• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria Masak Fisiologis Bunga Jantan Pinang dan Uji Viabilitas Polen Pinang Galang Suka pada Media Agar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kriteria Masak Fisiologis Bunga Jantan Pinang dan Uji Viabilitas Polen Pinang Galang Suka pada Media Agar"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

132

Kriteria Masak Fisiologis Bunga Jantan Pinang

dan Uji Viabilitas Polen Pinang Galang Suka pada Media Agar

WEDA MAKARTI MAHAYU DAN DONATA S. PANDIN

Balai Penelitian Tanaman Palma

Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: wedamakartimahayu@gmail.com Diterima 22 April 2013 / Direvisi 24 Juni 2013 / Disetujui 28 Oktober 2013

ABSTRAK

Salah satu syarat penting untuk mendapatkan produksi buah dalam suatu persilangan adalah daya kecambah polen yang tinggi. Sampai saat ini belum diketahui informasi tentang kriteria masak fisiologis bunga pinang serta informasi tentang uji viabilitas polen pinang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu optimum dimulainya pengamatan uji viabilitas polen pinang pada media agar, kriteria masak fisiologis bunga jantan pinang, dan bentuk morfologi polen pinang. Penelitian ini terdiri dari dua percobaan (waktu optimum viabilitas polen pinang pada media agar, dan kriteria masak fisiologis bunga jantan pinang) dengan menggunakan polen dari empat aksesi pinang (Galang Suka, Malinow-1, Mongkonai dan Huntu-1) yang semuanya merupakan koleksi pinang di Kebun Percobaan Kayuwatu, Manado. Percobaan mengenai waktu optimum dimulainya pengamatan viabilitas polen pinang menggunakan polen pinang Galang Suka, sedangkan polen dari tiga aksesi yang lain (Malinow-1, Mongkonai dan Huntu-1) digunakan dalam percobaan kriteria masak fisiologis bunga jantan pinang. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Palma, pada bulan Maret hingga April 2012. Hasil pengamatan kecambah polen pinang menunjukkan bahwa polen pinang Galang Suka mulai berkecambah setelah 5 jam ditabur pada media tumbuh dan mencapai titik optimum dimulainya pengamatan pada jam ke-10 dengan viabilitas 38.98%. Kriteria masak fisiologis bunga jantan pinang tidak bisa ditentukan dari jumlah rendemen polen akan tetapi bisa dilihat dari viabilitas polen yang dikoleksi. Viabilitas polen dipengaruhi oleh aksesi pinang dan fase perkembangan tandan bunga pinang. Bunga jantan yang telah masak fisiologis akan menghasilkan polen dengan viabilitas yang tinggi. Bunga jantan yang telah masak fisiologis merupakan bunga jantan yang telah pecah seludang dengan beberapa bunga jantan di ujung spikelet telah anthesis. Polen pinang berbentuk bulat (oblat) dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan polen kelapa yang berbentuk lonjong.

Kata kunci: Areca catechu L., masak fisiologis, bunga jantan, viabilitas polen.

ABSTRACT

Physiological Riped Criteria of Arecanut Male Flower and Pollen Viability Test

of Galang suka Arecanut

on Agar Medium

One of the important requirements for the production of fruit in pollination is pollen viability. Until now, there has no information about the criteria of physiological maturity areca flower and pollen viability test information on arecanut.This research aims to determine optimum time need for arecanut pollen viability test on agar medium, physiological criteria of arecanut ripe bunches, and pollen morphology of arecanut. This research consist of two experimental (Optimum time needed for arecanut pollen viability test on agar medium and physiological criteria of arecanut ripe bunches) that used pollen of four arecanut acsession (Galang Suka population, Malinow-1, Mongkonai and Huntu-1), that collected at the Kayuwatu Experimental Garden, Manado. First experiment used Galang Suka pollen to find out optimum time needed for arecanut pollen viability test on agar medium and the other pollen acsession to known physiological criteria of arecanut ripe bunches. The research was conducted at the Plant Breeding Laboratory of Indonesian Palm Crops Research Institute, Manado, in March - April 2012. Arecanut pollen started to germinate after 5 hours sown in the growing agar medium and reaches an optimum point at the 10 hours with a viability of 38.98%. Physiological criteria of arecanut ripe bunches not affected by arecanut yield of pollen but pollen viability. Hight viability pollen will be produced from arecanut flower bunches that has been riped. Pollen viability is affected by the accession and physiological criteria of arecanut flower bunches. High pollen viability can be collected from areca flower bunches that has been riped, that opened with several male flowers bloom at the front of spikelet. Observations under the microscope shown that the arecanut pollen morphology has a spherical and smaller size than oval-shaped of coconut pollen with a larger size.

