BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang sangat penting peranannya dalam mendukung kelangsungan
hidup makhluk ciptaannya di muka bumi. Bagi manusia, keberadaan hutan terutama
berkaitan dengan pemenuhan kepentingan ekonomi melalui pemanfaatan beragam
kekayaan alam yang dikandungnya, seperti lahan, hasil hutan kayu maupun hasil
hutan non-kayu. Mengingat pentingnya peranan ekonomi dari sektor hutan di
Indonesia, tidak heran jika pengaturan Negara terhadap sumberdaya alam ini sudah
muncul sejak zaman kolonial1, yang diteruskan oleh Pemerintah Indonesia setelah
kemerdekaan melalui UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan, kemudian diubah dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
(selanjutnya disebut UU Kehutanan).
Pengaturan mengenai kehutanan idealnya harus sejalan dengan amanat UUD
1945, khususnya Pasal 33 yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Pasal ini mengamanatkan bahwa pengaturan bumi dan air,
termasuk sumberdaya hutan, harus memperhatikan kepentingan seluruh rakyat
1Lihat Nancy L.Peluso, “Rich Forest Por People, Resorce Control and Resistance in Java”,
Indonesia, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara berkesinambungan.
Penanganan dan pengelolaan hutan yang berkesinambungan harus mengindahkan
aspirasi dan peran serta masyarakat yang berdasarkan norma hukum yang berlaku.
Penjabaran pengertian „dikuasai oleh Negara‟ di dalam Pasal 33 UUD 1945.
yang kemudian lebih dikenal dengan istilah “Hak Menguasai dari Negara”, terlihat
lebih jelas di dalam bunyi Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960 (UUPA)sebagai berikut:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa
Bunyi pasal 2 ayat 2 UUPA di atas secara jelas menekankan peran Negara untuk
“menentukan” dan “mengatur‟ hubungan-hubungan hukum, bukan dalam arti
“memiliki”. Menurut Tampil Ansari Siregar, tanah Negara bukan tanah milik Negara.
Berlakunya azas Hak Menguasai dari Negara menjadikan tanah-tanah yang ada di
Indonesia terbagi atas dua kategori yaitu: (a) tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dengan sebutan „tanah negara‟, dan (b) tanah yang dikuasai tidak langsung
oleh Negara dengan sebutan „tanah hak‟2
.
Dalam konteks kehutanan, penjabaran „hak menguasai dari Negara‟ pada Pasal
33 UUD 1945 dirumuskan di dalam Pasal 5 UU No 5 Tahun 1967 tentang
2
ketentuan Pokok Kehutanan, yang rumusannya hampir sama dengan bunyi Pasal 2
Ayat 2 UUPA, yang intinya menekankan fungsi „mengatur‟ dari Negara terhadap
sumberdaya hutan. Dalam UU No. 41 Thn 1999 sebagai perubahan dari UU No 5
Thn 1967, Hak Menguasai Negara atas hutan juga dirumuskan dalam Pasal 4, yang
menentukan semua hutan di wilayah Indonesia termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Dalam konteks ini, seperti disebutkan oleh Salim, pengertian „dikuasai oleh
Negara‟ bukan berarti dimiliki, melainkan suatu pengertian yang mengandung
kewajiban dan wewenang dalam hukum publik.3
Dalam implementasinya, Hak Menguasai Negara atas sumberdaya alam,
khususnya terhadap tanah dan kawasan hutan, yang dijabarkan melalui UUPA dan
UU Kehutanan, selama ini telah banyak menimbulkan permasalahan dalam hubungan
antara pemerintah (sebagai penyelenggara Negara) dengan warga masyarakat yang
tinggal di dalam dan sekitar hutan dan menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan
sumberdaya hutan. Permasalahan tersebut antara lain dalam bentuk sengketa klaim
penguasaan atas tanah dan kawasan hutan (sengketa agraria), bahkan tidak sedikit
yang berujung kepada konflik fisik antara masyarakat dengan aparat penegak hukum
atau badan hukum yang menguasai sumberdaya tertentu. Sengketa agraria dan konflik
fisik sudah sering terjadi di berbagai wilayah negeri ini sejak zaman kolonial hingga
sekarang. Dalam banyak kasus warga masyarakat merasa hak-hak mereka atas tanah
(termasuk tanah yang ada di wilayah hutan) cenderung diabaikan oleh Negara,
3
sehingga mereka harus memperjuangkan hak-haknya dari setiap intervensi pihak luar,
yang pada gilirannya bisa menimbulkan konflik terbuka maupun tersembunyi.4
Di sisi lain sengketa atau konflik-konflik agraria terjadi karena fungsi
“Menguasai Negara” atau fungsi “mengatur” sumberdaya hutan pada kenyataannya
dijalankan oleh pemerintah secara tidak berkeadilan. Dalam beberapa kasus nampak
jelas negara berhadapan dengan penduduk setempat, misalnya di kawasan hutan
lindung atau kawasan taman nasional di Ruteng, kabupaten Manggarai, ketika
dihadiri oleh Dinas Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam dari Departemen
Kehutanan. Sementara di sisi lain negara secara tidak langsung diwakili oleh hadirnya
perusahaan-perusahaan pemegang HPH atau HPHTI yang secara faktual dan hukum
menguasai tanah-tanah penduduk setempat.5 Negara cenderung mengutamakan atau
memprioritaskan pemberian hak bagi korporat atau pemodal dengan
mengatasnamakan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga
rakyat sering mengalami penggusuran dari tanah atau sumberdaya yang mereka
miliki atau klaim sebelumnya. Contoh-contoh sengketa agraria sebagai ekses dari
implikasi “hak menguasai Negara” tersebut sudah banyak dikaji dan dipublikasikan
selama ini, antara lain oleh Yayasan Sintesa & Serikat Petani Sumatera Utara (1998)6,
4 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Petani dan Konflik Agraria, Yayasan Akatiga,
Bandung 1998, hal 2.
