• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muhammad Daniel Fahmi Rizal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Muhammad Daniel Fahmi Rizal"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

MEMAKAI KOMIK SEBAGAI PROPAGANDA; TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

Sudah menjadi rahasia umum, mantan presiden Soeharto sebagai tokoh sentral pemerintah Orde Baru menggunakan berbagai cara untuk memperkuat peran dan posisinya dalam bangsa. Salah satu cara yang digunakan adalah mempropagandakan kehebatan dirinya melalui medium komik. Komik

Merebut Kota Perjuangan merupakan komik yang berusaha menceritakan bahwa tokoh Soeharto adalah inisiator Serangan Umum Satu Maret. Melalui pendekatan sosiologi sastra komik tersebut akan dianalisis. Hasil analisis menunjukkan bahwa tokoh Soeharto tergambar begitu besar perannya dalam Serangan Umum Satu Maret. Jenderal Soedirman dan Sri Sultan Hamengkobuwono IX, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai penggagas Serangan Umum sebenarnya, justru direduksi peran dan posisi politisnya.

Kata kunci: Soeharto, Serangan Umum Satu Maret, Inisiator, Sosiologi Sastra, Jenderal Soedirman dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX

Pendahuluan

Karya sastra memiliki potensi yang sangat besar. Di antara potensi tersebut adalah karya sastra mampu menjadi alat propaganda dari penciptanya. Dalam melihat sastra dan seni sebagai propaganda, Wellek dan Warren (2014: 30) memandang pengarang bukan sebagai penemu melainkan sebagai pemasok kebenaran. Apa yang pengarang percaya ia tuliskan dan ia sebarkan melalui karya-karyanya. Dalam ranah sastra Indonesia, kita tentu ingat Balai Pustaka yang merupakan bentukan dari pemerintah kolonial Belanda. Sebagai alat pelaksana politik etis, Balai Pustaka bertujuan “untuk memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang” (dari Balai Pustaka Sewajarnya dalam Mahayana, 1994:13).

Pemerintah kolonial Jepang pernah pula memanfaatkan sastra sebagai medium propaganda. Drama seperti Pandu Partiwi karya Merayu Sukma sepenuhnya berupa alegori; konsep-konsep abstrak yang ditawarkan, atau dipaksakan, oleh pemerintah jajahan Jepang ditampilkan di panggung sebagai manusia tentu dengan maksud agar lebih mudah dipahami oleh khalayak ramai (Damono dalam Kalam, 2013:68). Tidak hanya drama panggung, drama radio juga dimanfaatkan oleh mereka. Dalam sebuah drama radio yang berjudul Sakura dan Nyiur karya M.D. Alif, ditampilkan dua tokoh yang juga wakil konsep-konsep yang ditawarkan oleh pemerintah, yakni keunggulan dan pentingnya pengaruh serta kekuasaannya terhadap bangsa Indonesia yang adalah tanah jajahannya (ibid).

Tentu kita tak akan pernah lupa dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra beserta propaganda realisme sosialnya. Melalui konsep seni untuk rakyat, Lekra mengajak para pekerja kebudayaan mengabdikan diri untuk Indonesia. Menarik garis batas antara “kami dan mereka”, ide seni untuk rakyat segera berubah menjadi kon lik terbuka. (Tim Tempo, 2014: vii). Propaganda terbuka yang dilancarkan Lekra kemudian memicu kon lik dengan sastrawan maupun seniman yang tidak sealiran dengan mereka.

(2)

ini tampil dengan gaya realis, gaya yang cocok untuk menceritakan kejadian sejarah. Merebut Kota Perjuangan (selanjutnya disebut MKP) terbit dengan melewati lembaga sensor resmi pemerintah. MKP diterbitkan oleh Yayasan Sinar Asih Mataram. MKP telah lulus sensor dari Kodak Metro Jaya, Kepolisian RI. Di halaman belakang novel gra is ini juga mendapat cap stempel dari Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1985. Presiden Soeharto turut pula memberikan sambutan. Jadi secara formal, MKP benar-benar merupakan produk resmi Orde Baru.

Fokus dari cerita novel gra is ini adalah tokoh Soeharto yang tak lain adalah representasi mantan presiden Soeharto. Melihat tokoh Soeharto dalam novel gra is ini dan membandingkannya dengan fakta sejarah yang terbentuk menurut berbagai versi tentu menjadi pekerjaan yang menarik. Untuk itulah MKP perlu diteliti. Penelitian ini akan berfokus pada penggambaran tokoh Soeharto sebagai penggagas Serangan Umum Satu Maret. Bagaimana Soeharto dicitrakan, dan pesan apa saja yang ingin disampaikan, akan ditelaah melalui pendekatan sosiologi sastra.