(2)

133

PENDAHULUAN

Tanaman pinang (Areca catechu L.) adalah salah satu jenis palma yang memiliki banyak kegunaan antara lain untuk konsumsi, bahan industri kosmetik, farmasi, dan bahan pewarna pada industri tekstil. Tanaman pinang berpotensi sebagai anti kanker karena memiliki efek antioksidan, dan antimutagenik (Lee dan Choi, 1999). Senyawa etanolik biji buah pinang dapat menghambat proliferasi dan memacu terjadinya apoptosis sel MCF-7 penyebab penyakit kanker (Meiyanto et al., 2008). Peneliti lain menemu-kan bahwa pinang mampu menginduksi cell cycle arrest pada kultur sel epitelial sel kanker oral-KB (Chang et al., 2002). Biji buah pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tanin terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid. Proanto-sianidin mempunyai efek anti bakteri, anti virus, anti kar-sinogenik, anti inflamasi, anti alergi, dan vasodilatasi (Fine, 2000). Secara empiris biji pinang dapat mengatasi berbagai jenis penyakit dan dari berbagai pengujian diketahui senyawa arekolina (komponen alkaloid) pada biji pinang dapat berfungsi sebagai anti helmintik (anti cacing) sedangkan ekstrak etanol biji pinang bermanfaat sebagai antidepresi (Barlina, 2007). Di bidang industri, hampir semua bagian tanaman pinang dapat dimanfaatkan, sabut buah pinang dapat dibuat thick boards, bantal berserat halus (fluffy cushions), dan tenunan pabrikan (Nur dan Miftahorrachman, 2012).

Penyebaran tanaman pinang di Indonesia meliputi daerah Nangro Aceh Darussalam, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan (Miftahorrachman dan Maskromo, 2007), dengan sentra penyebaran terluas di Pulau Sumatera (Miftahorrachman, 2007). Volume eksport biji pinang Indonesia pada 2010 dan 2011 adalah 211.660 ton dengan nilai 114.530.153 US$ dan 185.897 ton dengan nilai 153.226.016 US$ (BPS, 2012),

Berdasarkan keadaan tersebut di atas, maka pengembangan teknologi budidaya pertanian pinang secara intensif perlu segera mendapat perhatian mengingat tingginya permintaan pasar internasional. Selain itu, penggunaan biji pinang telah meluas dalam berbagai industri berskala besar, dengan demikian usaha tani pinang memiliki masa depan yang cerah dan potensial.

Salah satu cara dalam menopang perkem-bangan budidaya pinang adalah tersedianya berbagai varietas unggul yang merupakan salah satu teknologi dalam budidaya pinang secara intensif. Menurut Oktavia dan Miftahorrachman (2012), benih pinang yang bermutu merupakan salah satu syarat

keber-hasilan budidaya pinang. Hingga saat ini kegiatan pemuliaan tanaman pinang baru terbatas pada pengumpulan/koleksi plasma nutfah untuk penye-lamatan plasma nutfah, sementara kegiatan pemulia-an ypemulia-ang mengarah kepada perbaikpemulia-an tpemulia-anampemulia-an belum dilakukan (Miftahorrachman, 2009). Akan tetapi, besar kemungkinan di masa yang akan datang dibutuhkan varietas baru hasil persilangan, terutama varietas hibrida pinang sebagai hasil pemuliaan tanaman. Oleh karena itu, segala pengetahuan tentang persilangan pinang dalam mendukung ter-bentuknya varietas unggul pinang harus mulai dipersiapkan, diantaranya: saat pemanenan bunga jantan yang tepat, metode pengolahan polen, penyim-panan polen untuk mempertahankan viabilitas, metode pengujian viabilitas polen, metode penyer-bukan, dan sebagainya.

