• Tidak ada hasil yang ditemukan

CINTA DAN PENGKHIANATAN DI TANAH LELUHUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CINTA DAN PENGKHIANATAN DI TANAH LELUHUR"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

CINTA DAN PENGKHIANATAN DI TANAH LELUHUR: Catatan atas Puisi-puisi Lamaholot Bruno Dasion 1

Oleh Yoseph Yapi Taum 1. Pengantar

Saya benar-benar terhenyak ketika pertama kali dikabari oleh Bona Beding bahwa sahabat SMA Seminari saya, Yoseph Arakie Ulanaga Bruno Dasion, menerbitkan kumpulan puisinya, Pukeng Moe, Lamalera. Keterhenyakan saya lantaran mengetahui bahwa Bruno Dasion –yang sudah meninggalkan kampung halamannya dan menjadi misionaris lebih dari dua puluh tahun di negeri Sakura, Jepang, menulis puisi dalam bahasa daerah Lamalera, salah satu dialek bahasa Lamaholot yang digunakan di Flores Timur dan Lembata.

Pertama, setahu saya, belum pernah ada karya sastra yang ditulis dalam bahasa daerah Lamaholot. Bahasa Lamaholot memang menyimpan kekayaan konvensi sastra lisan arkhais dengan sistem dan pola komposisi yang indah dan teratur. Konvensi bahasa sastra itu disebut

koda knalan atau koda klaken atau sering kali juga disebut koda Lamaholot.2 Koda Lamaholot masih digunakan dalam kepentingan-kepentingan ritual formal oleh tua-tua adat tertentu, yang jumlahnya sangat terbatas dan semakin hari semakin berkurang. Kadang-kadang bahasa Lamaholot digunakan dalam syair-syair lagu daerah yang mempesona dalam konteks dan tujuan kelisanan. Akan tetapi bahasa itu tidak pernah digunakan sebagai media ekspresi sastra tulisan. Justru ketika bahasa Lamaholot mulai ditinggalkan oleh penuturnya sendiri, khususnya kaum mudanya, kehadiran kumpulan puisi berbahasa daerah ini menjadi sebuah kejutan yang sangat menggembirakan. Bruno Dasion merintis penggunaan bahasa Lamaholot sebagai media ekspresi sastra tulis.

Kedua, kumpulan puisi yang diterbitkan dalam dua bahasa ini lahir dari sebuah keyakinan atau kredo kepenyairan yang lugas: sebagai sebuah ritus sakral atau bahkan titian doa memasuki akar spiritualitas kebudayaan Lamalera. Hal itu memang dibuktikannya. Di dalam Pukeng Moe, Lamalera, penyair bermadah memuji kearifan leluhur, mendendangkan keriangan anak nelayan, menghirup aroma cinta dan perjuangan, meratapi keterpurukan nasib, tetapi juga mendobrak dan melabrak pengkhianatan yang mengusik tanah leluhur.

Tulisan ini akan mengungkap dua hal. Pertama, kajian sepintas tentang jejak sastra koda Lamaholot dalam puisi-puisi Bruno Dasion, dan kedua, kajian tematik terhadap kumpulan puisi Pukeng Moe, Lamalera.

2. Jejak Sastra Koda Lamaholot dalam Puisi-Puisi Bruno Dasion

1 Tulisan ini merupakan Epilog yang dimuat dalam kumpulan puisi Bruno Dasion Pukeng Moe Lamalera

(Penerbit Lamalera, Yogyakarta, 2011).

(2)

Aspek pertama yang menarik perhatian pengamat sastra daerah Lamaholot adalah jejak warisan sastra Lamaholot dalam puisi-puisi Bruno Dasion. Sebagai orang yang dibesarkan dalam tradisi dan budaya Lamaholot, jejak koda Lamaholot banyak ditemukan dalam puisi-puisi Bruno Dasion. Struktur komposisi koda Lamaholotmemiliki konvensi berupa sebuah pasangan paralel yang merupakan struktur diad. Dalam pandangan sastra dan budaya Lamaholot, segala sesuatu di atas muka bumi ini senantiasa berpasangan. Prinsip penyepasangan itu disebut “prinsip uwe – matan” atau prinsip “alas – penutup”.3 Tidak bisa orang menyebutkan sesuatu (uwe) tanpa

pasangannya (matan). Karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa setiap kata atau istilah apapun dalam bahsa arkhais Lamaholot, selalu memiliki pasangannya. Stuktur komposisi seperti ini biasanya diikuti secara ketat dan teratur.4

Struktur komposisi koda Lamaholot terlihat dalam puisi-puisi Bruno Dasion. Beberapa kutipan diberikan berikut ini sebagai ilustrasi.

No Teks Lamaholot Teks Terjemahan

(1) Na mattê kperêk, lébo

Benêk tai blébuk//Sama kellê kofa tnakéng.

(Emmak Matté -1)

Dengan tatapan matanya yang teduh dan bening. Teduh bagai laut tak bergelombang//Bening bagai langit tak berawan.

(Mata Ibuku -1)

(2) Kpala Akéonga pé tité toir kaé

Onê saré-saré, hama na ata faki tapo arri. Tité dépé neppê haka pé urrê brefa tité, Knéka kilap//kofa leggur.

(Urré)

Itulah Kepala Akeonga, sebagaimana yang sudah kita tahu baik

Hatinya lembut dan penuh kasih sayang.

