Inisiasi dan Respons terhadap Topik pada Anak dengan ADHD (Attention
Deficit Hyperactivity Disorder)
TESIS
diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora
di Bidang Linguistik
oleh
Andini Eka Prastiwi
1009574
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
Inisiasi dan Respons terhadap Topik pada Anak dengan ADHD (Attention
Deficit Hyperactivity Disorder)
Oleh
Andini Eka Prastiwi S.Pd, UPI Bandung, 2010
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum.) pada Prodi Linguistik
© Andini Eka Prastiwi 2014 Universitas Pendidikan Indonesia
Januari 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
disetujui dan disahkan untuk diajukan ke ujian sidang oleh:
Pembimbing I,
Prof. Dr. Syihabuddin, M.Pd. NIP 196001201981031001
Pembimbing II,
Dadang Sudana M.A., Ph.D NIP 196009191990031000
diketahui oleh:
Ketua Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia
Prof. Dr. Syihabuddin, M.Pd.
ABSTRAK
Inisiasi dan Respons terhadap Topik pada Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
oleh
Andini Eka Prastiwi (1009574)
Penelitian ini berjudul “Inisiasi dan Respons terhadap Topik pada Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk inisiasi topik dan respons inisiasi topik dalam percakapan yang dilakukan oleh anak dengan ADHD. Informan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah seorang anak berusia 10 tahun yang diduga mengalami ADHD. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Topical Movement yang digagas oleh Sacks (1992) dan teori respons yang digagas oleh Bara (2010). Kedua teori tersebut digunakan untuk menganalisis data inisiasi topik dan respons terhadap inisiasi topik yang dilakukan oleh informan dalam percakapan. Penelitian ini menghasilkan beberapa hal. Yang pertama, informan biasa menginisiasi topik dalam percakapan dengan menggunakan enam cara. Cara-cara tersebut adalah inisiasi topik dengan kalimat tanya, inisiasi topik dengan kalimat pernyataan, inisiasi topik dengan penanda eksplisit, inisiasi topik dengan cara re-introduce, inisiasi topik dengan cara topic
abruption, dan stepwise topical movement. Yang kedua, ketika merespons inisiasi
Andini Eka Prastiwi, 2014
Inisiasi dan Respons terhadap Topik pada Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1Pengantar ... 1
1.2Latar Belakang Masalah... 1
1.3Identifikasi Masalah ... 6
1.4Rumusan Masalah ... 7
1.5Tujuan Penelitian ... 7
1.6Manfaat Penelitian ... 8
1.7Definisi Operasional ... 9
BAB 2 LANDASAN TEORETIS ... 10
2.1Pengantar ... 10
2.2Psikolinguistik ... 10
2.3Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) ... 13
2.4Gangguan Berbahasa pada Anak ADHD ... 16
2.5Inisiasi Topik ... 18
2.6Respons ... 21
2.7Kemampuan Pragmatik pada Anak Usia 7-10 Tahun ... 23
2.8Penelitian Terdahulu ... 26
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 30
3.2Metode Penelitian ... 30
3.3Desain Penelitian ... 31
3.4Sumber Data Penelitian ... 32
3.5Teknik Pengumpulan Data ... 33
3.6Alur Penelitian ... 34
3.7Instrumen Penelitian ... 36
BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 38
4.1Pengantar ... 38
4.2Inisiasi Topik pada Percakapan yang Dilakukan Anak dengan ADHD 38
4.2.1 Topical Boundaried Movement ... 41
4.2.1.1 Inisiasi Topik dengan Kalimat Tanya ... 41
4.2.1.2 Kalimat Pernyataan ... 46
4.2.1.3 Penanda Eksplisit ... 49
4.2.1.4 Re-introduce ... 51
4.2.1.5 Topic Abruption ... 54
4.2.2 Stepwise Topical Movement ... 56
4.3Respons yang Dilakukan Anak ADHD terhadap Inisiasi Topik... 59
4.3.1 Respons dengan Jawaban Sesuai ... 61
4.3.1.1 Jawaban Sesuai tanpa Delay ... 61
4.3.1.2 Jawaban Sesuai dengan Delay ... 65
4.3.2 Respons dengan Jawaban Tidak Sesuai ... 71
4.3.2.1 Jawaban Tidak Sesuai tanpa Delay ... 71
4.3.2.2 Jawaban Tidak Sesuai dengan Delay ... 74
4.3.3 Respons dengan Tuturan Tidak Langsung ... 76
4.3.3.1 Tuturan Tidak Langsung tanpa Delay ... 76
4.3.3.2 Tuturan Tidak Langsung dengan Delay ... 77
4.3.4 Respons Berupa Tanda Paralinguistik ... 79
Andini Eka Prastiwi, 2014
Inisiasi dan Respons terhadap Topik pada Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity
Pragmatik ... 82
4.5Pembahasan ... 86
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 99
5.1Pengantar ... 99
5.2Simpulan ... 99
5.3Saran ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 104
RIWAYAT HIDUP ... 107
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 109
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Pengantar
Dalam bab ini akan dijelaskan latar belakang penelitian yang dilakukan
terhadap anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Selain
itu, dalam bab ini juga akan disebutkan identifikasi masalah, perumusan masalah
penelitian, tujuan penelitian, dan definisi operasional. Hal-hal yang dibahas dalam
bab ini akan menjadi pegangan untuk melakukan penelitian pada anak dengan
ADHD.
