• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah hukum perlindungan konsumen (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "makalah hukum perlindungan konsumen (1)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

(BPSK) DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA

KONSUMEN DI LUAR PENGADILAN

DISUSUN OLEH :

SILVIA KUMALASARI

8111412028

FAKULTAS HUKUM

(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL--- i

DAFTAR ISI--- ii

BAB I. PENDAHULUAN--- 1

A. Latar Belakang--- 1

B. Rumusan Masalah--- 3

C. Tujuan Penulisan--- 3

BAB II. PEMBAHASAN--- 4

1. Kewenangan MK dalam mengadili PHPU Pilkada--- 4

2. Mekanisme pengajuan PHPU Pilkada di MK--- 7

3. Proses peradilan acara MK dalam PHPU Pilkada--- 10

4. Kendala MK dalam menyelesaikan PHPU Pilkada--- 16

BAB 1II. PENUTUP--- 18

A. Kesimpulan--- 18

B. Saran--- 18

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan saling membutuhkan antara pelaku usaha dengan konsumen, baik berupa pelaku usaha dan konsumen barang maupun jasa. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dari transaksi dengan konsumen, sedangkan di sisi lain, konsumen berkepentingan untuk memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu. Dengan kata lain, konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan kualitas yang diinginkan.

Dalam hubungan demikian, seringkali terdapat ketidaksetaraan antara keduanya di mana secara umum konsumen berada pada posisi tawar menawar yang lemah, akibatnya menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha atau produsen yang secara sosial dan ekonomi memiliki posisi yang kuat. Untuk melindungi atau memberdayakan konsumen sangat diperlukan adanya campur tangan pemerintah dan/atau negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen.

(4)

menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi atau arbitrase dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan / atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Pola-pola penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dikehendaki UUPK merupakan pilihan yang tepat, karena jalan keluar yang dirumuskan berisikan penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak yang sedang bersengketa.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah merupakan penyelesaian sengketa yang efektif, hal inilah yang menjadi alasan mengapa konsumen membutuhkan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, dikarenakan upaya non litigasi prosesnya sederhana, cepat dan biaya murah. Penyelesaian sengketa yang efektif diperlukan juga dikarenakan konsumen umumnya, banyak yang enggan dan tidak mau memperjuangkan hak-hak nya, karena terstigma oleh pengadilan prosesnya yang lama, biaya mahal serta belum tentu menang, karena hasil dari pengadilan adalah menang-kalah. Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan menjadi efektif karena ditinjau dari kasus yang ada adalah kasus yang sederhana dan berskala kecil. Sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat menjadi efektif, bila kasus yang diajukan adalah kasus yang rumit dan berskala besar.

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaiman diatur dalam UUPK pasal 45 melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen, di Indonesia sendiri ada beberapa lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau BPSK, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI.

(5)

dengan kemampuan untuk menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan seperti quasi peradilan yang bernama BPSK.

Pemerintah menjamin adanya perlindungan hukum terhadap konsumen, dengan membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen. Eksistensi BPSK sangat penting bukan saja sebagai bentuk pengakuan hak konsumen untuk mendapatkan perlindungan dalam penyelesaian sengketa konsumen secara patut, tetapi juga sebagai badan pengawas terhadap pencatuman klausula baku oleh pelaku usaha. Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001, menyatakan bahwa Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Dibentuknya BPSK sangat membantu konsumen terutama dalam hal prosedur beracara yang mudah, cepat, tanpa biaya karena segala biaya yang timbul sudah dibebankan kepada APBD masing-masing Kabupaten/Kota sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Prosedur penyelesaiannya pun tidak rumit harus menggunakan dalil-dalil hukum yang kaku. Konsumen / pengadu dapat mengajukan gugatan tertulis maupun tidak tertulis tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Jadi, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak perlu persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulisan makalah ini di fokuskan untuk mengkaji proses penyelesaian sengketa konsumen di luar jalur pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK ?

