• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.P endahuluan - Mg 12 Lendutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1.P endahuluan - Mg 12 Lendutan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

LENDUTAN (

Deflection

)

1.

P

endahuluan

Dalam perancangan atau analisis balok, tegangan yang terjadi dapat ditentukan dari sifat penampang dan beban-beban luar. Pada prinsipnya tegangan pada balok akibat beban luar dapat direncanakan tidak melampaui suatu nilai tertentu, misalnya tegangan ijin. Perancangan yang berdasarkan batasan tegangan ini dinamakan perancangan berdasarkan kekuatan (design for strength).

Pada umumnya lendutan/defleksi balok perlu ditinjau agar tidak melampaui nilai tertentu, karena dapat terjadi dalam perancangan ditinjau dari segi kekuatan balok masih mampu menahan beban, namun Iendutannya cukup besar sehingga tidak nyaman lagi. Perancangan yang mempertimbangkan batasan lendutan dinamakan perancangan berdasarkan kekakuan (design for stiffness).

Selain didesain untuk menahan beban yang bekerja, suatu struktur juga dituntut untuk tidak mengalami lendutan yang berlebihan (over deflection) agar mempunyai kemampuan layan (serviceability) yang baik. Lendutan yang terjadi harus masih dalam batas yang diijinkan (permissible deflection). Pembatasan ini ditujukan untuk mencegah terjadinya retak atau kerusakan serta menjamin supaya gerak suatu peralatan (contoh : sistem rel pada crane seperti pada Gambar 1.1)

Gambar 1.1. Crane pada sistem portal

(2)

Semua balok akan terdefleksi (atau melendut) dari posisi awalnya apabila

terbebani (paling tidak disebabkan oleh berat sendirinya). Dalam struktur bangunan, seperti : balok dan plat lantai tidak boleh melendut terlalu berlebihan (over deflection) untuk mengurangi kemampuan layan (serviceability) dan keamanannya (safety) yang akan mempengaruhi psikologis (ketakutan) pengguna.

Deformasi adalah salah satu kontrol kestabilan suatu elemen balok terhadap kekuatannya. Biasanya deformasi dinyatakan sebagai perubahan bentuk elemen struktur dalam bentuk lengkungan () dan perpindahan posisi dari titik di bentang balok ke titik lain, yaitu defleksi () akibat beban di sepanjang bentang balok tersebut.

Ada beberapa metode yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan

persoalan-persoalan defleksi pada balok. Di sini hanya akan dibahas 4 (empat) metode, yaitu :

1. Metode integrasi ganda (double integrations method) 2. Metode luas bidang momen (moment area method) 3. Metode balok padanan (conjugate beam method) 4. Metode beban satuan (unit load method)

Asumsi yang dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut adalah hanyalah defleksi yang diakibatkan oleh gaya-gaya yang bekerja tegak-lurus terhadap sumbu balok, defleksi yang terjadi relatif kecil dibandingkan dengan panjang baloknya, dan irisan yang berbentuk bidang datar akan tetap berupa bidang datar walaupun terdeformasi (Prinsip Bernoulli).

2.

M

etode Integrasi Ganda (Double Integration)

Suatu struktur balok sedehana yang mengalami lentur seperti pada

Gambar 2.1, dengan y adalah defleksi pada jarak yang ditinjau x, adalahsudut kelengkungan (curvature angle), dan r adalah jari-jari kelengkungan (curvature radius).

(3)

Dari Gambar 2.1, dapat dihitung besarnya dx seperti Pers. 2.1 :

dx=r tg dθ (2.1)

karena nilai d relatif sangat kecil, maka tg d = d saja, sehingga Pers. 2.1 dapat ditulis ulang menjadi :

dx=r dθ atau 1

r =

dx (2.2)

Jika dx bergerak kekanan maka besarnya dakan semakin mengecil atau semakin

berkurang sehingga didapat persamaan berikut :

1

Diketahui bahwa persamaan tegangan adalah :

𝟏 𝐫 = −

𝐌

𝐄𝐈 (2.5)

sehingga didapat persamaan :

𝐌 𝐄𝐈= −

𝐝𝟐𝐲

𝐝𝐱𝟐 (2.6)

kemudian bentuk akhir persamaannya adalah :

−𝐌 = 𝐄𝐈 (𝐝𝐝𝐱𝟐𝐲𝟐) (2.7)

Jika dilakukan operasi integral dua kali pada Pers. 2.7, akan didapatkan persamaan berikut :

EI (dydx) =dMdx =V reaksi vertikal (2.8)

EI(y)=dVdx=q beban merata (2.9)

Pers. 2.7 merupakan persamaan deferensial, sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan syarat batas sesuai dengan jenis struktur yang ada seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2 dan 2.3.

a. Tumpuan jepit

Gambar 2.2. Kondisi batas tumputan jepit

untuk x = 0, maka y = 0

untuk x = 0, maka dy

(4)

b. Tumpuan sendi-roll

Gambar 2.3. Kondisi batas tumpuan sendi-roll

untuk x = 0 dan x = L, maka y = 0

untuk x = L/2, maka dy

dx=0

2.1. Balok kantilever dengan beban titik

Gambar 2.4. Balok kantilever dengan beban titik

Dari Gambar 2.4, besarnya momen pada jarak x adalah : 𝐌𝐗 = −𝐏𝐱

Persamaan tersebut disubstitusi ke dalam Pers. 2.7, sehingga didapat :

