• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS KINEMATIK"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KINEMATIK

Pada prinsipnya terdapat dua proses untuk melakukan evaluasi kestabilan suatu lereng batuan. Langkah pertama adalah menganalisis pola-pola atau orientasi diskontinuitas yang dapat menyebabkan ketidakstabilan lereng batuan. Proses ini pada umumnya dilakukan dengan menggunakan metode stereografi dan analisis kinematik (Piteau dan Peckover, 1978 op cit. Hoek, 2000). Kemudian langkah selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap kestabilan lereng itu sendiri, berdasarkan hasil dari analisis kinematik yang akan dilakukan secara terpisah pada bab V.

Berdasarkan hal tersebut, pada bab ini dibahas mengenai analisis kinematik yang merupakan langkah awal dalam suatu keseluruhan proses evaluasi kestabilan lereng batuan. Namun, sebelum kita masuk pada inti pembahasan bab ini, tahapan lainnya yang perlu dilakukan dijabarkan pada subbab-subbab berikut ini.

4.1 Data Diskontinuitas

4.1.1 Metode Pengambilan Data Diskontinuitas

Pengamatan dan pencatatan terhadap orientasi diskontinuitas dilakukan dengan secara sistematis dengan menggunakan metode scanline sampling. Dalam metode ini, pencatatan atribut diskontinuitas dilakukan sepanjang garis pengamatan dengan batasan 30 centimeter ke atas dan 30 centimeter ke bawah dari garis pengamatan. Diskontinuitas yang dicatat dan diobservasi adalah diskontinuitas yang memotong garis pengamatan. Salah satu ujung dari garis pengamatan menjadi datum dalam pengukuran jarak diskontinuitas. Hal-hal yang perlu dicatat dalam pengamatan adalah nomor identitas diskontinuitas, posisi diskontinuitas (jarak dari datum), kedudukan diskontinuitas (jurus dan kemiringan), bukaan diskontinuitas (aperture), panjang, tipe material pengisi, kondisi pelapukan diskontinuitas, dan kondisi keairan.

(2)

4.1.2 Lokasi Pengambilan Data

Pengukuran dilakukan pada lereng yang memiliki panjang lebih kurang 150 meter dan tinggi lebih kurang 25 meter. Kemudian lereng tersebut dibagi menjadi delapan segmen berdasarkan perubahan arah dan sudut kemiringan lereng, serta untuk menjaga konsistensi level garis pengukuran. Kedelapan segmen tersebut adalah sebagai berikut :

a. Segmen 1 (Foto 4.1)

Posisi awal : 107º 40’ 02,8” BT dan 07º 01’ 41,7” LS Arah garis pengukuran : N 198º E

Arah dan kemiringan lereng : N 288º E, 68º Ketinggian rata-rata : ± 6 meter Panjang lereng : 9,95 meter b. Segmen 2 (Foto 4.2)

Posisi awal : 107º 40’ 02,9” BT dan 07º 01’ 42,1” LS Arah garis pengukuran : N 137º E

Arah dan kemiringan lereng : N 225º E, 75º Ketinggian rata-rata : ± 7 meter Panjang lereng : 13,13 meter c. Segmen 3 (Foto 4.3)

Posisi awal : 107º 40’ 03,0” BT dan 07º 01’ 42,7” LS Arah garis pengukuran : N 179º E

Arah dan kemiringan lereng : N 269º E, 70º Ketinggian rata-rata : ± 25 meter Panjang lereng : 19,40 meter d. Segmen 4 (Foto 4.4)

Posisi awal : 107º 40’ 02,9” BT dan 07º 01’ 43,2” LS Arah garis pengukuran : N 118º E

Arah dan kemiringan lereng : N 208º E, 74º Ketinggian rata-rata : ± 23 meter Panjang lereng : 16,10 meter

(3)

Posisi awal : 107º 40’ 03,0” BT dan 07º 01’ 43,8” LS Arah garis pengukuran : N 144º E

Arah dan kemiringan lereng : N 234º E, 73º Ketinggian rata-rata : ± 25 meter Panjang lereng : 11,77 meter f. Segmen 6 (Foto 4.6)