5Maria Rita Ruwiastuti, “Sesat Pikir” Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan
Negara Atas Hak-hak Adat, Penerbit Insist Press dan Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2000, hal.108
6 Yayasan Sintesa & Serikat Petani Sumatera Utara, Pembangunan Berbuah Sengketa, Medan,
laporan Bachriadi & Lukas (2001)7, dan Bosko (2006) yang menulis tentang hak-hak
masyarakat adat yang terpinggirkan dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam8.
Dalam konteks kehutanan, Budiharsono menyebutkan bahwa baik Undang-undang
Nomor 5 Thn 1967 maupun Undang-undang Nomor 41 Thn 1999 bahkan tidak
mengakui secara jelas adanya hak ulayat masyarakat hukum adat yang ada di dalam
wilayah hutan9.
Permasalahan tentang penguasaan tanah di kawasan hutan yang terjadi antara
pemerintah (yang mengatasnamakan Negara) dengan masyarakat sebagai suatu
komunitas atau sebagai individu, sebenarnya sudah muncul sejak puluhan tahun lalu
(masa pemerintahan Orde Baru), namun cenderung meningkat dan terpublikasi secara
luas sejak bergulirnya era reformasi 1998. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Muis
dan Muhammad Taufik10, bahwa pada masa orde baru Pemerintah memberikan izin
pengusahaan hutan yang tidak selektif sehingga hak konsesi dikuasai oleh
orang-orang tertentu yang memiliki akses kuat pada elit penguasa, ditambah lagi dengan
lemahnya aspek pengawasan (control) dan penegakan hukum (law enforcement) di
Indonesia, maka terjadilah eksploitasi sumber daya hutan yang tidak terkendali dan
tak tersentuh oleh hukum. Beberapa konsekwensi yang muncul adalah terjadinya
penurunan kualitas dan kuantitas hutan di berbagai kawasan di Indonesia, semakin
7 Dianto Bachriadi & Anton Lucas, Merampas Tanah Rakyat, Kasus Tapos dan Cimacan ,
Penerbit KPG,Jakarta, 2001
8 Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya
Alam, Penerbit Elsam, Jakarta,2006
9 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, isi dan
pelaksanaannya. Penerbit Djambatan, 2008 hal. 252.
10
berkurangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat lokal, munculnya kelompok
masyarakat lokal yang secara turun temurun hidup dan tinggal di kawasan hutan
sebagai korban-korban pembangunan (victims of development) yang terabaikan serta
terbekukannya akses dan hak-hak mereka atas sumber daya hutan. Lebih lanjut
dikatakan bahwa terjadinya konflik-konflik yang berkepanjangan atas pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya hutan antara masyarakat lokal dengan pemerintah
maupun pemegang hak konsesi adalah salah satu akibat dari banyaknya kejanggalan
yuridis (peraturan yang tidak selaras ) dalam membuat instrumen hukum pengelolaan
hutan di Indonesia.
Kondisi yang demikian selalu terjadi sampai saat ini dimana pengaturan
hubungan hukum di bidang kehutanan selalu menimbulkan komplikasi antara pihak
korporat sebagai pemegang hak pengusaaan atas tanah di kawasan hutan dengan
warga masyarakat atau komunitas yang hidup di sekitarnya. Seyogianya apa yang
menjadi pertentangan dalam hal penguasaan tanah ini tidak perlu terjadi bila
masing-masing pihak yang terdiri dari pemerintah dan masyarakat lokal dapat menempatkan
fungsinya untuk pandangan yang sama, dalam pengertian pemerintah yang membawa
pihak korporat harus dapat menghargai sistem kehidupan masyarakat setempat dan
sebaliknya masyarakatnyapun dapat memahami pentingnya pembangunan di
daerahnya dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.11 Tanah sebagai
tumbuhnya hutan dan masyarakat adat sebagai masyarakat yang mendiami dan
11 Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press,
memanfaatkan sumber daya hutan harus secara harmonis mendudukkan
pemanfaatannya12
Berdasarkan UUPA maupun UU Kehutanan pada hakekatnya masyarakat juga
merupakan pemegang hak atas tanah dan kawasan hutan. Namun dalam praktiknya,
masyarakat yang telah lama hidup dan menetap di sekitar kawasan hutan seringkali
diabaikan hak-haknya melalui kebijakan pemerintah demi memenuhi kepentingan
pemilik modal. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi pihak yang paling
dirugikan oleh karena dampak negatif dari proyek-proyek pengelolaan hutan dan
sumber daya alam tersebut. A.P.Parlindungan mengatakan bahwa keterlibatan
Pemerintah Daerah sangat diperlukan dalam hal pemberian Hak Penguasaan Hutan
atau Hak pengelolaan Hutan, karena Pemerintah Daerah mempunyai wewenang
untuk mengatur wilayahnya termasuk dalam wilayah kawasan hutan.13
Penguasaan sumber daya alam termasuk yang ada di kawasan hutan Indonesia
pada umumnya didominasi pengusaha besar dengan kekuatan kapitalnya. Mereka
memperoleh hak konsesi atau hak guna usaha dalam jangka waktu yang sangat lama
mencapai puluhan tahun, dan umumnya bisa diperpanjang. Sementara itu masyarakat
setempat yang sudah hidup dan mengandalkan kehidupannya secara turun temurun
dari sumber daya hutan di wilayah yang sama justru terabaikan hak-haknya.