2. Bagaimana kekuatan hukum putusan BPSK dalam menjamin perlindungan hukum bagi konsumen ?

(6)

4. Apakah kendala yang dialami oleh BPSK dalam praktik pelaksanaan penyelesaian sengketa konsumen ?

5. Apa upaya yang dilakukan BPSK dalam menciptakan konsumen dan pelaku usaha yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya

C. Tujuan Penulisan

1. Memberikan uraian mengenai mekanisme penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK.

2. Memberikan penjelasan mengenai kekuatan hukum putusan BPSK dalam menjamin perlindungan hukum bagi konsumen.

3. Mendiskripsikan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan BPSK.

4. Memberikan uraian tentang kendala yang dialami oleh BPSK dalam praktik pelaksanaan penyelesaian sengketa konsumen.

5. Memberikan uraian mengenai upaya BPSK dalam menciptakan konsumen dan pelaku usaha yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ke arah yang lebih baik kepada seluruh masyarakat di Indonesia bahwa untuk masalah sengketa konsumen yang terjadi dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maka putusan yang dihasilkan oleh BPSK dapat memberikan kepastian hukum bagi konsumen.

2. Manfaat Praktis

(7)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK ini dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.

Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha, karena sengketa diantara konsumen dan pelaku usaha biasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya ke pengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut.

Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya kecendrungan masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelau usaha. Dengan terbentuknya BPSK, maka penyelesaian konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian sengketa. Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen. Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan BPSK bersifat final, mengikat sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan.

(8)

secretariat BPSK di kota atau kabupaten tempat domisili konsumen atau di kota / kabupaten tersekat dengan domisili konsumen.

Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata untuk mencapai kesepakatan mengenai bantuk dan besarnya ganti keerugian dan atau menganai tindakan terntentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Ukuran kerugianmateri yang dialami konsumen ini didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk barang/ jasa tersebut terhadap konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud adalah berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.

Pada prinsipnya penyelesaian konsumen sedapat mungkin dilakukan secara damai, sehingga dapat memuaskan para pihak yang bersengketa. Ada faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan sengketa di luar pengadilan juga mempunyai kadar yang berbeda-beda :

1. apakah partisipasi penyelesaian sengketa di luar pengadilan wajib dilakukan oleh para pihak atau hanya bersifat sukarela

2. Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau pihak ketiga 3. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal

4. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang tampil 5. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada criteria lain 6. Apakah putusan dapat dieksekusi secara huum atau tidak

Tatacara penyelesaian sengketa BPSK diatur dalam UUPK jo kepmenperindag no 350/MPP/12/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK. Proses penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana yang formal

Tahap Pengajuan Gugatan

(9)

penting, permohonan harus lengkap, karena kalau tidak ketua BPSK akan menolak permohonan tersebut.

Pemanggilan pelaku usaha, dibuat surat panggilan yang memuat hari, tanggal, jam dan tempat persidangan serta kewajibannya untuk memberikan jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen untuk diajukan pada persidangan pertama. Jika pada hari pertama pelaku usaha tidak hadir tidak memnuhi panggilan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi, jika tetap tidak hadir maka BPSK dapat meminta bantuan penyiidik untuk menghadirkan pelaku usaha tersebut.

Jika pelaku usaha hadir, maka konsumen memilih cara penyelesaian sengketeanya yang harus disetujui oleh pelaku usaha, yakni yang bisa dipilih adalah konsiliasi, mediasi dan arbitrasi. Jika yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau mediasi, maka ketua BPSK segera menunjuk majelis sesuai ketentuan untuk ditetapkan sebagai konsiliator atau mediator. Jika yang dilipilih adalah arbitrasi, maka prosedurnya adalah para pihak memilih atbiter ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis. Persidangan dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja ke-7 terhitung sejak diterimanya permohonan.

Tahap Persidangan

Tahap persidangan ini meliputi tiga hal, yakni persidangan secara konsiliasi, mediasi atau arbitrasi tergantung dari cara yang dipilih oleh yang bersengketa.

1. persidangan dengan cara konsiliasi

konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak, pihak ini disebut konsiliator. Konsiliator hanya melakukan tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak ke pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak. Penyelesaian sengketa model ini mengacu pada konsensus antara pihak, dimana pihak netral dapat berperan secara aktif maupun tidak aktif.

(10)

sebagai konsiliator. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah kerugian.

Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan anta konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut.

2. persidangan dengan cara mediasi

mediasi ialeh proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah dimana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan, pihak ini disebut mediator.

Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa, melainkan hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya. Kesepakatan dapat terjadi dengan mediasi, jika para pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan arahan konkret dari mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen.

Hasil musyawarah merupakan kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha. Selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian, ditandatangani oleh para pihak dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. Putusan tersebut mengikat kedua belah pihak dana mediasi tidak memuat sanksi administratif.

