• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Kebudayaan, Volume 15, Nomor 2/2020. Unggul Sudrajat Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Kebudayaan, Volume 15, Nomor 2/2020. Unggul Sudrajat Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Naskah diterima: 10 Juni 2020; direvisi akhir: 19 Oktober 2020; disetujui: 27 Oktober 2020 Volume 15 Nomor 2/2020

JURNAL

KEBUDAYAAN

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM

PENGEMBANGAN TRADISI KERIS DI KABUPATEN

SUMENEP, MADURA

THE ROLE OF THE LOCAL GOVERNMENT IN THE

DEVELOPMENT OF KRIS-MAKING TRADITIONS IN

SUMENEP, MADURA

Unggul Sudrajat

Pusat Penelitian Kebijakan

Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud unggul.sudrajat@gmail.com

DOI : 10.24832/jk.v15i2.363 AbstrAct

Kris is an object of Indonesian culture. It has both artistic and high economic values. Therefore, the culture of keris making process has been preserved by the people in several regions in Indonesia. One of them is in Sumenep Regency. The Kris culture presumably has been existed since the days of the Majapahit Kingdom. The fast-growing kris industry in Sumenep has made it rewarded as the city of Indonesian kris. However, the people of Sumenep are now facing several obstacles in preserving the culture, including conflicts between kris craftsmen, traders, the local authorities, and massive cases of the process (newly made kris but being faked as an old one). How do people of Sumenep resolve the conflicts? How are attentions of stakeholders, like: the government, keris organizations, and community to jointly for resolve the conflicts? This paper aims to describe the role of the regional government in the development of kris in Sumenep Regency. The method used in this study is qualitative with a phenomenological approach. Data were collected through in-depth interviews, observation, and literature study and then analyzed by using Interpretative Phenomenological Analysis. The result indicates that the culture of kris-making in Sumenep had been unstable. But after a cultural revitalization involving many parties, including the local government, it developed rapidly and eventually reached an industrial-scale business.

Keywords: local government, culture, kris

AbstrAk

Keris merupakan benda hasil budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai seni yang indah dan nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, budaya pembuatan keris tetap dipertahankan di beberapa daerah, salah satunya di Kabupaten Sumenep. Tradisi pembuatan keris di Sumenep diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dan masih terus bertahan hingga kini. Pesatnya perkembangan industri dan jumlah perajin keris di Sumenep menjadikan Sumenep sebagai Kota Keris Indonesia. Selama mempertahankan budaya keris tersebut, masyarakat Sumenep sempat menghadapi beberapa kendala, antara lain konflik antara perajin keris dan pedagang keris, konflik pedagang keris dan aparat, serta menjamurnya kasus keris prosesan. Bagaimana masyarakat Sumenep mengatasi konflik-konflik tersebut? Bagaimana perhatian dari para pemangku kepentingan, baik pemerintah, organisasi keris, serta masyarakat untuk bersama-sama mengatasi konflik-konflik tersebut? Tulisan ini bertujuan menguraikan peran pemerintah daerah dalam pengembangan keris di Kabupaten Sumenep. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi, dan analisis dokumen, yang kemudian dianalisis menggunakan interpretative phenomenological analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi pembuatan keris di Sumenep pernah mengalami pasang surut. Tetapi setelah dilakukan revitalisasi budaya yang melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah daerah pembuatan keris di Sumenep berkembang pesat hingga mencapai skala industri.

(2)

PENDAHULUAN

Keris merupakan salah satu hasil budaya bangsa Indonesia yang mempunyai sejarah panjang. Bangsa Indonesia telah mengenal keris sejak zaman kuno, yaitu pada zaman Hindu-Buddha. Istilah keris telah dijumpai pada beberapa prasasti kuno peninggalan Kerajaan Mataram Hindu. Misalnya, Prasasti Karang Tengah (746 Saka/ 824 Masehi) dan Prasasti Poh (827 Saka/ 905 Masehi) menyebut beberapa peralatan dan sesaji untuk menetapkan Desa Poh sebagai daerah bebas pajak. Sesaji itu antara lain berupa

kres, wangkiul, tewek punukan, wesi penghatap.

Kres yang dimaksud pada kedua prasasti itu adalah keris (Harsrinuksmo, 2004: 24). Pada masa ini keris masih umum dikasifikasikan sebagai senjata tikam untuk berperang. Kemudian, pada masa kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, Mataram, Yogyakarta, dan Surakarta, keris memiliki kedudukan yang penting dalam institusi keraton. Keris tidak lagi dianggap sebagai senjata tikam, tetapi sebagai pusaka yang menjadi simbol kekuasaan raja (Purwana, 2010: 104). Selain sebagai pusaka, keris juga mempunyai fungsi sebagai tanda kebesaran atau status sosial, jabatan atau kedudukan, dan pangkat. Serta menjadi kelengkapan pakaian resmi dalam upacara-upacara formal. Keris juga dapat digunakan sebagai pengganti mempelai laki-laki dalam sebuah pernikahan, apabila mempelai laki-laki berhalangan hadir. Sebagaimana dalam proses pernikahannya mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), karena tatkala datang hari pernikahan, Gus Dur selaku pengantin laki-laki masih belajar di Irak (Sutrisno, 2010: 11). Untuk itu, keris diberi perlengkapan dari bahan-bahan mahal seperti perak, suasa, emas, intan atau berlian, sehingga penampilan keris menjadi lebih megah dan Indah (Sudrajat dan Mulyadi, 2019).

Penambahan perlengkapan dari bahan-bahan mahal tersebut semakin menambah nilai keindahan atau estetika keris. Selain itu, nilai ekonomi keris juga ikut meningkat (Haryoguritno, 2006: 50). Oleh karena itu, sebagai benda karya seni, keris tidak hanya memiliki nilai keindahan atau estetika, tetapi juga nilai ekonomis yang tinggi. Bahkan, beberapa kalangan di Indonesia menjadikan keris sebagai benda investasi. Hal ini menunjukan adanya dinamika nilai dan fungsi keris, dari benda mistik yang dianggap memiliki kesaktian menjadi benda investasi

untuk menjaga nilai keuangan. Kondisi ini telah mendorong masyarakat untuk kembali menggemari tradisi keris, baik sebagai kolektor keris maupun sebagai pecinta keris. Hal ini kemudian menjadi peluang berkembangnya industri kerajinan keris di Indonesia. Salah satu daerah yang terkenal sebagai sentral kerajinan keris adalah Kabupaten Sumenep, Madura di Jawa Timur.

Tempat-tempat yang menjadi sentral pembuatan keris di Sumenep antara lain terletak di Kecamatan Saronggi, Lenteng, dan Bluto. Berdasarkan data terakhir yang dirilis oleh Pemerintah Kabupaten Sumenep dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dewasa ini tercatat sebanyak 652 perajin keris yang terdiri atas perajin bilah keris,

warangka, pande, dan landeyan (handle). Para perajin tersebut mampu memproduksi sekitar 6.000 keris setiap bulannya yang kemudian di ekspor ke Malaysia, Brunei, Singapura, China, Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa (Sudrajat dan Mulyadi, 2019). Dengan jumlah perajin dan kapasitas produksi yang besar, maka Sumenep dinobatkan sebagai sebagai Kota Keris Indonesia. Penetapan Sumenep sebagai Kota Keris Indonesia, telah menambah identitas baru bagi kota tersebut. Sebelumnya, Sumenep juga telah dikenal sebagai kota batik, kota ukir, dan kota sumekar. Beragam identitas ini akhirnya mendorong tercipta city branding Sumenep:

The Soul of Madura. City branding merupakan usaha suatu wilayah untuk melekatkan identitas atau membangun positioning yang kuat, agar dikenal secara luas oleh masyarakat di luarnya (Rakhmawati, 2018: 173). Dengan menggunakan

tagline The Soul of Madura, Sumenep berusaha membangundan menjaga citra kota. Oleh karena itu, beragam potensi daerah dimaksimalkan untuk memperkuat branding tersebut.

