• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAMPILAN DOMBA KOMPOSIT DI PEDESAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENAMPILAN DOMBA KOMPOSIT DI PEDESAAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENAMPILAN DOMBA KOMPOSIT DI PEDESAAN

(Performance of Composites Sheep in Rural Condition)

Dwi Priyanto, Adiati U

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT

Adult local sheep generally has low weight, so it is unable to meet minimum body weight of 45 kg for export. To overcome these problems, a study of crossing local sheep with imported sheep called Composite Sheep (Composite Garut/KG, Barbados Cross/BC, and Composite Sumatra/KS), was conducted. Performance test in the field to examine the effect of genotype and environment was done in Juhud, Banten. Result showed that the highest litter size (JAS), was from SC sheep which reached 1.70 head/birth, followed by LL sheep (JAS= 1.57), and then the KG sheep (JAS= 1.37), and BC (JAS= 1.25), and the lowest was KS sheep (JAS= 1.18). The longest lambing interval showed by KS sheep ( 10.25 months), while the other sheep is nearly uniform over 9 months. LRI of SC sheep was the highest (2.13 head/year), followed by BC sheep (LRI= 1.53), while KG was equivalent to the local sheep (1.32). KG mortality until weaning was relatively high (25%), while KS sheep with the lowest JAS (1.18 head/births), showed the lowest mortality. The highest birth weight was from SC (2.54 kg), followed by BC (2.43 kg), KG (2.34 kg) and the lowest occurred in KS (1.92 kg). While the weight at weaning age (3 months) the most superior was from KG (8.31 kg), followed by SC (8.03 kg) and the lowest was from KS (5.78 kg). But the weight at age of 10 months, there was a trend that for KG, BC, and KS decreased body weight gain and the most prominent is the SC lamb (19.3 kg), and even the local sheep seem more superior than the three clumps of composite sheep (18.31 kg). It was possible because of the feed (forage) given still equated with the needs of the local sheep. The results of the analysis of Economic Efficiency Rating (NEE) were calculated from the LRI, birth weight, and body weigh gain pre and post weaning showed that the highest was from SC (Rp. 1,173,500), followed by BC (Rp. 922,750), KG (Rp. 784,250) and the lowest was from KS (Rp. 660,500).

Key Words: Performan, Composite Sheep, Rural Conditions

ABSTRAK

Domba lokal secara umum memliki performa bobot badan dewasa relatif rendah. Untuk meningkatkan bobot badan tersebut telah dilakukan penelitian persilangan dengan domba impor yang hasilnya dinamakan Domba Komposit (Komposit Garut/KG, Barbados Cross/BC, dan Komposit Sumatera/KS) dan domba murni

St. Croix/SC. Uji performa dilakukan di lapangan untuk menguji pengaruh genotipe dan lingkungan. Jumlah

Anak Sekelahiran (JAS) tertinggi terjadi pada domba SC yakni mencapai 1,70 ekor/kelahiran, yang kemudian disusul pada domba lokal (JAS= 1,57), domba KG (JAS= 1,37), dan BC (JAS= 1,25), sedangkan domba KS paling rendah (JAS= 1,18). JAS pada domba KG, BC dan KS terlihat bahwa semaikin meningkatnya paritas induk justru JAS yang semakin menurun, tetapi sebaliknya terjadi pada domba lokal. Jarak beranak terpanjang terjadi pada domba KS yang mencapai 10,25 bulan, sedangkan domba lainnya hampir seragam yakni diatas 9 bulan. Hasil perhitungan jumlah anak lahir/induk/tahun (LRI) terlihat bahwa domba SC yang paling tinggi (LRI 2,13 ekor/tahun), disusul pada domba BC (LRI= 1,53), yang setara dengan domba lokal (mencapai 2%), sedangkan domba KS karena JAS yang rendah. Pengamatan bobot badan anak menunjukkan bobot lahir tertinggi dicapai pada domba SC (2,54 kg) yang disusul domba BC (2,43 kg), domba KG (2,34 kg) sedangkan terendah pada domba KS (1,92 kg). Bobot pada umur sapih (3 bulan) paling unggul terjadi pada domba KG (8,31 kg), disusul SC (8,03 kg) dan terendah terjadi pada domba KS (5,78 kg). Umur 10 bulan ada kecenderungan domba KG, BC, dan KS mengalami penurunan bobot badan namun paling unggul adalah domba SC (19,3 kg). Nilai Efisiensi Ekonomi (NEE) prasapih dan pascasapih menunjukkan bahwa NEE tertinggi terjadi pada domba SC mencapai Rp.1.173.500, yang disusul domba BC (Rp. 922.750), domba KG (Rp. 784.250) dan terendah pada domba KS (Rp.660.500).

