• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kadar Fungsi Hati Pada Penderita DM Tipe 2 Dan Non-DM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Kadar Fungsi Hati Pada Penderita DM Tipe 2 Dan Non-DM"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus

2.1.1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.2

2.1.2. Klasifikasi2

1. Tipe 1 terjadi akibat destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin. Yang termasuk didalamnya adalah : autoimun dan idiopatik

2. Tipe 2 : bervariasi mulai dari dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.

3. Tipe lain : tipe ini mencakup defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, serta sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.

(2)

2.1.3. Epidemiologi

Prevalensi DM di dunia telah meningkat secara dramatis selama 2 dekade terakhir ini. Demikian pula halnya dengan prevalensi GPT (gula darah puasa terganggu) juga meningkat. Meskipun peningkatan prevalensi terjadi pada DM tipe 1 dan tipe 2, namun peningkatan DM tipe 2 diperkirakan akan lebih cepat di masa yang akan datang dikarenakan peningkatan jumlah obesitas dan berkurangnya tingkat aktifitas. Peningkatan jumlah DM sejalan dengan penuaan/pertambahan usia. Pada tahun 2000, prevalensi DM diperkirakan 0,19% pada populasi usia < 20 tahun dan 8,6% pada usia > 20 tahun. Sedangkan pada usia > 65 tahun, prevalensinya sebesar 20,1%. Prevalensinya sama antara pria dan wanita tanpa memandang usia. Namun pada kelompok usia > 60 tahun, pria lebih banyak terkena DM ketimbang wanita. Di Indonesia sendiri, prevalensi DM berkisar antara 1,4 – 1,6% kecuali di 2 tempat yakni Pekajangan (2,3%) dan Manado (6%). Secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar 1. Menurut WHO, pada tahun 2025 indonesia akan menempati urutan ke 5 penderita DM terbanyak yakni sebanyak 12,4 juta orang, naik 2 tingkat dari tahun 1995.9

(3)

2.1.4. Gambaran Klinis

Diagnosis DM mudah ditegakkan jika pasien datang dengan adanya keluhan-keluhan klasik seperti poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan. Gejala lain yang mungkin berhubungan dengan kondisi hiperglikemia antara lain pandangan kabur, kebas-kebas khususnya pada ekstremitas bawah, atau infeksi jamur khususnya balanitis pada pria. Namun demikian, banyak pasien DM tipe 2 ternyata asimtomatik dan tidak terdiagnosa selama bertahun-tahun. Pada sebuah studi disebutkan bahwa pasien DM tipe 2 yang telah menunjukkan gejala sebenarnya telah menderita DM selama 4-7 tahun sebelum diagnosa ditegakkan. Di antara pasien-pasien DM tipe 2 di Inggris, pada sebuah studi prospektif ditemukan bahwa 25% mengalami retinopati, 9% neuropati, dan 8% mengalami nefropati pada saat didiagnosa.10

Di awal diagnosa DM, jarang ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada DM antara lain : Obesitas khususnya sentral, hipertensi, perdarahan dan atau eksudasi serta neovaskularisasi di mata, akantosis nigrikans, infeksi jamur, penurunan fungsi syaraf khususnya , tidak terasanya sentuhan ringan, sensasi suhu, serta propriosepsi, kehilangan refleks tendon di tumit, kaki kering, atrofi otot, claw toes, serta ulkus. Pemeriksaan pulsasi pembuluh darah ekstemitas juga dapat

memberikan gambaran komplikasi DM. 10

2.1.5. Patofisiologi

(4)
(5)

Gambar 2. Merupakan gambaran skematik perjalanan alamiah DM tipe 1.