Pembangunan branding bukan sekedar aktivitas penciptaan simbol visual, display produk,

tagline yang mudah diingat, melainkan juga membawa visi dan misi, prinsip serta strategi manajemen. Branding juga dapat menghasilkan produk yang mempunyai nilai diferensiasi dari produk lain yang sejenis. Untuk itu, reputasi, budaya dan nilai inti juga dikembangkan dalam

branding. Dengan branding: The Soul of Madura, pemerintah Kabupaten Sumenep berharap dapat memperoleh beberapa keuntungan. Selain kontribusi devisa (financial) terhadap pendapatan asli daerah (PAD), branding tersebut

(3)

juga dapat digunakan sebagai usaha pemulihan nama baik dan meningkatkan kredibilitas Sumenep. Hal ini sangat penting karena dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengenalkan Sumenep sebagai wilayah yang potensial untuk kegiatan investasi, perdagangan, pariwisata, berbagai kegiatan komersial dan nonkomersial publik.

Munculnya identitas baru, Sumenep sebagai Kota Keris Indonesia menandakan bahwa pembuatan keris di Sumenep telah berkembang menjadi skala industri. Hal ini tentunya menyebabkan banyak perubahan mulai dari teknik dan peralatan pembuatan keris, model pemasaran keris, dan nilai atau harga keris. Dalam skala industri, pembuatan keris di Sumenep telah menggunakan teknologi modern, seperti mesin grenda, bor, blower, dan alat las untuk mempermudah dan mempercepat pengerjaan keris. Sementara di bidang pemasaran, keris-keris hasil produksi Sumenep selain dipasarkan secara

offline melalui toko-toko keris ataupun personal

door to door. Pemasaran keris juga merambah ke dunia digital (online). Perkembangan teknologi digital membuat pemasaran keris secara

online semakin gencar. Hal ini memudahkan banyak orang untuk bisa mengakses informasi tentang keris. Oleh karena itu, pasar keris pun berkembang luas dan menjangkau banyak pihak. Agar perkembangan industri kerajinan keris di Sumenep semakin lebih baik, tentunya memerlukan peran pemerintah daerah. Pemerintah kabupaten Sumenep dapat memberikan beragam bantuan, seperti dana, alat-alat produksi, promosi, serta landasan hukum atau regulasi yang mendukung pengembangan tradisi keris di kabupaten sumenep.

Berkaitan dengan perkembangan industri kerajian keris di Sumenep tersebut, terjadi perubahan teknik pembuatan keris dan teknik pemasaran tersebut menyebabkan terjadinya konflik antara perajin keris dan pedagang keris, pedagang keris dan aparat, serta menjamurnya kasus keris prosesan. Oleh karena itu, permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut. Bagaimana masyarakat Sumenep mengatasi konflik-konflik tersebut? Bagaimana perhatian dari para pemangku kepentingan untuk mengatasi konflik-konflik tersebut? Penelitian ini penting untuk dilakukan karena masih jarang studi yang menganalisi tentang

peran pemerintah daerah dalam pengembangan tradisi keris di Indonesia. Penelitian lain yang ditemukan pada umumnya hanya sebatas ulasan mengenai seluk beluk tentang keris, tetapi tidak membahas lebih lanjut mengenai peran pemerintah daerah dalam pengembangan tradisi keris. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengulas tentang bagaimana peran pemerintah daerah dalam pengembangan tradisi keris di Kabupaten Sumenep.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma fenomenologi interpretif. Pendekatan ini lebih menekankan keterlibatan peneliti secara langsung dan mendalam terhadap kasus yang menjadi objek studinya agar bisa menemukan makna yang terdalam dari suatu fenomena. Peneliti bersama subyek dan obyek penelitian membangun sebuah realita dan pencarian kebenaran secara alami.

Terdapat prosedur penting dalam melaksanakan studi fenomenologi seperti yang diungkapkan oleh Creswell dan Moustakas (Hasbiansyah, 2008: 171) sebagai berikut:

1. Menetapkan lingkup fenomena yang akan diteliti: Peneliti berusaha memahami perspektif filosofis dibalik pendekatan yang digunakan, terutama konsep mengenai kajian bagaimana orang mengalami sebuah fenomena. Peneliti menetapkan fenomena yang hendak dikaji melalui para informan. 2. Menyusun daftar pertanyaan: Peneliti

menuliskan pertanyaan penelitian yang mengungkap makna pengalaman bagi para individu, serta menanyakan kepada mereka untuk menguraikan pengalaman penting setiap harinya.

3. Pengumpulan data: Peneliti mengumpulkan data dari individu yang mengalami

fenomena yang diteliti. Data diperoleh melalui wawancara yang cukup lama dan mendalam. Teknik pengumpulan data lain yang dapat digunakan adalah observasi dan penelusuran dokumen.

4. Analisis data: Peneliti melakukan analisis data fenomenologis. Pemilihan studi fenomenologi memberikan kemungkinan peneliti untuk melakukan analisi data dengan Interpretative phenomenology

(4)

analysis (IPA). Dalam pengunaan IPA penelitian mengikuti alur analsis mulai dari: (a) Reading and re-reading; (b) Initial noting; (c) Developing Emergent themes; (d)

Searching for connections across emergent themes; (e) Moving the next cases; sampai pada (f) Looking for patterns across cases.

5. Peneliti melaporkan hasil penelitiannya. Laporan ini memberikan pemahaman yang lebih baik kepada pembaca tentang bagaimana seseorang mengalami sesuatu fenomena. Laporan penelitian menunjukkan adanya kesatuan makna tunggal dari pengalaman, di mana seluruh pengalaman itu memiliki “struktur” yang penting.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Dalam pengambilan data tersebut, peneliti melakukan wawancara secara langsung dengan narasumber yang berdomisili di Sumenep, Surabaya, dan Jakarta. Peneliti melakukan observasi dengan mendatangi sentra industri keris Indonesia di Sumenep, yaitu di Kecamatan Saronggi, Lenteng, dan Bluto. Analisis dokumen juga dilakukan dalam penelitian ini. Peneliti menganalisis catatan atau dokumen tertulis yang dimiliki narasumber. Hasil analisis ini dapat digunakan sebagai verifikasi dan melengkapi hasil yang diperoleh melalui wawancara dan observasi. Berbagai penggabungan metode perolehan data di atas ditujukan sebagai implementasi triangulasi untuk menjaga validitas data. Selanjutnya, data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan pendekatan

Interpretative Phenomenological Analysis. Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini kurang lebih sekitar 2 bulan, yaitu dari tanggal 15 Maret 2019 hingga 12 Mei 2019.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perkembangan Tradisi Pembuatan Keris di Sumenep

Tradisi pembuatan keris di Sumenep sudah berkembang sejak zaman kuno, yaitu pada era Majapahit (Mu’in, 1995: 9). Pembuatan keris kemudian berkembang pesat masa pemerintahan Pangeran Joko Tole pada abad XIV. Empu keris yang terkenal pada masa ini adalah Empu Keleng. Zaman keempuan atau penciptaan keris

pusaka di Sumenep berakhir pada tahun 1889 dengan Adipati Prawirodiningrat sebagai empu keris terakhir. Setelah itu vakum lama hingga muncul kembali setelah zaman kemerdekaan, yaitu pada tahun 1960-an dengan terciptanya keris-keris baru yang kemudian disebut sebagai keris kamardikan.1

