• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sakramen Tobat. Sebuah Refleksi Teologis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sakramen Tobat. Sebuah Refleksi Teologis"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Sakramen Tobat

Sebuah Refleksi Teologis

Pendahuluan 1.

Konsili Vatikan Kedua menyerukan “revisi ritual dan formula Tobat agar menjadi lebih jelas mengungkapkan sifat dan efek dari sakramen tersebut” (SC 72). Namun usulan pembaharuan tersebut harus memperhitungkan kebutuhan dan situasi pastoral kita, agar penerapannya tidak menyimpang dari hakikatnya (makna) baik secara historis maupun teologis. Sejarah Sakramen Tobat bergerak bersama dengan realitas hidup, serta integral dengan sejarah perkembangan Gereja, yang terus berkembang dan memperbaharui dirinya.

Berkenaan dengan cara merayakannya, terdapat dua periode penting, yakni Tobat kanonik atau publik (abad I-abad VI) dan Tobat atau pengakuan pribadi (setelah abad VI dan menjadi praktek tetap pada abad XII). Bentuk pertama lebih menekankan pada aspek beratnya dosa dan komitmen Gereja untuk mengubahnya secara bersama-sama. Seluruh Gereja melakukan pertobatan dan berekonsiliasi dengan saudara yang berdosa. Namun seiring dengan pertumbuhan jumlah orang Kristen, khususnya dari kaum Pagan, yang masih membawa praktek-praktek lama mereka; dan munculnya keengganan (rasa malu) untuk melakukan penitensi publik, maka bentuk tobat ini menjadi sangat sulit untuk dipertahankan. Setelah abad VI, muncul praktek tobat yang lebih menghormati privasi dan intimitas. Meskipun ada bahaya formalis dan individualis, namun praktek ini akhirnya secara definitif diterapkan (abad XII).

Refleksi teologis terhadap Sakramen Tobat kemudian difokuskan pada sintesa antara tindakan penebusan dosa publik dan upaya untuk mengubah pola hidup kaum pendosa, serta bagaimana tindakan Gereja yang menghadirkan rekonsiliasi antara pendosa dan Allah. Pada abad XI-XII refleksi teologis difokuskan pada “pengakuan” dalam arti sempit, perincian tentang tuduhan dosa, dan tugas imam untuk memastikan kelengkapan dan nilai pembebasan. Liturgi post Tredentine, kemudian menambahkan rekfeksinya pada aspek “sesal” yang erat kaitannya dengan sudut pandang moral dan yuridis.

(2)

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengembalikan bentuk kuno pengakuan dosa, yang sangat berbeda dengan kondisi riil kita saat ini. Tetapi lebih dimaksudkan sebagai sebuah sumbangan reflektif dari sudut teologi, untuk menemukan cara yang paling cocok dengan situasi kita. Telaah teologis ini untuk mendapatkan sintesa yang mendukung praktek Sakramen Tobat di zaman kita. Di sisi lain peluang pembaharuan tetap dimungkinkan, asalkan didukung dengan sebuah studi teologis-pastoralis yang memadai, yang senantiasa terintegrasikan dengan dinamika historis dari Sakramen ini. Sasaran yang mau dituju dari tulisan ini adalah pemahaman yang lengkap dan utuh, baik secara teologis maupun pastoral, guna menjaga keberlangsungan pelaksanaan dan penghayatan Sakramen ini dalam perziarahan Gereja Umat Allah.

Sakramen Tobat: Momentum Keselamatan 2.

Konsentrasi terhadap tata-cara pelaksanaan Sakramen Tobat memang penting. Tetapi penekanan berlebihan pada tata-cara akan menjebak kita dalam tata kultis yang formalitis belaka. Hal utama yang harus dipahami, bahwa Sakramen Tobat merupakan momentum keselamatan, yang terus terjadi dalam sejarah, dimana Allah senantiasa berkehendak membangun relasi intim dengan manusia, melalui Yesus Kristus Yang Bangkit, dan kini hadir nyata dalam Gereja. Inisiator utama dari tobat adalah Allah sendiri, yang menawarkan persekutuan gratis dengan manusia yang berdosa. Tawaran Allah ini hadir melalui gerakan Roh-Nya yang bekerja dalam hati nurani dan pewartaan Gereja. Allah berkenan menyapa setiap orang berdosa dengan cinta kasih kebapaan-Nya.