Seseorang yang memiliki predisposisi genetik terpapar dengan pemicu imunologis yang memulai proses autoimun sehingga menyebabkan penurunan jumlah/massa sel beta secara gradual. Gangguan produksi sel beta baru terlihat jika massa sel beta yang rusak telah mencapai + 80%. Fase “honeymoon” dapat terjadi pada 1 atau 2 tahun pertama setelah onset diabetes. 11

(6)

meskipun terjadi resistensi insulin sebab sel beta pankreas melakukan kompensasi dengan meningkatkan produksi insulin (gambar 3). Sejalan dengan terjadinya resistensi insulin dan kompensasi berupa hiperinsulinemia, sel-sel pankreas pada beberapa individu perlahan tidak lagi mampu untuk mempertahankan kondisi hiperinsulinemik. Maka terjadilah toleransi glukosa terganggu (TGT)/impaired glucose tolerance (IGT). Jika sekresi insulin semakin menurun dan produksi

glukosa hepar terus meningkat maka pada suatu titik diabetes melitus akan mulai nyata kelihatan yang ditandai dengan hiperglikemia pada keadaan puasa. Pada akhirnya dapat terjadi apa yang disebut dengan kegagalan sel beta. Marker-marker inflamasi seperti interleukin-6 (IL-6) dan protein C-reaktif dapat meningkat pada diabetes melitus.11

Gambar 3. Perubahan metabolik yang terjadi selama perjalanan DM tipe 2.

(7)

2.1.6. Komplikasi

Komplikasi DM dapat terjadi secara akut maupun kronis. Yang termasuk komplikasi akut adalah ketoasidosis diabetik (KAD) dan status hiperglikemik hiperosmolar (HHS/hyperglycemic hyperosmolar state). KAD sering terjadi terutama pada DM tipe 1 sedangkan HHS lebih sering terjadi pada DM tipe 2. Kedua kelainan diatas memiliki kaitan terhadap defisiensi insulin relatif ataupun absolut, deplesi volume carian, serta abnormalitas asam basa.11 Perbedaan KAD dan HHS dapat dilihat dari tabel 1.

Tabel 1. Nilai laboratorium pada KAD dan HHS.11

(8)

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis

Selama beberapa dekade diagnosa diabetes didasarkan pada kriteria pemeriksaan kadar glukosa yakni gula darah puasa dan 2 jam setelah menelan 75 gr glukosa dalam tes toleransi glukosa oral (TTGO). Pada tahun 2009, komite para ahli internasional yang melibatkan perwakilan dari American Diabetic Association (ADA), The International Diabetes Federation (IDF) serta The

European Association for the Study of Diabetes (EASD) merekomendasikan

pemeriksaan A1C untuk mendiagnosa diabetes dengan ambang batas > 6,5%, dan ADA telah mengadaptasi kriteria ini dalam laporannya pada tahun 2010. Uji diagnostik harus dilakukan dengan metode yang telah disertifikasi oleh The National Glycohemoglobin Standarization (NGSP). Berikut merupakan kriteria

diagnosa diabetes melitus menurut ADA: 12

• A1C > 6,5%. Pemeriksaan harus dilakukan di laboratorium yang

disertifikasi oleh NGSP dan distandarisasi oleh uji DCCT (Diabetes Control and Complication Trial). Jika A1C meningkat dimana tidak

dijumpai hiperglikemia, maka hasil harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan A1C ulang.

Atau

• Gula darah puasa > 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa didefinisikan

sebagai tidak masukan kalori selama sekurangnya 8 jam. atau

• Gula darah 2 jam setelah masukan glukosa 75g pada tes toleransi glukosa

(9)

atau

• Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis

hiperglikemia diserta kadar gula darah acak/sewaktu > 200mg/dL (11,1 mmol/L).12

2.2 Diabetes Melitus dan Pemeriksaan Fungsi Hati

(10)

