• Tidak ada hasil yang ditemukan

GEOKIMIA BATUAN GUNUNG API CIREMAI, JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GEOKIMIA BATUAN GUNUNG API CIREMAI, JAWA BARAT"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

1

GEOKIMIA BATUAN GUNUNG API CIREMAI, JAWA BARAT

Eka Kadarsetia

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Jl. Diponegoro 57 Bandung

Sari

Ciremai merupakan gunungapi Kuarter aktif dan memiliki sejarah letusan yang tercatat sejak tahun 1698. Secara geografis terletak pada 108º24’ – 6º50’, dan secara administratif berada di Provinsi Jawa Barat, mencakup Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Majalengka.

Di bawah mikroskop lava-lava G. Ciremai umumnya memiliki tekstur porfiritik, innequigranular, kemas tertutup. Menunjukkan struktur aliran, terdapat senolit. Fenokris terdiri dari plagioklas, piroksen, dan mineral-mineral bijih. Massa dasar terdiri dari mikrolit plagioklas, mikro kristal piroksen, mineral-mineral bijih dan gelas. Lava-lava calc-alkalin G. Ciremai memiliki kisaran SiO2 yang agak panjang

dari 50 sampai 58 wt%. Alumina terlihat meningkat dengan turunnya MgO. Tingginya alumina di dalam lava-lava basalt calc-alkalin Ciremai menepis perkiraan tingginya tingkat fraksinasi plagioklas di dalam lava-lava tersebut. Penurunan Fe2O3 yang disertai dengan turunnya kadar MgO menunjukkan

pentingnya magnetit dan klinopiroksen dalam fraksinasi magma. Fraksinasi klinopiroksen dan plagioklas ditunjukkan oleh penurunan CaO yang dibarengi dengan penurunan MgO. Meningkatnya K2O pada lava-lava yang lebih terfraksi

menandakan bahwa fase-fase kaya K seperti amfibol, flogopit dan K feldsfar bukan merupakan fase penting dalam fraksinasi. Tingginya kandungan K2O

sangat dimungkinkan oleh proses kontaminasi krustal terhadap magma.

Kandungan H2O dalam magma juga meningkat pada batuan-batuan yang lebih

(2)

2

GEOCHEMISTRY OF THE ROCKS OF CIREMAI VOLCANO, WEST

JAVA

Eka Kadarsetia

Center for Volcanology and Geological Hazard Mitigation Jl. Diponegoro 57 Bandung

Abstract

Ciremai is an active Quater volcano with the eruption history was recorded since 1698. Geographically lies at 108º24’ – 6º50’, belong to the West Java Province, surounded by Cirebon, Kuningan and Majalengka Regencies.

Under the microscope, Ciremai lavas showing porphyritic textures, innequigranullar with the clossed fabrique. Some times showing flow structures, contain xenolith. The phenochrysts are plagioclase, phyroxene and ore minerals. Ground mass contain of plagioclase mycroliths, micro chrystal of phyroxene, ore minerals and glasses.

Calc-alkaline of Ciremai coontain teh SiO2 range from 50 to 58 wt%. Alumina

increase wtih decreasing of MgO. The high allumina content in basaltic calc-alkaline lavas reflecting the low grade of plagioclase fractionation. Decreasing of Fe2O3 parallel with MgO are featuring the importance of magnetite and clyno

pyroxene in the magma fractionation. The fractionation of clyno-pyroxene and plagioclase are reflected by the increasing of Cao parallel to MgO. Increasing of K2O in more fractionated lavas indicate that K rich phases such as amphibole,

phologophite and K-feldsfar are not importance minerals in fractionation. The high K2O contents most possiby caused by crustal contamination to the magmas.

Kandungan H2O dalam magma juga meningkat pada batuan-batuan yang lebih

asam, peningkatan ini sangat berkaitan dengan kenaikan Indek Eksplosivitas. The of H2O content are increassing in the more acid magmas, which is also

(3)

3 1. Pendahuluan

Ciremai merupakan gunungapi Kuarter aktif dan memiliki sejarah letusan yang tercatat sejak tahun 1698. Secara geografis terletak pada 108º24’ – 6º50’, dan secara administratif berada di Provinsi Jawa Barat, mencakup Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Majalengka (Gambar 1).

18

Gambar 1. Lokasi penelitian.

Erupsi G. Ciremai tercatat terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga erupsi 1772, 1775 dan 1805 (Junghun, 1845; 1853) terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti.

2. Metoda Penelitian

Metoda penelitian yang dilakukan meliputi penelaahan geologi di lapangan, pengambilan contoh batuan secara variatif, analisa kimia batuan dan analisa petrografi. Tahapan akhir dilakukan evaluasi dan interpretasi data untuk penyusunan karya ilmiah.

(4)

4 Gambar 2. Lokasi Pengambilan Contoh Batuan.

3. Geologi Gunung Api Ciremai

Pola tektonik Sektor Jawa relatif sederhana, dalam hal ini dasar Samudra Hindia menunjam ke bawah Jawa dengan kecepatan rata-rata 6 cm/ tahun (Le Pichon, 1968).

(5)

5 Gambar 3. Pola Tektonik Indonesia (Hall, 2002).

Gunung api Ciremai terletak di atas Formasi-formasi Tersier (Djuri, 1995; Silitonga dkk, 1986). Formasi-formasi Tersier tersebut umumnya tersingkap di bagian baratlaut dan utaranya, yang terdiri dari Formasi Cinambo (Oligo-Miosen; serpih pasiran dan breksi), Formasi Halang ((Oligo-Miosen; batu pasir, serpih pasiran dan breksi), Formasi Kaliwangu (Pliosen ; batulempung), Formasi Citalang (Pliosen Atas; konglomerat, breksi, batupasir dan batugamping), Formasi Kalibiuk (Pliosen Atas; batu pasir tufaan, batugamping dan lensa batugamping), Formasi Ciherang (Oliosen Atas; selang seling antara breksi dan batupasir) Formasi-formasi Tersier ini ternyata banyak diterobos oleh intrusi-intrusi kecil yang berkomposisi andesitik. Tak kurang dari sepuluh tubuh intrusi-intrusi ditemukan di kawasan barat laut G. Ciremai yang diperkirakan muncul menjelang kegiatan Ciremai Tua. Beberapa intrusi tersebut antara lain di daerah Maja serta di utara komplek G. Ciremai, yaitu pada daerah G. Kromong.

