• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Politik mana yang paling kejam di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sistem Politik mana yang paling kejam di"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Sistem Politik mana yang paling kejam di dunia ?

Oleh. N.Faqih Syarif H

Abstraksi :

Dalam artikel ini penulis akan membahas ada tiga sistem politik yang dipakai oleh negara-negara di dunia yaitu : 1. Sistem Diktator, di mana hukum yang berlaku di suatu negara bersumber dari satu atau sekelompok orang tertentu, hukum akan tunduk kepada elit pembuatnya, rakyat secara mayoritas akan tertindas sistem itu di sebut sistem Kerajaan atau Monarchi.2. Sistem Super Diktator, di mana hukum yang berlaku di suatu negara bersumber dari seorang raja yang berkolusi dengan pendeta, dan pendeta mengatasnamakan wakil Tuhan di dunia, hukum yang dibuat tidak mungkin salah, menentang berarti berdosa,rakyat sangat tertindas sistem itu disebut Theokrasi. 3. Sistem Politik Demokrasi di mana hukum harus mengikuti kehendak rakyat secara mayoritas, Bagaimana caranya agar kehendak mayoritas rakyat dapat diwujudkan? Maka harus ada perwakilan rakyat , yang membuat hukum di sebut legislatif, yang pelaksana hukum di sebut eksekutif dan penegak hukum di sebut yudikkatif. Sistem itu di sebut Sistem politik Demokrasi. Sistem politik mana yang paling kejam di dunia ini? Adakah sistem politik alternatif yang bisa membawa kesejahteraan dan keamanan bagi semua manusia di alam ini? Bagaimana dengan Sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah?

Kata kunci : Monarchi, Theokrasi, Demokrasi, Khilafah.

Sistem Politik yang pernah diterapkan di dunia hingga saat ini.

Jika kita mengkaji dan mengamati sisten politik saat ini yang dipakai oleh negara-negara di dunia, kita akan mendapati setidaknya ada tiga sistem politik :

1. Sistem monarchi ; Monarki berasal dari bahasa

Yunani

monos

(μονος) yang berarti satu,

dan

archein

(αρχειν) yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis

pemerintahan yang dipimpin oleh seorang

penguasa monarki

. Monarki atau

sistem

pemerintahan kerajaan

adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun ke-19,

terdapat lebih 900

tahta

kerajaan di dunia, tetapi menurun menjadi 240 dalam abad

ke-20. Sedangkan pada dekade kedelapan abad ke-20, hanya 40 takhta saja yang

masih ada. Dari jumlah tersebut, hanya empat negara mempunyai penguasa

monarki

yang mutlak

dan selebihnya terbatas kepada sistem

konstitusi

.

Sistem Diktator, di mana hukum yang berlaku di suatu negara bersumber dari satu atau sekelompok orang tertentu, hukum akan tunduk kepada elit pembuatnya, rakyat secara mayoritas akan tertindas sistem itu di sebut sistem Kerajaan atau Monarchi. Pada dasarnya, terdapat 3 jenis sistem

pemerintahan Monarki yaitu Monarki Konstitusional, Monarki Mutlak dan Monarki

(2)

Negara yang mengadopsi sistem pemerintahaan Monarki Konstitusional diantaranya seperti Jepang, Inggris (Britania Raya), Malaysia, Thailand dan masih banyak lagi.

2. Sistem Theokrasi ; bentuk pemerintahan di mana prinsip-prinsip Ketuhanan memegang peran utama.Kata "teokrasi" berasal dari bahasa Yunani θεοκρατία (theokratia). θεος (theos) artinya “tuhan” dan κρατειν (kratein) “memerintah”. Teokrasi artinya “pemerintahan oleh wakil tuhan”1. Teokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana dijalankan berdasarkan prinsip

Ketuhanan. Sistem Super Diktator, di mana hukum yang berlaku di suatu negara bersumber dari seorang raja yang berkolusi dengan pendeta, dan pendeta mengatasnamakan wakil Tuhan di dunia, hukum yang dibuat tidak mungkin salah, menentang berarti

berdosa,rakyat sangat tertindas sistem itu disebut Theokrasi. Pada negara Teokrasi, identik dengan pemusatan kekuasaan pada tokoh tokoh spiritual yang sekaligus sebagai Kepala Negara. Dalam Negara Teokrasi, Kepala Negara yang sekaligus tokoh spiritual, biasanya dianggap sebagai keturunan Dewa, manusia setengah Tuhan, dan manusia pilihan Tuhan, bahkan juga dianggap sebagai reinkarnasi dari orang suci. Negara Teokrasi ini populer pada abad pertengahan dan sebelumnya. Salah satu contoh Negara Teokrasi pada masa sebelum masehi adalah Negara Mesir Kuno. Mesir Kuno, dipimpin oleh kepala negara yang diberi gelar Fir’aun. Dalam hal ini, Fir’aun dianggap jelmaan Dewa oleh rakyatnya. Sehingga apa yang diucapkan Fir’aun diakui sebagai hukum oleh rakyat.