1.2Latar Belakang Penelitian
Setiap bahasa di dunia ini memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagai sarana
manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa merupakan sistem
lambang yang sangat tertata rapi guna menyampaikan informasi. Lambang
tersebut bisa disimpan, diingat, dan diolah dengan otak (Calne, 2004:46). Inti
yang paling mendasar dari bahasa adalah untuk menghubungkan bunyi dengan
simbol dan makna, untuk memfasilitasi kata sebagai ekspresi dari pikiran dan
perasaan. Secara tradisional, bahasa dipandang sebagai alat untuk berpikir, sebuah
sistem ekspresi yang menghubungkan perpindahan pikiran dari satu orang ke
orang lain (Finegan, 1992:3). Dalam berkomunikasi, bahasa adalah alat utama
yang berfungsi untuk mencapai makna.
Bahasa sendiri tidak dikuasai manusia secara tiba-tiba. Perkembangan
berkembang seiring dengan perkembangan usia manusia. Seiring dengan waktu,
manusia menguasai kemampuan berbahasa dan mampu berkomunikasi dengan
manusia lain. Membahas perkembangan berbahasa manusia tidak akan pernah
lepas dari perkembangan bahasa dan komunikasi yang dialami oleh anak-anak.
Masa kanak-kanak dianggap sebagai ‘‘masa emas’’ dalam pemerolehan
bahasa sekaligus sebagai bekal manusia untuk mengembangkan kemampuan
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Segala hal yang terjadi pada
masa kanak-kanak, baik secara fisik dan psikologis dapat mempengaruhi
perkembangan anak dalam berbahasa dan berkomunikasi. Oleh karena itu, apapun
yang terjadi pada anak di masa pemerolehan berbahasa akan berpengaruh pada
kemampuan komunikasi mereka di saat memasuki masa remaja dan masa dewasa.
Kemampuan berbahasa pada anak-anak sejalan dengan pertumbuhan fisik,
sosial, intelektual, dan psikologis anak. Apabila terdapat gangguan pada
aspek-aspek tersebut, perkembangan bahasa anak juga akan ikut terganggu.
Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh lingkungan anak dan lingkungan
sekitarnya. Interaksi dengan orang yang lebih dewasa atau penutur yang lebih
matang memainkan peranan yang amat penting dalam membantu peningkatan
kemampuan anak untuk berkomunikasi (Bredekamp & Copple, 1997:104).
Namun, tidak semua anak dapat berkomunikasi dengan normal dan lancar
sesuai dengan usia dan perkembangannya. Terdapat beberapa kelompok anak
yang mengalami keterbatasan dalam berbahasa dan berkomunikasi. Keterbatasan
tersebut dapat disebabkan baik dari sisi klinis, fisiologis, dan psikologis mereka.
3
dengan gangguan perilaku (behavior disorder) atau gangguan belajar (learning
disorder).
Salah satu gangguan belajar dan gangguan berkomunikasi yang sering
dialami anak-anak adalah ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).
Anak yang didiagnosa ADHD menunjukkan gejala-gejala tertentu, seperti
hiperaktif, impulsif, dan kesulitan dalam berkonsentrasi. ADHD bukanlah hal
baru dalam perkembangan anak-anak. Gangguan ini telah menjadi bahan
penelitian dan menjadi perhatian dari dunia kesehatan karena gangguan ini kerap
terjadi tidak hanya pada anak tetapi juga bertahan hingga dewasa. Beberapa
laporan menyebutkan bahwa 10-18% anak-anak mengidap ADHD. Rata-rata 60%
anak dengan ADHD memiliki gejala-gejala yang bertahan hingga mereka dewasa
(Nass dan Leventhal, 2011:2).
Ciri khas anak dengan ADHD, yaitu sulit untuk memusatkan perhatian,
impulsif dan hiperaktif secara tidak langsung mempengaruhi kemampuan
berbahasa berkomunikasi yang dimiliki oleh anak. ADHD termasuk salah satu
sindrom yang dilaporkan dalam diagnosis psikiatris pada anak dengan gangguan
berbahasa. Dapat dikatakan, secara tidak langsung, karakteristik berbahasa yang
dimiliki anak dengan ADHD tersebut dapat mempengaruhi social skill atau
kemampuan anak ADHD untuk bersosialiasi.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anak dengan ADHD
memiliki karakteristik tersendiri dalam berkomunikasi dan berbahasa. Ketika
dibandingkan dengan anak-anak yang pertumbuhannya normal, anak dengan
meliputi beberapa hal seperti penundaan permulaan kata pertama, kombinasi kata,
kelancaran membaca, memori jangka pendek, kohesivitas wacana, dan kesulitan
pragmatik, dan partisipasi percakapan yang tidak sesuai (Redmond, 2003:108).