2.2.1. Teori Dibalik Peningkatan Hasil Tes Fungsi Hati pada Pasien Diabetes

Hati berperan dalam mempertahankan kadar glukosa normal darah pada saat puasa dan setelah makan. Kehilangan efek insulin di hati dapat menyebabkan glikogenolisis serta peningkatan produksi glukosa hepar. Abnormalitas pada penyimpanan triglisireda serta terjadinya lipolisis pada jaringan yang sensitif terhadap insulin seperti hati merupakan manifestasi awal dari kondisi-kondisi yang berkatian dengan resistensi insulin, dan hal ini muncul lebih dulu daripada hiperglikemia puasa. Namun demikian, bagaimana tepatnya peran dari faktor genetik, lingkungan dan metabolik serta urutan kejadian yang mengarah pada resistensi insulin masih belum jelas.6,13

Pada percobaan yang dilakukan pada hewan, ditemukan bahwa hiperinsulinemia kronis merupakan faktor predisposisi terhadap terjadinya resistensi insulin di hati. Hal ini ditandai dengan kegagalan insulin untuk mensignal peningkatan substrat-2 reseptor insulin. Terjadi pula peningkatan regulasi dari SREBP-1c (sterol regulatory element binding-protein 1c) yang menyebabkan terjadinya lipogenesis. Lipogenesis terjadi terutama di hati menyebabkan peningkatan trigliserida intraseluler dan menjurus ke arah fatty liver. Hal ini juga dapat meningkatkan sintesis sekresi VLDL. Oleh karena itu

dapat disimpulkan bahwa kondisi hiperinsulinemia dapat berkorelasi langsung dengan resistensi insulin di hati dan hal ini berkaitan dengan fatty liver.6,7,14

(11)

sel pada konsentrasi asam lemak bebas yang tinggi, disfungsi mitokondrial, pembentukan toksin, serta aktivasi dan inhibisi pada langkah-langkah penting regulasi metabolisme. Kemungkinan lain yang dapat menyebabkan meningkatnya kadar transaminase pada keadaan resistensi insulin antara lain adanya stres oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid reaktif dan sel-sel inflamasi yang belakangan ikut dilibatkan. Keadaan resistensi insulin juga ditandai dengan munculnya sitokin-sitokin proinflamasi seperti TNF-α (tumor necrosis factor-alfa) yang dapat pula berperan pada cedera hepatoselular. Dalam sebuah studi

preeliminari ditemukan bahwa peningkatan promotor TNF-α, ditemukan pada pasien dengan NASH (nonalcoholic steatohepatitis). Terori-teori diatas merupakan teori yang mengaitkan elevasi transaminitis dengan cedera hepatosit. Dapat pula ditarik sebuah hipotesa yang menyatakan bahwa peningkatan ALT yang merupakan sebuah enzim glukoneogenik dimana transkripsi gennya dapat disupresi oleh insulin, dapat menandakan adanya gangguan pada signalisasi insulin ketimbang sekedar karena cedera hepatoselular.6,15,16,17.

2.2.2. Peningkatan Fungsi Hati dan Progresifitas Diabetes Melitus

(12)

Untuk menentukan apakah pemeriksaan GGT dapat memperkirakan progresifitas diabetes, dilakukanlah suatu studi kohort prospektif pada 7.458 laki-laki nondiabetes dengan usia 40-59 tahun selama 12 tahun. Rerata nilai GGT serum pada permulaan studi secara signifikan dijumpai lebih tinggi pada 194 laki-laki yang belakangan didiagnosa DM tipe 2 dibandingkan dengan sisanya yang tidak didiagnosa DM (20,9 vs 15,3 unit/l, P < 0,0001). Hubungan ini tidak terikat dengan kadar glukosa serum dan indeks massa tubuh. Ohlson dkk (1988) melaporkan bahwa peningkatan ALT pada pria nondiabetes di Swedia merupakan faktor resiko terhadap DM tipe 2, terlepas dari obesitas, distribusi lemak tubuh, kadar glukosa plasma, lipid, AST, konsentrasi bilirubin, serta riwayat keluarga dengan diabetes. Hasil yang serupa juga ditemukan oleh Vozaroza et al (2002) yang memantau 451 warga nondiabetik Pima Indian selama rata-rata 6,9 tahun untuk menentukan apakah peningkatan enzim hati dapat dikaitkan dengan kemunculan diabetes. Pada data baseline ditemukan bahwa nilai ALT, AST, dan GGT berkaitan dengan persentasi lemak tubuh. Setelah disesuaikan kembali terhadap usia, jenis kelamin, lemak tubuh, sensitivitas seluruh insulin dan respon akut insulin, hanya peningkatan ALT pada baseline yang berasosiasi dengan produksi glukosa hepar. Secara prospektif didapati bahwa peningkatan konsentrasi ALT berkaitan dengan penurunan sensitivitas insulin hepar dan peningkatan resiko diabetes melitus tipe 2.6,8,19,20