(2)

PENDAHULUAN

Ternak domba adalah merupakan ternak yang cocok untuk dikembangkan pada kondisi peternakan rakyat yang memiliki sosial ekonomi yang relatif rendah, dikarenakan tidak membutuhkan modal yang besar dalam berusaha, mudah pemeliharaanya yakni berbasis sumberdaya di pedesaaan (rumput tersedia), yang dapat digunakan sebagai tabungan insidentil dijual untuk kebutuhan yang sifatnya mendadak. Populasi ternak domba di Indonesia mencapai 10,4 juta ekor, dengan produksi daging 62,30 ton per tahun. Populasi domba tertinggi terdapat di Pulau Jawa dan Madura yang mencapai 92%, dan sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Barat (50%) (Direktorat Jenderal Peternakan 2011). Manajemen pemeliharaan dilakukan dengan pemanfaatan tenaga kerja keluarga yang merupakan sumber pendapatan yang sifatnya insidentil, tetapi sangat membantu dalam perekonomian petani. Usaha dengan pola pembibitan cenderung kurang menguntungkan, karena penerimaan dari sistem usahaternak tersebut hanyalan berupa produksi anak yang dapat dihasilkan selama 8 bulan (jarak beranak 8 bulan). Kondisi demikian sebaiknya dapat disiasati dengan sistem pemeliharaan dengan konsep

low input (menekan biaya), atau bahkan zero cost (tanpa biaya) produksi, kecuali tenaga

kerja keluarga sehingga penerimaan usaha tersebut murni merupakan pendapatan bagi peternak (Priyanto dan Yulistiani 2005).

Domba Garut sangat potensial untuk ditingkatkan produktivitasnya, lebih prolifik dibandingkan dengan domba yang berasal dari Bogor (Domba Ekor Tipis/DET), dengan jumlah anak sekelahiran rata-rata 1,86 dibandingkan dengan 1,58 bila keduanya dipelihara pada suatu flok yang sama. Perbedaan tersebut disebabkan karena pada domba DET terjadi segregasi gen dengan pengaruh yang besar pada laju ovulasi (LO) dan jumlah anak sekelahiran (JAS) dengan heritabilitas untuk JAS 0,5 dan repitabilitas LO 0,6 (Inounu 2010). Salah satu metode peningkatan produktivitas domba adalah dengan metode persilangan dalam membentuk domba komposit. Pembentukan bangsa komposit berdasarkan persilangan dapat dilakukan dengan cara persilangan reguler dan rotasi (Nicholas 1996). Pembentukan domba komposit cenderung bertujuan untuk

mendapatkan bangsa domba yang cocok untuk kondisi lokal dan untuk memenuhi permintaan khusus, seperti tanduk yang besar, pertumbuhan yang tinggi dan agresif. Maka dari itu pembentukan domba komposit adalah merupakan salah satu upaya dalam memecahkan masalah kebutuhan spesifik wilayah, baik ditinjau dari aspek agroekosistem maupun kondisi sosial ekonomi dan budaya (Rasali et al. 2006; Greeline 2010; Moreno et al. 2001).

Balai Penelitian Ternak telah melakukan penelitian untuk membentuk rumpun domba baru yang memiliki keunggulan dari berbagai rumpun domba di dunia. Domba yang baru terbentuk adalah domba komposit. Domba komposit yang sudah dibentuk diantaranya adalah domba Komposit Garut (KG), Domba Komposit Sumatera (KS), Barbados Cross (BC) yang berkembang cukup baik dalam kondisi laboratorium Balitnak. Domba tersebut memiliki keunggulan dapat beranak sepanjang tahun dengan jumlah anak (litter size) tinggi seperti yang ditampilkan oleh domba prolifik, memiliki kerangka tubuh yang besar, tahan terhadap cuaca panas dan lembab seperti yang ditampilkan oleh domba Hairsheep (HH), serta mempunyai produksi susu yang cukup untuk merawat anak dua ekor. Disamping itu, domba komposit memilki komposisi perdagingan yang baik seperti yang ditampilkan oleh domba Moulton Charolais (MM). Untuk mendukung pengamatan interaksi pengaruh genetik dan lingkungan domba komposit tersebut secara berkelanjutan perlu dilakukan kajian uji adaptasi untuk mengetahui performa di lapangan dalam rekomendasi pengembangan spesifik wilayah. Karakter teknis dan sosial ekonomi sangat diperlukan dalam upaya mengkaji kalayakan usahaternak domba komposit pada peternakan rakyat spesifik agroekosistem, yang dapat digunakan sebagai acuan model pengembangan spesifik lokasi. Perombakan pola pikir peternak yang dilakukan melalui pendampingan secara reguler yang didukung adanya bibit domba komposit yang diharapkan lebih unggul dibandingkan dengan domba lokal.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di Kelurahan Juhut, Kecamatan Karangtanjung, Kabupaten Pandeglang. Kondisi wilayah tersebut adalah

(3)

merupakan wilayah agroekosistem Lahan Kering Dataran Tinggi (LKDT). Masyarakat telah memelihara ternak domba lokal (Domba Ekor Tipis dan domba Garut) yang terintegrasi pola usaha dengan tanaman sayuran. Lokasi tersebut juga di gunakan sebagai wilayah ”Kampung Ternak Domba Terpadu” yang merupakan program kerjasama dengan pihak dinas setempat (dukungan Pemda), yang merupakan ajang show window pengembangan domba di Pandeglang. Kondisi demikian akan mempermudah dalam monitoring dan keberlanjutan usaha dalam jangka panjang. Pada awal penelitian di introduksikan domba Komposit Garut (KG), domba Komposit Sumatera (KS), Barbados Cross (BC), dan juga domba St.Croix (SC) masing-masing sebanyak delapan ekor induk, dan sejumlah pejantan akan ditambah secara bertahap agar dapat mewakili sesuai dengan ketersediaan materi pengamatan, dan program sistem perkawinan. Materi pengamatan tersebut berkembang dengan bertambahnya ternak hasil keturunan dari materi yang diintroduksikan sebelumnya (hasil keturunan), dan selalu diamati sesuai dengan bangsa domba masing-masing, termasuk domba lokal yang ada di lokasi sebagai kontrol.