Era pembuatan keris kamardikan di Sumenep di mulai pada tahun 1960-an. Salah satu empu keris Sumenep yang terkenal pada saat itu adalah Bapak Murka’. Sejak tahun 1960-an, Bapak Murka’ telah menekuni dunia pakerisan. Pada saat itu, permintaan pasar luar negeri terhadap keris, khususnya keris-keris kuno cukup banyak. Selain itu harga jualnya juga mahal. Oleh karena itu, pada saat itu ia sering menerima reparasi atau memperbaiki keris-keris kuno. Selanjutnya, pada tahun 1980-an hingga 1990-an, pembuatan keris kamardikan di Sumenep mulai mengalami perkembangan yang pesat. Hampir satu Dusun Ambaan di Desa Aeng Baja Raja mayoritas bekerja sebagai seni ukir dan keris.2

Berkembangnya tradisi pembuatan keris tersebut disebabkan oleh adanya permintaan keris, baik di pasar domestik maupun luar negeri. Kondisi ini kemudian menjadi peluang bagi empu dan perajin keris untuk terus berkarya membuat keris. Dalam perkembangnya, jumlah perajin keris di Sumenep semakin banyak. Sekarang ini jumlah perajin keris di Sumenep mencapai 652 orang yang terdiri atas, perajin bilah keris,

warangka, pande, dan landeyan (handle). Oleh karena itu, beberapa kecamatan di Kabupaten Sumenep, seperti Saronggi, Lenteng, dan Bluto telah berkembang menjadi sentral pembuatan keris. Mengenai jumlah perajin keris di setiap sentra industri keris bisa dilihat pada tabel 1 berikut.

1 Wawancara dengan Abdurrahman (Gus Mang) di Sumenep, tanggal 15 Maret 2019.

2 Wawancara dengan Ahmad Ruji (Kepala Desa Aeng Bajaraja) di Desa Aeng Baja Raja, tanggal 15 Maret 2019.

(5)

Tabel 1 Sentra Industri Keris di Sumenep

Kecamatan Desa Spealisasi Jumlah

Bluto Aeng Baja Raja Keris dan Warangka 101

Palongan Keris dan Warangka 217 Aeng Baja Kenek Keris dan Warangka 4 Aeng Dake Keris dan Warangka 5

Masaran Keris dan Warangka 4

Gingging Keris 4

Karang Cempaka Keris dan Warangka 14 Sera Timur Keris dan Warangka 10

Saronggi Aeng Tong Tong Keris dan Warangka 209

Saronggi Keris 3

Juluk Keris dan Warangka 10

Talang Keris dan Warangka 30

Lenteng Pore Keris dan Warangka 13

Lenteng Barat Pande Keris 28

Total 652

Berdasarkan tabel 1 tersebut, diketahui bahwa pusat pembuatan keris terbanyak berada di Desa Palongan, Aeng Tong Tong, dan Aeng Baja Raja. Kemudian untuk memudahkan berkomunikasi, para perajin membentuk paguyuban-paguyuban keris. Beberapa paguyuban keris yang terkenal di Sumenep antara lain, Mega Remeng, Kraton, Pakem, Gapensaka, dan Kopensaka. Di bawah naungan organisasi-organisasi tersebut para perajin keris sering mengadakan pertemuan pada hari-hari tertentu untuk membahas beragam permasalahan dalam dunia pakerisan. Pertemuan-pertemuan ini biasanya juga dimanfaatkan sebagai ajang bazar (jual-beli) atas produk-produk keris yang dihasilkan oleh para anggotanya.

Secara garis besar, keris-keris yang diproduksi oleh para empu dan perajin keris Sumenep dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu keris kodhen, keris alusan, dan keris pusaka. Keris kodhen adalah keris dengan kualitas kelas bawah, karena dalam pembuatannya tidak menggunakan teknik tempa yang rumit. Oleh karena itu bentuknya terlihat sangat sederhana dan terkesan asal jadi. Keris ini biasanya dijual sebagai souvenir dan banyak dijumpai di toko oleh-oleh suatu kawasan wisata. Dalam sebulan seorang perajin dapat membuat keris kodhen

sebanyak 15 hingga 20 bilah keris. Harga keris

kodhen sekitar Rp 150.000-Rp 350.000

Sementara itu, keris alusan harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan keris kodhen. Keris alusan memiliki penampilan yang lebih bagus, dengan menonjolkan keindahan bentuk bilah dan seni pamor. Keris ini dibuat dengan menggunakan teknik tempa logam yang rumit. Akan tetapi, tidak dilengkapi dengan ritual tradisi, sehingga dianggap tidak memiliki daya magis atau kekuatan spiritual. Dalam sebulan seorang empu atau perajin hanya mampu menghasilkan 3 sampai 5 bilah keris alusan. Keris ini banyak difungsikan sebagai pelengkap busana adat, peristiwa adat, dan benda koleksi. Harga keris

alusan sekitar Rp 750.000-Rp 10.000.000. Dibandingkan dengan kedua keris sebelumnya, keris pusaka merupakan keris dengan kualitas dan harga yang paling tinggi. Keris ini dibuat oleh seorang empu dengan menggunakan upacara-upacara khusus, sehingga keris ini dianggap memiliki tuah atau daya magis. Biasanya keris model ini dipesan oleh seseorang untuk keperluan tertentu, seperti menambah kewibawaan, memudahkan rejeki atau juga untuk penolak bala. Keris pusaka dibuat dengan menggunakan teknik tempa logam dan pamor yang rumit. Oleh karena itu, keris pusaka juga memiliki nilai seni yang tinggi. Dalam setahun seorang empu keris hanya dapat membuat 1

(6)

sampai 5 buah keris pusaka. Harga keris pusaka sekitar Rp 30.000.000-60.000.000.

Sebagai sentral pembuatan keris, Sumenep telah menjadi tempat kulakan para bakul (pedagang) keris dari berbagai daerah. Keris-keris buatan Sumenep ini kemudian didistribusikan ke pasar-pasar keris di Jawa. Misalnya pasar-pasar keris di Alun-alun Utara dan Pasar Triwindu (Surakarta), Pasar Rawabening (Jakarta), Pasar Beringharjo (Yogyakarta), Pasar Johar (Semarang), dan Pasar Turi (Surabaya) (Arifin, 2006: 44). Menurut para bakul, keris buatan Sumenep memiliki nilai ekonomi yang bagus. Selain mutu garapan yang bagus, biaya produksinya juga murah. Oleh karena itu, harga jualnya lebih terjangkau dibandingkan keris produksi dari daerah lain. Dengan keunggulan komperatif tersebut, keris-keris buatan Sumenep bisa masuk ke semua jaringan perdagangan keris, baik yang ada di Jawa maupun ke luar negeri.

Hingga sekarang peluang pasar keris yang terbesar masih didominasi oleh pasar dalam negeri sebesar 92,3%, sedangkan untuk pasar luar negeri hanya mampu menembus 7,7%. Negara-negara yang sudah menjadi pasar keris Indonesia antara lain Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Amerika, Eropa (Jerman, Belanda, Rusia, dan Inggris) dan negara Asia Timur (Cina dan Jepang). Untuk pasar Malaysia sendiri setiap bulan hampir 2000 bilah keris atau 100 kodi. Produk yang diekspor ke Malaysia digunakan untuk keperluan adat, ritual, upacara resmi, dan souvenir. Keris-keris tersebut dipesan melalui dua cara, yaitu langsung perajinnya atau melalui jasa pedagang pengepul. Dalam hal kualitas, produk yang di ekspor bergantung ke Malaysia sebagian besar adalah jenis keris kelas menengah ke bawah (keris alusan dan kodhen) (Sudrajat, 2019: 45).