Posisi awal : 107º 40’ 03,0” BT dan 07º 01’ 44,0” LS Arah garis pengukuran : N 207º E

Arah dan kemiringan lereng : N 297º E, 83º Ketinggian rata-rata : ± 20 meter Panjang lereng : 5,80 meter g. Segmen 7 (Foto 4.7)

Posisi awal : 107º 40’ 02,7” BT dan 07º 01’ 44,2” LS Arah garis pengukuran : N 152º E

Arah dan kemiringan lereng : N 242º E, 73º Ketinggian rata-rata : ± 18 meter Panjang lereng : 6,00 meter h. Segmen 8 (Foto 4.8)

Posisi awal : 107º 40’ 02,0” BT dan 07º 01’ 45,0” LS Arah garis pengukuran : N 214º E

Arah dan kemiringan lereng : N 304º E, 76º Ketinggian rata-rata : ± 15 meter Panjang lereng : 22,71 meter

(4)

Foto 4.1. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 1 (A – A’ adalah scanline)

Foto 4.2. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 2 (B – B’ adalah scanline)

B

(5)

Foto 4.3. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 3 (C – C’ adalah scanline)

Foto 4.4. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 4 (D – D’ adalah scanline)

C

(6)

Foto 4.5. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 5 (E – E’ adalah scanline)

Foto 4.6. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 6 (F – F’ adalah scanline)

E

(7)

Foto 4.7. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 7 (G – G’ adalah scanline)

Foto 4.8. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 8 (H – H’ adalah scanline)

G

(8)

4.1.3 Data Diskontinuitas Hasil Pengukuran Lapangan

Data dari hasil pengukuran diskontinuitas pada setiap segmen diberikan pada Lampiran A.

4.1.4 Intepretasi Set Diskontinuitas Utama

Dalam pengamatan diskontinuitas, suatu hal yang penting dilakukan adalah melakukan pemilahan data antara diskontinuitas alami dengan diskontinuitas yang terbentuk akibat aktivitas manusia (induced fractures). Induced fractures pada daerah penelitian umumnya berupa diskontinuitas akibat aktivitas penambangan, seperti peledakan (blasting) atau pemotongan batuan. Namun dalam penelitian ini, pemilahan data diskontinuitas yang didasarkan atas tipe genetisnya tidak dilakukan. Hal terebut berdasarkan atas asumsi bahwa seluruh jenis diskontinuitas yang terdapat di lereng penelitian ikut berpengaruh terhadap tipe keruntuhan yang terjadi.

Pemilahan didasarkan atas orientasi diskontinuitas, meliputi jurus dan kemiringan bidang diskontinuitas. Diskontinuitas-diskontinuitas yang sejenis dan memiliki orientasi yang relatif sama dikelompokkan menjadi satu set diskontinuitas tertentu.

Dari proses pengelompokkan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Stereonet dan Rockworks v 2.1, didapatkan dua set diskontinuitas untuk segmen 1 (Tabel 4.1 dan Gambar 4.1), tiga set diskontinuitas untuk segmen 2 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.2), tiga set diskontinuitas untuk segmen 3 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.3), tiga set diskontinuitas untuk segmen 4 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.4), tiga set diskontinuitas untuk segmen 5 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.5), empat set diskontinuitas untuk segmen 6 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.6), dua set diskontinuitas untuk segmen 7 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.7), dan empat set diskontinuitas untuk segmen 8 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.8).