3. Sistem politik Demokrasi ; Sebuah ideologi yang ditata dengan memadukan nilai-nilai liberal kebebasan individu, persamaan, martabat, dan persaudaraan, rule of law serta proses politik yang demokratis (The International Relation Dictionary, Jack C. Plano).Demokrasi : pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Abraham Lincoln) . Sistem Politik Demokrasi di mana hukum harus mengikuti kehendak rakyat secara mayoritas, Bagaimana caranya agar kehendak mayoritas rakyat dapat diwujudkan? Maka harus ada perwakilan rakyat , yang membuat hukum di sebut legislatif, yang pelaksana hukum di sebut eksekutif dan penegak hukum di sebut yudikkatif. Sistem itu di sebut Sistem politik Demokrasi

Sekarang mari kita perhatikan sistem apa yang dipakai oleh bangsa Indonesia. Ada juga sistem monarchi – kerajaan tapi hanya sebagai simbol budaya tanpa punya kedaulatan dan kekuasaan misalnya ; kerajaan ngayogjakarta, kesultanan-kesultanan di nusantara yang hanya simbol budaya saja. Sistem pemerintahan yang diterapkan di indonesia adalah sistem Politik Demokrasi. Ketika para ilmuwan barat membahas ketiga sistem di atas, dan dianggap sistem Monarchi dan Sistem Theokrasi adalah menindas rakyat dan kejam maka kemudian mereka membuat gagasan untuk menjawab agar tidak menindas rakyat dimunculkan sistem politik demokrasi. Mereka menganggap bahwa inilah puncak dari “Kesempurnaan “ sisitem politik yang ada di dunia. Demokrasi dianggap sistem politik yang paling lengkap dan sempurna.Sistem demokrasi dianggap sebagai akhir dari puncak peradaban manusia. Sistem demokrasi akan diterima oleh siapa pun juga, apa pun agamannya, bangsanya, rasnya, sukunya, bahkan warna kulitnya, pasti akan menerima demokrasi...

(3)

Mantan Mendagri Gamawan Fauzi : "Minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon Rp 20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari. (kompas.com, 5/7/2010). Contoh : Gaji Gubernur (Jabar) 8 Juta/Bulan, Setahun 96 juta, 4 tahun = 384 Juta. “Penghasilan” : Gubernur Provinsi Jawa Barat mendapat Rp 603 juta dan wakil gubernur Rp 584 juta (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)16/12/2012) . Sehingga Antara yang dikeluarkan dengan yang didapatkan berupa gaji dan tunjangan sangat jauh dengan modal yang dikeluarkan. Maka jangan heran mereka akan menerapkan pola wirosableng – 212 – Yaitu 2 tahun kalau jadi, gimana caranya untuk mengembalikan modal, syukur-syukur 1 tahun bekerja untuk rakyat, dan 2 tahun persiapan untuk pemilu berikutnya. Maka menurut data di kementerian dalam negeri ada lebih dari 65 % kepala daerah baik Gubernur atau wali kota dan bupati tersangka kasus korupsi atau berurusan dengan KPK. Data yang dirilis oleh KPK juga menyatakan mereka yang tersangka kasus Korupsi yang paling banyak adalah para Anggota dewan yang didominasi oleh partai-partai besar, termasuk pejabat –pejabat negara.

Ternyata semakin jelas bahwa demokrasi adalah sistem ilusi dan penuh kebohongan. Menjamin Kesejahteraan Rakyat ? Bohong. Menjamin Stabilitas dan Integrasi ? Bohong.Menjamin Keadilan ekonomi ? Bohong . Menjamin hak-hak dasar manusia ? Bohong.Berpihak kepada Rakyat ? Bohong. Jalan untuk menegakkan Islam ? Bohong.

