• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP TUMA`NINAH DALAM SHALAT PERSPEKTIF IMAM MALIK DAN IMAM ABU HANIFAH (Kaijan Teori Rukun dan Wajib Shalat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP TUMA`NINAH DALAM SHALAT PERSPEKTIF IMAM MALIK DAN IMAM ABU HANIFAH (Kaijan Teori Rukun dan Wajib Shalat)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

91

Vol. XIII, No. 1, Juni 2020

IMAM MALIK DAN IMAM ABU HANIFAH

(Kaijan Teori Rukun dan Wajib Shalat)

Oleh Nurhadi1, Zulkifli2

1Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Azhar Pekanbaru

2Mahasiswa UIN Suska Riau Prodi Perbandingan Mazhab

Email: : alhadijurnal@gmail.com1, zulkifli@gmail.com2

 

Abstract: The purpose of this study was to determine the concept of thuma'ninah in prayer according to Imam Maliki and Hanafi. The method used in this study is a qualitative descriptive with a comparative approach. The result is that thuma'ninah is silent for a while just reading the prayer beads, this is the opinion of Abu Yusuf al-Hanafi, as well as the Maliki school of worship when bowing, prostration, i'tidal and sitting between two prostrations the size of reading prayer beads. Both of them do not oblige thuma'ninah in principle. Istinbath which is used to punish the non-obligatory thuma’ninah surah al-Hajj verse 77 and hadith ahad Bukhari and Muslim history. Some of the Maliki schools are obliged to thuma'ninah argued above hadith. The strong opinion of thuma'ninah is obligatory for obligatory prayers and sunnat for sunnat prayers. But thuma'ninah is better, because it brings closer solemnity and gain wisdom for the sake of servitude in getting peace in prayer.

Keywords: Prayer, Without Tuma`Ninah, Perspective.

Abstrak: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui konsep thuma’ninah dalam shalat menurut imam maliki dan hanafi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalan deskriftif kualitatif dengan pendekatan komparatif. Hasilnya bahwa thuma’ninah adalah diam sebentar sekedar membaca tasbih, ini pendapat Abu Yusuf al-Hanafi, sama juga mazhab Maliki yaitu ketika rukuk, sujud, i’tidal dan duduk antara dua sujud seukuran membaca tasbih. Keduanya secara prinsip tidak mewajibkan thuma’ninah. Istinbath yang di gunakan menghukumi tidak wajibnya thuma’ninah surah al-Hajj ayat 77 dan hadis ahad riwayat Bukhari dan Muslim. Sebagian mazhab Maliki wajib thuma’ninah berdalil hadis diatas. Pendapat yang kuat thuma’ninah wajib untuk shalat wajib dan sunnat untuk shalat sunnat. Namun thuma’ninah lebih baik, karena mendekatkan kekhusukan dan meraih hikmah demi kemashlahatan hamba dalam mendapatkan ketenangan dalam shalat. Kata Kunci:Shalat, Tanpa Tuma`Ninah, Perspektif.

(2)

PENDAHULUAN

Shalat adalah merupakan salah satu syariat Islam yang tak seorangpun diperbolehkan meninggalkanya. Dalam kondisi apapun. Hanya saja Islam yang rahmatan lil’alamin memberikan keringanan bagi siapa yang hilang qudrah (kemampuan) dalam tatacara pelaksanaanya, tanpa kebolehan untuk meninggalkanya.1

Dalam shalat, Allah telah menashkan baik secara dhahir maupun khofy tatacara pelaksanaanya. Ia telah menggariskan sebuah rukun dan syarat yang harus dilaksanakan bagi seorang hamba ketika hendak melaksanakan shalat. Melihat betapa urgenya sebuah rukun yang merupkan syarat sahnya Shalat. Rukun secara bahasa yaitu salah satu unsur yang dijadikan sandaran atas suatu perkara. Dikatakan pula bahwa rukun ialah bagian dari sesuatu itu sendiri.2 Shalat secara bahasa ialah ad-du’a yang berarti doa.3Adapun shalat secara istilah yaitu suatu ibadah yang terdiri dari berbagai gerakan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.4

Fardhu ialah segala bentuk perbuatan yang mendapat pahala jika dikerjakan, mendapat iqab atau balasan siksa apabila ditinggalkan terutama syiar yang diperintahkan oleh Syari’ dengan tegas. Fardhu dalam shalat dapat diartikan sebagai rukun. Sebagai

1Kemampuan yaitu berdiri bagi yang

kuasa/mampu, kalau tidak mampu dilakukan dengan cara duduk, kalau tidak mampu dilakukan dengan cara berbaring, sedangkan jika tidak mampu juga alternative terahir adalah dengan cara isyarat mata dan hati. Tanpa ada kehahalan untuk meninggalkanya selama hayat masih dikandung badan/hidup.

2IbrahimMadkur, Mu’jam al-Wasith, (t.t: tp,

t.th), hlm. 395

3Ibid., hlm. 547

4Abdul Hamid dan Beni HMd Saebani, Fiqih

Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2016), hlm. 191 dan Ali

Imran, Fiqih, ( Bandung : Cita Pustaka Mdia Perintis , 2011), hlm. 9

5Kesamaan fardhu shalat madzhab Maliki dan Hanafi

terletak pada 4 hal, yaitu: berdiri bagi yang mampu, ruku’, sujud, dan qira’ah. Pada poin qira’ah terjadi ikhtilaf antara madzhab Hanafi dan selainya. Madzhab Hanafi mengatakan bahwa yang diwajibkan dibaca ketika sholat ialah apa saja dari qur’an tanpa menentukan Al-fatihah, sedang madzhab Maliki didukung oleh madzhab lainya mengatakan bahwa qira’ah yang diwajibkan untuk dibaca ketika sholat adalah surat Al-fatihah.

6Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh ‘ala

Madzahib al-Arba’ah, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah,

2016 M), cet. III, jilid. I, hlm. 110-111.

diketahui bahwa faraidh yaitu bagian-bagian yang jika hilang darinya menyebabkan tidak ada pangkal atau kepala dari shalat tersebut. Para imam madzhab memiliki defenisi tersendiri mengenai rukun, yaitu:51). Madzhab

Hanafi6mengatakan, rukun terbagi menjadi 2 :

rukun asli dan rukun zaid (tambahan). Rukun asli yaitu rukun yang dapat menggugurkan kewajiban seseorang ketika dalam kondisi lemah. Sedang rukun tambahan yaitu rukun yang bisa jadi gugur dalam beberapa keadaan, walaupun seorang tersebut mampu untuk melakukanya seperti membaca surat, sehingga dalam madzhab mereka ma’mum hanya mengikuti bacaan imam. Syarat shalat yang disepakati dalam madzhab mereka ada empat baik dari rukun Ashli maupun tambahan. Yang termasuk rukun asli yaitu qiyam, ruku’ dan sujud. Sedang rukun tambahan yaitu qira’ah.7

2). Mazhab Maliki berpendapat bahwa faraidh shalat ada 15 diantaranya, niat, takbir ihram, qiyam pada shalat fardhu, membaca Al-Fatihah, berdiri saat membaca Al-fatihah, ruku’, I’tidal, sujud, duduk dianatara 2 sujud, salam, duduk tasyahud, salam, thuma’ninah, tartib atau berurutan, niat ikut imam jika posisinya sebagai ma’mum. Adapun rukun Shalat yang disepakati adalah:8 1). Takbiratul

Ihram.9 2). Berdiri Bagi Yang Mampu, berdiri

ketika shalat merupakan hal yang wajib. 3).

7Inayah Nazahah, Rukun Sholat Menurut

Empat Madzhab, Ma'had Aly Hidayaturrahman 11

months agofiqih (penulis adalah mahasiswa UMS jurusan Fiqih dan Ushul Fiqih, Sragen), wibesite online http://bintuiman.blogspot.com/2016/04/rukun-sholat-perspektif-4-madzhab.html.diakses tanggal 15 maret 2017 Jam 14.10 wib.

8Lihat Kitab Fiqih Mazhab yang Empat sebagai

berikut: (1). Mazhab Hanfi lihat kitab Badruddin Al-Ainy al-Hanafy, Al-Binayah Syarhul Hidayah, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2000 M), jild. 2, hlm. 197. (2). Mazhab Maliki lihat Abi Thahir Aba Ibrahim bin ‘Abdushamad bin Basyir, At-Tanbih ‘ala Mabadi’ At-Taujih, cet. pertama, (Lebanon: Dar Ibnu Hazm, 2007 M ), jild. 1, hlm. 415 (3). Mazhab Syafi’I lihat Taqiyuddin Yahya bin Syaraf An; Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2011), jilid. 4, hlm. 256-258. (3). Mazhab Hambali lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), terjemah oleh. Masturi Irham dan Muhammad Abidun Zuhri, jilid. 2, hlm.13.

9Takbir pada permulaan sholat disebut sebagai

takbiratul ihram dikarenakan dengan takbir tersebut seseorang telah haram baginya melakukan segala sesuatu yang pada sebelumnya dihalalkan sebab dapat merusak

(3)

Membaca surat Fatihah, membaca Al-Fatihah merupakan rukun dari berbagai rukun shalat.Sedangkan rukun Shalat yang Diperselisihkan adalah : 1). Niat yang Berbarengan dengan Takbiratul Ihram. 2).I’tidal, I’tidal merupakan gerakan shalat berupa tegaknya tubuh yang dilakukan usai melaksanakan ruku’. 3). Duduk diantara Dua Sujud, duduk dianatara dua sujud merupakan rangkaian dari berbagai rukun shalat menurut

madzhab Syafi’i. 4). Membaca Tasyahud Akhir, tasyahud akhir merupakan suatu yang ma’lum bagi kita semua. 5). Membaca Shalawat Nabi. 6). Salam. 7). Tertib. 8). Tuma’ninah.10Berikut ini penulis lampiran

tabel perbandingan dari ke 2 mazhab tentang rukun shalat yang kami kutip dari kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili.11

Tabel 1. Rukun Sholat Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki

No Rukun Shalat Mazhab Hanafi Mazhab Maliki

1 Niat x rukun

2 Takbiratul Ihram rukun rukun

3 Berdiri rukun rukun

4 Membaca rukun rukun

5 Ruku` rukun rukun

6 I`tidal/ Bangun dari Ruku` x rukun

7 Sujud rukun rukun

8 Duduk Antara Dua Sujud x rukun 9 Duduk Tasyahhud Akhir rukun rukun 10 Membaca Tasyahhud Akhir x rukun 11 Membaca Shalawat Atas Nabi x rukun

12 Salam x rukun

13 Tartib x rukun

14 Tuma`ninah x rukun

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa tuma’ninah adalah diperselisihkan dari kalangan dua ulama mazhab, yaitu hanafi dan maliki, jadi tidak heran kalau di Indonesia ada istilah shalat kilat kalau dibulan Ramadhan yaitu shalat tarawih cepat, mungkin pendapat mazhab hanafi inilah yang menjadi dasar pelaksanaan shalat tersebut. Apalagi jika dikaitkan dengan phenomena tahunan yang terjadi di tanah jawa yang selalu menjadi sorotan tentang shalat sunat tarawih kilat (tanpa thuma’ninah). Lalu bagaimana sebenaranya dalil para ulama tersebut mengenai tuma’ninah dan hakikat tuma’ninah.

bahkan membatalkan shalat, seperti makan, minum, berbicara dan lain sebagainya.

