• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI BUM DESA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POTENSI DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI BUM DESA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI BADAN USAHA MILIK DESA (BUM DESA)

(Telaah Kajian Potensi dan Permasalahan Pada BUM Desa ‘Hanyukupi’ Ponjong dan BUM Desa ‘Sejahtera’ Bleberan di Kabupaten Gunungkidul)

Budi Susilo; Nurul Purnamasari (Yayasan Penabulu)

A. PENDAHULUAN

Desa merupakan unit terkecil dari negara yang terdekat dengan masyarakat dan secara riil langsung menyentuh kebutuhan masyarakat untuk disejahterakan. Basis sistem kemasyarakatan di desa yang kokoh adalah kekuatan untuk mengembangkan sistem politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Di Indonesia ada kurang lebih 74 ribu desa, dimana lebih dari 32 ribu desa masuk dalam kategori desa tertinggal. Kondisi ini sangat kontradiktif dengan tujuan otonomi daerah. Di era otonomi daerah, seharusnya menjadi perwujudan unjuk kekuatan di berbagai bidang, karena tujuan besar otonomi daerah adalah memperluas kesejahteraan masyarakat, termasuk masyarakat desa. Kini desa menghadapi era baru. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, hendak mengantarkan desa sebagai penyangga kehidupan. Desa diharapkan menjadi mandiri secara sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik.

Pada PP Nomor 43 Tahun 2014 yang diubah melalui PP Nomor 47 Tahun 2015 telah menyebutkan jika kini desa mempunyai wewenang untuk mengatur sumber daya dan arah pembangunan. Berlakunya regulasi tentang desa membuka harapan bagi masyarakat desa untuk berubah. Desa memasuki era self governing community dimana Desa memiliki otonomi dan kewenangan dalam perencanaan, pelayanan publik, dan keuangan. Maka desa bukan lagi penunggu instruksi dari supra desa (Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, dan Pusat). Untuk itu tumpuan dinamika kehidupan desa sangat bergantung pada pastisipasi masyarakat dalam mendorong terbangunnya kesepakatan pengelolaan desa, mampu menumbuhkan dan mengembangkan nilai sosial, budaya, ekonomi, dan pengetahuan.

(2)

tataran desa. BUM Desa memberikan ruang pengambilan peran negara melalui Pemerintah Desa untuk mengelola sumber daya alam yang dimiliki desa dan bidang produksi yang penting bagi desa dan yang menguasai hajat hidup warga desa.

B. PERMASALAHAN

Sebagai unit terkecil dari negara, desa secara riil langsung menyentuh kebutuhan masyarakat untuk disejahterakan. Namun hampir separuh dari seluruh desa di Indonesia masih dalam kategori desa tertinggal. Ini dapat menjadi indikator jika selama ini desa termarjinalkan oleh kepentingan industri dan perluasan pasar global (Susetiawan, 2011). Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memimpikan kehidupan desa yang otonom dalam mengelola pemerintah dan kemasyarakatannya. Pada PP Nomor 43 Tahun 2014 yang diubah melalui PP Nomor 47 Tahun 2015 telah menyebutkan jika kini desa mempunyai wewenang untuk mengatur sumber daya dan arah pembangunan.

Menggerakkan perekonomian desa menjadi semakin terbuka dengan keleluasaan mengembangkan usaha desa berbasis potensi yang dimiliki masyarakat maupun potensi desa itu sendiri. Bahkan desa dimungkinkan mengembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) yang secara definitif diartikan sebagai sebuah perusahaan yang dikelola oleh masyarakat desa dan kepengurusanya terpisah dari pemerintah desa. Berdirinya BUM Desa bertujuan untuk menggali dan mengoptimalkan potensi wirausaha desa. Badan Usaha Milik Desa berdiri dengan dilandasi oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 ayat (1) disebutkan bahwa “Desa dapat

mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa” turut

menjadi pondasi penting dalam pendirian BUM Desa.

Dalam UU Desa, BUM Desa didefinisikan sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lain untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Dalam telaah ini, Penabulu mengulas kajian mengenai potensi dan permasalahan yang dihadapai dalam pengembangan kewirausahaan desa oleh dua desa model di DIY, yaitu BUM Desa ‘Hanyukupi’ di Desa Ponjong dan BUM Desa ‘Sejahtera’ di Desa Bleberan di Kabupaten Gunungkidul. Masing-masing BUM Desa tersebut memiliki karakteristik yang berbeda.

a) BUM Desa ‘Hanyukupi’ yang berdiri pada tahun 2011 menaungi unit usaha wahana wisata air ‘Waterbyur’. Keberadaan unit usaha tersebut merupakan aspirasi dan kesepakatan masyarakat di 11 dusun untuk mengoptimalkan bantuan PNPM dalam pembangunan Sumber Ponjong dan memanfaatkan potensi air yang melimpah di Desa Ponjong.

