• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesiapan belajar mandiri mahasiswa dan c

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kesiapan belajar mandiri mahasiswa dan c"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KESIAPAN  BELAJAR  MANDIRI  MAHASISWA  DAN  CALON  POTENSIAL MAHASISWA PADA PENDIDIKAN JARAK JAUH DI INDONESIA

Kristanti Ambar Puspitasari & Samsul Islam (Universitas Terbuka)

This  article  discusses  self­directed  learning  readiness  of  face­to­face  and  open­and­distance­ learning (ODL) students. Serving as face­to­face samples were third grade senior high school students  and  ODL�s  samples  were  Universitas  Terbuka  (UT)  students.  Samples  of  face­to­ face students (as UT prospective students) were students from two high schools in Bogor and one in Depok. Self­directed learning readiness was measured with the Indonesian Version of Self­Directed Learning Readiness Scale (SDLRS) translated by Darmayanti (1993).The results showed  that  prospective  students  had  significantly  lower  readiness  for  self­directed  learning than UT students. SDLRS scores indicated that both prospective and UT students had average readiness  for  self­directed  learning.  It  meant  that  students  were  likely  to  be  successful  in independent  learning  situations.  However  they  were  not  completely  comfortable  being responsible  for  the  entire  process  of  identifying  their  learning  needs  and  planning, imnplementing,  and  evaluating  their  learning.  Thus,  UT  has  to  provide  student  support  for improving students skills in self­directed learning.

Pendidikan jarak jauh (PJJ) seringkali dikaitkan dengan istilah belajar mandiri. Perkembangan konsep belajar mandiri di bidang PJJ merupakan konsekuensi salah satu karakteristik PJJ yang menuntut kemampuan belajar mandiri yang lebih tinggi dibandingkan bentuk pendidikan tatap muka. Hal ini mengingat lebih terbatasnya interaksi antara mahasiswa dengan instruktur dan dengan  sesama  mahasiswa.  Paul  (1990),  seorang  ahli  PJJ,  bahkan  mengemukakan  bahwa kesuksesan  institusi  PJJ  tergantung  pada  kemampuan  mahasiswanya  untuk  belajar  mandiri. Beberapa peneliti juga mengemukakan bahwa siswa yang mempunyai kemandirian belajarlah yang akan berhasil menempuh pendidikan dalam sistem PJJ (Long, 1991; Moore, 1983; Paul, 1990).  Oleh  karena  itu,  calon  mahasiswa  dalam  sistem  PJJ  seharusnya  sudah  mempunyai kesiapan yang memadai untuk belajar mandiri.

(2)

Penelitian  Guglielmino  &  Guglielmino  (1991)  menunjukkan  bahwa  siswa  yang  mempunyai kemampuan belajar  mandiri  dicirikan  oleh  beberapa  faktor.  Siswa  yang  kemampuan  belajar mandirinya tinggi menunjukkan ciri­ciri:

(1) mempunyai inisiatif, kemandirian, dan persistensi dalam belajar;

(2) menerima tanggung jawab terhadap belajarnya sendiri dan memandang masalah sebagai tantangan, bukan hambatan;

(3) mempunyai disiplin dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar;

(4) mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar atau mengadakan perubahan serta mempunyai rasa percaya diri;

(5) mampu mengorganisasi waktu, mengatur kecepatan belajar yang tepat, dan mengembangkan rencana untuk penyelesaian tugas;

(6) senang belajar dan mempunyai kecenderungan untuk memenuhi target yang telah direncanakan.

 

Secara singkat, menurut Guglielmino & Guglielmino (1991), orang yang mampu belajar secara mandiri adalah orang yang mampu bertindak, bertanggung jawab, dan tidak takut menghadapi masalah.

