• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Depresi Ekonomi hingga Dekolonisasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dari Depresi Ekonomi hingga Dekolonisasi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Dari Depresi Ekonomi hingga Dekolonisasi:

Pengusaha Tionghoa dan Industri Batik Cirebon, tahun 1930an-1950an1

Oleh:

Abdul Wahid2

PENDAHULUAN

Periode 1930an hingga 1950an merupakan periode krusial dalam sejarah Indonesia. Dalam tiga dekade tersebut, masyarakat Indonesia mengalami berbagai peristiwa yang memiliki dampak penting dan mendasar bagi periode sejarah berikutnya. Diawali dengan meledaknya resesi ekonomi yang kemudian diikuti oleh bangkrut dan runtuhnya negara Hindia Belanda, hadirnya kekuatan militer Jepang, proklamasi kemerdekaan dan akhirnya sebuah revolusi sosial menutup periode-periode tersebut. Bagi masyarakat Tionghoa Indonesia, periode tersebut merupakan masa-masa sulit yang suram, saat mana mereka mengalami banyak tekanan, ancaman dan aksi kekerasan, baik dari penguasa maupun dari kelompok masyarakat lainnya. Selama periode tersebut, posisi sosial politik orang Tionghoa yang mengambang menjadi nyata terlihat.

Adalah runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda di tangan Jepang pada tahun 1942 dan kegagalan mereka untuk membangun kembali kekuasaanya sesudah tahun 1945 menjadi titik balik yang menentukan dalam sejarah Indonesia. Peristiwa tersebut telah menghantarkan Indonesia ke dalam periode kekacauan sosial dan ekonomi yang hebat dan panjang, yang dalam historiografi Indonesia disebut sebagai periode revolusi. Pada waktu itu, walaupun Indonesia secara politik berhasil memproklamasikan kemerdekaannya dan memperoleh pengakuan dunia internasional, namun secara ekonomi belum mampu melepaskan diri seutuhnya dari kungkungan ekonomi kolonial. Oleh karena itu, dengan dilandasi semangat nasionalisme yang kuat, para pemimpin nasional Indonesia segera mengeluarkan kebijakan untuk segera keluar dari kungkungan tersebut dan berusaha membangun struktur perekonomian baru.

Pada tingkat negara, untuk memantapkan fondasi bangunan ekonomi nasional, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mengambil alih berbagai instansi, fasilitas infrastruktur publik, dan perusahaan besar dan strategis milik Pemerintah Hindia Belanda menjadi milik negara. Selain itu, untuk mendorong lahirnya pengusaha-pengusaha pribumi pemerintah Indonesia memberikan hak-hak istimewa dan proteksi kepada mereka untuk berkompetisi dengan pengusaha dan modal asing dalam bisnis dan perdagangan. Berbagai kebijakan tersebut, kemudian dikenal secara popular dengan sebutan

Indonesianisasi.3 Sementara itu, pada tingkat masyarakat proses nasionalisasi aset ekonomi

lokal, atau sering disebut pribumisasi, lebih banyak dilakukan terhadap usaha, badan usaha,

atau hak milik kelompok sosial non-pribumi terutama Tionghoa, meskipun dalam beberapa kasus juga terhadap sesama kelompok pribumi, yang seringkali diwarnai aksi kekerasan terhadap mereka dengan didasari oleh semangat dekolonisasi dan tidak jarang sentimen

primordial.4

1 Makalah untuk workshop Dekolonisasi dan Posisi Etnis Tiongho Indonesia 1930an – 1960an,

NIOD-Univ. Negeri Padang, Padang, 19-21 Juni 2006.

2 Peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM dan staf Jurusan Sejarah FIB UGM. 3 John Overal Sutter, Indonesianisasi;A Historical Surveys of the Role of Politics in the Institution

of a Changing Economy from the Second World War to the Eve of the General Election (1940-1955), (Ph.D Thesis Cornel University, 1959)

4 Willliam H. Frederick, “Shadow of an unseen hand: some pattern of violence in the

(2)

Dari perspektif sejarah ekonomi Indonesia, periode antara tahun 1940an-1960an itu memang selalu digambarkan sebagai periode yang penuh dengan kekacauan di bidang sosial dan politik, serta kemunduran di bidang ekonomi secara drastis. Mackie, menyebut periode tersebut sebagai periode kemandekan atau kemerosotan ekonomi nasional yang juga dapat ditafsirkan sebagai penghancur dan pemisah utama dengan perkembangan

ekonomi sebelumnya.5 Kondisi tersebut ditandai dengan runtuhnya ekonomi kolonial yang

akarnya berawal sejak tahun 1930an ketika Depresi Ekonomi menghantam Indonesia, kemudian dilanjukan dengan pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, revolusi dan perang sipil. Berbagai peristiwa tersebut, telah menimbulkan kehancuran struktural yang berdampak langsung pada kinerja ekonomi nasional. Menurut Mackie, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada periode tersebut telah menimbulkan trauma yang sangat mendalam dan akibat-akibat sesudahnya terus dirasakan selama 20 tahun pertama kemerdekaan, baik di

tingkat negara maupun masyarakat.6

Dalam keseluruhan proses historis tersebut, masyarakat Tionghoa di berbagai wilayah Nusantara harus mengalami berbagai penderitaan yang luar biasa berat. Selain karena mundurnya aktivitas ekonomi di berbagai sektor, banyak di antara mereka yang menjadi korban kekerasan politik, peperangan dan konflik sosial sejak kedatangan Jepang sampai dengan meletusnya perang kemerdekaan dan revolusi. Dalam kajiannya tentang kekerasan pada masa revolusi, Frederik menemukan bahwa kekerasan terhadap masyarakat minoritas dan utamanya masyarakat Tionghoa merupakan fenomena yang cukup signifikan

dan banyak ditemukan di beberapa daerah di Jawa.7 Kondisi tersebut juga terjadi di

Cirebon, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa pada periode 1940an dan 1950an kekacauan dan peperangan telah menghancurkan sektor ekonomi non-farm termasuk ekonomi batik yang sebelumnya berkembang cukup pesat di mana pengusaha Tionghoa

menjadi bagian penting di dalamnya.8

Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana kondisi kehidupan masyarakat Tionghoa di Cirebon, terutama mereka yang terlibat dalam aktivitas produksi batik, pada masa transisi sosial politik tahun 1940an hingga tahun 19950an. Pembahasan akan difokuskan pada bagaimana transisi kekuasaan politik itu mempengaruhi kehidupan masyarakat Tionghoa, dan bagaimana situasi waktu itu yang diwarnai oleh peperangan, kekerasan dan agresivitas massa mengancam dan menimbulkan penderitaan bagi kehidupan mereka. Uraian akan diawali dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat Tionghoa di Cirebon, kemudian dilanjutkan dengan diskusi tentang peran mereka dalam aktivitas ekonomi batik di Cirebon dan bagaimana suasana revolusi mempengaruhi kehidupan mereka. Beberapa catatan simpul selanjutnya akan dikemukakan untuk menutup seluruh uraian makalah ini.