Ketika kita tiba di padang sebelah timur Idalolong Hujan turun mengguyur

Dalam kutipan (1), Benêk tai blébuk//Sama kellê kofa tnakéng, pasangan diad “Teduh bagai laut tak bergelombang//Bening bagai langit tak berawan” merupakan pasangan yang disiapkan konvensi dan dapat digunakan dalam mengekspresikan sebuah situasi yang dipandang tepat. Dalam puisi “Emmak Matt é -1 “Mata Ibuku -1”, penyair mengibaratkan teduh dan beningnya tatapan mata sang bunda dengan prinsip uwe-matan. Hasilnya, sebuah allegori yang indah mengenai mata yang penuh kasih dan makna dari sang ibu.

Dalam kutipan (2), knéka kilap//kofa leggur atau kilat menyambar//guntur bergemuruh merupakan pasangan diad yang selalu digunakan dalam tradisi Lamaholot untuk menggambarkan kondisi yang menakutkan pada musim penghujan. Kilat dan Guntur dipandang 3 Lihat Yoseph Yapi Taum (1987) Kisah Wato Wele-Lia Nurat dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur.

Jakarta: Obor Indonesia dan Asosiasi Tradisi Lisan. (ISBN Nomor : 979 - 461 - 256 - 1)

(3)

sebagai sebuah pasangan. Dalam kutipan (3), ara héku pūsifé//Ara héku prōfé (siapa yang berbelarasa dengan mereka//siapa yang mendengarkan pesan kehidupan) merupakan pasangan diad yang berupa kata ‘berbelarasa’ yang dipandang berpasangan dengan kata “mendengarkan”. Kedua kata ini berkaitan dengan sifat afektif.

Sastra koda Lamaholot memiliki beberapa kaidah lainnya berkaitan dengan stilistika dan retorika, yang tidak pada tempatnya dibicarakan di sini. Beberapa contoh di atas dikemukakan untuk menegaskan bahwa puisi-puisi Bruno Dasion, yang ditulis dalam bahasa Lamaholot, mengandung ciri sebagai sastra Lamaholot.

3. Kajian Tematik Puisi-puisi Bruno Dasion.

Tinjauan ini membatasi diri pada lima tema utama, yang bagi saya paling menonjol dalam kumpulan puisi Pukeng Moe, Lamalera: (1) Dari Cinta Sang Ibu Menuju Cinta Sang Khalik; (2) Keriangan Anak-anak Nelayan Lamalera; (3) Tragedi dan Komedi Manusia Kota Besar; (4) Kearifan Leluhur; dan (5) Kemunduran dan Pengkhianatan di Tanah Leluhur.

3.1 Dari Cinta Sang Ibu Menuju Cinta Sang Khalik

Peter Altenberg (1859-1919),5 seorang penyair impresionis terkemuka dari Austria

mengungkapkan bahwa citraan (imagery) merupakan salah satu alat kepuitisan yang utama. Menurut dia, ada hubungan yang erat antara diksi, daya bayang, dan kata-kata konkret. Maksudnya, diksi yang dipilih hendaknya menghasilkan daya bayang (imagery), dan karena itu kata-kata tersebut menghasilkan gambaran-gambaran angan yang dihayati secara lebih konkret, seolah-olah pembaca dapat menghayatinya melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa. Pembaca seperti merasakan, mengalami, melihat sendiri, menyentuh sendiri dalam angannya apa yang dilukiskan penyairnya.

Kemampuan penyair membangkitkan gambaran angan sekaligus meyakinkan pembaca akan sebuah realitas yang dialami penyair tampak terutama dalam puisi-puisi Bruno Dasion yang bertemakan cinta, khususnya cinta sang Ibu.

Puisi-puisi seperti “Usia Bapak Ibu-ku,” “Mata Ibuku 1”, “Mata Ibuku 2”, “Mata Ibuku 3”, dan “Hujan” menggabungkan imaji penglihatan (visual imagery), imaji pendengaran (auditory imagery), dan imaji perabaan (tactile imagery) dengan kata-kata konkret. Puisi-puisi itu mengungkapkan rasa cinta dan kebanggaan penyair terhadap ibu dan ayahnya.

Dalam puisi “Usia Bapak Ibu-ku,” penyair --melalui dialog dan deksipsi situasi dalam kata-kata kokret-- menggambarkan betapa kedua orang tuanya benar-benar mencintainya. Bagi saya, puisi ini paling menarik dan paling sukses. Karena itu puisi ini dikutip kembali secara utuh. (Untuk memudahkan pemahaman, kutipan-kutipan selanjutnya hanya diambil dari terjemahan Bahasa Indonesia).

(4)

Pada suatu hari

Saya bertanya kepada bapaku “No, berapa usiamu?”

Sambil memotong ikan, ia menjawab “sama dengan usiamu.”

Saya berbalik dan bertanya kepada ibuku yang sedang menanak nasi. “Mamma, bagaimana denganmu. Berapa usiamu?”

Ia menjawab“sama dengan usiamu.”

Pada waktu itu saya heran kebingungan

Tetapi ada kegembiraan yang meluap dari lubuk hatiku.

Mengapa kegembiraan aku lirik meluap mendapatkan jawaban yang ‘membingungkan’ dari kedua orang tuanya? Karena ia justru menemukan sebuah kenyataan menakjubkan, bahwa usia bapak dan ibu sama dengan usianya. Mereka merasa hidup, bahkan ada ketika anak mereka lahir ke dunia ini. Anak itu, yaitu si penyair, begitu berarti bagi mereka. Perasaan diterima dan dicintai merupakan sebuah kenyataan yang sangat menggembirakan. Pada gilirannya, ia akan membagikan cinta itu kepada sesamanya.