𝐄𝐈 (𝐝𝐝𝐱𝟐𝐲𝟐) = 𝐏𝐱

Persamaan tersebut diintegralkan terhadap x, sehingga didapat :

∫ 𝐄𝐈 (𝐝𝐝𝐱𝟐𝐲𝟐) = ∫ 𝐏𝐱

(5)

Dengan meninjau kondisi batas tumpuan, Mmaks terjadi pada x = L dan pada lokasi

tersebut tidak terjadi rotasi 𝐝𝐲

𝐝𝐱 = 𝟎, sehingga persamaannya menjadi :

𝟎 =𝐏𝐋𝟐𝟐+ 𝐂𝟏

𝐂𝟏= −𝐏𝐋

𝟐

𝟐

Sehingga persamaannya akan menjadi :

𝐄𝐈 (𝐝𝐲𝐝𝐱) =𝐏𝐱𝟐𝟐−𝐏𝐋𝟐𝟐

Persamaan tersebut kemudian diintegralkan kembali terhadap x, sehingga menjadi :

∫ 𝐄𝐈 (𝐝𝐲𝐝𝐱) = ∫𝐏𝐱𝟐 − ∫𝟐 𝐏𝐋𝟐𝟐

Persamaan tersebut menjadi :

𝐄𝐈𝐲 =𝐏𝐱𝟔 (𝐱𝟐− 𝟑𝐋𝟐) +𝐏𝐋𝟑

dan lendutan maksimum :

(6)

2.2. Balok kantilever dengan beban merata

Gambar 2.5. Balok kantilever dengan beban merata

Dari Gambar 2.5, besarnya momen pada jarak x adalah : 𝐌𝐗 = −𝟏𝟐𝐐𝐱𝟐

Persamaan tersebut disubstitusi ke dalam Pers. 7, sehingga didapat :

𝐄𝐈 (𝐝𝐝𝐱𝟐𝐲𝟐) =

𝟏 𝟐𝐐𝐱𝟐

Persamaan tersebut diintegralkan terhadap x, sehingga didapat :

∫ 𝐄𝐈 (𝐝𝐝𝐱𝟐𝐲𝟐) = ∫𝟏𝟐 𝐐𝐱𝟐

𝐄𝐈 (𝐝𝐲𝐝𝐱) =𝐐𝐱𝟔 + 𝐂𝟑 𝟏

Dengan meninjau kondisi batas tumpuan, Mmaks terjadi pada x = L dan pada lokasi

tersebut tidak terjadi rotasi 𝐝𝐲

𝐝𝐱 = 𝟎, sehingga persamaannya menjadi :

𝟎 =𝐐𝐋𝟔𝟑+ 𝐂𝟏

𝐂𝟏= −𝐐𝐋

𝟑

𝟔

Sehingga persamaannya akan menjadi :

𝐄𝐈 (𝐝𝐲𝐝𝐱) =𝐐𝐱𝟔𝟑−𝐐𝐋𝟔𝟑

Persamaan tersebut kemudian diintegralkan kembali terhadap x, sehingga menjadi :

∫ 𝐄𝐈 (𝐝𝐲𝐝𝐱) = ∫𝐐𝐱𝟔 − ∫𝟑 𝐐𝐋𝟔𝟑

𝐄𝐈𝐲 =𝐐𝐱𝟐𝟒𝟒−𝐐𝐋𝟔𝟑𝐱+ 𝐂𝟐

Pada x = L, lendutan y = 0, sehingga didapat C2 sebagai berikut :

𝟎 =𝐐𝐋𝟐𝟒 −𝟒 𝐐𝐋𝟔 + 𝐂𝟒 𝟐

𝐂𝟐=𝐐𝐋 𝟒

(7)

Persamaan tersebut menjadi :

𝐄𝐈𝐲 =𝐐𝐱𝟐𝟒𝟒−𝐐𝐋𝟔𝟑𝐱+𝐐𝐋𝟖𝟒

𝐲 =𝟐𝟒𝐄𝐈𝐐 (𝐱𝟒− 𝟒𝐋𝟑𝐱 + 𝟑𝐋𝟒)

Pada x = 0 akan terjadi rotasi maksimum sebesar :

𝐄𝐈 (𝐝𝐲𝐝𝐱) =𝐐𝐱𝟔𝟑−𝐐𝐋𝟔𝟑 𝛉𝐁=𝐐.𝟎

𝟐

𝟔𝐄𝐈 − 𝐐𝐋𝟑

𝟔𝐄𝐈

𝛉𝐁= −𝐐𝐋

𝟑

𝟔𝐄𝐈

dan lendutan maksimum :

𝐲 =𝟐𝟒𝐄𝐈𝐐 (𝐱𝟒− 𝟒𝐋𝟑𝐱 + 𝟑𝐋𝟒)

𝐲𝐁=𝟐𝟒𝐄𝐈𝐐 (𝟎𝟒− 𝟒𝐋𝟑. 𝟎 + 𝟑𝐋𝟒)

