BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara yang kompleks dengan kemajemukan dan berbagai macam keberanekaragaman, baik suku, etnis, dan agama. Keanekaragaman tersebut tentunya ditandai dengan keberagaman kebudayaan antara satu dengan yang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan pengetahuan, bahasa, pengalaman, kepercayaan, nilai, dan sikap. Kebudayaan yang dimiliki oleh suku atau etnis ikut mempengaruhi gaya komunikasi sehingga perbedaan budaya dapat menjadi sebuah rintangan dalam berinteraksi satu sama lain. Sebagaimana dikemukakan Cangara (2008:156) bahwa terdapat rintangan budaya yang menjadi gangguan dalam berkomunikasi dimana rintangan budaya yang dimaksud adalah rintangan yang terjadi disebabkan adanya perbedaan norma, kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
berkomunikasi.
Keanekaragaman masyarakat (masyarakat plural) adalah hal yang dihargai
dalam masyarakat Indonesia karena masyarakat Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama. Wilodati (2012) secara rinci menggambarkan kemajemukan masyarakat Indonesia dari berbagai sisi:
Pertama, hubungan kekerabatan; hubungan kekerabatan ini merujuk pada ikatan dasar hubungan darah (keturunan) yang dapat ditelusuri berdasarkan garis keturunan ayah, ibu atau keduanya. Kedua, ras dapat dibedakan dengan ciri-ciri fisik orang lain (rambut, kulit dan bentuk muka). Ketiga, daerah asal merupakan tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan yang akan memberikan ciri tertentu apabila yang bersangkutan berada di tempat lain seperti dialek yang digunakan, anggota organisasi yang bersifat kedaerahan serta perilaku. Keempat,
menggunakan bahasa sukunya masing-masing. Kelima, agama yang dianut Indonesia yang berbeda-beda.
lain berdasarkan pernilaian tersebut. Stereotip-stereotip terhadap suku, etnis dan agama tertentu merupakan hambatan dalam membangun sebuah komunikasi antarbudaya yang efektif. Lippman dalam Mariah (2007:62) menggambarkan stereotip sebagai “Pictures in our heads” bahwa tidak melihat dulu lalu mendefinisikan, mendefinisikan dulu kemudian melihat, kita diberitahu dunia sebelum melihatnya dan membayangkan kebanyakan hal sebelum mengalaminya. Dari penjelasan ini kita dapat mengetahui bahwa stereotip dapat menjadi penghambat dalam proses komunikasi karena stereotip dapat menimbulkan penilaian negatif antar suku dan etnis.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa multikultur terdiri dari banyak suku dan etnik yang tentunya akan mudah menimbulkan stereotip antaretnik dan suku. Stereotip ini dapat menjadi pemicu konflik jika stereotip tidak sesuai dengan kebenaran yang ada atau salah dalam mempersepsi terhadap kelompok lain. Beberapa kasus yang muncul akhir-akhir ini membuat streotip tentang sebuah etnis semakin menguatkan penilaian masyarakat tentang etnis tersebut, misalnya etnis Ambon. Mayoritas dari
masyarakat kita menilai bahwa orang Ambon itu berkulit hitam, rambut keriting, cara berbicaranya keras, dan identik dengan kekerasan.
Sejak kecil saya paham bahwa orang Ambon, khususnya yang berasal dari daerah di pesisir pantai pasti memiliki ciri berbicara dengan dialek bergelombang, aksen yang tegas dan volume yang tinggi. Ada pula yang berbicara dengan mimik yang tidak sejalan dengan perkataan; lagi ngomong yang manis-manis tetapi wajah seperti sedang marahan. Hal ini mungkin juga didukung oleh bentuk wajah orang Ambon yang menampakkan kesan kasar atau sangar. Apalagi yang lelaki dengan kumis hitam tebal, rambut keriting, tatapan mata yang tajam, warna kulit yang gelap membungkus tubuh yang kekar…lengkaplah! Makin kuat alasan orang untuk mengidentikkan orang Ambon dengan kekerasan.1
Seperti kita ketahui ada beberapa kasus yang menyeret etnis Ambon, misalnya kasus John Kei. John Kei terlibat dalam kasus pembunuhan seperti pembunuhan
terhadap Basri Sangaji dan mantan Direktur Utama Sanex Steel Indonesia Tan Harry Tantono alias Ayung. Hal ini menambah citra buruk pada etnis Ambon.