Pemetaan geologi yang dilakukan oleh Situmorang dan kawan-kawan (1984) menunjukkan bahwa G. Ciremai paling tidak mengalami 4 (empat) perioda kegiatan, yaitu :

1). Erupsi G. Putri

2). Erupsi G. Gegerhalang 3). Erupsi G. Ciremai 4). Erupsi-erupsi celah

(6)

6

Pertumbuhan aktivitas vulkanik di sekitar G. Ciremai diawali oleh kegiatan G. Putri dan disusul oleh kegiatan G. Gegerhalang, kemudian kegiatan G. Ciremai dan erupsi-erupsi celah (Situmorang dkk, 1984). Erupsi G. Putri adalah periode kegiatan pertama, yang menghasilkan aliran-aliran lava dan piroklastik yang bersifat andesitik. Produk erupsi G. Putri ini mendominasi daerah selatan dan tenggara dari G. Ciremai. G. Gegerhalang dipercaya sebagai kegiatan vulkanik periode kedua mengawali kegiatan vulkanisma G. Ciremai. Gegerhalang sekarang hanya dikenal sebagai dua buah pematang besar yang masing-masing terletak di selatan dan tenggara dari puncak.

Gambar 4. Peta Geologi Gunung Api Ciremai (Situmorang dkk, 1984).

Gambar 4. Peta Geologi Gunung Api Ciremai (Situmorang dkk, 1984). GEGERHALANG G. PUCUK KAWAH WURUNG G. BUNTUNG G. PUTRI G. GEPUK G. SELA G. MENYAN G. ASEUPAN G. DULANG 3078 G. MANGGAR Telaga Sangiang G. BATUKARANG Barujaksi TALAGA MAJA CILIMUS KUNINGAN G. PICUNG Wanahayu PR. GIBUG PR. BATANG

(7)

7 Gambar 5. Korelasi Satuan Peta Geologi Gunung Api Ciremai

(Situmorang dkk, 1984).

Pertumbuhan aktifitas vilkanik di sekitar G. Ciremai diawali oleh kegiatan G. Putri dan disusul oleh kegiatan G. Gegerhalang, kemudian kegiatan G. Ciremai dan erupsi-erupsi celah (Situmorang dkk, 1984). Erupsi G.Putri adalah periode kegiatan pertama, yang menghasilkan aliran-aliran lava dan piroklastik yang bersifat andesitik. Produk erupsi G. Putri ini mendominasi daerah selatan dan tenggara dari G. Ciremai. G. Gegerhalang dipercaya sebagai kegiatan vulkanik periode kedua mengawali kegiatan vulkanisme G. Ciremai. Gegerhalang sekarang hanya dikenal sebagain dua buah pematang besar yang masing-masing terletak di selatan dan tenggara dari puncak Ciremai pada ketinggian antara 1200 sampai 1900 meter di atas permukaan laut. Melihat periode-periode pertumbuhan tersebut dapat disimpulkan bahwa gunungapi ini memiliki titik erupsi yang berpindah-pindah. Pada periode-periode awal nampaknya magma bersifat basaltis, kemudian terjadi proses diferensiasi yang menghasilkan magma-magma yang berjenis andesit seprti pada produk-produk G. Putri. Proses

(8)

8 diferensiasi ini berlangsung terus hingga menghasilkan magma yang lebih asam (dasitik) sehingga menghasilkan letusa yang bersifat sangat eksplosif dan terjadi pembentukan Kaldera Gegerhalang.

Gunung Gegerhalang bila dilakukan rekonstruksi, ternyata kedua pematang tersebut menunjukkan bentuk sebuah kaldera dengan diameter sekitar 6 km yang membuka ke arah barat laut dengan sedikit celah terbuka di bagian tenggaranya yang memisahkan kedua pematang ini. Gunung api Ciremai yang aktif sekarang menempati bagian utara yang terbuka dari kaldera ini. Diduga bagian utara/ barat laut dari kaldera telah hancur mengiringi kegiatan kegiatan vulkanik akhir dari erupsi Gegerhalang dan kini tertimbun oleh hasil-hasil kegiatan erupsi G. Ciremai. Periode vulkanik Gegerhalang ini tampaknya diwarnai pula oleh adanya paling sedikit dua erupsi samping, yang sisa-sisanya masing-masing kini dikenal sebagai Telaga Sangiang dan Dataran Tinggi Batukarang – Barujaksi. Kedua pusat erupsi samping tua ini terletak lebih kurang 6 km di barat daya dari pematang barat Kaldera Gegerhalang. Telaga Sangiang ini kini sebagai danau berdiameter sekitar 800 meter pada ketinggian sekitar 900 meter di atas muka laut, sedangkan Dataran Tinggi Batukarang – Barujaksi dengan diameter terpanjangnya yang sekitar 3,5 km dan ditutupi oleh endapan piroklastik jatuhan berkomposisi basaltik menjadi lahan pertanian yang cukup subur. Situmorang dkk (1984) dalam peta geologinya menggambarkan bahwa dataran tinggi ini ditutupi oleh produk muda G. Pucuk, salah satu titik erupsi dari Vulkanik Gegerhalang. Hasil erupsi Gegerhalang yang dominan adalah aliran piroklastik yang bersifat asam serta lava-lava andesttik. Aliran piroklastika ini penyebarannya terutama di kawasan baratdaya, selatan dan tenggara dari Gegerhalang itu sendiri, yang terdiri dari Aliran Piroklastik Pasirbatang, Pasirgibug, Wanahayu dan Puncak. Lava-lavanya terdiri dari Lava Picung, Gegerhalang Barat, Putri dan Pucuk. Endapan Lahar Gegerhalang banyak ditemukan di Kuningan dan Cilimus .

Gunung Api Ciremai yang saat ini menempati bagian utara dari tepi Kaldera Gegerhalang, menghasilkan lava-lava yang lebih variatif, yaitu basalt, basaltik andesit dan dominan andesit. Selain itu menghasilkan juga aliran piroklastik,jatuhan piroklastik serta lahar. Erupsi celah yang diperkirakan terjadi di masa erupsi Ciremai lebih banyak menghasilkan lava yang bersifat basaltik,

(9)

9 seperti erupsi celah Sukageri di selatan dan Dulang di utara. Melihat titik-titik erupsi dari ketiga periode kegiatan Ciremai, periode pertama, kedua dan ke tiga bisa dikatakan bahwa perkembangannya bergerak dari tenggara ke barat laut. Pada kegiatan G. Putri menghasilkan aliran lava porfiritik, sedangkan kegiatan vulkanik G. Gegerhalang menghasilkan aliran lava dan awan panas serta jatuhan piroklastik. Setelah kegiatan vulkanik Gegerhalang disusul oleh kegiatan G. Ciremai yang menghasilkan beberapa aliran lava serta endapan awan panas, dan jatuhan piroklastika. Selain itu juga menghasilkan endapan sekunder berupa endapan lahar yang menyebar di kaki sebelah timur G. Ciremai. Disamping itu dijumpai juga beberapa erupsi samping yang menghasilkan aliran lava berkomposisi andesit diantaranya erupsi Sukageri, erupsi Buntung, erupsi Pucuk dan erupsi Dulang.