𝐲𝐁=𝟑𝐐𝐋 𝟒

𝟐𝟒𝐄𝐈 = 𝐐𝐋𝟒

𝟖𝐄𝐈

2.3. Balok sederhana dengan beban titik

Gambar 2.6. Balok sederhana dengan beban titik

Dari Gambar 2.6, besarnya reaksi dukungan dan besarnya momen pada jarak x adalah :

𝐑𝐀= 𝐏𝐛𝐋 dan 𝐑𝐁= 𝐏𝐚𝐋

𝐌𝐗 =𝐏𝐛𝐱𝐋 untuk x a

(8)

Persamaan tersebut disubstitusi ke dalam Pers. 2.7, sehingga didapat :

𝐄𝐈 (𝐝𝐝𝐱𝟐𝐲𝟐) = −

𝐏𝐛𝐱

𝐋 untuk x a

𝐄𝐈 (𝐝𝐝𝐱𝟐𝐲𝟐) = −𝐏𝐛𝐱𝐋 + 𝐏(𝐱 − 𝐚) untuk x a

Persamaan tersebut diintegralkan terhadap x, sehingga didapat :

∫ 𝐄𝐈 (𝐝𝐝𝐱𝟐𝐲𝟐) = ∫ −

Pada x = a, dua persamaan tersebut hasilnya akan sama, dan jika diintegralkan lagi terhadap x akan didapatkan persamaan berikut :

𝐄𝐈𝐲 = −𝐏𝐛𝐱𝟔𝐋𝟑+ 𝐂𝟏𝐱 + 𝐂𝟑 untuk x a

𝐄𝐈𝐲 = −𝐏𝐛𝐱𝟔𝐋𝟑+𝐏(𝐱−𝐚)𝟔 𝟑+ 𝐂𝟐𝐱 + 𝐂𝟒 untuk x a

Pada x = a, maka nilai C1harus sama dengan C2 (C1 = C2) dan C3 = C4, sehingga

persamaannya menjadi :

𝐄𝐈𝐲 = −𝐏𝐛𝐱𝟔𝐋𝟑+𝐏(𝐱−𝐚)𝟔 𝟑+ 𝐂𝟏𝐱 + 𝐂𝟑

Dengan meninjau kondisi batas tumpuan :

→ untuk x = 0, maka y = 0, sehingga nilai C3 = C4 = 0

Sehingga setelah C1 disubtitusi, persamaannya akan menjadi :

𝐲 =𝟔𝐄𝐈𝐋𝐏𝐛𝐱(𝐋𝟐− 𝐛𝟐− 𝐱𝟐) untuk x a

𝐲 =𝟔𝐄𝐈𝐋𝐏𝐛𝐱(𝐋𝟐− 𝐛𝟐− 𝐱𝟐) +𝐏(𝐱−𝐚)𝟑

𝟔𝐄𝐈 untuk x a

(9)

Pada kasus beban titik terletak di tengah bentang (a = b = L/2), maka lendutan maksimum akan terjadi di x = L/2, sehingga diperoleh :

𝐲 =𝟔𝐄𝐈𝐋𝐏𝐛𝐱(𝐋𝟐− 𝐛𝟐− 𝐱𝟐) untuk x a

2.4. Balok sederhana dengan beban merata

Gambar 2.7. Balok sederhana dengan beban merata

Dari Gambar 2.7, besarnya reaksi dukungan dan besarnya momen pada jarak x adalah :

Persamaan tersebut disubstitusi ke dalam Pers. 2.7, sehingga didapat :

𝐄𝐈 (𝐝𝐝𝐱𝟐𝐲𝟐) = −

𝟏

𝟐𝐐𝐋𝐱 + 𝟏 𝟐𝐐𝐱𝟐

Persamaan tersebut diintegralkan terhadap x, sehingga didapat :

∫ 𝐄𝐈 (𝐝𝐝𝐱𝟐𝐲𝟐) = ∫ −

Dengan meninjau kondisi batas tumpuan, Mmaks terjadi pada x = L/2 dan pada lokasi

tersebut tidak terjadi rotasi 𝐝𝐲

𝐝𝐱 = 𝟎, sehingga persamaannya menjadi :

𝟎 = −𝟏𝟒𝐐𝐋 (𝐋𝟐)𝟐+𝟏𝟔𝐐 (𝟐𝐋)𝟑+ 𝐂𝟏

𝟎 = −𝟏𝟔𝟏 𝐐𝐋𝟑+ 𝟏

𝟒𝟖𝐐𝐋𝟑+ 𝐂𝟏

(10)

Sehingga persamaannya akan menjadi : 𝐄𝐈 (𝐝𝐲𝐝𝐱) == −𝟏𝟒𝐐𝐋𝐱𝟐+𝟏

𝟔𝐐𝐱𝟑+ 𝟏 𝟐𝟒𝐐𝐋𝟑

Persamaan tersebut kemudian diintegralkan kembali terhadap x, sehingga menjadi : ∫ 𝐄𝐈 (𝐝𝐲𝐝𝐱) = − ∫𝟏𝟒𝐐𝐋𝐱𝟐+ ∫𝟏

Persamaan tersebut menjadi : 𝐄𝐈𝐲 = −𝟏𝟐𝟏 𝐐𝐋𝐱𝟑+ 𝟏

𝟐𝟒𝐐𝐱𝟒+ 𝟏 𝟐𝟒𝐐𝐋𝟑𝐱

𝐲 =𝟐𝟒𝐄𝐈𝐐𝐱 (𝐋𝟑− 𝟐𝐋𝐱𝟐+ 𝐱𝟑)

