ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYIDIK POLRI DALAM HAL TERJADINYA SALAH TANGKAP
ATAU ERROR IN PERSONA
(Studi di Polda Lampung)
(Jurnal)
Oleh
YONATAN KRISTIYANTO
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYIDIK POLRI DALAM HAL TERJADINYA SALAH TANGKAP
ATAU ERROR IN PERSONA (Studi di Polda Lampung)
Oleh
Yonatan Kristiyanto, Eko Raharjo, Tri andrisman Email : jonatanchristianto25@gmail.com
Penangkapan yang dilakukan penyidik adalah suatu bentuk wewenang istimewa yang diberikan oleh undang-undang. Namun, tidak berarti dapat dilakukan dengan sewenang-wenang. Penangkapan merupakan suatu proses hukum yang sangat penting, oleh karena itu penangkapan harus dilakukan secara teliti, hati-hati dan cermat oleh Penyidik. Adapun permasalahan dalam penelitian ini yaitu Bagaimanakah penegakan hukum terhadap penyidik Polri dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona dan Apakah faktor penghambat penegakan hukum terhadap penyidik Polri dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yaitu pendekatan yang didasarkan pada perundang-undangan, teoi-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian berupa asas-asas, nilai-nilai, serta dilakukan dengan mengadakan penelitian lapangan yaitu dengan fakta-fakta yang ada dalam sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap penyidik Polri dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona yaitu berupa pemberian sanksi yang tegas terhadap anggota Polri yang melakukan salah tangkap. Selain proses peradilan pidana yang di lakukan menurut hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum, penyidik Polri yang melakukan salah tangkap juga mengikuti sidang disiplin dan sidang kode etik profesi yang saksinya berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH). Faktor yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum terhadap penyidik Polri dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona yaitu a. Faktor hukum/undang-undang, b. Faktor penegak hukum, dan c. Faktor Masyarakat. Saran dalam penelitian ini adalah pentingnya ketegasan dalam pemberian sanksi yang diterapkan bagi Polri sebagai penyidik yang melakukan kesalahan penangkapan atau error in persona bukan hanya ditegaskan dalam peraturan tetapi ditegaskan dalam penerapannya.
Abstrack
LEGAL ENFORCEMENT ANALYSIS OF POLRI INVESTORS IN THE FALSE ABOUT CAPTURE
OR ERROR IN PERSONA (Study in Polda Lampung)
by
Yonatan Kristiyanto, Eko Raharjo, Tri andrisman Email : jonatanchristianto25@gmail.com
The arrest by the investigator is a form of special authority granted by law. However, it does not mean it can be done arbitrarily. Arrest is a very important legal process, therefore the arrest must be done carefully, carefully and carefully by the Investigator. The problem in this research is how law enforcement against Polri investigator in case of wrong of catching or error in persona and Is law enforcement inhibiting factor to Police investigator in case of wrong of catching or error in persona. This research uses normative juridical and empirical juridical approach that is based on legislation, teoi-theory and concepts related to research writing in the form of principles, values, and conducted by conducting field research that is with facts which exists in the source, the data consists of field data and bibliographic data. Data types include primary data and secondary data. The results of research and discussion show that law enforcement against Police investigators in the case of the occurrence of wrongful catch or error in persona that is in the form of strict sanctions against members of the Police who do wrong. In addition to the criminal justice process that is done according to the procedural law applicable in the general judicial environment, Police investigators who do not arrest also follow the disciplinary hearing that and follow the session of professional code of ethics whose witness is a Dismissal No With Respect (PTDH). Factors that become obstacles in law enforcement against Police investigators in the case of wrongful catch or error in persona namely a. Factor legislation, b. Law enforcement factors, and c. Community Factors. Suggestions in this study is the importance of firmness in the imposition of sanctions applied to the Police as an investigator who made a mistake in arrest or error in persona not only asserted in the rules but affirmed in its application.
Keywords: Law Enforcement, Police Investigator, error in Persona
I. PENDAHULUAN
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah diatur bagaimana prosedur penangkapan terhadap pelaku tindak pidana, didalamnya juga disebutkan “patut diduga” berarti yang harus ditangkap adalah yang diduga melakukan tindak pidana.Akan tetapi jika dari pihak kepolisian menangkap seseorang padahal orang tersebut tidak bersalah maka seharusnya penyidik bertanggung jawab atas kesalahan yang ditimbulkannya.