Kesenjangan distribusi sumber daya alam inilah yang sering menjadi sumber konflik
struktural dan konflik sosial pada masyarakat di kawasan hutan. Konflik juga terjadi
12 Ibid,hal.109
13A.P. Parlindungan, Hukum Agraria, Beberapa Pemikiran dan Gagasan, Penerbit USU Press,
antara pemerintah dan rakyat karena kurangnya koordinasi antar instansi terkait
dibidang pertanahan, misalnya tidak ada sinkronisasi antar satu sektor dengan sektor
lain, banyak peraturan-peraturan tetapi tidak berjalan efektif.14
Secara yuridis Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
merupakan payung hukum yang mengatur penguasaan dan pengelolaan hutan di
Indonesia. Undang-Undang ini lahir pada era reformasi, suatu era keterbukaan dan
menguatnya partisipasi politik masyarakat yang terjadi sejak jatuhnya pemerintahan
Orde Baru. Era reformasi juga ditandai oleh lahirnya serangkaian Undang-Undang
Otonomi Daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 33 Thn 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Thn 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 5 Thn
2004 dan Undang-Undang Nomor 26 Thn 2007 tentang Tata Ruang. Pada tahun 2003
lahir pula Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
yang membuka era baru di bidang hukum dimana warga masyarakat diberi
kesempatan dan ruang untuk menguji konstitusionalitas dari produk Undang-undang.
Lahirnya sejumlah Undang-undang sejak masa reformasi membuka ruang yang
lebih lebar kepada warga masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya, termasuk
hak kepemilikan dan penguasaan atas sumberdaya alam yang selama Orde Baru tidak
14 Syafruddin Kalo, Redefinisi Hak Menguasai Negara Dan Hak Ulayat Sebagai Solusi
bisa direalisasikan. Sebagai produk hukum yang dibuat pada masa reformasi,
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan idealnya harus
mengandung semangat reformasi yang memberikan ruang lebih terbuka bagi semua
warga negara untuk mendapatkan haknya atas penguasaan sumberdaya hutan secara
berkeadilan. Tetapi fakta menunjukkan bahwa persoalan sengketa dan konflik terkait
dengan pengelolaan kehutanan yang masih saja terjadi sejak UU Kehutanan tersebut
diberlakukan, dan sejumlah elemen masyarakat mengajukan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi maupun Mahkamah Agung untuk memohon pembatalan sebagian
ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang tersebut maupun pembatalan
kebijakan pemerintah (Menteri Kehutanan) di bidang kehutanan yang terbit sebagai
implementasi dari Undang-undang dimaksud.
Adanya sejumlah gugatan para pihak, khususnya dari kalangan masyarakat,
terhadap Undang-Undang Nomor 41 Thn 1999 tentang Kehutanan serta peraturan
turunannya mengindikasikan bahwa norma hukum yang dikandungnya belum
memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi sebagian masyarakat yang memiliki
kepentingan atas kawasan hutan. Dengan kata lain, keberadaan UU Kehutanan belum
efektif sebagai instrumen hukum pengukuhan dan kepastian hukum hak-hak
masyarakat di sekitar kawasan hutan. UU Kehutanan yang berlaku saat ini ditengarai
masih berkarakter „sentralistik‟ meskipun diterbitkan di era reformasi yang
seharusnya mengedepankan semangat desentralisasi, demokratisasi, dan
keberpihakan kepada kepentingan masyarakat lokal. Substansi dan impelementasi
menginginkan jaminan kepastian hukum pemegang hak-hak atas tanah di kawasan
hutan.
Kenyataan bahwa UU Kehutanan ini belum memenuhi aspirasi elemen
masyarakat terhadap pengaturan hak-hak mereka, mendorong munculnya inisiatif
kelompok-kelompok masyarakat untuk mengajukan permohonan uji materi (judicial
review) terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ke Mahkamah
Konstitusi. Menurut Arizona15 sekurangnya telah terdapat delapan kasus uji materi
terhadap UU Kehutanan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, sebagian besar
pemohonnya adalah perseorangan warga negara (81 pemohon), LSM (12 pemohon),
pengusaha (6 pemohon), kepala daerah (6 pemohon), dan masyarakat hukum adat (2
pemohon). Hasilnya, hanya tiga dari delapan kasus uji materi tersebut yang
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, yaitu:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 tentang
konstitusionalitas definisi kawasan hutan. Pemohon mengajukan uji materi
terhadap Pasal 1 angka (3) tentang definisi kawasan hutan yang
berimplikasi kepada kewenangan dalam penunjukan kawasan hutan.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan untuk seluruhnya.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011 tentang
konstitusionalitas penguasaan Negara dalam menentukan kawasan hutan.
Dalam hal ini Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 4 ayat (2)
15
huruf b tentang alih fungsi hutan, dan Pasal 4 ayat (3) tentang Hak
Menguasai Negara terhadap hutan. MK hanya mengabulkan permohonan
Pasal 4 ayat (3).
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang
konstitusionalitas hutan adat dan masyarakat adat dalam UU Kehutanan.
Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 1 angka (6) tentang definisi
hutan adat,Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1-4),dan Pasal 67 ayat (1) dan (2).
Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan permohonan uji materi atas
Pasal 1 angka (6.)