(9)

Gambar 4.1 Intepretasi set diskontinuitas di segmen 1

Gambar 4.2. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 2

Gambar 4.3. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 3

JSA 1

JSA 2

JSA 1

JSA 2

JSB 2

JSB 3

JSB 1

JSB 2

JSB 3

JSB 1

JSC 1

JSC 2

JSC 3

JSC 2

JSC 3

JSC 1

(10)

Gambar 4.4. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 4

Gambar 4.5. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 5

Gambar 4.6. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 6

JSD 1

JSD 2

JSD 3

JSD 1

JSD 3

JSD 2

JSE 1

JSE 2

JSE 3

JSE 1

JSE 2

JSE 3

JSF 1

JSF 2

JSF 3

JSF 4

JSF 1

JSF 3

JSF 2

JSF 4

(11)

Gambar 4.7. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 7

Gambar 4.8. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 8

JSG 1

JSG 2

JSG 2

JSG 1

JSH 1

JSH 2

JSH 3

JSH 4

JSH 1

JSH 2

JSH 4

JSH 3

(12)

Tabel 4.1. Set dan orientasi umum yang hadir dalam setiap segmen Kedudukan Umum Strike Dip Lokasi Kode N... ºE (...º) JSA 1 178 60 Segmen 1 JSA 2 221 38 JSB 1 1 69 JSB 2 308 24 Segmen 2 JSB 3 256 70 JSC 1 7 80 JSC 2 329 71 Segmen 3 JSC 3 280 79 JSD 1 243 77 JSD 2 283 29 Segmen 4 JSD 3 283 69 JSE 1 237 84 JSE 2 307 41 Segmen 5 JSE 3 335 58 JSF 1 14 35 JSF 2 345 63 JSF 3 264 83 Segmen 6 JSF 4 153 67 JSG 1 335 58 Segmen 7 JSG 2 63 58 JSH 1 339 45 JSH 2 313 62 JSH 3 143 80 Segmen 8 JSH 4 173 70 4.2 Pengujian Laboratorium 4.2.1 Pengamatan Petrografi

Dalam kegiatan penelitian geologi teknik, pengenalan batuan adalah bagian yang sangat penting. Karena jenis batuan yang berbeda akan memberikan karakteristik keteknikan yang berbeda pula. Beberapa jenis batuan memang memerlukan pengamatan mikroskopik untuk mengidentifikasinya, namun adakalanya batuan masih dapat dikenal dengan hanya bantuan lensa pembesar.

(13)

merupakan andesit. Kemudian pada hasil uji petrografi didapatkan bahwa batuan penyusun lereng penelitian adalah andesit piroksen (lihat Lampiran B).

4.2.2 Pengujian Densitas dan Porositas Andesit

Densitas merupakan ukuran dari massa per unit volume. Nilai densitas dari material batuan sangat bervariasi dan seringkali berkaitan dengan porositas batuan itu sendiri. Dari pengujian laboratorium, didapatkan densitas kering (oven) dari batuan andesit adalah 2,66 gr/cm3 (lihat Lampiran C).

Porositas menggambarkan perbandingan antara ruang kosong di antara butiran dengan total keseluruhan volume batuan. Dari hasil pengujian, didapatkan porositas sebesar 2,12% (lihat Lampiran C).

Densitas dan porositas seringkali berkaitan dengan kekuatan dari batuan itu sendiri. Pada umumnya semakin kecil nilai densitas dan semakin besar porositas, maka batuan tersebut akan mempunyai kekuatan yang semakin kecil.

4.2.3 Pengujian Kuat Geser Langsung Andesit

Shear strength (kuat geser) digunakan untuk menggambarkan kekuatan dari material batuan terhadap proses deformasi (keruntuhan) akibat gaya berarah sejajar atau hampir sejajar terhadap bidang lemah dari batuan tersebut. Pada prinsipnya, ketika batuan menahan gaya geser yang dikenakan terhadap dirinya, mekanisme perlawanan dikontrol oleh sudut geser dalam ( ) dan kohesi (c) dari batuan tersebut. Sudut geser dalam disebabkan karena kontak yang terjadi antar partikel batuan, sedangkan kohesi adalah gaya ikatan antar material batuan. Batuan yang berbeda umumnya memiliki nilai sudut geser dalam dan kohesi yang berbeda pula.

Pengujian ini dilakukan untuk memperoleh nilai sudut geser dalam dan kohesi dari andesit. Benda uji sebelumnya telah dipecah dengan pukulan palu, dan hal tersebut dilakukan karena keterbatasan pada alat pengujian. Oleh karena itu, digunakan asumsi

(14)

b) dengan nilai kohesi mendekati nol (Hoek, 2000). Dari hasil pengujian

laboratorium, didapatkan nilai basic friction angle ( b) sebesar 30,2º dengan nilai

kohesi sebesar 0,00021 MPa (lihat Lampiran D).