Bahkan mereka yang dulu mengidolakan dan menggagas bahwa demokrasi peradaban modern yang hebat berbalik mengkritisi ; Demokrasi menghitung jumlah kepala tanpa memperhatikan isi kepala (Muhammad Iqbal), Pemerintahan yang didasarkan pada pilihan orang banyak (demokrasi)dapat mudah dipengaruhi oleh para demagog dan akhirnya akan merosot menjadi kediktatoran (Aristoteles), Demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan (Winston Churchil, PM Inggris), Demokrasi hanyalah alam yang amat mencolok untuk melanggengkan kepentingan ideologis dan ekonomi Barat yang sempit (Chandra Muzzaffar, intelektual Malaysia). Ternyata di AS demokrasi sudah tidak dipakai dan hanya digunakan oleh mereka sebagai alat penjajahan dan menghegemoni negara-negara dunia ke-3. Thomas Jefferson (1743 – 1826), “Demokrasi tak berbeda dengan hukum rimba, dimana lima puluh satu persen bagian dari rakyat boleh mengambil hak dari empat puluh sembilan persen bagian lainnya.” John Adams, Presiden Amerika Serikat kedua, “Ingatlah bahwa demokrasi tidak akan pernah bertahan lama. Ia akan segera dibuang, kehilangan kekuatan, dan akan menghabisi dirinya sendiri. Tidak akan pernah ada sebuah sistem demokrasi yang tidak menghabisi dirinya sendiri”

(4)

Pertanyaan berikutnya kalau begitu Sistem Politik mana yang paling kejam? Sistem monarchi kejam karena menindas rakyatnya mengatas-namakan dirinya. Sistem Theokrasi kejam karena menindas rakyatnya mengatasnamakan Tuhan. Sedangkan Sistem politik Demokrasi lebih kejam lagi menindas rakyatnya mengatasnamakan Rakyatnya sendiri bukankah ini paling kejam.

Adakah sistem politik alternatif dan bisa membawa kebaikan pada kesejahteraan dan keamanan manusia secara umum? Ya itu adalah Sistem Khilafah ‘Ala minhaj an- nubuwwah.

Sistem Khilafah .

Negara Khilafah Islam bukan negara Teokrasi, sebab Khalifah (kepala negara) diakui sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan. Sumber hukum Negara Khilafah bukan dari Khalifah, namun bersumber dari Qur’an dan Sunnah.

Khilafah dapat disebut juga “negara Islam” (ad dawlah al islamiyah) atau “sistem pemerintah Islam” (nizham al hukm fi al islam). Meskipun Khilafah adalah ajaran Islam yang asli (genuine), namun banyak umat Islam yang kurang memahaminya. Keaslian ajaran Khilafah itu dapat dibuktikan dari pandangan Islam mengenai relasi (hubungan) agama dan negara (kekuasaan). Pandangan Islam ini dirumuskan dalam kalimat “Al Islam diin wa minhu ad daulah.” (Isam adalah agama, di antaranya adalah ajaran tentang bernegara). Ini berbeda dengan konsep sekularisme dari Barat yang memisahkan agama dan negara (fashlud diin ‘an ad daulah). Agama dan negara dalam ajaran Islam tidak terpisah, karena dua sebab berikut;

Pertama, karakter Rasulullah SAW yang menyatukan fungsi kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (ri`asah).

(5)

mengumumkan perang, mengirim atau menerima duta besar, dan seterusnya. Setelah Rasulullah SAW wafat, fungsi kenabian (nubuwwah) berakhir, yakni tak ada nabi lagi, tapi fungsi kepemimpinan (ri`asah) tetap diteruskan oleh para khalifah (kepala negara) selanjutnya.[1]

Ini berbeda dengan karakter Nabi Isa AS, yang menjadi panutan beragama (dan dipertuhankan) bagi kaum Nasrani di Barat. Nabi Isa AS hanya menjalankan fungsi kenabian (nubuwwah), tapi tidak mempunyai fungsi kepemimpinan (ri`asah). Hal ini karena pada saat itu Nabi Isa AS hidup di bawah Kerajaan Romawi. Maka dari itu wajar, orang Barat menganggap agama dan negara terpisah, karena Nabi Isa AS sendiri memang hanya seorang nabi, tidak menjalankan fungsi sebagai penguasa.

Kedua, karakter agama Islam itu sendiri yang bersifat komprehensif (syumuliah), yaitu tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual, tapi mengatur segala aspek kehidupan. (Lihat QS Al Ma`idah [5] : 3 ; QS An Nahl [16] : 89). Karenanya Islam membutuhkan eksistensi negara atau kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum Islam secara menyeluruh.

Maka dari itu, agama dan negara (kekuasaan) tak terpisah, perhatikan misalnya sabda Rasulullah SAW :

“Ingatlah, sesungguhnya Al Kitab (Al Qur`an) dan kekuasaan (as sulthan) akan terpisah, maka (jika hal itu terjadi) janganlah kamu berpisah dari Al Kitab (Al Qur`an).” (HR Thabrani).