2. Kendala Pemajuan Budaya dan Tradisi Keris di Sumenep

Perkembangan ekonomi dan tradisi keris di Sumenep dalam perjalanannya mengalami pasang surut. Pada tahun 1980 hingga 1990-an tradisi pembuatan keris sempat mengalami masa kejayaannya. Pada waktu itu permintaan pasar atas keris sangat tinggi. Keris-keris hasil karya para empu dan perajin Sumenep banyak yang diekspor ke luar negeri, terutama ke Malaysia dan Brunei Darussalam. Selanjutnya, pada tahun

2004 s.d. 2010 dunia perkerisan di Sumenep sempat vacuum dan meredup. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut;

a.

Konflik Perajin dan Bakul

Meskipun secara padat karya, jumlah empu dan perajin keris di Sumenep cukup banyak, tetapi sebagian besar dari mereka kesejahteraannya masih kurang. Hal ini disebabkan tidak adanya managemen keuangan yang bagus dari para perajin keris. Sebagai pihak produsen, para perajin keris kurang menguasai informasi tentang kondisi pasar perkerisan. Mereka hanya fokus membuat keris, tetapi kesulitan untuk menjual hasil produknya. Akhirnya, kondisi ini banyak dimanfaatkan para bakul keris yang berperan sebagai tengkulak. Para bakul membeli keris dari perajin dengan harga murah kemudian dijualnya ke konsumen dengan harga yang mahal, sehingga memperoleh keuntungan yang besar.

Selain itu, para bakul juga menerapkan sistem jual beli yang tidak sehat dan merugikan para perajin. Misalnya, saat membeli keris dari perajin,

bakul biasanya cuma membayar ½ (setengah) dulu dari harga keseluruhan, terus sisanya akan dilunasi bila keris pesanan selanjutnya sudah diselesaikan. Begitu keris kedua sudah selesai dibuat, maka bakul akan membayar sisa hutang dari keris pertama dan membayar keris pesanan kedua dengan ½ (setengah) harga dulu dari harga sebenarnya atau kadang malah keris keduanya dihutang secara keseluruhan. Dengan

sistem ini bakul akan mempunyai keuntungan sebagai berikut:

1) Dengan modal yang sedikit bakul bisa memiliki barang dagangan yang banyak.

2) Bakul bisa membuat para perajin loyal kepadanya

3) Bakul memiliki kekuasaan yang lebih dalam menentukan harga.

Sedang dengan sistem ini para perajin akan merasa dirugikan karena:

1) Perajin hanya bisa mendapatkan uang yang digunakan untuk modal membuat keris saja 2) Perajin tidak bisa menikmati keuntungan

dari keris yang dibuatnya 3) Kesejahteraan perajin kurang

(7)

tersebut telah membuat kesejahteraan antara para perajin dan bakul sangat berbeda. Sebagai pihak yang mengendalikan penjualan, para

bakul memperoleh kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan para perajin keris. Hal ini sering menyebabkan gesekan sosial atau konflik antara perajin dan bakul. Bahkan, menurut Fathorrahman pada tahun 2007 dan 2008 sempat terjadi konflik.3 Konflik ini terjadi karena

ketidakterbukaan informasi. Sebagai pihak yang mengetahui kondisi pasar, para bakul cenderung pelit berbagi informasi. Mereka juga sering menghalangi para perajin untuk ikut lomba dan pameran. Hal ini dilakukan agar para perajin tidak membangun networking dengan pihak luar. Sebisa mungkin, para bakul mencoba membuat para perajin sebagai pihak yang buta terhadap informasi dunia luar, khusus dalam bidang pasar perkerisan. Dengan demikian, para bakul akan bisa memonopoli dan mengendalikan harga keris di tingkat perajin. Kondisi ini sangat merugikan pihak perajin. Sebagian besar dari mereka belum memiliki kehidupan yang layak. Akibatnya, sebagian dari perajin kembali menekuni mata pencaharian lama, seperti bertani dan beternak. Oleh karena itu, pada tahun 2004 hingga 2010 dunia pakerisan di Sumenep sempat vacuum

dan meredup.

b.

Konflik Bakul dan Aparat

Selain berkonflik dengan perajin, para bakul

juga terlibat konflik dengan aparat kepolisian. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pemahaman, mengenai keris sebagai senjata tajam atau pusaka. Secara logis, seharusnya keris termasuk dalam senjata tajam, tetapi biasanya keris dianggap sebagai barang keramat yang mempunyai kekuatan magis. Hal sudah dijelaskan dalam usulan tim perkerisan Indonesia untuk UNESCO sebagai berikut:

The kris or keris is a distinctive, asymmetrical dagger from Indonesia. Both weapon and spiritual object, the kris is considered to possess magical powers. The earliest known kris go back to the tenth century and most probably spread from the island of Java throughout South-East Asia.

Kris were worn everyday and at special ceremonies, and heirloom blades are handed down through successive generations. Both men and women wear 3 Wawancara dengan Fathorrahman di Desa

Palongan, tanggal 16 Maret 2019.

them. A rich spirituality and mythology developed around this dagger. Kris are used for display, as talismans with magical powers, weapons, sanctified heirlooms, auxiliary equipment for court soldiers, accessories for ceremonial dress, an indicator of social status, a symbol of heroism, etc.4

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa keris adalah belati yang bentuknya tidak simetris. Keris biasanya digunakan sebagai pajangan, barang keramat yang memiliki kekuatan mistis, sebagai senjata, aksesori untuk upacara adat, dan penanda status sosial. Dengan demikian, keris dapat dianggap sebagai barang pusaka yang mempunyai kekuatan magis. Oleh karena itu, keris dikecualikan dari larangan tidak boleh membawa senjata tajam. Membawa senjata tajam berupa barang pusaka pun tidak memerlukan izin dari kepolisian. Akan tetapi, pada praktiknya dalam beberapa kasus orang membawa keris tanpa izin dihukum pidana penjara. Hal ini diungkapkan oleh Fathorrahman sebagai berikut.

Ada teman punya sisa hasil yang nggak laku dijual, terpaksa yang satu dibawa pulang, tetapi sampai di ujung kebetulan ada razia, ditahan. Namun, saya tanyain sama teman saya itu, kamu bisa ditahan bisa sampai satu bulan?. Nggak alhamdulilah cuma 29 hari katanya, nggak sampai satu bulan.5

Seharusnya kasus tersebut bisa dihindari, apabila kedua belah pihak saling memahami permasalahannya. Mengenai larangan membawa senjata tajam, negara Indonesia sudah secara jelas mengaturnya dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan senjata tajam adalah senjata penikam, senjata penusuk, dan senjata pemukul, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk pertanian, atau untuk pekerjaan rumah tangga, atau untuk kepentingan melakukan pekerjaan yang sah, atau nyata untuk tujuan barang pusaka, atau barang kuno, atau barang ajaib (merkwaardigheid). Dengan demikian, bila merujuk pada pengertian keris sebagai benda pusaka atau benda keramat yang dianggap memiliki kekuatan magis, maka sudah jelas bahwa keris dikecualikan dari pengaturan

4 Unesco. https://www.www.unesco.org diunduh 7 Juni 2020

5 Wawancara dengan Fathorrahman, Desa Palongan, tanggal 16 Maret 2019

(8)

dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Oleh karena itu, para bakul bebas membawa barang dagangan berupa keris dan tidak perlu izin dari pihak kepolisian.

Akan tetapi, karena kekurangpahaman para

bakul terhadap Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, maka mereka sering menjadi korban pemerasan oknum aparat. Kondisi ini juga menjadi kendala bagi perkembangan industri keris di Sumenep. Para bakul merasa

takut dan was-was apabila harus membawa keris untuk dipasarkan ke luar Kota Sumenep, seperti yang diungkapkan oleh Haji Hosdi dan Sanamo sebagai berikut.

Yang paling-paling saya takutin itu, kan masalah razia. Itu yang nggak bisa dilindungi sama pemerintah, pemerintah sini maupun kepolisian Republik Indonesia. Inikan bukan senjata tajam, ini keris, ini benda pusaka.