Karena ini adalah novel gra is sejarah, tentu pembuatannya terikat konteks sosial. Maka dari itu analisis sosiologi sastra terhadap teks perlu dilakukan terhadap MKP. Sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 2014: 2). Wellek dan Warren (1956:84) mengklasi ikan masalah sosiologi sastra menjadi tiga hal, yakni terkait pengarang, karya sastra, dan masyarakat yang menikmati karya sastra. Pendekatan ini dilakukan agar kita bisa melihat latar belakang sosial pembentukan tokoh Soeharto. Mengapa, bagaimana, dan untuk apa tokoh Soeharto diciptakan oleh pengarang.

Pembahasan

Soeharto Sang Inisiator Serangan

Kontroversi penggagas serangan umum sudah menjadi rahasia umum. Ada pihak yang menganggap Letkol Soeharto merupakan penggagas Serangan Umum. Pihak lain menganggap bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah penggagas Serangan Umum sebenarnya. Terlepas dari siapa yang benar, dalam MKP tokoh Soeharto berusaha dicitrakan sebagai penggagas Serangan Umum. Peran Sultan, serta Jenderal Soedirman, direduksi sedemikian rupa.

Ketika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, Tentara Republik dipukul mundur dari Yogyakarta. Mereka bercerai berai. Oleh Jenderal Soedirman, dikeluarkan Perintah Siasat Nomor 1 Bulan November 1948, yang intinya memerintahkan semua anggota pasukan mengungsi sambil membentuk kantong pertahanan dan tidak menyerang pasukan Belanda secara frontal (Tim Tempo, 2014:50). Soedirman juga memerintahkan Soeharto, sebagai Komandan Brigade X Yogyakarta yang kemudian menjadi Komandan Wehrkreise III, untuk memimpin pasukan di Yogya dan tiga kali melakukan serangan umum dengan kekuatan ala kadarnya (ibid).

(3)

Gambar 1: Soeharto memimpin rapat sebelum penyerangan

Serangan-serangan lain juga dilakukan Soeharto, semuanya di malam hari. MKP menggambar serangan tersebut. Tergambar bahwa Soeharto menginisiasi pertempuran, dengan serangan ala kadarnya, agar rakyat Indonesia masih percaya TNI masih ada.

Gambar 2: Soeharto bersama pasukannya menyerang Plengkung Gading

(4)

Gambar 4: Soeharto memimpin penyerangan di Yogyakarta

Citra yang dibangun MKP adalah Soeharto sebagai inisiator serangan-serangan terhadap kantong-kantong pertahanan tentara Belanda. MKP tidak membahas peran Jenderal Soedirman sama sekali dalam serangan-serangan tersebut. Padahal secara struktural Soeharto masih di bawah Soedirman. Keabsahan Perintah Siasat Nomor 1 Bulan November 1948 tentu bisa dipertanggungjawabkan, mengingat perintah tersebut disiarkan Soedirman langsung melalui Radio Republik Indonesia. Saksi sejarah tentu banyak mendengar perintah tersebut.

Isu yang lebih kontroversial lagi, adalah tentang Soeharto sebagai inisiator Serangan Umum 1 Maret 1949. Banyak pihak yang menganggap inisiator serangan ini sebenarnya adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sultan berkoordinasi langsung dengan Jenderal Soedirman melalui surat yang dikirim seorang kurir. Koordinasi ini terjadi pada bulan Februari 1949. Soedirman yang setuju kemudian mengajak Kolonel Wiliater Hutagalung dan Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Mereka akhirnya sepakat menunjuk Soeharto menjadi komandan lapangan serangan umum besar-besaran. Bambang menulis surat perintah kepada Soeharto untuk memimpin penyerangan, dan surat itu dibawanya ke Yogyakarta (Tim Tempo, 2014:52).

Sultan yang menerima surat balasan dari Soedirman, memanggil Soeharto untuk meneruskan pesan tersebut. Soeharto pergi ke Kraton dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Serangan akan dilaksanakan saat sirene di samping pasar Beringharjo berbunyi. Seluruh prajurit akan memakai janur kuning yang diikat di leher, kepala, atau tangan – sebagai simbol keselamatan – seperti diceritakan dalam cerita wayang Anoman Obong (ibid).

MKP tidak menyebutkan proses koordinasi antara Sultan dan Soeharto. Yang digambarkan justru Sultan yang masih belum menemukan cara untuk melakukan serangan. Soeharto yang menerima surat (tidak jelas dari Sultan atau bukan), langsung saja berinisiatif untuk melakukan serangan pada siang hari.

Gambar 5: Soeharto yang menemukan ide serangan, bukan Sultan.

(5)

Gambar 6: Soeharto berkoordinasi dengan Walikota untuk Serangan Umum

Mengapa Suharto Begitu Heroik?