4. Petrografi

Karakteristik batuan G. Ciremai yang terutama didasarkan pada kriteria mineralogi yang telah teramati akan diringkaskan di bawah ini. Yang terpenting diantaranya adalah fase-fase fenokris, apa serta bagaimana hubungannya dengan jenis fenokris lainnya dan massa dasarnya. Secara umum di bawah mikroskop batuan G. Ciremai menunjukkan tekstur porfiritik yang kuat, dengan fenokris plagioklas yang mendominasi, serta klinopiroksen yang kaya Ca, ortopiroksen, olivin, titanomagnetit dan hornblenda (Ca-amfibol) (Gambar 9). Fase-fase fenokris ini tertanam dalam massadasar yang halus yang didominasi oleh mikrolit plagioklas, piroksen granular dan oksida-oksida Fe-Ti. Massadasar ini sering mengandung gelas yang biasanya masif, kelurusan-kelurusan fase fenokris dan massadasar mikrolit kadang-kadang memperlihatkan tekstur aliran. Sering pula dijumpai adanya senolit sedimen Tersier dan mikrogabbro. Terdapatnya senolit ini mengindikasikan bahwa magma G. Ciremai dalam perjalanannya ke permukaan telah mengalami kontaminasi (Purbawinata dkk, 1991).

Sementara itu pada deskripsi yang penulis lakukan secara umum didapatkan, tekstur porfiritik, innequigranular, kemas setengah terbuka, menunjukkan struktur aliran. Fenokris : massa dasar dari 35 : 65 sampai 65 : 35. Terdapat senolit dan senokrist. Kadang menunjukkan struktur sub-ofitik.Fenokris terdiri dari plagioklas, piroksen, olivin hornblenda dan mineral-mineral bijih.

(10)

10 Massa dasar terdiri dari mikrolit plagioklas, mikrokristal piroksen, mineral bijih dan gelas.

Plagioklas

Tidak berwarna sampai agak keruh, bentuk subhedral sampai euhedral, dominan yang berbentuk subhedral. Ukuran dari kecil hingga besar, dominan yang berukuran besar dan sedang. Kembar berupa albit-karlsbad dan albit, kadang menunjukkan struktur zonning sedang, terubah menjadi serisit mengikuti bidang zonning, umumnya terdapat inklusi mineral-mineral bijih. Volume 20 – 50%

Piroksen

Berwarna hijau sampai kecoklatan, bentuk anhedral sampai subhedral, dominan yang berbentuk anhedral. Belahan umumnya satu arah, umumnya berupa piroksen ortho, kadang menunjukkan kembar sederhana, kadang menumpang diatas plagioklas. Terubah menjadi mineral bijih dan sedikit hornblenda. Volume 4 – 7%

Hornblenda

Berwarna coklat, menunjukkan struktur mata burung, merupakan ubahan dari piroksen, bentuk subhedral sampai berupa agregat, terkadang dikelilingi oleh mineral bijih. 1%

Olivin

Berwarna hijau, bentuk anhedral, kadang berbentuka agregat, retak-retak, mengandung inklusi mineral bijih. 1%>.

Mineral Bijih

Berwarna hitam, opak, berukuran kecil sampai sangat kecil. Yang berukuran kecil (fenokris) umumnya berbentuk kotak dan sebagai mineral sekunder, sedangkan yang sangat kecil (massa dasar) berbentuk bulat dan sebagai mineral bijih primer serta sebagian berupa inklusi. Volume 2 - 3%.

(11)

11 Lava G.Putri

Bertekstur porfiritik, inequigranular, kemas setengah terbuka. Rasio antara fenokris dengan massa dasar = 40 : 60. Fenokris terdiri dari plagioklas, piroksen, olivin dan mineral-mineral bijih. Massa dasar terdiri dari mikrolit plagioklas, mikro kristal piroksen, mineral-mineral bijih dan gelas. Menunjukkan struktur aliran dari mikrolit plagioklas, terdapat senolit batuan beku (Gambar 6).

Plagioklas

Tidak berwarna sampai agak keruh, bentuk subhedral sampai euhedral dan dominan yang subhedral. Berukuran kecil sampai besar, dominan yang berukuran sedang. Kembar albit, albit-karlsbad dan kadang karlsbad. Terdapat inklusi mineral bijih dan olivin/piroksen. Kadang menunjukkan struktur zonning sedang, kadang terubah menjadi serisit mengikuti bidang zonning. Volume sekitar 33%.

Gambar 6. Lava G. Putri di bawah mikroskop.

Piroksen

Berwarna hijau sampai hijau kecoklatan, umumnya berupa piroksen ortho, umumnya berbentuk prismatik panjang, subhedral sampai anhedral. Ukuran kecil sampai besar, kadang saling menindih dengan piroksen lain. Belahan umumnya satu arah, kadang kembar sederhana. Sebagian retak-retak dan retakannya diisi oleh silika. Terdapat inklusi mineral bijih primer. Sebagian terubah menjadi mineral bijih. Kadang diselimuti oleh plagioklas. Volume sekitar 5%.

(12)

12 Berwarna hijau terang, berbentuk hampir bulat, terdapat didalam senolit. Volume 1%>.

Mineral Bijih

Berwarna hitam, opak, berukuran kecil sampai sangat kecil. Yang berukuran kecil (fenokris) umumnya berbentuk kotak dan sebagai mineral sekunder, sedangkan yang sangat kecil (massa dasar), sebagian berupa inklusi, berbentuk bulat, berukuran sangat kecil, sebagai mineral bijih primer. Volume sekitar 2%.

Lava Barujaksi

Tekstur porfiritik, innequigranular, kemas tertutup. Menunjukkan struktur aliran, terdapat senolit. Fenokris terdiri dari plagioklas, piroksen, dan mineral-mineral bijih. Massa dasar terdiri dari mikrolit plagioklas, mikro kristal piroksen, mineral-mineral bijih dan gelas (Gambar 7).

Gambar 7. Lava Barujaksi di bawah mikroskop.