3. Persidangan dengan cara arbitrase

Arbitrase menurut UU no.30 tahun 1999 tentang arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan ppada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase ini adalah bentuk alternatif paling formal untuk menyelesaikan sengketa sebelum bertlitigasi.

(11)

Tahap Putusan

Putusan majelis BPSK dapat dibedakan atas dua jenis putusan, yaitu;

1. Putusan BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi, putusan ini pada dasarnya hanya mengkukuhkan isi perjanjian perdamaian yang telah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

2. Putusan BPSK dengan cara arbitrasi, seperti halnya putusan perkara perdata, memaut duduknya perkara dan pertimbangan hukumunya.

Putusan majelis BPSK sedapat mungkin didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat, namun jika telah diusahakansungguh-sungguh ternyata hasilnya tidak berhasil mencapai mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Keputusan mediasi dan konsiliasi tidak memuat sanksi administratif sedangkan arbitrase dibuat dengan putusan majelis dan ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis, keputusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi administratif. Putusan BPSK dapat memuat; perdamaian, gugatan ditolak atau gugatan dikabulkan.

(12)

pemahaman dari peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen, kurangnya sosialisasi dan rendahnya tingkat kesadaran hukum konsumen, kurangnya respons masyarakat terhadap UUPK dan lembaga BPSK.

B. Kekuatan Hukum Putusan BPSK dalam Menjamin Perlindungan Hukum bagi Konsumen

Perlindungan konsumen adalah upaya yang terorganisir yang didalamnya terdapat unsur-unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab untuk meningkatkan hak-hak konsumen. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang PerlindunganKonsumen, mendefinisikan perlindungan konsumen sebagai berikut :

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”

Pemerintah menjamin adanya perlindungan hukum terhadap konsumen, dengan membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen. Eksistensi BPSK sangat penting bukan saja sebagai bentuk pengakuan hak konsumen untuk mendapatkan perlindungan dalam penyelesaian sengketa konsumen secara patut,tetapi juga sebagai badan pengawas terhadap pencatuman klausula baku oleh pelaku usaha. Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001, menyatakan bahwa Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat belum dapat melindungi konsumen karena terjadi ketentuan yang bertentangan mengenai arti putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat. Putusan arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial karena tidak memiliki kepala putusan atau irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asas-asas yang relevan sebagai dasar acuan putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat ke depan adalah Hak Asasi Manusia (HAM), asas kepastian hukum, asas tidak melampaui atau mencampuradukkan kewenangan, asas keadilan, dan asas efektivitas.

(13)

1. Aksesibilitas yakni bagaimana mengupayakan agar lembaga penyelesaian sengketa konsumen dapat diakses seluas-luasnya oleh masyarakat. Prinsip ini meliputi elemen-elemen seperti: biaya murah, prosedur yang sederhana dan mudah, pembuktian yang fleksibel, bersifat komprehensif, mudah diakses langsung, dan tersosialisasi serta tersedia di berbagai tempat.

2. Fairness dalam arti keadilan lebih diutamakan daripada kepastian hukum sehingga sebuah lembaga penyelesaian sengketa konsumen setidaknya harus bersifat mandiri (independent) dan dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat (public accountability)

3. Efektif, sehingga lembaga penyelesaian sengketa harus dibatasi cakupan perkaranya (kompleksitas dan nilai klaim) dan setiap perkara yang masuk harus diproses secepat mungkin tanpa mengabaikan kualitas penanganan perkara. Untuk dapat dijalankannya prinsip-prinsip tersebut maka cara penyelesaian sengketa dengan pendekatan hukum yang legal-positivistik harus diubah dengan pendekatan hukum yang lebih kritis, responsif atau progresif. Secara singkat paradigma hukum progresif bertumpu pada filosofi dasarnya yakni hukum untuk manusia, yang dimaknai bahwa sistem manusia (sikap; perilaku) berada di atas sistem formal (aturan; keputusan administratif; prosedur; birokrasi). Dengan demikian bila sistem formal tidak bisa mewujudkan cara penyelesaian konsumen yang utuh, efektif dan adil atau memuaskan para pihak, maka sistem manusia harus mampu mewujudkan sendiri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen maka konsumen di Indonesia mendapat jaminan hukum yang pasti akan hak-haknya sebagai konsumen, khususnya dari tindakan-tindakan yang tidak adil dari pelaku usaha.