Parameter yang diukur dari aspek teknis antara lain: keragamaan reproduksi induk, produktivitas induk, dan produksi anak. Keragaan reproduksi yang diamati adalah laju kebuntingan, litter size, bobot lahir, dan laju mortalitas, sedangkan parameter produksi meliputi laju pertambahan bobot badan, dan bobot badan per satuan waktu. Data keragaan reproduksi dan produksi dianalisis dengan model linear menurut petunjuk (SAS 1987). Dari hasil JAS dan mortalitas serta jarak beranak dapat dilakukan perhitungan Laju

Reproduksi Induk (LRI) yang menyatakan jumlah anak yang dilahirkan oleh seekor induk selama setahun, yang diperhitungkan berdasarkan pertimbangan jarak beranak, yakni dirumuskan (Gatenby 1986) sebagai berikut (Persamaan 1):

Analisis dalam mengetahui kinerja ekonomi pada masing-masing domba komposit yang diklakukan uji adaptasi di lokasi pengamatan dilakukan dengan perhitungan Nilai Efisiensi Ekonomi (NEE) yang diperhitungkan dari bobot lahir, pertambahan bobot badan, dan LRI yang dapat menggambarkan nilai ekonomi yang dihasilkan/induk/tahun dirumuskan serbagai berikut: (Persamaan 2)

Pada tahapan penelitian tersebut juga direkomendasikan pengembangan kelembagaan kelompok ternak, serta diikuti pula model pendampingan teknologi tentang performan karakteristik produksi dan keunggulan domba komposit, manajemen pemeliharaan serta strategi perkawinan dan rekording yang dipantau secara reguler. Didalam pendampingan teknologi juga dilakukan pertemuan dengan peternak kooperator membahas tentang hasil yang dicapai (produktivitas, manajemen pakan, pemasaran serta permasalahan yang dihadapi), dan direkomendasikan pemecahanya yang melibatkan peneliti dari disiplin kapakaran.

Diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan peternak tentang manajemen pengelolaan domba komposit, dan kedepan domba tersebut mampu berkembang dan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat di pedesaan (adaptif pada kondisi agro ekosistem dan diterima secara sosial dan menguntungkan).

LRI = Rataan besar JAS x (1 - Laju mortalitas) Selang beranak (dalam tahun)...(1) NEE = Bobot Lahir + (PBBH prasapih x 90) + (BPPH pascasapih x 270) x LRI ...(2) NEE = Nilai Efisiensi Ekonomi/induk/tahun (Rp.)

Bobot lahir = Bobot lahir yang dicapai (kg) PBBH pra sapih = Pertambahan bobot badan harian (g)

90 = 90 hari (3 bulan)

PBBH pasca sapih = Pertambahan bobot badan harian setelah sapih (g) 270 = Umur ternak sapih sampai dengan 1 tahun (270 hari) LRI = Jumlah anak yang dilahirkan/induk/tahun

(4)

HASIL DAN PEMBAHASAN Penampilan reproduksi induk domba komposit

Jumlah anak sekelahiran (JAS) dan mortalitas anak sampai sapih

Penampilan reproduksi induk dilakukan melalui inventarisasi data selama dilakukan uji coba, yang dibandingkan dengan penampilan induk domba lokal sebagai kontrol. Diamati pula performa domba St.Croix (SC), karena domba tersebut juga dilakukan pengembangan di lokasi dalam rangka pengembangan model kampung Ternak domba, untuk kelengkapan data dukung yang ada. Pengamatan penampilan reproduksi dilakukan pada setiap paritas, karena sudah tercatat kelahiran sampai pada paritas ke IV, tetapi domba KS dan BC hanya paritas II dan III. Hasil pengamatan rataan JAS tertinggi terjadi pada domba SC yakni mencapai 1,70 ekor/kelahiran, disusul pada domba lokal (JAS= 1,57), domba KG (JAS= 1,37, dan BC (JAS= 1,25), sedangkan domba KS paling rendah (JAS = 1,18) Tabel 1. JAS pada domba KG terlihat bahwa semakin meningkatnya paritas induk justru diperoleh JAS yang semakin menurun, sama halnya pada domba BC dan KS, tetapi sebaliknya pada domba SC dan domba lokal dengan meningkatnya paritas induk justru diikuti dengan meningkatnya JAS.

Hasil penelitian (Priyanto dan Yulistiani 2005) pada kondisi lapang (di Majalengka) pada domba lokal bahwa dengan meningkatnya paritas induk, maka akan diikuti pula

peningkatan jumlah anak yang dilahirkan. Kondisi demikian seperti yang terjadi pada domba SC dan domba lokal di lokasi penelitian, dimana domba tersebut dimungkinkan telah lama beradaptasi dengan lingkungan. Domba St.Croix tersebut telah terlebih dahulu dikembangkan di lokasi. Diduga bahwa domba KG, KS, dan BC tampak bebeda performa reproduksinya dibandingkan dengan domba lokal, yang mungkin karena belum mampu beradaptasi dengan kondisi pemeliharaan pedesaan.