Plagioklas

Tidak berwarna sampai agak keruh, bentuk subhedral sampai euhedral, ukuran besar dan sedang, dominan yang berukuran besar. Kembar albit dan albit-karlsbad, dominan albit-karlsbad. Kadang menunjukkan struktur zonning sedang dan pemadaman bergelombang. Terubah menjadi serissit mengikuti bidang zonning. Terdapat inklusi mineral-mineral bijih dan olivin/piroksen. Volume sekitar 50%.

Piroksen

Berwarna hijau, bentuk anhedral sampai subhedral, kadang hadir dalam bentuk pecahan. Belahan umumnya satu arah, umumnya berbentuk prismatik panjang, kadang menunjukkan kembar sederhana, umumnya berupa piroksen ortho.

(13)

13 Kadang terubah menjadi hornblenda pada bagian tepi dan retakannya. Volume sekitar 6%.

Mineral Bijih

Berwarna hitam, opak, berukuran kecil sampai sangat kecil. Yang berukuran kecil (fenokris) umumnya berbentuk kotak dan sebagai mineral sekunder, sedangkan yang sangat kecil (massa dasar), sebagian berupa inklusi, berbentuk bulat, berukuran sangat kecil, sebagai mineral bijih primer. Volume sekitar 2%.

Lava G.Sela

Tektur porfiritik, innequigranular, kemas tertutup denga perbandingan antara fenokris dengan massa dasar = 65 : 35. Fenokris terdiri dari plagioklas, piroksen dan mineral bijih. Massa dasar terdiri dari plagioklas, piroksen, mineral-mineral bijih dan gelas (Gambar 8).

Gambar 8. Lava G. Sela di bawah mikroskop.

Plagioklas

Tidak berwarna sampai agak keruh, bentuk subhedral sampai euhedral. Kembar albit, albit-karlsbad dan karlsbad, dominan albit-karlsbad. Kadang menunjukkan struktur zonning lemah dan pemadaman bergelombang. Retak-retak, terubah menjadi serisit mengikuti bidang zonning. Terdapat inklusi mineral-mineral olivin/piroksen dan bijih. Volume sekitar 55%.

(14)

14 Berwarna hijau sampai agak kecoklatan, belahan umumnya satu arah, retak-retak, bentuk anhedral sampai subhedral, umumnya anhedral. Kadang menunjukkan kembar sederhana, ukuran kecil sampai sedang, dominan yang berukuran kecil. Sebagian terubah menjadi mineral bijih. Volume sekitar 7%.

Mineral Bijih

Berwarna hitam, opak, berukuran kecil sampai sangat kecil. Yang berukuran kecil (fenokris) umumnya berbentuk kotak dan sebagai mineral sekunder, sedangkan yang sangat kecil (massa dasar), sebagian berupa inklusi, berbentuk bulat, berukuran sangat kecil, sebagai mineral bijih primer. Volume sekitar 3%.

Gambar 9. Komposisi mineralogi batuan toleiitik (kiri) dan calc-alkalin (kanan). Tanda x menunjukkan komposisi mineralogi batuan G. Ciremai

(Sumber ; Wilson, 1989; Edwards, 1990; Purbawinata dkk, 1991)).

Perhitungan komposisi mineralogi (CIPW) dengan menggunakan metoda Hollocher dapat dilihat dalam Tabel 1.

(15)

15 Tabel 1. Mineralogi Batuan (CIPW) G. Ciremai dengan menggunakan metoda Hollocher. _________________________________________________________________________ Sampel (G.Tengah) (G.Apuy) (G.Sela) (G.Wangi) (G.Rohang) (G.Sada) (Cikakalang) (G.Raga (Sangkan

saksi) herang) SiO2 (wt%) (50,81) (53,75) (58,30) (56,97) (58,26) (56,29) (54,78) (54,93) (54,58) _________________________________________________________________________ Kuarsa 0,70 7,47 5,87 8,81 7,11 0,34 3,96 2,68 Plagioklas 62,48 66,99 62,39 64,16 63,13 61,51 60,81 63,72 61,04 Ortoklas 7,62 9,77 11,44 12,47 11,03 10,07 7,78 9,04 9,92 Diopsid 13,4 7 4,4 3,41 5,39 2,24 4,23 4,77 6,55 9,25 Hipersten 5,91 16,08 3,66 10,59 13,18 15,57 22,66 14,95 15,38 Ilmenit 1,30 1,05 0,82 0,72 0,79 0,94 0,90 0,99 0,98 Magnetit 0,40 0,40 0,28 0,31 0,35 0,34 0,35 0,33 0,35 Apatit 0,43 0,61 0,49 0,51 0,51 0,54 0,39 0,46 0,40 Anortit 52,5 49,7 44,1 40,3 48,9 51,9 55,6 51,7 50,5 __________________________________________________________________________

5. Variasi Geokimia Unsur-unsur Utama Batuan G. Ciremai

Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui bahwa mayoritas batuan Gunungapi Ciremai berkomposisi calc-alkalin. Lava-lava calc-alkalin G. Ciremai memiliki kisaran SiO2 yang agak panjang dari 50 sampai 58 wt% (Gambar 10).

Sementara itu andesit basaltik kaya silika (SiO2 + 54 wt%) mempunyai

kandungan MgO cukup tinggi (7,0 wt %), mirip dengan basalt berkisar antara 0,57 – 0,62. Alumina terlihat meningkat dengan turunnya MgO. Tingginya alumina di dalam lava-lava basalt calc-alkalin Ciremai menepis perkiraan tingginya tingkat fraksinasi plagioklas di dalam lava-lava tersebut. Dibandingkan dengan beberapa gunung api lain di Jawa Barat, batuan-batuan G. Ciremai memiliki kandungan K2O yang relatif tinggi, hal ini kemungkinan besar

diakibatkan oleh kontaminasi krustal, yang dibuktikan dengan banyaknya senolit-senolit batuan sedimen (Whitford, 1975).

(16)

16 Tabel 1. Komposisi Kimia Batuan G. Ciremai (Edwards, 1990)

(17)

17 Tabel 1. (Lanjutan) Komposisi Kimia Batuan G. Ciremai

Purbawinata dkk (1991) telah pula melakukan penelitian petrokimia Gunung Api Ciremai. Lava-lava calc-alkalin Ciremai memiliki kisaran SiO2 yang agak

(18)

18 kandungan MgO yang cukup tinggi (7 wt%) sama dengan basalt, dan Mg # berkisar dari 0,57 – 0,62. Lava-lava Ciremai juga mempunyai afinitas high-K calc- alkalin. Model kristalisasi fraksional memberikan gambaran bahwa lava calc-alkalin Ciremai bukan merupakan hasil kristalisasi fraksional dari magma induk yang sama seperti pada toleiitik, walaupun magma induk untuk lava calc-alkalin bisa jadi toleiitik olivin. Plagioklas bukan merupakan fase fraksional yang penting di dalam lava-lava calc-alkalin Ciremai.

