• Tidak ada hasil yang ditemukan

instansi yang belum maksimal. Hal tersebut menyebabkan jamu masih saja belum menjadi produk unggulan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "instansi yang belum maksimal. Hal tersebut menyebabkan jamu masih saja belum menjadi produk unggulan."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

98 BAB VI

KESIMPULAN

Permenkes RI No. 760/Menkes/Per/IX/1992 tentang Fitofarmaka sebagai dasar upgrading jamu menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka nyatanya belum mampu mengoptimalkan sumber daya alam Indonesia berupa melimpahnya jenis tanaman obat. Hingga kini, jamu yang mampu di-upgrade menjadi obat herbal terstandar hanya 25 buah dan menjadi fitofarmaka sebanyak 5 buah saja, meskipun sudah 22 tahun peraturan menteri kesehatan tersebut berjalan.

Meskipun pemerintah telah menetapkan berbagai standar regulasi terkait obat tradisional, belum ada hukum kesehatan Indonesia yang mengintegrasikan obat tradisional ke dalam sistem pelayanan kesehatan. Alasannya karena kurangnya bukti ilmiah karena obat tradisional masih didasarkan atas uji empiris atau pengetahun turun-temurun. Untuk itu pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan jamu melalui Kebijakan Obat Tradisional Nasional atau KOTRANAS. Kebijakan ini meliputi pengembangan jamu dari hulu hingga hilir dengan melibatkan berbagai instansi seperti lembaga penelitian, Kementerian Pertanian, perguruan tinggi, industri jamu, BPOM, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perdagangan. Kebijakan ini mencakup beberapa aspek seperti penelitian dan pengembangan, budi daya tanaman obat, standarisasi, pembinaan industri jamu, jaminan mutu dan keamanan, pengembangan pasar domestik dan ekspor, serta perintisan penggunaan produk upgrading jamu pada sistem pelayanan kesehatan.

KOTRANAS yang sudah berjalan kurang lebih tujuh tahun dengan melibatkan banyak instansi terkait masih saja menemui kendala. Masing-masing pihak telah melakukan serangkian program untuk mendukung kebijakan tetapi belum terjalin koordinasi yang baik antara instansi sehingga instansi dari hulu hingga hilir belum berjalan sinergis. Di tambah lagi, kinerja masing-masing

(2)

99 instansi yang belum maksimal. Hal tersebut menyebabkan jamu masih saja belum menjadi produk unggulan.

Pada tahapan hulu, banyaknya lembaga penelitian yang melakukan riset tanaman obat menjadi angin segar bagi industri jamu yang membutuhkan inovasi. Penelitian dilakukan oleh banyak pihak seperti perguruan tinggi, Pusat Studi Biofarmaka selaku Pusat Unggulan Iptek dibawah Kementerian Riset dan Teknologi, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional yang berada di bawah Kementerian Kesehatan, bahkan oleh industri jamu sendiri. Banyaknya pihak yang meneliti menjadi hal yang positif, namun yang terjadi adalah banyaknya penelitian yang kurang terkoordinir dan kurang publikasi menyebakan penelitian tersebut tumpang tindih. Hal ini disebabkan karena belum terdapat sistem dokumentasi yang terintegrasi lintas institusi secara nasional, sehingga sering terjadi duplikasi penelitian. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, hendaknya terdapat sistem dokumentasi publikasi penelitian yang terintegrasi secara nasional dan internasional.

Selain masalah penelitian, pada tahapan hulu, masih saja banyak tanaman obat yang diambil dari hutan. Belum adanya peraturan penambangan tanaman obat juga semakin memperparah keadaan. Bila tidak segera dilakukan budidaya maka perlahan-lahan tanaman obat yang pertumbuhannya lambat akan menjadi langka. Selain itu, GAP dan SOP nyatanya belum banyak diterapkan karena ketidaktahuan para petani tanaman obat, sehingga sosialisasi perlu lebih ditingkatkan. Di sisi lain, para petani enggan menanam tanaman obat karena harga jualnya yang masih rendah dibanding harga holtikultura maupun jenis tanaman lain.