Selain itu, dikaitkan dengan ciri-ciri dari ADHD, Parigger (2012:19) menyatakan
bahwa gejala-gejala dari ADHD dapat berpengaruh pada masalah berbahasa.
Masalah berbahasa tersebut khususnya meliputi ranah pragmatik, seperti sering
terlihat tidak mendengarkan ketika diajak berbicara secara langsung (inattention),
sering berbicara secara terburu-buru (hiperaktif), dan sering menjawab sebelum
pertanyaan selesai diajukan (impulsif). Secara tidak langsung, dapat dikatakan
bahwa gejala-gejala khas yang dimiliki anak dengan ADHD mempengaruhi
kemampuan anak dalam mengelola percakapan.
Salah satu hal yang penting dalam mengelola percakapan adalah
pengaturan topik dalam percakapan. Topik dalam percakapan adalah salah satu
aspek dalam interaksi yang memiliki dampak pada bagaimana manusia
berpartisipasi dalam interaksi yang sedang dilakukan (Koskela, 2001:16).
Percakapan dapat dimulai ketika ada pihak yang menginisiasi topik. Dalam hal
ini, inisiasi topik dapat menentukan bagaimana topik tersebut akan bergulir
nantinya. Oleh karena itu, inisiasi topik dalam percakapan dapat dikatakan sebagai
gerbang utama dari sebuah percakapan.
Namun, sebuah topik dimulai tidak hanya dari inisiasi topiknya, tetapi juga
respons yang diberikan lawan tutur terhadap inisiasi topik tersebut. Inisiasi topik
yang dimunculkan penutur tentunya memiliki tujuan komunikasi tersendiri.
5
oleh respons dari lawan tuturnya. Respons, baik negatif maupun positif akan
mempengaruhi inisiasi topik tersebut akan berlanjut atau tidak (Button and Casey,
1984:167). Oleh sebab itu, sebuah topik tidak hanya bergantung pada bagaimana
cara penutur menginisiasi topik, tetapi juga cara lawan tutur merespons inisiasi
topik tersebut.
Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang peneliti jadikan sebagai
informan adalah seorang anak laki-laki berusia 10 tahun dan duduk di kelas 5
sekolah dasar. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh psikolog dan
psikiater, informan disimpulkan mengalami gejala-gejala yang berkaitan dengan
ADHD. Informan mengalami tanda-tanda ADHD tersebut sejak informan berusia
3 tahun.
Gejala-gejala yang dialami oleh informan tersebut sesuai dengan ciri-ciri
ADHD yang ditetapkan oleh American Psychiatric Association (APA). Gejala
yang muncul tersebut di antaranya, hiperaktif, impulsif dan inatentif.
Gejala-gejala tersebut muncul muncul sebelum usia enam tahun dan bertahan hingga
lebih dari enam bulan. Selain itu, gejala-gejala ADHD tersebut juga harus muncul
pada minimal dua latar kehidupan sosial, yaitu rumah dan sekolah (APA,
2000:85). Semua hal yang ditetapkan oleh APA itu terjadi dan dialami oleh
informan.
Ketika informan melakukan komunikasi dalam bentuk tuturan pada
percakapan, terdapat beberapa hal yang penting dan menjadi ciri khas informan
dalam berkomunikasi. Ketika melakukan percakapan, informan terkesan pasif
lebih dahulu oleh lawan tuturnya. Ketika melakukan percakapan, informan lebih
sering berperan sebagai perespons daripada inisiator. Dalam percakapan pun,
informan sering terlihat tidak mendengarkan apa yang lawan tuturnya katakan.
Oleh sebab itu, informan juga sering merespons tidak secara langsung atau
merespons dengan jawaban yang tidak sesuai. Hal tersebut kadang menjadi salah
satu penyebab teman-temannya segan untuk melakukan komunikasi atau
percakapan dengan informan.
Berdasarkan keadaan informan tersebut, peneliti memutuskan untuk
melakukan penelitian pada informan ketika informan menginisiasi topik baru dan
merespons inisiasi topik. Peneliti ingin mengetahui pada kondisi apa saja
informan menginisiasi topik dan merespons inisiasi topik dengan cara-cara
tertentu.
1.2 Identifikasi Masalah
Penelitian ini dibatasi pada kemampuan informan, yaitu anak dengan
ADHD, dalam mengatur perannya ketika melakukan percakapan dengan lawan
tuturnya. Aspek yang akan diamati dalam penelitian ini dibatasi pada dua hal.
Yang pertama adalah bagaimana cara informan menginisiasi topik percakapan
yang sedang dilakukan dengan lawan tuturnya. Yang kedua adalah respons yang
dimunculkan informan dalam percakapannya. Respons tersebut dibatasi hanya
pada bagaimana informan merespons inisiasi topik dari lawan tuturnya dalam
7
1.3 Rumusan Masalah
Untuk menjawab permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya,
penelitian ini dilakukan berdasarkan pada rumusan masalah berikut ini:
1. Bagaimanakah cara anak ADHD menginisiasi topik saat terlibat dalam
percakapan dengan lawan tuturnya?