Proses  belajar  mandiri  dapat  digambarkan  seperti  pada  Gambar  1.  Evaluasi  terhadap  situasi belajar dapat mengungkapkan bahwa beberapa kebutuhan belajar tidak terpenuhi atau disadari adanya kebutuhan­kebutuhan belajar yang baru. Pada prakteknya, proses belajar mandiri tidak selalu  berlangsung  secara  berurutan  seperti  pada  Gambar  1.  Dalam  setiap  kegiatan  belajar mandiri dapat terjadi kendala­kendala belajar, seperti kurangnya sumberdaya atau kurangnya waktu  untuk  belajar  (Guglielmino  &  Guglielmino,  1991),  yang  dapat  menyebabkan terganggunya proses belajar mandiri siswa. Menurut Lowry (1989), banyak orang dewasa yang tidak mampu melaksanakan belajar mandiri karena kurangnya kemandirian, kepercayaan diri, dan sumberdaya.

(3)

Gambar 1. Proses Belajar Mandiri menurut Guglielmino & Guglielmino (1991)  

Alat  ukur  kesiapan  belajar  mandiri  yang  banyak  digunakan  pada  umumnya  dikembangkan berdasarkan konsep kemandirian di negara Barat. Belum banyak diketahui apakah perbedaan budaya  di  berbagai  negara  akan  berpengaruh  terhadap  belajar  mandiri.  Penelitian  tentang kesiapan  belajar  mandiri  yang  dilakukan  oleh  Darmayanti  (1993)  menemukan  bahwa  pada salah  satu  butir  kuesioner  yang  diadaptasi  dari  kuesioner  Self­Directed  Learning  Readiness Scale  (SDLRS)  dari  Guglielmino,  terdapat  bias  budaya.  Butir  tersebut  menunjukkan  nilai kesiapan  belajar  mandiri  yang  tinggi  pada  budaya  Barat,  tetapi  justru  menunjukkan  nilai kesiapan  belajar  mandiri  yang  rendah  pada  budaya  Indonesia.  Oleh  karena  itu,  pengukuran ulang dengan alat ukur yang sama perlu dilakukan. Dengan demikian, kita dapat melihat secara akurat perbedaan  karakteristik  mahasiswa  PJJ  di  Indonesia  dengan  mahasiswa  PJJ  di  negara Barat.

Artikel  ini  menyajikan  hasil  penelitian  tentang  kesiapan  belajar  mandiri  calon  potensial mahasiswa  dan  mahasiswa  PJJ  yang  diukur  dengan  menggunakan  instrumen  SDLRS  versi Bahasa Indonesia. Populasi penelitian adalah siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) kelas III yang  dianggap  sebagai  calon  potensial  mahasiswa  PJJ  dan  mahasiswa  Universitas  Terbuka (UT). Daerah penelitian untuk sampel calon mahasiswa dipilih secara purposif, yaitu 2 SMU di daerah Bogor yang terletak di daerah perkotaan dan di pinggiran kota, serta 1 SMU di pinggiran kota  Depok.  Sampel  SMU  dipilih  dari  daerah  Bogor  dan  Depok  dengan  alasan  untuk meningkatkan kemungkinan menggeneralisasi hasil penelitian dan untuk mempercepat proses pengumpulan data. Kota Bogor merupakan daerah kotamadya cukup maju yang dianggap dapat mewakili daerah perkotaan di Indonesia. Sedangkan pinggiran kota Bogor dan pinggiran kota Depok  dipilih  karena  dianggap  dapat  mewakili  daerah  kabupaten  yang  cukup  maju  di Indonesia.

(4)

tingginya tingkat kompetisi di Jakarta sebagai kota metropolitan mungkin dapat menyebabkan perbedaan tingkat kematangan berpikir siswa SMU di Jakarta dibandingkan dengan siswa SMU di kota lain, yang tentunya akan mempengaruhi tingkat kesiapan belajar mandiri mereka.

Sampel mahasiswa dipilih secara acak dari seluruh Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) di UT dan dari seluruh fakultas. Kriteria untuk sampel mahasiswa baru adalah mahasiswa yang melakukan  registrasi  pertama  di  UT  pada  masa  registrasi  2000.2  (semester  2  tahun  2000) dengan IPK minimal 1.75. Dari data mahasiswa yang terjaring dengan menggunakan kriteria tersebut, diambil 500 mahasiswa secara acak proporsional per program studi per UPBJJ.

Kriteria untuk sampel mahasiswa lama adalah mahasiswa yang melakukan registrasi pertama sebelum masa registrasi 2000.2 (atau yang setidaknya telah menempuh kuliah di UT selama 4 semester  pada  saat  penelitian  ini  dilakukan)  dengan  IPK  minimal  1.75.  Setelah  terseleksi, secara acak proporsional per program studi per UPBJJ diambil sebanyak 500 mahasiswa.