Pelaksanaan Sakramen Tobat memiliki dimensi sakramental Paskah. Allah berkenan menjumpai manusia dalam dan melalui Yesus Kristus, khususnya dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Melalui Gereja, Tubuh-Nya sendiri, Yesus Kristus mendamaikan para berdosa dengan Allah. Sakramen Tobat adalah momentum Paskah, dimana para berdosa yang bertobat, menerima kembali salib Kristus sebagai tanda ketaatan dan cinta kepada Bapa. Dan melalui absolusi yang diucapkan oleh imam, hadir nyata sifat belas-kasih Bapa.

Sakramen Tobat: Dimensi Gerejawi 3.

Sakramen Tobat, momentum perjumpaan Paskah antara orang berdosa dengan Allah terjadi dalam Gereja dan melalui Gereja, manifestasi nyata dari

(3)

kehadiran misteri Paskah Kristus dalam sejarah. Sebagaimana Sakramen-sakramen lainnya, pelaksanaan Sakramen Tobat bertujuan untuk menguduskan Gereja. Dimensi gerejawi Sakramen Tobat ini memuat tiga hal pokok:

Rekonsiliasi dengan Allah melalui rekonsiliasi dengan Gereja 1.

Rekonsiliasi dengan Allah berarti diterima kembali dalam persahabatan dengan-Nya. Syarat satu-satunya adalah “pertobatan”, upaya bebas manusia untuk mendapatkan kembali kasih Allah. Kitab Suci mencatat bahwa tidak ada kasih dan pengampunan ilahi ketika kita kehilangan kasih dan pengampunan dari saudara (bdk. Mat 5: 23-26; 1 Yoh 4: 7-21); gerakan bersama untuk mencari domba yang hilang (Luk 15:4).

Dalam konteks gerejawi, orang yang berdosa dengan cara yang menyedihkan terpisah dari Gereja sebagai komunitas keselamatan. Keterpisahan dengan Gereja, secara otomatis juga kehilangan anugerah Roh Kristus yang menjiwai Gereja. Jadi rekonsiliasi dengan Gereja berarti kembali menerima amal-kasih gerejawi, hidup dalam persatuan internal dan efektif dengan kasih penebusan Gereja. Oleh karena itu, perdamaian kembali pendosa dengan Gereja akan membawa pengampunan dosa dan menerima kembali karunia cinta ilahi yang dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kristus, yang juga Roh Gereja. Dengan kata lain, orang Kristen yang bertobat, menemukan belas kasihan Tuhan dan saudara seiman.

Perwujudan imamat Gereja 2.

Pengampunan Allah kepada orang berdosa dihadirkan melalui pengampunan yang diberikan oleh imam yang bertindak atas nama Kristus. Sebagai tindakan ibadah yang menguduskan Gereja, setiap sakramen adalah perayaan yang menghadirkan imamat seluruh Gereja (imamat umum (LG. 11) dan imamat jabatan (LG 25 & 28). “Meskipun keduanya berbeda dalam derajat, namun terarah satu sama lain” (LG 10b). Imamat umum dilaksanakan, terutama dalam pertobatan (aktif). Mereka yang menerima sakramen tobat memperoleh pengampunan dan belas-kasihan Allah dan berdamai kembali dengan Gereja yang telah mereka lukai dengan dosa-dosa. Dalam tindakan pendamaian ini, imamat jabatan sangat penting

(4)

untuk memastikan efektivitas mediasi keselamatan umat. Atas dasar jabatan yang diterima dari Kristus, hirarki melakukan tindakan Sakramen. Oleh karena itu, hanya melalui intervensi imamat jabatan, dalam persatuan erat dengan imamat seluruh Gereja, kaum hirarki dapat memastikan kehadiran cinta dan pengampunan sempurna dari Bapa, serta perdamaian para berdosa dengan Gereja.

Pembebasan efektif hadir melalui pengampunan yang diberikan 3.

kepada orang Kristen yang benar-benar bertobat.

Ketika Konsili Trente menggunakan istilah ”tindakan pengadilan” untuk pengampunan, sebenarnya ada tiga hal yang ingin digaris-bawahi: 1) Bahwa absolusi imam dalam Sakramen Tobat benar-benar efektif dan bukan hanya proklamasi pengampunan karena iman saja; 2) Hal ini diucapkan berdasarkan kuasa (yurisdiksi) yang uskup dan imam terima dari Kristus; 3) Bahwa wujud tobat hanya dapat dibuktikan melalui pengakuan kepada uskup dan imam. Penting untuk dipahami bahwa tindakan pengampunan yang dilakukan hirarki bukanlah tindakan pengadilan dalam arti teknis sempit, tetapi tindakan efektif dalam nama dan dengan otoritas yang diterima dari Kristus.