4.3 Perhitungan Sudut Geser Dalam Efektif ( i)

Untuk mencari sudut geser dalam efektif ( i) dari masing-masing set bidang

diskontinuitas, sebelumnya terlebih dahulu dilakukan perhitungan parameter-parameter yang dibutuhkan sebagai berikut.

4.3.1 Joint Roughness Coefficient (JRC)

Joint roughness coefficient (JRC) merupakan suatu nilai yang didapatkan dengan membandingkan kenampakan permukaan diskontinuitas di lapangan dengan profil standar yang dipublikasikan oleh Barton dan Choubey (1977). Kenampakan permukaan diskontinuitas di lapangan dibandingkan secara visual terhadap profil standar (Gambar 4.9), kemudian didapatkan nilai JRC berdasarkan profil standarnya.

Lebih lanjut lagi, Barton (1982 op cit. Hoek, 2000) mempublikasikan metode alternatif perhitungan JRC dengan cara membandingkan panjang profil pengamatan terhadap amplitudo asperities dari permukaan diskontinuitas (Gambar 4.10).

Barton (1982 op cit. Franklin dan Dusseault, 1991) memberikan nilai JRC yang bervariasi antara 0 sampai 20. Nilai JRC 5 dikategorikan sebagai permukaan yang hampir rata (nearly planar surface), sedangkan nilai 10 dikategorikan kedalam permukaan yang bergelombang lemah (smooth undulating surface), begitu pula halnya dengan nilai JRC 20 yang dikategorikan kedalam permukaan yang bergelombang terjal (rough undulating surface).

(15)

Gambar 4.9. Nilai JRC terhadap profil roughness (Barton dan Choubey, 1977 op cit. Hoek, 2000)

(16)

Gambar 4.10. Metoda alternatif untuk pengukuran JRC (Barton, 1982 op cit. Hoek, 2000)

Data yang didapat dari pengukuran lapangan adalah amplitudo asperities dan panjang profil pengukuran (Foto 4.9). Kemudian untuk mendapatkan nilai JRC dari setiap set dikontinuitas, digunakan grafik di atas (lihat Gambar 4.10). Perhitungan nilai JRC untuk setiap set diskontinuitas dapat dilihat pada Lampiran E, dan diberikan Tabel 4.2 yang merupakan rekapitulasi hasil perhitungan JRC.

(17)

Foto 4.9. Pengukuran amplitudo asperities di lapangan

4.3.2 Joint Wall Compressive Strength (JCS)

Metode untuk mendapatkan joint wall compressive strength telah dipublikasikan oleh ISRM (1978). Sebelumnya, penggunaan nilai Schmidt rebound hammer terhadap berat jenis batuan untuk mengukur JCS ini telah dipublikasikan oleh Deere dan Miller (1966 op cit. Hoek, 2000) seperti ditunjukkan pada Gambar 4.11. Data yang didapat dari pengukuran lapangan adalah nilai Schmidt hammer dan arah pengukuran selalu tegak lurus bidang diskontinuitas (Foto 4.10).

(18)

Gambar 4.11. Metode untuk mendapatkan nilai JCS dari Schmidt hammer (Deere dan Miller, 1966 op cit. Hoek, 2000)

(19)

(Gambar 4.11). Perhitungan nilai JCS diberikan pada Lampiran F, dan Tabel 4.2 memperlihatkan rekapitulasi hasil perhitungan JCS.