6. Variasi Komposisi Unsur-unsur Jejak Batuan G. Ciremai

Basalt dan basaltik andesit calc-alkalin Ciremai mempunyai kadar Ni dan Cr dari 115 sampai 532 ppm. Tingginya Ni dan Cr serta Mg# pada lava-lava basa di Ciremai menandakan sifatnya yang cukup primitif atau bahwa basalt calc alkalin Ciremai dihasilkan oleh proses fraksinasi yang tidak begitu lanjut/ kuat. Vanadium dan Sc menunjukkan kecenderungan kompatibel ke arah lava-lava yang lebih terfraksinasi. Kecenderungan ini diakibatkan oleh fraksinasi fase-fase klinopiroksen dan magnetit.

Large Ion Lithophile Element (LILE), yaitu Rb, Ba, K, Sr dan Pb memperlihatkan pola yang beragam. Rb, Ba dan K umumnya inkompatibel yang menandakan bahwa fase-fase mika, K-feldsfar dan amfibol bukanlah fase penting dalam fraksinasi. Sr nampak kompatibel dan ini mencerminkan fraksinasi plagioklas.

High Field Strength Element (HFSE) , yaitu Zr, Ti, Nb, Ta, Hf, Th, P dan Y, kecuali Ti dan P adalah unsur-unsur yang inkompatibel di dalam lava-lava calc-alkalin. Rare Earth Elament (REE), yaitu Ce, Nb, Bm dan Yb juga adalah unsur-unsur yang inkompatibel. harga-harga trace elemen terpilih yang dinormalisasikan terhadap harga rata-rata chondrite normal dari Sun (1980) (Gambar 12). Lava-lava calc-alkalin memiliki trend trace elemen yang khas busur kepulauan dengan pengayaan LILE (Rb, Ba, Sr) dan LREE (Ce, Sn) relatif terhadap HFSE (Nb, P, Ti) dan HREE (Y, Yb). Nb secara jelas memiliki anomali negatif, demikian juga Ba relatif terhadap Rb dan Th menunjukkan anomali negatif, dimana hal ini tidak terlihat pada lava-lava busur vulkanik lainnya (Wilson, 1989). Anomali negatif Sr menunjukkan cukup intensnya fraksinasi plagioklas dalam magma.

(19)

19 Pada gambar spidergram untuk lava-lava calc alkalin G. Ciremai dan toleiitik G. Guntur dapat dilihat adanya perbedaan bentuk atau pola. Pearce (1983) menunjukkan bahwa variasi dalam derajat kristalisasi fraksional dan pelelehan parsial dari mantel akan merubah level pola geokimia spidergram tanpa mempengaruhi bentuknya secara nyata. Bentuk-bentuk spidergram dimungkinkan bisa berubah melalui kondisi-kondisi sebagai berikut :

- proses pengayaan yang mempengaruhi daerah sumbernya - kontaminasi ketika magma naik melalui kerak

- derajat pelelehan parsial yang sangat rendah - dinamika pelelehan yang selektif

- derajat kristalisasi yang tidak bias

7. Model Petrogenesis Batuan G. Ciremai

Penurunan Fe2O3 yang disertai dengan turunnya kadar MgO

menunjukkan pentingnya magnetit dan klinopiroksen dalam fraksinasi magma. Fraksinasi klinopiroksen dan plagioklas ditunjukkan oleh penurunan CaO yang dibarengi dengan penurunan MgO (Gambar 13, 14, 15 dan 16).

Meningkatnya K2O pada lava-lava yang lebih terfraksi menandakan

bahwa fase-fase kaya K seperti amfibol, flogopit dan K feldsfar bukan merupakan fase penting dalam fraksinasi. Tingginya kandungan K2O sangat dimungkinkan

oleh proses kontaminasi krustal terhadap magma (Gambar 11 dan 12). Nampaknya lava-lava Ciremai merupakan afinitas high K cac-alkalin, bukan hasil dari fraksionasi fraksionasi kristalisasi. Menurunnya TiO2 seiring dengan

penurunan MgO menunjukkan adanya indikasi fraksinasi magnetit dan klinopiroksen. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa variasi elemen-elemen utama pada lava-lava G. Ciremai dihasilkan oleh fraksinasi klinopiroksen dan magnetit. Sebagai bahan perbandingan ditampilkan pula variasi komposisi major elements G. Galunggung (Bronto, 1090), terlihat bahwa sebagian besar Lava Ciremai lebih matang dibandingkan dengan Lava Galunggung (Gambar 20 dan 22), namun sebagian kecil malah lebih primitif. Ploting antara K2O terhadap SiO2

(Wilson, 1989) menunjukkan bahwa lava-lava Ciremai berada pada batas antara alkali dan sub-alkali, dimana batuan-batuan tersebut dapat dihasilkan oleh variasi

(20)

20 proses fraksinasi kristalisasi, kontaminasi dari kerak, penurunan prosentase

partial melting dan pengayaan dari sumber magma. Gunung Gegerhalang merupakan sebuah kaldera, yang biasanya dihasilkan oleh magma yang bersifat asam (dasitik) sebagai hasil dari proses-proses diferensiasi dan asimilasi magma, dan batuan-batuan yang dihasilkan akan memiliki kandungan SiO2 dan

K2O yang relatif tinggi, yang secara mineralogi akan terbentuk mineral-mineral

alkali feldsfar. Resume perjalanan magma dari zona subduksi hingga ke permukaan dapat dilihat pada Gambar 13.

Berdasarkan perhitungan dari Hollocher juga didapatkan harga-harga : Indek diferensiasi, temperatur magma (°C), kandungan H2O dalam magma

(wt%), , viskositas, densitas cairan (g/cc). Kandungan H2O dalam magma juga

meningkat pada batuan-batuan yang lebih asam, peningkatan ini sangat berkaitan dengan kenaikan Indek Eksplosivitas.

Gambar 10. Variasi komposisi kimia batuan G. Ciremai dan G. Guntur (Purbawinata dkk, 1991;

Data kimia dari: Edwards, 1990). -- 1%

-- 2% wt % K2O

(21)

21

Gambar 11. Proses petrogenesis berdasarkan kandungan SiO2dan K2O dalam batuan beku.