Upaya hukum warga masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum hak-hak
mereka atas tanah di kawasan hutan tidak hanya disalurkan melalui permohonan uji
materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 41 Thn 1999 ke Mahkamah
Konstitusi, tetapi juga dilakukan melalui gugatan ke Mahkamah Agung terhadap SK
Menteri Kehutanan Nomor 44/Menhut-II/2005 (selanjutnya disebut SK Menhut
44/2005) tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Sumatera Utara
seluas kurang lebih 3,7 juta hektar16. Gugatan terhadap SK Menhut 44/2005 tersebut
dikabulkan oleh Mahkamah Agung dan dituangkan dalam Putusan MA Nomor 47
P/HUM/2011. SK Menhut ini merupakan produk hukum turunan dari
Undang-Undang Nomor 41Tahun 1999 tentang Kehutanan, sehingga dapat dikatakan bahwa
16
kebijakan penunjukan kawasan hutan yang berakibat timbulnya konflik di tengah
masyarakat merupakan efek langsung dari prinsip „Hak Menguasai Negara‟ yang
diatur di dalam UU Kehutanan. Pasal 1 angka (3) mendefinisikan kawasan hutan
sebagai “wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Persoalan timbul karena
Pemerintah (dalam hal ini Menteri Kehutanan), dalam menjalankan fungsinya
“menentukan” dan “mengatur” kawasan hutan, kemudian menerbitkan produk
hukum turunan yang menafsirkan proses penunjukan identik dengan penetapan
kawasan hutan, karena frasa “ditunjuk dan atau” di dalam pasal 1 angka (3) tersebut
memungkinkan untuk diterjemahkan secara demikian. Dengan tafsir demikian, maka
Pemerintah lalu mengabaikan ketentuan Pasal 14 dan 15 UU Kehutanan yang
mengatur tahapan-tahapan yang harus dijalankannya sebelum mengukuhkan suatu
kawasan hutan, yaitu mulai dari penunjukan, penatabatasan, pemetaan dan penetapan.
Implikasi dari “Hak Menguasai Negara” yang dimiliki Pemerintah dalam
“menunjuk dan atau menetapkan” kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal
1 angka (3) UU Kehutanan tersebut dirasakan juga oleh sejumlah Kepala Daerah
yang merasa hak konstitusionalnya terabaikan dan pembatasan kewenangannya untuk
menjalankan otonomi seluas-luasnya sesuai dengan pasal 18 ayat (5) Undang-Undang
Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Thn 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Mereka tidak bisa menjalankan sebagian fungsi pemerintahan di daerahnya
karena terhambat oleh kenyataan bahwa sebagian atau bahkan seluruh wilayah
sebagai kawasan hutan. Hal inilah yang mendorong Pemerintah Kabupaten Kapuas
bersama lima Bupati di Propinsi Kalimantan Tengah mengajukan permohonan uji
materi terhadap Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 41 Thn 1999 tentang
Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi pada 14 Juli 201117. Pada 9 Pebruari 2012
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi mereka untuk
seluruhnya, yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
45/PUU-IX/2011, selanjutnya disebut Putusan MK 45/2011. Dalam bagian pertimbangan
hukum, Mahkamah Konstitusi antara lain mengemukakan argumentasi sebagai
berikut:
[3.12.2.] “Bahwa dalam suatu Negara hukum, pejabat administrasi Negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan….”. Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter.” …”Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang
banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan”18
.
Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 9 Pebruari 2012 dan Putusan
Mahkamah Agung No. 47 P/HUM/2011 tanggal 23 Desember 2013 tentang
pembatalan SK Menteri Kehutanan No. 44 Thn 2005, merupakan dua putusan hukum
17
Permohonan uji materi diajukan oleh lima bupati kepala daerah (Kapuas, Gunung Mas, Katingan, Barito Timur dan Sukamara) serta seorang warga masyarakat. Dalam uraian permohonan uji materi Pemohon menyebutkan bahwa penunjukan kawasan hutan di Propinsi Kalimantan Tengah dilakukan sejak 12 Oktober 1982 melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 759/Kpts/Um/10/1982 seluas 15.300.000 hektar. Yang menjadi masalah bagi Pemohon adalah kenyataan bahwa kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan berkenaan dengan pengaturan kawasan hutan di Propinsi Kalimantan hingga tahun 2009 masih mengacu kepada penunjukan/penetapan berdasarkan Kepmentan 759 tersebut, sehingga hak-hak konstitusional mereka dirugikan.
18
penting yang dapat memberikan implikasi positif berupa adanya harapan bagi warga
masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum atas hak-haknya di kawasan hutan.
Selama ini hak-hak tersebut tidak diperhitungkan dalam proses pengukuhan kawasan
hutan oleh Pemerintah, dan diabaikan dalam menjalankan kewenangan „Hak
Menguasai Negara‟ yang dimiliki oleh Pemerintah dalam mengatur bidang
kehutanan. Kementerian Kehutanan mempersamakan penunjukan kawasan hutan
dengan penetapan kawasan hutan, karena itu menganggap penunjukan kawasan hutan
sudah final dan memiliki kepastian hukum. Tindakan sepihak dan inkonstitusional
Pemerintah dalam menjalankan fungsinya mengatur sumberdaya hutan juga terjadi
dalam proses alih fungsi kawasan non-kehutanan menjadi kawasan hutan, yang
berakibat merugikan warga masyarakat yang sudah memiliki alas hak sebelumnya.