Sakramen Tobat: Komitmen Pribadi 4.

Setiap Sakramen menyiratkan komitmen pribadi setiap individu, yang diwujudkan dalam dimensi gerejawi, guna menanggapi panggilan bebas Allah. Dalam Sakramen Tobat komitmen pribadi menjadi lebih penting lagi, karena ia merupakan bagian inti dari ritus sakramen ini. Dari sudut pandang ini hadir arti sesungguhnya dari tindakan bertobat. Komitmen pribadi pendosa untuk bertobat menjadi syarat untuk berekonsiliasi dengan Allah. Meskipun Tuhan berinisiatif menawarkan anugerah pengampunan, tetapi jika sang pendosa tetap menunjukan sikap penolakan akan cinta Allah, momentum pengampunan – pembebasan tidak akan pernah terwujud. Oleh karena itu tindakan utama yang harus dilakukan oleh pendosa adalah pertobatan. Pertobatan adalah usaha untuk menghancurkan masa lalu yang telah berada di bawah kendali dosa, dan beorientasi kembali secara radikal kepada Allah, di dalam Kristus dan dalam Gereja, untuk lebih setia di masa depan.

Pertobatan pribadi diwujudkan secara gerejawi dalam pengakuan dosa kepada imam. Pertobatan seorang Kristen, yang kemudian dinyatakan

(5)

dengan pengakuan pribadi kepada imam, dan melaksanakan penitensi (hukuman-denda dosa) akan membangun kembali secara efektif kesatuan dengan Tubuh Kristus. Jadi pertobatan dan pembebasan dosa tidak benar-benar dan sepenuhnya terwujud, jika tidak terjadi dalam lingkup Gereja, dan melalui pengakuan dosa kepada imam.

Sakramen Tobat dan Ekaristi 5.

Dalam kata-kata institusi Ekaristi Yesus menyatakan darah Perjanjian Baru “dicurahkan untuk pengampunan dosa” (Mat 26:28). Ini berarti bahwa Ekaristi merupakan peringatan abadi Perjanjian Baru yang menyatu dengan Paskah Kristus. Ekaristi membangun persekutuan dengan Allah dan sesama dalam Yesus Kristus dan Gereja. Pada saat yang sama ia secar efektif mengatasi rasa tak layak kita akibat penolakan bersekutu dengan Tuhan. Oleh karena itu mereka yang berpartisipasi dalam Ekaristi hendaknya mempersiapkan diri dengan pantas. Menurut 1 Korintus 11: 27-34, persiapan sesungguhnya adalah iman yang hidup dalam tubuh Ekaristi Kristus, sumber amal-kasih tubuh-Nya sendiri, yakni Gereja.

Dalam tradisi kristiani, Tobat “kanonik” (publik) adalah bagian integral dalam Ekaristi, tetapi kepenuhannya harus terjadi dalam Sakramen Tobat. Dalam sejarah (karena berbagai alasan) banyak orang Kristen yang sadar akan dosa yang berat, asalkan menunjukkan tanda-tanda pertobatan dapat berpartisipasi dalam Ekaristi, tanpa harus menerima rekonsiliasi sakramental sebelumnya. Berhadapan dengan gerakan reformasi yang menentang Sakramen Tobat sebagai buah dari Sakramen Baptis dan Ekaristi, Konsili Trente (1551) menegaskan bahwa:

Sakramen Tobat benar-benar perlu bagi semua orang yang telah 1.

melakukan dosa berat agar ia kembali memperoleh rahmat dan pembenaran;

Forma dan material antara sakramen tobat dan sakramen baptis 2.

berbeda karena esensi kedua sakramen itu memang beda. Dalam sakramen Baptis, pelayan sakramen itu tidak berperan sebagai hakim, sedangkan dalam sakramen tobat, pelayan sakramen itu berperan sebagai hakim. Sakramen Baptis perlu demi keselamtan orang-orang yang belum dibaptis. Sedangkan sakramen tobat perlu demi keselamatan orang-orang yang sudah dibaptis tetapi jatuh dalam dosa berat. Forma dari sakramen tobat adalah kata-kata

(6)

absolusi yang diucapkan imam;

Peniten (orang beriman yg belum bertobat) haruslah mengakui 3.

semua dosa beratnya setelah memeriksa batinnya secara seksama. Disarankan bahwa ia juga mengakukan dosa-dosanya yang ringan. Walaupun demikian, dosa-dosa ringan itu juga dapat diampuni Allah di luar sakramen tobat.