Tabel 4.2. Rekapitulasi nilai dari hasil pengukuran JRC dan JCS

Lokasi Kode Set Rekahan Nilai JRC Nilai JCS

(MPa) JSA 1 5 72,5 Segmen 1 JSA 2 4,73 62,91 JSB 1 4,67 70,17 JSB 2 4,38 51,63 Segmen 2 JSB 3 5,2 70,6 JSC 1 4,9 76,7 JSC 2 5,6 75,8 Segmen 3 JSC 3 4,5 95 JSD 1 5,07 76,64 JSD 2 5,13 68,44 Segmen 4 JSD 3 6,33 64 JSE 1 5 78,5 JSE 2 5,38 71,38 Segmen 5 JSE 3 5,14 56,57 JSF 1 5,25 47,25 JSF 2 5,38 41,38 JSF 3 5,24 44,4 Segmen 6 JSF 4 5,29 45 JSG 1 4,71 67,86 Segmen 7 JSG 2 5,11 77,44 JSH 1 4,78 48 JSH 2 5 49,71 JSH 3 4,55 48,55 Segmen 8 JSH 4 5,17 45,33

Dari tabel di atas, terlihat nilai JRC untuk tiap set bidang diskontinuitas berada dalam kisaran 4–6. Berdasarkan profil standar JRC yang dipubliskasikan oleh Barton dan Choubey (1977 op cit. Hoek 2000) pada Gambar 4.9 dapat diartikan bahwa seluruh set diskontinuitas yang ada memiliki tingkat roughness dalam kategori slightly rough.

(20)

(surface hardness) yang berbeda pula. Lebih lanjut lagi, perbedaan tingkat kekerasan mengindikasikan tingkat pelapukan yang berbeda pada tiap permukaan diskontinuitas.

4.3.3 Kohesi dan Sudut Geser Dalam untuk Masing-Masing Set Diskontinuitas Barton (1973 op cit. Hoek, 2000) memperkenalkan hubungan antara kuat geser (τ ) dengan normal stress (σn) yang direpresentasikan oleh hubungan non-linier (Gambar 4.12). Hubungan tersebut (Persamaan 4.1) tidak dinyatakan dalam variabel kohesi (c) dan sudut geser dalam ( ). Oleh karena itu, Hoek (2000) memberikan persamaan yang dinyatakan dalam variabel kohesi efektif (ci) dan sudut geser dalam ( i) untuk

setiap nilai JRC, JCS dan stress normal (σn) tertentu (Persamaan 4.2a, 4.2b, dan 4.3).

Gambar 4.12. Grafik yang menggambarkan hubungan kohesi efektif (ci) dan sudut

(21)

   σn      ∂ ∂ = n i σ τ φ arctan (4.2a) dengan         +     + −     + = ∂ ∂ 1 log tan 10 ln 180 log tan 10 2 10 b n b n n JCS JRC JRC JCS JRC φ σ π φ σ σ τ (4.2b)

Kemudian kohesi efektif (ci) didapatkan dengan persamaan sebagai berikut :

i n i

c =τ −σ tanφ (4.3)

Perhitungan sudut geser efektif ( i) dan kohesi efektif (ci) dijabarkan pada Lampiran

G. Kemudian hasil perhitungan kohesi efektif dan sudut geser dalam efektif untuk setiap bidang diskontinuitas yang didapatkan dari persamaan-persamaan di atas, diberikan oleh Tabel 4.3.

Dari tabel tersebut, untuk mempermudah analisis kinematik yang akan dilakukan, dapat disederhanakan bahwa nilai rata-rata sudut geser dalam efektif ( i) untuk

(22)

Tabel 4.3. Hasil perhitungan kohesi (ci) dan sudut geser dalam efektif ( i). Lokasi Kode Set

