan,
39
pengalokasian biaya untuk membiayai aktivitas pariwisata, sosial, budaya, dan hal ini juga bertujuan untuk dapat membiayai kebutuhan rumah tangga sendiri dalam keberlanjutan pengelolaan wisata.
4) Manusia Versus Lingkungan
Lingkungan dan manusia memiliki keseimbangan satu sama lain, yaitu keseimbangan tradisional ways dengan modern praktis, hal ini sangat penting untuk diketahui dikarenakan dibeberapa objek wisata terkadang penduduk lokal dinilai masih kurang dalam menerapkan suatu metode, metode yang dimaksud adalah metode konservasi terhadap pengelolaan potensi yang ada lingkungan tersebut. Terkadang hal ini dapat berpengaruh yaitu dulunya banyak potensi sumber daya sehingga menjadi terlena dan mengakibatkan sumber daya manusia sekarang tidak maksimal dalam pengelolaan pariwisata. Melakukan pengelolaan pariwisata harusnya terdapat keseimbangan antara kepentingan manusia dengan keberlangsungan dan kelestarian lingkungan. Dengan begitu perlunya menggunakan metode yang baik untuk mengelola kawasan objek wisata dengan cara melakukan konservasi, daur ulang, melakukan pembaharuan terhadap sumber daya alam dan lainnya.
Liu dan western dalam buku (Pitana, 2009) menjelaskan dalam mengelola suatu pariwisata dapat memberikan peran dan pengaruh yang penting beberapa poin dalam mengelola pariwisata, yaitu:
40
Biasanya dalam mengembangkan objek wisata berpengaruh kepada rusaknya sumber daya disekitar lingkungan dan hal tersebut tidak terkendali dengan baik. Dampak ini diperoleh dari pertumbuhan dan pengembangan pariwsata yang terjadi di kawasan objek wisata dan percepatan pertumbuhan penduduk. Dengan begitu pariwisata harus dikelola dengan sebaik mungkin supaya mampu mengahadirkan perlindungan terhadap ekosistem yang ada dikawasan tersebut agar pariwisata tetap unggul.
2. Keberlanjutan Ekonomi
Mengelola pariwisata merupakan salah satu solusi supaya dapat memberikan keuntungan dan membantu keberlanjutan perekonomian lapisan masyarakat bawah, meningkatkan pendapatan asli daerah dan mampu menciptakan perekonomian untuk menstabilkan masukan dalam hal keuangan.
3. Peningkatan Integritas Budaya
Sebagus dan sebaik apapun kawasan objek wisata apabila unsur kebudayaan di daerah tersebut hilang sedikitnya banyaknya berpengaruh kepada objek pariwisata tersebut dan akhirnya akan berdampak kepada tidak bertahan lama, dengan begitu pentingnya kerjasama yang aktif sesama kelompok kepentingan yang ada dalam pengelolaan objek wisata tersebut (masyarakat setempat, kaum adat).
41
Melanjutkan pariwisata disuatu daerah bergantung kepada pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat setempat dan wisatawan, dimana di kawasan tersebut memiliki sumber daya manusia yang berintegritas dalam permasalahan pariwisata, serta memiliki kepedulian yang tinggi untuk mengelola objek wisata tersebut. Tidak hanya masyarakat setempat dan wisatawan yang harus memiliki sumber daya manusia yang maksimal akan tetapi semua pemangku kepentingan yang berkaitan dengan kawasan tersebut harus memiliki kepedulian dan kepekaan untuk tetap melestarikan kawasan wisata tersebut.
Menteri Pariwisata telah mengeluarkan peraturan nomor 3 tahun 2018 tentang petunjuk operasional pengelolaan DAK dalam bidang pariwisata, khususnya pada sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana adalah pemberian fasilitas yang baik terhadap wisatawan yang berkunjung baik bentuknya pelayanan langsung maupun tidak langsung. Salah satu majunya pariwisata didaerah bergantung kepada angka kunjungan wisatawan, sarana dan prasarana ini sangat mempengaruhi tingkat minat pengunjung untuk datang berwisata, adapun sarana dan prasarana yang dimaksud yaitu:
1. Perusahaan perjalanan meliputi travel perjalanan, pemandu wisata, jasa tempat pemesanan tiket masuk ke kawasan wisata, tiket angkutan, akomodasi dan layanan lainnya.
2. Perusahaan transportasi, dimana termasuk kepada komponen dimana Kawasan objek wisata memiliki aksesibilitas, wisatawan memiliki kelancaran pada transportasi untuk mencapai suatu tempat ke tempat lainnya.
42 3. Akomodasi lainnya
Beberapa jenis akomodasi diantaranya hotel, motel, wisma, villa, apartemen dll, tidak terlalu jauh dari kawasan objek wisata.
4. Pembangunan pusat informasi pariwisata dan pelengkapannya
Memberikan pusat informasi dinilai perlu, memberikan informasi terbaru dan akurat untuk wisatawan berkunjung, seiring perkembangan zaman Pusat Informasi Wisata ini dapat menjadi alat untuk promosi pariwisata yang bertujuan meningkatkan angka kunjungan wisatawan dan lamanya wistawan menghabiskan waktu di kawasan tersebut.
5. Pembuatan Kamar Mandi atau toilet
Sarana ini begitu dibutuhkan untuk wisatawan yang ingin buang air kecil, besar, membersihkan diri, cuci tangan, mengganti pakaian terlebih kawasan objek wisata pemandian. Ketersediaan kebutuhan ini harus diperhatikan oleh pengelola pariwisata dan memastikan toilet ini dalam keadaan bersih dan memiliki aliran air yang lancar.
6. Penataan taman daya tarik wisata
Penataan taman meliputi petunjuk arah disetiap kawasan-kawasan atau peringatan-pringatan yang berkaitan dengan sarana dan prasarana, gazebo, pintu masuk dan keluar objek wisata, pemasangan lampu taman.
43
7. Pembuatan panggung kesenian atau pertunjukan, revitalisasi sarana pendukung daya tarik wisatawan.