(Wilson, 1989). X = Batuan Ciremai.

Gambar 12. Prosen berat Na2O + K2O terhadap SiO2 untuk basal-basat alkali dan toleiitik dari Kepulauan Hawaii. Garis pemisah antara alkali dan toleiitik dari Macdonald & Katsura, 1964; Wilson, 1989). Tanda kali berwarna merak adalah untuk batuan-batuan Ciremai.

x x x

(22)

22

Gambar 13. Mekanisme perjalanan magma dari zona Penunjaman ke permukaan (Wilson,1989).

(23)

23

Gambar 15. Ploting SiO2 terhadap diopsid dalam Lava Ciremai.

Gambar 16. Ploting SiO2 terhadap hipersten dalam Lava Ciremai.

(24)

24 Gambar 18. Ploting SiO2 terhadap Indek Diferensiasi dalam magma

G. Ciremai.

Gambar 19. Ploting SiO2 terhadap temperatur magma G. Ciremai.

(25)

25 G. Galunggung :

Gambar 21 .Ploting SiO2 terhadap MgO batuan G. Ciremai

dibandingkan dengan G. Galunggung (Bronto, 1989).

Gambar 22. Ploting SiO2 terhadap MgO batuan G. Ciremai dibandingkan

dengan G. Galunggung (Bronto, 1989). G. Galunggung

(26)

26 Gambar 23. Posisi tektoni G. Ciremai (tanda merah) berdasarkan ploting

Th/Yb terhadap Ta/Yb.(Grafik dari Pearce, 1983; Wilson, 1989).

8. Kesimpulan

Di bawah mikroskop lava-lava G. Ciremai umumnya memiliki tekstur porfiritik, innequigranular, kemas tertutup. Menunjukkan struktur aliran, terdapat senolit. Fenokris terdiri dari plagioklas, piroksen, dan mineral-mineral bijih. Massa dasar terdiri dari mikrolit plagioklas, mikro kristal piroksen, mineral-mineral bijih dan gelas.

Lava-lava calc-alkalin G. Ciremai memiliki kisaran SiO2 yang agak

panjang dari 50 sampai 58 wt%. Alumina terlihat meningkat dengan turunnya MgO. Tingginya alumina di dalam lava-lava basalt calc-alkalin Ciremai menepis perkiraan tingginya tingkat fraksinasi plagioklas di dalam lava-lava tersebut. Penurunan Fe2O3 yang disertai dengan turunnya kadar MgO menunjukkan

pentingnya magnetit dan klinopiroksen dalam fraksinasi magma. Fraksinasi X

(27)

27 klinopiroksen dan plagioklas ditunjukkan oleh penurunan CaO yang dibarengi dengan penurunan MgO.

Meningkatnya K2O pada lava-lava yang lebih terfraksi menandakan

bahwa fase-fase kaya K seperti amfibol, flogopit dan K feldsfar bukan merupakan fase penting dalam fraksinasi. Tingginya kandungan K2O sangat dimungkinkan

oleh proses kontaminasi krustal terhadap magma.

Kandungan H2O dalam magma juga meningkat pada batuan-batuan yang

lebih asam, peningkatan ini sangat berkaitan dengan kenaikan Indek Eksplosivitas.

Variasi major dan trace elemen mengindikasikan bahwa magma G. Ciremai telah terkontaminasi oleh batuan sedimen. Cairan (melt) dari sedimen yang tersubduksi berpengaruh pada sifat alamiah sumber-sumber toleiitik, dan lava-lava calc alkalin. Indikasi adanya pengaruh dari cairan-cairan ini antara lain tingginya rasio Th/Ta dan Rb/Ba namun rendah dalam rasio-rasio Ce/Pb dan Sr/Nd.

Plotting antara Th/Yb terhadap Ta/Yb mengindikasikan bahwa G. Ciremai berada pada active continental margin.

DAFTAR PUSTAKA

Bronto, S., 1989. Volcanic Geology of Galunggung, West Java, Indonesia. Ph.D Thesis University of Canterbury, New Zealand. (unpublish).

Djuri, 1995. Peta Geologi Lembar Arjawinangun, Jawa. Pusat Penelitian dan Pegembangan Geologi. Departemen Pertambangan dan Energy.

Dupre, B. and Allegre, C.J., 1983. Nd and Sr Isotope Variation in Indian Ocean Basalts and Mixing Phenomena. Nature 303, 142-146.

Edwards, C.M.H., 1990. Petrogenesis of tholeiitic, calc-alkaline volcanic rocks, Sunda arc, Indonesia. Ph.D thesis (unpubl), Royal Holloway and Bodford New College, University of London.

Green, T.H., 1980. Island arc and continental building magmatism, a review of petrogenetic models on experimental petrology and geochemistry.

Tectonophysics. 63, 367-385.

Green, T.H., 1981., Experimental evidence for the role of accesory phases in magma genesis. J.of volcanol. Geotherm. Res. 10, 405-422.

(28)

28 Hall, R., 2002. Cenozoic Geological and Plate Tectonic Evolution of South East Asia and the SW Pacific : Computer Based Reconstruction, Model and Animation. Journal of Asian Earth Science (20) 2002, 353 – 431.

Hutchinson, C.S., 1989. Geological evolution of South East Asia. Oxford Monographs on Geology and Geophysics no. 13, Oxford science publications, Oxford, Clarendon Press, 368 pp.

Kay, R.W., 1977. Geochemical constraints on the origin of Aleutian magmas. In : Talwani, N & Pitman, W.C. (red) Island arc, Deep-sea trenches and Back-arc basins. Amer. Geophys. Union, 229-242.

Katili, J.A.,1975. Volcanism and Tectonics in the Indonesian island arcs.

Tectonophysics, 26, p.165-188.

Kaya, R.W., 1980. Volcanic arc magmas : implications of a melting-mixing model for element recycling in the crust-upper mantle system.

Le Pichon, X., 1968. Sea floor spreading and continental drift. J. Geophys. Res.

Morris, J.D. & Hart, S.R., 1983. Isotopic and incompatible element constraints on the genesis of island arc volcanics from Cold Bay and Amak Island, Aleutians, and implication for mantle structure. Geochim. Cosmochom. Acta. 47.

Pearce, J.A., 1983. Role of the sub-continental lithosphere in magma genesis at active continental margins. In : Hawkesworth, C.J. & Norry, M.J. (red). Continental Basalts and Mantle Xenoliths., Nautwich, Shiva publishing, 230-249.