5 J.A.C. Mackie, “Periode 1941-1965 sebagai Selingan dalam Pembentukan Ekonomi

Nasional: Bagaimana Sebaiknya Kita Menafsirkan?”, dalam J. Thomas Lindblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM – Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 394-415.

6 J.A.C. Mackie, “Periode 1941-1965 sebagai Selingan…, hlm. 396. 7 Willliam H. Frederick, “Shadow of an unseen hand…158-66.

8 Tommy Svensson, “Contraction and Expansions: Agrarian Change in Java since 1830”,

(3)

Dalam Bayang-bayang Revolusi dan Pribumisasi: Industri Batik dan Pengusaha Tionghoa Cirebon, tahun 40an-50an

Kekalahan tentara Jepang dan kemudian diikuti dengan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, telah menimbulkan antusiasme dan kegembiraan yang besar akan segera hilangnya kesulitan hidup di bawah kontrol tentara Jepang yang kejam. Selain itu, peristiwa tersebut juga menimbulkan kebingungan sehingga disikapi secara berbeda oleh berbagai kelompok masyarakat di berbagai wilayah yang berbeda di Indonesia. Kehadirannya yang mendadak bagi masyarakat Cirebon selain menimbulkan kegembiraan juga menimbulkan kebingungan, terutama di kalangan birokrasi desa. Hal ini dapat disaksikan misalnya dari reaksi yang mereka tunjukan, sebagian mereka yang menyambut gembira segera mengibarkan bendera merah putih, namun sebagian lainnya tetap mengibarkan bendera Jepang, bahkan ada pula yang tidak percaya bahwa kemerdekaan benar-benar telah di proklamasikan. Nampaknya masalah komunikasi lebih menjadi penyebab terhambatnya penyebaran informasi tentang proklamasi kemerdekaan ini secara merata di tengah masyarakat. Terlebih dua hari sebelumnya, 15 Agustus 1945 terjadi kerusuhan di Desa Pesindangan yang disulut oleh ditangkapnya sekelompok pemuda aktivis Cirebon oleh tentara Jepang karena tercium tengah menyiapkan upacara

penyambutan proklamasi kemerdekaan di Cirebon.9 Dalam kerusuhan itu, meski tidak

menimbulkan korban jiwa tapi sudah cukup untuk meningkatkan ketegangan dalam kehidupan masyarakat pedesaan.

Namun hal lain yang tak kalah penting adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah proklamasi kemerdekaan di berbagai daerah, di mana rakyat untuk pertama kalinya secara total mengalami politisasi dengan kadar yang tinggi dalam suasana

radikalisasi yang cenderung mengarah pada anarki. Menurut Kahin,10 kebobrokan ekonomi

dan penderitaan yang luas dalam bulan-bulan terakhir pendudukan Jepang, telah mendorong banyak kelompok masyarakat, terutama di pedalaman Jawa mendukung suatu revolusi yang tidak hanya ditujukan untuk menentang kembalinya Belanda, melainkan juga untuk menentang seluruh tatanan sosial Indonesia yang dipakai Belanda untuk memerintah dahulu. Di kota maupun di pedalaman muncul tuntutan agar semua bekas kaki tangan Belanda atau Jepang diganti. Dan sasarannya bukan hanya para pejabat Indonesia dan para pemimpin tradisional yang pernah mengabdi kepada penguasa kolonial, melainkan juga orang-orang Tionghoa dan Indo, yang secara ekonomis sering dianggap menikmati keuntungan dari penguasa kolonial. Hal itu diperkuat oleh adanya kecurigaan bahwa mereka tetap setia kepada Belanda dan sanggup bekerja demi kembalinya kekuasaan kolonial Belanda.

Kondisi tersebut dalm skala kecil dan lokal juga terjadi di desa Trusmi. Segera setelah proklamasi kemerdekaan, sekelompok masyarakat desa Trusmi menuntut agar

Kuwu (kepala desa) dan para pejabat pembantunya segera diganti. Kuwu yang menjabat

saat itu adalah Ki Samita yang mulai menjabat sebagai kuwu sejak tahun 1928. Ia merupakan figur yang disegani karena selain berasal dari keluarga besar keturunan Ki Buyut Trusmi sehingga secara adat ia dinilai memiliki posisi yang sangat kuat, tetapi juga

9 Sebuah laporan mengungkapkan bahwa pada waktu itu, pemuda Cirebon terkonsentrasi

pada dua kelompok, yaitu kelompok pimpinan Dr. Sudarsono yang berakar pada organisasi Koperasi Rakjat Indonesia dan kelompok pimpinan Sastrosuwirjo yang didukung organisasi Barisan Pelopor. Kedua kelompok pemuda itu kemudian bekerjasama mempersiapkan rapat umum menyambut proklamasi kemerdekaan di Cirebon. Anonimous, ‘Simpang Siur dalam Revolusi’, dalam Buku Peringatan 50 tahun Kota Besar Tjirebon, 1906-1956 (tanpa penerbit dan tahun terbitan), hlm. 99-100.

10 Audrey R. Kahin, ‘Pendahuluan’, dalam Audrey R. Kahin (ed), Pergolakan Daerah Pada

(4)

karena kepemimpinannya yang dianggap berhasil mengayomi masyarakat.11 Kelompok masyarakat yang menuntut turun Ki Samita dipimpin oleh Majana, seorang yang tergolong kaya di Trusmi. Tidak jelas apa yang melatarbelakangi Majana mengajukan tuntutan itu, namun menurut informasi yang diperoleh hal itu didorong oleh kepentingan politik pribadinya, karena ia berambisi menjadi kuwu. Alasan utama yang diajukannya adalah bahwa kuwu Masita dan perangkatnya merupakan pejabat lama yang turut menikmati sistem pemerintahan kolonial dan menjadi bagian dari kelompok yang mendapatkan

keuntungan darinya sehingga harus disingkirkan.12 Akan tetapi upaya Majana akhirnya

mengalami kegagalan karena tidak didukung oleh masyarakat luas dan pengurus adat Trusmi.