(3)

C. ANALISIS

Masyarakat desa harus berdaya agar pembangunan mencapai sasarannya. Maka yang diperlukan adalah upaya-upaya pemberdayaan masyarakat desa untuk membangun kemampuan masyarakat desa dengan cara mendorong, memotivasi, dan mengembangkan potensi sumber daya lokal yang dimiliki. Geliat perekonomian perdesaan seringkali dinilai lambat dibanding pembangunan ekonomi perkotaan. Penataan ekonomi perdesaan perlu segera dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya desa secara optimal dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Untuk mencapainya, diperlukan dua pendekatan yaitu: (a) Kebutuhan masyarakat dalam melakukan upaya perubahan dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan; dan (b)

Political will dan kemampuan pemerintah desa bersama masyarakat dalam

mengimplementasikan perencanaan pembangunan yang sudah disusun (Rustiadi (2001) dalam Bachrein, 2010). Potensi sumber daya desa selama ini belum termanfaatkan secara optimal. Jika pun ada yang memanfaatkan, cenderung eksploitatif dan tidak mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan akibat eksploitasi sumber daya desa.

1. Potensi BUM Desa

Untuk mewujudkan desa yang mandiri, pemerintah mendorong setiap desa untuk mendirikan BUM Desa. Keberadaan BUM Desa diyakini akan membawa perubahan di bidang ekonomi dan sosial. Dalam kajian Penabulu, BUM Desa memiliki potensi untuk optimalisasi aset atau sumber daya alam desa.

a) Potensi Ekonomi

Kehidupan masyarakat Desa Ponjong dan Desa Bleberan menggantungkan diri pada sektor pertanian. Lahan pertanian pada umumnya dimanfaatkan untuk persawahan dan hutan rakyat, serta lahan pertanian kering. Keberadaan sumber mata air di kedua desa tersebut ditangkap sebagai potensi alam yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan jika hanya untuk pengairan area persawahan.

Masyarakat Desa Ponjong tidak ingin menyia-nyiakan keberadaan sumber air semata untuk pertanian. Mereka bersepakat membangun wahana wisata air ‘Waterbyur’. Di ‘Waterbyur’ juga menjadi area pertemuan aktivitas masyarakat, karena pengelola menyediakan kios-kios untuk berjualan, serta area tertutup untuk mandi dan mencuci masyarakat di sekitar ‘Waterbyur’. Demikian halnya di Desa Bleberan yang memiliki empat sumber mata air (Jambe, Dong Poh, Ngandong, dan Ngumbul) menjadi penyokong utama berkembangnya pertanian dan pariwisata air di desa ini. Untuk pemenuhan kebutuhan air bersih sehari-hari, BUM Desa ‘Sejahtera’ menaungi unit usaha penyediaan air bersih (PAB) dengan memasang pompa di sumber air Dong Poh dan Ngandong, sehingga dapat membantu warga menghemat pengeluaran untuk membeli air bersih terutama di musim kemarau.

(4)

b) Potensi Sosial

BUM Desa yang menaungi beberapa unit usaha desa memungkinkan terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat usia produktif. Sebagian masyarakat terserap menjadi tenaga kerja di rumah sendiri tanpa harus urbanisasi, sekaligus mengurangi angka pengangguran. Selain masyarakat dapat mengakses lapangan kerja di BUM Desa, kelompok ekonomi produktif akan mendapat ruang baru untuk memasarkan produknya melalui kios-kios di sekitar lokasi wisata ‘Waterbyur’, Air Terjun Sri Gethuk, dan Gua Rancang.