Puisi “Mata Ibuku 1”, “Mata Ibuku 2”, dan “Mata Ibuku 3” melukiskan inter-komunikasi cinta antara sang ibu dengan anaknya. Komunikasi itu dilakukan seringkali tanpa kata-kata, namun penuh makna yang mendalam, sebuah komunikasi batin yang akrab dan intens. Dalam “Mata Ibuku 1”, digambarkan bahwa tatapan mata yang teduh bening dari sang ibu sudah mengandung pesan-pesan kehidupan bagi aku lirik. Dalam “Mata Ibuku 2”, penyair mengibaratkan mata sang ibu dengan cermin “tempat aku meneliti diri/melihat kebaikan dan keburukannku/dosa dan salahku/”. Mata bening dan teduh itu begitu berarti bagiku. “Dengan menatapanya/Aku lahir kembali/Seperti seorang bayi/”. Puisi “Mata Ibuku 3” menggambarkan ketenangan batin penyair, sekalipun “taufan berhembus, arus menjadi liar, gelombang buas meninggi, hujan deras, Guntur bergemuruh, halilintar menyambar” karena ia begitu yakin, “ibuku selalu duduk dan berdoa/Dan tak pernah berhenti menatap perahu kehidupanku/”.

Satu-satunya pengajaran verbal yang disampaikan oleh sang ibu kepada aku lirik terdapat dalam puisi berjudul “Hujan”. Ketika itu, penyair menemani sang ibu ke sebuah kampung yang cukup jauh letaknya, di Penikene. Ketika pulang dari kampung itu, “hujan turun mengguyur/Kilat menyambar dan guntur bergemuruh/”. Di saat yang menggentarkan itulah penyair menggerutu atau lebih tepat mengumpat. “Hujan setan. Tidak tahukah dia bahwa kita sedang memikul beban berat?” Jawaban arif dan teguran bijak sang ibu tetap dikenang sang anak selamanya, “Kalau hujan tidak turun/Padi dan jagung akan mati.”

(5)

dengan penuh kasih dan tidak mau menyerahkannya lagi ke keluarga yang lain. Mereka memeliharanya sampai suatu ketika anjing ini mati dan dibuang ke laut. Puisi berjudul “Dedaunan” mengungkap pesan yang disampaikan aneka daun yang berada di lingkungan sekitar penyair. Daundaun itu “tumbuh dalam diam/mengejrjakan tugasnya dalam diam/layu dalam diam/jatuh berguguran dalam diam/. Apa pesan yang disampaikan kepada manusia?

Wahai manusia!!!

Jadikanlah diri kita seperti dedaunan.

Hidup dan melakukan kerja kita seperti dedaunan. Jangan mengomel, jangan berkoar-koar.

Lingkungan hidup yang penuh cinta, yang dialami penyair, memiliki andil dalam membentuk dia sebagai seorang rohaniwan. Ketika ia menyaksikan fenomena seorang perempuan gila bernama Teresia Dalle (lihat puisi “Dalle”), ia pun merefleksikan ‘kewarasan” sang gila dan mengeritik kegilaan orang waras yang tidak menaruh hormat yang selayaknya dalam memuji Tuhan sebagai sang pencipta. Kewarasan Dalle digambarkannya, antara lain: “menaruh hormat pada orang/dia melihat dan memilah orang, mana yang baik dan tidak baik/dia hormat imam, dia hormat orang tua-tua/Lebih daripada itu/Dia sembah sujud di hadapan Allah/Di dalam Gereja dia duduk penuh hikmat/menghadiri misa suci/Berdoa dan memuji Allah/. Melihat fenomena paradoksal seperti ini, penyair pun bertanya kesal, “Siapa sebenarnya yang gila?/Dalle? Atau kita sendiri/Manusia yang tak beradat/yang tidak tahu menghormati Allah/Dan manusia?” Cintanya pada sang Khalik, seperti cinta perempuan gila itu, membuatnya geram pada perilaku orang-orang waras yang tidak lagi menaruh hormat pada sesama, pada orang-tua, pada Tuhan.

Tingkah laku dan kepolosan anak-anak kecil, sebagaimana tingkah laku dan kepolosan Teresia Dalle, mengajarkan orang dewasa untuk selalu bergembira. Mereka seolah-olah tak mengenal susah. Dalam puisi “Anak Kecil”, tingkah laku anak kecil itu merefleksikan ayah Kitab Suci yang bernada penghiburan bagi orang dewasa.

Mereka menasihati kita orang dewasa: “Kesusahan sehari cukuplah untuk seharu.

Jangan disimpan sampai esok atau lusa.” (Matius 6: 34).

Ketika menyaksikan fenomena alam, penyair pun tak lupa melakukan refleksi kerohanian. Dalam puisi “Buah Klengngi,” penyair terkesima menyaksikan pemandangan yang mengharukan: buah klengngi itu “berubah merah/lalu terbelah/membuka diri/membiarkan burung-burung menikmati daging buahmu/yang hitam legam bergizi/mereka menikmati pemberian dirimu/dan menjadi hidup/. Bagi penyair, buah klengngi itu mengingatkannya pada Yesus Kristus. Refleksinya demikian mendalam sebagai berikut.

Engkau sama dengan Anak Ilahi Yang tergatung di salib

Tubuhnya merah bermandikan darah penebusan.

(6)

Dan...., Mengalirlah Air dan darah

Mencuci bersih dosa-dosaku, Memberi aku Kehidupan Kekal.

Lingkungan hidup yang membesarkan seseorang biasanya akan muncul secara tidak terduga dan seringkali tanpa disadari, ketika orang terantuk. Dalam puisi “Terantuk”, selain “mengumpat dengan kata-kata makian”, ia pun mendaraskan nama orang-orang yang dikasihinya, yaitu keluarga kudus Nazaret: Yesus, Maria, dan Yoseph, selain keluarga dekatnya: “No, Mamma, Aki, Dami, Oa, Juli, Josse!”