Penangkapan yang dilakukan penyidik adalah suatu bentuk wewenang istimewa yang diberikan oleh undang-undang. Namun, tidak berarti dapat dilakukan dengan sewenang-wenang. Penangkapan merupakan suatu proses hukum yang sangat penting, oleh karena itu penangkapan harus dilakukan secara teliti, hati-hati dan cermat oleh Penyidik.1 Mengenai alasan
penangkapan atau syarat
penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP, yaitu: Seorang tersangka diduga keras melakukan tindakan pidana dan dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Pasal tersebut menunjukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.2
Penyidik Polri yang berusaha mendapatkan informasi seringkali
1
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 128.
2
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. 2009. hlm. 158.
melakukan cara-cara yang tidak manusiawi seperti menyiksa tersangka, bahkan memaksa tersangka untuk mengakui bahwa tersangka telah melakukan suatu tindak pidana. Tanggung jawab dari penegak hukum dalam hal ini yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan pada ketentuan peraturan tentang Kepolisian yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.3
Banyaknya kasus salah tangkap akhir-akhir ini terhadap seseorang atau beberapa orang yang tidak bersalah menunjukkan tidak cermat atau cerobohnya polisi dalam menjalankan tugasnya. Contoh kasus yang terjadi adalah kasus salah tangkap yang menimpa tukang ojek bernama Dedi serta kasus salah tangkap yang dialami Tarmizi warga desa Pemerihan, Bengkunat Belimbing, Lampung Barat.
Konsekuensi hukum dalam kasus salah tangkap tersebut seharusnya tidak hanya bagi pihak korban yang menjadi korban salah tangkap, namun seharusnya demi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat semestinya juga ada tanggung jawab dari polisi penyidiknya sendiri. Tanggung jawab hukum dari penegak hukum dalam hal ini yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia mengacu kepada ketentuan dalam peraturan tentang Kepolisian yaitu dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. Isi dari Undang undang ini mengatur tentang fungsi, tugas dan wewenang dari anggota
3
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai penegak hukum. Berdasarkan pada kasus yang telah diuraikan sebelumnya jelas terlihat adanya unsur kelalaian dari polisi penyidik yang tidak profesional menangani suatu kasus pidana.
Tidak adanya atau lemahnya kontrol terhadap dijalankan atau tidaknya suatu kewajiban/wewenang, juga memperkuat kemungkinan untuk
melakukan suatu
pelanggaran/penyimpangan baik tindak pidana maupun pelanggaran kode etik aparat penegak hukum. Bicara tentang kontrol formal terhadap pelaksanaan tugas aparat penegak hukum dan penyimpangan terhadap hukum, sesungguhnya juga bicara adanya perbedaan landasan pijak. Rendahnya etika seseorang
yang professional dalam
menjalankan tugas profesinya memungkinkan orang lain menjadi korban.4
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum terhadap penyidik Polri dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona dan (2) apakah faktor penghambat penegakan hukum terhadap penyidik Polri dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu adalah penelitian yang dilakukan dengan cara melihat, menelaah, mengenai beberapa hal yang bersifat
4
Adrianus Meliala, Menyingkap Kejahatan krah Putih, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 57
teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, pandangan dan doktrin-doktrin hukum, konsep-konsep, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan skripsi ini atau sering disebut sebagai suatu
library reserch,
Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan menggali informasi dan melakukan penelitian di lapangan guna mengetahui secara lebih jauh mengenai permasalahan yang dibahas. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi lapangan yang lebih akurat.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penegakan Hukum Terhadap Penyidik Polri dalam Hal Terjadinya Salah Tangkap atau Error in Persona
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai bertahap akhir untuk menciptakan kedamaian dan ketertiban serta keselarasan dalam pergaulan hidup.5
Penegakkan hukum pidana terkait dengan kasus salah tanggap yang dilakukan oleh anggota Kepolisian dilakukan melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu
5
tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Tahap-tahap penegakan hukum tersebut adalah:6
1. Tahap Formulasi
Peraturan yang mengikat anggota Polisi yang melakukan salah tangkap yaitu:
a. Pelanggaran berkaitan dengan perkara pidana bagi anggota kepolisian diselesaikan melalui peradilan umum, berdasarkan ketentuan dalam pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Polri. b. Berkaitan dengan pelanggaran
disiplin melalui sidang disiplin
berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.
c. Pelanggaran etika profesi dilakukan melalui sidang Komisi Kode Etik, berdasarkan ketentuan pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Keputusan Kapolri No. Pol: Kep/33/VII/2003 tanggal 1 Juli tentang Tata Cara Sidang Komisi Kode Etik Polri.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Komisaris Polisi Feizal Reza Harahap tanggal 25 Juli 2017, Pada dasarnya anggota Kepolisian Negara
6
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, hlm 45.
Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum seperti halnya warga sipil pada umumnya. Demikian yang disebut dalan pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini
menunjukan bahwa anggota
kepolisian Republik Indonesia merupakan warga sipil dan bukan termasuk subjek hukum militer. Namun karena profesinya anggota Polri juga tunduk pada Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sedangkan kode etik kepolisian diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisan Negara Republik Indonesia.7
2. Tahap Aplikasi
Menurut Gunawan Jatmiko, Anggota Kepolisian yang melakukan salah tangkap berarti telah melanggar aturan disiplin dan kode etik karena setiap anggota Polri wajib menjaga tegaknya hukum serta menjaga kehormatan, reputasi dan martabat Kepolisian Negara republik Indonesia. Pelanggaran tersebut akan diperiksa dan kemudian apabila terbukti bersalah akan di jatuhi sanksi.8
7
Berdasarkan hasil wawancara dengan Komisaris Polisi Feizal Reza Harahap, sebagai Kaur Standarisasi Sub Bidang Pertanggungjawaban Profesi Bidang Provam Polda Lampung, Pada Hari Selasa, 25 Juli 2017.
8
Tata cara proses peradilan terhadap anggota Polri yang melakukan Salah tangkap yaitu melalui peradilan umum sama seperti masyarakat sipil lainnya, proses peradilan umum dilakukan di Pengadilan Umum, dimana Penuntut umum sama dengan jaksa Penuntut Umum dan pemimpin persidangan (Pemutus Perkara) sama dengan Hakim. Setelah adanya vonis maka eksekusi dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan umum. Selain hukuman pada peradilan umum selanjutnya dilakukan hukuman dilakukan pada peradilan intern
Polri. Anggota Polri yang melakukan salah tangkap akan melakukan sidang Disiplin Polri atau langsung melaksanakan sidang Kode Etik Polri. Berbeda dengan Peradilan Umum, dimana pada sidang disiplin Penuntut Umum sama dengan Kasi Unit Propam, dan Pemimpin Persidangan (Pemutus Perkara) sama dengan Kapolres, akan tetapi berbeda dengan sidang sidang peradilan disiplin, sidang kode etik yang diberikan kepada anngota Polri yang melakukan salah tangkap, Kapolres selaku hakim membuat surat rekomendasi yang diajukan kepada Ankum (Kapolda) untuk memutus perkara/menjatuhkan vonis “apakah anggota Polri tersebut masih layak atau tidak layak”. Apabila masih layak, seorang anggota Polri akan tetap dipertahankan dengan sanksi penurunan pangkat, pemotongan gaji, dan kurungan. Dan apabila sudah tidak layak, seorang anggota Polri akan diberhentikan secara tidak hormat.
3. Tahap Eksekusi
Feizal Reza Harahap mengatakan tahap eksekusi terhadap anggota kepolisian yang melakukan salah
tanggap setelah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dapi peradilan umum diserahkan ke kejaksaan untuk di bina di Lembaga pemasyarakatan. Selain itu Anggota kepolisian tersebut juga mengikuti sidang intern
kepolisian yaitu berupa sidang disiplin dan kode etik yang setelah mendapatkan putusan apabila anggota Polri di jatuhi hukuman Pemberhentian Secara Tidak hormat maka angota Polri tersebut dipecat secara tidak hormat dari jabatannya sebagai Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.9
Menurut Gunawan Jatmiko,
kesalahan prosedur yang dilakukan kepolisian dalam hal salah tangkap dapat diberikan sanksi kode etik
kepolisian, mutasi dan
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH). Apabila dalam kasus ini mengakibatkan kematian seseorang maka saksi yang di berikan bukan hanya mutasi dan pemberhentian tidak dengan hormat saja tetapi bisa di pidana berdasarkan putusan pengadilan sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku.10
Feizal Reza Harahap mengatakan dalam kasus Tarmuzi tersebut yang di alami Tarmuzi memang ada kesalahan prosedur dari penyidik, tetapi Tarmuzi meninggal bukan hanya karena kesalahan murni saat
9
Berdasarkan hasil wawancara dengan Komisaris Polisi Feizal Reza Harahap, sebagai Kaur Standarisasi Sub Bidang Pertanggungjawaban Profesi Bidang Provam Polda Lampung, Pada Hari Selasa, 25 Juli 2017.