2. Bentuk respons apa saja yang dimunculkan informan ketika
merespons inisiasi topik dari lawan tuturnya dalam percakapan?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan pola atau
bentuk-bentuk inisiasi topik dan respons dari inisiasi topik yang dilakukan oleh informan
yang merupakan anak dengan ADHD. Pola atau bentuk-bentuk tersebut
diharapkan dapat membantu orang-orang di sekitar informan untuk dapat
berkomunikasi lebih baik dengan informan. Jika informan dapat berkomunikasi
secara lancar dengan orang-orang di sekitar, tidak mustahil jika informan
lama-lama akan terlepas dari ADHD. Karena pada dasarnya, yang paling berpengaruh
dalam pengobatan atau terapi dari anak ADHD adalah dari sisi komunikasinya.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah karakteristik
tuturan yang dimiliki oleh anak dengan ADHD ketika melakukan percakapan,
khususnya dalam mengawali atau menginisiasi topik dan merespons inisiasi topik
dari lawan tuturnya. Karakteristik tersebut dapat dijadikan titik awal usaha untuk
melakukan terapi pada penelitian selanjutnya untuk anak ADHD agar dapat
1.6 Definisi Operasional
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap judul dan variabel yang
diambil dalam penelitian ini, perlu dijelaskan definisi operasional dari tiap
variabel yang diambil dalam penelitian sebagai berikut.
1) ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder): Gangguan perkembangan
yang biasanya dialami oleh anak-anak. Namun, kadang ada pula yang terbawa
hingga penderita beranjak dewasa. Gangguan perkembangan ini ditandai
dengan munculnya tiga gejala utama atau ciri khas dari ADHD. Gejala yang
pertama yaitu gangguan atensi atau perhatian, anak dengan ADHD biasanya
sulit untuk memusatkan perhatian. Gejala yang kedua adalah hiperaktif, anak
dengan ADHD biasanya memiliki kecenderungan tidak bisa diam atau selalu
bergerak tanpa alasan. Ciri yang ketiga adalah impulsif, anak dengan ADHD
biasanya sering melakukan sesuatu secara spontan dan terkesan tanpa
dipikirkan terlebih dahulu.
2) Topic initiation: Mekanisme yang dilakukan seorang penutur dalam
menginisiasi sebuah topik dalam percakapan. Inisiasi topik ini dapat dibagi
menjadi dua mekanisme atau cara. Cara yang pertama adalah topik yang
diinisiasi secara jelas dan muncul setelah topik sebelumnya usai. Cara yang
kedua adalah topik yang inisiasinya tidak terlihat secara jelas atau eksplisit
atau terdapat pergeseran topik yang halus dan tidak terlihat dari topik satu ke
9
3) Topic response: Bentuk respons yang digunakan oleh penutur dalam merepons
inisiasi topik dari lawan tuturnya. Respons terhadap inisiasi topik ini dapat
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pengantar
Dalam bab ini, akan dijelaskan metodologi penelitian. Metodologi
penelitian ini berisi apa saja proses yang diperlukan dan data apa saja yang
diperlukan ketika melakukan penelitian. Metodologi penelitian yang akan dibahas
dalam bab ini meliputi beberapa hal, di antaranya desain penelitian, sumber data
penelitian, teknik pengambilan data, tenik analisis data, alur penelitian, dan
instrumen yang digunakan dalam penelitian.
3.2 Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
meneliti dan menyelidiki kualitas dari hubungan, aktivitas, situasi, atau hal lain.
Metode penelitian ini lebih menitikberatkan penjelasan secara detail apa yang
tengah terjadi pada sebuah situasi atau aktivitas khusus, atau menjelaskan perilaku
atau sikap manusia (Fraenkel dan Wallen, 2008:422).
Alasan peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif adalah karena
peneliti meneliti perilaku seorang anak yang mengidap ADHD dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam meneliti perilaku dari informan tersebut, akan lebih mendalam
jika menggunakan metode penelitian kualitatif. Perilaku di sini lebih dikhususkan
pada kemampuan anak tersebut dalam berkomunikasi, khususnya mengatur peran
31
cara seorang informan yang mengalami ADHD ketika melakukan percakapan
dengan orang-orang di sekitarnya. Komponen analisis percakapan yang dianalisis
dalam penelitian ini adalah organisasi topik, yang meliputi bagaimana cara
informan menginisiasi topik dengan lawan tuturnya, dan bagaimana informan
merespons inisiasi topik dari lawan tuturnya.