10Inayah Nazahah, Rukun Sholat Menurut

Empat Madzhab, Ma'had Aly Hidayaturrahman 11

months agofiqih (penulis adalah mahasiswa UMS jurusan Fiqih dan Ushul Fiqih, Sragen), wibesite online

http://bintuiman.blogspot.com/2016/04/rukun-sholat-Thuma’ninah menurut bahasa artinya tenang atau diam sejenak. Menurut Isltilah diam setelah gerakan atau diam diantara dua grakan sehingga memisahkan, misalnya antara bangkit dari rukuk dan turun dari rukuk hendak sujud. Batasan thuma’ninah sekedar membaca tasbih (subhanallah).12 َﺪْﻌَﺑ َءﺎَﻀْﻋَﻷﺍ ُﻥ ْﻮُﻜُﺳ ْﻱَﺃ ِﺔَﻛ ْﺮَﺣ َﺪْﻌَﺑ ُﻥ ْﻮُﻜُﺳ َﻲِﻫ ﺔﻨﻴﻧﺄﻤﻄﻟﺍ ِﻫ َﻝﺎَﻗ ْﻮَﻟ َﻭ ، ِﺽ َﻮْﻬَﻧ َﻭ ْﻱ َﻮَﻫ ْﻦِﻣ ﺎَﻬِﺘَﻛ ْﺮَﺣ ِﻦْﻴَﺘَﻛَﺮَﺣ َﻦْﻴَﺑ ُﻥ ْﻮُﻜُﺳ َﻲ ْﻱَﺃ ِﷲ َﻥﺎَﺤْﺒُﺳ ِﺭَﺪَﻘِﺑ ِﻪِﻠْﺤِﻣ ِﻮُﻀَﻋ ﱠﻞُﻛ ﱡﺮِﻘَﺘْﺴَﻳ ُﺚْﻴَﺤِﺑ ؛َﻰﻟ ْﻭَﺃ َﻥﺎَﻜَﻟ َﻚِﻟَﺬِﺑ ِﻆِﻔَﻠﱠﺘﻟﺍ ِﺭَﺪَﻘِﺑ .

Artinya: Thum'aninah adalah sikap diam (tenang) adanya gerakan, yaitu diamnya (tenangnya) anggota badan

perspektif-4-madzhab.html.diakses tanggal 15 maret 2017 Jam 14.10 wib.

11Wahbah Juhaili, Fiqhul Islam wa adillatuhu

(Cairo : Maktabah Ilmiyah, t.th), Juz II, hlm. 60

12Wahbah Juhaili, Fiqhul Islam wa adillatuhu.,

(4)

setelah menunduk (menjatuhkan anggota tubuh "Huwiy") atau bangkit), dan seandainya mengatakan bahwa thum'aninah adalah sikap diam diantara dua gerakan itu lebih utama, sekiranya setiap anggota badan menetap pada posisinya dengan kadar lamanya mengucapkan Subhanallah.13 Dalil hadis tentang thuma’ninah adalah hadis riwayat bukhari muslim:

َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠ َﻝﻮُﺳَﺭ ﱠﻥَﺃ َﺓَﺮْﻳ َﺮُﻫ ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ ِﻪﻴِﺑَﺃ ْﻦَﻋ ُﱠ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ّﻲِﺒﱠﻨﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ َﻢﱠﻠَﺴَﻓ ﻰﱠﻠَﺼَﻓ ٌﻞُﺟَﺭ َﻞَﺧَﺪَﻓ َﺪ ِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ َﻞَﺧَﺩ ﻲِّﻠَﺼُﻳ َﻊَﺟَﺮَﻓ ِّﻞَﺼُﺗ ْﻢَﻟ َﻚﱠﻧِﺈَﻓ ِّﻞَﺼَﻓ ْﻊ ِﺟ ْﺭﺍ َﻝﺎَﻗ َﻭ ﱠﺩَﺮَﻓ َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻝﺎَﻘَﻓ َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ّﻲِﺒﱠﻨﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ َﻢﱠﻠَﺴَﻓ َءﺎَﺟ ﱠﻢُﺛ ﻰﱠﻠَﺻ ﺎَﻤَﻛ ِﺬﱠﻟﺍ َﻭ َﻝﺎَﻘَﻓ ﺎًﺛ َﻼَﺛ ِّﻞَﺼُﺗ ْﻢَﻟ َﻚﱠﻧِﺈَﻓ ِّﻞَﺼَﻓ ْﻊ ِﺟ ْﺭﺍ ﺎَﻣ ِّﻖَﺤْﻟﺎِﺑ َﻚَﺜَﻌَﺑ ﻱ ﺎَﻣ ْﺃَﺮْﻗﺍ ﱠﻢُﺛ ْﺮِّﺒَﻜَﻓ ِﺓ َﻼﱠﺼﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ َﺖْﻤُﻗ ﺍَﺫِﺇ َﻝﺎَﻘَﻓ ﻲِﻨْﻤِّﻠَﻌَﻓ ُﻩَﺮْﻴَﻏ ُﻦِﺴْﺣُﺃ ﻰﱠﺘَﺣ ْﻊَﻓ ْﺭﺍ ﱠﻢُﺛ ﺎًﻌِﻛﺍ َﺭ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ْﻊَﻛ ْﺭﺍ ﱠﻢُﺛ ِﻥﺁ ْﺮُﻘْﻟﺍ ْﻦِﻣ َﻚَﻌَﻣ َﺮﱠﺴَﻴَﺗ ﱠﺘَﺣ ْﺪُﺠْﺳﺍ ﱠﻢُﺛ ﺎًﻤِﺋﺎَﻗ َﻝِﺪْﻌَﺗ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ْﻊَﻓ ْﺭﺍ ﱠﻢُﺛ ﺍًﺪ ِﺟﺎَﺳ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻰ ﺎَﻬِّﻠُﻛ َﻚِﺗ َﻼَﺻ ﻲِﻓ َﻚِﻟَﺫ ْﻞَﻌْﻓﺍ َﻭ ﺎًﺴِﻟﺎَﺟ

Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwa

Rasulullah saw masuk ke masjid, kemudian ada seorang laki-laki masuk Masjid lalu shalat. Kemudian mengucapkan salam kepada Nabishallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab dan berkata kepadanya, “Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum shalat!” Maka orang itu mengulangi shalatnya seperti yang dilakukannya pertama tadi. Lalu datang menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberi salam. Namun Beliau kembali berkata: “Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum shalat!” Beliau memerintahkan orang ini sampai tiga kali hingga akhirnya laki-laki tersebut berkata, “Demi Dzat yang mengutus anda dengan hak, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari itu. Maka ajarkkanlah aku!” Beliau lantas berkata: “Jika kamu berdiri untuk shalat maka mulailah dengan takbir, lalu bacalah apa yang mudah buatmu dari Al-Qur’an kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan thuma’ninah (tenang), lalu bangkitlah (dari

13 Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani,

Syarh Kasifatus Saja ala Safinah al-Naja (Lebanon

:Maktabah Ilmiyah, t.th), hlm. 69-70. Lihat juga Hasyiah

al-Bajuri (Jeddah : Haramian, t,th), Juz I, hlm. 152

14Imam Syaukani, Nailu al-Authar (Lebanon :

Maktabah ahli hadis, t.th), juz II, hlm. 264

rukuk) hingga kamu berdiri tegak, lalu sujudlah sampai hingga benar-benar thuma’ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk dengan thuma’ninah. Maka lakukanlah dengan cara seperti itu dalam seluruh shalat (rakaat)

14

. (HR. Bukhari (793), Muslim (397))

mu”.

Thuma’ninah dilakukan ketika rukuk, I’tidal, sujud, duduk antara dua sujud.15 Hal ini sesuai

dengan hadis diatas.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa thuma’ninah bukan rukun shalat, hal ini dapat dilihat dalam kitab ulama mazhab Hanafi, misalnya kitab badai as-Shona’i dijelaskan bahwa: ُﻝ ْﻮَﻗ ﺍَﺬَﻫ َﻭ ِﺩ ْﻮُﺠﱡﺴﻟﺍ َﻭ ِﻉ ْﻮُﻛﱡﺮﻟﺍ ْﻲِﻓ ُﺭﺍَﺮَﻘﻟْﺍ َﻭ ُﺔَﻨْﻴِﻧْﺎَﻤﻄﱡﻟﺍ (ﺎَﻬْﻨِﻣ َﻭ) ْﺄَﻤﱡﻄﻟﺍ ِﻒُﺳ ْﻮُﻳ ْﻮُﺑَﺍ َﻝﺎَﻗ َﻭ ُﺪﱠﻤَﺤُﻣ َﻭ ِﺔَﻔْﻴِﻨَﺣ ْﻲِﺑَﺍ ِﺔَﺤْﻴِﺒْﺴَﺗ ُﺭﺍﱠﺪَﻘُﻣ ُﺔَﻨْﻴِﻧ ْﺕ َﺯﺎَﺟ ُﺔَﻨْﻴِﻧْﺄَﻤﱡﻄﻟﺍ ُﻙ َﺮَﺗ ْﻮَﻟ ﻲﱠﺘَﺣ ْﻲِﻌِﻓﺎﱠﺸﻟﺍ َﺬَﺧَﺍ ٌﺽ ْﺮَﻓ ِﺓَﺪَﺣﺍ َﻭ . ِﻒُﺳ ْﻮُﻳ ْﻲِﺑَﺍ َﺪْﻨِﻋ َﻭ ِﺪﱠﻤَﺤُﻣ َﻭ ِﺔَﻔْﻴِﻨَﺣ ْﻲِﺑَﺍ َﺪْﻨِﻋ ُﻪَﺗَﻼَﺻ