Terlihat dalam puisi-puisi di atas milleu cinta kasih yang berpusat di dalam kehidupan keluarga kecilnya yang kemudian berkembang ke lingkungannya, sampai ke radius penyebaran yang menjangkau alam dan bahkan Sang Khalik. Inilah percikan-percikan pengalaman cinta dan kerohanian sang penyair.

3.2 Keriangan Anak-anak Nelayan Lamalera

Lamalera adalah perkampungan nelayan satu-satunya di Pulau Lembata. Berabad-abad lamanya masyarakat Lamalera hidup dari hasil laut. Mereka dikenal sebagai nelayan pemburu dan penangkap ikan paus. Sebagai anak kandung Lamalera, penyair menggambarkan kisah-kisah keriangan anak nelayan Lamalera dalam puisi-puisinya yang berjudul : “Baofutung”, “Bisikan Ombak”, “Ombak”, “Futung”, “Kursi dan Meja Batu”, dan “Penyu”. Kesemuanya digambarkannya secara reflektif, sebagai mimpi kanak-kanak.

Mimpi menjadi Lamafa , orang yang menombak ikan paus, adalah mimpi setiap anak laki-laki Lamalera. Sejak kecil mereka menyaksikan ksatria Lamafa yang begitu gagah dan perkasa, mempertaruhkan hidup dan nyawanya dengan melemparkan tombak ke tubuh ikan paus. Keahlian sebagai Lamafa adalah keahlian khusus yang tidak dimiliki semua orang. Bahkan jumlah Lamafa dapat dihitung dengan jari. Dalam puisi “Baofutung”, penyair mengungkapkan kerinduan dan mimpi masa kanak-kanaknya. Baofutung adalah sebuah tanjung di pantai Lamalera. Sekalipun semua kebiasaan dan tradisi kehidupan anak-anak nelayan telah berubah, tanjung itu masih tetap kokoh berada di sana, sebagai saksi setiap jamannya. Tanjung kenangan itu masih tetap berada di sana, “menyimpan serpihan mimpi jadi Lamafa”.

Satu demi Satu

Semua kebiasaan lenyap

Dari ingatan dan kehidupan kampungku. Hanya tanjung Baofutung

yang masih menghibur kedukaanku. Ia masih tetap seperti dulu,

(7)

Dalam puisi “Bisikan Ombak,” kehidupan nelayan dengan laut dan ombaknya membawa penyair pada refleksi-refleksi yang dalam. Kali ini ombak ‘besar dan kecil/yang/bergulung datang dan pecah di bibir pantai/ ternyata membisikkan sesuatu. Apa bisikan sang ombak? Ternyata ombak itu tidak lagi mempunyai teman bermain ‘anak-anak Lamalera’, seperti jaman dahulu kala.

Barangkali ia sedang mencari Di manakah anak-anak Lamalera?

Mereka tidak lagi seperti anak-anak Lamalera tempo dulu Yang senang mencebur diri ke laut, berenang

Dan bermain ombak.

Ombak senantiasa memiliki makna yang mendalam bagi anak-anak Lamalera, terutama anak-anak Lamalera ‘tempo dulu.’ Dalam puisi berjudul “Ombak”, ombak itu dipertanyakan asal-usul dan tujuannya berkelana ke bibir-bibir pantai. Ombak seakan-akan ‘pengelana abadi’ yang datang dan pergi ke pantai dan pelabuhan-pelabuhan hati. Sebagai anak nelayan, penyair selalu merindukan ombak.

Anak-anak Lamalera, khususnya yang tinggal di Kampung Atas, memiliki sebuah tempat bermain favorit yang bernama Futung. Tentang tempat ini, disyairkan keindahannya dalam puisi ‘Futung’. Tempat ini memiliki dua sisi, kolam kecil “tempat anak-anak kecil belajar berenang” dan sisi terjal “tempat hempasan ombak/mencipratkan titik air/melahirkan pelangi”… adalah tempat anak-anak nelayan bersenda gurau. Tempat ini memiliki banyak kisah masa kecil, termasuk arus yang hampir menghanyutkan seorang anak perempuan. Futung pun memberikan refleksi yang indah bagi penyairnya untuk menyerahkan dirinya dalam diam untuk kebaikan dan kebahagiaan semua orang.

Futung,

Limpah terimakasih. Saya ingat budi baikmu

Saya tak lupa pengorbananmu untuk kami semua. Ingin kujadikan hidupku seperti dirimu,

Menyerahkan seluruh hidupku

Bagi kebaikan dan kebahagiaan semua orang Tidak untuk dilihat

Tetapi dalam diam.

(8)

itu dipandang sebagai Meja Adat tempat orang-orang berkumpul membicarakan adat, tentang “kerja dan hidup kami di laut”.

Puisi terakhir bertemakan keceriaan anak-anak nelayan Lamalera terdapat dalam puisi “Anak Penyu”. Puisi ini mengisahkan rasa cinta penyair terhadap seekor anak penyu pemberiaan sang ayah. Bagi imaginasi kanak-kanaknya, anak penyu itu pasti sedang dicari oleh ibunya. Maka ia pun meminta ayah dan ibunya melepas anak penyu itu kembali ke Laut. “Bersama bapa dan ibu/kami membawanya ke Futung dan melepaskannya ke laut/Sambil berenang/sepertinya ia menoleh dan melihat kami/Adakah ia mengucapkan ‘limpah terimakasih?/Dan ia menyelam ke dalam laut”/.