C. Upaya Hukum Terhadap Putusan BPSK

Upaya hukum terhadap putusan BPSK tidak terlepas dari aspek filosofisnya sebagaimana termuat dalam alinea ke-2 dan ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

(14)

utilitarianisme ini, nampak melekat dalam alinea ke-2 Pembukaan UUD 1945 terutama pada makna adil dan makmur, sebagaimana dipahami bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sesuai ungkapan Betham “The great happiness for the greatest number” (Kebahagiaan sebesar-besarnya untuk masyarakat sebanyak-banyaknya). Makna adil dan makmur harus dipahami sebagai kebutuhan masyarakat Indonesia baik bersifat rohani ataupun jasmani. Secara yuridis hal ini tentu saja menunjuk kepada seberapa besar kemampuan hukum untuk dapat memberikan kemanfaatan kepada masyarakat, dengan kata lain seberapa besar sebenarnya hukum mampu melaksanakan atau mencapai hasil-hasil yang diinginkan, karena hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh Negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.

Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalahan/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak. Lembaga yang menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen diluar pengadilan dalam hal ini adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Apabila berbicara tentang upaya hukum keberatan terhadap putusan BPSK, kita harus melihat sejauh mana kekuatan hukum putusan BPSK itu berlaku. Bedasarkan Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001, menyatakan bahwa putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Final berarti penyelesaian sengketa mestinya sudah berakhir dan selesai. Mengikat berarti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan para pihak. Prinsip res judicata pro vitatate habetur, suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum, dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti.

(15)

masih bisa mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari setelah pemberitahuan putusan BPSK. Hal ini bertentangan dengan sifat putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat.

Kejadian tersebut disebabkan karena lemahnya kedudukan dan kewenangan yang diberikan oleh Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/2001 terhadap BPSK terutama menyangkut putusan yang bersifat final dan mengikat namun dapat dilakukan dua kali upaya hukum keberatan dan upaya hukum kasasi. BPSK adalah sebagai lembaga Negara independen atau lembaga negara komplementer dengan tugas dan wewenang yang atributif untuk melakukan penegakan hukum perlindungan konsumen. BPSK merupakan lembaga penunjang dalam bidang quasi peradilan. Oleh karenanya, kekuatan BPSK bersifat final dan mengikat. Makna final yang dimaksud dalam putusan BPSK adalah final pada tingkat BPSK saja sedangkan pada tingkat pengadilan putusan BPSK tidak bersifat final atau masih dapat dilakukan upaya hukum keberatan ke pengadilan negeri dan kasasi ke mahkamah agung.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Mahkamah Agung sudah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini disebutkan bahwa pada hakikatnya tidak dapat dibenarkan mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK kecuali yang memenuhi persyaratan. Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung ini menegaskan bahwa yang bisa diajukan keberatan adalah terhadap putusan arbitrase BPSK.

D. Kendala yang Dialami oleh BPSK dalam Praktik Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(16)

Undag-undang Perlindungan Konsumen jo. SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 adalah: (a). melaksnakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi dan abitrase. (b). Memberikan konsultasi mengenai perlindungan konsumen (c) melakukan pengawasan terhadap pencatuman klausula baku (d). Melaporkan kepada penyidik jika terjadi pelanggaran Undang-undang perlindungan konsumen. (e). Menerima pengaduan tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen terhadap terjadinya pelanggaran perlindungan konsumen. (f). Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen. (g). Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. (h). Memanggil saksi-saksi atau saksi ahli atau setiap orang yang diduga mengetahui pelanggaran mengenai perlindungan konsumen. (i). Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi ahli, atau setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia memenuhi panggilan dari Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). (j). Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat dokumen atau bukti lain guna penyelidikandan/atau pemeriksaan. (k). Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak konsumen. (l). Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen (m). Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang perlindungan konsumen.

Kedua Kendala Pendanaan, salah satu faktor kurang optimalnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah karena kurangnya dukungan dana baikdari Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Daerah, Pembagian alokasi anggaran ini adalah untuk honor anggota/sekretariat badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sedangkan biaya operasional dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota masing-masing, hanya saja mengenai besaran alokasi anggaran ini tidak diatur secara rinci. Selain itu menyangkut kesiapan alokasi dari APBD tidak maksimal dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, partisipasi daerah selama ini dalam alokasi dana untuk efektivitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen masih sangat minim hal ini mempengaruhi kinerja Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

(17)

badan/lembaga tetapi tidak didukung oleh sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi yang baik pula maka suatu badan/lembaga itu pun akan jauh dari keinginan atau cita-cita.