Peristiwa itu cukup menggemparkan dan mendorong meningkatnya ketegangan politik di desa Trusmi. Beberapa bulan kemudian ketegangan politik tersebut semakin

meningkat ketika kuwu Samita memberhentikan Kyai Kumir, sep (juru kunci) makam

kramat Trusmi secara tiba-tiba. Hal ini tentu saja merupakan sesuatu yang di luar kebiasaan,

mengingat posisi sep yang tinggi dalam adat dan tidak bisa diintervensi oleh pihak

manapun termasuk kuwu. Namun mengingat posisi kuwu Samita yang kuat secara adat dan kondisi sosial politik waktu itu, maka hal itu bisa terjadi dengan mudah. Menurut informasi yang diperoleh dari beberapa sumber lisan, sebab utama pemberhentian Kyai

Kumir sebagai sep adalah perselisihannya dengan keluarga kuwu Samita, meskipun tidak

jelas apa substansi masalahnya. Sebagai gantinya kuwu Samita mengangkat Kyai Mahmud,

seorang mursyid tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah, bapak dari Kyai Ahmad Abdurrohim,

sep kramat Trusmi sekarang. Dalam peristiwa itu, yang menarik adalah bahwa Kyai Kumir

sebenarnya oleh penduduk Trusmi dianggap sebagai sep ideal karena ia masih keturunan

keluarga Buyut Trusmi, dia bukanlah penganut tarekat karenanya selama dia menjabat

sebagai sep, posisi dan hubungan kelompok penganut tarekat dengan adat agak sedikit

berjarak. Dan dengan diangkatnya Kyai Mahmud sebagai sep kramat Trusmi maka tarekat

bisa berdampingan kembali dengan adat secara lebih dekat.13

Suasana semakin tegang dan tidak menentu, penduduk Trusmi semakin dicekam

ketakutan ketika muncul gerombolanKarimuda di desa mereka.14 Di mata penduduk Trusmi

kelompok ini pada awalnya dihormati dan tidaklah menakutkan karena mereka dianggap

11 Pendapat ini terutama berasal dari kalangan pendukung dan kerabatnya. Menurut Bpk

Badawi, mantan tangan kanannya di desa, Ki Samita menjabat sebagai kuwu Trusmi selama 33 tahun sampai dengan tahun 1961, ketika ia meninggal dunia. Dia bisa menjabat sebagai kuwu dalam waktu yang demikian lama, selain karena posisinya dalam adat yang kuat, juga dikarenakan pada waktu itu belum ada aturan yang membatasi jabatan seorang kepala desa. Wawancara dengan Bpk Badawi, 13 Nopember 2003.

12 Fenomena seperti ini banyak terjadi di berbagai daerah di Jawa, alasan yang digunakan

pun tidak jauh berbeda. Contoh paling ekstrem adalah apa yang terjadi di Jawa Tengah yang dikenal sebagai ‘peristiwa tiga daerah’. Lihat dalam Anton Lucas, ‘Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Sosial atau Pemberontakan?’ dalam Audrey R. Kahin (ed), Pergolakan Daerah…, 1989.

13 Disarikan dari wawancara dengan Ki Lebe Jali dan Ki Turjani seorang anggota juru kunci

kramat Trusmi tanggal 13 dan 15 November 2003. Keterangan menarik diberikan oleh Ki Lebe Jali bahwa menurutnya aliran tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah sebenarnya tidak terlalu mengakar di kalangan masyarakat Trusmi bahkan dewasa ini tarekat pimpinan Kyai Ahmad Abdurrahim ini hampir tidak lagi memiliki pengikut aktif, mereka yang bertahan hanyalah keluarga Kyai Ahmad, kebanyakan pengikut tarekat ini malah berasal dari luar Trusmi. Wawancara tgl 13 November 2003.

14 Menurut Ong Hok Ham, kelompok-kelompok seperti ini banyak bermunculan di banyak

(5)

sebagai penjaga keamanan dan pejuang melawan Belanda. Selain itu, karena beberapa orang warga setempat bergabung di dalamnya yang diantaranya adalah Majani, rival kuwu

Samita. Gerombolan Karimuda ini dipimpin oleh seorang pria bernama Dali dan sebagian

besar anggotanya berasal dari desa Megu, Sumber. Namun demikian, lama kelamaan kelompok ini kemudian sering meminta bayaran dalam bentuk apa saja, baik uang maupun harta benda sebagai jaminan keamanan dan dengan alasan demi perjuangan. Kelompok pertama yang dimintai adalah orang-orang Tionghoa di Trusmi dan pengusaha-pengusaha batik, tapi selanjutnya kepada semua penduduk Trusmi. Seiring situasi keamanan yang semakin memburuk, maka tindakan gerombolan inipun semakin meningkat. Mereka kini melakukan perampasan harta penduduk dan bahkan tak segan melakukan pembunuhan. Pada akhir tahun 1945, misalnya, gerombolan ini merampok, membunuh dan sekaligus

membakar rumah seorang Tionghoa dan keluarganya di Trusmi wetan.15

Pada saat yang sama di tingkat nasional politik diplomasi terus dilakukan oleh pemerintah RI dan pada 10 November 1946 di Linggarjati, selatan Cirebon diselenggarakan perundingan Linggarjati antara pemerintah RI dengan Belanda, yang menghasilkan kesepakatan Linggarjati yang ditandatangi kedua delegasi pada 15 November 1946. Kesepakatan itu, berisikan tiga butir kesepakatan yang merugikan Indonesia, yaitu; (1) Belanda mengakui wilayah kekuasaan RI di Sumatra, Jawa dan Madura dan mereka harus meninggalkan daerah ini paling lambat tanggal 1 Januari 1949, (2) RI dan Belanda akan bekerjasama membentuk RIS, (3) RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Wilhelmina sebagai ketuanya. Sebagai tindak lanjut dari perundingan ini, maka di wilayah Jawa Barat didirikan negara Pasundan dan Cirebon menjadi bagian di dalamnya. Namun Belanda kemudian melanggar kesepakatan itu, karena pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan aksi militer ke wilayah RI tidak terkecuali kota Cirebon. Serangan Belanda dilancarkan dari udara, laut dan darat dan segera mendapatkan perlawanan dari TNI, namun karena kekuatan yang tidak berimbang, tentara Belanda berhasil menduduki kota Cirebon. Sebagian anggota TNI mundur ke lereng Gunung Ciremai wilayah Kuningan dan sebagian lagi tetap bersembunyi di kota dan sekitarnya. Sejak saat itulah TNI melancarkan perang gerilya di wilayah Kota Cirebon dan sekitarnya, yang berlangsung

hingga tahun 1949 ketika Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia.16

Sementara itu, situasi tidak menentu dan keamanan yang buruk terus mewarnai Trusmi selama masa perang gerilya, akibatnya banyak diantara penduduk desa yang pergi mengungsi ke tempat saudaranya di daerah lain. Pencurian dan kriminalitas merajalela dan

semua sektor kehidupan, terutama bidang perekonomian hampir tidak bisa berjalan.17

Demikian pula halnya dengan para pengusaha batik mereka tidak bisa lagi menjalankan

usahanya, karena kesulitan mendapatkan bahan-bahan produksi.18 Semua ketegangan itu

15 Wawancara dengan Pak Manan, bekas Heiho, yang pada saat itu diangkat oleh desa

sebagai petugas keamanan desa. Menurutnya, pengurus desa sendiri waktu itu relatif tidak berdaya karena tidak adanya kekuatan yang membantu mereka untuk menghadapi situasi seperti itu. Nyawa mereka sendiri terancam. Beberapa kali tentara TNI dan Laskar, memang datang mengunjungi Trusmi, namun kehadiran mereka tidak berlangsung lama.