Penampilan reproduksi induk dibandingkan dengan pada tahun sebelumnya menunjukkan terjadi penurunan jumlah anak sekelahiran (JAS) yang dihasilkan. Hal tersebut terjadi pada semua bangsa domba komposit yang diamati termasuk domba lokal sendiri. Kondisi demikian terjadi dimungkinkan akibat pengaruh musim, dimana pada tahun 2011 terjadi musim kemarau panjang (sampai bulan November), sehinnga terjadi kekeringan yang berkepanjangan. Hal demikian berdampak terhadap ketersediaan hijauan pakan ternak yang sangat minim dan kurangnya ketersediaan air baik untuk ternak maupun untuk kebutuhan rumah tangga. Kondisi demikian berpengaruh terhadap siklus reproduksi induk domba pada tahap berikutnya (tahun 2012). Kejadian mortalitas anak, terlihat bahwa mortalitas tertinggi terjadi pada domba KG yang mencapai 25%, disusul pada domba lokal (mencapai 23,9%). Mortalitas domba SC cukup rendah yakni hanya mencapai 5,8%, demikian pula domba BC (2,9%), dan bahkan domba KS tidak terjadi kematian. Kasus kemarau panjang tersebut Juga dibuktikan

Tabel 1. Nilai rataan jumlah anak sekelahiran (JAS) pada domba pengamatan

Rumpun domba Paritas ke: I II III IV Rataan LH SPH LH SPH LH SPH LH SPH JAS Mortalitas KG 1,7 1,4 1,0 0,7 1,33 0,67 1,67 1,66 1,37 25,0 BC 1,3 1,3 1,3 1,3 1,00 0,83 - - 1,25 2,9 KS 1,2 1,2 1,0 1,0 - - - - 1,18 0,0 SC 1,3 1,2 1,9 1,8 2,00 1,80 1,60 1,60 1,70 5,8 LL 1,4 1,4 2,0 2,0 1,80 1,80 1,75 1,75 1,57 23,9 KG = Komposit Garut LH = Lahir SC = St. Croix; SPH = Sapih BC = Barbadis Cross KS = Komposit Sumatera LL = Lokal

(5)

adanya kematian domba sampai dengan sapih yang sangat tinggi pada tahun 2011 yakni diatas 40% kematian, dibandingkan dengan tahun 2012, khususnya pada kasus domba. Komposit Garut (KG) yang sampai mencapai 66,6% kematian (Gambar 1,2) (Priyanto et al. 2011).

Gambar 1. Hasil perhitungan JAS tahun 2011 dan 2012, di pedesaan berdasarkan 3 rumpun domba komposit

Gambar 2. Penampilan mortalitas anak domba tahun 2011 dan 2012 di pedesaan berdasarkan 3 rumpun domba komposit

Perhitungan laju reproduksi induk (LRI)

Jarak beranak terpanjang ternjadi pada domba KS yang mencapai 10,25 bulan, sedangkan jarak beranak domba lainnya hampir seragam (sekitar 9 bulan). Pada kondisi pedesaan selang beranak sangat tergantung pada kondisi manajemen yang dilakukan oleh peternak. Pada peliharaan intensif peternak cenderung terlambat dalam deteksi berahi sehingga akan berpengaruh terhadap jarak beranak yang relatif panjang. Hasil perhitungan LRI terlihat bahwa domba SC adalah memiliki LRI paling unggul yakni 2,13 ekor/tahun, disusul pada domba BC (LRI= 1,53), yang setara dengan domba lokal. Domba KG dan KS memiliki LRI yang rendah (1,53 vs 1,32) yang hal tersebut pada domba KG karena mortalitas anak sampai dengan sapih yang relatif tinggi (mencapai 25%), sedangkan domba KS karena JAS yang rendah (1,18/kelahiran), walaupun tingkat mortalitas tidak ada Tabel 2. Dari pengamatan tersebut dilihat dari kasus reproduksi induk menunjukkan bahwa domba SC dapat dinyatakan sebagai domba yang paling dapat beradaptasi dengan kondisi pedesaan di lokasi pengamatan, dimana domba tersebut mampu mendapatkan anak 2,13 ekor/induk/tahun melebihi kondisi domba lokal sendiri (LRI= 1,52 ekor). Posisi kedua adalah domba BC dengan LRI memcapai 1,53 ekor/induk/tahun yang setara dengan domba lokal yang ada. Sedangkan domba KG dan KS masih lebih rendah tingkat reproduksinya (Gambar 3, 4). Penampilan bobot badan anak domba

Penampilan pertumbuhan anak pra sapih

Penampilan bobot badan anak pra sapih (umur 2 minggu) tertinggi dicapai pada domba

Tabel 2. Penampilan LRI pada domba pengamatan pada kondisi pedesaan

Rumpun domba JAS (ekor/kel) Mortalitas (%) Selang beranak (bulan) LRI

KG 1,37 25,0 9,21 1,35 (IV)

BC 1,25 2,9 9,46 1,53 (II)

KS 1,18 0,0 10,25 1,32 (V)

SC 1,70 5,8 9,07 2,13 (I)

LL 1,57 23,9 9,41 1,52 (III)

Gambar 1. Hasil perhitungan JAS Tahun 2011 dan 2012, di pedesaan berdasarkan 3 rumpun domba komposit 0 0,5 1 1,5 2 2,5 Ekor KG BC KS LL Rumpun domba Jumlah anak sekelahiran (JAS)

2011 2012 0 10 20 30 40 50 60 70 Persen KG BC KS LL Rumpun domba

Penampilan mortalitas anak S/D sapih

2011 2012

(6)

Gambar 4. Penampilan laju reproduksi induk (LRI) domba di lokasi pengamatan

SC (5,02 kg), yang kemudian disusul domba KG (4,0 kg), domba BC (3,66 kg), domba LL (3,32 kg), dan yang terendah terjadi pada domba KS yang hanya mencapai 2,64 kg. Berbeda pada bobot badan anak umur 12 minggu (umur sapih) dimana bobot badan tertinggi terjadi pada domba KG yang mencapai bobot badan 8,31 kg, disusul domba SC (8,03 kg), domba lokal 7,68 kg, domba BC 7,13 kg, dan terendah domba KS hanya