John Refra adalah pria asal Maluku. Kata "Kei" di belakang panggilannya merujuk pada kampung kelahirannya, yaitu Pulau Kei, Maluku Tenggara. Ia pergi merantau ke ibu kota Jakarta, pada tahun 2000 ia mendirikan sebuah organisasi bernama AMKEI (Angkatan Muda Kei). Melalui organisasi AMKEI John memulai bisnisnya sebagai debt collector. Karirnya sebagai debt collector semakin berkibar setelah kematian Basri Sangaji, tokoh pemuda asal Maluku Utara yang juga salah satu debt collector di Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan. Sebelumnya kelompok John Refra Kei dan Basri Sangaji saling bersaing memperebutkan nama besar di Jakarta. Nama John Kei kerap dikaitkan dengan pembunuhan Basri Sangaji. John Refra Kei menjadi santer terdengar karena ia ditangkap oleh pihak kepolisian karena dugaan pembunuhan terhadap Tan Harry Tantono, Direktur Sanex Stell Mandiri. Ia ditangkap pada tanggal 17 Februari 2012.2
Disamping itu, stereotip bisa muncul di tengah-tengah masyarakat karena etnis
yang bersangkutan masih membawa kebiasaan budaya asalnya dan kurang mampu menerima budaya lain meskipun etnis tersebut tinggal di daerah yang berbeda budaya dengannya. Hal tersebut tampak pada hasil penelitian Dameria Ledi Megawati Siska (Dameria, 2008:110), yang berjudul Studi Tentang Reaksi Masyarakat Kauman Terhadap Keterlibatan Mahasiswa Asal Ambon Dalam
Konflik Yang Menggunakan Kekerasan.
Kecenderungan mahasiswa asal Ambon dalam interaksi yang termanifestasi dalam bentuk konfik tentunya ada faktor yang menyebabkan hal itu. Hal yang paling mendasar sehingga terjadi konfik oleh mahasiswa asal Ambon adalah faktor budaya dari mahasiswa asal Ambon itu sendiri. Salah satu yang mendasar tersebut adalah bahwa mahasiswa Ambon pada umumnya mempunyai prinsip tidak mau mengalah apabila ada masalah dengan orang lain yang bukan sesama mereka. Hal itu juga sekaligus menunjukkan bahwa sikap orang Ambon ini merasa hebat (jago) dari siapapun, sehingga ketika terjadi persoalan dengan suatu kelompok tertentu ada kecenderungan mereka selalu menantang dengan menggunakan kekerasan fisik.
Penyampaian pesan mengenai isu-isu dalam masyarakat, termasuk isu mengenai stereotip, tidak hanya dapat disampaikan melalui berbagai berita, baik di media cetak maupun elektronik, namun dapat juga disampaikan melalui film. Menurut McQuail (1994:130), film merupakan salah satu bentuk media massa dan cerita dalam film biasanya berangkat dari sebuah fenomena yang terjadi di sekitar kita karena dewasa ini film juga berperan sebagai pembentuk budaya massa. Pada
2
sisi lain, cerita film itu juga memberi pengaruh kepada masyarakat yang menontonnya, yang menurut Effendi (2002 : 208), pengaruhnya sangat kuat dan besar terhadap jiwa manusia karena penonton tidak hanya terpengaruh ketika ia menonton film tetapi terus sampai waktu yang cukup lama. Jadi dapat dikatakan bahwa sebuah film merupakan suatu media massa penting untuk menyampaikan pesan yang dikemas dalam gambaran adegan yang disusun oleh sang sutradara, namun sekaligus membawa serta „pesan-pesan‟ tak langsung menurut tafsiran penonton terhadap sikap perilaku orang-orang dalam gambaran adegan yang disusun itu. .