16 Marhayono, Semuanya untuk Cirebon: Kisah heroik pasukan Kancil Merah dan Palagan

Mandala (Jakarta: PT Grasindo, 2003), hlm.6-16; Soesilo, ‘Perdjoangan masa Pendudukan’, dalam Buku Peringatan 50 tahun Kota Besar Tjirebon, 1906-1956 (tanpa penerbit dan tahun terbitan), hlm. 64-66.

17 Sebuah sumber mengatakan bahwa tingkat kejahatan dan kriminalitas di daerah

karesidenan Cirebon pada tahun-tahun itu jauh lebih banyak daripada daerah kearesidenan Priangan dan lainnya di Jawa Barat. Pada tahun 1952, tercatat kerugian sebesar Rp. 5.707.646 akibat kejahatan dan kriminalitas di Cirebon. Lihat Republik Indonesia. Propinsi Djawa Barat, Kementrian Penerangan, 1952, hlm. 238-39.

18 Dengan mengutip sebuah laporan Booth menyebutkan bahwa pada tahun 1948 itu,

(6)

akhirnya mencapai puncaknya pada pertengahan Desember 1948, ketika sekelompok masyarakat melakukan penyerangan terhadap orang-orang Tionghoa yang tinggal di Trusmi dan Karang Tengah. Penyerangan itu dipicu dengan berkembangnya isyu bahwa salah seorang anggota komunitas Tionghoa dianggap sebagai mata-mata Belanda. Para penyerang itu kemudian menjarah harta benda orang Tionghoa, membakar rumah-rumah dan toko-tokonya, dan sebagian dari mereka bahkan dibunuh. Orang-orang Tionghoa yang selamat segera meninggalkan Trusmi, sebagian besar diantaranya pergi ke kota Cirebon dan beberapa lainnya tersebar di sekitar wilayah Cirebon.

Namun demikian tentang siapa sebenarnya kelompok masyarakat yang melakukan penyerangan, terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa

pelaku penyerangan, pembakaran, dan pembunuhan itu adalah gerombolan Karimuda

bersama-sama dengan sebagian penduduk Trusmi.19 Sementara pendapat kedua

mengatakan bahwa peristiwa itu dilakukan oleh penduduk Trusmi yang dipelopori oleh

kalangan pemuda pejuang.20 Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang pelaku

penyerangan tersebut, sumber-sumber lisan dari kedua pendapat yang berbeda itu memiliki kesamaan pendapat tentang sebab dan alasan yang melatarbelakangi dilakukannya

penyerangan itu. Pertama, bahwa orang-orang Tionghoa itu adalah penghianat revolusi,

mereka adalah mata-mata Belanda dan mendukung kembalinya kekuasaan Belanda di

Indonesia. Kedua, bahwa orang-orang Tionghoa itu adalah penjajah ekonomi. Selama masa

kolonial mereka banyak memperoleh keuntungan ekonomis melalui hak-hak istimewa yang diberikan oleh penguasa Belanda. Mereka memonopoli usaha batik melalui praktek-praktek

kerjasama yang curang dan merugikan perajin batik pribumi. Ketiga, mereka adalah orang

asing, pendatang, yang tidak memahami adat Trusmi karenanya bukan bagian dari

masyarakat Trusmi.21

Terlepas dari siapa sebenarnya pelaku penyerangan, pembakaran dan pembunuhan itu, peristiwa itu telah memberikan dampak penting bagi kehidupan masyarakat setempat dan dapat dimaknai secara beragam. Pada satu sisi, peristiwa tersebut selain merupakan bagian dari ekspresi ekstrem upaya dekolonisasi pada tingkat masyarakat yang juga banyak terjadi di daerah lain pada masa itu. Pada sisi yang lain juga dapat dimaknai sebagai manifetasi dari konflik sosial ekonomi yang lama terpendam antara berbagai kelompok di daerah itu. Selain itu, peristiwa itu juga merupakan puncak ketegangan kultural antara kelompok pendatang dan kelompok pribumi yang secara laten telah dirasakan sejak periode akhir kolonial, di mana faktor etnik dan agama memainkan

peran dalam mendorong masyarakat setempat untuk melakukan aksi kekerasan tersebut.22

Namun demikian, pada akhirnya dari sudut pandang ekonomis peristiwa tersebut,

meskipun tidak digerakan oleh motivasi ekonomis, telah menjadi blessing in disguisse bagi

19 Informan yang berpendapat seperti ini diantaranya Ki Lebe Jali, Ki Turjani, dan Pak

Badawi.

20 Pendapat ini terutama dikemukakan oleh Bpk Manan dan Bpk Sulaihan. Pak Manan

bahkan mengakui secara jujur bahwa dia ikut serta dalam penyerangan tersebut.

21 Disarikan dari semua hasil wawancara. Dibandingkan dua alasan lainnya, alasan ketiga

ini adalah yang paling lemah validitasnya karena hanya dikemukakan oleh Ki Lebe Jali dan Ki Turjani, keduanya adalah pengurus kramat Trusmi. Namun bisa jadi paling menarik, karena menjadikan isu primordialisme (agarna dan ras) dan adat sebagai pembenar untuk melakukan aksi kekerasan tersebut.

22 Di wilayah Cirebon sendiri, kerusuhan dan aksi kekerasan terhadap orang Tionghoa

(7)

kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Kondisi ini terutama berlaku bagi para pengusaha batik, karena dengan terusirnya orang-orang Tionghoa dari Trusmi dan Karang Tengah maka mereka bisa dengan mudah mengambil alih dan menjalankan usaha batik tanpa harus bersaing lagi dengan orang-orang Tionghoa.