3.3 Desain Penelitian
Sementara itu, desain penelitian yang informan gunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan studi kasus. Menurut Bogdan dan Biklen (1982 dalam
Damaianti, 2006:175), penelitian studi kasus adalah penelitian menguji secara
rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpangan
dokumen atau satu peristiwa tertentu. Sementara Surachmad (1982, dalam
Damaianti, 2006:175) membatasi masalah studi kasus sebagai suatu pendekatan
dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian studi kasus pada
seorang anak berusia 10 tahun yang didiagnosa oleh psikiater mengidap ADHD
(Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Alasan peneliti menggunakan desain
penelitian studi kasus adalah karena peneliti ingin mengamati dan menganalisis
secara mendalam kemampuan informan dalam mengatur percakapannya. Dengan
begitu, peneliti dapat menemukan pola komunikasi atau pola percakapan yang
Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data yang berbentuk
percakapan. Data percakapan yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari
seorang anak yang menderita Attention Deficit Hiperactivity Disorders (ADHD).
Informan yang dijadikan subjek penelitian ini adalah seorang anak berusia 10
tahun dan tengah duduk di kelas lima sekolah dasar.
Informan mulai mengalami gejala-gejala ADHD sejak berusia 3 tahun.
Sebelum masuk sekolah dasar, informan pernah diperiksa dan mendapat
perawatan oleh psikiater di salah satu rumah sakit di Bandung. Saat itu, informan
didiagnosa mengalami gangguan autisme. Namun, pengobatan informan tersebut
terhenti saat informan naik ke kelas 3 SD karena masalah ekonomi dan informan
baru saja memiliki adik. Pada saat informan duduk di kelas 4 SD, informan
kembali melakukan pemeriksaan di salah satu rumah sakit di Cimahi. Dari
pemeriksaan tersebut, ciri-ciri yang dimiliki oleh informan lebih mengarah pada
ADHD daripada autisme.
Di sekolahnya, informan dikenal sebagai anak yang sering mengalami
gangguan emosi, penyendiri, dan jarang berkomunikasi dengan guru atau teman
sebayanya. Informan sering lepas kendali ketika ia diganggu, marah atau tidak
dituruti keingannnya. Ketika ia marah, informan sering melakukan tindakan fisik
pada orang yang mengganggunya dengan cara memukul, mencubit, atau
mencakar.
Dalam kemampuan komunikasi dan berbahasanya, informan dikenal
sebagai anak yang jarang berkoumunikasi dengan teman-temannya. Informan
33
berbicara ketika ia diminta oleh gurunya untuk berbicara dan itu pun sangat
jarang. Informan hanya mau berbicara atau berkomunikasi secara nyaman ketika
ia berkomunikasi dengan orang-orang yang menurutnya baik padanya, seperti
orang tua, keluarga, dan wali kelasnya.
Selain didapat dari informan, yaitu anak dengan ADHD, peneliti juga
menggunakan data tambahan untuk memperkuat analisis dalam penelitian ini.
Data tambahan tersebut didapatkan dari orang-orang terdekat informan, seperti
orang tua, guru, teman sekolah, dan psikolog atau dokter yang tengah menangani
anak tersebut.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan
data. Teknik ini digunakan untuk mengumpulka data berupa percakapan dan data
lain yang menunjang dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Wawancara
Teknik wawancara dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan
data berupa percakapan. Percakapan yang dihasilkan dari wawancara tersebut
digunakan untuk dua tujuan. Tujuan yang pertama adalah percakapan dari
informan dengan lawan tuturnya yang akan ditranskripsi dan dianalisis dalam
penelitian ini. Tujuan yang kedua adalah percakapan yang berasal dari wawancara
antara peneliti dengan orang-orang di sekitar informan, misalnya orang tua,
dokter, psikolog, dan teman-teman informan. Wawancara dengan orang-orang di
sekitar informan tersebut digunakan untuk mengetahui hal lain yang berhubungan
Teknik pengumpulan data kedua yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik observasi. Teknik observasi digunakan peneliti untuk mengetahui
sikap informan ketika melakukan percakapan dengan lawan tuturnya. Observasi
yang dilakukan oleh peneliti ini meliputi gestur atau gerakan tubuh yang
menyertai percakapan yang dilakukan informan. Hasil dari oservasi ini dapat
memberikan data tambahan dan penguatan pada analisis data penelitian pada ahap
selanjutnya.
3.6 Alur Penelitian
Adapun alur penelitian dari penelitian ini dapat dirumuskan melalui
poin-poin sebagai berikut.
1) Peneliti merekam percakapan yang dilakukan oleh informan, yaitu anak
dengan ADHD, dengan lawan tuturnya.
2) Data percakapan ditranskripsi dalam bentuk tulisan. Transkripsi percakapan
dalam penelitian ini menggunakan notasi yang digagas oleh Jefferson (dalam
Atkinson & Heritage, 158-165) sebagai berikut :
[ (Kurung buka siku tunggal) : salah satu penutur melakukan tuturan yang
saling bertumpang tindih (overlap) di tengah tuturan.
] (Kurung tutup siku tunggal) : akhir dari tuturan yang saling bertumpang
tindih (overlap).
[[ (Kurung siku ganda) : tuturan yang diawali secara bersamaan oleh
35
= (Tanda sama dengan) : tuturan penutur yang terpotong atau belum
diselesaikan, tapi tanpa ada overlap dari lawan tuturnya.
(0.0) (penunjuk detik dalam tanda kurung) : jeda yang terjadi di dalam
atau di antara tuturan.