Siapa yang bilang bukan senjata tajam, ditusukin digini (sambil memegang lengan) sama polisi. Ya kalau ditusukin begini pak, walau lidi masuk pak, kataku.6

Kalau jual keris itu, ada yang beli dibungkus sama payung dimasukkan dalam payung diikat gini, dibungkus dibawa. Kenapa? Iya karena takut, takut kena razia.

Keris selalu dimasukkan ke sajam (senjata tajam) sama petugas.

Padahal buat bunuh orang bukan hanya keris, bambu aja kalau diruncingin bisa buat bunuh orang.7

Dengan ketiadan perlindungan hukum terhadap para bakul keris membuat arus perdagangan keris menjadi sepi dan tidak berkembang. Para

bakul enggan memperluas pasar karena takut terkena sanksi hukum.

c.

Kasus Keris Prosesan

Dalam pasar pakerisan terkadang ada beberapa ulah oknum perajin atau pedagang yang membuat pembeli kehilangan minat terhadap keris. Hal ini terkait dengan manipulasi produk keris yang ditawarkan kepada pembeli. Keris hasil manipulasi tersebut biasanya dikenal dengan nama keris prosesan. Keris ini bila diamati

6 Wawancara dengan Haji Hosdi: Desa Aeng Tong Tong, tanggal 16 Maret 2019

7 Wawancara dengan Sanamo, Desa Palongan, tanggal 16 Maret 2019

di bagian bilahnya terasa ada perubahan-perubahan yang dikerjakan secara halus. Hal itu dapat dilihat dari keadaan dan warna besi permukaan bilah, yang pada bagian tertentu terasa agak berbeda dengan bagian permukaan lainnya. Selain itu, juga dijumpai perubahan pada bagian ricikan yang pengerjaannya terlihat agak kasar. Hal ini merupakan usaha dari beberapa oknum yang melakukan manipulasi produk dengan maksud untuk meningkatkan daya tarik pembeli dan harga jual keris.

Praktik keris prosesan tersebut bagi beberapa pedagang dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan absah. Hal itu didasarkan atas alasan bahwa apa yang dikerjakan tidak lain akan dapat menambah keindahan atau bobot tampilan keris sebagai barang seni. Selain itu juga meningkatkan daya tarik pembeli, serta akan dapat meningkatkan harga jual. Sementara para penggemar keris pada umumnya, menilai

keris prosesan demikian sudah dianggap sebagai suatu barang yang telah cacat. Oleh karena itu, tidak layak untuk diperjualbelikan.

Pada umumnya terdapat beberapa kiat dari para pedagang keris untuk melakukan perubahan pada tampilan bilah keris, di antaranya sebagai berikut:

1) Merubah tampilan ricikan tertentu pada bilah keris, seperti mengubah bentuk

kembang kacang biasa menjadi kembang kacang bungkem, mempertajam cekungan pada ron dan dha.

2) Menambah ricikan tertentu pada bilah keris, misalnya memberikan sogokan baru, penambahan greneng pada bagian belakang

ganja, penambahan pethit pada bentuk relief naga.

3) Menambah atau merubah pamor dengan tampilan yang baru, yang biasanya menggunakan cairan berwarna keperakan yang terbuat dari bahan yang diperoleh dari hasil pemanasan terhadap velg sepeda. 4) Mengubah tampilan keris (muda) menjadi

lebih tua, yakni dengan memberi olesan pada bagian permukaan bilah keris dengan ramuan tertentu, yang terbuat dari campuran bubuk belerang, garam dapur, bubukan batu bata, dan kadang ditambah air jeruk nipis. Permukaan bilah tersebut jika diolesi dalam jangka waktu tertentu akan terkikis dan jika terlalu lama akan habis.

(9)

Usaha ini dianggap mampu memberikan tampilan keris baru menjadi lebih tua. 5) Melakukan pengikiran terhadap bilah keris.

Biasanya dilakukan untuk bagian pucukan, agar tampilan keris terlihat lebih baik. Bagian pinggiran bilah keris yang tajam, yang keadaannya terkikis dirapikan kembali dengan cara dikikir. Selain itu, bilah keris juga bisa menjadi lebih pendek.

6) Membuat keris lebih bagus dengan cara

kinatah dengan menambahkan logam emas, perak atau krum emas pada bagian ganja,

gandhik, dan bagian keris di sor-soran. Secara etika beberapa tindakan tersebut masih dianggap wajar, selama usaha tersebut bertujuan untuk memperbaiki penampilan keris menjadi lebih bagus dan indah. Akan tetapi apabila usaha tersebut bertujuan untuk menipu pembeli, seperti merubah penampilan keris baru menjadi terlihat seperti keris kuno, sehingga bisa dijual mahal, maka hal ini sudah menjadi sebuah tindakan negatif. Tindakan seperti ini pada akhirnya akan merusak pasar keris. Kepercayaan publik terhadap keberadaan keris yang berkualitas melemah. Oleh karena itu, permintaan pasar terhadap keris menjadi turun. Dengan beragam permasalahan yang ada tersebut, maka tradisi pembuatan keris di Sumenep memerlukan banyak perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan revitalisasi terhadap tradisi pakerisan di Sumenep.

3. Kegiatan Revitalisasi Budaya Pakerisan di Sumenep

Menurut Robert Sibarani (2012) revitalisasi budaya adalah proses dan usaha memvitalkan budaya dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk membuat budaya menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, revitalisasi budaya juga dapat didefinisikan sebagai kegiatan memvitalkan kembali budaya yang mengalami degradasi atau penurunan dengan melakukan pemeliharaan serta penumbuh kembangan pada budaya tersebut.

Terkait revitalisasi budaya pakerisan di Sumenep, sejak tahun 2007 telah ada beberapa pihak (empu, perajin, dan bakul) yang berjuang untuk membuat perubahan yang lebih baik. Mereka

antara lain Bapak Fathorrahman, Hosdi, Abunali, Yogi, dan Mat Raji. Secara garis besar revitalisasi budaya pakerisan di Sumenep menitikberatkan pada dua hal. Pertama pengelolaan managemen terhadap industri kerajinan keris yang sudah ada agar menjadi lebih baik. Kedua menghidupkan kembali peran keris dalam upacara-upacara adat di masyarakat. Dengan tindakan ini diharapkan tradisi keris di Sumenep tetap hidup, meskipun keris sudah berkembang menjadi industri kerajinan.

Dalam pelaksanaan revitalisasi tersebut peran dari empu dan perajin keris sangat penting. Mereka merupakan individu-individu kreatif yang menjadi motor dalam revitalisasi tradisi perkerisan di Sumenep. Empu dan perajin keris adalah kalangan yang terlibat langsung baik sebagai subjek (pelaku) maupun sebagai objek (sasaran). Sebagai pelaku revitalisasi para empu dan perajin memberikan beragam ide dan tindakan untuk mengembangkan tradisi perkerisan di Sumenep menjadi lebih baik. Sedangkan sebagai objek, para empu dan perajin sangat terbuka terhadap ide-ide segar yang dibawa revitalisasi budaya.

Meskipun sebagai sesama individu kreatif yang membuat keris, sebenarnya secara spesifik antara empu dan perajin keris memiliki peran yang berbeda. Hal ini sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. Secara umum, seorang empu keris memiliki skill atau keterampilan yang lebih tinggi dibanding perajin keris. Dalam membuat keris pusaka, selain harus menguasai keterampilan membuat pamor dan pengetahuan terhadap bahan besi yang digunakan, seorang empu juga harus bisa melakukan ritual atau “laku” agar keris yang dihasilkan memiliki nilai keindahan dan khasiat yang diinginkan. Sementara itu, perajin keris adalah orang-orang yang membuat keris secara masal. Keris-keris yang dibuat oleh perajin biasanya dikategorikan sebagai keris kodhen

dan keris alusan. Keris ini memiliki nilai seni dan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan keris pusaka. Namun demikian, perajin memiliki ide dan keberanian untuk menciptakan keris-keris baru yang mendobrak pakem perkerisan.