Pada kasus merata terletak penuh di sepanjang bentang, maka rotasi maksimum akan terjadi di x = 0 atau x = L, sehingga diperoleh :

Pada kasus beban merata terletak penuh di sepanjang bentang, maka lendutan maksimum akan terjadi di x = L/2, sehingga diperoleh :

𝐲 =𝟐𝟒𝐄𝐈𝐐𝐱 (𝐋𝟑− 𝟐𝐋𝐱𝟐+ 𝐱𝟑)

(11)

Gambar 3.1. Balok yang mengalami lentur

Dari Gambar 3.1 dapat diperoleh persamaan berikut :

𝟏 𝐫=

𝐝𝛉 𝐝𝐱 =

𝐌

𝐄𝐈 (3.1)

atau yang dapat ditulis menjadi :

𝐝𝛉 =𝐄𝐈𝐌𝐝𝐱 (3.2)

dari Pers. 3.2, dapat dibuat teorema berikut :

Teorema I :

Elemen sudut dyang dibentuk oleh dua tangen arah pada dua titik yang berjarak dx, besarnya sama dengan luas bidang momen antara dua titik tersebut dibagi dengan EI.

Dari Gambar 3.1, apabila dx adalah panjang balok AB, maka besarnya sudut yang dibentuk adalah :

(12)

Berdasarkan garis singgung m dan n yang berpotongan dengan garis vertikal yang melewati titik B akan diperoleh :

𝐁′𝐁" = 𝐝𝛅 = 𝐱𝐝𝛉 =𝐌𝐱𝐄𝐈 𝐝𝐱 (3.4)

dengan :

M.dx = luas bidang momen sepanjang dx

M.x.dx = statis momen luas bidang M terhadap titik yang berjarak x dari elemen M

Sehingga dari Pers. 3.4 dapat dibuat teorema berikut :

Teorema II :

Jarak vertikal pada suatu tempat yang dibentuk dua garis singgung pada dua titik suatu balok besarnya sama dengan statis momen luas bidang momen terhadap tempat tersebut dibagi dengan EI.

𝐁𝐁′ = 𝛅 = ∫𝟎𝐋𝐌𝐱𝐄𝐈 𝐝𝐱 (3.5)

Untuk menyelesaikan Pers. (3.5) yang menjadi permasalahan adalah letak titik berat suatu luasan, karena letak titik berat tersebut diperlukan dalam menghitung statis momen luas M.dx.x. Letak titik berat dari beberapa luasan dapat dilihat pada Gambar 3.2.

(13)

3.1. Balok kantilever dengan beban titik

Gambar 3.2. Balok kantilever dengan beban titik

Momen di A akibat beban titik sebesar MA = PL

Letak titik berat ke titik B sebesar = 2L/3

Berdasarkan Teorema I, besarnya sudut terhadap titik B adalah sebesar : 𝛉𝐁=𝐋𝐮𝐚𝐬 𝐛𝐢𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐨𝐦𝐞𝐧𝐄𝐈

𝛉𝐁=𝐏𝐋.

𝟏 𝟐𝐋

𝐄𝐈 = 𝐏𝐋𝟐

𝟐𝐄𝐈

Berdasarkan Teorema II, besarnya lendutan vertikal di B adalah sebesar : 𝛅𝐁 =𝐒𝐭𝐚𝐭𝐢𝐬 𝐦𝐨𝐦𝐞𝐧 𝐥𝐮𝐚𝐬 𝐛𝐢𝐝𝐚𝐧𝐠𝐄𝐈

𝛅𝐁 =𝐏𝐋.

𝟏 𝟐𝐋.𝟐𝟑𝐋

𝐄𝐈 = 𝐏𝐋𝟑

𝟑𝐄𝐈

3.2. Balok kantilever dengan beban merata

(14)

Momen di A akibat beban merata sebesar 𝐌𝐀 =𝐐𝐋𝟐

𝟐

Letak titik berat ke titik B sebesar = 3L/4

Berdasarkan Teorema I, besarnya sudut terhadap titik B adalah sebesar : 𝛉𝐁=𝐋𝐮𝐚𝐬 𝐛𝐢𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐨𝐦𝐞𝐧𝐄𝐈

Berdasarkan Teorema II, besarnya lendutan vertikal di B adalah sebesar : 𝛅𝐁 =𝐒𝐭𝐚𝐭𝐢𝐬 𝐦𝐨𝐦𝐞𝐧 𝐥𝐮𝐚𝐬 𝐛𝐢𝐝𝐚𝐧𝐠𝐄𝐈

3.3. Balok sederhana dengan beban titik

Gambar 3.4. Balok sederhana dengan beban titik

Momen di C akibat beban titik sebesar MC = PL/4

Letak titik berat ke titik A sebesar = L/3

Berdasarkan Teorema I, besarnya sudut terhadap titik C adalah sebesar : 𝛉𝐂=𝐋𝐮𝐚𝐬 𝐛𝐢𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐨𝐦𝐞𝐧𝐄𝐈

(15)