Artinya: Dan dari sebagian fardhu shalat adalah thuma’ninah beberapa kali ketika ruku’ dan sujud, ini pendapat Abu Hanifah dan Muhammad, dan berpendapat Abu Yusuf bahwa fardhu thuma’ninah hanya sekedar membaca tasbih sekali, namun pendapat ini di pilih Imam Syafi’i, menurut Abu Hanifah, Muhammad dan Abu Yusuf, jikalau tidak thuma’ninah dalam shalat, boleh dan sah shalatnya.16 Dalam kutipan diatas ada tercantum pendapat imam Syafii, bahwa imam Syafi’i mengikuti pendapat Abu Yusuf bahwasanya thuma’ninah sekedar membaca tasbih ukuran durasinya, namun Abu Yusuf mengatakan bahwa itu adalah ukuran wajibnya (fardhu atau wajib shalat) bukan rukun shalat, sementara imam Syafi’i ukuran durasinya yang cukup sekali tasbih, namun imam Syafi’i

15Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani,

Kasifatus Saja ala Safinah al-Naja., hlm. 69

16Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasany

Al-Hanafy, Badai’ Shanai fi Tartib Asy-Syarai’., hlm. 162

(5)

menggolongkan thuma’ninah adalah rukun shalat.17

Senada dengan pendapat imam Syafi’i dalam kutipan diatas, maka dalam mazhab Maliki juga demikian, yaitu thuma’ninah adalah rukun shalat, yang tidak boleh ditinggalkan, misalnya dalam kitab al-Fiqhu al-Malikiy dijelaskan bahwa :

ْﻴِﻟَﺩ َﻭ .ُﻪَﺗَﻼَﺻ ْﺖَﻠَﻄَﺑ ﺎًﻌِﻓﺍ َﺭ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﻳ َﻭ ْﻊَﻓ ْﺮَﻳ ْﻢَﻟ ﺍَﺫِﺄَﻓ ُﻊْﻓ ﱠﺮﻟﺍ ِﺏ ْﻮُﺟ ُﻭ ُﻞ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲ ﻲﱠﻠَﺻ ُﻝ ْﻮَﻗ ِﻪْﻴِﻓ َﻭ ,ِﻪِﺗَﻼَﺼِﻟ ُﺊِﺴَﻤْﻟﺍ ْﻲِﺑﺍَﺮْﻋَﻻْﺍ ُﺚْﻳِﺪَﺣ ,ﺎًﻤِﺋﺎَﻗ ﱡﻝِﺪَﺘْﻌَﺗ ﻲﱠﺘَﺣ ْﻊَﻓ ْﺭﺍ ﱠﻢُﺛ ﺎًﻌِﻛﺍَﺭ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻲﱠﺘَﺣ ْﻊَﻛ ْﺭﺍ ﱠﻢُﺛ : َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ .ِﺏ ْﻮُﺟ ُﻮﻠِﻟ ُﺮْﻣَﻻْﺍ َﻭ

Artinya: Maka apabila tidak bangkit dari ruku (I’tidal) dan thuma’ninah ketika (I’tidal) batal shalatnya. Dalil wajibnya I’tidal adalah hadis Nabi ketika lewat disamping orang yang shalat, maka Nabi bersabda : kemudian bangkit dari ruku’ (I’tidal) sehingga thuma’ninah dalam I’tidal, kemudian bangkit dari ruku’ tersebut sehingga berdiri tegak lurus. Menurut pendapat mazhab Maliki amar (perintah) disini adalah lil wujub (wajib).18

Berdasarkan ungkapan diatas dan dalil hadisnya, maka menurut mazhab Maliki thuma’ninah dalam iktidal adalah wajib, kalau tidak dilakukan bakal batal shalatnya. Karena makna perintah dalam hadis diatas adalah amru lil wujub (wajib) artinya iktidal dan thuma’ninah adalah rukun shalat.

Perdebatan inilah yang melatar belakangi penelitian ini, sehingga peneliti akan meneliti hal tersebut secara detail menurut dua mazhab, yaitu Hanafi dan Maliki, dengan judul penelitian: “Tuma’ninah dalam Shalat menurut Mazhab Hanafi dan Maliki”.

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah dalam penelitian ini, maka yang menjadi pokok penelitian penulis adalah: 1). Bagaimanakah yang disebut dengan tuma’ninah menurut Imam Hanafi dan Maliki? dan Bagaimana istinbath hukum dan

17Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad

Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy ay-Syafi’I, Kifayatul

Akhya fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar., hlm. 134

18Al-Jaibu binal-Thahir, al-Fiqhu al-Malikiy

wa adillatuhu (Beirut : Lebanon, Maktabh al-Muarif,

1428 H / 2007 M), Juz I, hlm, 201-202

faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat antara imam Hanafi dan Maliki?

METODE PENELITIAN.

Penelitian yang bersifat sistematis adalah penelitian untuk menemukan, mengembangkan dan menguji sesuatu tujuan agar karya sesuai harapan maka perlu menggunakan metode ilmiah.19Dalam

penelitian ini, data yang diperoleh adalah dari studi pustaka.

Berdasarkan jenisnya, penelitian ini merupakan penelitian hukum normative yuridis (Library Researh). Penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian hukum yang menitik beratkan pada studi kepustakaan.20

Dalam hal ini penulis memfokuskan untuk menelaah bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan pemikiran Imam Abu Hanifah dalam kitab Bada’I wa Shana’I (Imam Alauddin) dan Imam Maliki dalam kitab al-Fiqhu al-Malikiy wa adillatuhu (Al-Jaibu binal-Thahir) tentang tuma’ninah dalam shalat.

Subjek dari penelitian ini adalah pemikiran Imam Abu Hanifah dan Imam Maliki tentang tuma’ninah dalam shalat dan Objek dari penelitian ini adalah hukum tuma’ninah dalam shalat menurut Imam Abu Hanifah dalam kitab-kitab mazhabnya dan Maliki dalam kitab-kitabnya mazhabnya

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka atau penelitian kualitatif, maka dalam meneliti menggunakan sumber data primer, sekunder dan tersier/pelengkap, keterangannya sebagai berikut:

1) Data primer yaitu sumber-sumber yang memberikan teori masalah yang di teliti.21Sumber data primer dalam

hal ini adalah kitab-kitab Imam Hanafi dan Mazhabnya yaitu kitab Bada’i wa Shana’i Imam Al-Kasani dan kitab-kitab Imam Maliki dan mazhabnya

19Sutrisno Hadi, Metodologi Riset,

(Yogyakarta: Nadi Offset, 2014), hlm. 4.

20Ibid., hlm. 5

21Niko Ngani, Metodologi Penelitian dan

penulisan hukum, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,2012),

(6)

yaitu kitab al-Fiqhu al-Malikiy wa adillatuhu (Al-Jaibu binal-Thahir).22 2) Data skunder yaitu data yang

mendukung dan melengkapi sumber data primer. Adapun sumber-sumber tersebut adalah artikel-artikel serta buku-buku lain yang menunjang dan mempunyai kaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Misalnya kitab-kitab perbandingan mazhab, yaitu Fiqhul Islam Waadillatuhu oleh Whabh Juhaili, Fiqhu Ala Mazhabil Arba’ah oleh Abdul Rahman al-Jajiri, Fiqhu Ala Mazhabil Khamsah oleh Mujawwad al-Mugirah, Fihus Sunnah oleh Said Tsabiq dan kitab-kitab fiqh lainya. Termasuk skripsi yang berjudul Badal Haji bagi seorang yang meninggal dunia menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i oleh Hasan Fauzi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Syariah.

3) Data tesier yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan primer dan skunder seperti kamus bahasa arab dan kitab-kitab terjemahan.23

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yakni peran aktif penulis untuk mempelajari pemikiran Imam Abu Hanifah dan Imam Maliki tentang hukum tuma’ninah dalam shalat serta menelaah literature-literatur kepustakaan lainnya yang yang memiliki korelasi dengan permasalahan yang diteliti.

Metode deskrptif digunakan untuk menghimpun data aktual, mengartikan sebagai kegiatan pengumpulan data dengan mendeskriftifkan sebagaimana adanya, tidak diiringi dengan ulasan, pandangan atau analisa dari penulis. Metode ini penulis gunakan untuk memahami pendapat Imam Abu Hanifah dan

22Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian

Ilmiayah (Dsar-Dasar Metode Teknik), (Tarsito,

Bandung, 2010), hlm. 134.

23Sebagai perbandingan mazhab lain Kitab

Bidayatul Mujtahid (Ibnu Rusdy), Kifayatul akhyar, Majmu’ Syarah Muhazzab mazhab Syafii dan al-Mugni

Ibnu Qudamah Mazhab Hambali.

24Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum,

(Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 104.

Imam Maliki tentang hukum tuma’ninah dalam shalat.

Metode deduktif yaitu metode penulisan yang bertolak dari kaedah yang umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus, dengan mengumpulkan pendapat Imam Hanafi dan Imam Maliki tentang hukum hukum tuma’ninah dalam shalat.