(.) (tanda titik dalam tanda kurung) : jeda yang terjadi kurang dari 1 detik.
: (tanda titik dua) : pemanjangan kata yang dilakukan penutur.
(tanda panah ke bawah) : intonasi turun yang dilakukan penutur dalam
percakapan.
(tanda panah ke atas) : intonasi naik yang dilakukan penutur.
word (garis bawah) : kata yang diberi penekanan oleh penutur.
(penunjuk derajat) : tuturan dengan suara yang lebih kecil dari
sekitarnya atau berbisik.
(hhh) : bunyi aspirasi yang terdengar dalam percakapan.
(.hhh) : bunyi helaan nafas yang terdengar dalam percakapan.
((word)) (tanda kurung ganda) : gestur atau gerakan yang menyertai
tuturan penutur, karakterisasi percakapan yang dituturkan, hal lain yang
terjadi selama percakapan berlangsung.
> < (tanda lebih besar dan lebih kecil) : menandai bagian kata yang
diucapkan secara cepat oleh penutur.
(word) (tanda kurung tunggal) : bunyi yang tidak jelas dalam rekaman
berdasarkan pertanyaan penelitiannya, yaitu sebagai berikut:
- cara informan menginisiasi topik baru dalam percakapan, baik topik baru
yang ditandai dengan penanda penutup topik maupun topik yang muncul
dari pergeseran topik sebelumnya;
- bentuk respons yang dimunculkan informan ketika merespons inisiasi
topik dari lawan tuturnya.
4) Data yang sudah diidentifikasi tersebut dianalisis berdasarkan teori-teori yang
digunakan peneliti dalam penelitian ini.
5) Peneliti melakukan wawancara dengan orang-orang yang dekat dengan
informan, yaitu orang tua dan wali kelas informan, juga psikolog dan dokter
yang menangani informan.
6) Data yang sudah dianalisis dideskripsikan dalam bentuk narasi dan dibahas
berdasarkan teori yang relevan digabung dengan hasil wawancara yang
dilakukan peneliti.
7) Peneliti membuat laporan dan simpulan penelitian.
3.7 Instrumen Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu menyusun
instrumen penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
berupa pedoman observasi dan analisis yang didasarkan dari teori. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini sebagai pedoman penyusunan instrumen penelitian
adalah teori topical movement yang dikemukakan oleh Sacks (1992) dan teori
37
Teori tersebut digunakan sebagai pedoman analisis data dalam penelitian.
Adapun tabel yang digunakan peneliti untuk mengidentifikasi dan menganalisis
data dalam penelitian ini dibuat berdasarkan kedua teori tersebut. Tabel yang
peneliti gunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Tabel analisis bentuk inisiasi topik dan bentuk respons terhadap inisiasi
topik yang digunakan oleh informan
No Percakapan Topik
Peran Informan
Keterang an
Sebagai inisiator Sebagai perespons
inisiasi
Topical boundaries
Stepwise
movement Respons
Bentuk respons
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Pengantar
Pada bab terakhir ini, akan dijelaskan simpulan dari penelitian ini.
Bab ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah simpulan yang
didasarkan pada pertanyaan penelitian. Simpulan ini berisi hasil dari
penelitian yang telah dilakukan disusun berdasarkan pertanyaan
penelitiannya, yaitu cara anak ADHD menginisiasi topik dalam percakapan,
dan bentuk respons yang dimunculkan anak ADHD ketika merespons
inisiasi topik dari lawan tuturnya. Sementara itu, bagian kedua dalam bab ini
adalah saran. Saran atau rekomendasi berdasarkan simpulan hasil penelitian
yang sudah dilakukan. Saran atau rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi
bekal atau titik awal untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.
5.2 Simpulan
Pertanyaan penelitian pertama yang dibahas dalam penelitian ini
adlah bagaimana cara anak dengan ADHD menginisiasi topik percakapan.
Semua percakapan yang menjadi data dalam penelitian ini diidentifikasi dan
dikaji berdasarkan teori topical transition yang digagas oleh Sacks (1992).
Sacks menyatakan bahwa percakapan biasanya dibentuk dari berbagai
transisi. Ia membagi transisi tersebut menjadi dua jenis, yaitu topical
100
Dalam penelitian ini, informan menginisiasi topik dengan enam cara.
Lima cara termasuk dalam topical boundaried transition dan sisanya
termasuk dalam stepwise topical movement. Enam cara tersebut adalah
menginisiasi topik dengan kalimat tanya, menginisiasi topik dengan kalimat
pernyataan, menginisiasi topik dengan penanda eksplisit, menginisiasi topik
dengan membawa kembali topik sebelumnya (re-introduce), menginisiasi
secara tiba-tiba (topic abruption), dan mengalihkan topik secara bertahap
(stepwise topical transition). Keenam pergerakan topik tersebut dilakukan
oleh informan ketika menemui kondisi-kondisi tertentu.