Sampel  mahasiswa  dipilih  yang  mempunyai  IPK  minimal  1.75  (padahal  IPK  minimal  untuk kelulusan  mahasiswa  adalah  2.00)  dengan  tujuan  untuk  menjaring  jumlah  mahasiswa  yang cukup  banyak.  Hal  ini  dilakukan  mengingat  penelitian  ini  merupakan  bagian  dari  satu penelitian  besar  mengenai  mahasiswa  PJJ  di  Indonesia  sehingga  setiap  mahasiswa  hanya terpilih untuk menjadi sampel satu penelitian saja.

Tingkat  kesiapan  belajar  mandiri  diukur  dengan  kuesioner  yang  dikembangkan  oleh Guglielmino,  yaitu  Self­Directed  Learning  Readiness  Scale  (SDLRS).  Penelitian  ini menggunakan isntrumen SDLRS versi Bahasa Indonesia hasil adaptasi yang telah digunakan pada  penelitian  Darmayanti  (1993).  Untuk  mendapatkan  data  kesiapan  belajar  siswa  SMU, pada  setiap  kelas  di  SMU  sampel  dipilih  sekitar  10­15  siswa  secara  acak  untuk  mengisi instrumen  SDLRS.  Untuk  mendapatkan  data  kesiapan  belajar  mandiri  mahasiswa  UT, instrumen dikirimkan melalui pos kepada mahasiswa sampel yang telah terpilih.

 

Keterangan:

�Orang  dengan  skor  tinggi  biasanya  dapat  menentukan  sendiri  kebutuhan  belajarnya dan  mampu  bertanggung  jawab  untuk  merencanakan  dan  melaksanakan  belajarnya. Mereka dapat menentukan berbagai pendekatan dan sumber untuk mencukupi kebutuhan belajarnya dan dapat mengevaluasi kemajuan belajarnya sendiri.

(5)

tetapi  mereka  kurang  senang  bila  harus  bertanggung  jawab  secara  penuh  dalam menentukan  kebutuhan,  merencanakan,  melaksanakan,  dan  mengevaluasi  belajarnya sendiri.

� Orang dengan skor di bawah rata­rata mungkin sukar mengenali kebutuhan belajarnya sendiri.  Mereka  lebih  menyukai  suasana  belajar  di  kelas  dimana  guru  menentukan  apa yang  harus  dipelajari,  kapan  dan  bagaimana  harus  mempelajarinya.  Mereka  umumnya tidak terbiasa belajar secara mandiri.

 

Data  dianalisis  dengan  program  SPSS  Windows  Release  7.5.1  tahun  1996.  Kesiapan  belajar mandiri diterjemahkan  dengan  menggunakan  interpretasi  skor  SDLRS  yang  diterapkan  oleh Guglielmino dan Guglielmino (1991) seperti yang disajikan dalam Tabel 1. Kesiapan belajar mandiri calon mahasiswa dan mahasiswa diketahui dari nilai total yang diperoleh sebagai hasil pengisian instrumen SDLRS.

 

HASIL PENELITIAN

 

Tingkat Kesiapan Belajar Mandiri Calon Mahasiswa dan Mahasiswa

Baik  siswa  SMU  (sebagai  calon  potensial  mahasiswa  PJJ)  maupun  mahasiswa  UT  (sebagai mahasiswa  PJJ)  semuanya  mempunyai  skor  total  SDLRS  rata­rata,  yang  berarti  bahwa responden  penelitian  ini  telah  mempunyai  kesiapan  belajar  mandiri  rata­rata.  Skor  paling rendah diperoleh oleh siswa SMU (207.74).

 

Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara skor SDLRS yang diperoleh antara kelompok siswa (F = 57.599; Sig. = .000). Berdasarkan tabulasi silang diketahui bahwa skor SDLRS siswa SMU secara nyata lebih rendah daripada skor mahasiswa UT, baik dengan mahasiswa baru maupun mahasiswa lama. Tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata antara skor SDLRS mahasiswa baru dan mahasiswa lama.