Berdasarkan hal tersebut, empu keris dianggap sebagai orang yang memiliki kematangan terhadap tradisi pakerisan. Oleh karena itu, dalam revitalisasi budaya, mereka banyak memberikan ide-ide bijak terkait bagaimana seharusnya tradisi perkerisan bisa terus dilestarikan di

(10)

zaman yang terus berubah. Selanjutnya, ide-ide tersebut diserap dan dikembangkan oleh perajin untuk bisa diaplikasikan dalam revitalisasi budaya.

Salah satu wujud nyata dari pelaksanaan revitalisasi budaya pakerisan di Sumenep adalah pembentukan organisasi-organisasi keris sebagai wadah berkumpulnya para empu, perajin, dan pedagang keris. Di Sumenep sendiri saat ini terdapat 5 (lima) organisasi keris, yaitu Gapensaka (Paguyuban Pencinta Pusaka), Kopensaka (Komunitas Pencinta Pusaka), IPKI (Ikatan Perajin Keris Indonesia) Mega Remeng, Paguyuban Keraton Sumenep, dan Pakem (Paguyuban Keris Madura). Kelima organisasi keris tersebut juga telah berada di bawah naungan Sekretaris Jenderal Serikat Nasional Pelestari Tosan Aji Nusantara (Senapati Nusantara), selaku induk organisasi bagi seluruh pelestari tosan aji (termasuk keris) se-Indonesia.

Keberadaan organisasi-organisasi keris tersebut mampu meminimalisir tindakan-tindakan negatif yang dilakukan oleh para pelaku dunia pakerisan, seperti pembuatan keris prosesan dan tindakan kesewena-wenaan para bakul keris. Hal ini terjadi karena, organisasi-organisasi keris dapat difungsikan sebagai lembaga pengawas dan koperasi. Sebagai lembaga pengawas, organisasi keris berperan untuk memantau perkembangan dunia pakerisan, termasuk segala aktivitas negatif yang dapat merugikan dunia pakerisan. Sementara sebagai koperasi dapat memberikan bantuan modal ataupun peralatan kepada anggotanya (perajin keris) untuk bisa berkarya membuat keris. Termasuk juga ikut menyalurkan atau mendistribusikan keris-keris hasil karya perajin dengan memperkenalkan sistem jual beli yang unik. Dimana dalam jual beli keris, perajin tidak bisa langsung memperoleh uang dari bakul

atau pembeli, tetapi dia memperoleh uang

cash dari organisasi. Sementara itu pihak bakul

nantinya harus membayar utang dari organisasi yang sudah menghandle pembayaran pembelian keris dari perajin. Pembayaran ini harus diangsur selama 4 kali dengan bunga 10% yang sudah disepakati bersama-sama. Keuntungan 10% dari jual beli ini nantinya akan masuk menjadi kas organisasi. Sistem ini hanya berlaku untuk sesama anggota, tetapi bila yang membeli berasal dari luar anggota, maka masing-masing orang baik pembeli atau bakul akan dikenakan potongan 5% untuk kas organisasi. Dengan

peran organisasi-organisasi keris tersebut, penjualan keris tidak lagi dimonopoli oleh bakul. Oleh karena itu, cara-cara kotor yang pernah digunakan bakul keris bisa tereduksi.

Program lain yang tidak kalah penting dalam revitalisasi budaya pakerisan di Sumenep adalah pembagian kerja atau spesialisasi kerja dan penggunaan peralatan modern. Setiap orang hanya menangani satu proses atau tahapan dalam pembuatan keris. Dengan demikian ada pihak yang khusus menangani proses penempaan dan pelipatan bahan logam untuk keris, ada yang khusus menangani proses pembentukan bilah keris, ada yang khusus menangani pembuatan warangka keris, dan ada juga yang khusus menangani pembuatan

jejeran atau pegangan keris. Dengan cara ini, maka proses pembuatan keris bisa diselesaikan lebih cepat. Sementara itu, modernisasi peralatan diperlukan untuk mempermudah dan mempercepat pengerjaan pembuatan keris. Dengan menggunakan peralatan modern, maka produktivitas pembuatan keris semakin meningkat. Selain itu, keris-keris yang dihasilkan oleh empu dan perajin Sumenep memiliki biaya produksi yang murah. Hal ini merupakan keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh para perajin keris dari daerah lain di Indonesia. Keunggulan ini telah membuat industri kerajinan keris di Sumenep bisa berkembang pesat dan mampu memenuhi perminataan pasar.

Di sisi lain, untuk bisa menghidupkan kembali peran keris dalam kegiatan-kegiatan adat masyarakat, para empu dan perajin yang tergabung dalam berbagai organisasi perkerisan, sering menyelenggarakan berbagai event pameran dan seminar keris tingkat daerah, nasional, dan internasional. Selain itu, mereka juga menyelenggarakan event-event budaya seperti jamasan pusaka, kirap pusaka, dan Festival Keraton dan Masyarakat Adat se-Asean (FKMA). Agar keris bisa semakin diterima oleh masyarakat luas, para empu dan perajin keris meminta dukungan dan legitimasi dari kalangan ulama atau kyai. Para kyai memiliki peranan penting untuk membantu memberikan sosialisasi kepada masyarakat, bahwa budaya pakerisan bukan merupakan budaya syirik, melainkan budaya warisan leluhur yang harus dilestarikan. Dengan adanya legitimasi ini, budaya perkerisan di Sumenep diharapkan bisa semakin berkembang.

(11)

4. Peran Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Tradisi Keris di Sumenep

Revitalisasi budaya pakerisan Sumenep yang dilakukan sejak tahun 2007 telah memperlihatkan beberapa hasil yang positif. Faktor lingkungan dan masyarakat sangat berpengaruh pada proses regenerasi perajin keris atau pewarisan keterampilan membuat keris di Sumenep. Kondisi ekologi yang kurang subur, membuat sebagian dari masyarakat Sumenep, khususnya yang berada di sentra industri keris berprofesi sebagai perajin keris. Bagi mereka membuat dan memasarkan keris dianggap jauh lebih mudah daripada bertani. Hal ini dikuatkan dengan semakin banyaknya anggota masyarakat yang sukses dari usaha keris. Mereka bisa berhaji, membuat rumah, dan membeli mobil dari usaha keris. Melihat kondisi ekonomi dari orang-orang yang telah sukses tersebut, tentu membuat anggota masyarakat Sumenep lainnya termotivasi untuk menjadi perajin keris. Semakin berkembangnya budaya pembuatan keris di Sumenep, akhirnya mendorong berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah untuk bersama-sama mengukuhkan Sumenep sebagai kota keris Indonesia, serta membangun museum keris di Sumenep.

a. Sumenep Kota Keris Indonesia

Pengukuhan Sumenep sebagai kota keris Indonesia merupakan pencapaian besar dalam perjuangan revitalisasi budaya perkerisan di Sumenep. Langkah pertama yang dilakukan adalah peresmian monumen keris yang dibangun di perempatan Pandian, Kelurahan Karangduak. Monumen ini berfungsi sebagai simbol atau ikon yang melambangkan bahwa Sumenep adalah kota keris. Monumen keris ini diresmikan pada tanggal 9 November 2014 oleh Bupati Sumenep A. Busyro Karim. Peresmian monument ini juga bertepatan dengan peringatan hari jadi Sumenep ke-745. Dipilihnya keris sebagai ikon baru Sumenep telah mempertegas bahwa keris mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi. Keris juga merupakan karya agung yang sudah diakui dunia.