PEMBAHASAN

1. Istinbath Hukum Thuma’ninah

Menurut Imam Hanafi

Imam hanafi dan mazhabnya (Muhammad dan Abu Yusuf) dalam kitab Bada’i’ al-Shana’i’ Tartibi al-Syara’i’ berpendapat bahwa thuma’ninah dibeberapa tempat, yaitu ketika sujud, rukuk tidak merupakan rukun shalat, melainkan fardhu shalat.24 Menurut mazhab hanafi sebagaimana

disebutkan dalam kitab Binayatu Syarhu al-Hidayah, syekh Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain Ma’ruf Badruddin al-Ainiy al-Hanafi atau Imam Al-al-Ainiy mengatakan bahwa dalam shalat, mazhab Hanafi tidak menggunakan istilah rukun shalat, akan tetapi fardhu shalat, alasanya kata fardhu lebih umum dari kata rukun, mazhab Hanafi juga berpendapat bahwa fardhu shalat secara mutlak meliputi rukun dan syarat shalat.25Jikalau dikatakan rukun shalat, maka

tidak termasuk didalamnya syarat shalat. Menurut pendapat yang shahih dan rojih dalam mazhab hanafi, istilah yang digunakan adalah fardhu bukan rukun. Ungkapan fardhu shalat dalam mazhab hanafi ini menurut Imam Al-Ainiy adalah kesepakatan tiga masyayikh mereka yaitu Imam Hanafi, Muhammad dan Abu Yusuf.26 Sebagai contoh, jika berdiri dan

duduk tahyat akhir itu rukun shalat, kenapa dalam shalat sunnat boleh duduk, kendatipun seseorang itu sanggup untuk berdiri, demikian juga duduk tahyat akhir, bisa dilakukan dengan duduk iftiras atau duduk tawarruk, demikan

25Al-Imâm al-Alâ’uddin Abi Bakri Ibnu

Mas’ud al-Kasaniy al-Hanfiy, Kitab Bada’i’ al-Shana’i’

Tartibi al-Syara’i’ (Bairut Lebanon : Darul Kutub

Ilmiyah, t.th), juz 1, hlm. 162

26Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin

Husain Ma’ruf Badruddin Ainiy Hanafi,

al-Binayatu Syarhu al-Hidayah (Bairut Lebanon: Darul

(7)

kesimpulan dalam hadis, bahkan duduk tawarruk dalam tahyat akhir, untuk shalat sunnat boleh dengan duduk iftiras.27

Kembali pada pembahasan pertama tentang thuma’ninah menurut mazhab Hanafi tidak rukun, akan tetapi fardhu shalat, artinya jika tertinggal atau sengaja tidak thuma’ninah dalam shalat, shalat tetap sah,28 namun

berdosa. Lihat ungkapan mazhab Hanafi yang bergaris bawah sebagai berikut:

ُﻛ ﱡﺮﻟﺍ ْﻲِﻓ ُﺭﺍَﺮَﻘﻟْﺍ َﻭ ُﺔَﻨْﻴِﻧْﺎَﻤﻄﱡﻟﺍ (ﺎَﻬْﻨِﻣ َﻭ) ُﻝ ْﻮَﻗ ﺍَﺬَﻫ َﻭ ِﺩ ْﻮُﺠﱡﺴﻟﺍ َﻭ ِﻉ ْﻮ ِﺔَﺤْﻴِﺒْﺴَﺗ ُﺭﺍﱠﺪَﻘُﻣ ُﺔَﻨْﻴِﻧْﺄَﻤﱡﻄﻟﺍ ِﻒُﺳ ْﻮُﻳ ْﻮُﺑَﺍ َﻝﺎَﻗ َﻭ ُﺪﱠﻤَﺤُﻣ َﻭ ِﺔَﻔْﻴِﻨَﺣ ْﻲِﺑَﺍ ْﺕ َﺯﺎَﺟ ُﺔَﻨْﻴِﻧْﺄَﻤﱡﻄﻟﺍ ُﻙ َﺮَﺗ ْﻮَﻟ ﻲﱠﺘَﺣ ْﻲِﻌِﻓﺎﱠﺸﻟﺍ َﺬَﺧَﺍ ٌﺽ ْﺮَﻓ ِﺓَﺪَﺣﺍ َﻭ ﱠﻤَﺤُﻣ َﻭ ِﺔَﻔْﻴِﻨَﺣ ْﻲِﺑَﺍ َﺪْﻨِﻋ ُﻪَﺗَﻼَﺻ . ِﻒُﺳ ْﻮُﻳ ْﻲِﺑَﺍ َﺪْﻨِﻋ َﻭ ِﺪ

Artinya: Dan dari sebagian fardhu shalat adalah thuma’ninah beberapa kali ketika ruku’ dan sujud, ini pendapat Abu Hanifah dan Muhammad, dan berpendapat Abu Yusuf bahwa fardhu thuma’ninah hanya sekedar membaca tasbih sekali, namun pendapat ini di pilih Imam Syafi’i, menurut Abu Hanifah, Muhammad dan Abu Yusuf, jikalau tidak thuma’ninah dalam shalat, boleh dan sah shalatnya.29 Namun hal tersebut tidak serta merta bahwa thuma’ninah itu tidak ada, dalam mazhab Hanafi seperti pendapat Abu Yusuf bahwa thuma’ninah sekedar membaca tasbih, baik dalam rukuk maupun sujud, demikian juga dalam I’tidal dan duduk anatara dua sujud, maka jika I’tidal lebih condong disebut rukuk, maka tidak dibenarkan (tidak sah), akan tetapi I’tidal seukuran kira-kira sudah dekat dengan berdiri walaupun tulang sulbi belum tegak, shalat tetap sah dan boleh. Demikian juga dengan duduk antara dua sujud, jikalau duduknya lebih dekat dengan sujud, maka duduk antara dua sujud belum memadai (tidak boleh), namun jika duduk bangkit dari sujud (duduk antara dua sujud) lebih dekat kepada duduk, maka dibenarkan (boleh), tentunya ini lebih ringan daripada I’tidal, dikarenakan sujud dengan duduk antara dua sujud sangat jauh perbedaanya, yaitu sujud dengan tujuh anggota sujud, sedangakan jika tujuh anggota sujud sudah tidak pada tempatnya, maka sudah

27Ibid. 28Ibid.

29Ibid., hlm. 156

memadai disebut dengan duduk anatar dua sujud.30 Sementara keadaan itu semuanya,

maksudnya thuma’ninah ketika i’tidal, dan duduk anatara dua sujud,31 menurut Imam

Syafi’i adalah fardhu, sedangkan menurut Abu Hanifa, Muhammad dan Abu Yusuf, yang ditetapkan hukumnya dalam I’tidal dan duduk anatara dua sujud hanya rukunnya saja, yaitu sekira-kira terhitung berdiri i’tidal walaupun belum tegak tulang sulbi, demikian juga sekira disebut duduk antara dua sujud dengan terangkatnya anggota sujud, itulah batasan rukun I’tidal dan duduk antara dua sujud. Sedangkan ulama yang mewajibkan thuma’ninah berdalil dengan hadis Rasul saw Riwayat Bukhari: ﺎَﻧ َﺮَﺒْﺧَﺃ ٍﺭﻮُﺼْﻨَﻣ ُﻦْﺑ ُﻕﺎَﺤْﺳِﺇ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ ُﺪْﻴَﺒُﻋ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ ٍﺮْﻴَﻤُﻧ ُﻦْﺑ ِ ﱠ ُﺪْﺒَﻋ ُ ﱠ َﻲ ِﺿَﺭ َﺓَﺮْﻳَﺮُﻫ ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ ِّﻱ ِﺮُﺒْﻘَﻤْﻟﺍ ٍﺪﻴِﻌَﺳ ﻲِﺑَﺃ ِﻦْﺑ ِﺪﻴِﻌَﺳ ْﻦَﻋ ِ ﱠ َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻭ َﺪ ِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ َﻞَﺧَﺩ ًﻼُﺟَﺭ ﱠﻥَﺄُﻬْﻨَﻋ ْﻟﺍ ِﺔَﻴ ِﺣﺎَﻧ ﻲِﻓ ٌﺲِﻟﺎَﺟ ُﻪَﻟ َﻝﺎَﻘَﻓ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢﱠﻠَﺴَﻓ َءﺎَﺟ ﱠﻢُﺛ ﻰﱠﻠَﺼَﻓ ِﺪ ِﺠْﺴَﻤ ِّﻞَﺼَﻓ ْﻊ ِﺟ ْﺭﺍ ُﻡ َﻼﱠﺴﻟﺍ َﻚْﻴَﻠَﻋ َﻭ َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠ ُﻝﻮُﺳَﺭ ُﻡ َﻼﱠﺴﻟﺍ َﻚْﻴَﻠَﻋ َﻭ َﻝﺎَﻘَﻓ َﻢﱠﻠَﺴَﻓ َءﺎَﺟ ﱠﻢُﺛ ﻰﱠﻠَﺼَﻓ َﻊَﺟَﺮَﻓ ِّﻞَﺼُﺗ ْﻢَﻟ َﻚﱠﻧِﺈَﻓ َﻓ ْﻊ ِﺟ ْﺭﺎَﻓ ﺎَﻫَﺪْﻌَﺑ ﻲِﺘﱠﻟﺍ ﻲِﻓ ْﻭَﺃ ِﺔَﻴِﻧﺎﱠﺜﻟﺍ ﻲِﻓ َﻝﺎَﻘَﻓ ِّﻞَﺼُﺗ ْﻢَﻟ َﻚﱠﻧِﺈَﻓ ِّﻞَﺼ َءﻮُﺿ ُﻮْﻟﺍ ْﻎِﺒْﺳَﺄَﻓ ِﺓ َﻼﱠﺼﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ َﺖْﻤُﻗ ﺍَﺫِﺇ َﻝﺎَﻘَﻓ ِ ﱠ َﻝﻮُﺳَﺭ ﺎَﻳ ﻲِﻨْﻤِّﻠَﻋ ْﻟﺍ ْﻦ ِﻣ َﻚَﻌَﻣ َﺮﱠﺴَﻴَﺗ ﺎَﻤِﺑ ْﺃَﺮْﻗﺍ ﱠﻢُﺛ ْﺮِّﺒَﻜَﻓ َﺔَﻠْﺒِﻘْﻟﺍ ْﻞِﺒْﻘَﺘْﺳﺍ ﱠﻢُﺛ ﱠﻢُﺛ ِﻥﺁ ْﺮُﻘ ْﺪُﺠْﺳﺍ ﱠﻢُﺛ ﺎًﻤِﺋﺎَﻗ َﻱِﻮَﺘْﺴَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ْﻊَﻓ ْﺭﺍ ﱠﻢُﺛ ﺎًﻌِﻛﺍَﺭ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ْﻊَﻛ ْﺭﺍ ﻰﱠﺘَﺣ ْﺪُﺠْﺳﺍ ﱠﻢُﺛ ﺎًﺴِﻟﺎَﺟ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ْﻊَﻓ ْﺭﺍ ﱠﻢُﺛ ﺍًﺪ ِﺟﺎَﺳ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ِﻟﺎَﺟ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ْﻊَﻓ ْﺭﺍ ﱠﻢُﺛ ﺍًﺪ ِﺟﺎَﺳ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻲِﻓ َﻚِﻟَﺫ ْﻞَﻌْﻓﺍ ﱠﻢُﺛ ﺎًﺴ ﺎًﻤِﺋﺎَﻗ َﻱِﻮَﺘْﺴَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ِﺮﻴ ِﺧَ ْﻷﺍ ﻲِﻓ َﺔَﻣﺎَﺳُﺃ ﻮُﺑَﺃ َﻝﺎَﻗ َﻭﺎَﻬِّﻠُﻛ َﻚِﺗ َﻼَﺻ ٌﺪﻴِﻌَﺳ ﻲِﻨَﺛﱠﺪَﺣ ِ ﱠ ِﺪْﻴَﺒُﻋ ْﻦَﻋ ﻰَﻴْﺤَﻳ ﻲِﻨَﺛﱠﺪَﺣ َﻝﺎَﻗ ٍﺭﺎﱠﺸَﺑ ُﻦْﺑﺍ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ ﱠﻨﻟﺍ َﻝﺎَﻗ َﻝﺎَﻗ َﺓ َﺮْﻳ َﺮُﻫ ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ ِﻪﻴِﺑَﺃ ْﻦَﻋ َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠ ﻰﱠﻠَﺻ ﱡﻲِﺒ ﺎًﺴِﻟﺎَﺟ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ْﻊَﻓ ْﺭﺍ ﱠﻢُﺛ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah dari Sa'id bin Abu Sa'id Al Maqbury dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki memasuki masjid, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tengah duduk di pojok masjid, kemudian laki-laki itu mengerjakan shalat. Seusai shalat ia datang menemui beliau sambil mengucapkan salam, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda

30Imam Alauddin Syamarqandiy, Tuhfatu

al-Fuqaha (Beirut Lebanon: Darul Kutub Ilmiyah, 1405

H/1984 M), juz 1, hlm. 133

31Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasany

(8)

kepadanya: "Wa'alikas salam, Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum mengerjakan shalat! ' lalu ia kembali lagi dan mengulangi shalatnya. Seusai shalat ia datang lagi sambil mengucapkan salam dan beliau bersabda: "Wa'alaikas-salam. Kembali dan ulangi lagi shalatmu karena kamu belum mengerjakan shalat! ' Lalu orang tersebut berkata ketika disuruh mengulangi yang kedua kali atau setelahnya; "Ajarilah aku wahai Rasulullah!" Selanjutnya beliau bersabda: 'Jika kamu hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudlu', lalu menghadap ke arah Kiblat, setelah itu bertakbirlah, kemudian bacalah Al Qur'an yang mudah bagimu. Kemudian ruku'lah hingga kamu benar-benar ruku' dan bangkitlah dari ruku' hingga kamu berdiri tegak. Lalu sujudlah kamu hingga kamu benar-benar sujud, dan bangkitlah hingga kamu benar-benar duduk, setelah itu sujudlah hingga kamu benar-benar sujud, lalu bangkitlah hingga kamu benar-benar duduk, dan Kerjakanlah semua hal tersebut pada setiap shalatmu." Abu Usamah mengatakan di akhir haditsnya; "Sehingga kamu benar-benar berdiri." Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basyar dia berkata; telah menceritakan kepadaku Yahya dari 'Ubaidullah telah menceritakan kepadaku Sa'id dari Ayahnya dari Abu Hurairah dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kemudian bangkitlah (dari sujud) hingga kamu benar-benar duduk.32

32Ibid.

33Benar-benar berdiri dari rukuk dan tulang

sulbi tegak, demikian juga duduk dari sujud maksudnya duduk antara dua sujud dengan tegak tulang sulbi ini adalah fardhu menurut Imam Syafi’i.

34HR. Bukhari (793) dan Muslim (397) 35Depag RI, Al-Qur’an., hlm. 523. Menurut

Imam Al-Ainiy ayat diatas ditafsirkan dengan menyengaja ibadah dengan rukuk dan sujud dihadapan Allah swt, beliau mengutip ungkapan mufassir

al-Menurut para ulama yang mendukung wajibnya thuma’ninah, hadis di atas mengandung tiga poin pentinng, yaitu: 1). Batalnya shalat karena ada luput rukunya (tertinggal rukunnya), dengan alasan disuruh mengulang-ulangi shalatnya, seolah-olah sampai yang semestinya, walaupun kenyataanya tidak tercapai. 2). Dianggap belum menunaikan shalat, dengan alasan ungkapan Nabi saw “sesungguhnya kamu belum shalat”. 3). Perintah untuk thuma’ninah. Tiga ini alasan ulama mewajibkannya thuma’ninah dalam shalat. Namun menurut Abu Hanifah dan Muhammad hanya tuntutan untuk melaksankan yang fardhu saja, keduanya (mazhab Hanafi) berdali dengan Nas yang lebih tinggi dari hadis diatas, yaitu firman Allah swt surah al-Hajj ayat 77:

ﺍﻮُﻠَﻌْﻓﺍ َﻭ ْﻢُﻜﱠﺑ َﺭ ﺍﻭُﺪُﺒْﻋﺍ َﻭ ﺍﻭُﺪُﺠْﺳﺍ َﻭ ﺍﻮُﻌَﻛ ْﺭﺍ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ َﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﺎَﻬﱡﻳَﺃ ﺎَﻳ ) َﻥﻮُﺤِﻠْﻔُﺗ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ َﺮْﻴَﺨْﻟﺍ

٧٧ (

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.33

Menurut mazhab Hanafi ayat ini adalah perintah rukuk dan sujud saja, dalam kamus Indonesia rukuk adalah sikap membungkuk pada waktu shalat, dengan tangan ditekankan di lutut sehingga punggung dan kepala sama,34sedangkan rukuk menurut bahasa

artinya merunduk atau mencondongkan badan,35 contoh jika dikatakan “ ﺍَﺫِﺍ َﺔَﻠ ْﺨﱠﻨﻟﺍ ُﺖْﻌَﻛَﺭ

ِﺽ ْﺭَﻻْﺍ ﻲَﻟِﺍ ْﺖَﻠِﻣ” artinya aku rukuk merunduk,

apabila sudah condong badan ke tanah,36 maka

itu namanya rukuk.37Sedangkan sujud menurut

bahasa Indonesia artinya 1) berlutut serta meletakkan dahi ke lantai (misalnya pada waktu shalat); 2) pernyataan hormat dengan berlutut serta menundukkan kepala sampai ke tanah.38 Dalam bahasa arab sujud artinya

merundukkan dan membungkukkan rendah ke tanah.39 Maka menurut mazhab Hanafi

Zamakhsyariy. Lihat Badruddin Ainiy Hanafi,

al-Binayatu Syarhu al-Hidayah., hlm. 157

36Diknas RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Jakarta: Diknas, 2015), hlm. 966

37Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawir

(Surabaya: Pustaka Progresif, 2017), hlm. 1372

38Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasany

Al-Hanafy, Badai’ Shanai., hlm. 162

39Dari segi bahasa, ruku’ berarti “merunduk”,

(9)

thuma’ninah pada waktu rukuk dan sujud pada asalnya tidak dituntut (perintahkan), sedangkan hadis diatas menurut mazhab Hanafi adalah hadis ahad, maka kedudukan hadis ahad tidak bisa (tidak sah atau tidak patut) menghapus hukum dalam Nas ayat al-Qur’an surah al-Hajj ayat 77 diatas.40

Seandainyapun bisa dipakai hadis diatas, maka mengandung dalil kewajiban I’tidal bukan menafikan (membatalkan shalat) akan tetapi kurang sempurnanya shalat.41 Maka menurut

mazhab Hanafi kalau itu tidak membatalkan shalat, maka thuma’ninah tidak termasuk rukun shalat, melainkan wajib shalat.

2. Istinbath Hukum Thuma’ninah

Menurut Imam Maliki

Mazhab maliki dalam kitab Fiqhu al-Maliki wa Adillatuhu, imam Jaib bin Thahir berdalil tentang wajibnya rukuk dan sujud dengan surah al-Hajj ayat 77 sebagai berikut: ﺍﻮُﻠَﻌْﻓﺍ َﻭ ْﻢُﻜﱠﺑ َﺭ ﺍﻭُﺪُﺒْﻋﺍ َﻭ ﺍﻭُﺪُﺠْﺳﺍ َﻭ ﺍﻮُﻌَﻛ ْﺭﺍ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ َﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﺎَﻬﱡﻳَﺃ ﺎَﻳ