5,78 kg Tabel 3. Penampilan domba KS lebih rendah dibandingkan dengan domba komposit lainnya termasuk domba lokal yang ada di lokasi karena domba KS dibentuk dalam upaya tahan terhadap penyakit cacing, dan karakteristik domba Sumatera sendiri adalah memiliki postur tubuh yang kecil. Dalam kondisi pakan yang bagus domba tersebut tidak mampu memiliki bobot badan yang tinggi, tetapi rekomendasi pengembangan sebaiknya dilakukan pada pola penggembalaan (grazing) sehingga akan tahan terhadap kondisi cacing yang ada di lapangan.

Penampilan pertumbuhan anak pasca sapih

Laju pertumbuhan anak pra sapih terlihat bahwa domba KG paling bagus dibandingkan dengan domba lainnya termasuk domba lokal yang ada, disusul oleh domba SC, domba lokal, domba BC, dan domba KS menduduki posisi paling rendah (Gambar 5). Pola pertumbunan anak sampai dengan sapih sangat dipengaruhi oleh produksi susu induk yang dihasilkan Domba KG dirancang sebagai domba dengan produksi susu yang tinggi sehingga akan mendukung pertumbuhan anak yang dihasilkan, dan hasil yang diperoleh menunjukkan pertumbuhan yang paling bagus dibandingkan dengan rumpun domba lainnya. Demikian halnya domba KS yang mengarah pada kondisi domba lokal Sumatera yang cenderung memiliki postur tubuh yang kecil yang hasil adaptabilitas di lapangan menunjukkan pula pola pertumbuhan yang relatif rendah dibandingkan dengan rumpun domba lainnya.

Tabel 3. Penampilan bobot badan anak sampai dengan sapih Rumpun domba Umur (minggu) 2 4 6 8 10 12 KG 4,00a±1,11 (n = 5) 5,17a±1,01 (n = 5) 6,24a±0,48 (n = 6) 7,11a±1,06 (n = 6) 7,63a±1,38 (n = 6) 8,31a±1,44 (n = 6) BC 3,66a±1,36 (n = 5) 3,94a±0,93 (n = 7) 5,15a±0,97 (n = 7) 6,48a±1,05 (n = 7) 7,11ab±1,36 (n = 7) 7,13a±1,36 (n = 7) KS 2,64a±1,30 (n = 4) 3,23a±0,98 (n = 6) 4,29a±1,02 (n = 6) 5,05a±1,11 (n = 6) 5,29ab±1,43 (n = 6) 5,78a±1,37 (n = 6) SC 5,02a±1,11 (n = 5) 6.04a±0,76 (n = 8) 6,64a±0,80 (n = 8) 7,38a±0,87 (n = 8) 7,34ab±1,23 (n = 8) 8,03a±1,31 (n = 8) LL 3,32a±2,23 (n = 2) 5,75a±1,57 (n = 2) 6,21a±1,65 (n = 2) 6,74a±1,78 (n = 2) 7,58b±2,23 (n = 2) 7,68a±2,21 (n = 2)

Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama: menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) ( ): Menunjukkan jumlah pengamatan (ekor)

1 , 35 1 , 52 1 , 32 2 , 13 1 , 52 0 0 , 5 1 1 , 5 2 2 , 5 E kor /i nduk /t ahu n KG BC KS SC LL Rumpun domba

Penampilan laju reproduksi induk (LRI)

9,21 9,46 10,25 9,07 9,41 8,4 8,6 89,8 9,2 9,4 9,6 9,8 10 10,2 10,4 Bulan n KG G BC C KS S SC C LL L Rumpun domba domba

Penampilan selang beranak (SB) (SB)

Gambar 3. Penampilan selang beranak pada domba pengamatan di pedesaan

(7)

Gambar 5. Pola pertumbuhan domba komposit pada kondisi pemeliharaan pedesaan

Pola pertumbuhan anak sampai dengan umur 10 bulan

Pertumbuhan anak dalam penelitian dilakukan analisis sampai pada umur 10 bulan, akibat pengurangan jumlah sample sehingga tidak representatif untuk dianalisis. Hasil pengamatan bobot badan umur 4 bulan terlihar domba KG paling tinggi (12,8 kg), disusul domba SC (10,38 kg), Domba BC (9,86 kg), dan domba KS masih tampak lebih unggul dibandingkan dengan domba lokal (9,58 kg vs 9,31 kg). Pada bobot badan umur selanjutnya banyak mengalami perubahan posisi keunggulan, terlihat bahwa pada umur 10 bulan bobot badan paling unggul adalah domba SC mencapai 19,31 kg, yang bahkan disusul oleh domba lokal (18,31 kg), disusul domba KG (14,68 kg), domba BC (12,13 kg), dan terendah pada domba KS (9,40 kg) Tabel 4. Kondisi tersebut sangat tergantung pada manajemen pemeliharaan khususnya pemberian pakan oleh peternak di pedesaan. Domba KG diciptakan mampu memiliki pola pertumbuhan yang bagus pada kondisi pakan yang bagus, sebaliknya domba lokal yang ada sudah mampu beradaptasi pakan yang minim. Dalam rekomendasi pengembangan domba komposit (KG dan BC) sebaliknya diintroduksikan pada kondisi sumberdaya pakan yang bagus dengan sistem pemeliharaan

yang bagus sehingga performa pertumbuhan cenderung bagus sesuai potensi genetiknya.