Purbawinata, M.A., Kadarsetia, E. & Rakimin, 1991. Laporan Penelitian Petrokimia Gunungapi – Ciremai – Jawa Barat. Direktorat Vulkanologi (unpubl).

Silitonga, P.H., Masrie, M. Dan Suwarna, N., 1996. Peta Geologi Lembar Cirebon, Jawa. Pusat Penelitian dan Pegembangan Geologi. Departemen Pertambangan dan Energy.

Silitonga, P.H., 1973. Geological Maf of The Bandung Quadrangel, Jawa, scale 1 : 100.000. Geological Survey of Indonesia, Ministry of Mines, Indonesia.

Situmorang, T., Hadisantono, R.D. & Asmoro,P,.1984. Peta Geologi Gunungapi Ciremai, Jawa Barat. Direktorat Vulkanologi.

Taylor, S.R. & Mc Lennan, S.M., 1985. The continental crust : Its composition and evolution. Oxford, Blackwell Scientific.

Whitford, D.J., 1975. Geochemistry and petrology of volcanic rocks of the Sunda arc, Indonesia. PhD thesis (unpubl), Australian National University.

(29)

29 Wilson, M., 1989. Igneous Petrogenesis: a global tectonic approach. Unwin

Hyman - London.

Wirakusumah, A.D., 1991. Some Studies of Volcanology, Petrology and Structures of Mt. Kelut, East Java, Indonesia. Research School of Earth Sciences, Victoria University of Wellington, New Zealand. Ph.D Thesis (unpublished).

Wright, T.L. & Doherty, P.C., 1970. A linear programming and least squares computer method for solving petrological mixing problems. Geol. Soc. Am. Bull. 81, 1996-2008.

(30)

30 GEOLOGI DAN GEOKIMIA BATUAN

GUNUNG API CIREMAI, JAWA BARAT

GEOLOGY AND ROCKS GEOCHEMISTRY OF CIREMAI VOLCANO, WEST JAVA

Oleh : Eka Kadarsetia

BIDANG EVALUASI POTENSI BENCANA

PUSAT VULKANOLOGI DAN MITIGASI BENCANA GEOLOGI BADAN GEOLOGI 2013 DAFTAR ISI Hal BAB I PENDAHULUAN BAB II GEOLOGI 2.1 Geologi Regional

(31)

31 BAB III PETROGRAFI

3.1 Basalt

3.2 Andesit basaltik 3.2 Andesit

3.4 Andesit silika tinggi

BAB IV GEOKIMIA UNSUR-UNSUR UTAMA (MAJOR ELEMENTS)

4.1 Variasi Geokimia Unsur-unsur Utama Batuan G. Ciremai 4.2 Model Petrogenesis Batuan G. Ciremai Berdasarkan Variasi Unsur- unsur Utamanya

BAB V GEOKIMIA UNSUR-UNSUR JEJAK (TRACE ELEMENTS)

5.1 Variasi Komposisi Unsur-unsur Jejak Batuan G. Ciremai 5.2 Model Petrogenesis Batuan G. Ciremai

BAB VI GEOKIMIA ISOTOP 3.1 Data Isotop Sr dan Nd 3.2 Data Isotop Pb

3.3 Data Isotop O

3.4 Pengenalan Komponen-komponen Sumber Dari Isotop

3.5 Pengenalan Komponen-komponen Zona Subduksi Dari Isotop dan Trace Elements Inkompatibel

BAB VII PENGENALAN KOMPONEN-KOMPONEN SUMBER MAGMA

7.1 Pengenalan Komponen-komponen Sumber Dari Isotop

7.2 Pengenalan Komponen-komponen Zona Subduksi Dari Isotop dan

Trace Elements Inkompatibel

DAFTAR PUSTAKA

(32)

32 DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1. Lokasi penelitian

Gambar 2. Pola Tektonik Indonesia (Hall, 2002).

Gambar 3a. Peta Geologi Lembar Arjawinangun, Jawa (Djuri,1995).

Gambar 3b. Korelasi Satuan Peta Geologi Lembar Arjawinangun, Jawa (Djuri,1995).

Gambar 3c. Peta Geologi Lembar Cirebon, Jawa (Silitonga dkk, 1996)

Gambar 3d. Korelasi Satuan Peta Geologi Lembar Cirebon, Jawa (Silitonga dkk, 1996)

Gambar 4. Peta Geologi Gunung Api Ciremai (Situmorang dkk, 1984).

Gambar 5. Korelasi Satuan Peta Geologi Gunung Api Ciremai (Situmorang dkk, 1984)

Gambar 6. Komposisi mineralogi batuan toleiitik (kiri) dan calc-alkalin (kanan). Tanda x menunjukkan komposisi mineralogi batuan G. Ciremai (Sumber ; Wilson, 1989; Edwards, 1990;

Purbawinata dkk, 1991)).

Gambar 7. Variasi komposisi kimia batuan G. Ciremai dan G. Guntur

(Purbawinata dkk, 1991).

Gambar 8.

Proses petrogenesis berdasarkan kandungan SiO2

dan K2O dalam batuan beku (Wilson, 1989). X

= Batuan

Ciremai.

(33)

33

Gambar 9 .

Ploting SiO2 terhadap MgO batuan G. Ciremai

dibandingkan dengan G. Galunggung (Bronto, 1989).

Gambar 10.

Ploting SiO2 terhadap MgO batuan G. Ciremai

dibandingkan dengan G. Galunggung (Bronto, 1989).

Gambar 11.

Mekanisme perjalanan magma dari zona penunjaman

ke permukaan (Wilson,1989).

Gambar 12.

Spidergrams yang dinormalisasi dengan Chondrite,

trace element

terpilih dari calc-alkalin Ciremai

(Edwards, 1990;Purbawinata, dkk, 1991).

Gambar 13.

Ploting Th/Yb terhadap Ta/Yb yang memperlihatkan

perbedaan antara basalt hasil penunjaman dengan basalt

dari MORB serta basalt hasil pengayaan sumber (OIB).

Vektor-vektor menunjukkan pengaruh dari

komponen-komponen

subduksi

(S),

pengayaan

lempeng

(W),kontaminasi kerak (C) dan fraksinasi kristalisasi (F).

TH = Toleiitik; CA = Calk-alkalin; S =

Sosonit. (Wilson,

1989; Purbawinata dkk, 1991).

Gambar 14.

Diagram Sr/Nd vs Th/Ta dari lava-lava Ciremai dan Guntur.

Lava-lava tholeiitik memperlihatkan komposisi yang khas

hasil pengayaan elemen dari fluida asal kerak samudra yang

tersubduksi (Purbawinata dkk, 1991).