Peristiwa kerusuhan tersebut, seakan menjadi episode penutup dari lembaran sejarah revolusi di Cirebon, karena satu tahun kemudian tepatnya 27 Desember 1949 Ratu Juliana secara resmi menandatangani piagam penyerahan kedaulatan Indonesia secara resmi di hadapan Mohammad Hatta. Sejak itu, satu persatu negara federasi, termasuk negara Pasundan, menyataan diri bergabung dengan Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Dengan demikian, tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia telah kembali menjadi

Republik kesatuan yang merdeka seperti yang diproklamirkan lima tahun sebelumnya.23

Kehidupan masyarakat Trusmi pun perlahan-lahan kembali berjalan normal, meskipun kriminalitas masih kadang terjadi, namun pemerintahan desa berjalan kembali dan roda ekonomi mulai bergerak.

Pasca pembakaran terhadap rumah dan usaha batik milik orang-orang Tionghoa pada akhir tahun 1948 itu, otomatis produksi batik terhenti total. Kondisi ini berlangsung kurang lebih 3 – 4 tahun, para pengrajin batik setempat merasa kesulitan untuk memperoleh bahan baku kain dan lainnya. Baru pada tahun 1952 kegiatan membatik mulai berjalan kembali, yang diawali dengan membatik ulang kain-kain batik yang masih tersisa. Kegiatan

ini oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah nyadon.24 Hasil kegiatan nyadon ini

masih dijual di pasaran lokal dengan harga yang rendah, sehingga hasil yang diperoleh para pengrajinpun tidak seberapa. Meskipun hasil dan keuntungan yang diperoleh dari kegiatan ini tidak terlalu signifikan, namun kegiatan ini berhasil membangkitkan kembali gairah masyarakat Trusmi untuk memproduksi kain batik.

Sementara itu, para pengusaha Tionghoa yang terusir setelah kerusuhan pada tahun 1948, sebagian dari mereka datang kembali ke Trusmi untuk mengurus rumahnya, namun sebagian besar lainnya tidak pernah kembali. Mereka yang datang kembali ke desa itu, kemudian menjual tanah dan rumah mereka kepada penduduk setempat dengan harga yang murah. Sedangkan rumah-rumah lainnya yang tidak diurus pemiliknya, dikuasai oleh

desa untuk kemudian dijual kepada mereka yang berminat.25 Setelah tahun 1950an, semua

orang Tionghoa di Trusmi telah benar-benar meninggalkan desa tersebut dan semua hal

yang berkaitan dengan mereka telah diselesaikan secara tuntas.26

Seiring meningkatnya aktivitas nyadon, aktivitas produksi dan pemasaran batik di

Trusmi secara perlahan kembali berjalan ke titik normal, namun kondisi itu tidak diimbangi dengan tersedianya bahan baku kain dan alat pewarna, akibatnya seringkali para pengrajin harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan bahan baku batik tersebut. Ironisnya adalah para penyuplai bahan baku dan mata rantai pemasaran produk batik pada waktu itu masih dikuasai oleh para pedagang Tionghoa di kota Cirebon, yang sebagian dari mereka pernah terusir dari Trusmi. Oleh karena itu, para pengrajin batik tidak punya pilihan selain kembali

bekerjasama dengan mereka dan kerjasama alapan yang banyak berkembang pada masa

sebelumnya kembali dihidupkan. Kondisi tersebut dalam beberapa hal tidak membuat

23 Anthony Reid, ‘Fase Kedua: Kemenangan Terakhir Juli 1947 sampai 1950’, dalam Colin

Wild dan Peter Carey (ed), Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hlm. 181-86.

24 Wawancara dengan H. Bahrudin dan Bpk Katura di Trusmi, tanggal 25 Juli 2004. 25 Wawancara dengan Ki Lebe Jali, Ki Turjani, dan Pak Badawi.

26 Sejumlah kecil rumah di Trusmi, dewasa ini masih mempertahankan arsitektur khas

(8)

nyaman para pengrajin batik Trusmi sehingga mereka berusaha untuk mencari jalan

alternatif guna memperoleh bahan baku usahanya.27

Salah satu upaya yang dilakukan para pengrajin batik untuk mengatasi kesulitan memperoleh bahan baku produksinya adalah dengan membentuk kembali sebuah koperasi. Pada tahun 1955 dibentuklah sebuah koperasi yang mewadahi hampir seluruh pengrajin

batik di Trusmi dan Karang Tengah.28 Koperasi itu diberi nama koperasi Budi Tresna dan

Masina terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Pada dasarnya koperasi ini merupakan penggabungan dari dua koperasi yang pernah berkembang sebelumnya, yaitu koperasi batik Trusmi yang berdiri tahun 1936 dan koperasi batik Karang Tengah yang berdiri tahun 1937. Setelah berdirinya koperasi itu, lambat laun kesulitan penyediaan bahan baku batik terutama kain mori dapat teratasi. Selain itu, koperasi juga mulai bisa membantu memasarkan produksi anggotanya. Menurut seorang informan, pada waktu itu penjualan batik terfokus ke Jakarta, sekitar 75% tepatnya di jual ke Tanah Abang dan sisanya ke

daerah sekitar Cirebon.29

Kondisi tersebut dalam tingkat tertentu didukung oleh kebijakan pemerintah nasional melalui ‘Program Benteng’. Program itu telah mempengaruhi tata niaga industri batik nasional, terutama dalam hal penyediaan kain mori dan bahan baku batik lainnya. Pada tahun 1949-1952 Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) memperoleh lisensi

untuk memonopoli impor kain mori, yang dilaksanakan oleh N.V. BTC (Batik Trading

Company) dan GKBI berfungsi sebagai distributor. GKBI selanjutnya mendistribusikan kain mori itu kepada seluruh cabangnya, termasuk di Cirebon. Setiap pengusaha batik yang menjadi anggota koperasi batik akan memperoleh pembagian mori yang lebih murah dibandingkan dengan harga pasar. Hal ini jelas menguntungkan para pengusaha batik, namun bahan baku itu terbatas jumlahnya sehingga pembagian mori disesuaikan dengan

kemampuan produksi masing-masing.30

Dengan adanya kebijakan tersebut, produksi batik di Trusmi pada tahun tahun tersebut dapat berkembang dengan pesat. Seorang informan, bahkan menegaskan bahwa pada paruh kedua tahun 1950an itu produksi batik Trusmi mencapai titik tertinggi dalam sejarah perkembangannya. Pada waktu itu, Batik produksi Trusmi tidak hanya dipasarkan di tingkat lokal, tetapi juga ke tingkat nasional. Batik Trusmi banyak diperdagangkan ke Palembang, Deli, dan daerah Sulawesi Selatan. Namun sampai tahap inipun, para pedagang Tionghoa tetap merupakan mitra utama dalam memasarkan produksi batiknya ke berbagai wilayah di Indonesia. Jenis batik yang banyak dipesan oleh konsumen dari Sumatera adalah jenis batik kasar, yang biasanya diperuntukan bagi buruh-buruh perkebunan terutama pada masa lebaran, sedangkan batik tulis halus sebagian besar dikonsumsi oleh konsumen lokal