Tidak berhenti pada penyediaan peluang kerja bagi masyarakat. BUM Desa pun melakukan beberapa kegiatan sosial. Keberadaan BUM Desa di Desa Ponjong dan Desa Bleberan menunjukkan jika secara internal masyarakat memiliki dorongan perubahan yang cepat dalam kehidupan bermasyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup, dan mencari peluang yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan. Hal ini terbangun oleh adanya rasa saling mempercayai, kohesivitas, tindakan proaktif, dan hubungan internal-eksternal dalam membangun jaringan sosial didukung oleh semangat kebajikan untuk saling menguntungkan sebagai refleksi kekuatan masyarakat (Inayah, 2012).

c) Potensi SDM

Melalui BUM Desa, partisipasi masyarakat menjadi modal sosial yang mampu memperkuat potensi-potensi desa. Modal sosial Desa Ponjong dan Desa Bleberan dapat disaksikan dari proses interaksi antar masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah desa, yang melahirkan ikatan emosional berupa kepercayaan, hubungan-hubungan timbal balik, jaringan-jaringan sosial, nilai-nilai dan norma-norma yang membentuk struktur tersendiri yang dipercaya oleh masyarakat kedua desa tersebut. BUM Desa dapat menjadi faktor pendorong terbentuknya kelompok-kelompok minat dalam masyarakat (kelompok-kelompok pertanian, kelompok-kelompok lingkungan hidup, kelompok ekonomi produktif).

2. Permasalahan yang Dihadapi BUM Desa

Keberadaan BUM Desa ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi menyimpan potensi dan harapan bagi kehidupan masyarakat melalui optimalisasi potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, di sisi yang lain BUM Desa memiliki permasalahan yang pelik. BUM Desa di Desa Ponjong dan Desa Bleberan memang belum secara maksimal terkelola secara profesional, sehingga sangat rentan pada konflik horizontal. Beberapa permasalahan yang dijumpai di BUM Desa ‘Hanyukupi’ dan BUM Desa ‘Sejahtera’ antara lain:

a) Komunikasi

(5)

unit usaha dengan masyarakat maupun antar pengelola yang tidak terbuka juga mengakibatkan kemacetan dalam unit UEP-SP.

b) Pemberdayaan Masyarakat Lokal

Keberadaan BUM Desa seharusnya menjadi lapangan kerja dan akses ekonomi untuk masyarakat di Desa Bleberan dan Desa Ponjong. Namun ada sebagian masyarakat yang menilai jika BUM Desa belum memberdayakan masyarakat sekitar. Karyawan BUM Desa ‘Hanyukupi’ kebanyakan berasal dari luar desa, sudah memiliki pekerjaan tetap, dan tidak melalui proses rekrutmen yang transparan. Selain itu, aspek pemberdayaan masyarakat desa belum sepenuhnya terwujud karena pemanfaat kios di area wisata ‘Waterbyur’, Air Terjun Sri Gethuk, dan Gua Rancang masih didominasi pelaku usaha dari luar desa.

c) Kapasitas manajerial

Dari wawancara yang dilakukan kepada pengelola BUM Desa ‘Sejahtera’ dan BUM Desa ‘Hanyukupi’, ditemukan masalah dalam hal administrasi/inventarisasi dan keuangan. Pencatatan keuangan belum menggunakan standar akuntansi kapasitas manajerial, terutama dalam bidang keuangan. Pencatatan yang dilakukan masih sederhana. Padahal ini sangat penting terkait dengan besarnya nilai aset, omset, dan akuntabilitas kelembagaan BUM Desa.

d) Infrastruktur BUM Desa

BUM Desa masih belum optimal dalam memanfaatkan sarana serta aset yang ada. BUM Desa ‘Hanyukupi’ maupun BUM Desa ‘Sejahtera’ membutuhkan dukungan infrastruktur berupa perbaikan jalan menuju lokasi pariwisata, penerangan, penataan kios, serta pengadaan dan perawatan pompa air sehingga pasokan air dapat terjamin.

e) Transparansi dan akuntabilitas laporan pertanggungjawaban

Transparansi dan akuntabilitas menjadi standar utama dalam pengelolaan sebuah organisasi. BUM Desa di Ponjong dan di Bleberan telah memiliki mekanisme pelaporan rutin setiap tahun. Laporan tersebut dibuat tertulis dan diberikan kepada para pemangku kepentingan dan masyarakat. Permasalahan yang muncul adalah masyarakat tidak mengerti tentang isi laporan, sehingga tidak jarang terjadi kesalahpahaman mengenai pembagian SHU dan alokasi biaya-biaya dari keuntungan BUM Desa. Selain itu, ada tuntutan dari masyarakat agar BUM Desa memiliki prosedur baku dalam perekrutan karyawan yang diumumkan secara terbuka. Kesan yang selama ini lekat di masyarakat adalah karyawan BUM Desa merupakan orang-orang dekat dari perangkat desa dan pengurus BUM Desa yang mengakibatkan kecemburuan sosial.