Dua putusan uji materi lainnya terhadap Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah Putusan
MK Nomor 34/PUU-IX/2011 tanggal 9 Juli 2012 atas permohonan uji materi yang
diajukan oleh perseorangan (Maskur Anang bin Kemas Anang Muhammad), dan
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 26 Maret 2013, yang diajukan oleh
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama-sama dengan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Kasepuhan Cisitu. Putusan MK 34/2011 berkenaan dengan penguasaan negara dalam
menentukan alih fungsi kawasan hutan yaitu hak milik atas tanah warga
dialihfungsikan menjadi kawasan hutan, sedangkan Putusan KM 35/2012 berkenaan
dimaknai sebagai pengakuan atas hak-hak tradisional masyarakat hukum adat atas
kawasan hutan bukan bagian dari hutan Negara.
Lahirnya putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan Mahkamah
Agung tersebut di atas memberikan kegembiraan kepada pihak-pihak yang memohon
uji materiil dan menumbuhkan rasa optimisme di kalangan masyarakat luas tentang
peluang bagi penguatan kepastian hukum pemegang hak-hak atas tanah di kawasan
hutan. Putusan-putusan tersebut ramai diperbincangkan oleh kalangan akademisi
maupun aktivis lembaga swadaya masyarakat19, diberitakan di media, bahkan diikuti
oleh tindakan ekspresif dari warga masyarakat dengan melakukan kegiatan unjuk
rasa dan pemancangan plang di lokasi-lokasi yang disengketakan sebagai wujud
pernyataan klaim penguasaan atas tanah berdasarkan putusan-putusan di atas. Ini
menunjukkan adanya perubahan domain pemikiran dalam mengimplementasikan
„Hak Menguasai Negara‟ dalam pengaturan bidang kehutanan.
Dari uraian diatas penulis berminat untuk melakukan penelitian secara lebih
dalam melalui suatu kajian yuridis mengenai konsekwensi dari Putusan Mahkamah
Konstitusi dan Putusan Mahkamah Agung terhadap kepastian hak-hak masyarakat
atas tanah di kawasan hutan dengan judul “Kepastian Hukum Pemegang Hak
Atas Tanah di Kawasan Hutan (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
45/ PUU-IX/ 2011 Dihubungkan Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 47
P/HUM/2011).”
19 Salah satu contoh ulasan dari kalangan aktivis dan akademisi terlihat dalam tulisan-tulisan
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas penulis ingin mengkaji permasalahan
kepastian hukum pemegang hak atas tanah di kawasan hutan pasca terbitnya tiga
putusan MK atas permohonan uji materi terhadap Undang-Undang No.41 Thn 1999
dan satu putusan Mahkamah Agung atas uji materi terhadap SK Menhut No. 44/
2005. Dari tiga Putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi terhadap
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kajian terutama difokuskan
pada Putusan MK 45/PUU-IX/2011, sedangkan dua putusan lainnya (Putusan MK
34/2011 dan Putusan MK 35/2012) dijadikan sebagai pelengkap. Permasalahan
penelitian dijabarkan dalam tiga pertanyaan pokok yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi No.45/PUU-IX/2011 telah
memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah di kawasan
hutan?
2. Apakah Putusan Mahkamah Agung No. 47 P/HUM/2011 terkait
penunjukan kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara telah memberikan
kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah di kawasan hutan,termasuk
hak pengelolaan dari Pemerintah Daerah?
3. Bagaimana akibat hukum bagi pemegang hak atas tanah di kawasan hutan
setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
C. Tujuan Penelitian
Analisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang
menjadi fokus penelitian dan penulisan tesis ini bertujuan untuk :
1. Menjelaskan apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
45/PUU-IX/2011 berkenaan dengan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 41
Thn 1999 tentang Kehutanan telah memberikan kepastian hukum terhadap
pemegang hak-hak atas tanah di kawasan hutan?
2. Menjelaskan apakah Putusan Mahkamah Agung Nomor 47 P/HUM/2011
terkait Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara telah
memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah di kawasan
hutan.
3. Menjelaskan bagaimana akibat hukum bagi pemegang hak atas tanah di
kawasan hutan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung tersebut.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum
agraria. Dengan adanya penelitian dapat membantu kita untuk lebih
memperhatikan dan berusaha untuk memberikan kontribusi dan sumbangan
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran atau kontribusi bagi pemerintah maupun para pihak yang
berkepentingan dalam rangka usaha mewujudkan kepastian hukum
pemegang hak atas tanah di kawasan hutan, sebagai dasar bagi proses
penyelesaian sengketa agraria di kawasan hutan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas
Sumatera Utara khususnya pada program Pasca Sarjana Fakultas Hukum guna
menghindari duplikasi terhadap penelitian di dalam permasalahan yang sama, maka
peneliti telah melakukan pengecekan dan menunjukkan bahwa penelitian dengan
judul “Kepastian Hukum Pemegang Hak Atas Tanah di Kawasan Hutan
(Analisis Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011 Dihubungkan Dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 47 P/HUM/2011) belum ada yang membahasnya,
sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
Meskipun ada penulis terdahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai
masalah pertanahan di kawasan hutan, secara substansi permasalahan yang dibahas
berbeda dengan penelitian ini. Penelitian tersebut adalah:
1. Perlindungan hukum bagi kreditur atas penyitaan jaminan atas tanah hak
milik yang berada dalam kawasan hutan di daerah Kabupaten Padang Lawas
Utara, oleh Febri Yanti Siregar, (117011131), Mkn USU. Ada 3 (tiga)
terhadap hak milik atas tanah yang berada dalam kawasan hutan,(2)
Bagaimana perlindungan hukum bagi kreditur atas jaminan tanah hak milik
yang berada dalam kawasan hutan di Padang Lawas Utara, (3) Bagaimana
eksekusi jaminan tanah hak milik yang berada dalam kawasan hutan ketika
debitur wanprestasi.
