• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum, Hakim dan Peradilan Elektronik Perspektif Kaidah Fiqh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Hukum, Hakim dan Peradilan Elektronik Perspektif Kaidah Fiqh"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

Hukum, Hakim dan Peradilan Elektronik Perspektif Kaidah Fiqh

Oleh:

Rifqi Kurnia Wazzan, S.H.I., M.H.

Pengadilan Agama Ruteng Email: rifqi.wazzan@gmail.com

A. Latar Belakang Masalah

Terwujudnya lembaga peradilan yang agung merupakan Visi Mahkamah Agung yang salah satunya diupayakan melalui modernisasi lembaga peradilan.1Prototype peradilan modern dalam horizon globalisasi dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini antara lain terwujud dalam bentuk optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi lembaga peradilan. Dalam upaya mewujudkan Visi Mahkamah Agung tersebut, telah dinyatakan adanya Modernisasi Manajemen Perkara, mulai dari Pelaporan Perkara Berbasis Elektronik hingga Pengadilan Online.

Bahwa pada era keterbukaan informasi publik saat ini, peradilan haruslah dijalankan secara kredibel, transparan dan modern, terlebih terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan informasi publik. Adanya transparansi, kredibilitas dan modern merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan keterbukaan dan akuntablitas penyelenggaraan peradilan yang baik dan modern. Aspek keterbukaan informasi publik juga merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam rangka mewujudkan visi Mahkamah Agung untuk Mewujudkan Badan Peradilan Indonesia Yang Agung. Dasar visi tersebut dapat kita temui dalam cetak biru Mahkamah Agung 2010-2035. Dijelaskan dalam cetak biru pembaharuan Mahkamah Agung, bahwa untuk dapat terwujudnya badan Peradilan Indonesia yang Agung, maka lembaga tersebut haruslah berprinsip pada orientasi pelayanan publik yang prima, dan memiliki manajemen informasi yang menjamin akuntabilitas, kredibilitas, serta transparan.

Mahkamah Agung saat ini terus berupaya untuk meningkatkan kreatifitas dan inovasinya dalam rangka mengoptimalkan keterbukaan informasi publik di Pengadilan agar terciptanya pelayanan publik yang prima. Upaya Reformasi Birokrasi ini diwujudkan dalam SK KMA No.144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi dalam rangka mewujudkan akuntabilitas penyelengaraan peradilan, serta SK KMA RI No.1- 144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan. Selain itu, transparansi dan keterbukaan informasi publik tersebut sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang- Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan

1 Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 (Blue Print Mahkamah Agung RI 2010), hlm. 14.

(2)

2

Komisi Informasi RI No.1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik.

Sejak dikeluarkannya Perma Nomor 3 Tahun 2018 yang diubah dengan Perma Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik. Melalui Perma Nomor 1 Tahun 2019, pengadilan telah menerapkan pelayanan administrasi perkara secara elektronik bagi para pencari keadilan, meliputi pendaftaran perkara (e-filing), pembayaran (e-payment), panggilan/pemberitahuan (e-summons) dan persidangan secara elektronik (e-litigasi). Semua jenis aplikasi ini lazim dinamakan dengan Peradilan Elektronik (e-court).

Disamping itu, dalam dunia ilmu hukum yang berada di tengah- tengah dan turut menerima imbas dari perubahan dunia yang serba digital tersebut, menjadi sangat anakronis apabila ilmu hukum tetap tenang- tenang saja di tengah gejolak perubahan tersebut. Apabila hal ini dilihat dari kacamata hukum progresif dengan karakteristiknya sebagai “hukum yang membebaskan”, menjadikan paham bahwa hukum progresif sangat peka terhadap perubahan dan ide perubahan serta berkehendak kuat (eager) untuk membuat hukum menjadi suatu institut yang bersifat protagonis.2

Menurut Teuku Mohammad Radhie,3 pembaruan hukum yang dilaksanakan di Indonesia hendaknya harus berada dalam bingkai Pembinaan Hukum Nasional. Yang dimaksud adalah usaha-usaha kodifikasi di bidang hukum (hukum perdata, hukum pidana, hukum acara, dan hukum lainnya). Selain itu usaha pembaruan hukum secara sektoral di berbagai bidang hukum yang mendesak, termasuk juga instansi penegak hukum dan prosedurnya. Sehingga pembaruan hukum yang berbentuk Peradilan Elektronik ini bersifat komprehensif dalam rangka menuju pembentukan Sistem Hukum Nasional sebagai jati diri bangsa Indonesia.

Di dalam Islam, pembaruan tersebut dikenal dengan istilah tajdid.

Pembaruan yang dikemukakan oleh Harun Nasution,4 lebih menekankan kepada penyesuaian pemahaman Islam sesuai dengan perkembangan baru yang ditimbulkan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Pembaruan hukum ini disebabkan karena adanya perubahan kondisi, situasi, tempat dan waktu sebagai akibat dari faktor percepatan dunia teknologi dan informasi. Perubahan ini sejalan dengan teori qaul qadim dan qaul tajdid yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, bahwa hukum dapat juga berubah karena berubahnya dalil hukum yang ditetapkan pada peristiwa tertentu dalam melaksanakan maqashid al-syari’ah.5 Ijtihad tidak

2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum di Tengah Arus Perubahan, (Malang: Surya Pena Gemilang, 2016), hlm. 11-12.