Pola pertumbuhan anak sampai dengan umur 10 bulan terlihat bahwa mulai pada umur 6 bulan, domba SC melejit melampaui bobot badan domba-domba lainnya, demikian domba KG terlihat bobot badan melampaui domba KS dan juga BC. Tetapi berbeda pada umur 8 bulan dimana domba KG hampir seimbang dengan domba SC, dan domba BC mampu melampaui domba KS. Sebaliknya terjadi pada bobot badan umur 10 bulan dimana hampir terjadi pada semua domba komposit (KG, BC, dan KS) cenderung mengalami pertumbuhan menurun cukup tajam, tetapi sebaliknya domba SC dan domba lokal bahkan peningkatan bobot badan yang cukup timggi Gambar 6. Kondisi demikian menunjukkan bahwa domba SC dan domba lokal lebih mampu beradaptasi pada kondisi pakan di pedesaan yang hanya bertumpu pada rumput lapangan dan limbah pertanian lainnya dengan kuantitas terbatas. Sedangkan domba KG dan BC belum teradaptasi dengan kondisi pakan yang ada di pedesaan dengan kondisi manajemen pemeliharaan tradisional. Diperlukan tambahan pakan yang lebih banyak dalam mendukung pola pertumbuhan sesuai dengan potensi genetik domba yang dibentuk.

Pola pertumbuhan anak domba dibandingkan dengan pengamatan tahun sebelumnya terlihat berbeda jauh, dimana pada Pertumbuhan pra sapih

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 mg 4 mg 6 mg 8 mg 10 mg 12 mg Umur Bo b o t b ad an ( k g ) (k g ) KG BC KS SC LL

(8)

tahun 2011 pola pertumbuhan domba cenderung tidak mengalami peningkatan (landai) (Priyanto et al. 2011), sedangkan hasil pengamatan tahun 2012 pertumbuhan anak

cukup bagus mengalami kenaikan bobot badan Gambar 7, 8. Terlihat bahwa pada kasus domba KG justru tidak banyak mengalami meningkatan bobot badan setelah umur 4 bulan Tabel 4. Penampilan bobot badan anak pada umur 4 bulan sampai 10 bulan

Rumpun domba Umur 4 bln Umur 6 bln Umur 8 bln Umur 10 bln KG 12,8a±1,57(n = 7) 14,03a±1,85(n = 7) 15,81a±2,19(n = 6) 14,68a±2,29(n = 4) BC 9,86a±1,41(n = 10) 11,95a±2,05(n = 7) 14,39a±2,22(n = 6) 12,13a±2,67(n = 4) KS 9,58a±1,47(n = 9) 12,53a±2,40(n = 4) 12,92a±2,44(n = 4) 9,40ab±3,23(n = 2) SC 10.38a±1,47(n = 8) 15,31a±2,03(n = 6) 15,90a±2,29(n = 4) 19,31a±2,11(n = 4) LL 9,31a±2,52(n = 2) 13,58a±3,13(n = 2) 15,02a±2,30(n = 2) 18,31a±3,47(n = 2)

Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama: Menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) ( ) = Menunjukkan jumlah pengamatan (ekor)

Gambar 6. Pola pertumbuhan anak lepas sapih sampai dengan umur 10 bulan

Gambar 7. Pola pertumbuhan anak domba sesudah sapih sampai dengan umur 1 tahun pada tipe kelahiran tunggal (tahun 2011) TKL 1 0 5 10 15 20 25 4BL 5BL 6BL 7BL 8BL 9BL 10BL 11BL 12BL UMUR KG KG BC KS LL TKL 1 KG 25 20 15 10 5 0 4BL 5BL 6BL 7BL 8BL 9BL 10BL 11BL 12BL Umur

Pertumbuhan pasca sapih 25 20 15 10 5 0 Bo b o t b ad an (KG ) 4BL 6BL 8BL 10BL Umur KG BC KS SC LL KG BC KS LL

(9)

Gambar 8. Pola pertumbuhan anak domba sesudah sapih sampai dengan umur 1 tahun pada tipe kelahiran kembar 2 (Tahun 2011)

(stagnan), demikian pula pada domba KS, terkecuali domba LL. Kondisi demikian karena pada tahun 2011 terjadi kemarau yang sangat panjang (sampai dengan bulan Desember), sehingga hijauan berupa rumput lapangan dan limbah sayuran sulit diperoleh, yang berpengaruh terhadap pertumbuhan domba setelah sapih yang sepenuhnya tergantung pada kebutuhan hijauan. Ternak domba banyak mengalami kematian yang cukup tinggi, disamping pola pertumbuhan yang rendah bahkan stagnan.