2. Analisis Yuridis Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum Adat Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/ PUU-X/ 2012” oleh Achmad Sandry
Nasution (127011037), MKn-USU. Pokok permasalahannya adalah: (1)
Bagaimana pengaturan penguasaan tanah masyarakat hukum adat dalam
peraturan perundang-undangan, (2) Bagaimana kedudukan hukum atas
penguasaan tanah masyarakat hukum adat di Kecamatan Simangambat, (3)
Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan atas penguasaan tanah
masyarakat hukum adat Kecamatan Simangambat pasca Putusan MK
35/PUU-X/2012.
3. Kedudukan Masyarakat Hukum Adat Dalam Pengelolaan Hutan Adat Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012”
oleh Siti Hadijah Pulungan (127011080), MKn-USU. Permasalahannya
adalah: (1) Bagaimana eksisitensi masyarakat hukum adat dalam
pengelolaan hutan adat pasca Putusan MK No.35/PUU-X/2012; (2)
Bagaimana system pengelolaan hutan adat pasca Putusan MK
No.35/PUU-X/2012; (3) Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat
dikuasai oleh pihak ketiga dengan izin pengelolaan yang telah diberikan oleh
Menteri Kehutanan pasca Putusan MK.No.35/PUU-X/2012.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Teori adalah himpunan konstruksi yang dibangun oleh konsep-konsep yang
berada di alam ide imajinatif manusia, merupakan hasil penggambaran secara
reflektif fenomena yang dijumpai dalam alam pengalaman indrawi manusia, yang
dibangun dengan suatu konsep pemikiran20. Menurut Sarantakos dalam buku Otje
Salman, teori adalah suatu kumpulan proposisi yang secara logis terkait satu sama
lain dan diuji serta disajikan secara sistematis yang dibangun dan dikembangkan
melalui riset dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu fenomena21.
J.J.H.Bruggink dikutip dari Otje Salman menjelaskan teori hukum adalah
seluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual aturan-aturan
hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting
dipositifkan22. Sementara itu, Satjipto Rahardjo dalam bukunya mengatakan teori
hukum boleh dikatakan sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif
20
Soetandyo Wignyosoebroto, Teori:Apakah itu?, Makalah kuliah Program Doktor, UNDIP, 2003, hal. 3
21 Otje Salman dan Anton F.Susanto, Teori hukum, Mengingat,Mengumpulkan dan Membuka
Kembali, PT.Refika Aditama,Bandung,2004,hal. 22
22
setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan
kehadiran teori hukum secara jelas.23
Teori hukum digunakan sebagai pisau analisis terhadap permasalahan yang
terjadi dalam suatu fenomena hukum. Adapun terhadap permasalahan dalam
penelitian ini akan dikaji dengan menggunakan teori kepastian hukum dan teori
efektivitas hukum seperti akan diuraikan di bawah ini.
Persoalan kepastian hukum pemegang hak atas tanah di kawasan hutan
merupakan fokus utama yang ingin dijelaskan dalam penelitian tesis ini. Secara
teoritis, adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) merupakan salah satu tujuan dari
hukum selain tujuan lain berupa keadilan (rechtsgerechtigheid) dan kemanfaatan
(rechtsutiliteit)24. Hukum juga berfungsi melindungi kepentingan seseorang atau masyarakat dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak
dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara
terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang
demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat
bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan
melekatnya hak itu pada seseorang.25
23 Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung,1996,hal. 253
24 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta; PT.
Gunung Agung Tbk, 2002, hal. 85.
25
Menurut Prof.Dr.Syafruddin Kalo26 Kepastian hukum dapat dilihat dari dua sudut pandang. Yang pertama kepastian dalam hukum itu sendiri dimaksudkan bahwa
setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat didalamnya
tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda, akibatnya akan membawa perilaku
patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Yang kedua adalah „kepastian karena
hukum‟, yang dimaksudkan bahwa adanya kepastian itu adalah karena hukum itu
sendiri .
Aspek „kepastian hukum‟ menjadi pokok permasalahan yang ingin dikaji dalam
penulisan tesis ini. Menurut Jan Michael Otto, kepastian hukum (legal certainty)
sering menjadi masalah dalam kehidupan hukum di negara-negara yang sedang
berkembang. Seringkali hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hukum tidak
dapat berfungsi sebagai jaringan pengaman yang dapat diandalkan jika keadaan
darurat muncul, oleh karena itu aspek kepastian atau ketidakpastian hukum menjadi
masalah yang serius bagi rakyat biasa maupun penguasa.27 Menurut Otto, kepastian
hukum yang muncul kerapkali hanya berupa kepastian hukum yuridis/ teoritikal saja
karena dalam praktiknya baik instansi Pemerintah maupun para pihak belum tentu
benar-benar tunduk dan taat terhadap hukum.28
26
Syafruddin Kalo,Penegakan Hukum yang menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat:Suatu Sumbangan Pemikiran,Makalah disampaikan pada Pengukuhan Pengurus Tapak Indonesia Koordinator Daerah Sumatera Utara, Medan,tgl 27 April 2007,hal.4,diakses di http:/hunterscience.weeblycom.