Selanjutnya, pada tanggal 11 Agustus 2017 Sekretaris Jenderal Serikat Nasional Pelestari Tosan Aji Nusantara (Senapati Nusantara) Hasto Kristiyanto menyerahkan tiga kategori penghargaan terkait pelestarian sejarah Nusantara. Tiga penghargaan itu adalah Sumenep sebagai Kota Keris, Tokoh Keris,

dan Maestro Keris. Hasto menyerahkan penghargaan Kota Keris itu kepada Bupati Sumenep A. Busyro Karim, lalu penghargaan Tokoh Keris kepada Achmad Fauzi, serta Mukaddam selaku Maestro Keris. Senapati Nusantara menjadi induk paguyuban bagi seluruh pelestari tosan aji (termasuk keris) se-Indonesia. Senapati Nusantara membawahi 80 paguyuban keris se-Indonesia. Dari jumlah tersebut, lima paguyuban berasal dari Sumenep. Yakni, Gapensaka (Paguyuban Pencinta Pusaka), Kopensaka (Komunitas Pencinta Pusaka), IPKI (Ikatan Perajin Keris Indonesia) Mega Remeng, Paguyuban Keraton Sumenep, dan Pakem (Paguyuban Keris Madura).

Penghargaan dari Senapati Nusantara tersebut dimaksudkan untuk mengapresiasi para pegiat keris di Sumenep. Tujuannya, agar terus mengembangkan keris sebagai salah satu warisan budaya. Penghargaan diberikan di pendopo keraton Sumenep, Madura. Tampak hadir dalam acara tersebut Bupati Sumenep A. Busyro Karim, Wakil Bupati Sumenep Achmad Fauzi, anggota DPR daerah pemilihan Madura Said Abdullah, serta para kolektor dan pelestari keris dari berbagai daerah. Selain penghargaan,

Senapati Nusantara Award juga diramaikan pameran pusaka. Pameran tersebut diikuti 222 paguyuban keris, tosan aji se-Indonesia, dan 11 paguyuban keris di Kabupaten Sumenep.

Selang setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 17 Maret 2018 Bupati Sumenep A. Busyro Karim menetapkan Desa Aeng Tong Tong sebagai desa keris pertama di Kabupaten Sumenep. Penetapan ini ditandai dengan penyerahan Surat Keputusan (SK) Pedoman Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dari Bupati. Desa Aeng Tong Tong memiliki 209 perajin keris, yang terdiri atas perajin bilah keris dan perajin warangka keris. Beberapa maestro keris yang terkenal di Sumenep, seperti Empu Murka’, Empu Mujaksin, Empu Samad, dan Empu Mukaddam juga berasal dari Desa Aeng Tong Tong. Penetapan Desa Aeng Tong Tong sebagai desa keris dimaksudkan bisa memotivasi masyarakat dalam pelestarian dan mengembangkan keris. Terkait hal tersebut, Sanamo selaku kordinator empu dan perajin keris Desa Aeng Tong Tong siap bersinergi dengan pemerintah, dalam pengembangan Desa Aeng Tong Tong sebagai destinasi wisata keris di

(12)

Kabupaten Sumenep.8

Keberadaan branding desa keris dan infrastruktur yang baik, tentunya akan menarik banyak wisatawan untuk berkunjung ke Desa Aeng Tong Tong. Dalam beberapa tahun terakhir, Desa Aeng Tong Tong telah menjadi pusat perhatian nasional. Dengan segala keunikan budaya dan keindahan alamnya berhasil menarik pejabat pusat berkunjung ke Desa Aeng Tong Tong. Misalnya, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, menteri, pejabat tinggi Republik Indonesia, dan Presiden Joko Widodo. Perhatian ini dimaksudkan juga untuk bisa menarik lebih banyak wisatawan berkunjung ke Desa Aeng Tong Tong. Dengan semakin banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Desa Aeng Tong Tong, secara ekonomi juga akan berimbas positif pada desa-desa sekitarnya, seperti Desa Palongan, Talang, dan Aeng Baja Raja.

Dengan penetapan dan penghargaan sebagai Kota Keris Indonesia, Sumenep telah menunjukan identitasnya sebagai sentra keris di Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Sumenep memiliki empu dan perajin keris terbesar di Indonesia. Sampai saat ini jumlah perajin keris di Sumenep adalah 652 perajin, yang terdiri atas perajin bilah keris, warangka keris, dan pande

keris. Perajin ini tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Bluto, Saronggi, dan Lenteng. Ketiga kecamatan ini merupakan sentra industri keris di Sumenep. Dari sentra industri ini sekitar 6.000 keris diproduksi setiap bulannya. Keris hasil produksi tersebut kemudian dipasarkan hingga ke luar negeri, seperti ke Malaysia, Brunei Darussalam, dan beberapa negara di Eropa. Ikon Sumenep Kota Keris Indonesia, juga menjadi bagian dari upaya promosi wisata. Ikon kota keris ini bisa menjadi jalan untuk mempromosikan dunia wisata di Kabupaten Sumenep. Apalagi sejak 2005, PBB telah menetapkan keris sebagai warisan dunia. Oleh karena itu, kecintaan terhadap keris harus terus ditumbuhkan ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Selain itu, beragam apresiasi dan bantua pengembangan keris dari berbagai pihak sangat diperlukan di Sumenep. Hal ini dimaksudkan agar eksistensi keris sebagai pusaka asli Indonesia tetap terjaga.

8 Wawancara dengan Sanamo di Desa Aeng Tong Tong, tanggal 16 Maret 2019

.

b. Pembangunan Museum Keris di Sumenep Selain penetapan Sumenep sebagai Kota Keris Indonesia, pemerintah daerah juga berperan dalam pembangunan Museum Keris Sumenep. Museum ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 31 Oktober 2018. Acara ini digelar bersamaan dengan event Festival Keraton dan Masyarakat Adat se-Asean (FKMA). Museum tersebut menempati bekas Kantor Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga (Disparbudpora) Sumenep. Yakni di sebelah barat Labang Mesem (pintu gerbang) Keraton Sumenep. Alih fungsi bangunan ini disebabkan oleh penetapan sebagai cagar budaya. Sebagai bangunan cagar budaya, maka pihak Disparbudpora tidak dapat melakukan pengembangan bangunan, renovasi, dan perubahan. Oleh karena itu, bangunan tersebut diubah menjadi Museum Keris Sumenep.

Pembanguan museum keris ini dianggap penting demi memperkenalkan bawa Sumenep adalah salah satu kiblat perkerisan, yang merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang diakui dunia. Menurut Fathorrahman, dirinya sangat mengapresiasi langkah Pemerintah Kabupaten Sumenep yang telah berperan serta dalam melestarikan warisan budaya bangsa Indonesia, khususnya keris.9 Keberadaan sekitar 652

empu dan perajin keris, sangat penting bagi pengembangan budaya dan tradisi pakerisan serta wisata budaya di Sumenep.

Sekarang di Museum Keris Sumenep telah terpajang sekitar 300 keris karya para empu dan perajin Sumenep. Termasuk juga beberapa karya para maestro keris Sumenep, seperti Empu Murka’, Empu Mujaksin, Empu Samad, dan Empu Mukaddam. Oleh karena itu, keris-keris yang dipamerkan di Museum Keris Sumenep merupakan karya empu Sumenep yang bernilai. Baik keris yang berasal dari zaman dulu (keris kuno) ataupun keris-keris baru dari zaman sekarang (keris kamardikan). Selain itu pihak museum juga terbuka dan mempersilahkan kepada masyarakat, termasuk juga anggota keluarga Keraton Sumenep, jika ingin menyumbangkan atau menyajikan pusakanya di Museum Keris Sumenep.