(6)

Tingkat Kesiapan Belajar Mandiri Siswa SMU

Dari tiga SMU yang siswanya diteliti, satu SMU terletak di daerah kotamadya dan dua SMU terletak di daerah kabupaten, hasil analisis tidak menunjukkan perbedaan nyata  skor  SDLRS rata­rata yang diperoleh siswa dari ketiga SMU sampel. Hal ini menunjukkan bahwa siswa di ketiga SMU tersebut mempunyai tingkat kesiapan belajar mandiri yang sama. Ditinjau dari skor rata­rata  SDLRS  yang  diperoleh,  siswa  SMU  sudah  mempunyai  potensi  atau  mempunyai kesiapan untuk belajar secara mandiri. Namun, meskipun tidak berbeda nyata secara statistik, siswa  SMU  di  Depok  cenderung  mempunyai  kesiapan  belajar  mandiri  yang  lebih  tinggi dibandingkan siswa di Bogor.

 

Pada Tabel 5 dapat dilihat skor SDLRS untuk siswa SMU berdasarkan jurusan (IPA dan IPS).

(7)

 

 

Siswa perempuan secara statistik mempunyai skor SDLRS rata­rata yang lebih tinggi dari siswa laki­laki (F = 7.890; Sig. = .005). Keadaan ini menunjukkan bahwa siswa perempuan lebih siap untuk  belajar  secara  mandiri  daripada  siswa  laki­laki.  Hal  ini  mungkin  ada  hubungannya dengan  pandangan stereotipe  yang  menganggap  anak  perempuan  memang  �diharapkan� lebih  cepat  dewasa  dibandingkan  dengan  anak  laki­laki  (Penulis  belum  dapat  menemukan literature  yang  menyatakan  bahwa  anak  perempuan  lebih  cepat  dewasa  daripada  anak  laki­ laki).  Pendidikan  di  lingkungan  keluarga  umumnya  mendukung  pandangan stereotipe  ini, dimana  anak  perempuan  diserahi  tanggung  jawab  yang  lebih  besar  dalam  membantu orangtuanya  (baca:  ibu)  dalam  mengerjakan  tugas  rumah  tangga,  termasuk  membersihkan rumah,  memasak  dan  menjaga  adik.  Karena  tugas­tugas  domestik  tersebut,  anak  perempuan dapat cepat menjadi dewasa sehingga mereka pun lebih cepat mandiri daripada anak laki­laki, termasuk  lebih  mandiri  dalam  belajar.  Dalam  hal  ini,  anak  perempuan  mungkin  lebih mempunyai kesadaran dan ketekunan belajar dibandingkan dengan anak laki­laki.

Tingkat Kesiapan Belajar Mandiri Mahasiswa

Baik mahasiswa baru maupun mahasiswa lama semuanya mempunyai skor total SDLRS rata­ rata (Lihat Tabel 1). Skor mahasiswa UT yang menjadi responden penelitian ini lebih tinggi dari skor rata­rata yang dilaporkan oleh Darmayanti (1993), yaitu sebesar 215.5 dan lebih tinggi dari skor rata­rata tingkat kesiapan belajar mandiri mahasiswa dewasa yang mengisi instrumen SDLRS  di  Georgia,  Virginia  dan  Canada  yang  dilaporkan  Guglielmino  (1978,  dalam Darmayanti,  1993),  yaitu  sebesar  214.  Dengan  demikian,  dapat  dikatakan  bahwa  kesiapan belajar  mandiri  mahasiswa  UT  hampir  sama  dengan  kesiapan  belajar  mandiri  mahasiswa  di negara  Barat.  Namun,  harus  diingat  bahwa  mahasiswa  sampel  dalam  penelitian  Guglielmino bukan mahasiswa PJJ, melainkan mahasiswa tatap muka.

(8)

kesiapan  belajar  antara  mahasiswa  yang  sudah  lama  belajar  dalam  sistem  PJJ  maupun mahasiswa yang relatif baru belajar dalam sistem PJJ.

Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa mahasiswa UT umumnya mempunyai kesiapan belajar mandiri  rata­rata.  Padahal  sistem  PJJ  menuntut  mahasiswa  untuk  mengambil  beberapa peran pengajar agar dapat berprestasi dalam belajar. Peran tersebut antara lain adalah peran pengajar dalam mengingatkan waktu belajar, waktu untuk mengerjakan tugas dan latihan, waktu ujian, dan  sebagainya  (Darmayanti,  2003,  komunikasi  pribadi).  Dengan  demikian,  mahasiswa  PJJ seharusnya memiliki kesiapan belajar mandiri yang lebih tinggi dari mahasiswa yang belajar dalam sistem pendidikan tatap muka. Hal ini berarti, kesiapan belajar mandiri rata­rata kurang ideal bagi mahasiswa UT, yang seharusnya memiliki kemampuan belajar mandiri di atas rata­ rata.

Keadaan  ini  (kesiapan  belajar  mandiri  mahasiswa  UT  yang  tidak  di  atas  rata­rata)  mungkin yang menyebabkan rendahnya keberhasilan studi mahasiswa. Darmayanti (1993) melaporkan bahwa hanya sedikit mahasiswa UT yang memiliki IPK di atas 2.5 dan hanya 25% mahasiswa yang  memiliki  kesiapan  belajar  mandiri  di  atas  rata­rata.  Hasil  studi  ini  juga  menunjukkan sedikitnya  jumlah  mahasiswa  UT  yang  memiliki  kesiapan  belajar  mandiri  di  atas  rata­rata (lebih dari 226), yaitu kurang dari 10%.

Mahasiswa  UT  mempunyai  latar  belakang  yang  sangat  heterogen,  terutama  dari  segi  latar belakang  pendidikan  dan  usia.  Oleh  karena  itu,  akan  menarik  untuk  diketahui  apakah mahasiswa  yang  mempunyai  latar  belakang  pendidikan  yang  berbeda  atau  yang  usianya berbeda mempunyai skor SDLRS yang berbeda pula.

(9)

tinggi  dibandingkan  mahasiswa  tingkat  sarjana.  Adenuga  menemukan  bahwa  terdapat perbedaan skor SDLRS yang nyata antara mahasiswa tingkat master (n = 102, skor rata­rata = 226.76)  dan  mahasiswa  tingkat  doktoral  (n  =  71,  skor  rata­rata  =  236.21)  di  Iowa  State University.

Dalam  kasus  UT,  mahasiswa  lama  (sudah  menempuh  pendidikan  selama  lebih  dari  empat semester di UT) yang sudah mempunyai pendidikan S1 telah mempunyai pengalaman belajar di atas tingkat sarjana meskipun belum dapat dikatakan mempunyai kemampuan setingkat pasca sarjana.  Dengan  demikian,  mereka  memang  diharapkan  memiliki  tingkat  kesiapan  belajar mandiri yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Secara umum, ada kecenderungan bahwa semakin dewasa mahasiswa semakin tinggi pula skor SDLRSnya  (Tabel  9).  Mahasiswa  yang  berusia  antara  16­25  tahun  mempunyai  skor  yang paling rendah (220.78). Sedangkan mahasiswa yang berusia 41­55 tahun mempunyai skor di atas rata­rata (232.43), yang berarti kesiapan belajar mandirinya di atas rata­rata.

(10)

Mahasiswa  lama  yang  berjenis  kelamin  perempuan  mempunyai  skor  SDLRS  rata­rata  yang lebih  tinggi  daripada  mahasiswa  laki­laki  (Tabel  11).  Temuan  ini  mendukung  temuan Darmayanti  (1993),  yang  menunjukkan  bahwa  mahasiswa  perempuan  lebih  tinggi  skor SDLRSnya  dibanding  mahasiswa  laki­laki.  Sebaliknya,  mahasiswa  baru  perempuan mempunyai  skor  yang  lebih  rendah  dibandingkan  skor  mahasiswa  laki­laki.  Meskipun demikian,  Tabel  12  tidak  menunjukkan  adanya  perbedaan  yang  nyata  antara  skor  SDLRS mahasiswa laki­laki dan mahasiswa perempuan. (df = 1, F = .146, Sig. = .703)

 

(11)

Tabel  12  menunjukkan  bahwa  ada  mahasiswa  lama  (telah  4  semester  kuliah  di  UT)  baru mengambil  <12  sks,  tetapi  ada  mahasiswa  yang  baru  menempuh  2  semester  di  UT  telah menempuh >59 sks. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang telah mengambil kredit lebih banyak tidak berarti telah lebih terbiasa dengan sistem belajar mandiri.