Rekahan b φ (º) n σ (MPa) τ (MPa) i φ (º) i c (MPa) JSA 1 30,2 0,13 0,890 41,68 0,775 Segmen 1 JSA 2 30,2 0,13 0,860 40,77 0,750 JSB 1 30,2 0,13 0,865 40,86 0,753 JSB 2 30,2 0,13 0,827 39,62 0,720 Segmen 2 JSB 3 30,2 0,13 0,903 42,07 0,785 JSC 1 30,2 0,13 0,887 41,57 0,772 JSC 2 30,2 0,13 0,937 43,15 0,816 Segmen 3 JSC 3 30,2 0,13 0,871 41,07 0,758 JSD 1 30,2 0,13 0,899 41,96 0,782 JSD 2 30,2 0,13 0,896 41,85 0,779 Segmen 4 JSD 3 30,2 0,13 0,977 44,35 0,850 JSE 1 30,2 0,13 0,896 41,85 0,779 JSE 2 30,2 0,13 0,916 42,51 0,797 Segmen 5 JSE 3 30,2 0,13 0,883 41,45 0,768 JSF 1 30,2 0,13 0,878 41,27 0,764 JSF 2 30,2 0,13 0,877 41,24 0,763 JSF 3 30,2 0,13 0,873 41,11 0,759 Segmen 6 JSF 4 30,2 0,13 0,877 41,25 0,763 JSG 1 30,2 0,13 0,866 40,89 0,753 Segmen 7 JSG 2 30,2 0,13 0,903 42,08 0,786 JSH 1 30,2 0,13 0,849 40,33 0,738 JSH 2 30,2 0,13 0,865 40,86 0,753 JSH 3 30,2 0,13 0,835 39,87 0,727 Segmen 8 JSH 4 30,2 0,13 0,870 41,02 0,757 4.4 Analisis Kinematik

Metode stereografi banyak digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis longsoran yang mungkin terjadi pada suatu lereng batuan. Berdasarkan perajahan data jurus dan kemiringan bidang diskontinuitas dan muka lereng, beserta besarnya sudut geser dalam pada suatu stereonet akan segera dapat diketahui tipe dan arah potensi longsorannya. Oleh karena itu, analisis kinematik untuk segmen lereng penelitian dibahas satu-persatu sebagai berikut.

(23)

=41º i= 36º =3 34 º Slope JSA 1 JSA 2 p 60º= Ap1=268º A p2 =3 11º Af=288º

Gambar 4.13. Analisis kinematik pada segmen 1

Berdasarkan pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng menunjukkan adanya model longsoran baji dan planar (Gambar 4.13). Pada longsoran baji, yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSA 1 dan JSA 2, memiliki sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua bidang tersebut (plunge intersection) i sebesar 36º dengan

sudut geser dalam efektif ( i) sebesar 41º dan kemiringan lereng ( f) adalah 68º.

Berdasarkan salah satu dari syarat kinematik yang ditetapkan, yaitu i < i < f,

dapat dikatakan bahwa tidak terjadi longsoran baji pada segmen 1 karena tidak memenuhi syarat tersebut.

Selanjutnya untuk tipe longsoran planar, dengan bidang gelincir JSA 1 dan arah kemiringan (Ap1) sebesar N 268º E, memiliki perbedaan sebesar 20º dengan arah kemiringan lereng (Af). Berdasarkan syarat kinematik yang ditetapkan, yaitu i < p

(24)

Segmen 2 N JSB 1 JSB 2 JSB 3 Slope Af+ 20º A f-20 º Af+ 16 0º Af-20 0º Pole of JSB 2 Ap =38º p 24º = =41º

Gambar 4.14. Analisis kinematik pada segmen 2

Stereografi pada segmen 2 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSB 2 dengan muka lereng (Gambar 4.14). Berdasarkan syarat kinematik yang diusulkan oleh Goodman dan Bray’s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSB 2 memiliki arah kemiringan (Ap) yang hampir paralel dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Atau dengan kata lain, arah kemiringan JSB 2 berada dalam zona kritis (antara Af+160º dan Af-200º). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), plunge JSB 2 (90º- p) memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dari nilai kemiringan

muka lereng dikurangi dengan sudut geser dalam efektif dari JSB 2 ( f-39,62º). Atau

dengan kata lain, pole of JSB 2 (titik biru pada Gambar 4.14) berada dalam zona kritis.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa segmen 2 memiliki tipe longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat adalah JSB 2.