2.2.3. Insidensi Peningkatan Nilai Tes Fungsi Hati pada Diabetes

(13)
(14)

penderita DM tipe 1. Seluruh subjek didapati mengalami hepatomegali dan hasil pemeriksaan fungsi hati yang abnormal. Seluruh subjek memiliki hasil pemeriksaan darah rutin, elektrolit serum serta fungsi ginjal yang normal. Tidak satupun subjek mengalami gagal jantung dekompensasi. 5 subjek mengaku merupakan peminum alkohol, sementara 67 lainnya abstain. Dari 72 subjek yang menjalani biopsi hati, 4 pasien atau keseluruhan subjek diabetes melitus tipe 1 dinyatakan memiliki gambaran histologi hati yang normal, sedangkan pada kelompok DM tipe 2 hanya 5 dari 68 subjek yang memiliki histologi hati yang normal. Pada 9 subjek dengan hasil histologi hati yang normal, parameter fungsi hati yang paling sering meningkat adalah bilirubin dan ALP (alkalin fosfatase), sementara peningkatan ALT lebih jarang dan peningkatan GGT tidak dijumpai sama sekali. Dari 63 subjek yang memiliki kelainan pada histologi hati 48 didiagnosa sebagai fatty liver/steatosis dengan perubahan inflamasi nonspesifik, 14 subjek lagi disertai adanya bukti fibrosis. Dari 63 subjek ini, peningkatan GGT dan ALT paling banyak dijumpai, namun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal nilai GGT dan ALT antara tingkatan perburukan yang dijumpai dalam histologi hati (mulai dari steatosis ke steatohepatitis hingga ke fibrosis). Sehingga dapat disimpulkan dari studi ini bahwa abnormalitas pada pemeriksaan fungsi hati lazim dijumpai pada DM namun tidak dapat membedakan derajat penyakit menurut gambaran histologi.6,21

(15)

dibandingkan kelompok nondiabetes yakni sebesar 3,8%. Kelompok yang overweight dan obesitas memiliki kecenderungan mengalami peningkatan ALT

lebih besar.6,22

2.2.4. Hubungan Overweight, Obesitas dan DM tipe 2

Overweight adalah berat badan yang melebihi berat badan normal, sedangkan obesitas adalah kelebihan akumulasi lemak dalam tubuh. Tetapi karena lemak tubuh sulit untuk diukur, berat badan tubuh yang berlebihan dianggap akumulasi lemak .

Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan lemak yang berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh manusia.

Obesitas merupakan suatu kelainan komplek pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh pada perkembangan penyakit ini.secara fisiologis obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga mengganggu kesehatan.

(16)

normal, kemudian menjadi obes dengan resistensi insulin dan berakhir dengan diabetes melitus tipe 2. Pada umumnya penderita diabetes melitus dengan keluhan khas yang datang ke klinik sudah ditemukan baik resistensi insulin maupun defek sel beta pankreas.

Indek massa tubuh (IMT) merupakan indikator yang sangat sering digunakan untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih atau obesitas pada orang dewasa34.