Dari kelima permasalahan tersebut, dapat disarikan menjadi dua permasalahan utama yaitu mengenai relasi pengurus BUM Desa dengan Pemerintah Desa, dan aspek profesionalitas dalam pengelolaan BUM Desa.

(6)

dan Pemerintah Desa adalah pemangku kepentingan utama yang terlibat dalam musyawarah tersebut. Hal yang menjadi tantangan bagi BUM Desa dan Pemerintah Desa adalah menjaga keseimbangan relasi, dimana dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya patut dihindari.

Profesionalisme dalam mengelola BUM Desa mengemuka di Desa Ponjong dan Desa Bleberan. Sedangkan jika menilik landasannya, BUM Desa berdiri karena kohesivitas sosial masyarakat desa dengan seluruh kesukarelaan untuk memajukan desa. Kedua hal ini akan memunculkan dilema pada tata kelola BUM Desa dimana BUMDes dituntut bekerja profesional, di sisi lain harus mengakomodasi tuntutan penyerapan tenaga kerja lokal, dimana SDM lokal memiliki kapasitas dan kapabilitas yang terbatas. Sedangkan dari sisi sosial, keberadaan BUMDes membawa perubahan yang signifikan. Perubahan tersebut tampak dari bergesernya semangat

volunterisme menjadi transaksional. Pergeseran dari pekerjaan yang bersifat

[image:6.612.153.474.286.396.2]

sukarela dan gotong royong menjadi pekerjaan yang mengharapkan adanya upah.

Gambar 1. Dualisme pengelolaan organisasi BUMDes

Di satu sisi, BUM Desa yang merupakan sebuah badan usaha yang dibentuk oleh masyarakat desa berdasar asas gotong royong dan keterbukaan. BUM Desa dituntut agar melayani kebutuhan seluruh masyarakat, membuka akses yang luas bagi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pengawasan. Sedangkan di sisi yang lain ada desakan dari masyarakat agar BUM Desa dikelola secara profesional agar mendatangkan keuntungan yang besar dan pengelolaan yang transparan.

Keadaan tersebut memaksa BUM Desa dikelola secara tangkas (ambidextrous). Robert Duncan (1976) menyebutkan jika sebuah organisasi dihadapkan pada keadaan yang saling bertentangan pada saat bersamaan, pengelola organisasi harus memiliki ketangkasan dalam mengakomodasi keberpihakan yang saling bertentangan. Maka pengelola BUM Desa harus lebih terbuka dalam mengembangkan pola pengelolaan yang bersifat sosial dan profesional dalam waktu yang bersamaan.

D. SIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Simpulan

BUM Desa di Desa Ponjong dan Desa Bleberan memiliki kondisi yang berbeda yang dipengaruhi oleh latar belakang pendirian dan karakter masyarakat. Sebagai organisasi yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat desa,

(7)

BUM Desa perlu mengembangkan dialog bersama masyarakat untuk mendapatkan gambaran tentang pengelolaan organisasi BUM Desa yang profesional versi masyarakat. Hal ini dapat pula mereduksi kesan yang terbentuk bahwa ada unsur keberpihakan yang kuat antara pengurus dan pengelola BUM Desa dengan Pemerintah Desa.

Keberlanjutan (sustainability) BUM Desa sangat bergantung pada kemampuan pengelolaan organisasi, karena BUM Desa berada dalam situasi yang membutuhkan

ambidextrous management untuk menjadi organisasi bisnis sosial. Jika aspek sosial

menjadi titik berat BUM Desa, maka perlu disadari jika prinsip gotong royong dan kesukarelaan (volunteerism) membutuhkan komitmen yang kuat untuk mengikat pihak-pihak yang mengelola BUM Desa. Sedangkan jika BUM Desa akan diarahkan menjadi organisasi bisnis profesional, mengakibatkan pola relasi yang transaksional dan rendahnya rasa memiliki (sense of belonging) pada modal sosial yang membentuk BUM Desa.

Misi pengembangan BUM Desa adalah menggerakkan roda ekonomi desa dengan mengoptimalkan potensi desa. Jika desa mampu mengoptimalkan seluruh potensi sumber dayanya untuk menggerakkan perekonomian dan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat usia produktif, maka pengembangan dan penguatan BUM Desa diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran dan urbanisasi. Desa bersama seluruh elemennya, perlu memiliki komitmen untuk mengembangkan unit usaha dan inovasi yang menjadi potensi baru di desa agar misi BUM Desa terwujud, sebagai penggerak kehidupan desa.