27 Jan Michael Otto, “Kepastian Hukum yang Nyata di Negara Berkembang”; dalam buku
Kajian Sosio-legal, Sulistyowati Irianto dkk (editor), Bab 8; diterbitkan oleh Pustaka Larasan bekerjasama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden dan Universitas Groningen, 2012,hal. 121
28
Pengertian mengenai „kepastian hukum‟ sekurangnya dapat merujuk kepada
dua sumber berikut ini. Pertama, definisi kepastian hukum sebagaimana terdapat
dalam kamus hukum Fockema Andreae (1981), yang mendefinisikannya sebagai
keyakinan yang (seyogianya) dimiliki anggota masyarakat bahwa pemerintah akan
memperlakukan dirinya berlandaskan pada aturan-aturan hukum yang berlaku dan
tidak secara sewenang-wenang tanpa membeda-bedakan (sejauh memungkinkan)
kepastian tentang substansi dari aturan (muatan isi dan bagaimana aturan dimaknai
dalam praktik). Kedua, pengertian kepastian hukum yang lazim dalam diskursus
hukum, yang dimaknai sebagai prinsip bahwa warga pencari keadilan boleh berharap
dan yakin bahwa peraturan hukum akan diterapkan dan diinterpretasikan dengan cara
yang terduga sebelumnya29.
Jan Michael Otto berpandangan bahwa yang perlu diperhatikan dalam kajian
kepastian hukum bukan hanya sekedar adanya kepastian hukum (legal certainty) itu,
melainkan perlu lebih spesifik kepada aspek yang disebutnya „kepastian hukum yang
nyata‟ (real legal certainty). Menurut Otto, kepastian hukum yang nyata tersebut juga
bukan hanya sebatas adanya kepastian hukum yuridis, melainkan lebih dari itu, yang
mencakup hal-hal sebagai berikut30:
a. Tersedianya aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh
(accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena (kekuasaan) Negara,
b. bahwa instansi-instansi pemerintah menerapkan aturan-aturan hukum itu
secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya,
29 Otto, Ibid
30
c. bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas dari warga-negara menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut,
d. bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
(independent and impartial judges) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum yang dibawa kehadapan mereka,
e. bahwa keputusan peradilan harus secara konkrit dilaksanakan.
Menurut Otto, suatu Negara akan semakin baik jika semakin tinggi tingkat
kepastian hukum nyata yang ada di Negara itu. Tingkat kepastian hukum nyata, lebih
lanjut dijelaskan oleh Otto, hampir selalu dapat digambarkan beranjak dari tiga jenis
faktor, yaitu: (1) dari aturan-aturan hukum itu sendiri; (2) dari instansi-instansi
(kelembagaan) yang membentuk dan memberlakukan serta menerapkan hukum dan
yang bersama dengan hukum membentuk sistem hukum; (3) dari lingkungan sosial
yang lebih luas: faktor politik, ekonomi dan sosial budaya.31
Permasalahan penelitian ini juga akan dianalisis menggunakan perspektif teori
efektivitas hukum. Suatu aturan hukum dikatakan efektif apabila substansi dari aturan
hukum tersebut jelas dan baik, dilaksanakan dengan baik dan konsisten oleh aparat
penegak hukum dan masyarakat yang terkena aturan ikut mendukungnya. Anthony
Allot dikutip dari Salim32 mengatakan bahwa hukum menjadi efektif jika tujuan
keberadaan dan penerapannya dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak
diinginkan dan dapat menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum
dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan. Efektifitas hukum yang
31 Otto, Ibid.
32 Salim HS, Penerapan Teori hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Rajagrafindo
dimksud dalam penerapannya bertujuan untuk mengatur kepentingan manusia.
Apabila norma hukum itu ditaati oleh masyarakat maupun penegak hukum maka
pelaksanaan hukum sudah berhasil dan dikatakan efektif.33Ketidakefektifan
Undang-undang cenderung dipengaruhi oleh waktu,sikap dan kuantitas kepatuhan masyarakat,
seperti perilaku pelanggaran hukum. Kondisi yang demikian mempengaruhi proses
penegakan hukum yang bertujuan menjamin kepastian dan keadilan dalam
masyarakat.34
Pentingnya kepastian hukum bagi setiap warga Negara Indonesia dijamin oleh
konstitusi Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi:“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.Upaya-upaya hukum
yang dilakukan oleh brbagai elemen warga masyarakat untuk mendapatkan kepastian
hukum atas haknya dalam berbagai aspek kehidupan bernegara, antara lain melalui
permohonan uji materi konstitusionalitas undang-undang, sebahagiannya merujuk
kepada rumusan konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) tersebut.
2. Kerangka Konsep
Konsep merupakan salah satu bagian terpenting dari teori yang bertujuan untuk
menerangkan sesuatu yang ada dalam fikiran manusia, yaitu dengan menghubungkan
teori dan hasil observasi antara yang abstrak dan riil.35
33 Ibid, hal.301
34 Syafruddin Kalo,Op.Cit.hal.4 35
Pengertian yang jelas tentang suatu istilah adalah penting untuk menghindari
salah pemahaman terhadap permasalahan dalam suatu penelitian. Ada beberapa
konsep pokok yang menjadi objek pembahasan dalam penulisan tesis ini, yang perlu
dijelaskan makna atau pengertiannya secara ringkas, sebagai berikut:
a. Kepastian hukum, yang diartikan sebagai tersedianya aturan-aturan hukum
yang jelas, konsisten, mudah diakses, yang diterbitkan/diakui negara; yang
memberikan kepastian berlakunya prinsip keadilan dalam penafsiran dan
penerapannya terhadap warga pencari keadilan.