di daerah Cirebon dan sekitarnya.31

Pada periode 1952-1956, para pengusaha batik di Trusmi banyak memproduksi

batik bangpus dan sandang. Kedua jenis batik ini termasuk batik kasar - dan yang terakhir

menggunakan metode cap – yang harganya jauh lebih murah dibandingkan batik tulis yang halus. Namun, proses produksi keduanya jauh lebih cepat dan lebih banyak sehingga mampu memenuhi permintaan pasar yang dinamis. Batik sandang sendiri mulai banyak diproduksi pada awal tahun 1955, ketika pemerintah mencanangkan program sandang

murah. Batik jenis bangpus dan sandang tersebut, banyak diminati konsumen dan

27 Sebagaimana dituturkan H. Bahrudin, 25 Juli 2004.

28 Menurut Farihah, pembentukan koperasi batik ini dilakukan pada tahun 1956. lihat

Noviatun Farihah, ‘Pasang Surut Industri Batik…’, hlm. 77-78.

29 Wawancara dengan H. Bahrudin, 25 Juli 2004.

30 Gabungan Koperasi Batik Indonesia, 20 Tahun GKBI 1948-18 September 1968 (Jakarta:

Koperasi Pusat GKBI, 1968), hlm. 27-28.

31 Wawancara dengan Bpk. H. Badawi, tgl. 23 Nopember 2003; wawancara dengan Bpk H.

(9)

penjualannya dapat dilakukan dengan lebih cepat. Sementara batik tulis halus relatif lebih

sedikit peminatnya dan terbatas pemasarannya, karena harganya yang lebih mahal.32 Dalam

hal pemasaran, demikian lanjut Farihah, biasanya para konsumen datang sendiri menemui para pengusaha untuk memesan batik yang diinginkannya, sedangkan sisanya mereka jual kepada para pedagang Tionghoa di pasar balong. Dari para pedagang Tionghoa itu juga mereka mendapat bahan baku seperti jenis biru, blacu, dan kaci, yaitu mori-mori untuk jenis batik kasar. Sedangkan untuk batik tulis halus harus menggunakan jenis mori primisima dan prima yang diperoleh melalui koperasi batik GKBI, walaupun dalam jumlah terbatas dan harga lebih tinggi bisa juga diperoleh di pasaran bebas.

Perkembangan industri batik Trusmi yang pesat pada waktu itu, mampu mendongkrak kesejahteraan para pengusahanya. Salah satu indikatornya adalah kemampuan sebagian besar pengusaha batik untuk memiliki sepeda, yang waktu itu termasuk barang yang cukup mewah. Selain itu, pada waktu itu koperasi Budi Tresna juga mampu memberikan berbagai fasilitas yang bisa dimanfaatkan para pengusaha batik untuk mengembangkan usaha dan kesejahteraan hidupnya. Sebagai contoh, untuk pengembangan usaha, koperasi itu bisa membantu memberikan permodalan, penyediaan bahan, dan pemasaran. Selain itu, koperasi juga membantu menyediakan fasilitas pendidikan,

kesehatan, dan dana jaminan sosial bagi para anggotanya.33

Namun demikian, kondisi tersebut tidak bisa bertahan lama. Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang mengakhiri sistem demokrasi parlementer dan menggantikannya dengan apa yang disebutnya sebagai sistem demokrasi terpimpin. Sistem pemerintahan baru beserta semua programnya itu ternyata membawa konsekuensi ekonomi yang berat sehingga ekonomi nasional mengalami kemerosotan hebat. Kondisi tersebut secara langsung telah menimbulkan kelesuan dunia usaha, termasuk industri batik di Cirebon. Periode antara tahun 1959 hingga berakhirnya periode demokrasi terpimpin merupakan masa-masa yang sulit bagi industri batik Trusmi, Cirebon. Produksi batik menjadi merosot drastis karena daya beli masyarakat dan permintaan pasar menurun sampai di atas 50 persen, akibatnya banyak perusahaan batik di Cirebon, yang sebagian besar merupakan perusahaan keluarga, harus mengurangi produksinya dan beberapa diantaranya bahkan gulung tikar. Bukan itu saja, koperasi-koperasi batik pun banyak yang

dibubarkan karena dituduh sebagai alat kapitalis yang kontra revolusioner.34

Memasuki tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru, industri batik Trusmi tidak mengalami perubahan berarti. Tahun 1968, teknologi baru dalam produksi batik yaitu batik

printing mulai diperkenalkan dan dua tahun kemudian sudah mulai banyak diproduksi oleh

pengusaha batik Trusmi yang mempunyai modal besar. Hal ini tentu saja mengancam pengusaha batik dengan modal kecil karena mereka tidak mampu untuk membeli teknologi

baru tersebut.35 Dengan demikian, dalam periode baru ini pengusaha batik Trusmi

memasuki era persaingan bebas di mana faktor modal memainkan perang yang sangat besar. Mereka yang bermodal besar mulai melakukan ekspansi usaha melalui penerapan teknologi baru, sedangkan mereka yang bermodal kecil akhirnya satu per satu gulung tikar karena kalah bersaing dengan mereka yang bermodal besar.

Catatan Penutup

Dalam konteks wacana nasionalisasi atau pribumisasi ekonomi nasional, dinamika

industri batik di desa Trusmi dan Karang Tengah, Cirebon pada tahun-tahun kritis tersebut

32 Noviatun Parihah, ‘Pasang Surut Industri Batik…’, hlm. 90. 33 Wawancara dengan Bpk Turjani dan Bpk Katura, 25 juli 2004.

34 Noviatun Parihah, ‘Pasang Surut Industri Batik…’, hlm. 49-50; Gabungan Koperasi Batik

Indonesia, 20 Tahun GKBI…’, hlm. 30-35.

(10)

menunjukan beberapa perkembangan yang menarik. Pertama, proses tersebut terjadi dan berlangsung tidak hanya pada tingkatan formal-negara terutama terhadap berbagai institusi ekonomi modern, melainkan juga terjadi pada tingkat masyarakat terhadap institusi-institusi ekonomi tradisional non-formal. Dalam pada itu, proses itu berjalan secara tidak beraturan dan bahkan anarkis, bukan semata-mata mengikuti skenario besar yang dicanangkan pemerintah, melainkan spontanitas masyarakat setempat, di mana sasarannya adalah mereka yang merepresentasikan institusi atau kelompok yang paling dekat dengan para pelaku yang selama ini mereka anggap sebagai pesaing utama di bidang ekonomi dan diuntungkan oleh negara kolonial.