Pertanyaan yang kedua yang dibahas dalam penelitian ini adalah
bagaimana bentuk respons yang dimunculkan anak ADHD ketika
merespons inisiasi topik dari lawan tuturnya. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teori respons dalam pragmatik kognitif yang digagas oleh
Bara (2010) untuk mengidentifikasi dan menganalisis data percakapan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, informan dalam penelitian ini
merespons inisiasi topik dari lawan tuturnya dengan lima bentuk. Bentuk
yang pertama adalah respons berupa jawaban yang sesuai. Bentuk kedua
adalah respons berupa jawaban yang tidak sesuai. Bentuk ketiga adalah
respons berupa tuturan tidak langsung. Bentuk keempat adalah respons
berupa penanda paralinguistik, dan yang terakhir adalah respons ganda.
Hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah semua ciri
ADHD yang dimiliki oleh informan memberi pengaruh yang cukup besar
menunjukkan kesesuaian antara hasil penelitian dengan penelitian-penelitian
yang dilakukan sebelumnya oleh para ahli. Penelitian ini menunjukkan
bahwa anak dengan ADHD memiliki karakteristik tertentu dalam
percakapan. Karakteristik tersebut khususnya terlihat pada keakuratan
informan memahami dan merespons topik dalam percakapan. Karakteristik
tersebut memberi warna dan pengaruh terhadap berkembangnya topik dalam
percakapan. Namun, berbagai karakteristik yang muncul dalam percakapan
tersebut tidak lain adalah bentuk usaha informan untuk terlibat secara aktif
dalam percakapan. Dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya,
informan berusaha dengan keras untuk melakukan percakapan dan
berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya.
5.3 Saran
1). Metodologis
Terdapat beberapa saran yang direkomendasikan berdasarkan hasil
dari penelitian. Saran yang pertama adalah penelitian bahasa dan
komunikasi yang terjadi pada anak ADHD harus dikembangkan lagi lebih
lanjut. Penelitian bahasa pada anak ADHD ini harus dikembangkan tidak
hanya dari segi kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Hal ini disebabkan oleh
semakin tingginya jumlah anak yang memiliki gangguan ADHD dalam
perkembangannya.
Penelitian tentang inisiasi dan respons terhadap topik pada anak
ADHD ini dapat menjadi titik awal penelitian-penelitian selanjutnya dengan
102
ADHD, perlu banyak sekali penelitian yang berhubungan dengan berbagai
aspek bahasa. Penelitian kemampuan berbahasa pada anak ADHD ini dapat
dikembangkan pada topik penelitian lain. Penelitian kemampuan berbahasa
pada anak ADHD dapat diperluas pada stuktur kalimat yang digunakan anak
ADHD dalam berkomunikasi. Penelitian lain untuk kemampuan berbahasa
pada anak ADHD juga dapat dititikberatkan pada kemampuan pragmatik
lain, seperti pematuhan dan pelanggaran Prinsip Kerja Sama. Anak dengan
ADHD juga cenderung sering melakukan pelanggaran Prinsip Kerja Sama,
juga kesantunan. Topik tersebut dapat digunakan sebagai bahasan untuk
penelitian selanjutnya.
2). Praktis
Pada dasarnya, setiap orang memiliki keinginan untuk
berkomunikasi, untuk menyampaikan pendapat dan didengarkan oleh orang
lain. Hal itu juga dirasakan oleh anak dengan ADHD. Dengan berbagai
kondisi emosi dan perkembangan yang dimiliki, anak ADHD juga memiliki
keinginan untuk berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya secara
normal. Namun, selama ini, justru banyak yang belum memahami hal
tersebut. Banyak orang tua yang tidak menyadari kondisi ADHD ini dan
menganggap bahwa anak dengan ADHD ini nakal dan tidak bisa diatur.
Pada akhirnya, anak ADHD sering diperlakukan dengan keras, sering
dimarahi, dan sering disalahkan. Padahal, hal tersebut dapat membuat
Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah komunikasi yang baik
dengan anak ADHD. Dengan komunikasi yang baik, anak ADHD merasa
lebih didengarkan. Oleh karena itu, orang-orang di sekitar anak ADHD,
seperti orang tua, guru, dan teman-temannya harus memahami karakteristik
berbahasa dan komunikasi yang dimiliki anak ADHD. Tentunya,
komunikasi tersebut juga harus dilakukan dengan kesabaran yang lebih.
Dengan komunikasi yang lebih baik, diharapkan dapat membantu anak
ADHD menajdi lebih mandiri dan berbaur dalam berkomunikasi.
komunikasi yang baik juga diharapkan dapat membantu jalannya terapi
sebagai usaha untuk menyembuhkan ADHD dari segi nonmedis.
Daftar Pustaka
American Psychiatric Associations. 2000. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders: Fourth Edition (DSM-IV). Washington
DC:APA.
Atchison, Jean. 2005. “Language and Mind: Psycholinguistics”. Dalam
(Editor: N.E Colinge) An Encyclopaedia of Language, bagian 10,
Halaman 186-204.