Keharusan mengaku dosa berat sebelum menerima komuni diumumkan dalam konsili Lateran tahun 1215 (DS 1645-1647). Dan kemudian, pada 1562, ditegaskan bahwa Ekaristi merupakan kurban pedamaian pendosa dengan Tuhan (DS 1753). Juga ditegaskan bahwa orang yang berpartisipasi dalam Ekaristi perlu melakukan langkah-langkah tobat atas kejahatan dan dosa berat dalam Sakaramen Tobat yang diterimakan oleh imam (DS 1743). Berdasarkan catatan historis ini, maka hubungan antara Sakramen Tobat dan Ekaristi sbb:

Dalam Ekaristi juga terjadi pengampuan bagi mereka yang 1.

berpartisipasi dengan disposisi yang tepat. Tetapi pengampunan itu berbeda dengan Sakramen Tobat.

Dari sudut pandang komitmen kesetiaan untuk menjawab panggilan 2.

Allah untuk pertobatan, maka Sakramen Tobat-lah yang merupakan wujud rekonsiliasi sempurna bagi kaum kristiani. Dalam kasus dosa berat, maka Sakramen Tobat-lah yang merupakan persiapan terbaik untuk berpartisipasi dalam Ekaristi. Ekaristi merupakan momentum penyempurnaan persekutuan dengan Allah dan sesama dalam Kristus dan Gereja, yang telah dipulihkan oleh Sakramen Tobat. Dari sudut pandang Penebus ilahi, Ekaristi adalah sumber 3.

pengampunan sakramental dosa. Namun pengampunan yang diberikan oleh Sakramen Tobat merupakan langkah pendahulu untuk menerima anugerah Ekaristi, peringatan sempurna Paskah Kristus. Kesimpulan

6.

Kita harus menghindari perayaan Sakramen Tobat yang sifatnya mekanis, formalistik dan dangkal. Karena metanoia – tobat adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan kristiani, maka hal itu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jadi, setiap orang Kristen harus tahu bagaimana menemukan langkah terbaik untuk itu dengan kesadaran dari hati nuraninya. Orang Kristen harus berupaya serius dan mendalam untuk membuat setiap perayaan Sakramen Tobat sebagai peristiwa nyata yang menguduskan.

(7)

Dimensi liturgis-gerejawi Sakramen Tobat harus menjadi fokus dalam komunitas krisitiani. Pengakuan dosa individu adalah wajib dalam kasus dosa berat, sebagai ekspresi keseriusan setiap individu untuk pertobatannya. Orang yang setia mengambil bagian dalam perayaan Tobat komuniter, juga akan setia dalam kehidupan gerejawi. Orang yang setia mengakukan dosa secara pribadi, juga akan lebih mudah membangun kehidupan komuniter. Usul pembaharuan (tata-cara pelaksanaan) yang dikumandangkan oleh Konsili Vatican II (SC. 72), dapat dipertimbangkan dengan matang, untuk mempertahankan dan meningkatkan animo umat mengakukan dosanya. Konferensi Wali Gereja, atau Keuskupan-keuskupan dapat melakukan beberapa perubahan sesuai dengan kultur komunitas kristiani setempat. Namun tetap harus dijaga koherensinya dengan konsep Gereja Universal. **

Ludgerus Lusi Oke Rujukan Pustaka:

Sakrament Tobat dalam Katekismus Gereja Katolik, 1992.

GIOVANNI PAOLO II,” Discorso ai membri della Penitenzieria Apostolica”, in

L’Osservatore Romano, 27-03-1993.

FERRARO, G., Il sacramento della penitenza e della riconciliazione, in Dottrina della

liturgia sui sacramenti della fede, Dehoniane, Roma 1990.

RAHNER, K.,” Il sacramento della penitenza come riconciliazione con la Chiesa”, in

Nuovi Saggi III, Paoline, Roma 1969.

Referensi

Dokumen terkait