Tampaknya  lama  studi  di  UT  tidak  mengakibatkan  terjadi  peningkatan  skor  SDLRS mahasiswa. Dengan kata lain, skor SDLRS yang diperoleh oleh mahasiswa yang sudah lebih lama belajar di UT tidak lebih baik dari skor SDLRS mahasiswa baru. Bahkan, skor rata­rata SDLRS  yang  diperoleh  mahasiswa  baru  yang  mengambil  jumlah  sks  yang  sama  justru  lebih baik  dari  mahasiswa  lama  UT.  Sebagai  contoh,  skor  SDLRS  mahasiswa  baru  yang  telah menempuh 36­59 sks menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesiapan belajar mandiri di atas rata­rata.

(12)

mahasiswa yang mempunyai IPK tinggi memang mempunyai kemampuan belajar yang lebih tinggi dari pada mahasiswa yang lain, meskipun mereka mempunyai tingkat kesiapan belajar mandiri yang sama.

KESIMPULAN DAN SARAN

Siswa SMU menunjukkan tingkat kesiapan belajar mandiri rata­rata meskipun secara statistik lebih  rendah  dari  kesiapan  belajar  mandiri  mahasiswa  UT.  Demikian  juga,  hasil  penelitian menunjukkan  bahwa  mahasiswa  UT  (baik  lama  maupun  baru)  telah  mempunyai  tingkat kesiapan belajar mandiri rata­rata. Artinya, mahasiswa UT umumnya mempunyai potensi untuk belajar  secara  mandiri  tetapi  mereka  kurang  senang  bertanggung  jawab  secara  penuh  untuk menentukan kebutuhan belajarnya, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi belajarnya sendiri.  Keadaan  ini  kurang  ideal  untuk  UT  karena  sistem  PJJ  yang  dianut  UT  menuntut mahasiswa  untuk  memiliki  kesiapan  belajar  mandiri  yang  lebih  tinggi  dari  mahasiswa  pada sistem pendidikan tatap muka.

Meskipun  pada  umumnya  lulusan  SLTA  dapat  dikatakan  telah  mempunyai  kesiapan  belajar mandiri  yang  cukup,  pada  saat  telah  menjadi  mahasiswa  mereka  harus  bertanggung  jawab terhadap  belajarnya  sendiri.  Artinya,  mahasiswa  (terutama  mahasiswa  PJJ)  harus  bersedia menentukan  kebutuhan  belajarnya,  merencanakan  belajar  (waktu  dan  tempat),  melaksanakan belajar  (waktu,  tempat,  intensitas  belajar),  mengevaluasi  belajar  (mengerjakan  latihan,  tes formatif,  tugas  mandiri,  tugas  tutorial,  dan  mengukur  hasil  belajarnya),  serta  berusaha memperoleh bantuan belajar yang dibutuhkannya

Keberhasilan  belajar  seorang  mahasiswa  ditentukan  oleh  banyak  faktor  seperti  kemampuan belajar, motivasi belajar, perencanaan belajar, keteraturan belajar, suasana belajar, dan sumber belajar.  Seperti  yang  dikemukakan  oleh  Guglielmino  &  Guglielmino  (1991),  bila  mahasiswa tidak  menaati  perencanaan  belajar  yang  sudah  dibuatnya  sendiri  atau  sumber  belajar  yang dibutuhkannya  tidak  diperoleh,  hal  ini  dapat  mengurangi  keberhasilan  belajarnya.  Dengan demikian, meskipun mahasiswa telah mempunyai tingkat kesiapan belajar mandiri yang cukup, bila  potensi  tersebut  tidak  dipergunakan  dengan  optimal  maka  keberhasilan  belajar  yang dicapai pun juga tidak akan optimal.

(13)

mandiri.  