Viabilitas polen merupakan parameter penting dalam persilangan tanaman, karena diperlukan polen yang hidup dan mampu berkecambah dengan normal pada saat penyerbukan agar terjadi pembuahan. Selain itu viabilitas polen juga dapat mempengaruhi viabilitas benih yang dihasilkan dan polen dengan viabilitas tinggi akan lebih dahulu membuahi sel telur serta menghasilkan buah bermutu baik dan benih berviabilitas tinggi (Widiastuti dan Palupi, 2008).

Salah satu syarat mutlak dalam keberhasilan suatu persilangan adalah ketersediaan polen dengan viabilitas yang tinggi. Pada kelapa sawit, pengelolaan serbuk sari yang mencakup saat pemanenan yang tepat, pengolahan untuk menjamin kemurniannya, dan penyimpanan untuk mempertahankan viabi-litasnya mempunyai peranan penting dalam produksi benih (Widiastuti dan Palupi, 2008). Salah satu kendala dalam persilangan pinang adalah masa anthesis bunga jantan dan reseptif bunga betina yang tidak bersamaan serta masa reseptif bunga betina yang tidak serempak (Mahayu dan Miftahorrachman, 2012). Oleh karena itu, dalam penyerbukan pinang harus ada pengelolaan kontinuitas polen sehingga saat bunga betina reseptif, polen telah tersedia dan dapat langsung diserbukkan. Polen yang akan digu-nakan baik secara langsung maupun setelah melewati masa penyimpanan harus diuji viabilitasnya di media buatan secara in vitro.

Sampai saat ini belum diketahui informasi tentang kriteria masak fisiologis bunga jantan pinang untuk menentukan saat pemanenan yang tepat serta informasi tentang uji viabilitas polen pinang di media agar. Bunga jantan pinang yang telah masak fisiologis diharapkan menghasilkan rendemen polen yang tinggi dengan viabilitas polen yang tinggi pula. Informasi tentang waktu perkecambahan sangat dibutuhkan dalam menentukan kapan pengamatan dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu optimum dimulainya pengamatan uji viabilitas

(3)

B. Palma Vol. 14 No. 2, Desember 2013: 132 - 141

134

polen pinang pada media agar, kriteria masak fisiologis bunga jantan pinang, serta bentuk morfologi polen pinang.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah polen dari empat aksesi pinang (Galang Suka, Malinow-1, Mongkonai dan Huntu-1). Koleksi plasma nutfah pinang ini ditanam di Kebun Percobaan Kayuwatu, Manado. Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu: a). waktu optimum viabilitas polen pinang pada media agar dan b). kriteria masak fisiologis bunga jantan pinang. Penelitian dilaksana-kan di Laboratorium Pemuliaan Tanaman dan Laboratorium Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Palma, pada bulan Maret hingga April 2012.

a. Waktu optimum viabilitas polen pinang pada media agar

Penelitian ini menggunakan dua buah tandan bunga pinang aksesi Galang Suka dengan beberapa bunga jantan diujung spikelet telah anthesis. Polen pinang diproses berdasarkan prosesing polen kelapa (Novarianto, 2005), dengan tahapan sebagai berikut: 1. Dipilih dan dipotong tandan bunga pinang yang

telah anthesis dari pohon terpilih dan dibawa ke laboratorium Pemuliaan.

2. Bunga jantan dipipil dari tangkainya, kemudian masing-masing ditimbang lalu digerus untuk mempercepat pengeringan yang seragam.

3. Bunga jantan yang telah digerus dimasukkan ke dalam amplop kertas untuk menghindari kontaminasi polen dari kotoran atau polen lain yang tidak diharapkan

4. Amplop yang berisi polen diratakan ketebalannya dan dimasukkan ke dalam lemari pengering yang dilengkapi dehumidifier pada suhu 30-35º C dengan kelembaban 40% hingga bunga jantan cukup kering untuk diayak dan di ambil polennya.

5. Bunga jantan yang telah kering diayak dengan ayakan 250 mesh, serbuk polen yang diperoleh diayak kembali dengan ayakan 125 mesh dengan bantuan kuas steril.

6. Polen yang diperoleh dimasukkan dalam plastik atau botol dengan keterangan/label waktu kolek-si, jenis aksesi/varietas dan pemilik perlakuan/ peneliti.