3.3 Tragedi dan Komedi Manusia Kota Besar

Dari lingkungan desa nelayan yang jujur serta masa kanak-kanak yang polos, penyair terkesima ketika ia memasuki kehidupan ‘terpelajar’ di kota-kota besar. Keriangan masa kanak-kanak, tulusnya persahabatan dengan alam dan sesama, dan hangatnya cinta kasih persaudaraan yang dialaminya semakin menjauh. Apa yang dialaminya di kota-kota besar membuatnya merasa sangat terasing. Bagi penyair, manusia kota besar adalah manusia-manusia tragis yang patut ditertawakan atau dikasihani.

Puisi pertama yang bertutur tentang kehidupan kota besar berjudul sangat provokatif, “Bau Busuk”. Pengalaman pertamanya dengan kota besar itu tentu bukan sebuah pengalaman yang menyenangkan, sebagaimana impian dan bayangannya ketika masih berada di desanya. Ternyata kota besar itu amat mengecewakannya. Dengan kondisi busuk semacam itu, ia pun mengkhawatirkan bahwa orang-orang “kita” yang tinggal di kota-kota besar pun hatinya “hancur-rusak dan membusuk”. Maka ia pun meminta ayah-ibunya mendoakan orang-orang “kita” yang hidup di kota besar.

No dan Mama,

Kalau kita dengar tentang kota besar Kita hanya berkayal tentang bau harumnya. Tetapi tunggu dulu...

Air pembuangan yang kotor tergenang di mana-mana. Orang-orang membuang sampah sembarangan Lalat pun besar-besar seperti belalang

Di mana-mana bau busuk tak tertahankan.

No dan Mamma

berdoalah bagi orang-orang kita yang tinggal di kota besar Agar hati mereka tidak hancur-rusak dan membusuk.

(9)

puisi berjudul “Manusia Kota Besar”. Ternyata ‘orang kita’ itu benar-benar menjadi pembual ketika pulang ke kampung.

Masihkah kalian ingat

Ketika mereka pulang kampung dan bercerita tentang Kota Besar?

Mabuk dengan tuak putih, kenyang dengan jagung titi yang kita suguhkan Mereka tak habis menuturkan kisah-kisah khayalan

Tentang Kota Besar, dari siang hingga malam, dari malam hingga pagi.

Kisah berganti kisah terus mengalir dari mulut. Ibarat mata air bersumber tujuh, mengalir tak kenal henti seperti sungai Atafai.

Apa yang mereka bualkan dengan panjang lebar, cerewet dan gatal mulut ternyata “bagaikan tong kosong nyaring bunyinya”.

Manusia model ini, cumalah manusia bebal, pembohong kawakan, Tinggi hati, sombong, dan congkak.

Pengalaman buruknya dengan manusia kota besar semakin tidak menyenangkan ketika paket kiriman dari saudarinya di kampung tidak disampaikan ke tangannya. Paket itu berisi jagung titi dan dendeng ikan pari bakar (makanan khas orang Flores Timur). Alasan paket itu tidak dibawa dan diserahkan ke tangan penyair , adalah “karena mereka tidak mau membawanya di dalam pesawat terbang”. Hal ini menunjukkan satu bukti lagi betapa tinggi hatinya “orang kita” yang hidup di kota besar. Kenyataan itu benar-benar menusuk perasaan penyair, karena untuk dapat mengirimkan paket itu, saudarinya berjuang keras menahan malu berkeliling kampung menjajakan sepiring jagung untuk membeli ikan.

Hatiku pilu karena mengingat dirimu sebagai orang tak berpunya Yang harus bersusah-payah berjual-beli mendapatkan jagung, Betapa engkau yang miskin harus menahan malu

membawa sepiring jagung keliling kampung Untuk membeli ikan.

Saudariku,

Itulah nasib kita orang miskin dan tak berpunya. Nasi kita nasi jagung,

Air minum kita hanyalah air putih.

Kita tidak mengenal, kopi dan teh bergula. Kita juga tak mengenal daging,

Lauk kita ikan kering dan bromé, appur, atte dan mudu.

Penyair pun menasihati saudarinya agar “kali berikut kalau mau kirim sesuatu/harap pilih orang. Dan..perhatikan baik-baik wajah mereka”.

(10)

keringat itu adalah bau tubuh orang yang berkeringat itu sendiri. Cerminan bau busuk dari orang kota besar itu sendiri.

Dalam puisi “Perantau”, penyair mengamati perilaku ‘pamer’ dari orang-orang yang baru pulang dari rantau. Mereka cenderung memamerkan apa saja yang dipunyai: celana dan jaket jeans, topi, handuk putih, kaca mata rayben, cicin emas, jam tangan, dan gigi emasnya. Perilaku kampungan –yang memang seringkali disaksikan hampir di seluruh Lembata dan Flores—adalah “ketika hari mulai senja//sambil menjinjing tape dengan musik bervolume tinggi/mereka pergi mengunjungi tempat-tempat minum tuak/. Yang terjadi kemudian adalah harta milik yang melekat di badan mereka mulai dijual satu demi satu. “Paling akhir, mereka menggade arloji, cincin, tape/Bahkan gigi emasnya pun dicungkil dan dijual/Dan kembalilah mereka ke tanah rantau/. Dengan pedih penyair pun bertanya, “Oh perantau yang kurang bijaksana/Mengapa merantau hanya untuk menjadi miskin-merana?”

3.4 Kearifan Leluhur

Kekecewaan pada perilaku dan mentalitas manusia kota besar membuat penyair kembali menggali, merefleksikan, dan merevitalisasikan berbagai kearifan leluhur di tanah para nelayan itu. Sekalipun ada memori kanak-kanak namun tidak ada canda dalam tema ini. Sebagian besar puisi-puisi dalam kumpulan ini mengungkap persoalan kearifan leluhur.