Keberadaan Museum Keris Sumenep tersebut diharapkan mampu sebagai media pembelajaran

9 Wawancara dengan Fathorrahman di Desa Palongan, tanggal 16 Maret 2019.

(13)

dan pelestarian keris di masyarakat Sumenep. Dengan demikian, masyarakat bisa semakin banyak tertarik dengan karya-karya pusaka dan keris hasil para perajin Sumenep. Hal ini akan mampu menggerakkan ekonomi masyarakat perajin keris, sehingga kesejahteraan hidup dari para perajin keris Sumenep meningkat.

SIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN 1. Simpulan

Keris merupakan benda seni yang mempunyai sejarah panjang. Keberadaan pembuatan keris di Sumenep diperkirakan sudah berkembang sejak zaman Kerajaan Majapahit. Selanjutnya, tradisi ini terus berkembang hingga zaman modern saat ini. Keris-keris yang dibuat oleh para empu dan perajin keris Sumenep dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu keris kodhen, keris

alusan, dan keris pusaka. Keris kodhen adalah keris dengan kualitas kelas bawah, karena dalam pembuatannya tidak menggunakan teknik tempa yang rumit. Sementara itu, keris

alusan memiliki penampilan yang lebih bagus, dengan menonjolkan keindahan bentuk bilah dan seni pamor. Keris tersebut dibuat dengan menggunakan teknik tempa logam yang rumit. Keris pusaka adalah keris dengan kualitas dan harga yang paling tinggi. Keris ini dibuat oleh seorang empu dengan menggunakan upacara-upacara khusus, sehingga keris ini dianggap memiliki tuah atau daya magis. Keris pusaka dibuat dengan menggunakan teknik tempa logam dan pamor yang rumit. Oleh karena itu, keris pusaka juga memiliki nilai seni yang tinggi Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan pembuatan keris di Sumenep juga mengalami pasang surut. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut antara lain munculnya konflik sosial antara bakul

dan perajin, konflik bakul dan aparat, serta munculnya kasus keris prosesan. Beragam faktor tersebut sempat membuat kondisi pembuatan keris di Sumenep tidak stabil. Untuk mengatasi permasalah tersebut berbagai pihak yaitu tokoh perkerisan serta pemerintah daerah Sumenep mencoba melakukan revitalisasi budaya.

Revitalisasi budaya keris di Sumenep menitikberatkan pada perbaikan manajemen kerja dari para perajin dan menghidupkan kembali peran keris dalam masyarakat. Untuk itu beberapa tindakan yang dilakukan antara lain

mendirikan paguyuban atau organisasi pakerisan sebagai wadah berkumpulnya para empu, perajin, dan pedagang keris; mempopulerkan sistem pembagian kerja dan modernisasi peralatan untuk membuat keris; dan memperluas jaringan pemasaran. Di Sumenep saat ini telah terdapat lima organisasi keris, yaitu Gapensaka (Paguyuban Pencinta Pusaka), Kopensaka (Komunitas Pencinta Pusaka), IPKI (Ikatan Perajin Keris Indonesia) Mega Remeng, Paguyuban Keraton Sumenep, dan Pakem (Paguyuban Keris Madura). Kelima organisasi keris tersebut juga telah berada di bawah naungan Sekretaris Jenderal Serikat Nasional Pelestari Tosan Aji Nusantara (Senapati Nusantara), selaku induk organisasi bagi seluruh pelestari tosan aji

(termasuk keris) se-Indonesia. 2. Saran Kebijakan

Berkat peran berbagai pihak, program revitalisasi budaya pakerisan di Sumenep telah memperlihatkan hasil yang positif. Beberapa di antaranya adalah terjaminnya regenerasi empu dan perajin keris di Sumenep, pengakuan Sumenep sebagai Kota Keris Indonesia, dan pembangunan museum keris di Sumenep. Namun demikian, keberhasilan revitalisasi budaya keris di Sumenep sebaiknya juga diimbangi oleh peran pemerintah daerah dengan menetapkan semacam peraturan daerah (Perda), yang menjadi landasan hukum untuk mengatur tentang pemajuan budaya dan tradisi pembuatan keris di Sumenep. Dengan adanya landasan hukum yang jelas, maka pembagian wewenang antara pemerintah dengan masyarakat dan lembaga pemangku kepentingan dalam pengelolaan dan pengembangan keris di Sumenep menjadi lebih jelas. Dengan demikian, permasalahan-permasalah yang terkait dengan pemajuan budaya dan tradisi keris di Sumenep bisa direduksi.

PUSTAKA ACUAN

Arifin, M. T. 2006. Keris Jawa Bilah, Latar Sejarah hingga Pasar. Jakarta: Hajied Pustaka. Harsrinuksmo, Bambang. 2004. Ensiklopedi

Keris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Haryoguritno, Haryono. 2006. Keris Jawa antara

Mistik dan Nalar. Jakarta: Indonesia Kebanggaanku.

(14)

Hasbiansyah, O. 2008. “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi”. Jurnal

MEDIATOR, Vol. 9, No.1.

Mu’in, Abdul. 1995. Keris, Pamor, dan Khasiatnya. Sumenep: Gapensaka Somekar.

Purwana, Bambang H. Suta. 2010. “Keris dalam Perspektif Falsafah Jawa: Magis, Mistis, Sekaligus Simbolis”. Dalam Waluyo Wijayatno dan Unggul Sudrajat (eds.).

Keris dalam Perspektif Keilmuan. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Rakhmawati, Yuliana. 2018. “Culture on a Plate:

Culinary Branding Bebek Madura”. dalam Azhar, Iqbal Nurul (ed), Madura 2020:

Membumikan Madura Menuju Globalisasi. Malang: Inteligensia Media.

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Sudrajat, Unggul. 2019. Dampak Pengakuan Keris Indonesia dalam Upaya Pelestarian Nilai Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang, Kemendikbud.

Sudrajat, Unggul dan Mulyadi. 2019. “Dari Mistik hingga Investasi: Perubahan Nilai Keris di Masyarakat Sumenep, Madura.” Prosiding Seminar Internasional Borobudur Writers and Cultural Festival, 21-24 November 2019 di Hotel Manohara Magelang dengan tema Kebertuhanan dalam Kebudayaan Nusantara. Jakarta: BWCF Society.

Sutrisno, Slamet. 2010. “Keris Dalam Perspektif Falsafah Jawa: Magis, Mistis, Sekaligus Simbolis”. dalam Waluyo Wijayatno dan Unggul Sudrajat (eds.). Keris dalam Perspektif Keilmuan. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Unesco. https://www.www.unesco.org diunduh 7 Juni 2020

NARASUMBER

1. Fathorrahman, Tokoh perkerisan Sumenep, Ketua Paguyuban Keris Megaremeng, dan empu keris.

2. Abdurrahman (Gus Mang), Bangsawan

Sumenep, tokoh masyarakat, dan tokoh perkerisan di Sumenep.

3. Hermanto, Empu keris dari Desa Palongan, Kecamatan Bluto, Sumenep

4. Mochammad Manshur Hidayat, Tokoh perkerisan nasional, Kolektor Keris, dan pendiri organisasi keris Senopati Nusantara. 5. Mat Raji, Mantan perajin keris yang sekarang

menjadi Kepala Desa Palongan.

6. Ahmad Ruji, Kepala Desa Aeng Bajaraja 7. Soendi, Pemuda perajin keris di Desa

Palongan

8. Imam Taukhid, Pemuda perajin warangka

(sarung keris)

9. Arista Ika, Perajin keris wanita dari Desa Aeng Tong Tong

10. Sanamo, Pedagang keris di Sumenep 11. H. Hosdi, Pedagang keris di Sumenep.

Gambar

Tabel 1 Sentra Industri Keris di Sumenep

Referensi

Dokumen terkait