Pola pertambahan bobot badan harian (PBBH)

Pengamatan pertambahan bobot badan harian (PBBH) dibedakan atas PBBH pra sapih dan pasca sapih. PBBH domba pra sapih tertinggi terjadi pada domba KG (74,73 g/hari), yang kemudian disusul domba BC (74,67 g/hari). Domba SC sebesar 51,98 g/hari, Domba KS 46,18 g/hari dan terendah pada domba LL hanya 39,48 g/hari. Dilihat dari analisis statistik menunjukkan bahwa terjadi perbedaan nyata (P<0,05) antara PBBH domba BC lebih unggul dibandingkan dengan KS

Tabel 5. Terjadi perubahan posisi PBBH pasca sapih anak domba bahwa PBBH domba BC adalah tertinggi yakni mencapai

55,56 g/hari, yang disusul domba SC (55,32 g/hari), domba KG (52,67 kg), domba KS (51,81 g/hari, dan terendah juga terjadi pada domba LL (50,30 g/hari), yang terlihat bahwa domba BC nyata (P<0,05) lebih unggul dibandingkan dengan KS. PBBH pra sapih tampak lebih tinggi dibandingkan dengan pada PBBH pascasapih, kondisi demikian akibat kecukupan produksi susu dari induknya. Pertambahan bobor badan pra sapih sangat dipengaruhi oleh kecukupan air susu dari induknya. Sebaliknya pertumbuhan pasca sapih sangat ditentukan oleh pahan yang diberikan peternak dimana pada kondisi pedesaan hanya bertumpu pada rumput lapangan yang diaritkan oleh peternak

Analisis nilai efisiensi ekonomi (NEE) Hasil perhitungan NEE terlihat bahwa nilai efisiensi dari beberapa rumpun domba yang diamati terlihat bahwa domba SC adalah memiliki NEE tertinggi yang mencapai Rp. 1.173.500/ekor/induk. Domba BC menduduki posisi ke II setelah domba SC yang mencapai Rp.922.750/induk/tahun, dan disusul pada domba KG (Rp. 784.250/induk/tahun), lemudian domba lokal (Rp. 707.750/induk/ tahun, dan terendah terjadi pada domba KS yang relatif rendah (Rp. 660.500/induk/ tahun) Tabel 6. Dari hasil pengamatan NEE tersebut

TKL 2

0 5 10 15 20 25 4BL 5BL 6BL 7BL 8BL 9BL 10BL 11BL 12BL UMUR KG KG BC KS LL TKL 2 25 20 15 10 5 0 KG KG BC KS LL 4BL 5BL 6BL 7BL 8BL 9BL 10BL 11BL 12BL Umur

(10)

Tabel 5. Pola pertambahan bobot badan harian (PBBH) domba di pedesaan

Rumpun domba PBBH Prasapih PBBH Pascasapih

KG 74,73ab±14,88 52,67a±8,04

BC 74,67a±13,69 55,56a±8,07

KS 46,18b±13,65 51,81a±8,82

SC 51,98ab±13,28 55,32a±9,05

LL 39,48ab±23,40 50,30a±14,57

Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Tabel 6. Analisis nilai efisiensi ekonomi berbagai rumpun domba di lapangan Rumpun domba Bobot lahir (kg) PBBH prasapih (kg) PBBH pascasapih (kg) LRI (ekor/tahun) Nee (Rp.) Ranking KG 2,34 6,72 14,20 1,32 784.250 III BC 2,43 6,72 15,00 1,53 922.750 II KS 1,92 4,12 13,98 1,32 660.500 V SC 2,54 4,63 14,93 2,13 1.173.500 I LL 2,33 2,74 13,58 1,52 707.750 IV

menunjukkan bahwa secara ekonomi domba SC adalah yang lebih dapat beradaptasi dengan lingkungan yang ada dengan catatan tidak adanya intervensi terhadap tambahan teknologi yang ada di lapangan. Pada kondisi adanya inovasi teknologi khususnya pakan (tambahan pakan) maka secara faktual bahwa domba KG akan lebih unggul dibandingkan dengan lainnya. Kondisi tersebut perlu pertimbangan tentang inovasi tambahan khususnya pada pengembangan domba KG di lapangan yang memang memerlukan perlakukan spesifik untuk mencapai kondisi potensi genetik yang diciptakan.

KESIMPULAN

Hasil penelitian penampilan performa domba Komposit di pedesaaan yang meliputi karakter produktivitas induk, pertumbuhan anak yang dilahirkan sampai pada profil ekonomi dapat disimpulkan bahwa:

1. Tingkat reproduksi menunjukkan bahwa rataan Jumlah Anak sekelahiran (JAS) tertinggi terjadi pada domba SC yakni mencapai 1,70 ekor/kelahiran, disusul domba LL (JAS = 1,57), KG (JAS=1,37, dan BC (JAS=1,25), sedangkan domba KS paling rendah (JAS=1,18). JAS pada domba

KG terlihat bahwa semakin meningkatnya paritas induk justru diperolah JAS yang semakin menurun, sama halnya pada domba BC dan KS, tetapi sebaliknya pada domba lokal. Hasil pengamatan (JAS) dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami penurunan.

2. Pengamatan jarak beranak terlihat bahwa jarak beranak terpanjang terjadi pada domba KS yang mencapai 10,25 bulan, sedangkan jarak beranak domba lainnya hampir seragam diatas 9 bulan. Pada kondisi pedesaan selang beranak sangat tergantung pada manajemen yang dilakukan peternak, yakni dipelihara secara intensif yang kadang peternak terlambat dalam deteksi berahi sehingga akan berpengaruh terhadap jarak beranak relatif panjang. 3. Hasil perhitungan LRI terlihat bahwa

domba SC adalah paling tinggi yakni 2,13 ekor/tahun, disusul pada domba BC (LRI = 1,53), yang setara dengan domba lokal. Domba KG dan KS memiliki LRI yang rendah (1,53 vs 1,32) yang hal tersebut pada domba KG karena mortalitas anak sampai dengan sapih yang relatif tinggi (mencapai 25%), sedangkan domba KS karena JAS yang rendah (1,18/ kelahiran), walaupun tingkat mortalitas tidak ada.