Kearifan leluhur pertama yang mempesona penyair tampak dalam puisi “Lamalera”. Penyair mengagumi kepandaian para pendahulu ratusan tahun yang lalu dalam memberi nama “Lamalera” kepada tanah kelahirannya. Ada tiga alternatif makna kata Lamalera: (1) kampung yang penuh dengan pohon Lerra (merah-menyala rumpun bunganya); (2) piring matahari (cahaya abadi, pemberi harapan kehidupan bagi siapa saja); (3) guru matahari (pintu masuknya agama dan pendidikan modern ke Pulau Lembata). Identitas dan tugas yang diletakkan oleh para pendahulu atas Lamalera begitu mulia. Di akhir puisinya, penyair mempertanyakan kepada generasi Lamalera yang sekarang, masihkah mengemban identitas dan tugas mulia itu?

(11)

Tapi sayang,

Dewasa ini siapa yang menaruh rasa hormat dan segan Denganmu semua?

Orang-orang kami Mulai melupakan dirimu Dan petuah-petuah sucimu.

Puisi “Gufer” mengisahkan salah satu kearifan lokal masyarakat tradisonal Lamalera. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka mengenal seekor burung yang mereka sebut Gufer, yang dipercaya dapat membuka rahasia tentang hamilnya seorang wanita sebelum perkawinan resmi. Penyair merasa heran, “burung apakah dirimu?/Engkau ibarat malekat Allah, Gabriel/Ataukah dirimu adalah Roh Kudus?” Kemisteriusan burung ini disebabkan karena selalu tepat ia mengabarkan sexual affair yang terjadi dalam masyarakat. Ia senantiasa memberikan tanda-tanda zaman.

Puisi “Guru Kehidupan” mendaraskan sembilan fungsi dan jabatan dari sejumlah besar leluhur yang dipandang telah berjasa bagi Lamalera: para tuan tanah (2 orang), para pemimpin kampung (10 orang), para imam perintis (10 orang), para pemilik perahu (tidak dirinci), para pembuat perahu (10 orang), para juru tikam atau lamafa (24 orang), para dukun kampung (10 orang), para guru sekolah (50 orang), para tukang bangunan (12 orang). Masing-masing bidang ‘guru kehidupan’ itu disebutkan keutamaan dan nilai pendidikan yang diwariskannya. Pada awal dan akhir sajak ini, penyair mempertanyakan, “mengapa kalian tak datang menyelamatkan kampung?” Tampaknya penyair merasa gusar, keutamaan-keutamaan yang diwariskan para leluhur itu sudah sangat memudar. Para imam perintis, misalnya, diharapkan untuk segera kembali untuk menyapa para imam dan suster zaman sekarang karena “kami semua sama saja/kami rakus dengan uang/Rosario kami buang dan ganti dengan HP/doa tak lagi kami hiraukan/. Betapa penyair ingin merevitalisasikan nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan yang pernah diwariskan para leluhur, yang sekarang ini telah jauh memudar.

Secara khusus dalam puisi “Guru Bura (Sebuah Eulogi)”, penyair mengisahkan keutamaan seorang guru yang luar biasa bernama Guru Bura (yang disapanya sebagai Opa Guru) dan istrinya Oa Somi. Guru ini selalu membuat muridnya yang masih kecil-kecil itu betah di sekolah. Apa yang dilakukan oleh Guru Bura ini jarang (untuk tidak mengatakan tidak) dilakukan oleh guru-guru jaman sekarang. (1) Setiap hari membawa makanan: kue bintang, kue putu, bolu goreng, jagung goreng rebus, jagung titi dan kacang rebus (buatan tangan istrinya Oa Somi); (2) Tidak pernah marah dan menghargai martabat dan menyapa anak-anak kecil itu dengan “bapa/mama/ama/ina”. (3) Ramah dan hormat pada murid yang tidak pandai dan kerjanya cuma tiduran sepanjang kelas. (4) Mencari anak-anak yang tidak mau datang ke sekolah dan bersembunyi di hutan, bagai Yesus mencari anak yang hilang. (5) Sangat menyayangi istrinya Oa Somi serupa Santo Yosef dan Santa Maria.

(12)

Siapa saja yang lewat di depan rumah Kita panggil untuk duduk di emperan rumah.

Menyapa orang yang lewat dan mengajak mereka singgah sebentar di emperan rumah merupakan adat kebiasaan leluhur. Bahkan orang asing dari kampung yang lain pun diajak untuk mampir sejenak, disajikan makan jagung titi dan diberi minum air sebelum melanjutkan perjalanannya. Sebuah adat-kebiasaan yang sangat luhur. Di akhir puisinya, sekali lagi, penyair mengungkapkan kekecewaannya yang amat dalam.

Sekarang ini,

Rumah kita besar dan luas

Tapi tak punya emperan yang selalu terbuka bagi siapa saja. Rumah kita besar

Hanya untuk diri sendiri. Rumah kita...

Rumah kekikiran Rumah ingat diri Rumah kesombongan.

Pada zaman dahulu, orang-orang Lamalera menggunakan berok (besar dan berat), sedangkan pada zaman sekarang orang menggantinya dengan sampan (ringan karena pendayungnya bisa tarik sendiri). Dalam puisi “Berok”, penyair mengungkapkan “sampan mengajar kita menjadi kikir/berok mengajar kita untuk saling membantu/. Ini juga merupakan satu bukti lagi hilangnya kearifan leluhur.

3.5 Kemunduran dan Pengkhianatan di Tanah Leluhur

Tema terakhir, kemunduran dan pengkhianatan di tanah leluhur, patut dibicarakan tersendiri, meskipun hal ini sebenarnya sudah disinggung dalam sub-uraian 3.4 tentang kearifan leluhur. Dalam setiap puisi yang menyangkut tema kearifan leluhur yang dirasakan telah memudar, penyair serta-merta mengajukan pertanyaan dan kritik yang tajam, atau bahkan doa yang tulus agar kondisi ideal itu kembali terwujud.