Sabda Rasulullah SAW ini juga menegaskan konsep kekuasaan sebagai bagian ajaran Islam :

“Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu, maka setiap satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan pada simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah kekuasaan (pemerintahan) sedang yang paling akhir terurai adalah shalat.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim).

Karakter agama Islam yang komprehensif ini (termasuk mengajarkan aspek kekuasaan) berbeda dengan karakter agama Nasrani yang tidak komprehensif, yaitu hanya mengatur persoalan aqidah dan akhlak. Agama Nasrani bukan sistem kehidupan (system of life) dan tak punya konsep bernegara, karena itu agama Nasrani dapat terlaksana tanpa ditopang sebuah negara. Perjanjian Baru sendiri dengan tegas memisahkan aspek agama dan negara, sebagaimana disebutkan dalam Matius,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius 22:21).

Jelaslah bahwa agama dan negara dalam Islam tidak terpisah, berbeda dengan pandangan sekularisme Barat yang memisahkan agama dari negara. Kitab yang berjudul Al Islam wa Ushul Hukm karya Ali Abdur Raziq (1926) yang berusaha membuktikan terpisahnya agama (Islam) dari negara, adalah kitab yang batil karena nyata-nyata memalsukan ajaran Islam yang asli tentang ajaran bernegara.

Takrif (Definisi) Khilafah

(6)

Banyak definisi tentang Khilafah. Definisi Khilafah menurut Taqiyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) adalah sebagai berikut :

“Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.”[7]

Dari definisi Khilafah di atas, dapat dipahami tiga poin penting :

Pertama, bahwa Khilafah itu adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia. Jadi Khilafah bukan kepemimpinan khusus (ri`asah khashash), seperti kepemimpinan seorang wali (gubernur) di suatu wilayah (propinsi), atau seperti kepemimpinan khusus pada bidang tertentu, misalnya kepemimpinan seorang Qadhi Qudhat dalam bidang peradilan Islam (Al Qadha`). Dapat dipahami juga Khilafah adalah institusi politik pemersatu umat Islam, sebab kepemimpinan Khilafah bersifat umum bagi umat Islam seluruh dunia, tanpa melihat lagi batas-batas negara-bangsa (nation state) yang ada sekarang ini.

Kedua, bahwa fungsi pertama Khilafah adalah menerapkan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, baik itu politik (pemerintahan), ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Penerapan syariah ini adalah politik dalam negeri dari negara Khilafah.

Ketiga, bahwa fungsi kedua Khilafah adalah mengemban (menyebarkan) dakwah Islam ke seluruh dunia. Metode untuk mengemban dakwah ini adalah dengan menjalankan jihad fi sabilillah ke negara-negara lain. Mengemban dakwah dengan jalan jihad fi sabilillah inilah yang menjadi dasar politik luar negeri dari negara Khilafah.

Maka dari itu, dengan keberadaan Khilafah, akan dapat terwujud paling tidak 3 (tiga) hal sbb; pertama, persatuan umat dalam satu negara, yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Ali ‘Imran : 103). Kedua, penerapan syariah Islam secara menyeluruh (kaaffah), yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Al Baqarah : 208; QS Ali ‘Imran : 85). Ketiga, penyebarluasan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia dan seluruh alam, yang menjadi karakter agama Islam (lihat misalnya QS Al Anbiya` : 107).

Sebaliknya, dengan tiadanya Khilafah, akan terjadi keburukan dan dosa bagi umat Islam paling tidak dalam 3 (tiga) hal sbb; Pertama, umat Islam akan terpecah belah dan tercerai berai, seperti kenyataan sekarang yang terpecah menjadi 50-an negara lebih. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi kafir penjajah atas umat Islam (QS An Nisaa` : 141). Kedua, syariah Islam tidak dapat diterapkan secara menyeluruh, tapi hanya sebagiannya saja. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi hukum non Islam (hukum jahiliyah) atas umat Islam (QS Al Maaidah : 50). Ketiga, karakter agama Islam sebagai agama dan rahmat bagi seluruh umat manusia tidak dirasakan lagi. Yang dirasakan adalah kebalikannya, yaitu penderitaan dalam segala bidang akibat dominasi kapitalisme yang menindas dan menghisap umat manusia di seluruh dunia. Kondisi buruk ini tak dibenarkan Islam (QS Thahaa : 123-125).

Kewajiban Khilafah (Imamah)

(7)

Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164:

“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”

Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan,”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini -sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.”

Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…”[1]

Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.”

Dalil-Dalil Kewajiban Khilafah

Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.

Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :





















“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa` : 59)

(8)

























“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)

Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syariah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu.

Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah : 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur : 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.

Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :

“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).

Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya.

Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :

“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).

Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.

(9)

“Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).

Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :

“Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).

Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :

“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur : 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah.

Berdasarkan penjelasan di atas, Khilafah hukumnya wajib berdasarkan 4 (empat) dalil, yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.

Empat Pilar Negara Khilafah

Khilafah mempunyai empat pilar (qaidah) yang mutlak wajib ada demi keberadaan dan kelangsungan keberadaan Khilafah. Jika salah satu pilar ini tidak ada, berarti Khilafah tidak ada atau telah berubah menjadi bentuk negara atau sistem pemerintahan lain yang tidak Islami. Kedudukan empat pilar ini seperti halnya rukun-rukun shalat, yang jika salah satu rukun itu tidak ada, maka shalatnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah SWT.

Keempat pilar Khilafah ini adalah sebagai berikut 2 :

Pertama, kedaulatan di tangan syariah, bukan di tangan rakyat.

Kedua, kekuasaan di tangan umat.

Ketiga, mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin.

(10)

Keempat, hanya khalifah saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara’, dan khalifah saja yang berhak melegislasi UUD dan segenap UU.

Pilar pertama, kedaulatan adalah ditangan syariah (as siyadah li as syar’i), dengan kata lain ialah bahwa yang berhak mengatur manusia hanyalah Syariah Islam, bukan hukum yang lain. Sebab definisi kedaulatan (as siyadah, sovereignty) adalah otoritas tertinggi yang bersifat mutlak yang merupakan satu-satunya pihak yang berhak mengeluarkan hukum untuk mengatur perbuatan manusia dan benda-benda yang digunakan manusia.3

Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan seluruh umat Islam, bahwa kedaulatan di tangan syariah, sebab kedaulatan di tangan syariah itu artinya adalah hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum bagi manusia (lihat misalnya QS Al An’am : 57; QS Asy Syura : 10).

Jika pilar pertama tentang kedaulatan ini hilang, yakni kedaulatan berubah menjadi di tangan rakyat, berarti Khilafah itu dengan sendirinya sudah hancur dan berubah menjadi sistem demokrasi. Dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat, yang berarti bahwa satu-satunya pihak yang berhak mengatur hidup manusia adalah manusia itu sendiri, bukan Allah SWT. Inilah perbedaan paling mendasar antara sistem Khilafah dan sistem demokrasi. Dalam Khilafah, kedaulatan di tangan syariah. Sedang dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat. Jelas demokrasi adalah paham kufur yang sangat bertentangan dengan Islam.

Pilar kedua, menetapkan kekuasaan ada di tangan umat (as sulthan li al ummah). Kekuasaan (as sulthan) didefinisikan sebagai otoritas untuk menerapkan hukum-hukum dan perundang-undangan. Pilar kekuasaan ada di tangan umat (as sulthan li al ummah) ini mengandung arti bahwa umatlah yang berhak memilih pemimpin yang dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari hadis-hadis tentang baiat, bahwa seseorang tak menjadi pemimpin (khalifah), kecuali dibaiat (dipilih) oleh umat. Juga dapat dipahami dari hadis tentang pengangkatan pemimpin (ta`miir), yakni bahwa dalam perjalanan oleh tiga orang, harus diangkat pemimpin (amir) oleh pihak yang dipimpin (yakni umat). Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kekuasaan dalam Islam itu ada di tangan umat (as sulthan li al ummah).4

Jika pilar tentang kekuasaan ini hilang, yaitu kekuasaan tak lagi di tangan umat, misalnya berubah menjadi di tangan keluarga atau suku tertentu, berarti Khilafah itu sudah hancur dan berubah menjadi sistem monarki (kerajaan). Contoh sistem monarki adalah Kerajaan Saudi Arabia yang kekuasaannya berada di tangan keluarga Ibnu Saud secara eksklusif. Inilah perbedaan mendasar Khilafah dengan sistem monarki. Dalam Khilafah, kekuasaan di tangan umat. Sedang dalam sistem monarki, kekuasaan secara eksklusif dimiliki oleh keluarga tertentu.

Pilar ketiga Khilafah, menetapkan bahwa mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Pilar ini mempunyai dua dimensi pengertian. Pertama, khalifah yang diangkat wajib satu orang saja, tidak boleh lebih. Kedua, mengangkat khalifah itu sendiri adalah wajib hukumnya, bukan sunnah, mubah, dan sebagainya.5

3 Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah), 1980, hlm. 24; lihat kitabnya yang lain, Naqdh An Nizham Ad Dimuqrathi, (Beirut : Darul Jiil; Amman : Maktabah Al Muhtasib), 1984, hlm. 30. Lihat juga Shalah As Shawi, Nazhariyah As Siyadah wa Atsaruha ‘Ala Syar’iyyah Al Anzhimah Al Wadh’iyyah, hlm. 10.