3 Teuku Mohammad Radhie, Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 9. Lihat juga Teuku Mohammad Radhie, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijakan, makalah dalam Pra-Seminar Identitas Hukum Nasional, Fak. Hukum UII, 1987, hlm. 4.

4 Harun Nasution, Pembaruan Hukum Islam: Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 11-12.

5 Zaenudin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 243-246. Lihat juga Ahmad Nakhrowi Abdul Salam, Imam Syafi’i:

Madzhab Qadim Wal Jadid, disertasi pada Universitas Al Azhar Cairo, tidak dipublikasikan, 1994, hlm. 30-32.

(3)

3

pernah tertutup, dan setiap saat harus selalu terbuka untuk menemukan jawaban terhadap hukum baru dalam menghadapi arus globalisasi yang terjadi saat ini. Khususnya kehadiran Peradilan Elektronik ini juga menjadi bagian di dalam kajian ijtihad melalui kaidah fiqh.

Untuk bisa menemukan pembaruan hukum yang tepat di dalam proses berfikir (ijtihad) harus mempelajari dan menguasai kaidah-kaidah fiqh. Baik kaidah ushuliyyun maupun fiqhiyyah. Dengan mengetahui dua jenis kaidah ini, maka persoalan hukum – sekaligus pembaruan hukum – dari Peradilan Konvensional menuju ke Peradilan Elektronik mendapatkan tempatnya. Dan juga mampu menjadi pisau analisis yang tepat di dalam membedah ruang lingkup Peradilan Elektronik yang sedang diimplementasikan oleh Mahkamah Agung dan 4 (empat) peradilan dibawahnya, yaitu Peradilan Negeri, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.

B. Rumusan Masalah

1. Apa ratio legis terhadap kebijakan implementasi peradilan elektronik?

2. Bagaimana analisis hukum, hakim dan peradilan elektronik perspektif ushul fiqh?

C. Pembahasan

1. Ratio Legis Terhadap Kebijakan Implementasi Peradilan Elektronik.

Sudah sejak masa lampau yang jauh menjorok ke belakang, manusia bergumul dengan masalah ketertiban. Manusia tidak dapat hidup dalam kebersamaan tanpa ketertiban. Kebutuhan untuk hidup dalam suasana ketertiban itulah yang membawa manusia memasuki permasalahan hukum. Apapun hukum ingin disebut entah sebagai kebiasaan, tradisi, custom, mores, atau sebagai sistem perundang- undangan. Hukum merupakan salah satu persoalan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dari abad ke abad hukum semakin menjadi rumit atau kompleks. Di satu pihak kehidupan fisik dan sosial manusia memang semakin berkembang ketika bidang-bidang baru muncul, salah satunya di bidang teknologi informasi. Di pihak lain, hukum yang diandalkan selalu diminta untuk campur tangan menciptakan ketertiban yang baru. Kombinasi keduanya menyebabkan ranah hukum semakin meluas dan intensif.

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menggariskan sebuah ketentuan bahwa pengadilan harus membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.6 Persoalan lambatnya penanganan perkara adalah isu yang dialami oleh semua organisasi peradilan di seluruh dunia. Hal tersebut dikemukakan oleh Dory Reiling dalam Technology for Justice: How Information Technology Can Support Judicial Reform.7 Reiling mengatakan bahwa

6 Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, LN No 157 Tahun 2009, TLN No 5076 Pasal 4 ayat (2)

7 Reiling, Dory, Technology for Juctice: How Informaton Technology Can Support Judicial Reform, 2009, (Leiden: Leiden University Press), hlm. 17

(4)

4

ada tiga persoalan yang paling sering dikeluhkan kepada lembaga peradilan, yaitu: lambatnya penanganan perkara (delay), sulit diakses (access), dan integritas aparatur.

CEPEJ (Commission Europeenne pour L’efficacite de la Justice) yaitu Komisi Eropa untuk Efisiensi Keadilan telah melakukan survey kategorisasi pemanfaatan teknologi informasi di pengadilan berdasarkan tujuan pemanfaatannya, yaitu:8

a. Memberi dukungan langsung kepada hakim dan staf pengadilan;

b. Memberi dukungan kepada manajemen peradilan;

c. Memberi dukungan untuk interaksi pengadilan dengan pihak

Salah satu hal yang mendasari adanya tuntutan terwujudnya Peradilan Elektronik di pengadilan adalah karakter masyarakat modern itu sendiri. Menurut Rhenald Kasali, dalam era dunia Gelombang Ketiga sebagaimana dinyatakan oleh Alfin Toffler, perkembangan masyarakat saat ini telah memasuki Model Peradaban Uber. Model Peradaban Uber ini dicirikan dengan perubahan peradaban time series menjadi real time, sikap individualis berubah menjadi saling berkolaborasi/berjejaring, kecepatan, multitasking, dan adanya kompetitor yang tidak terlihat.9

Sehingga perkembangan Teknologi Informasi yang sangat cepat tersebut juga merambah ke dunia hukum, karena pada dasarnya hukum adalah masyarakat itu juga, sehingga hubungan-hubungan masyarakat baru, juga akan membentuk peraturan-peraturan baru.10

Selain itu kuatnya tuntutan atas pelayanan publik yang serba cepat, tepat, benar dan transparan. Tuntutan tersebut hanya dapat diwujudkan dengan modernisasi sistem dan mekanisme kerja dengan menggunakan prasarana dan sarana kerja yang mutakhir. Dalam konteks ini kebutuhan terhadap terciptanya integrasi sistem manajemen dan administrasi perkara dengan sistem teknologi informasi dan komunikasi menjadi sebuah keniscayaan.