Gambar 15.

Diagram Rb/Ba vs Th/Ta dari lava-lava Ciremai dan Guntur.

Gambar 16.

Variasi elemen-elemen jejak (trace elements)

G.Ciremai dibandingkan dengan G. Kelut,

Jawa Timur Wirakusumah, 1991).

Gambar 17.

Variasi elemen-elemen jejak (trace elements)

G. Ciremai dibandingkan dengan G. Kelut,

Jawa Timur (Wirakusumah, 1991).

Gambar 18.

Variasi elemen-elemen jejak (trace element)

G. Ciremai dibandingkan dengan G. Kelut, Jawa Timur

(Wirakusumah, 1991).

Gambar 19.

Diagram

143

Nd/

144

Nd vs

87

Sr/

86

Sr dari lava-lava

Ciremai dan Guntur relatif terhadap MORB

(Purbawinata dkk, 1991).

(34)

34

Gambar 20.

Diagram

206

Pb/

204

Pb vs

207

Pb/

204

Pb dan

206

Pb/

204

Pb vs

206

Pb/

204

Pb dari lava-lava Ciremai relatif terhadap

Nothern

Hemisphere Reference Line

(NHRL) (Purbawinata dkk,

1991).

Gambar 21.

Diagram

18

O vs

87

Sr/

86

Sr dari lava-lava Ciremai relatif

terhadap

18

O MORB dan mantel (Purbawinata dkk, 1991).

Gambar 22.

Diagram

18

O vs MgO dan

18

O vs SiO2 dari lava-lava Ciremai

dan Guntur (Purbawinata dkk, 1991).

Gambar 23.

Diagram

87

Sr/

86

Sr vs Sr untuk lava-lava Ciremai dan Guntur,

disertai kemungkinan arah evolusi magmanya masing-

masing (Purbawinata dkk, 1991).

Gambar 24.

Diagram 207 Pb/ 204 Pb vs Ce/Pb dari lava-lava

Ciremai dan Guntur (Purbawinata dkk, 1991).

Gambar 25.

Diagram Ce/Pb vs Pb dari lava-lava Ciremai dan Guntur.

Lava-lava Ciremai terplot pada atau dekat kurva

mixing

(Purbawinata dkk, 1991).

Gambar 26.

Diagram Sr/Nd vs Th/Ta dari lava-lava Ciremai dan Guntur.

Lava-lava tholeiitik memperlihatkan komposisi yang khas

hasil pengayaan elemen dari fluida asal kerak samudra yang

khas hasil pengayaan elemen dari fluida asal kerak samudra

yang tersubduksi. Naiknya rasio Th/Ta dan turunnya rasio

Sr/Nd pada lava calc-alkalin diakibatkan oleh pengaruh dari

komponen sedimen.

Gambar 27.

Diagram 87Sr/86Sr vs Sr/Nd dari lava-lava Ciremai dan

Guntur. Trend pada tholeiitik terbentuk akibat pengeruh

fluida asal kerak samudra di dalam mantel sumber. Tingginya

87Sr/86Sr pada calc-alkalin Ciremai berasosiasi dengan

rendahnya komponen Sr/Nd sedimen.

Gambar 28.

Diagram 143Nd/ 144Nd vs 87Sr/ 86Sr dari lava-lava

Ciremai dan Guntur (Purbawinata dkk, 1991).

Gambar 29.

Diagram Rb/Ba vs Th/Ta dari lava-lava Ciremai dan

Guntur. Tingginya rasio Rb/Ba berasosiasi dengan

komponen sedimen (Purbawinata dkk, 1991).

Gambar 30.

Resume perjalanan magma dari zona penunjaman ke

permukaan beserta karakteristik geokimianya (Wilson,

1989).

(35)

35

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rakhmat dan karunianya sehingga penulisan buku ini dapat terwujud. Buku ini merupakan hasil kompilasi dari para peneliti terdahulu, baik itu di bidang geologi maupun di bidang geokimia G. Ciremai. Diharapkan bahwa buku ini akan memperkaya khasanah keilmuam di bidang vulkanologi khususnya dan di bidang geologi umumnya. Diharapkan pula bahwa hasil penelitian ini juga dapat digunakan dalam mitigasi bencana Gunung Api Ciremai pada khususnya.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan koreksi dan masukan. Kepada Badan Geologi serta Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang telah memberikan berbagai fasilitas dan dorongan terhadap penulisan buku ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran yang telah memberikan pencerahan yang terus menerus di bidang ”ilmu” geolologi, serta berbagai masukan dan koreksi yang sangat bermanfaat. Semoga segala kebaikan Bapak, Ibu dan Saudara sekalian mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Bandung, Oktober 2013 Penulis,

(36)

36 Eka Kadarsetia

NIP. 196101221987031001

Gambar

Gambar 1. Lokasi penelitian.
Gambar 4. Peta Geologi Gunung Api Ciremai (Situmorang dkk, 1984).
Gambar 7. Lava Barujaksi di bawah mikroskop.
Gambar 8. Lava G. Sela di bawah mikroskop.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Isolat kapang yang diperoleh sebagian besar tergolong kapang saprofitik yaitu marga Aspergillus, Chaetomium, Eupenicilli- um, Fusarium, Gliocladium, Mucor, Penicillium, Rhizopus, dan

Pada umumnya, kegiatan gunung api di Pegunungan Selatan, Jawa Tengah, diawali oleh pembentukan lava bantal berkomposisi basal - andesit basal. Kegiatan itu berkembang ke

Sedangkan jenis lainnya menunjukkan adanya kemampuan untuk dapat hidup di berbagai habitat sehingga dijumpai di hutan primer, hutan sekunder, belukar dan kebun pinus walaupun

Hasil pendataan tahun pertama 2009 hutan rasamala Bodogol TNGGP masih termasuk kategori hutan sekunder, hal ini dicirikan oleh susunan diameter batang tumbuhan yang sebagian

Dasar teori mencakup aspek kegeologian cekungan Jawa Barat Utara sebagai lokasi penelitian dan aspek kegeokimiaan yang terdiri dari evaluasi batuan induk yang meliputi

Isolat kapang yang diperoleh sebagian besar tergolong kapang saprofitik yaitu marga Aspergillus, Chaetomium, Eupenicilli- um, Fusarium, Gliocladium, Mucor, Penicillium, Rhizopus, dan

Pelimpah Situ Lebak Wangi berupa saluran berbentuk empat persegi panjang, dengan talud pasangan batu di sisi kanan dan sisi kirinya.Karena dasar saluran tertimbun

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,