(11)

Jika pilar ini hilang dalam negara Khilafah, misalnya khalifah yang diangkat ada dua orang, maka otomatis Khilafah telah hancur dan berubah menjadi sistem lain. Sebab Syariah Islam telah mengharamkan membaiat dua orang khalifah pada waktu yang sama, sesuai sabda Nabi SAW,”Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim).

Jadi pilar ketiga ini memastikan persatuan umat di bawah satu kepemimpinan. Maka dari itu, jelas kelitu sekali kondisi umat Islam yang terpecah belah dipimpin oleh banyak pemimpin sebagaimana dalam sistem negara-bangsa (nation state) sekarang ini. Demikian pula juga suatu kekeliruan jika mengangkat khalifah tidak lagi dianggap sebagai kewajiban, atau malah dianggap perbuatan criminal. Pilar keempat, menegaskan bahwa Khalifah mempunyai hak khusus dalam melegislasikan hukum syara’ menjadi undang-undang yang berlaku umum dan bersifat mengikat. Hal ini didasarkan pada Ijma’ Shahabat yang melahirkan kaidah syar’iyah yang termasyhur, ”Amrul Imam yarfa’ul khilaf.” (Perintah Imam [khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syar’iyah lain yang tak kalah masyhur, ”Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri maa yahdutsu min musykilat.” (Imam [khalifah] berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi).6

Jika pilar keempat ini tidak ada, misalnya hak legislasi diserahkan kepada lembaga legislatif, bukan menjadi hak khusus khalifah, maka Khilafah hakikatnya sudah hancur dan berubah menjadi sistem demokrasi yang menetapkan hak legislasi ada di tangan lembaga legislatif.

Sistem Khilafah itu manusiawi.

Sebagai sistem yang dipraktikkan oleh manusia, sistem Khilafah adalah sistem politik yang manusiawi. Karena itu, dalam berbagai praktik dalam sistem Khilafah, bisa saja terjadi kekeliruan. Namun, yang penting dicatat di sini, penyimpangan yang dilakukan oleh Khalifah atau pejabat negara, bukan berarti menunjukkan bahwa sistem Khilafahnya salah dan keliru. Tidaklah relevan

menyalahkan sistem yang ideal dengan melihat kesalahan dari pelaku sistem yang ideal tersebut. Contoh sederhana adalah memandang Islam sebagai agama yang buruk hanya karena melihat perilaku sebagian para pemeluknya saat ini. Di Indonesia, misalnya, sebagai besar pelaku kriminal adalah orang Islam; banyak pelaku korupsi juga orang Islam; banyak orang Islam yang tidak menjaga kebersihan dan lingkungannya. Namun, tentunya tidak disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan pemeluknya melakukan perilaku-perilaku negatif seperti itu.

Islam harus dilihat dari sumber-sumbernya. Tidak ada satu dalil pun di dalam al-Quran dan as-Sunnah yang memerintahkan seperti itu. Sebaliknya, sistem Islam melarang dan menghukum para pelaku kriminal dan korupsi. Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk menjaga kebersihan lingkungan. Artinya, fakta-fakta yang salah tersebut justru diakibatkan karena pemeluk Islam meninggalkan ajaran Islam, bukan karena syariat Islam itu sendiri. Sama halnya dengan fakta-fakta buruk dalam sistem Khilafah, bukan disebabkan oleh sistem Khilafah itu sendiri, tetapi justru bentuk penyimpangn dari syariat Islam yang seharusnya diterapkan secara konsekuen dalam sistem Khilafah oleh rakyat dan penguasanya.

Sebagai contoh, ketika Muawiyah memaksa rakyat untuk membaiat anaknya, Yazid, sebagai khalifah, maka itu merupakan bentuk penyimpangan dari syariat Islam. Sebab, dalam Islam Khalifah adalah 5 Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 43-44

(12)

hasil pilihan dan kerelaan rakyat. Jadi, yang menyimpang adalah tindakan Muawiyahnya, bukan sistem Khilafahnya. Karena itu, tidak bisa kemudian dikatakan bahwa sistem Khilafah adalah sistem yang otoriter berdasarkan sejarah di era Muawiyah ini.