Hotman P. Sibuea, menerangkan bahwa Mahkamah Agung mempunyai tanggungjawab untuk membuat sebuah aturan hukum manakala hukum tersebut belum cukup diatur oleh peraturan yang ada.

Kewenangan rule making power ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah dirubah dua kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Pasal 79, yang berbunyi:

Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal- hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.

Dengan legalitas ini, dapat ditemukan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung baik berupa Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) maupun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

8 Reiling, Dory, Op Cit, hlm. 49

9 Rhenald Kasali, Disruption (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2017), hlm. 21.

10 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hlm. 18.

(5)

5

Fungsi SEMA sebagai beleidsregel merupakan produk kebijakan yang bersifat bebas yang ditetapkan oleh pejabat-pejabat administrasi negara dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah.11

Berikut beberapa pertimbangan diimplementasikannya Peradilan Elektronik:12

a. Pengadilan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan yang mana terdapat pada pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009;

b. Tuntutan pencari keadilan dan perkembangan zaman yang mana mengharuskan pelayanan administrasi perkara di pengadilan berbasis teknologi informasi, sehingga bisa mewujudkan kebutuhan pelayanan yang lebih mudah, murah dan efisien;

c. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan;

d. Tuntutan Survei Kemudahan Berusaha, sebagai respon terhadap program prioritas nasional yaitu perbaikan indeks kemudahan berusaha di Indonesia (Ease of Doing Business/EODB) yang diuraikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Disinilah peran penting pembaruan hukum, terutama di dalam pembaruan Hukum Peradilan Elektronik. Dimana hukum harus berperan untuk menggerakkan masyarakat menuju perubahan yang terencana.

Hukum berperan aktif sebagai alat untuk rekayasa sosial (law a tol of social engineering). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Rescoe Pond,13 fungsi hukum pada setiap masyarakat (kecuali masyarakat totaliter) ditentukan dan dibatasi oleh kebutuhan untuk menyeimbangkan antara stabiltas hukum dan kepastian terhadap perkembangan hukum sebagai alat evolusi sosial. Oleh karena itu, dalam perubahan ini hendaknya harus direncanakan dengan baik dan terarah, sehingga tujuan dari perubahan itu dapat tercapai.

2. Analisis Hukum, Hakim dan Peradilan Elektronik Perspektif Ushul Fiqh.

Dimulai dari teks, hukum memandu kehidupan manusia bermasyarakat hampir dalam seluruh aspeknya seperti pribadi, sosial, ekonomi dan politik. Pada akhirnya dengan modal teks itu hukum harus menghukumi masyarakat. Disini kita sekarang dihadapkan pada hukum yang sudah bukan teks lagi, melainkan sesuatu yang lebih konkret, yaitu putusan-putusan hukum. Dalam proses pengonkretan itulah dijumpai berbagai cara berpikir.14

11 Hotman P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 101.

12 Syamsul Ma’arif, Sosialisasi PERMA No. 1 Tahun 2019-Microsoft Power Point, (Hakim Agung dan Wakil Ketua kelompok kerja kemudahan berusaha MA RI, 2019)

13 Rescoe Pond, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta: Bhratara, 1972), hlm. 42.

14 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum di Tengah Arus Perubahan, hlm. 19.

(6)

6

Di dalam menciptakan putusan hukum yang berkeadilan, berkepastian dan berkemanfaatan maka terdapat salah satu aspek di dalam pembangunan hukum nasional, yaitu aspek legislasi yang antara lain meliputi pembentukan hukum. Pembentukan hukum merupakan salah satu bentuk penemuan hukum, karena dalam arti luas penemuan hukum meliputi kegiatan-kegiatan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakan hukum.

Penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus juga penegakan hukum dan pembentukan hukum. Penemuan hukum merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit, dengan bersumber pada peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin, yang merupakan sumber utama hukum penemuan hukum.

Penemuan hukum oleh hakim diutamakan karena seyogyanya tugas utama hakim adalah menemukan hukum dalam mengadili dan memutus suatu perkara, dan melakukan pembentukan hukum melalui putusannya (yurisprudensi) yang merupakan salah satu sumber hukum.

Di samping itu ilmuwan hukum juga melakukan penemuan hukum, hasilnya berupa ilmu hukum atau doktrin yang juga dapat dijadikan sumber hukum. Doktrin kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam putusannya maka menjadi hukum.15

Pada umumnya problematika penemuan hukum, dipusatkan pada hakim dan pembentuk undang-undang. Hakim selalu melakukan penemuan hukum karena hakimlah yang sering dihadapkan kepada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara dibantu oleh seorang panitera. Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa tugas pokok hakim adalah memeriksa, mengadili dan memutus perkara.16

Disamping Mahkamah Agung sebagai rule making power, terdapat juga kewajiban bagi seorang hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pada konteks ini Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa hakim Indonesia bukanlah corong undang-undang semata. Hal yang demikian merupakan pengejawantahan dari asas Ius Curia Novit yang memandang hakim tahu akan hukumnya atau the courts khows the law.17 Sebagaimana yang tertulis di dalam Pasal 50

15 Efa Laela Fakhriah, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Melalui Pembuktian Dengan Menggunakan Bukti Elektronik Dalam Mengadili Dan Memutus Sengketa Perdata”, Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5, No. 1, September 2020, hlm. 90.