2. Rekomendasi

Rekomendasi yang diharapkan dapat diimplementasikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengembangan BUMDes sebagai suatu bentuk bisnis sosial yang berkelanjutan. Secara umum, rekomendasi yang ditawarkan adalah:

a) Pengurus BUMDes, Pemerintah Desa, masyarakat, lembaga lain yang hendak melakukan pendampingan, dan/atau perusahaan yang akan melakukan investasi di desa, secara bersama-sama perlu melakukan analisis rantai distribusi. Hal ini bertujuan agar pengelolaan ekonomi perdesaan terkelola dari hulu ke hilir. Jika rantai distribusi teridentifikasi maka roda perekonomian desa akan bergerak secara selaras dan secara simultan dapat mengembangkan Desa Wirausaha. b) Pemerintah desa bersama pengurus BUM Desa, masyarakat, dan pihak

eksternal mengkaji secara komprehensif potensi desa (sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan) untuk membuka ruang terciptanya unit-unit usaha baru yang memungkinkan terciptanya lapangan kerja yang semakin besar dan terbuka bagi kelompok masyarakat marjinal.

c) Pemerintah desa mampu menginisiasi dan mendorong masyarakat, pengurus BUMDes, untuk menciptakan keunggulan kompetitif desa, sehingga tercipta one

village one product. Penciptaan keunggulan kompetitif dari tiga desa model harus

berdasar pada (i) diferensiasi hasil produksi; (ii) biaya produksi rendah (low cost); dan (iii) respons cepat pada perubahan dan kebutuhan inovasi.

(8)

REFERENSI

Duncan, Robert B., 1976, The Ambidextrous Organization: Designing Dual Structures For Innovation. In R. H. Kilmann, L.R. Pondy and D. Slevin (eds.), The Management Of

Organization Design: Strategies And Implementation. New York: North Holland:

167-188.

Eko, S., et al., 2014, Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD).

Inayah, 2012, Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan. Ragam Jurnal Pengembangan

Humaniora Vol. 12 No. 1: 43-49.

Muhi, A.H., 2012, Fenomena Pembangunan Desa. http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/FENOMENA-PEMBANGUNAN-DESA.pdf.

Pemerintah Desa Bleberan, 2014, Profil Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul.

Pemerintah Desa Ponjong, 2010, Laporan Rencana Penataan Lingkungan Permukiman, Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas, Desa Ponjong,

Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul.

Prabowo, T.H.E., 2014, Developing BUMDes (Village-owned Enterprise) for Sustainable Poverty Alleviation Model Village Community Study in Bleberan-Gunung Kidul-Indonesia. World Applied Sciences Journal 30 (Innovation Challenges in Multidiciplinary Research & Practice): 19-26.

Putra, A.S., 2015, Badan Usaha Milik Desa: Spirit Usaha Kolektif Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Sidik, F., 2015, Menggali Potensi Lokal Mewujudkan Kemandirian Desa. Jurnal Kebijakan

Gambar

Gambar 1. Dualisme pengelolaan organisasi BUMDes

Referensi

Dokumen terkait

Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh masyarakat dan dimiliki oleh Pemerintahan Desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan dibentuk

Kepergian Shah ke luar negeri (11 Januari 1979), kembalinya Khomeini ke Iran (1 Februari 1979), dan keluarnya pernyataan sikap netral pihak Angkatan Bersenjata Iran (11 Februari

Situasi dimana kesepian terjadi karena pertengkaran dengan teman sebaya, saudara kandung, dan orangtua. Konflik dipandang sebagai perubahan hubungan timbal balik

tetapi pada beberapa kasus yang telah terjadi, sering tidak dilaporkan,.. sehingga tidak mendapatkan pelayanan

Sklerosis multipel adalah salah satu gangguan neurologis yang paling sering menyerang orang muda (Price, et al., !""+$. Penyakit ini lebih sering ditemukan di

Berdasarkan uraian paparan data dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1) penerapan program PHBS di SDLB-B YPTB dilakukan melalui

Polisi bebas asap rokok yang komprehensif dan holistik boleh dikatakan sebagai kaedah yang digunakan untuk membendung kejadian penyakit akibat asap rokok. Hasil utama yang

Sedangkan PDB merupakan nilai tambah bruto di tiap sector industri kreatif, dari hasil estimasi yang diperlihatkan persamaan diperoleh variabel tenaga kerja (TK)