3.4. Balok sederhana dengan beban merata

Gambar 3.5. Balok sederhana dengan beban merata

Momen di C akibat beban merata sebesar 𝐌𝐂 =𝐐𝐋𝟐

𝟖

Letak titik berat ke titik A sebesar = 5L/16

Berdasarkan Teorema I, besarnya sudut terhadap titik C adalah sebesar : 𝛉𝐂=𝐋𝐮𝐚𝐬 𝐛𝐢𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐨𝐦𝐞𝐧𝐄𝐈

𝛉𝐂=

𝟏 𝟖𝐐𝐋𝟐.𝟐𝟑.𝟐𝐋

𝐄𝐈 = 𝐐𝐋𝟑 𝟐𝟒𝐄𝐈

Berdasarkan Teorema II, besarnya lendutan vertikal di C adalah sebesar : 𝛅𝐂 =𝐒𝐭𝐚𝐭𝐢𝐬 𝐦𝐨𝐦𝐞𝐧 𝐥𝐮𝐚𝐬 𝐛𝐢𝐝𝐚𝐧𝐠𝐄𝐈

𝛅𝐂 =

𝟏

𝟖𝐐𝐋𝟐.𝟐𝟑.𝐋𝟐.𝟓𝐋𝟏𝟔

𝐄𝐈 =

𝟓𝐐𝐋𝟒 𝟑𝟖𝟒𝐄𝐈

4.

M

etode Balok Padanan (Conjugate Beam Method)

(16)

Gambar 4.1. Balok sederhana dan garis elastika beban titik

Dari Gambar 4.1, W adalah luas bidang momen yang besarnya :

𝐖 =𝟏𝟐𝐋.𝐏𝐚𝐛𝐋 = 𝐏𝐚𝐛𝟐 (4.1)

Berdasarkan Teorema II yang telah dibahas pada metode luas bidang momen (moment area method), maka didapat :

𝛅𝟏 =𝐒𝐭𝐚𝐭𝐢𝐬 𝐦𝐨𝐦𝐞𝐧 𝐥𝐮𝐚𝐬 𝐛𝐢𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐡𝐚𝐝𝐚𝐩 𝐁𝐄𝐈

𝛅𝟏 =𝐄𝐈𝟏(𝐏𝐚𝐛𝟐 ) (𝟏𝟑(𝐋 + 𝐛)) =𝐏𝐚𝐛(𝐋+𝐛)𝟔𝐄𝐈 (4.2)

Dengan menganggap bahwa lendutan yang terjadi cukup kecil, maka berdasarkan pendekatan geometris akan diperoleh :

𝛅𝟏 = 𝛉𝐀𝐋 atau 𝛉𝐀=𝛅𝐋𝟏

𝛉𝐀=𝐏𝐚𝐛(𝐋+𝐛)𝟔𝐄𝐈𝐋 =𝐑𝐄𝐈𝐀 (4.3)

Analog dengan cara yang sama, akan diperoleh :

𝛉𝐁=𝐏𝐚𝐛(𝐋+𝐚)𝟔𝐄𝐈𝐋 = 𝐑𝐄𝐈𝐁 (4.4)

Dari Pers. (4.3) dan (4.4), dapat dibuat kesimpulan bahwa rotasi di A dan B besarnya

(17)

Gambar 4.1, sebenarnya yang akan dicari adalah defleksi pada titik sejauh x meter dari tumpuan A(potongan i-j-k) yaitu sebesar x.

x= ij = ik –jk (4.5)

Berdasarkan geometri, maka besarnya ik = Ax, sehingga :

𝐢𝐤 =𝐑𝐀𝐱

𝐄𝐈 (4.6)

Sedangkan berdasarkan Teorema II adalah statis momen luasan Amnterhadap bidang m-ndibagi dengan EI, maka akan diperoleh :

𝐣𝐤 =𝐥𝐮𝐚𝐬 𝐀𝐦𝐧.𝐱𝟑

𝐄𝐈 (4.7)

Sehingga lendutan xyang berjarak xdari A, adalah :

𝛅𝐱=𝐄𝐈𝟏(𝐑𝐀𝐱 − 𝐥𝐮𝐚𝐬 𝐀𝐦𝐧.𝟑𝐱) (4.8)

Berdasarkan Pers. (4.8) dapat dibuat sebuah teorema.

Teorema III :

Lendutan disuatu titik dalam suatu bentang balok sederhana besarnya sama dengan momen di titik tersebut dibagi dengan EI, apabila bidang momen dianggap sebagai beban.

4.2. Balok kantilever dengan beban titik

Gambar 4.2. Balok kantilever dengan beban titik

Untuk penyelesaiannya adalah dengan mencari bidang momen terlebih dahulu, hasilnya ditunjukkan pada Gambar 4.2.b. Hasil bidang momen tersebut kemudian dijadikan sebagaimana beban, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.c. Kemudian dicari besarnya reaksi tumpuan dan momennya. Nilai  adalah sebesar RA akibat

beban momen dibagi dengan EI, sedangkan nilai adalah sebesar MBakibat beban

(18)

 Berdasarkan Gambar 4.2.a, didapat momen di A seperti pada Gambar 4.2.b yang besarnya : 𝐌𝐀= 𝐏𝐋