DAFTAR PUSTAKA

 

Brockett, R.G. & Hiemstra, R. (1991). Self­direction in adult learning: Perspectives on theory, research, and practice. London and New York: Routledge.

Darmayanti, T. (1993). Readiness for self­directed learning and achievement of the students of Universitas Terbuka. Thesis master yang tidak dipublikasikan, University of Victoria, BC. Guglielmino,  L.M.  &  Guglielmino,  P.J.  (1991).  Expanding  your  readiness  for  self  directed learning. Don Mills, Ontario: Organization Design and Development Inc.

Hiemstra,  R.  (1994).  Self­directed  learning.  In.  T.  Husen  &  T.N.  Postlethwaite  (Eds.). The

International Encyclopedia of Education (2nd). Oxford: Pergamon Press.

Kasworm,  C.  (1992).  The  development  of  adult  learner  autonomy  and  self­directedness  in distance education. In Conference Abstracts: Distance education for the twenty­first century, Konferensi the International Council for Distance Education, Nonthhaburi­Thailand.

Knowles,  M.S.  (1975). Self­directed  learning:  A  guide  for  learners  and  teachers.  Chicago: Follett Publishing Company.

Lowry, C.M. (1989). Supporting and facilitating self­directed learning. ERIC Digest No. 90. Moore, M. (1986). Self­directed learning and distance education. CADE: Journal of Distance Education/Revue  de  l�enseignement  a  distance,  11.  [URL:  http://www.icaap.org/  iuicode  ? 151.1.1.3]. Diakses tanggal 28 Juni 2001.

Paul, R. (1990). Towards a new measure of success: Developing independent learners. Open Learning, 5(1), 31­38.

Gambar

Gambar 1. Proses Belajar Mandiri menurut Guglielmino & Guglielmino (1991)
Tabel  10  menunjukkan  adanya  perbedaan  skor  SDLRS  yang  nyata  diantara  kelompok  usiamahasiswa (df = 3, F = 3.402, Sig. = .018). Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa secarakeseluruhan mahasiswa yang berusia lebih dari 55 tahun mempunyai tingkat kesiapan belajarmandiri (ditunjukkan dengan skor SDLRS rata­rata) yang lebih tinggi dari skor yang diperolehkelompok mahasiswa yang lain. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Curry (dalam Brockett &Hiemstra, 1991), yang mengungkapkan bahwa kelompok siswa yang lebih dewasa mempunyaiskor  SDLRS  yang  lebih  tinggi.  Long  &  Agyekum  (dalam  Brockett  &  Hiemstra,  1991)  danMcCarthy  (dalam  Brockett  &  Hiemstra,  1991)  juga  menyatakan  bahwa  usia  secara  nyataberhubungan dengan bertambahnya skor SDLRS.
Tabel  12  menunjukkan  bahwa  ada  mahasiswa  lama  (telah  4  semester  kuliah  di  UT)  baru

Referensi

Dokumen terkait

Komunikasi Politik menjadi sasaran dalam penelitian ini, hal tersebut sebagaimana tujuan dari penelitian penulis yang mengulas tentang bagaimana komunikasi politik

Setelah memperhatikan pendapat-pendapat di atas dengan dalil-dalil yang mereka kemukakan, penulis cenderung menguatkan pendapat golongan pertama yang tidak membolehkan pengguguran

74 Optimalisasi Variasi Kadar Air Pada Campuran Mortar Terhadap Kuat Tekan Dinding Pasangan Bata Merah. Skripsi 2007 T Sipil, FT,

mempunyai tetapan dielektrik yang lebih besar dari pada kapasitor elektrolit aluminium. Oleh sebab itu untuk nilai kapasitansi yang sama, kapasitor tantalum

overfishing dan E&lt;0.5 under fishing dan E=0.5 MSY, hasil perbandingan didapatkan nilai E = 0.62 dari hasil ini menunjukkan bahwa laju ekploitasi ikan gabus di rawa

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan bahwa dapat ditarik kesimpulan prosedur pelaksanaan uji laik jalan angkutan umum dan angkutan barang harus sesuai dengan

Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak-anak muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya

RANCANG BANGUN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS ADVENTURE GAME DENGAN MODEL BRAIN BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN MAHASISWA.. Universitas Pendidikan Indonesia |