Atkinson, J Maxwell & John Heritage. 2006. “Jefferson Transcript
Notation”. Dalam (Editor: Adam Jaworski & Nikolas Coupland) The
Discourse Reader: Second Edition, Halaman 158-165.
Arnaldi, Melani R. 2012. “Hambatan Proses Kognitif pada Anak ADHD dalam Kaitannya dengan Kontrol pada Awareness di dalam
Executive Function”. Tersedia dalam
http://klinikanakkesulitanbelajar.wordpress.com/ (diakses 18 November 2012).
Bara, Bruno G. 2010. Cognitive Pragmatics: The Mental Process of
Communication. MIT Press: Cambridge.
Bates, Elizabeth, dkk. 2001. “Psycholinguistics: A Cross Language
Perspective”. Dalam Annual Review of Psychology, Volume 52,
369-396.
Bredekamp, S & C. Copple. 1997. Developmentally Appropriate Practice in
Early Childhood Programs. Washington DC: National Association
for The Education of Young Children.
Brinton, B. & M. Fujiki. 1995. “Conversational Intervention for Children
with Specific Language Impairment. Dalam (Editor: M.E. Fey, J. Windsor, & S. Warren) Language Intervention: Preschool Through
the Intermediate Years Halaman 183–212.
Button, Graham & Neil Casey. 1984. “Generating Topic: The Use of Topic
Initial Elicitor”. Dalam (Editor: J. Maxwell Atkinson & John
Heritage) Structures of Social Action: Studies in Conversational
Analysis, Halaman 167-190.
Camarata, Stephen M & Terrie Gibson. 1999. “Pragmatic Language Deficits
in Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)”. Tersedia
dalam Developmental Disabilities Research Reviews, Volume 5,
Halaman 207-214.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Cummings, Louis. 2010. Pragmatik Klinis: Kajian tentang Penggunaan dan
Gangguan Bahasa Secara Klinis. (Diterjemahkan oleh Adolina
Lefaan, dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Damaianti, Vismaia dkk. 2007. Metodologi Penelitian Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Dadjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman
Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dewart, Hazel & Susie Summers. 1996. The Pragmatics Profile of Everyday
Communication Skills in Children: Manual. Tersedia: http://wwwedit.wmin.ac.uk/psychology/pp/documents/Pragmatics% 20Profile%20Children.pdf (diakses 19 Mei 2012).
Finnegan, Edward, dkk. 2004. Language: Its Structure and Use 5th Edition.
Boston: Thomson Wadsworth.
Fraenkel, Jack. R & Norman E. Wallen. 2008. How To Design and Evaluate
Research In Education. New York: McGraw-Hill International
Edition
Geurts, Hilde M. & Mariette Embrechts. 2008. “Language Profiles in ASD,
SLI, and ADHD”. Tersedia dalam J Autism Development Disorders,
Volume 38, Halaman 1931-1943.
Howe, Mary. 1991. “Collaboration of Topic Change in Conversation”.
Tersedia dalam Kansas Working Paper of Linguistics, Volume 16,
Halaman 1-16.
Kim, Okmi H. & Ann P. Kaiser. 2000. “Language Characteristics of
Children with ADHD”. Tersedia dalam Communication Disorders
Quarterly, Volume 21, No 3, Spring 2000, Halaman 154-165.
Koskela, Heidi. 2001. Topic-Invoked Participation Frameworks in
Talk-Discussions Programs (Tesis). Department of English, University Of
110
Leonard, Melinda A, Richard Milich, & Elizabeth P. Lorch. 2011. “The Role of Pragmatic Language Use in Mediating the Relation Between
Hyperactivity and Inattention and Social Skills Problems”. Tersedia
dalam Psychology Faculty Publication, Halaman 1-34.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik: Suatu Pengantar.
Bandung:Refika Aditama.
Nass, Ruth D & Fern Leventhal. 2011. 100 Questions and Answers About
Your Child’s ADHD: From Preschool to College, Second Edition.
Ontario: Jones & Bartlett Learning.
Tannock, Rosemary, Maggie. E. Toplak, & Collen Docstadder. 2006.
Language and Mental Health Disorders: The Case of ADHD. Dalam
http://www.cas.uio.no/Publications/Seminar/Convergence_Tannock. pdf (diakses 25 Juni 2013).
Tannock, Rosemary, Maggie E. Toplak, & Collen Dockstadder. 2006.
“Temporal Information Processing in ADHD: Findings ti Date and
New Methods”. Tersedia dalam Journal of Neuroscience Methods,
Halaman 15-29.
Parigger, Esther. 2012. Language and Executive Functioning in Children
with ADHD. Amsterdam:Uitgeverij Boxpress.
Redmond, Sean M. 2004. “Conversational Profiles of Children with ADHD,
SLI, and Typical Development”. Tersedia dalam Clinical Linguistics
and Phonetics, Volume 18, No 2, Halaman 107-125.
Sacks, H. 1992. Lectures On Conversation. Oxford: Blackwell.
Withworth, Anne. 2003. “The Aplication of Conversation Analysis (CA) to
The Management of Aphasia”. Tersedia dalam Revue Tranel