 Dari bidang momen yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.b, kemudian dibalik dan dijadikan beban seperti pada Gambar 4.2.c, kemudian dihitung reaksi tumpuan yang besarnya :

𝐑𝐀= 𝐏𝐋

𝟐

𝟐 (besarnya sama dengan Amn = W)

 Dengan demikian rotasi di B dapat dihitung, yaitu sebesar : 𝛉𝐁 =𝐑𝐄𝐈𝐀 =𝐏𝐋

𝟐

𝟐𝐄𝐈

 Dari Gambar 4.2.c, dapat dihitung momen di A, yaitu sebesar : 𝐌𝐀 =𝐏𝐋

𝟐

𝟐 . 𝟐 𝟑𝐋 =

𝐏𝐋𝟑

𝟑

 Besanya lendutan di B dapat dihitung, yaitu sebesar : 𝛅𝐁= 𝐌𝐄𝐈𝐀= 𝐏𝐋

𝟑

𝟑𝐄𝐈

4.3. Balok kantilever dengan beban merata

Gambar 4.3. Balok kantilever dengan beban merata

(19)

beban momen dibagi dengan EI, sedangkan nilai adalah sebesar MBakibat beban

momen dibagi dengan EI. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada perhitungan berikut :

 Berdasarkan Gambar 4.3.a, didapat momen di A seperti pada Gambar 4.3.b yang

besarnya : 𝐌𝐀= 𝐐𝐋𝟐

𝟐

 Dari bidang momen yang ditunjukkan pada Gambar 4.3.b, kemudian dibalik dan dijadikan beban seperti pada Gambar 4.3.c, kemudian dihitung reaksi tumpuan yang besarnya :

𝐑𝐀= 𝟏𝟐𝐐𝐋𝟐.𝟏𝟑𝐋 =𝐐𝐋

𝟑

𝟔 (besarnya sama dengan Amn = W)

 Dengan demikian rotasi di B dapat dihitung, yaitu sebesar : 𝛉𝐁 =𝐑𝐄𝐈𝐀 =𝐐𝐋

𝟑

𝟔𝐄𝐈

 Dari Gambar 4.3.c, dapat dihitung momen di A, yaitu sebesar : 𝐌𝐀 =𝐐𝐋

𝟑

𝟔 . 𝟑 𝟒𝐋 =

𝐐𝐋𝟒

𝟖

 Besanya lendutan di B dapat dihitung, yaitu sebesar : 𝛅𝐁= 𝐌𝐄𝐈𝐀= 𝐐𝐋

𝟒

𝟖𝐄𝐈

4.4. Balok sederhana dengan beban titik

Gambar 4.4. Balok sederhana dengan beban titik

(20)

dicari besarnya reaksi tumpuan dan momennya. Nilai  adalah sebesar RA akibat

beban momen dibagi dengan EI, sedangkan Nilai  adalah sebesar RAakibat beban

momen dibagi dengan EI, dan nilai Cadalah sebesar MCakibat beban momen dibagi

dengan EI. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada perhitungan berikut :

 Berdasarkan Gambar 4.4.a, didapat momen di C seperti pada Gambar 4.4.b yang

besarnya : 𝐌𝐂=𝐏𝐋

𝟒

 Dari bidang momen yang ditunjukkan pada Gambar 4.4.b, kemudian dibalik dan dijadikan beban seperti pada Gambar 4.4.c, kemudian dihitung reaksi tumpuan yang besarnya :

𝐑𝐀= 𝐑𝐁 =𝟏𝟐.𝐏𝐋𝟒 .𝟐𝐋= 𝐏𝐋

𝟐

𝟏𝟔 (besarnya sama dengan Amn = W)

 Dengan demikian rotasi di A dan B dapat dihitung, yaitu sebesar : 𝛉𝐀 = 𝛉𝐁= 𝐑𝐄𝐈𝐀 =𝐑𝐄𝐈𝐀 = 𝐏𝐋

𝟐

𝟏𝟔𝐄𝐈

 Dari Gambar 4.4.c, dapat dihitung momen di C, yaitu sebesar : 𝐌𝐂= 𝐑𝐀.𝟐𝟑.𝐋𝟐= 𝐏𝐋

𝟐

𝟏𝟔𝐄𝐈. 𝟐 𝟑.

𝐋 𝟐=

𝐏𝐋𝟑

𝟒𝟖

 Besanya lendutan di C dapat dihitung, yaitu sebesar : 𝛅𝐂= 𝐌𝐄𝐈𝐂= 𝐏𝐋

𝟑

𝟒𝟖𝐄𝐈

4.5. Balok sederhana dengan beban merata

(21)

Untuk penyelesaiannya adalah dengan mencari bidang momen terlebih dahulu, hasilnya ditunjukkan pada Gambar 4.5.b. Hasil bidang momen tersebut kemudian dijadikan sebagaimana beban, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.5.c. Kemudian dicari besarnya reaksi tumpuan dan momennya. Nilai  adalah sebesar RA akibat

beban momen dibagi dengan EI, sedangkan Nilai  adalah sebesar RAakibat beban

momen dibagi dengan EI, dan nilai Cadalah sebesar MCakibat beban momen dibagi

dengan EI. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada perhitungan berikut :