16 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, “Arti Pentingnya Pembuktian dalam Proses Penemuan Hukum di Peradilan Perdata”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 2, 2010, hlm. 347.

17 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hlm.

137.

(7)

7

ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Penjelasan ini senada dengan Roberto Mangabeira Unger yang menyebutkan sistem hukum modern itu sebagai the legal system.

Artinya, tidak ada sistem hukum lain yang layak disebut legal system kecuali sistem hukum modern. Akan tetap, seperti dikatakan oleh Scholten, masa kepastian abad ke 19 sudah lewat. Waktu sudah lewat bagi orang yang meyakini hakim hanyalah “mulut yang menyuarakan undang-undang”. Sekarang orang tidak hanya berbicara mengenai penerapan hukum (rechtstoepassing) yang mekanistis, melainkan penemuan hukum (rechtsvinding) yang lebih kreatif.18

Penegasan normatif di atas, secara legal formal terbuka ruang penemuan hukum oleh hakim. Kewenangan penemuan hukum dibuka untuk memberikan penjelasan terhadap ketentuan undang-undang yang belum jelas atau melengkapi pengaturan normatif yang tidak lengkap dan dimungkinkan untuk mengisi kekosongan hukum dari suatu undang- undang. Ketidaklengkapan, ketidakjelasan dan kekosongan hukum ini merupakan konsekuensi dari sebuah realitas bahwa “teks” undang- undang yang tidak selalu sempurna. Apalagi laju undang-undang yang statis dibandingkan dengan perkembangan masyarakat maka sifatnya sebatas moment opname sehingga harus di”kontekstualisasi” kan oleh hakim. Dalam hal ini hakim harus menafsirkan dan atau menggali kandungan norma yang terdapat di dalam undang-undang itu sehingga sesuai dengan perkembangan nilai dan rasa keadilan masyarakat.19

Adanya beberapa perubahan terhadap hukum formil dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan tertentu. Sehingga Mahkamah Agung mendapatkan berbagai kekosongan hukum yang harus segera diisi mengingat perkembangan hukum, perkembangan bisnis dan perkembangan dunia pada umumnya. Adalah tidak keliru sebuah adagium yang menjelaskan bahwa hukum atau undang-undang seringkali tertinggal dibelakang peristiwa yang muncul di masyarakat (her reht hink achter de feiten aan).20 Berbagai perkembangan regulasi dunia usaha saat ini telah menunjukkan perkembangan yang melesat jauh berada di depan perkembangan hukum.

Melalui penemuan hukum, hakim dapat menghindarkan para pencari keadilan dari ketertindasan pelaksanaan produk hukum (undang- undang) yang tidak adil. Bahkan melalui pembentukan hukum baru, baik hakim maupun Pengadilan dapat berperan secara strategis dalam pembinaan hukum nasional dengan mewujudkan berbagai fungsi melalui

18 Paul scholten, “Algemeen Deel” dari Asser’s Handleiding tot de beoefoning van het Nederlandsch Burgerlijk Recht, Zwolle: WEJTjeenkWillink, 1954. Lihat juga di buku Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum di Tengah Arus Perubahan, hlm. 22.

19 Budi Suhariyanto, “Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia”, Jurnal Rechsvinding, Vol. 4, No. 3, Desember 2015, hlm. 413.

20 Aco Nur dan Amam Fahrur, Hukum Acara Elektronik di Pengadilan Agama, Era Baru Sistem Peradilan di Indonesia, (Sidoarjo: Nizamia Learning Center, 2019), hlm. 1.

(8)

8

putusan-putusannya. Menurut Sunaryati Hartono fungsi tersebut antara lain adalah:21

a. Putusan hakim sebagai perwujudan upaya untuk mencegah dan menyelesaikan konflik. Di sini putusan hakim ditekankan pada fungsi mekanisme pengintegrasian masyarakat dengan mencegah konflik dan menyelesaikan atau mengatasinya dengan cara damai dan tertib apabila konflik telah terjadi;

b. Putusan hakim sebagai perwujudan upaya penemuan hukum. Dalam hal demikian putusan hakim ditekankan pada hubungan fungsi dan tugas hakim dengan undang-undang yang ada. Arti penting pandangan ini terletak pada hubungan pelaksanaan tugas hakim dengan undang-undang yang tidak selalu lengkap selengkap- lengkapnya dan tidak selalu jelas sejelas-jelasnya, karena tertinggal oleh perkembangan masyarakat yang lebih cepat;

c. Putusan hakim sebagai perwujudan law as a tool of social engineering. Di sini putusan hakim ditekankan pada fungsi pengstrukturan kembali suatu masyarakat yang di dasarkan pada tatanan dan nilai-nilai tertentu untuk di tujukan kepada masyarakat baru.