Tabel 2. Klasifikasi IMT untuk ASIA Dewasa Menurut WHO dalam The Asia Pasific Perspective, 2000

2.2.5. Nonalcoholic Fatty Liver Disease

(17)

fibrosis (NASH/nonalcoholic steatohepatitis). NAFLD muncul tanpa adanya riwayat konsumsi alkohol yang signifikan, dengan biopsi hati menunjukkan adanya steatosis makrovesikular dengan atau tanpa adanya aktifitas nekro-inflamatori dan eksklusi dari adanya kemungkinan penyakit hati lain. Meskipun patogenesisnya belum jelas, NAFLD memiliki ciri khas adanya akumulasi trigliserida dalam hepatosit. Resistensi insulin memainkan peranan penting dalam akumulasi trigliserida. Berlebihnya asam lemak intraseluler, stres oksidatif, deplesi jumlah ATP, serta disfungsi mitokondrial secara bersama-sama berperan dalam menyebabkan cedera hepatoselular disusul inflamasi dan fibrosis. Oleh karena tidak lagi mengejutkan bahwa temuan yang paling sering dari kondisi NAFLD adalah peningkatan kadar transaminase serum yang tidak terlalu tinggi. Namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya yakni tingginya kadar peningkatan transaminase tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit secara histopatologi.6,15,22,23

2.2.6. NAFLD pada Pasien Nondiabetes

(18)

penyebab penyakit hati yang diturunkan secara herediter (α-1 antitripsin,

seruloplasmin, besi, kapasitas ikat besi, ataupun ferritin) dijumpai negatif. Kelompok ini juga tidak memiliki riwayat pengguna alkohol dan obat-obat hepatotoksik demikian juga tanda-tanda penyakit hati kronis. Dari antara 81 pasien dengan etiologi yang tidak diketahui ini, 73 orang memiliki gambaran histologi hati yang abnormal dengan gambaran steatosis. Pada pasien dengan penyakit hati tanpa etiologi yang jelas, prevalensi steatosis dan steatohepatitis ditemukan sebesar 50,6 dan 32%.6,24,25

2.2.7. Hepatitis C dan Diabetes Melitus tipe 2

(19)

Gambar

Gambar 1. Prevalensi DM di Indonesia.9
Gambar 2. Merupakan gambaran skematik perjalanan alamiah DM tipe 1. Seseorang yang memiliki predisposisi genetik terpapar dengan pemicu imunologis yang memulai proses autoimun sehingga menyebabkan penurunan jumlah/massa sel beta secara gradual
Gambar 3. Perubahan metabolik yang terjadi selama perjalanan DM tipe 2. menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT; poin C) dan selanjutnya akan terjadi DM tipe 2 (poin D).cenderung mengarah pada resistensi insulin (dengan bergerak dari poin A menuju poin
Tabel 1. Nilai laboratorium pada KAD dan HHS.11
+2

Referensi

Dokumen terkait

Daerah rawan konflik adalah daerah yang rawan menurut pertimbangan keamanan, baik untuk keamanan Peneliti Asing sendiri maupun keamanan setempat; daerah yang

Individu ikan patin yang membawa gen lisozim dan telah terintegrasi ke dalam ge- nomnya akan digunakan sebagai kandidat dalam pembentukan galur ikan patin tahan penyakit.. Kata

Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini difokuskan pada bagaimana alam dan adat masyarakat Limbanang dapat menjadi sumber pembentukan

Kemandirian belajar siswa tunarungu SMPLB Negeri Ungaran mengalami peningkatan setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan video berbasis BISINDO yang telah layak

- Data kependudukan (data migrasi masuk, data migrasi keluar, jumlah kelahiran, jumlah kematian) masih sangat tergantung pada ketersediaan data lintas sektor. -

Uji toksisitas akut dermal menggunakan hewan percobaan yang diperlukan untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemaparan suatu sediaan uji.

Ketertarikan pengkarya terhadap tokoh tersebut karena dia memiliki dendam dengan Laksmana yang telah membuat cacat padanya, dan pada akhirnya dia mati

Ketika harga pasaran berada pada puncaknya, maka para petani besar seringkali mengingkari perjanjian kontrak yang telah disepakati dan lebih memilih untuk memasok produk mereka