Kedua, terjebak pada generalisasi. Menyimpulkan sistem Khilafah sebagai sistem yang buruk hanya dengan mengungkap beberapa fakta sejarah adalah keliru. Beberapa fakta sejarah tentang sikap Khalifah tidaklah mencerminkan keseluruhan dari sistem Khilafah tersebut. Apalagi yang dilakukan oleh Khalifah tersebut adalah bentuk penyimpangan dari sistem Khilafah yang ideal. Tentu keliru menggambarkan masa pemerintahan Bani Umayah dengah hanya memfokuskan sejarah seorang Yazid atau menggambarkan masa pemerintahan Bani Abbas hanya dengan mengambil sebagian peristiwa dan tingkah laku para khalifahnya. Apalagi yang menjadi fakta sejarah itu adalah buku-buku sejarah yang dibuat oleh musuh-musuh Islam yang nyata kebenciannya terhadap Islam.

Keliru juga menggambarkan pemerintahan Bani Abbas dengan membaca kitab al-Aghani yang dikarang untuk menceritakan tingkah laku para biduan, para pemabuk, penyair, dan sastrawan; atau membaca buku-buku tasawuf yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Yang perlu diperhatikan, cerita-cerita tentang para penguasa dan pejabatnya banyak ditulis oleh pihak-pihak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebagian besar mereka adalah pencela atau pemuja yang tidak bisa diterima periwayatannya.

Sumber sejarah yang bisa diterima adalah yang bisa dipertanggungjawabkan periwayatnya sehingga sumber-sumbernya layak diterima. Persis sama dengan cara yang ditempuh dalam periwayatan hadis. Cara penulisan seperti ini antara lain bisa dilihat dalam kitab Tarikh ath-Thabari dan Sirah Ibnu Hisyam.

Mekanisme Islam Mencegah Penyimpangan Khalifah

Dalam syariat Islam, sudah ada mekanisme, yang kalau diterapkan, akan mencegah konflik.

Secara garis besar Islam, misalnya, mengharamkan saling membunuh dan saling menzalimi

antara penguasa dan rakyat; Islam mewajibkan kaum Muslim menjaga persatuan dan

melarang bughat (memberontak). Secara lebih rinci, Islam juga mengatur bagaimana

mencegah penyimpangan Khalifah, antara lain:

1. Dengan membangun kesadaran Politik masyarakat. Dalam sistem apapun, penerapan

sistem itu bergantung pada orang-orangnya. Terjadinya kemunduran dalam

masyarakat Islam disebabkan karena buruknya penerapan Islam di tengah

masyarakat. Lemahnya kesadaran masyarakat akan membuat terjadinya

penyimpangan. Karena itu, dalam sistem Khilafah, upaya membangun dan

memelihara kesadaran masyarakat tentang Islam adalah sangat penting. Tugas

negaralah untuk melakukan pendidikan politik Islam di tengah masyarakat. Partai

politik Islam juga memiliki tanggung jawab yang sama. Inilah langkah mendasar yang

dilakukan untuk mencegah penyimpangan Khalifah. Lewat kesadaran politik Islam ini,

masyarakat akan tetap konsisten memelihara sistem Khilafah dan tidak membiarkan

sedikit pun penyimpangan terhadap syariat Islam yang dilakukan oleh Khalifah.

2. Dengan membaiat Khalifah atas dasar kerelaan dan pilihan. Dalam Islam, Khalifah

adalah pilihan rakyat yang dilakukan bukan dalam kondisi tertekan. Karena itu, rakyat

tidak boleh dipaksa untuk memilih seseorang yang tidak dia senangi. Langkah ini

tentu saja bisa mencegah munculnya penguasa zalim yang diketahui oleh rakyat

memiliki tingkah laku yan buruk.

(13)

mengkoreksi penguasa yang menyimpang dengan dengan pemimpin para syuhada

dan menyebutkannya sebaik-baik jihad. Koreksi ini bisa dilakukan secara terorganisasi

oleh partai-partai politik yang bebas berdiri dalam sistem Khilafah, bisa juga

dilakukan secara individual. Tugas ini juga dilakukan oleh wakil-wakil rakyat di Majelis

Umat yang sentiasa memperjuangkan aspirasi rakyatnya.

4. Dengan keberadaan Mahkamah Mazhalim yang mengadili perselisihan antara rakyat

dan penguasa (Khalifah). Mahkamah ini bahkan memiliki wewenang untuk

memberhentikan Khalifah yang dianggap telah melakukan pelanggaran berat, yang

mengharuskan dirinya layak diberhentikan sebagai khalifah.