 Berdasarkan Gambar 4.5.a, didapat momen di C seperti pada Gambar 4.5.b yang

besarnya : 𝐌𝐂=𝐐𝐋𝟐

𝟖

 Dari bidang momen yang ditunjukkan pada Gambar 4.5.b, kemudian dibalik dan dijadikan beban seperti pada Gambar 4.5.c, kemudian dihitung reaksi tumpuan yang besarnya :

 Dengan demikian rotasi di A dan B dapat dihitung, yaitu sebesar : 𝛉𝐀 = 𝛉𝐁= 𝐑𝐄𝐈𝐀 =𝐑𝐄𝐈𝐀 = 𝐐𝐋

 Besanya lendutan di C dapat dihitung, yaitu sebesar : 𝛅𝐂= 𝐌𝐄𝐈𝐂= 𝟓𝐐𝐋

𝟒

𝟑𝟖𝟒𝐄𝐈

5.

M

etode Beban Satuan (Unit Load Method)

Metode Energi Regangan (Strain Energy Method) adalah metode yang sangat baik (powerful) untuk memformulasi hubungan gaya dan perpindahan pada suatu struktur. Pembahasan metode energi regangan (strain energy method) termasuk didalamnya adalah kekekalan energi dan metode beban satuan (unit load method) atau yang juga dikenal dengan metode kerja maya (virtual work method). Sebagai ilustrasi dari kekekalan energi, misal sebuah elemen struktur dibebani gaya P dan Q, maka pada struktur akan terdapat :

 Kerja luar (external work) : produk gaya luar (KL)

 Kerja dalam (internal work) : produk gaya dalam (KD)

KL = KD → kondisi keseimbangan (equilibrium)

Kerja dalam (internal work) merupakan respon terhadap kerja luar (external work) akibat adanya beban yang diaplikasikan pada struktur dan deformasinya. KD

mempunyai kapasitas untuk menghasilkan kerja dan menjaga struktur pada konfigurasi asalnya, karena perilaku dari struktur masih dalam batas kondisi elastis. Untuk lebih dapat memahami tentang KD yang juga sering disebut dengan energi

(22)

Gambar 5.1. Energi regangan pada balok

Dari Gambar 5.1.b, dapat dihitung besarnya dseperti Pers. 5.1 :

=𝐌𝐄𝐈𝐝𝐱 (5.1)

Energi regangan balok sepanjang dx dapat dihitung dengan persamaan berikut :

dU=𝟏𝟐𝐌𝐝𝛉 (5.2)

Jadi energi regangan balok secara keseluruhan merupakan hasil integral dari dU

seperti berikut :

U= ∫ 𝐝𝐔 = ∫𝟎𝐋 𝟎𝐋𝟐𝐄𝐈𝐌𝟐𝐝𝐱 (5.3)

Selanjutnya akan dijelaskan tentang energi potensial pada struktur yang dinotasikan dengan Π yang terbentuk atas dua komponen, yaitu U (energi regangan) dan Ω (kerja luar).

𝚷 = 𝐔 + 𝛀 (5.4)

dengan :

𝐔 =𝟏𝟐𝐤𝚫𝟐 (5.5)

𝛀 = −𝐅𝚫 (5.6)

jadi :

𝚷 =𝟏𝟐𝐤𝚫𝟐− 𝐅𝚫 (5.7)

Pers. (5.7) merupakan persamaan fungsi Δ dan jika diturunkan terhadap , maka :

𝐝𝚷 = 𝐤𝚫 − 𝐅 (5.8)

Pada kondisi seimbang (equilibrium) atau 𝐝𝚷 = 𝟎, maka :

𝐅 = 𝐤𝚫 (5.9)

Pers. (5.9) menunjukkan hubungan antara gaya (F) dan perpindahan (Δ) dengan k

(23)

Teorema Castigliano I :

Potential energi (Π) sering ditunjukkan dalam fungsi dari Degree of Freedom, DoF (derajat kebebasan) seperti pada Pers. (5.10).

𝚷 = 𝚷(𝐃𝟏, 𝐃𝟐, 𝐃𝟑, … , 𝐃𝐧) (5.10)

Pada kondisi seimbang (equilibrium) atau 𝐝𝚷 = 𝟎, maka : 𝐝𝚷 =𝛛𝐃𝐝𝚷

𝟏𝐝𝐃𝟏+

𝐝𝚷

𝛛𝐃𝟐𝐝𝐃𝟐+

𝐝𝚷

𝛛𝐃𝟑𝐝𝐃𝟑+ ⋯ +

𝐝𝚷

𝛛𝐃𝐧𝐝𝐃𝐧= 𝟎 (5.11)

sehingga dari Pers. (5.11) dapat ditulis ulang dalam bentuk matriks seperti berikut :

F1 = K11D1 K12D2 K13D3 K1nDn

F2 = K21D1 K22D2 K23D3 K2nDn

F3 = K31D1 K32D2 K33D3 K3nDn

… =

Fn = Kn1D1 Kn2D2 Kn3Dn KnnDn

[𝐅] = [𝐊] [𝐃] (5.12)

Pers (5.12) identik dengan Pers. (5.9).

Teorema Castigliano II :

Untuk struktur yang berperilaku linier‐elastik, lendutan pada suatu titik dalam struktur merupakan turunan parsial dari energi regangan terhadap gaya (Pers. 5.13) dan rotasi merupakan turunan parsial dari energi regangan terhadap kopel pada garis kerja (Pers. 5.14).