Kemudian, ketika terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum) terhadap pesatnya perkembangan dunia teknologi dan informasi saat ini, yang kemudian diisi dengan penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim. Maka kondisi dan situasi ini harus berjalan seiring dengan pembaruan hukum dalam bidang hukum acara ke ranah hukum acara elektronik. Dalam kaitannya dengan pembaruan hukum, Tokoh Pembaharu Islam, Muhammad Rasyid Ridha,22 mengatakan bahwa sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena ada perbedaan waktu dan lingkungan, situasi dan kondisi. Jika suatu hukum yang diundangkan pada waktu dibuat sangat dibutuhkan oleh masyarakat terhadap hukum itu, tetapi kemudian kebutuhan akan hukum itu sudah tidak ada lagi, maka sebaiknya hukum yang lama itu segera diperbarui dengan hukum yang baru sesuai dengan situasi dan kondisi, waktu dan tempat dalam masyarakat yang melaksanakan hukum itu.

Hukum Acara Elektronik sejatinya telah mempunyai payung hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam proses Peradilan Elektronik mulai dari pendaftaran sampai pada tahap persidangan sangat bergantung pada proses data elektronik yang diolah pada aplikasi e- court. Pemahaman mendasar terkait definisi Dokumen Elektronik pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi legalitas terhadap proses perkara yang berbasis data elektronik.

21 Sunaryati Hartono, Peranan Hakim Dalam Proses Pembentukan Hukum, Majalah Hukum Nasional, BPHN, No. 1, Jakarta: 2003, hlm. 8.

22 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, Juz I, 1987), hlm. 414.

(9)

9

Dalam hal ini, layanan administrasi perkara dan persidangan secara elektronik akan memberikan kemudahan kepada pencari keadilan di dalam menyelesaikan perkaranya. Penerapan layanan ini dimaksudkan untuk menjawab 3 persoalan utama yang selama ini dihadapi para pihak ketika berperkara, yakni keterlambatan (delay), keterjangkauan (access) dan integritas (integrity).23

Peranan Hakim dalam Peradilan Elektronik sangat terlihat, kerena Peradilan Elektronik yang didasarkan pada PERMA Nomor 1 Tahun 2019 mempunyai kelebihan dari sudut pandang persidangan yang nota bene menjadi area kewenangan hakim. Sehingga tidak merubah peranan Hakim dalam proses persidangan. Hakim dapat mengakses aplikasi e-court dengan user name dan password yang sama seperti halnya mengakses SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara).

Ada beberapa peranan yang ditampilkan oleh Hakim, baik sebagai Ketua Majelis ataupun sebagai Hakim Anggota:24

a. Sebagai Ketua Majelis, harus mengetahui tentang perkara yang menjadi kewenangannya setelah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan.

Hal ini dapat dilihat dari sistem informasi SIPP, bahwa yang bersangkutan memperoleh pembagian perkara dalam bentuk e- court. Dari sisi alur perkara, tidak ada yang signifikan, karena pada dasarnya pembagian perkara yang tertera pada SIPP juga akan dihadirkan berkas perkara secara fisik.

b. Setelah menerima perkara dalam SIPP maupun secara fisik, Ketua Majelis akan menginput data Penetapan Hari Sidang pada SIPP sebagai sarana perintah kepada Jurusita memanggil pihak-pihak berperkara.

c. Pada tahap persidangan, Ketua Majelis harus menjelaskan kepada pihak-pihak berperkara tentang proses persidangan secara e-court.

d. Pada tahap persidangan setelah mediasi, Ketua Majelis akan mempertegas penjelasan tentang pemeriksaan perkara secara e- court, dengan harapan pihak Tergugat/Termohon juga dapat melakukan proses persidangan secara e-court.

e. Apabila pihak Tergugat/Termohon menyatakan kesediaannya melakukan proses persidangan dengan e-court, Ketua Majelis berkewajiban untuk membuat court calendar sebagai landasan untuk menentukan proses dan tahapan persidangan hingga perkara tersebut diputus.

f. Ketua Majelis berkewajiban menerima dokumen yang diterima (jawaban, replik, duplik, bukti, kesimpulan) dengan mengakses menu dan meng – klik pada menu yang tersedia di aplikasi. Kemudian Ketua Majelis mem-forward dokumen tersebut kepada pihak lainnya.

g. Ketua Majelis berkewajiban membacakan putusan dan meng-upload putusan tersebut pada sistem informasi yang tersedia.

Agar hukum baru (Peradilan Elektronik) efektif berlaku di tengah- tengah masyarakat, menurut Abdul Manan25 harus memenuhi beberapa

23 A.S. Pudjoharsoyo, (2019). “Arah Kebijakan Teknis Pemberlakuan Pengadilan Elektronik (Kebutuhan Sarana dan Prasarana Serta Sumber Daya Manusia)”, Jakarta, 13 Agustus 2019.