(11)

4. Pengamatan bobot badan anak bahwa bobot lahir tertinggi dicapai pada domba SC (2,54 kg) yang disusul domba BC (2,43 kg), domba KG (2,34 kg) dan terendah pada domba KS (1,92 kg). Sementara itu, bobot pada umur sapih (3 bulan) paling unggul domba KG (8,31 kg), disusul SC (8,03 kg) dan terendah terjadi pada domba KS (5,78 kg). Sebaliknya pada bobot umur 10 bulan ada kecenderungan domba KG, BC, dan KS mengalami penurunan bobot badan dan yang paling unggul adalah domba SC (19,3 kg), dan bahkan domba lokal tampak lebih unggul dibandingkan dengan 3 rumpun domba komposit lainnya (8,31 kg). 5. Hasil analisis Nilai Efisiensi Ekonomi

(NEE) yang diperhitungkan dari LRI, Bobot Lahir, dan Pertambahan bobor badan pra sapih dan pasca sapih menunjukkan bahwa NEE tertinggi terjadi pada domba SC mencapai Rp.1.173.500, yang disusul domba BC (Rp. 922.750), domba KG (Rp. 784.250) dan terendah terjadi pada domba KS (Rp. 660.500).

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Peternakan. 2011. Statistik peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Gattenby RM, 1986. Sheep production in the tropics and subtropics tropical agriculture series. Longman and New York

Greeline. 2010. Greeline composite breed-genetics equal to the best in New Zealand. http/www. Greelinesheep.co.nz. (internet) 2010. CITED 2010 May 200. Available from: http//www.greelinesheep.co.nz/.

Inounu I. 2010. Pembentukan domba komposit melalui teknologi persilangan dalam upaya

peningkatan mutu genetik domba lokal. Orasi Pengukuhan Profesor Riset, Bidang Pemuliaan dan Genetika Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Bogor, 30 Desember 2010. Moreno C, Bouix J, Brunel JC, Weishecker JL,

Frncois D, Lantier F, Elsen JM. 2001. Genetic parameter estimates for carcass traits in INRA401 composite sheep strain. Livest Prod Sci. 69:227-232.

Nicholas FW. 1996. Introduction to veterinary genetics. Oxford University Press. pp. 277-291.

Priyanto D, Yulistiani D. 2005. Estimasi dampak ekonomi penelitian partsipatif pengguaan obat cacing dalam peningkatan pendapatan peternak domba di Jawa Barat. Dalam: Mathius IW, Bahri S, Tarmudji, Prasetyo LH, Triwulanningsih E, Tiesnamurti B, Sendow I, Suhardono, penyunting. Teknologi Peternakan dan Veteriner Inovasi Teknologi Peternakan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dalam Mewujudkan Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional Prosiding Seminar Nasdional Peternakan dan Veteriner. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 12-13 September 2005. hlm 512.

Priyanto D, Yulistiani, Adiati U, Subandriyo. 2011. Uji adaptasi 3 rumpun domba komposit pada kondisi agroekosistem lahan kering dataran tinggi (LKDT). Laporan Akhir Penelitian. Bogor (Indonesia): Balai Penelitian Ternak. Rasali DP, Shrestha JN, Crown GH. 2006.

Development of composite sheep breed in the word. A. review. Canadian J Anim Sci. 86:1-24.

Statistical Analysis System. 1987. SAS/STAT Guide for Personal Computer Version 6th ed., SAS. Institute Inc., Carry, NC. USA.

Gambar

Gambar 1.  Hasil perhitungan JAS Tahun 2011  dan  2012,  di  pedesaan  berdasarkan  3 rumpun domba komposit  0  0,5 1 1,5 2  2,5 Ekor  KG  BC  KS  LL  Rumpun domba  Jumlah anak sekelahiran (JAS)
Gambar 3.  Penampilan  selang  beranak  pada  domba pengamatan di pedesaan
Gambar 5. Pola pertumbuhan domba komposit pada kondisi pemeliharaan pedesaan
Gambar 6. Pola pertumbuhan anak lepas sapih sampai dengan umur 10 bulan
+3

Referensi

Dokumen terkait

• Untuk mengetahui kekurangan gizi tersebut, dapat dilakukan penilaian status gizi yang juga merupakan salah satu tolak ukur pertumbuhan pada anak...

Gambar 6 menggambarkan rasio BOD/COD yang terjadi pada 40 hari running.Rasio ini didapatkan dengan membagi antara konsentrasi BOD hasil dan COD hasil selama pengukuran

[r]

Syarat keanggotaan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatas merupakan suatu kondisi yang harus dipenuhi oleh perorangan warga masyarakat untuk menjadi anggota FKPPI sebagaimana yang

Hasil penelitian Sumartini (2010) menunjukkan bahwa setelah diberikan coaching oleh kepala ruang maka perawat primer yang memiliki kemampuan berpikir kritis baik,

Produksi padi sawah di Desa Sungai Dua Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin cukup tinggi tetapi tidak menjamin memberikan pendapatan yang tinggi bagi petani, antara

Tampilan Halaman Data Nama Rumah Makan Padang Gambar IV.8 adalah tampilan dari halaman data nama Rumah Makan Padang, proses penambahan data dapat dilakukan pada form

Terimakasih buat segala cinta kasih serta ketulusan kalian sehingga saya bisa seperti sekarang, terimakasih buat perhatian yang tak pernah putus-putus khususnya