Kekecewaan penyair terhadap berbagai degradasi, kemunduran, dan pengkhianatan yang terjadi di tanah leluhurnya terasa sangat menonjol. Ia pun tidak segan-segan muncul dengan fungsi profetiknya: mengemukakan kritikan yang keras, tajam, dan blak-blakan. Dalam puisi “Lamalera - 2”, pertanyaan tentang identitas dan tugas Lamalera itu terasa menohok.

Lamalera,

Masihkah identitas dan tugas seperti itu Kau emban?

Masih adakah keindahanmu dan aroma jiwamu? Masih adakah sinar mataharimu?

Masih adakah diri gurumu?

(13)

Dalam puisi “Dalle”, penyair pun mengeritik dan mempertanyakan kewarasan orang tidak mengaku tidak gila seperti Teresia Dalle.

Dalam hati saya bertanya, Siapa sebenarnya yang gila? Dalle? Ataukah kita sendiri, Manusia yang tak beradat

yang tidak tahu menghormati Allah Dan manusia?

Puisi “Tempat Suci” yang merefleksikan kearifan lokal leluhur Lamalera tentang hutan, roh-roh leluhur, dan Tuhan yang pada zaman dahulu dihormati, kenapa kini tidak lagi dihormati?

Tapi sayang,

Dewasa ini siapa yang menaruh rasa hormat dan segan Denganmu semua?

Orang-orang kami Mulai melupakan dirimu Dan petuah-petuah sucimu.

Tema kemunduran dan pengkhianatan di tanah leluhur tampak dikemukakan secara lugas dalam puisi “Keterasingan”. Ketika pulang ke kampung halamannya, penyair mendapati kampung halamannya “wajahnya mulai bopeng/Dicorat-coret lekak-lekuk garis-garis kemajuan/tak beraturan”. Kekecewaan penyair pada penampilan fisik kampung halamannya semakin diperparah dengan hadirnya anak-anak yang tak lagi ia kenal dan mereka pun tak mengenal siapa dirinya. Dia benar-benar merasa terasing di tanah kelahirannya sendiri. “Aku seorang asing/Di kampungku sendiri”.

Banyak anak datang mengerumuniku Tetapi aku tak mengenali nama mereka, Mereka tak mengenal aku.

Hatiku terluka, Jiwaku melayang, Aku seorang asing Di kampungku sendiri.

Dalam pusi “Baofutung”, penyair mengemukakan kekecewaannya yang sangat mendalam akan kehidupan laut para nelayan yang mulai punah. Semua kebiasaan yang begitu akrab dijalaninya semasa kanak-kanak kini sudah tiada.

(14)

Plae Angngi entah kemana. Pantai tak lagi sakral

Oooo! Gulat tradisional dan bakar jagung di pantai, Ambil dan masak darah paus dan beli bolu,

Di manakah kamu!

Dalam puisi “Angin dan Arus”, penyair memaparkan peran historis angin dan arus dalam kehidupan para nelayan tradisional. Para nelayan itu hidup dari bantuan angin dan arus. Mereka hidup dari alam. Akan tetapi kini angin dan arus sudah tidak dibutuhkan lagi oleh para nelayan. “Orang-orang kami tak lagi mengenal dayung/mereka tak butuh bantuanmu, Arus/Mereka sudah punya mesin ‘johnson’ dan lainnya/. Penyair masih mengharapklan agar angin dan arus tetap mengalir tiada henti “untuk peledang-peledang kami/hari ini!”

Puisi “Bukit Tébulélé, Ilé Goppol, Tobbi” menggambarkan tiga bukit di Lamalera yang senantiasa abadi dengan bentuk sayap rajawalinya yang menjadi ‘kebenaran’ Lamalera. Kepada ketiga bukit itu, penyair mengharapkan agar mereka, sebagai saksi sejarah kampung halaman, “menuturkan sejarah kami/sebenar-benarnya/. Mengapa demikian? Karena “orang-orang kampung kami semakin pintar/tetapi banyak dari mereka menuturkan sejarah kampung/sesuka hati dan demi kepentingannya/. Ini berarti ada pengkhianatan yang terjadi di tanah leluhur.

Dalam puisi “Tanjung Naga”, penyair mengungkapkan tentang kemajuan hidup yang “semakin baik dan menyenangkan/tetapi yang baik dan menyenangkan itu/meracuni jiwa kami/membutakan mata kami/dan melesukan harapan kami/untuk menengadah ke langit/memandang Allah dan berdoa kepadaNya/.

Ratapan penyair akan semakin punahnya kehidupan laut para nelayan Lamalera terungkap dalam puisi “Atadei atau Somi Boladerre”. Atadei adalah sebuah legenda yang terkenal di Lembata, tentang seorang wanita cantik bernama Somi Boladerre yang berubah menjadi batu karena ketika berlari keluar dari tanah asalnya Lepan Batan, /karena hatimu tak rela melupakan kampung halamanmu/Engkau berpaling memandangnya dan menjadi kaku/. Kepada Somi Boladerre yang setia pada kampung halamannya ini, penyair menyampaikan keluh-kesahnya.

Ibu, SOMI BOLADERRE! Ibu yang setia berdiri! Hidup kami susah, sarat derita

Salib kami teramat berat. Perahu dan pekerjaan di laut Warisan saudara-saudaramu Perlahan punah.

Tetaplah berdiri dan jagailah kami, Sayangilah dan cintailah kami.