24 Aco Nur dan Amam Fahrur, Hukum Acara Elektronik, hlm. 116-118.

(10)

10

syarat: pertama: hukum yang dibuat haruslah bersifat tetap, tidak bersifat adhoc, kedua: hukum yang baru itu harus diketahui oleh masyarakat sebab masyarakat berkepentingan untuk diatur dengan hukum yang baru tersebut, ketiga: hukum yang baru tidak saling bertentangan satu sama lain, terutama dengan hukum positif yang sedang berlaku, keempat: tidak boleh berlaku surut (retroaktif), kelima: hukum yang dibuat harus memuat nilai-nilai filosofis, yuridis, dan sosiologis, keenam:

hendaknya dihindari sering mengubah hukum karena masyarakat dapat kehilangan ukuran dan pedoman dalam berinteraksi dalam masyarakat, kedelapan: hukum yang baru hendaknya dibuta secara tertulis oleh instansi yang berwenang membuatnya.

Keterlambatan (delay), keterjangkauan (access) dan integritas (integrity) adalah 3 persoalan utama di dalam proses berperkara di pengadilan. Kondisi dan situasi tersebut mengakibatkan munculnya kesulitan yang dialami para pencari keadilan untuk mengurus permasalahan hukumnya. Di sisi lain, Islam tidak melepas perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang dialami masyarakat, dan memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang dihadapi dengan memberikan keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit. Tujuan pokok penetapan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia. Kemashlahatan manusia akan selalu berubah dan bertambah sesuai dengan kemajuan zaman. Seiring dengan itu peradigma pemenuhan kebutuhan hidup mengalami pergeseran.

Berbagai metode pencapaian kesejahteraan pun beragam. Dalam kondisi semacam ini, akan banyak timbul masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh al-Qur’an dan sunnah. Kalaulah pemecahan masalah baru itu hanya ditempuh melalui metode qiyas maka akan terjadi banyak masalah baru yang tidak dapat diselesaikan oleh hukum Islam. Hal ini menjadi persoalan yang serius dan hukum Islam akan ketinggalan zaman. Untuk mengatasi hal tersebut, dapat ditempuh lewat metode ijtihad yang lain, diantaranya adalah istislah. Bila mashlahah mursalah tidak dipertimbangkan sebagai salah satu metode ijtihad, betapa banyak kemashlahatan manusia terabaikan.26 Penalaran hukum syara’ akan mengalami stagnasi, jumud, bahkan malah memunculkan kesan bahwa syari’at Islam tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.

Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahah, yang berarti mendatangkan kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan.27 Menurut bahasa aslinya kata maslahah

25 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 4.

26 Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siswa Aliyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, PP Lirboyo, 2008),, hlm. 264-265.

27 Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, (Semarang: Bulan Bintang, 1955), hlm. 43.

(11)

11

berasal dari kata salahu, yasluhu, salahan, حلص , حلصي , احلاص artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat.28

Sedang kata mursalah artinya terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil agama (al-Qur’an dan al-Hadits) yang membolehkan atau yang melarangnya.29 Menurut Abdul Wahab Khallaf, maslahah mursalah adalah maslahah di mana syari’ tidak mensyari’atkan hukum untuk mewujudkan maslahah, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.30

Secara terminologis mashlahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya, baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri mereka, pemeliharaan kehormatan diri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun berupa pemeliharaan harta kekayaan mereka.31 Selain itu, mashlahah mursalah adalah mashlahah yang tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap batil oleh syara’, tetapi masih sejalan secara substantif dengan kaidah- kaidah hukum yang universal.32 Dalam Surat Al-Baqarah ayat 185 disebutkan

ۡ ي ِرُي

ُٰۡاللُّۡد

ۡ لاُۡمُکِبۡ

ۡ سُي

ۡ ي ِرُيۡ َلَ َوۡ َر

ۡ لاُۡمُکِبُۡد

ۡ سُع

Artinya: “Allah mencintai terwujudnya kemudahan dan َۡر tidak mencintai kesulitan bagimu

Ditilik dari asbabun nuzul nya33, ayat ini memang diturunkan dalam konteks pemberian keringanan hukum berupa diperbolehkannya berbuka puasa bagi orang sakit atau orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir). Namun menurut kalangan mufassirin, jika ditilik dari aspek universalitas teks (‘umum al-lafzhi) dan pesan mendasarnya, maka ayat diatas berlaku dalam skala yang sangat luas. Artinya kemudahan itu tidak hanya diberikan kepada orang sakit ayau musafir, melainkan bagi semua umat Islam yang mengalami kesulitan.

Imam Malik mensyaratkan ada 3 hal yang harus dipenuhi ketika akan menggunakan dalil mashlahah mursalah:34

a. Adanya persesuaian antara mashlahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid as-syar’iyyah).

b. Mashlahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional.

c. Penggunaan dalil mashlahat ini adalah dalam rangka menghilangkan

28 Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, 1973), hlm. 219.

29 Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, hlm. 44.

30 Abdullah Wahab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet-8, 2002), hlm. 123.

31 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 128.

32 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, juz ke-2, hlm. 452, dikutip dari Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 130.

33 Lihat antara lain: Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ al-Ahkam II/301, dan Tafsir Ruh al-Bayan I/293, begitu juga dalam Tafsir al-Maraghi I/83 dan Fi Zhilal al-Qur’an I/245.

34 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, et al., Ushul Fiqih, Jakarta:

Pustaka Firdaus, Cet. 9, 2005, hlm. 427-428.