Dalam dunia perfilman Indonesia terdapat beberapa film yang memperlihatkan hubungan antar etnik, diantaranya adalah film Red Cobex. Film Red cobex merupakan film komedi Indonesia yang berkisah tentang sekumpulan ibu-ibu dan seorang anak laki-laki, dari berbagai macam suku baik dari Ambon (Tika Panggabean dan Lukman Sardi), Madura (Sarah Sechan), Manado (Indy Barends), Tegal (Aida Nurmala), dan keturunan Cina (Cut Mini). Mereka membela kaum lemah dan sangat anti kemaksiatan, tetapi mereka kerap beraksi
preman dengan meringkus dan main hakim sendiri. Tika Panggabean dan Lukman Sardi sebagai pemeran utama cukup apik berperan sebagai orang Ambon.
Penulis ingin melihat dan meneliti bagaimana karakter tokoh Ambon digambarkan dalam film tersebut, apakah tokoh Ambon dalam film tersebut digambarkan sesuai dengan stereotip yang ada di masyarakat atau berbeda.
Dalam membuat film, para sineas memang diberi kebebasan dalam menyampaikan informasi atau pesan dari sineas kepada penonton. Kebebasan dalam menyampaikan pesan seringkali membuat para sineas lupa akan salah satu fungsi film yaitu mendidik, mereka hanya menampilkan sisi menghibur penonton daripada mendidik penonton. Sumarno (1998:85) yang mengatakan bahwa film adalah sebuah seni mutakhir dari abad ke 20 yang dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan, merangsang pemikiran, dan dapat memberikan dorongan terhadap penontonnya. Oleh karena itu, dengan mengingat bahwa sebuah film bisa juga membawa makna konotatif yang terkandung dalam berbagai tanda yang menyusun film itu, maka semestinya para sineas berhati-hati dalam membuat sebuah film, agar film tersebut membawa pesan-pesan edukatif, bukan malah memperkuat pemahaman yang keliru didalam kehidupan bermasyarakat seperti stereotip.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin mengetahui apakah tokoh
Ambon yang digambarkan dalam film Red Cobex sesuai dengan stereotip yang ada di masyarakat atau berbeda.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana representasi stereotip etnis Ambon dalam film Red Cobex?
3.
Tujuan Penelitian
4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak yang terkait, antara lain:
1. Penulis mengetahui representasi stereotip orang Ambon dalam film Red Cobex.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang penelitian komunikasi khususnya analisis dalam film.
5.
Definisi Konseptual
Definisi konseptual pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Film
Film merupakan salah satu bagian dari media massa yang merupakan media elektronik dan merupakan alat penyampaian berbagai jenis pesan dalam
peradaban modern. Film menjadi media yang disenangi semua kalangan untuk mendapatkan ilmu dan wawasan serta menjadi sarana efektif untuk proses
pembelajaran.
2. Representasi
Representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komuikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasi apakah sesuatu atau seseorang ditampilkan sebagaimana mestinya ataukah hanya menampilkan sisi buruknya saja.
3. Ambon
4. Stereotip
Stereotip adalah gambaran dikepala yang merupakan rekonstruksi dari keadaan lingkungan yang sebenarnya. Gambaran tentang keadaan lingkungan itulah yang menentukan tindakan seseorang. Jadi, tindakan-itindakan seseorang tidaklah didasarkan pada pengenalan langsug terhadap keadaan lingkungan sebenarnya, tetapi berdasarkan gambaran yang dibuatnya sendiri atau yang diberikan oleh orang lain.
5. Semiotika