Media yang digunakan untuk pengujian viabi-litas polen pinang menggunakan metode pengujian viabilitas polen kelapa (Novarianto dan Gaghaube, 1999). Uji viabilitas polen dilakukan secara in vitro pada media agar dengan komposisi: 0,3 g agar, 3,75 g

sukrosa atau gula pasir, 3-4 butir asam borat dan 25 ml aquades. Bahan-bahan tersebut dimasak di dalam beker gelas kemudian dituang ke dalam petridis dengan ketebalan 2 – 2,5 mm secara merata. Polen dari dua tandan yang berbeda dicampur (bulk) untuk selanjutnya ditabur tipis di atas media tumbuh.

Untuk mengetahui waktu optimum dimulainya pengamatan dalam uji viabilitas polen pinang, maka dilakukan uji viabilitas polen pinang berdasarkan perlakuan waktu pengamatan. Standar mutu polen pinang yang dinilai layak untuk dijadikan bahan persilangan adalah polen yang memiliki viabilitas lebih dari 40%. Sehingga waktu optimum dimulainya pengamatan uji viabilitas polen pinang adalah saat polen pinang tersebut telah berkecambah mendekati 40%.

Polen ditabur tidak terlalu padat pada kondisi remah sehingga akan memudahkan pengamatan dan penghitungan. Setiap satu jam setelah polen ditabur pada media agar, dilakukan pengamatan dan peng-hitungan jumlah polen yang berkecambah, yang belum berkecambah dan yang abnormal dengan bantuan mikroskop cahaya dengan perbesaran 10x. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 11 perlakuan, yaitu pengamatan 1 hingga 11 jam setelah penaburan polen pada media agar dengan jumlah ulangan 5x. Dilakukan analisis sidik ragam terhadap data yang diperoleh, dan apabila berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut BNT.

Viabilitas polen dihitung berdasarkan per-samaan:

Polen berkecambah

Viabilitas polen = x 100% Jumlah total polen yang diamati b. Kriteria masak fisiologis bunga jantan pinang

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan percobaan faktorial 3x2 dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah aksesi pinang yang terdiri dari: Malinow-1, Mongkonai, dan Huntu-1. Faktor kedua adalah fase kematangan tandan bunga pinang yang terdiri dari: tandan bunga pecah seludang dan tandan bunga pecah seludang dengan beberapa bunga jantan anthesis di ujung spikelet. Oleh karena itu, pada penelitian ini dibutuhkan 18 tandan bunga pinang. Bunga jantan pada masing-masing perlakuan/tandan diproses dan dihitung rendemen polen serta viabilitasnya.

Rendemen Polen Pinang

Tandan bunga pinang pada masing-masing perlakuan diproses sehingga diperoleh polen pinang.

(4)

135

Tabel 1. Viabilitas polen pinang Galang Suka berdasarkan lama penaburan. Table 1. Viability of Galang Suka arecanut pollen based on long period of culture.

Lama Kultur (jam) Culture Periode (hour) Berkecambah (butir) Germinated (number) Abnormal (butir) Abnormal (number) Total Polen (butir) Total Pollen (number) Viabilitas (%) Viability (%) 1 0 9 450 0 a 2 0 4 483 0 a 3 0 13 339 0 a 4 0 16 457 0 a 5 8 11 481 1.66 a 6 32 7 440 7.27 b 7 55 16 448 12.27 c 8 89 12 379 23.48 d 9 143 14 484 29.54 e 10 177 10 454 38.98 f 11 189 2 431 43.85 g

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.

Note : Number followed by the same letter was not significantly different at LSD 5%.

Polen pinang yang dihasilkan ditimbang dan dihitung rendemen polen tiap ulangan pada masing-masing perlakuan. Menurut Pandin dan Tenda (2010), ren-demen polen dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:

Berat polen

Rendemen polen = x 100% Berat basah bunga jantan

Data yang diperoleh dirata-rata dan dilakukan analisis sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan maka dilanjutkan dengan uji lanjut BNT.

Viabilitas Polen Pinang

Uji viabilitas polen dilakukan secara in vitro pada media agar. Waktu pengamatan viabilitas polen dilakukan berdasarkan hasil percobaan waktu optimum dimulainya pengamatan viabilitas polen pinang yang telah dilakukan sebelumnya. viabilitas polen dihitung 10 jam dan 12 jam setelah tabur pada media agar. Data yang diperoleh dirata-rata dan dilakukan analisis sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan maka dilanjutkan dengan uji lanjut BNT.