(12)

12

kesulitan yang mesti terjadi. Dalam pengertian, seandainya mashlahat yang dapat diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.

Selain itu di dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim juga dijelaskan terkait dengan kemashlahatan, redaksinya adalah “Kalian semua (kaum muslimin dengan perantara Nabi SAW) diutus untuk memberi kemudahan, tidak untuk menyulitkan”. (H.R. Bukhari-Muslim).

Dari ayat dan hadis diatas, maka tercetuslah sebuah kaidah fiqh al-masyaqqah tajlib al-taysir,35 bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besarnya apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum. Al Syathibi memberikan empat makna di dalam Masyaqqah ini, pertama, dimaknai umum, meliputi hal-hal yang mampu dilakukan oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang manusia berusaha untuk terbang dia dianggap melakukan masyaqqah dalam pengertian pertama ini, kedua, dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja hal itu dapat menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat berat, ketiga, kesulitan yang tidak sampai keluar dari kebiasaan umum, keempat, yang dimaknai sebagai melawan hawa nafsu.36 Selanjutnya Al Syathibi membatasi bahwa untuk bisa masuk dalam indikator al-masyaqqah tajlib al-taysir adalah kategori masyaqqah yang keluar dari kebiasaan, dalam arti kesulitan yang seperti itu akan mempengarui formulasi hukum yang dihasilkan. Sedangkan apabila tidak sampai pada kondisi demikian, maka ia tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum.37

Sehingga kehadiran Peradilan Elektronik mendapatkan tempatnya di dalam Sumber Hukum Islam yang utama yaitu al-Qur’an, yang memberikan kemudahan atas kesulitan delay, access dan integrity.

Sekaligus mendapatkan legitimasi melalui Ushul Fiqh di dalam mashlahah mursalah nya. Dan dikunci dengan kaidah fiqh yaitu kaidah al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan akan mendorong kemudahan).

Karena di dalam implementasi Peradilan Elektronik tersebut akan mengurangi intensitas para pihak untuk berinteraksi dengan aparatur pengadilan, mengurangi waktu penanganan perkara, mengurangi waktu untuk datang ke pengadilan dan menghindari masyarakat kekurangan informasi tentang pengadilan itu sendiri.38

Analisis mashlahah mursalah terhadap Implementasi Peradilan Elektronik yaitu masuk dalam kategori mashlahah al-hajiyyat karena sesuai dengan definisinya yaitu mashlahah yang dikandung oleh segala perbuatan dan tindakan demi mendatangkan kelancaran, kemudahan,

35 Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo, “Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh Konseptual”, (Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 177.

36 Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, II/119, ed. Abdullah Darraz. Dar al-Ma’rifah, Beirut, hlm. 121.

37 Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, hlm. 123.

38 A.S. Pudjoharsoyo, (2019). “Arah Kebijakan Teknis Pemberlakuan Pengadilan Elektronik.

(13)

13

dan kesuksesan bagi manusia secara utuh menyeluruh.39 Karena dengan adanya Peradilan Elektronik para pihak yang beperkara tidak perlu datang ke pengadilan sehingga tidak mengeluarkan biaya transportasi dan ketika menjalani persidangan tidak perlu harus mengantri terlebih dahulu sehingga bisa mengefisiensi waktu untuk digunakan kegiatan yang lainnya. Dengan kata lain adalah mampu menghemat biaya, waktu dan energi. Perwujudan ini sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan sehingga terwujudnya tertib administrasi perkara yang profesional, transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan modern. Selain itu sistem Peradilan Elektronik ini, membatasi interaksi langsung antara pengguna layanan peradilan dengan hakim dan aparatur peradilan, dengan mengurangi kedatangan pengguna layanan ke pengadilan serta menganalisasi cara berinteraksi, sehingga meminimalisir kemungkinan penyimpangan etik maupun pelanggaran hukum.

Alhasil, optimalisasi di dalam pengimplementasian Peradilan Elektronik selain mempunyai legalitas hukum yaitu adanya dasar hukum yang jelas baik Undang-Undang, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) serta telah diaplikasikan melalui e-court, juga disambut secara terbuka di dalam Islam, yaitu yang terdapat dalam kaidah fiqh al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan akan mendorong kemudahan). Dengan demikian lengkap sudah pembaruan hukum di Indonesia yang menjadikan Peradilan Elektronik sebagai solusi di dalam perubahan dunia yang serba digital dan percepatan teknologi informasi yang melompat dengan pasti.

D. Kesimpulan

Kuatnya tuntutan atas pelayanan publik yang serba cepat, tepat, benar dan transparan. Dan upaya perwujudan melaksanakan proses peradilan secara cepat, sederhana dan biaya ringan. Menjadikan tuntutan tersebut hanya dapat diwujudkan dengan modernisasi sistem dan mekanisme kerja menggunakan prasarana dan sarana kerja yang mutakhir.