Damono (2014:4) mengutip pendapat Ian Watt tentang konteks sosial pengarang. Posisi sosial sastrawan bisa sangat memengaruhi teks yang ia buat. Tiga poin yang disebut Damono adalah, (1) Bagaimana pengarang mendapat mata pencaharian, (2) Profesionalisme dalam kepengarangan, dan (3) Masyarakat apa yang dituju pengarang.

Melihat badan lembaga-lembaga yang berada dibalik terbitnya MKP sudah jelas bahwa novel gra is ini merupakan bentukan pemerintah Orde Baru. Adanya stempel dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah menunjukkan bahwa novel gra is ini penikmat utamanya adalah pelajar. MKP hadir sebagai representasi fakta sejarah yang dibentuk pemerintah Orde Baru, dengan menyasar usia-usia muda, demi menanamkan propagandanya bahwa sosok presiden Soeharto adalah orang yang baik.

Lee, A.M. dan E.B.Lee (1939 ) dalam buku klasiknya The Fine Art of Propaganda: A Study of Father Coughlin’s Speeches mengemukakan tujuh teknik propaganda. Salah satu teknik tersebut adalah plain folks. Teknik ini digunakan oleh pembicara propaganda dalam upaya meyakinkan audiens bahwa dia dan gagasannya bagus karena mereka adalah bagian dari rakyat. Pemerintah Orde Baru membentuk kesan bahwa sosok Soeharto adalah seorang pejuang yang patriotik melalui novel gra is MKP. Tokoh Soeharto diceritakan sangat membumi, berada di garis depan perjuangan, dan “putih” karakternya. Sosok yang “sangat protagonis” tersebut tentu akan memancing kekaguman pembaca.

Hasmi, salah satu kreator MKP, bercerita kepada tim ilm dokumenter Pahlawan Tinta. “Tahun 1981, Pak Harto waktu itu ingin menjadi super hero,” ujar Hasmi. Keinginannya itulah yang mendasari lahirnya ilm- ilm seperti Serangan Fajar, Janur Kuning, G30S/PKI dan sebagainya. Namun, ilm tidak membuat Soeharto puas. Ia kemudian mempunyai gagasan untuk membuat komik tentang dirinya. “Intinya Pak Harto ingin menunjukkan bahwa dia-lah arsitek Serangan Umum 1 Maret. Karena ada yang pesan pada kami seperti itu, dan karena duit-nya banyak, kami sepakat mengerjakan proyek itu,” ungkap Hasmi.

(6)

atau dihilangkan. Peran Jenderal Soedirman dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX direduksi sedemikian rupa agar peran tokoh Soeharto bisa serba indah dan serba di depan.

Terlepas dari kontennya yang kontroversial, tentu saja MKP turut memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia. Ide mantan presiden Soeharto untuk mencitrakan dirinya melalui media komik bisa menjadi pelajaran, bahwa komik adalah media yang ideal untuk menularkan ide dan gagasan. Komik bisa menyasar semua usia, dari anak-anak sampai dewasa. Kekuatan visual dan teks yang dimiliki komik memiliki keistimewaan tersendiri dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Tentu anak-anak usia sekolah lebih menikmati membaca dengan sajian visual yang banyak. Hal tersebut berimbas pada mudahnya anak-anak memahami teks dan materi yang tersaji dalam buku. Sayang, pemerintah saat ini kurang memperhatikan fungsi penting dari komik sebagai media pembelajar. Buku-buku pelajaran resmi dari pemerintah masih minim atribut visual. Selayaknya kita belajar dari sosok Soeharto, yang mengerti ide cemerlang untuk menyampaikan ide melalui medium komik.

Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. 2013. “Kesusasteraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan” dalam Jurnal Kalam. Jakarta: Salihara.

Damono, Sapardi Djoko. 2014. Sosiologi Sastra, Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum.

Lee, A.M. dan E.B.Lee. 1939. The Fine Art of Propaganda: A Study of Father Coughlin’s Speeches. New York : Harcourt Brace and Company.

Mahayana, Maman S. 1994. Politik Kolonial Belanda di Balik Pendirian Balai Pustaka. Laporan Penelitian. Depok: Fakultas Sastra UI.

NS., Wid, dkk. 1985. Merebut Kota Perjuangan. Jakarta: Yayasan Sinar Asih Mataram. Tim Tempo. 2014. Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Tim Tempo. 2014. Soedirman; Seorang Panglima, Seorang Martir. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusasteraan terj. Melanie Budianta. Jakarta:

Gramedia. Daftar Film

Gambar

Gambar 1: Soeharto memimpin rapat sebelum penyerangan
Gambar 4: Soeharto memimpin penyerangan di Yogyakarta
Gambar 6: Soeharto berkoordinasi dengan Walikota untuk Serangan Umum

Referensi

Dokumen terkait