b. Pemegang hak atas tanah adalah individu, kelompok individu atau
masyarakat maupun badan hukum yang menurut aturan-aturan hukum yang
berlaku di Indonesia dapat memiliki hak untuk memiliki atau menguasai
bidang tanah tertentu. Selain itu, pengertian pemegang hak atas tanah dalam
penelitian ini juga mencakup Pemerintah Daerah sebagai pemegang hak
pengelolaan, yang memiliki hak-hak konstitusional mengatur peruntukan
tanah di wilayahnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya.
c. Kawasan hutan, yang pengertiannya mencakup kawasan hutan sebagaimana
disebutkan pada Pasal 1 angka (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dan perubahan maknanya sebagaimana diputuskan dalam
Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011. Kawasan hutan dalam aturan hukum
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap”.
d. Uji Materiil (Yudicial Review) adalah kewenangan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu
Undang-undang dan peraturan di bawah Undang-Undang-undang isinya bertentangan dengan
UUD atau peraturan yang lebih tinggi derajatnya,serta apakah suatu
kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
G. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja yang bertujuan untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Penelitian merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperkuat serta
mengembangkan ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan
menggunakan kekuatan pemikiran yang senantiasa dapat ditelaah secara kritis yang
bertujuan agar dapat mengetahui kebenaran suatu objek ilmu pengetahuan secara
mendalam. 36
Adapun metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Sebagai penelitian hukum penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis,
yaitu penelitian yang berusaha memberikan gambaran secara rinci dan sistematis
tentang permasalahan yang diteliti,berdasarkan suatu analisis kualitatif terhadap objek
36 Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,cetakan ke III,Penerbit UI-Press,Jakarta
kajian37. Fakta-fakta tentang objek Penelitian digambarkan dan diuraikan secara sistematis, dan sinkron berdasarkan aspek yuridis, dengan tujuan untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian. 38Jenis kajian yang akan dilakukan adalah kajian
yuridis normatif dengan fokus kepada kajian-kajian norma hukum, azas-azas hukum
yang bisa menjawab pertanyaan sesuai dengan permasalahan hukum. Dalam
penelitian ini yang menjadi objek pokok kajian adalah norma-norma hukum berupa
tiga putusan Mahkamah Konstitusi dan satu Putusan Mahkamah Agung. Ketiga
putusan Mahkamah Konstitusi yang dimaksud adalah : (1) Putusan MK No. 45/
PUU-IX/ 2011; (2) Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011; (3) Putusan MK No.
35/PUU-X/2012. Sementara itu, putusan Mahkamah Agung yang menjadi objek kajian adalah
Putusan MA No. 47 P/HUM/2011.
Dengan mengkhususkan kajian pada norma-norma hukum positif berupa
produk hukum pengadilan maupun peraturan perundang-undangan dan bahan hukum
lainnya yang terkait dengan permasalahan penelitian, maka penelitian ini dapat
digolongkan sebagai penelitian yang berbasis kepada ilmu hukum normatif.39
Analisis terhadap permasalahan penelitian dilakukan melalui analisis isi teks
sebagaimana tertuang dalam dokumen hukum berupa putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung seperti disebutkan di atas.Meskipun demikian,
dalam menguraikan bagian-bagian bab dalam tesis ini tidak menutup kemungkinan
37
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung, Penerbit: Alumni, 1994, hal. 101.
38
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.116
39 Ibrahim Johni, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang, Penerbit: Bayu Media
untuk memanfaatkan data dan sumber informasi lain yang relevan dengan pokok
kajian. Pemanfaatan bahan sekunder demikian dapat dianggap sebagai upaya untuk
memperkaya perspektif kajian sebagai sumber pendukung dalam penulisan ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada
pengkajian terhadap produk hukum tertulis sebagai bahan hukum primer, dan
data-data sekunder lainnya yang relevan dengan pokok permasalahan. Bahan hukum yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu Undang-undang dan Peraturan-peraturan yang
terkait dengan objek penelitian, di antaranya: UUD 1945, UUPA, UU
Kehutanan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/ PUU-IX/ 2011, No.
34/PUU-IX/2011, No. 35/PUU-X/2012, Putusan Mahkamah Agung No. 47
P/ HUM/2011, SK Menteri Kehutanan No. 44 Tahun 2005, UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Tata Ruang, dan peraturan-peraturan lainnya.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil seminar atau
pertemuan ilmiah lainnya, serta pendapat pakar hukum yang erat kaitannya
dengan objek penelitian.40
40 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982,
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang
terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti, jurnal ilmiah, surat
kabar, internet, serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek
penelitian.41
d. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi
kepustakaan (library research) yaitu: menghimpun data-data dengan
melakukan penelahaan kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan,
karya ilmiah, hasil penelitian yang berkaitan dengan objek penelitian.
3. Analisis Data
Analisis data merupakan proses memahami, mengorganisasikan dan
mengkategorikan data dan informasi ke dalam pola-pola atau tema-tema tertentu
sebagai inferensi atau simpulan-simpulan sementara sesuai dengan pokok kajian.
Analisis data seperti ini merupakan bagian atau tahapan dari penelitian deskriptif
menggunakan analisis kualitatif. Dalam praktiknya, bahan-bahan hukum primer
sebagaimana disebutkan di atas akan dipilah dan dianalisis bagian-bagiannya untuk
mendapatkan pemahaman dan gambaran mengenai bagaimana aspek kepastian
hukum pemegang hak atas tanah di kawasan hutan dijabarkan, ditafsirkan dan
disimpulkan dalam setiap produk putusan tersebut. Proses penarikan kesimpulan
dalam analisis data dilakukan dengan menggunakan logika induktif.
41 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif , Rajawali Pers,Jakarta,