ِﻠْﻔُﺗ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ َﺮْﻴَﺨْﻟﺍ ) َﻥﻮُﺤ

٧٧ (

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.42

Sedangkan dalam hadis mazhab Maliki berdalil dengan hadis riwayat Muslim sebagai berikut: َﺛﱠﺪَﺣ ِ ﱠ ِﺪْﻴَﺒُﻋ ْﻦَﻋ ٍﺪﻴِﻌَﺳ ُﻦْﺑ ﻰَﻴْﺤَﻳ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ ﻰﱠﻨَﺜُﻤْﻟﺍ ُﻦْﺑ ُﺪﱠﻤَﺤُﻣ ﻲِﻨ ﱠﻥَﺃَﺓ َﺮْﻳ َﺮُﻫ ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ ِﻪﻴِﺑَﺃ ْﻦَﻋ ٍﺪﻴِﻌَﺳ ﻲِﺑَﺃ ُﻦْﺑ ُﺪﻴِﻌَﺳ ﻲِﻨَﺛﱠﺪَﺣ َﻝﺎَﻗ ٌﻞُﺟ َﺭ َﻞَﺧَﺪَﻓ َﺪ ِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ َﻞَﺧَﺩ َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠ َﻝﻮُﺳَﺭ َﻓ ﱠﺩ َﺮَﻓ َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠ ِﻝﻮُﺳَﺭ ﻰَﻠَﻋ َﻢﱠﻠَﺴَﻓ َءﺎَﺟ ﱠﻢُﺛ ﻰﱠﻠَﺼ َﻚﱠﻧِﺈَﻓ ِّﻞَﺼَﻓ ْﻊ ِﺟ ْﺭﺍ َﻝﺎَﻗ َﻡ َﻼﱠﺴﻟﺍ َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠ ُﻝﻮُﺳَﺭ ﺎَﺟ ﱠﻢُﺛ ﻰﱠﻠَﺻ َﻥﺎَﻛ ﺎَﻤَﻛ ﻰﱠﻠَﺼَﻓ ُﻞُﺟﱠﺮﻟﺍ َﻊَﺟَﺮَﻓ ِّﻞَﺼُﺗ ْﻢَﻟ ِّﻲِﺒﱠﻨﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ َء ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻝﺎَﻘَﻓ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢﱠﻠَﺴَﻓ َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠ ﻰﱠﻠَﺻ َﻞَﻌَﻓ ﻰﱠﺘَﺣ ِّﻞَﺼُﺗ ْﻢَﻟ َﻚﱠﻧِﺈَﻓ ِّﻞَﺼَﻓ ْﻊ ِﺟ ْﺭﺍ َﻝﺎَﻗ ﱠﻢُﺛ ُﻡ َﻼﱠﺴﻟﺍ َﻚْﻴَﻠَﻋ َﻭ َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ ُﺟ ﱠﺮﻟﺍ َﻝﺎَﻘَﻓ ٍﺕﺍﱠﺮَﻣ َﺙ َﻼَﺛ َﻚِﻟَﺫ َﺮْﻴَﻏ ُﻦِﺴْﺣُﺃ ﺎَﻣ ِّﻖَﺤْﻟﺎِﺑ َﻚَﺜَﻌَﺑ ﻱِﺬﱠﻟﺍ َﻭ ُﻞ َﻚَﻌَﻣ َﺮﱠﺴَﻴَﺗ ﺎَﻣ ْﺃَﺮْﻗﺍ ﱠﻢُﺛ ْﺮِّﺒَﻜَﻓ ِﺓ َﻼﱠﺼﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ َﺖْﻤُﻗ ﺍَﺫِﺇ َﻝﺎَﻗ ﻲِﻨْﻤِّﻠَﻋ ﺍَﺬَﻫ َﻝِﺪَﺘْﻌَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ْﻊَﻓ ْﺭﺍ ﱠﻢُﺛ ﺎًﻌِﻛﺍَﺭ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ْﻊَﻛ ْﺭﺍ ﱠﻢُﺛ ِﻥﺁ ْﺮُﻘْﻟﺍ ْﻦِﻣ ﱠﻢُﺛ ﺎًﻤِﺋﺎَﻗ ﺎًﺴِﻟﺎَﺟ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ْﻊَﻓ ْﺭﺍ ﱠﻢُﺛ ﺍًﺪ ِﺟﺎَﺳ ﱠﻦِﺌَﻤْﻄَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ْﺪُﺠْﺳﺍ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ َﺔَﺒْﻴَﺷ ﻲِﺑَﺃ ُﻦْﺑ ِﺮْﻜَﺑ ﻮُﺑَﺃ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣﺎَﻬِّﻠُﻛ َﻚِﺗ َﻼَﺻ ﻲِﻓ َﻚِﻟَﺫ ْﻞَﻌْﻓﺍ ﱠﻢُﺛ َﺣ ٍﺮْﻴَﻤُﻧ ُﻦْﺑﺍ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ ﻭ ﺡ ٍﺮْﻴَﻤُﻧ ُﻦْﺑ ِ ﱠ ُﺪْﺒَﻋ َﻭ َﺔَﻣﺎَﺳُﺃ ﻮُﺑَﺃ ﻲِﺑَﺃ ﺎَﻨَﺛﱠﺪ ﱠﻥَﺃ َﺓ َﺮْﻳَﺮُﻫ ﻲِﺑَﺃ ْﻦَﻋ ٍﺪﻴِﻌَﺳ ﻲِﺑَﺃ ِﻦْﺑ ِﺪﻴِﻌَﺳ ْﻦَﻋ ِ ﱠ ُﺪْﻴَﺒُﻋ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ َﻻﺎَﻗ

ruku’ adalah merundukkan badan sehingga kepala sejajar dengan punggung seraya meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lutut. Rukuk adalah menunduk dengan lahiriahnya jasmani manusia.

40Diknas RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia.,

hlm. 1098

َﻢﱠﻠَﺳ َﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُ ﱠ ﻰﱠﻠَﺻ ِ ﱠ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻭ ﻰﱠﻠَﺼَﻓ َﺪ ِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ َﻞَﺧَﺩ ًﻼُﺟَﺭ ﱠﺼِﻘْﻟﺍ ِﻩِﺬَﻫ ِﻞْﺜِﻤِﺑ َﺚﻳِﺪَﺤْﻟﺍ ﺎَﻗﺎَﺳ َﻭ ٍﺔَﻴ ِﺣﺎَﻧ ﻲِﻓ َﺖ ْﻤُﻗ ﺍَﺫِﺇ ِﻪﻴِﻓ ﺍَﺩﺍَﺯ َﻭ ِﺔ

ْﺮِّﺒَﻜَﻓ َﺔَﻠْﺒِﻘْﻟﺍ ْﻞِﺒْﻘَﺘْﺳﺍ ﱠﻢُﺛ َءﻮُﺿ ُﻮْﻟﺍ ْﻎِﺒْﺳَﺄَﻓ ِﺓ َﻼﱠﺼﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ

Artinya: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Ubaidullah dia berkata, telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abi Sa'id dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memasuki sebuah masjid, lalu seorang laki-laki masuk, lalu shalat, kemudian dia datang, lalu mengucapkan salam

kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam, maka

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membalas salamnya seraya berkata, 'Kembalilah, lalu shalatlah, karena kamu belum shalat. Lalu laki-laki tersebut kembali, lalu shalat sebagaimana sebelumnya dia shalat, kemudian mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya mengucapkan salam kepada beliau. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Semoga keselamatan terlimpahkan kepadamu' kemudian beliau bersabda lagi, 'Kembalilah dan shalatlah lagi, karena kamu belum shalat', hingga dia melakukan hal tersebut tiga kali. Lalu laki-laki tersebut berkata, 'Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak dapat melakukan yang lebih baik selain daripada ini, ajarkanlah kepadaku.' Beliau bersabda, 'Apabila kamu mendirikan shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah sesuatu yang mudah dari al-Qur'an, kemudian ruku'lah hingga bertuma'ninah dalam keadaan ruku'. Kemudian angkatlah (kepalamu dari ruku') hingga lurus berdiri, kemudian sujudlah hingga bertuma'ninah dalam keadaan sujud, kemudian angkatlah

41Ahmad Warson Munawwir, Kamus

Munawir., hlm. 836

42Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasany

(10)

hingga bertuma'ninah dalam duduk, kemudian lakukan hal tersebut dalam shalatmu semuanya'." Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dan Abdullah bin Numair --lewat jalur periwayatan lain-- dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami bapakku dia berkata, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah dari Sa'id bin Abi Sa'id dari Abu Hurairah 'bahwa seorang laki-laki masuk masjid, lalu mendirikan shalat sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di suatu sudut masjid, ' lalu dia membawakan hadits seperti kisah ini, dan dia menambahkan, 'Apabila kamu mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah kiblat, lalu bertakbirlah'."

Menurut Jaib bin Thahir bangkit dari rukuk dan tidak thuma’ninah maka batal shalatnya, dan hadis diatas dalil wajibnya i’tidal serta thuma’ninah.43 Dalam kitab Aqrabu al-Masalik li Mazhabi al-Imam MalikImam Ad-Dardiri al-Maliki mengatakan bahwa thuma’ninah adalah fardhu shalat.44Sedangkan

dalam kitab al-Muhazzab min Fiqhi al-Malikiy wa AdillatuhuImam al-Majjajiy mengatakan bahwa untuk mendapatkan hasil (melaksanakan) rukun pikli (perbuatan) yang benar dari rukuk, sujud, i’tidal dan duduk anatara dua sujud, maka thuma’ninah adalah keniscayaan (wajib).45 Sedangkan dalam kitab Bidayatul Mujathid wa Nihayatul MuqtashidIbnu Rusydi tidak menetapkan akan wajibnya i’tidal, dikarenakan tidak adanya riawayat yang menegaskan secara tegas dari mazhab maliki, demikian menurut Ibnu Rusydi, namun beliau mengatakan perbedaan

43Ibid.

44Depag RI, Al-Qur’an., hlm. 523. Menurut

Imam Al-Ainiy ayat diatas ditafsirkan dengan menyengaja ibadah dengan rukuk dan sujud dihadapan Allah swt, beliau mengutip ungkapan mufassir Zamakhsyariy. Lihat Badruddin Ainiy Hanafi,

al-Binayatu Syarhu al-Hidayah., hlm. 157

45Jaib bin Thahir, Fiqhu al-Maliki wa

Adillatuhu (Bairut Lebanon: Muassisatu al-Ma’arif, 1428

H/2007 M), juz 1, hlm. 201-202

terjadi apakah wajib rukuk, sujud, i’tidal dan duduk antara dua sujud itu mencakup keseluruhan thuma’ninahnya atau hanya tuntutan sekedar rukun rukuk, sujud, i’tidal dan duduk antara dua sujud saja, akan tetapi Ibnu Rusydi mencantumkan hadis Nabi saw tentang pengajaran shalat kepada seseorang yang shalatnya cepat dan dianggap kurang baik, sehingga disuruh mengulangi shalatnya sampai tiga kali, sebagaimana hadis diatas.46

Menurutnya i’tidal dalam hadis tersebut dihukumi wajib demikian juga hal yang berkiatan denganya, yaitu thuma’ninah dalam i’tidal tersebut. Menurut Imam Alauddin al-Syamarqandiy dalam kitab Tuhfatu al-Fuqaha, beliau menggolongkan bahwa thuma’ninah adalah bagian dari sunat shalat,47 hal ini dapat

dilihat dalam ungkapan beliau sebagai berikut: َﻻ َﻭ ,ُﻪَﺳْﺃ َﺭ ْﻊَﻓ ْﺮَﻳ َﻻ َﻭ ,ُﻩ َﺮْﻬَﻅ َﻂَﺴْﺒَﻳ ْﻥَﺍ َﻲِﻬَﻓ ِﻉ ْﻮُﻛ ﱡﺮﻟﺍ ُﻦَﻨُﺳ ﺎﱠﻣَﺍ َﻭ َﺍ ,ِﻩ ِﺰْﺠَﻌِﻟ ﺎًﻳِﻮَﺳ ُﻪَﺳْﺃ َﺭ َﻥ ْﻮُﻜَﻳ ﻲﱠﺘَﺣ ,ُﻪْﺴِﻜْﻨَﻳ ﻲَﻠَﻋ ِﻪْﻳَﺪَﻳ َﻊَﻀَﻳ ْﻥ َﻦَﻜ ْﻣَﺃ َﻥ ْﻮُﻜَﺗ ﻲﱠﺘَﺣ ُﻪَﻌِﺑﺎَﺻَﺃ َﻦْﻴَﺑ ُﺝ َﺮْﻔَﻳ َﻭ ,ِﺬ ِﺧَﻻْﺍ ِﻞْﻴِﺒَﺳ َﻲﻠَﻋ ِﻪْﻴَﺘَﺒْﻛ ُﺭ َﺬ ِﺧَﻸِﻟ 3. Jam’u wa Taufiq