Kedua, bahwa apa yang terjadi dalam industri batik di Trusmi pada waktu itu lebih

merupakan pribumisasi asset ekonomi lokal. Dalam pada itu, motivasi utama yang

mendorong dilakukannya pribumisasi itu bukanlah semata-mata murni ideologis, bersumber pada semangat dan kesadaran nasionalisme yang dominan waktu itu, melainkan juga karena adanya faktor-faktor kondisional yang bersifat lokal. Aksi kekerasan terhadap para pengusaha Tionghoa yang mengawali perampasan asset ekonomi mereka waktu itu, merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor terutama sejarah kompetisi ekonomi lokal, situasi sosial politik desa waktu itu, dan bermainnya semangat primordial dan rasisme di kalangan masyarakat lokal.

Ketiga, peristiwa kekerasan yang menimpa orang-orang Tionghoa pada masa itu, menjadi bukti nyata betapa rentannya posisi sosial mereka di tengah masyarakat pribumi. Dalam situasi politik yang kacau, ketika terjadi pergantian penguasa atau pergeseran sistem politik, terlebih dalam suasana revolusioner saat mana penguasa waktu tidak memiliki kekuatan dan keinginan untuk melindunginya, posisi orang-orang Tionghoa menjadi terancam bahaya. Mereka selalu menjadi korban aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh massa penduduk lokal, sebagai ekspresi sesaat dari dendam mereka karena kalah bersaing dalam kompetisi ekonomi. Tahun 1940an merupakan tahun-tahun sulit dan berat bagi masyarakat Tionghoa di Cirebon dan juga didaerah lainnya di Indonesia.

Keempat, semua proses dekolonisasi atau pribumisasi aset-aset orang Tionghoa tersebut pada akhirnya tidak membawa perubahan apapun terhadap industri batik di Trusmi secara substansial. Nampaknya karakter industri batik, sebagaimana dikatakan oleh Brenner dan Keppy, yang bergantung pada tiga kaki: negara, pengusaha pribumi, dan pengusaha Tionghoa tetap bertahan pasca revolusi. Pada satu sisi dengan terusirnya orang-orang pendatang dari ekonomi batik merupakan kesempatan ekonomi bagi para pengusaha lokal untuk mengembangkan usahanya. Namun di sisi lain, mereka ternyata belum benar-benar siap untuk mengambil alih usaha tersebut secara independen dari hulu hingga hilir proses produksinya. Selain itu, kondisi tersebut diperparah oleh ketidakmampuan negara dalam menyediakan berbagai fasilitas pendukung yang dibutuhkan oleh para pengusaha pribumi untuk mengembangkan dirinya. Program-program yang dikembangkan yang berkaitan langsung dengan tata niaga batik ternyata menjadi arena persaingan untuk memperoleh kekuasaan di antara elit politik di tingkat pusat maupun lokal.

(11)

Daftar Pustaka

Abdul Wahid, ‘Religion and Social Boundaries in a changing social orders: the social life of a

village in Cirebon – West Java, 1925-1950s’, makalah dalam konferensi Decolonizing

Societies: The Reorientation of Asian and African Livelihoods under Changing Regimes,

NIOD, Amsterdam, 10-13 Desember 2003.

__________, ‘Pribumisasi dan Ironi Ekonomi Non-Pertanian di Pedesaan: Industri Batik Cirebon

Tahun 1940-an dan 1950-an, makalah dalam workshop The Economic Side of

Decolonization,PSSAT-NIOD, Yogyakarta, 18-19 Agustus 2004.

Anthony J.S. Reid, Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: PT Sinar Harapan, 1996.

Anonimous, ‘Simpang Siur dalam Revolusi’, dalam Buku Peringatan 50 tahun Kota Besar

Tjirebon, 1906-1956. Tanpa penerbit dan tahun terbitan.

Anonimous, Republik Indonesia. Propinsi Djawa Barat, Kementrian Penerangan, 1952, hlm.

238-39.

Anonimous, “Pabrik saroeng “Shamshoeddin” di Tjirebon’, Volksalmanak Soenda 1937 (1936:

225).

Boomgaard, Peter & Gooszen, A.J. Changing Economy in Indonesia, Vol. 11 Population Trends

1795 – 1942.Amsterdam: Royal Tropical Institute – The Netherlands, 1991.

Boomgaard, Peter. ‘The non-agricultural side of an agricultural economy Java, 1500-1900’,

dalam Benyamin White, et.al (eds.), In the Shadow of Agriculture Singapore: ISEAS,

2001.

Brenner, Suzane April. The Domestication of Desire: Women, Wealth, and Modernity in Java.

Princeton: Princeton University Press, 1998.

Booth, Anne. ‘Pertumbuhan dan Kemandekan dalam Era Pembangunan Bangsa: Penampilan Ekonomi Indonesia dari 1950-1965’, dalam J. Thomas Lindblad (ed.),

Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM – Pustaka Pelajar, 2002.

Cohen, Matthew Isaac. “Multiculturalism and Performance in Colonial Cirebon”, dalam

Peter J.M. Nas (ed), The Indonesia Town Revisited. Singapore: ISEAS – LIT Verlag,

1998.

Cheribon Revue, 10 Oktober 1936.

Dahlan, ‘Tjirebon dari Gelap menudju Terang’, dalam Buku Peringatan 50 tahun Kota Besar

(12)

de Graaf, H. J & Pigeaud, Tionghoa Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos, terjemahan Al-fajri. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997.

Fernando, M.R. Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation

Economy in Cirebon Residency From the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century, Unpublished Ph.D Thesis Monash University, 1982.

Fernando, M.R. & O’ Malley, W.J. ‘Petani dan Pembudidayaan Kopi di Karesidenan

Cirebon, 1800-1900’, dalam Anne Booth et.al (eds), Sejarah Ekonomi Indonesia.

Jakarta: LP3ES, 1988.

Frederick, Willliam H. “Shadow of an unseen hand: some pattern of violence in the Indonesian revolution, 1945-1949”, dalam Freek Colombijn & J. Thomas Lindblad

(eds), Roots of Violence in Indonesia. Leiden: KITLV Press, 2002.

Ezerman, J.L.J.F. Peri Hal Kelenting Koan Iem “Tiao-Kak-Sie” di Tjirebon, disalin oleh S. M.

Latif. Weltevreden: Bureau van de Volkslectuur – Balai Pustaka, 1922.

Furnivall, J.S. Netherlands India: A Study of Plural Economy. London: Cambridge University

Press, 1944.

Gabungan Koperasi Batik Indonesia, 20 Tahun GKBI 1948-18 September 1968. Jakarta:

Koperasi Pusat GKBI, 1968.