(25)

Slope JSC 3 JSC 2 JSC 1 Pole of JSC 1 Af+20º Af-20º Af+160º Af-200º p 80º= Ap=97º =41 º

Gambar 4.15. Analisis kinematik pada segmen 3

Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 3 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSC 1 (Gambar 4.15). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang diusulkan oleh Goodman dan Bray’s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSC 1 memiliki arah kemiringan (Ap) yang hampir paralel dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Atau dengan kata lain, arah kemiringan JSC 1 berada dalam zona kritis (antara Af+160º dan Af-200º). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), plunge JSC 1 (90º- p) memiliki nilai yang lebih

kecil dibandingkan dari nilai kemiringan muka lereng dikurangi dengan sudut geser dalam efektif dari JSC 1 ( f- 41,57º). Atau dengan kata lain, pole of JSC 1 (titik hijau

pada Gambar 4.15) berada dalam zona kritis.

Berdasarkan analisis kinematik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa segmen 3 memiliki tipe longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat

(26)

Segmen 4 N JSD 1 JSD 2 JSD 3 Slope Af+ 20º A f-20º Af+ 1 60 º A f-200 º p3 69 º = p 2= 29 º Ap2=Ap3=13º Pole of JSD 2 Pole of JSD 3 =4 1 º

Gambar 4.16. Analisis kinematik pada segmen 4

Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 4 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSD 2 dan JSD 3 (Gambar 4.16). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang diusulkan oleh Goodman dan Bray’s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSD 2 dan JSD 3 memiliki arah kemiringan (Ap2 dan Ap3) yang hampir paralel dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), pole of JSD 2 (titik biru pada Gambar 4.16) berada di luar zona kritis, sedangkan pole of JSD 3 (titik coklat pada Gambar 4.16) berada di dalam zona kritis.

Berdasarkan analisis kinematik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa segmen 4 memiliki tipe longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat

(27)

N Af+ 16 Af-2 00º Af+ 20º A f-20º Ap 2= 37 Ap3= 65º p3 58º = p2= 41 º JSE 2 JSE 3 JSE 1 Slope Pole of JSE 2 Pole of JSE 3 =41º

Gambar 4.17. Analisis kinematik pada segmen 5

Stereografi dari pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 5 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSE 2 dan JSE 3 (Gambar 4.17). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang diusulkan oleh Goodman dan Bray’s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSE 2 dan JSE 3 memiliki arah kemiringan (Ap2 dan Ap3) yang hampir paralel (perbedaan maksimal 18º JSE 2) dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), pole of JSE 2 (titik biru pada Gambar 4.17) berada di luar zona kritis, sedangkan pole of JSE 3 (titik coklat pada Gambar 4.17) berada dalam zona kritis.

(28)

Segmen 6 N Af+160º A f-2 00º Ap=104º A f+ 20º Af-2 Pole of JSF 1 i 63= º A=278º Slope JSF 1 JSF 2 JSF 3 JSF 4 =41º

Gambar 4.18. Analisis kinematik pada segmen 6

Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 6 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSF 1 dan model longsoran baji oleh JSF 3 dan JSF 4 (Gambar 4.18). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang diusulkan oleh Goodman dan Bray’s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSF 1 memiliki arah kemiringan (Ap) yang hampir paralel dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Namun berdasarkan syarat kinematik lainnya, pole of JSF 1 (titik hijau pada Gambar 4.18) berada di luar zona kritis, yang artinya longsoran jungkiran tidak mungkin terjadi.

Kemudian untuk analisis kinematik longsoran baji yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSF 3 dan JSF 4, sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua set bidang diskontinuitas tersebut (plunge intersection) i sebesar 63º dengan

sudut geser dalam efektif ( i) sebesar 41º dan kemiringan lereng ( f) adalah 83º.

(29)

Af+ 160º Af-200º A f-20 º Af+20 º Pole of JSG 1 Ap=6 5º p=58 º JSG 1 JSG 2 Slope =41º

Gambar 4.19. Analisis kinematik pada segmen 7

Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 7 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSG 1 (Gambar 4.19). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang diajukan oleh Goodman dan Bray’s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSG 1 memiliki arah kemiringan (Ap) yang hampir paralel dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Atau dengan kata lain, arah kemiringan JSG 1 berada dalam zona kritis (antara Af+160º dan Af-200º). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), plunge JSG 1 (90º- p) memiliki nilai yang lebih

kecil dibandingkan dari nilai kemiringan muka lereng dikurangi dengan sudut geser dalam efektif dari JSC 1 ( f– 40,89º). Atau dengan kata lain, pole of JSG 1 (titik

hijau pada Gambar 4.19) berada dalam zona kritis.