Bentuk dan Ukuran Polen Pinang

Pengamatan bentuk morfologi dan ukuran polen pinang dilakukan dengan menggunakan mikroskop kamera dengan perbesaran 40x. Polen pinang Galang Suka yang hendak diamati dan polen kelapa Dalam Mapanget sebagai pembanding ditabur

tipis pada cawan petri steril kemudian diamati dan diambil gambarnya sebagai data pendukung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Waktu Optimum Viabilitas Polen Pinang

Berdasarkan hasil pengamatan, polen pinang Galang Suka baru berkecambah setelah 5 jam ditabur pada media agar dan memperlihatkan peningkatan persentase perkecambahan sampai dengan jam ke-11. Hal ini menunjukkan bahwa waktu dimulainya perkecambahan polen pinang sangat berbeda dengan kelapa yang hanya memerlukan waktu 1 jam maupun aren yang membutuhkan waktu 12 jam (Pandin dan Tenda, 2010).

Persyaratan penggunaan polen yang baik dalam persilangan kelapa, yaitu harus memiliki viabilitas >40% (Novarianto, 2005). Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa polen pinang mulai berkecambah setelah 5 jam dan terus meningkat hingga 11 jam setelah ditabur pada media buatan. Pada jam ke-10 viabilitas polen pinang Galang Suka telah mendekati batas minimum persyaratan viabi-litas polen yang baik bagi persilangan pada tanaman kelapa. Tanaman kelapa digunakan sebagai rujukan karena sesama tanaman palma. Viabilitas polen tertinggi dan mencapai >40% diperoleh setelah 11 jam penaburan. Oleh karena itu, pengamatan viabilitas polen pinang pada media agar dapat dimulai setelah 10 jam penaburan.

(5)

B. Palma Vol. 14 No. 2, Desember 2013: 132 - 141

136

Pengetahuan tentang waktu dimulainya perke-cambahan polen dan waktu optimum dimulainya pengamatan sangat penting, karena dengan diketa-huinya waktu tersebut maka para peneliti maupun teknisi dapat merencanakan waktu/jadwal peng-amatan uji viabilitas polen secara lebih efektif. Pada jam ke-10 setelah polen ditaburkan pada media agar, polen tube atau tabung kecambah polen belum terlalu panjang sehingga mudah diamati dan dihitung.

Uji viabilitas polen bertujuan untuk menge-tahui daya kecambah polen yang akan digunakan dalam persilangan. Mengoleksi polen pada keadaan viable sangat penting untuk menjaga kesegaran polen dalam jangka waktu yang panjang. Polen berkualitas baik apabila memiliki viabilitas tinggi, akan mem-berikan persentase buah jadi yang tinggi apabila digunakan dalam penyerbukan.

Faktor lain yang mempengaruhi viabilitas polen adalah tingkat kemasakan polen. Makin tinggi tingkat kemasakan polen maka persentase perke-cambahan makin tinggi (Bhojwani dan Bahtnagar, 1999). Polen dengan viabilitas yang tinggi dapat diperoleh dari bunga jantan yang telah masak fisiolo-gis. Pengambilan bunga jantan yang tidak tepat akan menghasilkan polen dengan rendemen dan viabilitas yang rendah.

Viabilitas polen juga dipengaruhi oleh metode penyimpanan. Secara umum metode penyimpanan jangka panjang dengan teknik kriopreservasi akan lebih baik dibanding metode penyimpanan jangka pendek dengan pendinginan (Tambunan dan Mariska, 2003). Polen lebih cepat kehilangan viabilitas pada suhu kamar karena aktifitas fisiologis ber-langsung lebih cepat dan banyak energi yang dilepas-kan sehingga polen adilepas-kan lebih cepat mengalami kerusakan dan hanya mampu bertahan dalam jangka waktu pendek. Menurut Widiastuti dan Palupi (2008) kualitas polen selama penyimpanan berhubungan dengan perubahan fisiologis dan biokimia.

Komposisi dan konsentrasi media yang digu-nakan dalam uji perkecambahan polen dapat mempengaruhi viabilitas polen pada berbagai jenis tumbuhan. Komposisi media yang dibutuhkan dalam perkecambahan polen adalah air, gula, garam anorganik dan vitamin (Khan dan Perveen, 2008).