Hardon, H.J. ‘Industrial recovery in Indonesia’, dalam Economic Review of Indonesia, 2, 10,

1948.

H. Tirtoamidjojo, Batik Traditional of Indonesia. Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia,

1982.

Hoadley, Mason C. “Javanese, Peranakan, and Chinese Elites: Changing Ethnic Boundaries”,

The Journal of Asian Studies 47, No.3 (August 1988).

Kahin, Audrey R. ‘Pendahuluan’, dalam Audrey R. Kahin (ed), Pergolakan Daerah Pada Awal

Kemerdekaan.Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1989.

Keppy, Peter. Hidden Business: Indigenous and Ethnic Chinese Entrepreneurs in the Majalaya

Textile Industry, West java, 1928-1974. Ph.D thesis, Vrije Universiteit Ámsterdam, 2001.

Kitley, Philip Thomas. ‘Batik dan Kebudayaan Populer’, Prisma, no.5, Mei 1987.

Kurasawa, Aiko. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa.

(13)

Lucas, Anton. ‘Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Sosial atau Pemberontakan?’ dalam Audrey

R. Kahin (ed), Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan.Jakarta: PT. Pustaka Utama

Grafiti, 1989.

Mackie, J.A.C. “Periode 1941-1965 sebagai Selingan dalam Pembentukan Ekonomi Nasional:

Bagaimana Sebaiknya Kita Menafsirkan?”, dalam J. Thomas Lindblad (ed.), Fondasi

Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM – Pustaka Pelajar, 2002.

Marhayono, Semuanya untuk Cirebon: Kisah heroik pasukan Kancil Merah dan Palagan Mandala.

Jakarta: PT Grasindo, 2003.

M.S. Mintardjo, ‘Meninjau Industri Batik di Plered, Cheribon’ Doenia Dagang, no.8 Agustus

1940.

Muhaimin A.G., Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebo. Jakarta: Logos Wacana

Ilmu, 2001.

____________, ‘The Morphology of Adat: The Celebration of Islamic Holiday in North Coast

Java’, Studia Islamica, vol.6, no.3, 1999.

Noviatun Farihah, ‘Pasang Surut Industri Batik di Cirebon tahun 1930-1970’, skripsi S-1 Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999.

Ong Hok Ham, ‘Peran jago dalam sejarah’, Kompas, 27 April 1983.

Ong Hok Ham, ‘Revolusi Indonesia: Mitos dan Realitas’, Prisma, no. 14, 8, 1985.

P. de Kat Angelino, Rapport betreffende eene gehouden enquete naar de arbeidstoestanden in de

batikkerijen op Java en Madoera door den inspecteur bij het kantoor van arbeid P. Kat de Angelino. Publicatie no.6 van het Kantoor van Arbeid. 1930.

Palmier, L.H., “Batik manufacture in a Chinese community in Java”, dalam Benjamin

Higgins (ed.), Entrepreneurship and labour skills in Indonesian economic development: a

symposium. Yale University Monograph Series 1, Southeast Asian Studies, 75-140.

Paramita R. Abdurachman, Cerbon. Jakarta: Sinar Harapan, 1995.

Pijper, G.F. Fragmenta Islamica. Jakarta: UI Press.

Prisma, ‘Can traditional Batik Survive?’, no. 27, Maret 1983.

(14)

Reid, Anthony. ‘Fase Kedua: Kemenangan Terakhir Juli 1947 sampai 1950’, dalam Colin

Wild dan Peter Carey (ed), Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: PT

Gramedia, 1985.

Singgih Tri Sulistiyono, “Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Cirebon”, Tesis S-2 Program Studi Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1994.

Singgih Tri Sulistiyono, “Dari Lemahwungkuk Hingga Cheribon: Pasang Surut Perkembangan kota Cirebon Sampai Awal Abad XX”, dalam Susanto Zuhdi

(Penyunting), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra: kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997.

Soegijanto Padmo, “Perkembangan Kesempatan Kerja Non-pertanian di Karesidenan

Cirebon, 1830-1930”, dalam J. Thomas Lindblad (ed), Sejarah Ekonomi Modern

Indonesia: Berbagai Tantangan Baru. Jakarta: LP3ES, 2000.

Soesilo, ‘Perdjoangan masa Pendudukan’, dalam Buku Peringatan 50 tahun Kota Besar

Tjirebon, 1906-1956. Tanpa penerbit dan tahun terbitan.

Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa. Jogjakarta: Penerbitan Sumur Bandung, cetakan 2, 1953.

Sutter, John Overal. Indonesianisasi;A Historical Surveys of the Role of Politics in the Institution of

a Changing Economy from the Second World War to the Eve of the General Election (1940-1955), Ph.D Thesis Cornel University, 1959.

Svensson, Tommy. “Contraction and Expansions: Agrarian Change in Java since 1830”,

dalam Morner, M. & Svensson, Th. (eds.), Classes, Strata, and Elites: Essays on Social

Stratification in History. Gothenburg: Monoghrahs of the Departement of History, Gothenburg University, no.34, 1982.

Svensson, Thomas. ‘The Making of the Local Colonial State in Historical Perspective: Urang Belanda, Menak and Bumi in Priangan since 1870’, Publication of the Historical-Anthropological Project, Gothenburg University, Juni 1985.

Vleming Jr. J.L., Kongsi & Spekulasi: Jaringan kerja Bisnis Tionghoa, disadur oleh Bob

Widyahartono. Jakarta: PT. Grafiti, 1988.

Daftar Informan

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Tradisi Larung Sungai ini tidak bisa dihindari dari masyarakat bantaran sungai Surabaya, apabila masyarakat bantaran sungai tidak melaksanakan upacara atau melewati

PETA BADAN USAHA KREDIT PEDESAAN (BUKP) PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. BUKP

Terdapat perbedaan bermakna terhadap perubahan nilai masa protrombin antara hari pertama dengan ketiga baik pada bayi aterm maupun bayi prematur setelah diberikan vitamin K.

oleh suatu kelas dominasi atau dalam hal ini, kaum elite yang sudah mendominasi partai-partai politik dan pemerintahan yang ada di Indonesia berusaha

Selain jumlah wanita digunakan juga jumlah anak lahir hidup (ALH) dan jumlah anak masih hidup (AMH) menurut kelompok umur wanita 15-49 tahun sebagai data dasar. Oleh karena AHH

disamping memuat projek-projek jang mendapat priori- tet, djuga menjinggung soal Kebidjaksanaan Negara mengenai sumber-sumber mineral. Hal ini termasuk didalam

Pemodelan bentuk kasko merupakan tahap awal dalam desain freeboard minimum (f=D-T), dimana pemodelan ini penting untuk mengetahui bentuk dan karakteristik model