Sementara pada tahapan tengah, tidak semua industri jamu mampu menerapkan CPOTB, terutama industri jamu skala kecil. Hal tersebut dikarenakan modal untuk menerapkan CPOTB yang begitu besar. Ditambah lagi, CPOTB antara industri jamu dan industri farmasi masih disamakan padahal keduanya berbeda. Setelah produk jamu lolos persyaratan pun masih harus bersaing dengan

(3)

100 jamu BKO yang jelas melanggar aturan. Jamu BKO sangat meresahkan industri jamu karena dapat merusak citra jamu. Dengan kandungan kimia, jamu BKO menipu konsumen dengan khasiat yang cepat dirasakan dan harga yang murah padahal bahayanya sangat besar.

Terakhir, pada tahapan hilir, sudah ada 12 Rumah Sakit Pendidikan, namun belum semua rumah sakit tersebut sudah membuka poli obat tradisional. Ditambah lagi masih rendahnya tingkat kunjungan ke poli tersebut. Dari segi praktisi kesehatan, belum banyak dokter yang mengenal seluk-beluk jamu karena belum didukung oleh sistem pendidikan. Sedangkan perihal pemasaran produk, jamu Indonesia tersaingi oleh produk impor. Belum lagi, untuk menembus pasar internasional terkadang dihalangi oleh penolakan impor negara tujuan.

Karena upgrading jamu menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang berjalan lamban, pemerintah mengeluarkan program baru yaitu saintifikasi jamu. Melalui program ini, jamu telah masuk ke dalam sistem pelayanan namun kurang mengembangkan industri jamu karena produk hasil yang berbeda. Produk saintifikasi jamu berupa simplisia, berbeda dengan produk industri yang dijual bebas. Program saintifikasi jamu tidak menjual produk tetapi memberikan resep kepada pasien.

Pemerintah sebagai pihak yang merancang policy rents nyatanya belum dapat melaksanakan kebijakan dengan maksimal. Policy rents kurang berjalan karena pemerintah tidak mampu menciptakan entry barriers bagi kompetitor asing. Pemerintah dinilai kurang memberikan proteksi terhadap jamu nasional. Pertama, belum terbentuknya undang-undang yang khusus membahas mengenai jamu. Undang-undang ini akan menjadi payung hukum bagi jamu dari ancaman negara lain karena sudah banyaknya negara lain yang menggunakan nama jamu. Selain itu, undang-undang jamu juga diperlukan karena jamu berbeda dengan produk farmasi. Produk jamu bukan untuk pengobatan saja namun jamu digunakan sebagai kosmetik, food supplement, dan spa.

(4)

101 Kedua adalah mengenai hak kekayaan intelektual. Beberapa negara telah mematenkan tanaman obat asli Indonesia. Ini merupakan ancaman dan jelas merugikan. Obat tradisional yang pasarkan perusahaan asing dengan bahan baku asal Indonesia yang telah dipatenkan harganya berkali lipat lebih mahal. Selain itu, perusahaan lokal yang hendak memproduksi produk harus terikat dengan negara paten.

Selanjutnya, pemerintah juga dinilai masih lemah dalam memproteksi jamu. Jamu impor sangat mudah masuk Indonesia sedangkan jamu asal Indonesia susah menembus pasar internasional. Negara tujuan ekspor biasanya menghambat jamu Indonesia dengan biaya perizinan yang tinggi serta standarisasi yang ketat. Sementara di pasar domestik, jamu harus bersaing dengan produk impor dan MLM yang semakin menjamur.

Bila melihat pada struktut industri jamu, pasar didominasi oleh ara pemain besar. Struktur menjadi tidak seimbang karena dikuasai oleh beberapa perusahaan jamu berskala besar. Selain itu, tingkat persaingan antar perusahaan jamu yang cukup tinggi dipengaruhi oleh skala ekonomi, kemampuan finansial/modal, dan teknologi. Hal ini menimbulkan pertanyan, apakah ada intergrasi perusahaan jamu berskala kecil terhadap perusahaan yang berskala besar agar pemain kecil dapat berkembang. Namun, pada kenyataannya tidak terdapat integrasi semacam itu. Yang terjadi adalah adanya relasi yang kuat antara perusahaan jamu dengan supplier dan kolektor. Hubungan tersebut bersifat parental, yakni seperti bapak dan anak.