(15)

melaut/adalah warisan leluhur/yang harus dijaga dan diteruskan/. Oleh karena ajaran-ajaran itu kini sudah tidak lagi dijalankan, kebiasaan melaut mulai luntur, penyair “membangunkan” para leluhur itu dan meminta mereka “Tidur dan beristirahatlah di surga/Tetapi jangan tidur lelap/Jangan lupa kampung/Kembalilah ke tengah-tengah kami/Lewat mimpi/Atau datanglah menjenguk kami dengan rohmu/.

Kebiasaan berkata bohong yang mulai dilakukan para nelayan di kampung halamannya diamati penyair dan dituangkannya dalam puisi “Kosong”. Ketika pulang dari laut, mereka tidak lagi membagi-bagikan tangkapannya seperti adat-kebiasaan nenek-moyang, sekalipun kantong pancingannya mengembung dan terasa berat. Demikian pula, ketika ditanya minum tuaknya banyak, mereka menjawab “kosong…kami hanya minum satu gelas”. Sifat-sifat semacam ini, yang menyimpang dari kebiasaan leluhur, sangat mengecewakan penyair.

4. Penutup

Dua puisi terakhir Bruno Dasion berjudul “Mari Kita ke Laut” dan “Kembalikan Lamaleraku” menjadi gong pamungkas bagi kumpulan puisinya, dan merupakan titik kulminasi semua refleksi dan titian doanya. Inilah yang dia sebut sebagai ritus sakral memasuki akar spiritualitas kebudayaan Lamalera. Penelusurannya terhadap mimpi-mimpi masa kecilnya di tanah kelahirannya, berbagai kearifan leluhur, dan ekspresi kekecewaan atas degradasi dan pengkhianatan di tanah leluhur pada akhirnya disatukannya menjadi sebuah energi dan tekat untuk membangun kembali Lamalera. Lamalera harus tetap hidup dan menjaga identitasnya yang sudah terbentuk berabad-abad lamanya sebagai sebuah kampung nelayan, lengkap dengan keutamaan-keutamaan yang diwariskan leluhur. Dalam kedua puisi ini, tidak ada letupan-letupan kekecewaan dan sinis tajam. Bagai Musa di puncak Tursina, ia tampil memimpin kaumnya untuk kembali berlayar.

Wahai orang Lamalera!

Janganlah kita lupa akan perahu dan kerja kita di laut. Biar zaman berganti zaman

Mari jaga dan piara laut, taman kehidupan.

Angin timur berhembus, arus mengalir, matahari perlahan terbit Dengan cahaya bagai kobaran api.

Sahabat, dorong perahu, dirikan tiang dan angkat layar Kayuhlah perahu kita dalam irama

Hilibe, hilibe, hilibe...Mari kita ke laut. Sebab, inilah tugas hidup warisan leluhur, Kita harus pergi.

(16)

dalam merusak tatanan hidup masyarakat Lamalera melalui berbagai propaganda dan janji kosong. Mereka bahkan disebutnya sebagai “pencuri”, penipu, dan orang yang “tak tahu adat.”

Bruno Dasion adalah seorang rohaniwan Katolik. Ia lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga nelayan Lamalera yang penuh kasih dan kehangatan. Cinta dan kekagumannya akan sosok dan figur sang bunda membawanya pada pencaharian makna Cinta Sejati. Ia anak kebanggaan kedua orang tuanya. Ia dididik oleh guru-guru yang sangat berbakti dan menghargai harkat dan martabatnya sebagai manusia. Ia menghirup alam dan lingkungan laut Lamalera sebagai sebuah ruang yang sakral dan agung. Ada dua perubahan radikal yang menghentak kesadaran jiwanya. Pertama, perubahan sosial yang dihadapinya dalam hidup di kota-kota besar dan bergaul dengan orang-orang dari kota-kota besar yang ternyata busuk dan kerdil jiwanya. Kedua, perubahan sosial yang nyata-nyata dilihatnya telah melanda kampung halamannya dan memporak-porandakan nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan yang amat dibanggakannya sejak masa kanak-kanak. Perubahan sosial di kampungnya dipengaruhi pula oleh faktor-faktor eksternal. Kedua fase kehidupan itu: masa kanak-kanak dan remaja yang indah, penuh cinta, dan terkadang sentimental, masa dewasa yang penuh perubahan sosial: di kota besar maupun di kampung halamannya sendiri mempengaruhi proses kreatif Bruno Dasion. Ia kadang tidak mampu menyembunyikan rasa kecewa dan amarahnya atas degradasi dan pengkhianatan yang terjadi di tanah kelahirannya. Hal itu terungkap dalam puisi-puisinya dalam kumpulan Pukeng Moe, Lamalera.

Referensi

Dokumen terkait

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan

Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan dalam penelitian, sehingga pelaksanaan dan hasil penelitian bisa untuk dipertanggung jawabkan secara

Dengan transparansi dalam pengelolaan zakat dapat menciptakan suatu system control yang baik, karena tidak hanya melibatkan pihak intern organisasi saja tetapi

Studi dan data yang didapat dari instansi terkait mengenai kondisi Rawa Pening tersebut adalah relevan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk dijadikan acuan atau pedoman

Seiring adanya pembangunan gedung baru dan beberapa pembukaan jurusan baru, maka harapan dengan adanya perbaikan kepuasan semua stakeholder yang terkait dalam

Ilouka yang masih dengan mimpinya menjadi dokter harus pulang secepat ini, dengan cara ini. Bajuku basah oleh air mata

Kadang kita kesulitan menghapal atau mengingat kembali isyarat morse, padahal besok mau ikut lomba Galang apalagi jarang berlatih secara periodic.. Berikut ini

Definisi operasional dalam aspek sosial-keagamaan dapat di identifikasikan seperti kondisi struktur sosial, pola pemikiran organisasi sosial, pola hubungan antar kelompok di