Dari perdebatan dua mazahab yaitu mazhab Hanafi dan Maliki diatas, dengan sama-sam berdalil menggunakan al-Qur’an surah al-Hajj ayat 77 diatas, serta penafsiran ayat tersebut dengan hadis ahad riwayat Bukhari dan Muslim diatas juga. Maka pada dasarnya antara ayat dan hadis diatas tidaklah bertentangan, melainkan saling menguatkan satu sama lainya. Perbedaan pendapat antara kedua mazhab tersebut juga masih sangat biasa, dikarenakan sesama mazhab Hanafi dan Maliki saja saling berbeda. Misalnya mazhab Hanafi tidak mengakui wajibnya (rukun) thuma’ninah, namun ulama mereka mengatakan sekedar membaca tasbih saja thuma’ninahnya. Sedangkan dalam mazahab Maliki pada awalnya mewajibkan thuma’ninah (rukun), namun ada beberapa ulama yang menganggap bahwa thuma’ninah hanya sunnat

46Ahmad bin Muhammad bin Ahmad

al-Dardiri, Aqrabu al-Masalik li Mazhabi al-Imam Malik (Nigeria: Maktabah Ayub, 1420H/2000M), hlm. 16

47Muhammad Sukhal al-Majjajiy, al-Muhazzab

min Fiqhi al-Malikiy wa Adillatuhu (Mesir: Darul Qalam,

(11)

atau seafdhalnya saja, namun tidak pada tatanan tidak sah nya shalat. Maka untuk menggabungkan kedua pendapat tersebut agar tidak saling kontropersi, maka thuma’ninah wajib (rukun) untuk shalat wajib (fardhu), sedangkan untuk shalat sunat (nafilah) thuma’ninah tidak wajib (rukun) melainkan sunat saja (afdhalnya). Pendapat ini lebih aman untuk menjembatani kedua pendapat tersebut. Contoh ini bias kita lihat sebagaimana shalat tarawih cepat yang ada di jawa, yaitu 23 rakaat hanya dengan 15 menit saja, namun ketika shalat wajib, maka mereka tetap thuma’ninah sebagaiamana pendapat yang mewajibkannya, untuk mengambil keafdhalan shalat fardhu tersebut.

4. Tarjih (Muqaranah)

Perdebatan dua mazhab diatas, yaitu mazhab Hanafi dan Maliki sebenarnya hanya dalam penafsiran surah al-Hajj ayat 77 dan hadis ahad riwayat bukhari dan muslim, maka asbabul khilafnya adalah ikhtilaf mafhum al-ayah fi tafsiri ala hadis al-ahad, maksudnya perbedaan tentang pemahaman ayat tentang bolehnya menafsirkan ayat dengan hadis ahad. Dalam kajian ushul fiqih para ulama berbeda pendapat, mazhab Syafi’i dan hambali membolehkanya menafsirkan dengan hadis ahad tersebut, karena tingkatanya shohih, sedangkan mazhab Hanafi tidak membenarkan dengan alasan tidak sederajat ayat al-Qur’an dengan hadis ahad, seandainya pakai hadis, maka hadisnya harus setingkatan mutawatir. Sedangakan mazahab Maliki tawaquf dengan masalah ini, dengan adanya perbedaan pendapat antara ulama mazhab Maliki sendiri, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan, terutama masalah thuma’ninah ini, para ulama mazhab Maliki berbeda pendapat antara wajib thuma’ninah atau sekedar sunat saja. Setelah peneliti pahami secara seksama dalil dan pendapat kedua mazhab tersebut, maka peneliti memutuskan untuk menguatkan bahwa thuma’ninah wajib untuk shalat wajib dan sunnat untuk shalat sunnat, peneliti mengambil jalan muderat (tengah). Namun thuma’ninah dalam hal shalat

48Al-Imam Qadhi Abu al-Walid Muhammad

bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi al-Qurthubiy al-Andalusiy, Bidayatul Mujathid wa

sesungguhnya lebih mashlahah, sebagaimana dalam mazhab Maliki bahwa metode istinbath hukumnya adalah mashlahah mursalah, maka thuma’ninah ini lebih banyak mashlahahnya dan hikmah, karena dapat mendekatkan ke dalam kekhusukan shalat.

5. Kemashlahatan Thuma’ninah

Kemashlahatan thuma’ninah maksudnya hikmah yang terkandung dalam tuma’ninah, hikmah yang terbesar adalah khusuk dalam shalat. Dalam pandangan zhohir seseorang akan terlihat lebih khusuk jika shalatnya selalu memahami makna thuma’ninah beserta isi bacaan yang dibaca saat pelaksanaan rukun pikli shalat. Perlunya khusuk dalam shalat sehingga Allah dalam surah al-Mu’minun ayat 1-2 menjelaskan keberuntungan orang yang shalatnya khusuk.48

Menurut Turmudi yang peneliti gabungkan dengan hikmah shalat khusuk menurut al-Jurjawi, maka disimpulkan ada 7 hikmah dari shalat yang khusyu':49

1) Manajemen waktu (Disiplin waktu). Allah mengingatkan kita 5 kali sehari. Tidak ada satu agama pun yang begitu intensif mengingatkan waktu selain Islam. Bahkan Allah bersumpah berkali-kali atas nama waktu. Wal'ashr, wal lail, wan nahar dan sebagainya. Karena manusia memang dibatasi waktu. Dan nilai manusia tergantung dari pada bagaimana dia menyikapi waktu. Kita pasti mati dan kita tidak tahu kapan mati. Rasulullah menilai orang yang cerdas bukan orang yang bergelar atau yang banyak ilmu tapi orang yang banyak ingat mati. Dan sangat mempersiapkan diri untuk mati. Sehingga penuh perhitungan terhadap setiap gerak-geriknya. Seorang ahli shalat yang khusyu', bisa dilihat dari cara menyikapi waktu. Dia begitu menilai berharganya waktu sehingga tidak mau melakukan kesia-siaan. Sikap dan perilakunya yang menggunakan waktu hanya mau melakukan yang bermakna.

Nihayatul Muqtashid (Maktabah Khanjiy, 1415 H/1994

M), juz 1, cet. 3, hlm. 105

49Imam Alauddin Syamarqandiy, Tuhfatu

(12)

Siapapun yang shalatnya seperti bagus tetapi begitu banyak membuang waktu percuma, kufur nikmat terhadap waktu, perlu ditanyakan lagi tentang kekhusyuan yang sebenarnya. Dengan kata lain orang yang khusyu dalam shalatnya terlihat dari pribadinya yang sangat menjaga diri dari kesia-siaan apalagi kemaksiatan.

2) Manajemen niat. Ternyata rahasia shalat dari niat. Qobla subuh, tahiyatul masjid dan shalat shubuh sama-sama 2 rakaat. Yang membedakan adalah niatnya. Rasulullah bersabda, Innamal 'amalu binniat, Setiap amal tergantung dari niat. Siapapun yang ingin sukses harus selalu bertanya niat apapun dibalik yang dia lakukan dan yang diucapkan. Dia tidak mau bergerak, sebelum lurus niat karena Allah, tidak menerima amal apapun kecuali niat yang bersih karena Allah swt. Semakin bersih niat kita semakin bahagia, semakin ringan yang kita lakukan, semakin tentram batin ini, semakin indah apapun yang kita lakukan. Orang-orang yang niatnya ikhlas jauh berbeda dengan orang yang berniat buruk berniat jahat atau niat yang tidak benar.50

3) Manajemen sense of clean. Ternyata tidak ada satu pun yang berani melakukan shalat tanpa diawali wudhu atau tayamum. Proses bersih dari awal merupakan kunci sukses shalat yang khusyu. Berarti orang yang sangat mencintai bersih lahir batin itu adalah rahasia penting kesuksesan dunia akhirat. Niat lurus dalam aktivitas sehari-hari harus dijaga kebersihan pikiran, dari licik, jahat, kotor dan mesum. Kita harus jaga kebersihan mata kita dari memandang yang diharamkan. Kita harus jaga pendengaran kita dari senang mendengar aib, dll. Juga semua berasal dari hati yang bersih yang kita jaga

50Surah al-Mu’minun ayat 1-2:

Artinya: 1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang

yang beriman, 2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, Depag RI, al-Qur’an., hlm. 256

tidak diselimuti kebencian, kedengkian melainkan yang bersih. Juga tubuh bersih dari makanan yang haram, arta kita bersih dari hak-hak orang lain. Orang yang sangat mencintai bersih lahir batin insya Allah tidak akan didatangi kehinaan. Karena kehinaan biasanya dilekatkan dengan segala sesuatu yang kotor. Maka kalau kita ingin sukses kita harus benar-benar hidup mencintai bersih lahirbatin.

4) Manajemen Tertib (Rukun Shalat Tertib). Rupanya Allah swt menjadikan hidup tertib teratur dengan proporsional adalah kunci sukses. Shalat itu dilakukan dengan tertib. Barang siapa yang hidupnya tidak teratur, tidak teratur makan sakit maag, tidak teratur tidur kesehatan terganggu, tidak teratur makan obat akan teracuni. Perkataan yang tidak teratur akan menimbulkan masalah, manajemen keuangan yang tidak teratur akan jadi bangkrut. Melakukan sesuatu tanpa aturan, jalan yang tidak teratur akan semrawut, macet. Maka pertanyaan pada diri kita, apakah kita termasuk orang yang memiliki senang hidup dalam sebuah tatanan yang teratur dengan baik proporsional? Jikalau menjadi orang yang seenaknya sendiri tidak mau hidup dalam aturan yang benar dan disiplin menjalankan aturan yang benar dan disiplin menjalankan aturan maka tipis harapan kita akan berprestasi. Kita harus menikmati hidup yang teratur, rapi, tertib dengan baik. Yang dilakukan dengan proporsional ikhlas karena Allah semata. Bersih dari cacat cela perbuatan nista, insya Allah.51

5) Tumaninah. Tumaninah ini artinya tenang. Ini yang sangat dahsyat dalam sebuah prestasi. Kita sering melakukan sesuatu tapi pada saat tubuh kita melakukan sesuatu pikiran kita tidak

51Turmudi, Sholat Khusuk, Pdf online dalam

wibesite online

www.islamdownload.net/files/123910/pdf.../Kiat%20Sh alat%20Khusyu_%20.pdf.diakses27Desember2017Jam2 2.00Wib.