5. Dengan memerangi Khalifah jika proses koreksi/kontrol tidak jalan, demikian juga

fungsi Mahkamah Mazalim. Dalam hal ini, rakyat berhak mengangkat senjata untuk

menurunkan Khalifah. Hanya saja syaratnya adalah bahwa Khalifah, tersebut terbukti

telah melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti menolak syariat

Islam dan menggantikannya dengan sistem kufur. Bisa disebut inilah benteng terakhir

untuk mencegah munculnya penguasa yang zalim.

Lima mekanisme di atas, kalau benar-benar dijalankan, tentu akan mencegah munculnya

penguasa zalim yang mensengsarakan rakyat. Karena itu, terjadinya penyimpangan bisa jadi

disebabkan karena kelima mekanisme di atas tidak berjalan dengan baik. Jika ini terjadi,

tentu bukan sistem Khilafahnya yang salah, tetapi orang-orang yang melaksanakannya yang

salah. Sistem seideal apapun kalau tidak dilaksanakan oleh orang-orangnya secara

konsekuen tentu saja akan menyebabkan kekacauan.

Keberhasilan Sistem Khilafah

Menutup mata terhadap keberhasilan sistem Khilafah adalah kebodohan yang nyata.

Siapapun kalau berpikir obyektif akan melihat keberhasilan dari sistem ini saat dijalankan

secara benar. Hal ini tidak bisa dipungkiri. Sistem Khilafah yang mengemban qiyadah fikriyah

(kepemimpinan ideologis) Islam di seluruh dunia telah berhasil mengubah bangsa Arab

secara keseluruhan dari yang memiliki taraf berpikir yang rendah menjadi bangsa yang

terpandang, bahkan di seluruh dunia.

Sistem Khilafah berhasil membawa kesejahteraan bagi manusia di seluruh dunia, baik

Muslim maupun non-Muslim. Sistem Khilafah ini juga memainkan peranan penting dalam

membawa Islam ke seluruh pelosok dunia lewat dakwah dan jihad; menyatukan jazirah Arab,

Persia, Afrika, serta sebagian Eropa dan Asia.

(14)

Keagungan sistem Islam ini secara jujur disampaikan Carleton S, Chairman and Chief

Executive Officer, Hewlett-Packard Company, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun

800 hingga 1600 (masa Kekhilafahan). Dia menyatakan, Peradaban Islam merupakan

peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara

adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudera ke

samudera lain; dari iklim utara hingga tropik dan gurun, dengan ratusan juta orang tinggal di

dalamnya; dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku.Tentaranya merupakan gabungan

dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal

sebelumnya. (Ceramah tanggal 26 September 2001, dengan judul, Technology, Business, and

Our way of Life: What Next, www. khilafah.com).

Sebagai penutup dalam makalah yang singkat ini, maka penulis menyerukan dan mengajak para tokoh ulama dan cendekia untuk bersama-sama (1) Menjadikan perjuangan penegakkan Khilafah sebagai agenda bersama. Dan (2)Konsisten mengikuti metode dakwah Rasulullah saw. Takbir ! Allahu Akbar !

Referensi

Dokumen terkait

Sel hati (hepatosit) yang berbentuk polihedral, intinya bulat terletak di tengah, nukleolus dapat.. satu atau lebih dengan kromatin yang menyebar. Sitoplasma hepatosit agak

MATERI PEMBELAJAR AN KEGIATAN PEMBELAJAR AN PENILAIAN ALOKASI WAKTU SUMBER BELAJAR KARAKTE R BANGSA T M P S P I cetak yang memiliki ketebalan garis yang berbeda- beda

Torque dapat dihitung dengan Equation (12-3)... Arus rotor meningkat dengan proporsi yang sama dengan slip. Perubahan torque terhadap slip menunjukkan bahwa begitu slip naik dari

dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya sehingga diperoleh sebuah pengetahuan baru yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi kelompok kemudian,

Pemeriksaan fisik : Status Oftalmologis OD: Benjolan di palperbra inferior bagian medial, benjolannya keras, melekat pada tarsus akan tetapi lepas dari kulit, tidak

Amanah reproduksi memperoleh perhatian yang cukup serius dalam beberapa ayat al-Qur’an. Dalam surat, Allah SWT secara khusus menyampaikan wasiat kepada umat manusia untuk berbuat

Gaya kepemimpinan transformasional direktur dalam menerapkan budaya keselamatan pasien belum seluruhnya sesuai dengan tujuh langkah keselamatan pasien di rumah sakit, direktur

Menggunakan media pembelajaran dan sumber belajar yang relevan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran yang diampu untuk mencapai tujuan pembelajaran secara