Menurut Sari et al. (2010), perkembangan polen pada media perkecambahan diawali dengan ber-tambahnya ukuran mikrospora dengan 1 inti (uninukleat) diikuti vakuolisasi dan inti berpindah dari posisi peripheral ke dekat dinding. Selanjutnya inti mikrospora membelah menjadi 2 inti (binukleat) yaitu inti vegetatif dengan ukuran yang lebih besar dan inti generatif yang berukuran lebih kecil. Inti generatif selanjutnya akan mengalami mitosis dan menghasilkan 2 sel sperma.

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui ter-dapat sejumlah polen abnormal. Polen tersebut memiliki ukuran yang jauh lebih besar. Menurut Micieta dan Murin (2006), polen dikategorikan abnormal apabila: ukuran baik individu polen maupun tetrad secara nyata lebih besar dari individu polen atau tetrad normal; bentuk internal tetrad nyata berubah, seperti jumlah kantung udara (sacculus aereus) lebih banyak, yaitu 3 atau 4; menunjukkan kurangnya penyerapan warna saat dilakukan pewarnaan, polen yang aborsi tidak bereaksi terhadap pewarnaan.

Kriteria Masak Fisiologis Bunga Jantan Pinang Rendemen Polen Pinang

Metode prosesing polen pinang dilakukan berdasarkan pendekatan terhadap metode prosesing polen kelapa (Novarianto, 2005) dan aren (Pandin dan Tenda, 2010) yang telah ada sebelumnya dengan memperhatikan tingkat kekeringan atau kadar air bunga jantan saat prosesing dilakukan. Waktu yang dibutuhkan bunga jantan pinang untuk kering optimal adalah 7-8 jam, sedangkan kelapa mem-butuhkan waktu 28-30 jam. Perbedaan ini lebih disebabkan oleh perbedaan morfologi bunga jantan pinang dan kelapa. Bunga jantan pinang lebih kecil bila dibanding dengan bunga jantan kelapa.

Penelitian ini diawali dengan dilakukannya pra penelitian terhadap bunga jantan dari tandan bunga pinang yang belum terbuka (Gambar 1). Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa, tidak ada rendemen polen yang diperoleh dari tandan bunga pinang yang belum terbuka. Saat tandan bunga masih dalam seludang, polen belum terbentuk meskipun jaringan dan organ bunga jantan telah lengkap. Menurut Pandin dan Tenda (2010), rendemen polen sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman, kematangan bunga jantan dan proses pengolahan bunga jantan. Oleh karena itu, maka penelitian pada tiga aksesi pinang ini dilakukan dengan menggunakan tandan bunga pinang yang telah pecah seludang.

Gambar 1. Tandan muda bunga pinang Figure 1. Young bunches of arecanut flower

(6)

137

Tabel 2. Rendemen polen tiga aksesi pinang.

Table 2. The yield of the three accsession of arecanut pollen. Perlakuan

Treatment Weight of male flower/bunches Berat bunga jantan/tandan

(g) Berat polen/tandan Weight of pollen/bunches (g) Rendemen polen Yield of pollen (%) x1y1 443.333 0.113 0.025 x1y2 283.333 0.074 0.026 x2y1 130 0.043 0.033 x2y2 170 0.038 0.022 x3y1 153.333 0.049 0.032 x3y2 236.667 0.050 0.021 Rata-rata 236,111 0,061 0,0265 StDev 116,322 0,028 0,005 KK 49,266 46,188 18,906

Keterangan: x1= Malinow-1, x2= Mongkonai, x3= Huntu-1, y1= tandan bunga pinang pecah seludang dan y2= tandan bunga pinang pecah seludang disertai bunga jantan di ujung spikelet pecah, Χ = rata-rata, StDev= standar deviasi, KK= koefisien keragaman.

Note: x1= Malinow-1, x2= Mongkonai, x3= Huntu-1, y1= opened flower bunches and y2= opened flower bunches with several male flower opened, Χ = average, StDev= standart deviation, KK= variety coefficient.