(13)

disana, hati kita tidak disana akibatnya prestasi apa yang bisa dicapai tanpa kehadiran konsentrasi. Shalat yang baik itu gerakannya disempurnakan disana hatinya hadir pikiran tertuju, konsentrasi. Sebuah kombinasi amal yang sangat indah. Jika kita sedang bekerja, 8 jam efektif dengan perasaan bahagia, tenang, konsentrasi yang baik. Inilah sebenarnya orang yang akan berprestasi maksimal, seimbang dalam melakukan apapun adil dalam waktu-waktunya hadir lahir batinnya. Begitu pun juga fokus dalam sikapnya, tentram dalam tindak tanduknya.52

6) Siap dalam segala situasi. Berdiri, ruku, sujud. Ketika berdiri akal lebih tinggi dari hati. Bagaimana saatnya mengolah akal kita. Suatu saat sedang ruku keseimbangan antara qolbu dengan akal, begitupun ketika sujud, akal harus tunduk kepada qolbu kita. Tidak takabur si akal dengan kecerdasannya. Tawadlu dengan qolbu subhanallah. Keseimbangan antara hati, ada saatnya akal benar-benar kita peras sedemikian rupa sebagian kerja kita dan fisik kita ikut. Cobalah kita lihat bagaimana hidup ini ada saatnya diatas, di tengah, dibawah, berulang. Kita nikmati sebagai bagian episode hidup kita. Tidak usah heran sekarang mudah, besok sulit. Adakalanya akal kita begitu sulit memecahkan, hati kita yang dominan. Keseimbangan inilah yang dibutuhkan, tindakan yang selalu proporsional dalam gerak gerik kita. Tawadlu adalah kunci sukses, jauh dari ketakaburan walaupun telapak kaki kita sama dengan kening kita.

7) Salam. Shalat ditutup dengan salam. Dengan salam kita memberikan jaminan pada orang-orang disekitar kita. Bahwa kita berharap keselamatan. Dan saya bukan biang kezaliman bagi siapapun dan saya tidak akan merugikan siapapun. Artinya seorang yang shalatnya

52Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri wa

falsafatuhu, terj. Nabhani Idris, dkk, Indahnya Syariat islam (Jakarta: al-Kausat, 2013), hlm. 82

khusyu dia akan menjaga tindak tanduknya. Agar orang lain merasa aman tidak teraniaya, oleh apapun yang dia miliki, dia lakukan. Seorang yang benar-benar ahli shalat yang khusyu, akhlaknya akan bebas dari kezaliman terhadap siapa pun. Shalat yang khusyu adalah shalat yang sangatproduktif dengan kebaikan. Orang yang khusyu dalam shalatnya, ibadah komunikasinya nikmat tentram ketika dalam shalat dan tentram pula dalam aktivitas sehari-hari. Karena ia sangat berprestasi, disiplin waktunya, manajemen waktu yang optimal, dengan niat yang selalu lurus dan bersih sehingga tidak goyah oleh imbalan pujian makhluk-makhluk pribadi yang selalu menjaga kebersihan lahir batin, hartanya juga. Pribadi yang selalu tertib bersikap apapun teratur sehingga efektif dan efisien tindakannya. Pribadi yang benar-benar tumaninah menjalankan setiap tugasnya hadir dengan kemantapan pribadi ketentraman jiwa, kesungguhan, keseriusan. Pribadi yang benar-benar siap menyikapi setiap episode dengan baik dan penuh ketawadluan. Dan pribadi yang merupakan jaminan tidak akan memberikan kerugian, kezaliman bagi siapapun juga. Mudah-mudahan dengan hikmah shalat seperti ini maka Allah menghimpun kesuksesan duniawi, harta, kedudukan, persahabatan yang merupakan bagian dari rasa aman yang Allah berikan kepada makhluknya.53

KESIMPULAN

Thuma’ninah menurut mazhab Hanafi adalah diam sebentar sekedar membaca tasbih, ini pendapat Abu Yusuf. Demikian juga dalam mazhab Maliki thuma’ninah adalah diam sejenak ketika rukuk, sujud, i’tidal dan duduk antara dua sujud seukuran membaca tasbih. Namun kedua mazhab secara prinsip tidak

53Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri wa

(14)

mewajibkan thuma’ninah, malainkan hanya sebatas sunnat saja atau keafdhalan saja. karena dalam kedua mazhab tidak ada yang merojihkan tentang wajibnya thuma’ninah, kecuali hanya perbedaan pendapat antara mereka sesama ulama dalam mazhabnya, baik Hanafi maupun Maliki.Maksudnya dalam mazhab Hanafi Abu Yusuf mengatakan sekedar membaca tasbih tuhuma’ninahnya, sedangkan Abu Hanifah dan Muhammad tidak demikian (tidak ada ukuran-ukuran), namun ketiganya berpendapat jika tidak pake thuma’ninah atau sekedar membaca tasbih, maka sah shalatnya. Sedangakan mazahab Maliki diamnya (thuma’ninahnya) hanya sekedar membaca tasbih saja, maka seukuran membaca tasbih itu sangat singkat, jadi hampir dipastikan seperti tidak ada thuma’ninah (tidak wajib) melainkan keafdhalan saja.

Istinbath hukum yang di gunakan untuk menghukumi tidak wajibnya thuma’ninah menurut mazhab Hanafi adalah ayat qur’an surah al-Hajj ayat 77 lebih kuat dari hadis ahad riwayat Bukhari dan Muslim. Sedangkan sebagian ulama mazhab Maliki menganggap wajib thuma’ninah dengan berdalil pada hadis ahad riwayat Bukhari dan Muslim tersebut. Maka dari kedua pendapat mazhab tersebut setelah di jam’u dan di tarjih, maka yang paling kuat adalah bahwa thuma’ninah wajib untuk shalat wajib dan sunnat untuk shalat sunnat, ini pendapat yang moderat menurut peneliti, namun thuma’ninah itu jauh lebih baik, karena mendekatkan kepada kekhusukan dan meraih banyak hikmah demi kemashlahatan hamba dalam meraih ketengan dalam ibadah shalat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Ali, al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri wa falsafatuhu, terj. Nabhani Idris, dkk, Indahnya Syariat islam (Jakarta: al-Kausat, 2013)

Ahmad, bin Muhammad bin Ahmad al-Dardiri, Aqrabu Masalik li Mazhabi al-Imam Malik (Nigeria: Maktabah Ayub, 1420H/2000M)

Al-Ainy, Badruddin, al-Hanafy, Al-Binayah Syarhul Hidayah, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2010 M), jild. 2

al-Ala’uddin, Al-Imam, Abi Bakri Ibnu Mas’ud al-Kasaniy al-Hanfiy, Kitab Bada’i’ al-Shana’i’ Tartibi al-Syara’i’ (Bairut Lebanon : Darul Kutub Ilmiyah, t.th), juz 1

Alauddin, Imam, Syamarqandiy, Tuhfatu al-Fuqaha (Beirut Lebanon: Darul Kutub Ilmiyah, 1405 H/1984 M), juz 1 Al-bajuri, Hasyiah al-Bajuri (Jeddah :

Haramian, t.th), Juz I

Al-Jaibu, binal-Thahir, al-Fiqhu al-Malikiy wa adillatuhu (Beirut: Lebanon, Maktabh al-Muarif, 1428 H / 2007 M), Juz I Al-Jazairy, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala

Madzahib al-Arba’ah, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2016 M), cet. III, jilid. I

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010)

Diknas RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Diknas, 2015)

Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset, (Yogyakarta: Nadi Offset, 2014)

Hamid, Abdul dan Beni HMd Saebani, Fiqih Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2016)

Imran, Ali, Fiqih, ( Bandung : Cita Pustaka Mdia Perintis , 2011)

Jaib, bin Thahir, Fiqhu al-Maliki wa Adillatuhu (Bairut Lebanon: Muassisatu al-Ma’arif, 1428 H/2007 M), juz 1 Juhaili, Wahbah, Fiqhul Islam wa adillatuhu

(Cairo : Maktabah Ilmiyah, t.th), Juz II,

Madkur, Ibrahim, Mu’jam al-Wasith, (tt; tp; t.th)

Mahmud ,bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain al-Ma’ruf Badruddin al-Ainiy Hanafi, Binayatu Syarhu al-Hidayah (Bairut Lebanon: Darul Kutub lmiyah, 1420 H/1999 M), juz 2 Nawawi, Muhammad bin Umar al-Bantani,

Syarh Kasifatus Saja ala Safinah al-Naja (Lebanon :Maktabah Ilmiyah, t.th)

Nazahah, Inayah, Rukun Shalat Menurut Empat Madzhab, Ma'had Aly Hidayaturrahman 11 months agofiqih (penulis adalah mahasiswa UMS jurusan Fiqih dan Ushul Fiqih, Sragen), wibesite online http://bintuiman.blogspot.com/2016/0

(15)

4/rukun-shalat-perspektif-4-madzhab.html.diakses tanggal 15 maret 2017 Jam 14.10 wib.

Ngani, Niko, Metodologi Penelitian dan penulisan hukum, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,2012), Cet. Ke-1 Qadhi, Al-Imam, Abu al-Walid Muhammad

bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi Qurthubiy al-Andalusiy, Bidayatul Mujathid wa Nihayatul Muqtashid (Maktabah Khanjiy, 1415 H/1994 M), juz 1, cet. 3 Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2017), terjemah oleh. Masturi Irham dan Muhammad Abidun Zuhri, jilid. 2 Ritonga, Zulkifli, Tuma`NinahDalam Shalat

Menurut Imam Abu Hanifah Dan Imam Malik (Jurusan Perbandingan Hukum Dan MazhabFakultas Syariah Dan Hukum (Fsh)Universitas Islam Negeri (UIN)Sultan Syarif Kasim Riau2017M. / 1438 H).

Sukhal, Muhammad, al-Majjajiy, al-Muhazzab min Fiqhi al-Malikiy wa Adillatuhu

(Mesir: Darul Qalam, al-Jazair: Darul Wa’iy, 1431 H/2010 M), juz 1

Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiayah (Dsar-Dasar Metode Teknik), (Bandung: Tarsito, 2010) Syaukani, Imam, Nailu al-Authar (Lebanon :

Maktabah ahli hadis, t.th), juz II Thahir, Abi, Aba Ibrahim bin ‘Abdushamad

bin Basyir, At-Tanbih ‘ala Mabadi’ At-Taujih, (Lebanon: Dar Ibnu Hazm, 2017), jild. 1

Turmudi, Shalat Khusuk, Pdf online dalam wibesite online www.islamdownload.net/files/123910 /pdf.../Kiat%20Shalat%20Khusyu_% 20.pdf.diakses27Desember2017Jam2 2.00Wib.

Warson, Ahmad, Munawwir, Kamus Munawir (Surabaya: Pustaka Progresif, 2017) Yahya, Taqiyuddin, bin Syaraf An; Nawawi,

Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2011), jilid. 4 

Gambar

Tabel 1. Rukun Sholat Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki

Referensi

Dokumen terkait