Dalam konteks ini kebutuhan terhadap terciptanya integrasi sistem manajemen dan administrasi perkara dengan sistem teknologi informasi dan komunikasi menjadi sebuah keniscayaan. Mahkamah Agung telah merespon problem tersebut melalui Peradilan Elektronik. Impementasi Peradilan Elektronik sesuai dengan kaidah fiqh yaitu masyaqqah tajlib al- taysir (kesulitan akan mendorong kemudahan). Dari yang awalnya muncul sebuah problem dalam dunia peradilan membuat kesulitan yang dialami masyarakat menjadikannya lebih mudah, terjangkau dan integritas penegak hukum semakin terjaga. Embrio masalah telah terpecahkan melalui Optimalisasi Peradilan Elektronik, sehingga Mahkamah Agung mampu mewujudkan Badan Peradilan Yang Agung bagi masyarakat Indonesia.

39 Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, hlm. 252-253.

(14)

14 E. Daftar Pustaka

Abdul Salam Ahmad Nakhrowi, Imam Syafi’i: Madzhab Qadim Wal Jadid, disertasi pada Universitas Al Azhar Cairo, tidak dipublikasikan, 1994 Apeldoorn, Van, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986) Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011)

Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, juz ke-2 Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ al-Ahkam II/301

Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, II/119, ed. Abdullah Darraz.

Dar al-Ma’rifah, Beirut

Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siswa Aliyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, PP Lirboyo, 2008) Hartono, Sunaryati, Peranan Hakim Dalam Proses Pembentukan Hukum,

Majalah Hukum Nasional, BPHN, No. 1, Jakarta: 2003

Kasali, Rhenald, Disruption (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2017) Kholil, Munawar, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, (Semarang:

Bulan Bintang, 1955)

Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo, “Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh Konseptual”, (Surabaya: Khalista, 2006)

Laela Fakhriah, Efa, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Melalui Pembuktian Dengan Menggunakan Bukti Elektronik Dalam Mengadili Dan Memutus Sengketa Perdata”, Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5, No. 1, September 2020

Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009) Ma’arif, Syamsul, Sosialisasi PERMA No. 1 Tahun 2019-Microsoft Power

Point, (Hakim Agung dan Wakil Ketua kelompok kerja kemudahan berusaha MA RI, 2019)

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:

Liberty, 1998)

Mohammad Radhie Teuku, Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1980)

Mohammad Radhie Teuku, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijakan, makalah dalam Pra-Seminar Identitas Hukum Nasional, Fak. Hukum UII, 1987

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, et al., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 9, 2005

Nasution Harun, Pembaruan Hukum Islam: Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986)

Nasution Zaenudin, Pembaruan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001)

Nur, Aco dan Fahrur, Amam, Hukum Acara Elektronik di Pengadilan Agama, Era Baru Sistem Peradilan di Indonesia, (Sidoarjo: Nizamia Learning Center, 2019)

Nurhaini Butarbutar, Elisabeth, “Arti Pentingnya Pembuktian dalam Proses Penemuan Hukum di Peradilan Perdata”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 2, 2010, hlm. 347.

(15)

15

P. Sibuea, Hotman, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, (Jakarta:

Erlangga, 2010)

Pond, Rescoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta: Bhratara, 1972)

Pudjoharsoyo, A.S., (2019). “Arah Kebijakan Teknis Pemberlakuan Pengadilan Elektronik (Kebutuhan Sarana dan Prasarana Serta Sumber Daya Manusia)”, Jakarta, 13 Agustus 2019.

Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum di Tengah Arus Perubahan, (Malang: Surya Pena Gemilang, 2016)

Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsir al-Manar, (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, Juz I, 1987)

Reiling, Dory, Technology for Juctice: How Informaton Technology Can Support Judicial Reform, 2009, (Leiden: Leiden University Press)

Scholten, Paul, “Algemeen Deel” dari Asser’s Handleiding tot de beoefoning van het Nederlandsch Burgerlijk Recht, Zwolle: WEJTjeenkWillink, 1954.

Suhariyanto, Budi, “Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia”, Jurnal Rechsvinding, Vol. 4, No.

3, Desember 2015

Wahab Khallaf, Abdullah, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet- 8, 2002)

Yunus, Muhammad, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, 1973)

Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, LN No 157 Tahun 2009, TLN No 5076

Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 (Blue Print Mahkamah Agung RI 2010),

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena sumber pembelajaran tersebut terkonsentrasi di tingkat pusat maka, pemerintah pusat seperti misalnya Kementerian Kesehatan dan KPAN perlu memprioritaskan

Jika sebuah pertunjukan musik menghendaki penonton dapat ikut menari dan berjoget seperti pada pertunjukan musik dangdut, ska, reggae, rock, hardcore dan deathmetal maka

Peradilan Pidana Anak, pada dasarnya juga untuk melakukan koreksi, rehabilitasi, sehingga cepat atau lambat, anak dapat kembali ke kehidupan masyarakat normal dan bukan untuk

Dalam kaidah fiqh mengenai hukum acara dalam peradilan Islam adalah “membelanjakan sesuatu atas perintah hakim sama dengan membelanjakan atas perintah pemilik” 21

Dari kedua model isoterm tersebut, yang paling sesuai untuk adsorpsi logam kromium menggunakan adsorben zeolit alam terakti- vasi kimia fisik secara asam adalah

ADHIMIX PRECAST INDONESIA PLANT SERPONG NDONESIA BSD - Serpong SOUNDNESS OF AGGREGATE ASTM C 88 ~.

Perancangan layout yang digunakan yaitu untuk mendesain program delphi yang digunakan untuk menampilkan suhu dari arduino. Digunakan beberapa komponen penting pada