Berdasarkan Tabel 2. nilai keragaman berat bunga jantan tandan bunga pinang termasuk sedang (49,266%) dengan rata-rata berat bunga jantan/tandan 236,11 g. Hal ini disebabkan karena bentuk dan ukuran tandan bunga pinang sangat variatif meski-pun dalam satu aksesi di satu hamparan (Gambar 2). Berat polen pinang/tandan menunjukkan nilai keragaman yang sedang pula (46,188%) dengan nilai rata-rata 0,061 g. Meskipun koefisien keragaman berat bunga jantan/tandan dan berat polen/tandan ter-golong sedang (20-50%) namun keragaman rendemen polen pinang rendah (<20%). Hal ini disebabkan karena rendahnya berat polen/tandan sehingga nilai rendemen polen yang diperoleh cenderung seragam (KK rendah).

Gambar 2. Variabilitas tandan bunga pinang. Figure 2. Variability of arecanut flower bunches.

Nilai rata-rata rendemen polen pinang ter-golong rendah 0,0265% (Tabel 2) bila dibanding dengan rendemen polen Kelapa Dalam 3,29% (Novarianto, 2005) dan rendemen Aren Dalam 1,4% (Pandin dan Tenda, 2010). Salah satu penyebab rendahnya rendemen polen pinang adalah ukuran bunga jantan pinang lebih kecil dari bunga jantan kelapa dan aren.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa tidak terdapat pengaruh nyata baik tunggal maupun interaksi antara aksesi pinang (Malinow-1, Mongkonai dan Huntu-1) dengan kriteria masak fisiologis bunga jantan pinang (tandan bunga pinang pecah seludang dan tandan bunga pinang pecah seludang yang disertai bunga jantan di ujung spikelet anthesis) terhadap rendemen polen pinang.

Viabilitas Polen Pinang

Salah satu faktor yang menyebabkan rendah-nya viabilitas polen adalah tingkat kemasakanrendah-nya, semakin tinggi tingkat kemasakan polen maka persentase perkecambahan makin tinggi pula (Sari et al., 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui terdapat pengaruh yang sangat nyata pada perlakuan yang diujikan secara tunggal tanpa adanya interaksi. Aksesi pinang menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap viabilitas polen pinang. Nilai rata-rata viabilitas polen pinang pada tiga aksesi ditunjukkan pada Tabel 3.

(7)

B. Palma Vol. 14 No. 2, Desember 2013: 132 - 141

138

Tabel 3. Viabilitas polen pada tiga aksesi pinang. Table 3. Pollen viability of three accsession arecanut.

Aksesi

Accession Germinated (number) Berkecambah (butir) Total Pollen (%) Total Polen (%) Viabilitas Polen (%) Pollen viability (%)

Malinow-1 377 1153 32,69 % b

Mongkonai 78 654 11,95 % a

Huntu-1 344 1082 31,76 % b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.

Note : Number followed by the same letter was not significantly different at LSD 5%.

Tabel 4. Viabilitas polen tiga aksesi pinang pada dua kriteria masak fisiologis tandan bunga pinang. Table 4.Pollen viability of three accsession arecanut on two phisiological criteria ripe bunches.

Perlakuan

Treatment Viabilitas Polen (%) Pollen Viability (%)

Malinow-1 Pecah seludang/Breaking spathe 32,47 b

Pecah seludang + bunga jantan di ujung spikelet pecah

Breaking spathe with several male flower bloom 32,92 b

Mongkonai Pecah seludang/Breaking spathe 0 a

Pecah seludang + bunga jantan di ujung spikelet pecah

Breaking spathe with several male flower bloom 23,90 b

Huntu-1 Pecah seludang/Breaking spathe 28,29 b

Pecah seludang + bunga jantan di ujung spikelet pecah

Breaking spathe with several male flower bloom 35,23 b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%. Note : Number followed by the same letter was not significantly different at LSD 5%.

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa viabilitas polen pinang Mongkonai berbeda sangat nyata dengan viabilitas polen pinang Malinow-1 dan Huntu-1 (Tabel 3). Perbedaan viabilitas tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan sistem pem-bungaan antara Mongkonai dengan Malinow-1 dan Huntu-1. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang diketahui bahwa bunga jantan pinang Malinow-1 dan Huntu-1 membutuhkan waktu lebih lama untuk anthesis dibanding dengan Mongkonai. Pinang Mongkonai dan Malinow-1 memiliki jarak genetik dan hubungan kekerabatan yang cukup jauh sehingga membentuk kelompok yang berbeda berdasarkan jarak genetiknya (Miftahorrachman, 2012).