∆𝐢=𝛛𝐏𝛛𝐔𝐢 (5.13)

𝛉𝐢 =𝛛𝐌𝛛𝐔

𝐢 (5.14)

(24)

Gambar 5.2. Energi regangan pada balok sederhana

Dari Gambar 5.2, energi regangan pada balok = kerja luarnya, yaitu :

𝐔 = 𝐖𝐢 =𝟏𝟐𝐏𝟏∆𝟏+𝟏𝟐𝐏𝟐∆𝟐+𝟏𝟐𝐏𝟑∆𝟑 (5.15)

Pers. (5.15), energi regangan dapat juga ditulis dalam bentuk fungsi beban atau gaya seperti berikut :

𝐔 = 𝐟(𝐏𝟏, 𝐏𝟐, 𝐏𝟑) (5.16)

Jika P2 ditingkatkan sebesar dP2 yang akan menyebabkan lendutan di titik 2 juga

meningkat sebesar dΔ2, maka energi regangan juga meningkat menjadi :

𝐔𝐓 = 𝐔 +𝛛𝐏𝛛𝐔

𝟐𝐝𝐏𝟐 (5.17)

atau

𝐔𝐓 = 𝐔 + 𝐝𝐔

𝐔𝐓 = 𝟏𝟐𝐝𝐏𝟐𝐝∆𝟐+ 𝐝𝐏𝟐∆𝟐+𝟏𝟐𝐏𝟏∆𝟏+𝟏𝟐𝐏𝟐∆𝟐+𝟏𝟐𝐏𝟑∆𝟑 (5.18)

Jika suku pertama pada Pers. (5.18) dapat diabaikan, sehingga persamaannya dapat ditulis menjadi :

𝐔𝐓 = 𝐝𝐏𝟐∆𝟐+𝟏𝟐𝐏𝟏∆𝟏+𝟏𝟐𝐏𝟐∆𝟐+𝟏𝟐𝐏𝟑∆𝟑

𝐔𝐓 = 𝐝𝐏𝟐∆𝟐+ 𝐔 (5.19)

Dengan memperhatikan bahwa Pers. (5.17) identik dengan Pers. (5.19), maka dapat ditulis dalam bentuk :

𝐔 +𝛛𝐏𝛛𝐔

𝟐𝐝𝐏𝟐 = 𝐝𝐏𝟐∆𝟐+ 𝐔

𝛛𝐔

𝛛𝐏𝟐𝐝𝐏𝟐 = 𝐝𝐏𝟐∆𝟐

𝛛𝐔 𝛛𝐏𝟐= ∆𝟐

(25)

Jadi lendutan di suatu titik adalah merupakan hasil turunan energi regangan ke gaya di titik tersebut pada arah kerjanya. Dengan cara yang sama juga dapat diperoleh rotasi di suatu titik seperti pada Pers. (5.14).

𝛉𝐢 =𝛛𝐌𝛛𝐔𝐢

5.1. Balok kantilever dengan beban titik

Gambar 5.3. Balok kantilever dengan beban titik

Dengan menggunakan Pers. (5.13) dapat dihitung lendutan di titik B seperti berikut : ∆𝐁= ∫ 𝐦𝟎𝐋 𝐄𝐈𝐌𝐝𝐱

= ∫ 𝐱𝐏𝐱𝐄𝐈 𝐝𝐱 =

𝐋

𝟎

𝐏

𝐄𝐈 ∫ 𝐱𝟐𝐝𝐱 = 𝐏 𝐄𝐈 [

𝟏

𝟑 𝐱𝟑] 𝐋𝟎 = 𝐏𝐋𝟑

𝟑𝐄𝐈

𝐋

𝟎

Sedangkan rotasi di titik B dapat dihitung dengan menggunakan Pers. (5.14) seperti berikut :

𝛉𝐁= ∫ 𝐦𝟎𝐋 𝐄𝐈𝐌𝐝𝐱

= ∫ 𝟏𝐏𝐱𝐄𝐈 𝐝𝐱 =

𝐋

𝟎

𝐏

𝐄𝐈 ∫ 𝐱𝐝𝐱 = 𝐏 𝐄𝐈 [

𝟏

𝟐 𝐱𝟐] 𝐋𝟎 = 𝐏𝐋𝟐

𝟐𝐄𝐈

𝐋

(26)

5.2. Balok kantilever dengan beban merata

Gambar 5.4. Balok kantilever dengan beban merata

Dengan menggunakan Pers. (5.13) dapat dihitung lendutan di titik B seperti berikut : ∆𝐁= ∫ 𝐦𝟎𝐋 𝐄𝐈𝐌𝐝𝐱

(27)

5.3. Balok sederhana dengan beban titik

Gambar 5.5. Balok sederhana dengan beban titik

Dengan menggunakan Pers. (5.13) untuk interval 0 x L/2 dapat dihitung lendutan menggunakan Pers. (5.14) seperti berikut :

Gambar

Gambar 1.1. Crane pada sistem portal
Gambar 2.1. Lenturan pada balok sederhana
Gambar 2.2 dan 2.3.
Gambar 2.3. Kondisi batas tumpuan sendi-roll
+7

Referensi

Dokumen terkait