10
penyidikan tetapi karena kecelakaan lalu lintas dan dari hasil penyelidikan petugas, pelaku pembunuhan gajah Yongki mengarah kepada Tarmuzi dan Rekannya. Dugaan itu dikuatkan dengan ditemukannya beberapa alat bukti berburu di rumah Tarmuzi. Kecelakaan yang dialami Tarmuzi terjadi saat berusaha menghindari razia yang sedang dilakukan Polisi dan bukan saat proses Penyidikan. Dan saksi terhadap penyidik yang telah melakukan kesalahan dalam prosedur telah di tindak tegas oleh Polda Lampung dengan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dan di kembalikan proses ke polres lampung barat.11
B. Faktor Penghambat
Penegakan Hukum Terhadap Penyidik Polri dalam Hal Terjadinya Salah Tangkap atau Error in Persona
Seperti diketahui masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Kata penegakan hukum memiliki arti menegakkan, melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum
merupakan suatu proses
berlangsungnya perwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan. Di dalam proses tersebut hukum tidaklah mandiri, artinya ada faktor-faktor lain yang erat dengan proses penegakan hukum tersebut
11
Berdasarkan hasil wawancara dengan Komisaris Polisi Feizal Reza Harahap, sebagai Kaur Standarisasi Sub Bidang Pertanggungjawaban Profesi Bidang Provam Polda Lampung, Pada Hari Selasa, 25 Juli 2017.
yang harus ikut serta, yaitu masyarakat itu sendiri dan penegak hukumnya. Faktor penghambat
Penegakan Hukum Terhadap
penyidik Polri dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona
antara lain :
a. Faktor Hukum
Hasil wawancara dengan Feizal Reza Harahap bahwa dalam Peraturan tentang kode etik profesi Polri tidak tersedia penjelasan yang memadai, sehingga mengakibatkan peraturan yang multitafsir sehingga perlu adanya penjabaran lebih lanjut dari ahli hukum Polri tentang Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.12
b. Faktor Penegak Hukum
Menurut Feizal Reza Harahap menjelaskan faktor penghambat penegakan hukum terhadap penyidik polri yang melakukan salah tangkap adalah kurang efektifnya penyidik
Polri dalam menjalankan
kewajibannya serta kurangnya pemahaman dan kualitas penyidik dalam mengatasi kejahatan dan dalam memperlakukan tersangka.
Penyidik polri kurang
memperhatikan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan dan tidak menggunakan asas praduga tak bersalah pada saat penyidikan sehingga perlu di tingkatkan lagi kualitas penyidik dalam melakukan penyidikan, selain itu penyidik Polri kurang mengikuti prosedur hukum
12
sesuai dengan KUHAP dan Undang-Undang yang berlaku.13
c. Faktor Masyarakat
Gunawan Jatmiko berpendapat bahwa kurangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan keterangan sebagai saksi dapat menghambat proses penyidikan. Masyarakat cenderung menutup diri karena merasa takut dan keengganan masyarakat untuk melaporkan dan menjadi saksi dalam proses penegakan hukum serta tidak adanya sanksi hukum bagi saksi apabila tidak memenuhi panggilan.14
Menurut penulis, penegak hukum yang seharusnya mejadi pengayom bagi masyarakat, justru perbuatan anggota kepolisian tersebut tidak bertanggung jawab dan membuat masyarakat takut dengan aparat penegak hukum karena sifat arogan dan sewenang-wenang terhadap masyarakat dengan memanfaatkan suatu jabatan, dengan acaman,
memaksakan kehendak yang
berdampak masyarakat takut berurusan dengan kepolisian.
III. SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
13
Berdasarkan hasil wawancara dengan Komisaris Polisi Feizal Reza Harahap, sebagai Kaur Standarisasi Sub Bidang Pertanggungjawaban Profesi Bidang Provam Polda Lampung, Pada Hari Selasa, 25 Juli 2017.
14
Berdasarkan Hasil wawancara dengan Gunawan Jatmiko, S.H., M.H, sebagai Lawyer BKBH Universitas Lampung, Pada Hari Kamis, 08 Agustus 2017.
Penegakan hukum terhadap Penyidik Polri dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona berupa pemberian sanksi yang tegas terhadap anggota Polri yang melakukan salah tangkap. Selain proses peradilan pidana yang di lakukan menurut hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum, penyidik Polri yang melakukan salah tangkap juga mengikuti sidang disiplin yang di atur dalam PP No. 2 tahun 2003 tentang Peraturan disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia dan sidang kode etik profesi sesuai Perkapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang saksinya berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Faktor Penghambat penegakan hukum terhadap Penyidik Polri dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona yaitu : a. Faktor hukum itu sendiri yaitu bahwa dalam Peraturan tentang kode etik profesi Polri tidak tersedia penjelasan
yang memadai, sehingga
mengakibatkan peraturan yang multitafsir serta Seringnya terjadi perubahan aturan hukum intern
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi . Hukum Acara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 2010.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 2009.
Lubis, M. Sofyan Lubis. Prinsip Miranda Rule: Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan. Pustaka Yustitia. Jakarta. 2010.
Meliala, Adrianus. Menyingkap Kejahatan krah Putih.
Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1993.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Undip. Semarang. 1995.