Keempat rendahnya kesadaran hukum perlindungan konsumen. Hal ini juga tidak kalah penting dalam cita-cita optimalisasi Badan Penyelesaiaan sengketa konsumen, kesadaran hukum mengenai hak- hak konsumen yang belum diketahui oleh masyarakat luas sehingga hal – hal yang berkaitan dengan masalah-masalah konsumen seringkali tidak dapat diselesaikan sesuai dengan hak – hak yang ada pada konsumen yang diaturdalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

E. Upaya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Menciptakan Konsumen dan Pelaku Usaha yang Cerdas dan Sadar Akan Hak dan Kewajibannya

Ada kalanya masyarakat konsumen kurang atau belum mengetahui berbagai hal dalam hal ini walaupun tugas yang berkaitan dengan pemberdayaan perlindungan konsumen itu secara tegas diatur pada tugas dan wewenang lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat namun hal ini tidak dapat mengesampingkan peran dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menciptakan konsumen dan pelaku usaha yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya. Bahwa berdasarkan pasal 52 Undang-undang Perlindungan Konsumen jo. SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 huruf (b), dimana salah satu tugas BPSK adalah memberikan konsultasi mengenai perlindungan konsumen, konsultasi ini dilakukan dalam upaya menciptakan konsumen dan pelaku usaha yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya. Selain itu Sosialisasi dari BPSK sangat dibutuhkan dalam rangka upaya meminimalisir permasalahan tentang perlindungan Konsumen dalam hal masyarakat belum banyak mengetahui dan mengerti mengenai penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan kerugian konsumen sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga dirasakan sangat perlu untuk melakukan sosialisasi tentang Hukum Perlindungan Konsumen.

(18)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam hal konsumen dirugikan oleh pelaku usaha, maka konsumen dapat menggunakan haknya untuk mendapatkan ganti kerugian, apabila keadaan barang atau jasa yang dibelinya tidak sebagaimana mestinya. Apabila pelaku usaha tidak mau bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, maka hal ini akan terjadi sengketa konsumen, yaitu sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Untuk penyelesaian sengketa konsumen, UUPK sendiri membagi penyelesaian konsumen manjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri dan penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 49, yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi atau arbitrase dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Tatacara penyelesaian sengketa BPSK diatur dalam UUPK jo kepmenperindag no 350/MPP/12/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK.

(19)

Kendala Yang Dihadapi Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen yaitu kendala kelembagaan, pendanaan, sumber daya manusia, dan rendahnya kesadaran hukum perlindungan konsumen.

B. Saran

Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban serta perlindungan hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang layak atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta kewajiban mereka.

Pemerintah sebagai perancang, pelaksana serta pengawas atas jalannya hukum dan UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para produsen untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang diakibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Devisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Gunawan Wijaya. 2005. Seri Bisnis Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen.Bandung:CV. Mandar Maju.

Adi, Nugroho Susanti. 2008. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta : Kencana Group.

Celina, Tri Siwi Kristiyanti. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika. Wijaya, Gunawan dan Ahmad Yani. 2003. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Cetakan

Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju.

Sidabolok, Janus.2006. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rahmadi, Usman. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 301/MPP/Kep./10/2001 Tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep./12/2001 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil

Penyelesaian sengketa yang ditempuh oleh para pihak dapat berupa penyelesaian sengketa melalui pengadilan maupun di luar pengadilan, namun penyelesaian sengketa yang

Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum.. PT.Citra Aditya

Permasalahan hukum yang mbul terkait dengan adanya pengaturan dalam UUPK dan POJK LAPS apakah konsumen di bidang jasa dalam menyelesaikan sengketa konsumen di luar

a. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan

Selanjutnya ketentuan Pasal 52 huruf b, c dan e UUPK, dapat diketahui BPSK tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa di luar pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Ayat

Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum.. PT.Citra Aditya

Permasalahan hukum yang mbul terkait dengan adanya pengaturan dalam UUPK dan POJK LAPS apakah konsumen di bidang jasa dalam menyelesaikan sengketa konsumen di luar