(30)

Segmen 8 N 1 2 3 i3 11= º A 3 = 34 9º A 2= 33 7 º i2= 38 º i1=65º A 1=30 0º JSH 1 JSH 2 JSH 4 JSH 3 Slope =41º

Gambar 4.20. Analisis kinematik pada segmen 8

Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 8 menunjukkan adanya tiga model longsoran baji. Model longsoran baji 1 dibentuk oleh set diskontinuitas JSH 3 dan JSH 4, model longsoran baji 2 dibentuk oleh set diskontinuitas JSH 2 dan JSH 4, serta model longsoran baji 3 dibentuk oleh set diskontinuitas JSH 4 dan JSH 1 (Gambar 4.20).

Pada Gambar 4.20 di atas, terlihat bahwa hanya perpotongan set bidang diskontinuitas JSH 3 dengan JSH 4 yang berada di zona kritis (daerah yang dibatasi oleh muka lereng dan lingkaran sudut geser dalam), sedangkan kedua perpotongan set diskontinuitas JSH 2 dengan JSH 4, dan JSH 1 dengan JSH 4 berada di luar zona kritis. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada segmen 8 terjadi longsoran baji dengan set diskontinuitas yang terlibat adalah JSH 3 dan JSH 4.

(31)

JSH 3 dan JSH 4, sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua set bidang diskontinuitas tersebut (plunge intersection) i1 sebesar 65º dengan sudut

geser dalam efektif ( i) sebesar 41º dan kemiringan lereng ( f) adalah 76º. Dapat

disimpulkan bahwa syarat-syarat kinematik berupa i < i < f untuk terjadinya

longsoran baji terpenuhi.

Dari hasil analisis kinematik terhadap keseluruhan segmen lereng, dapat dibuat suatu tabel yang menginformasikan jenis-jenis longsoran yang terjadi pada tiap segmen lereng beserta set diskontinuitas yang terlibat dalam proses longsoran (Tabel 4.4).

Tabel 4.4. Rekapitulasi hasil analisis kinematik Segmen Tipe Longsoran Set Diskontinuitas Terlibat

1 Planar JSA 1 2 Jungkiran JSB 2 3 Jungkiran JSC 1 4 Jungkiran JSD 3 5 Jungkiran JSE 3 6 Baji JSF 3 dan JSF 4 7 Jungkiran JSG 1 8 Baji JSH 3 dan JSH 4

Gambar

Foto 4.1. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 1 (A – A’ adalah scanline)
Foto 4.3. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 3 (C – C’ adalah scanline)
Foto 4.5. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 5 (E – E’ adalah scanline)
Foto 4.7. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 7 (G – G’ adalah scanline)
+7

Referensi

Dokumen terkait

dari pelayanan perpustakaan secara keseluruhan. Di perpustakaan dinas yang relatif kecil sebagian dari pelayanan referensi ini di tangani dan dilaksanakan

Peserta yang lolos ke tahap Grand Final wajib membuat laporan akhir kegiatan dan bahan presentasi yang menjadi salah satu komponen penilaian dalam penetapan pemenang Kompetisi

AKMAL BOEDIANTO, S.H., M.Si Pembina Utama

Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku, maka Peraturan Gubernur Sulawesi Barat Nomor 6 Tahun 2017 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan Kepada Pegawai

Tetapi harap disadari bahwa walaupun solusi dasar yang memenuhi syarat dalam suatu model transportasi terdiri atas m+n–1 variabel (dengan perkataan lain, terdapat m+n–1 sel

Dari beberapa penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa penelitian tentang Evaluasi pelayanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Mangutama dalam Peningkatan

Metode Bishop yang disederhanakan (Gambar 3.15) merupakan salah satu metode yang menggunakan prinsip kesetimbangan batas dalam menentukan faktor keamanan dari suatu massa

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa industri adalah suatu kegiatan yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah dan telah