Mengenai peran pemerintah dalam industri jamu, ini dinilai masih kurang. Tidak terlihat kerjasama yang kuat antara pemerintah dan industri jamu. Dari keempat macam governed interdependence, pemerintah tidak bertindak sebagai discipline support dan public risk absobtion. Dengan demikian pemerintah tidak melakukan penertiban maupun mendisiplinkan para perusahaan jamu. Pemerintah juga tidak menetapkan standar maupun public goals. Karena tidak adanya public goals tersebut, maka pemerintah sulit untuk memonitor kinerja perusahaan privat.

(5)

102 Terlebih lagi, bila timbul kerugian maupun resiko dalam upgrading, pemerintah tidak ikut menanggung kerugian tersebut. Dengan peran yang demikian, perusahaan jamu terutama yang tidak berskala besar akan enggan untuk mengembangkan produknya. Mereka tidak mendapat jaminan dari pemerintah. Disamping kerugian yang harus mereka tanggung, mereka juga masih harus menyediakan target pasar secara mandiri.

Meskipun tidak menunjukkan peran pemerintah sebagai discipline support dan public risk absobtion, pemerintah ternyata berperan sebagai private sector alliance. Namun peran tersebut hanya ditemukan pada salah satu industri saja. Perusahaan tersebut ditunjuk sebagai temapt belajar dan kunjungan perusahaan skala kecil. Dengan demikian, pemerintah menginginkan adanya standar produksi jamu.

Selanjutnya mengenai peran pemerintah sebagai public private alliances, ini ditemukan pada industri yang lainnya. Maka dari itu, tidak semua industri jamu berkerjasama langsung dengan pemerintah dalam proses upgrading. Ada yang secara mandiri melakukan proses upgrading tanpa campur tangan pemerintah, namun ada pula yang bekerjasama dengan pemerintah. Yang menjadi catatan adalah apakah prosentse kerjasama dalam proses upgrading tersebut berimbang atau tidak.

Mengacu pada teori governed interdependence dan keempat jenisnya, dapat disimpulkan bahwa tidak tercipta governed interdependence antara pemerintah dengan industri jamu. Tidak ada kerjasama dimana pemerintah dan industri jamu sama-sama berperan kuat. Peran pemerintah dinilai masih minor.

Begitu pula dengan perusahaan jamu berskala kecil, peran pemerintah juga masih kurang. Meskipun pemerintah telah memberikan bantuan berupa administrasi, dana pinjaman, peralatan produksi, dan promosi, mereka masih kesulitan dalam hal peralatan produksi. Alat produksi masih terbatas. Selain itu, izin edar juga dirasa sangat memberatkan pengusaha jamu kecil karena mahalnya biaya uji laboratorium.

Referensi

Dokumen terkait

Pada hasil penelitian dari 92 siswi bahwa tipe pola asuh orang tua yang paling banyak dipersepsikan oleh responden adalah demokratis 64,1% yang sebagian besar 71,2% memiliki

Adapun rancangan dalam program ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu (1) melakukan assessment komunitas, tujuan dari dilakukannya assessment ini adalah untuk menentukan

Dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan humanis adalah proses pendidikan penganut aliran humanisme, yang berarti proses pendidikan

Mitos Kebo Berik masih diugemi oleh masyarakat dan sangat melekat dalam kehidupan masyarakat sehingga keberadaannya sulit untuk dihilangkan.Anggapan masyarakat dari adanya efek

Pelayanan petugas pada saat terjadinya keterlambatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b adalah tersedianya petugas pelaksana angkutan udara haji yang

Passion & Fashion – Only in Mitsubishi, menampilkan citra kendaraan penumpang yang juga dipadukan dengan Eco, Future & Sporty, karena untuk kami,

Dialog itu juga seolah-olah menunjukkan bahwa aliansi yang mereka buat untuk menyatukan kerajaan mereka dalam satu persekutuan, lebih disebabkan karena kekhawatiran ketiga