Polen pinang Malinow-1 dan Huntu-1 yang diperoleh dari tandan bunga pecah seludang memiliki viabilitas polen yang tidak berbeda nyata dengan polen dari tandan bunga pecah seludang dengan bunga jantan di ujung spikelet anthesis (Tabel 4). Diduga hal ini disebabkan polen telah masak fisiologis dalam bunga jantan meskipun belum anthesis. Waktu yang cukup lama bagi bunga jantan pinang Malinow-1 dan Huntu-1 untuk anthesis memberi kesempatan polen masak fisiologis sesaat sebelum anthesis.

Pinang Mongkonai menunjukkan perbedaan viabilitas polen yang sangat nyata antar kedua perlakuan tandan bunga (Tabel 4). Viabilitas polen pinang Mongkonai pada perlakuan tandan bunga

pinang pecah seludang menunjukkan viabilitas polen 0% sedangkan tandan bunga pinang pecah seludang dengan bunga jantan di ujung spikelet telah anthesis menunjukan viabilitas 23,90%. Menurut Sari et al. (2010), viabilitas polen dipengaruhi oleh tingkat kemasakan polen dan semakin tinggi tingkat kemasakan polen maka semakin tinggi pula viabili-tasnya.

Akan tetapi, keberadaan bunga jantan telah anthesis di ujung spikelet pada pinang Mongkonai, belum dapat dijadikan jaminan bahwa polen telah masak fisiologis secara optimum. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan viabilitas polen yang nyata antar ulangan pada perlakuan tandan bunga pinang Mongkonai yang disertai bunga jantan di ujung spikelet anthesis ( 13,46%, 10,42% dan 47,83%). Oleh karena itu, sebaiknya dalam melakukan koleksi polen pinang Mongkonai dipilih tandan bunga dengan bunga jantan anthesis cukup banyak di ujung spikeletnya (1/3 bagian) agar diperoleh polen dengan tingkat kematangan yang optimum sehingga viabilitas polen yang dikoleksi optimum pula.

Berdasarkan uji Anova, diketahui perlakuan kriteria masak fisiologis tandan bunga pinang berpengaruh nyata terhadap viabilitas polen pinang. Akan tetapi, tidak berbeda nyata saat dilakukan uji lanjut BNT (Tabel 5). Meskipun tidak berbeda nyata saat diuji lanjut, namun terdapat perbedaan nilai rata-rata sebesar 51,51% antara kedua perlakuan kriteria

(8)

139

Tabel 5. Viabilitas polen pada dua kriteria masak fisiologis tandan bunga pinang.

Table 5. Pollen viability on two phisiological criteria arecanut flower ripe bunches. Kriteria masak fisiologis tandan bunga pinang

Phisiological criteria of arecanut ripe bunches Germinated (number) Berkecambah (butir) Total polen (%) Total Pollen(%) Viabilitas polen (%) Pollen viability (%)

Pecah seludang/Breaking spathe 335 1654 20,25 a

Pecah seludang + bunga jantan diujung spikelet anthesis

Breaking spathe with several male flower bloom 506 1649 30,68 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%. Note: Number followed by the same letter was not significantly different at LSD 5%.

tandan tersebut. Polen yang dikoleksi dari tandan bunga pinang pecah seludang dengan bunga jantan di ujung spikelet anthesis menunjukkan viabilitas polen yang lebih tinggi (30,68%) dibanding polen dari tandan bunga yang baru pecah seludang (20,25%).

Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa polen yang dikoleksi dari tandan bunga pinang pecah seludang dengan bunga jantan di ujung spikelet anthesis akan menghasilkan polen yang telah masak fisiologis sehingga viabilitasnya tinggi.

Bentuk dan Ukuran Polen Pinang

Hasil pengamatan di bawah mikroskop menun-jukkan bahwa polen pinang memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan polen kelapa, dengan bentuk lebih bulat sedangkan polen kelapa berbentuk lonjong (Gambar 3). Hasil ini sesuai dengan temuan para peneliti polen sebelumnya yang menyatakan bahwa penyerbukan yang dibantu oleh serangga pada umumnya memiliki bentuk polen lonjong atau agregat, ukuran < 300 μm, dinding polen tebal, berminyak, dan lengket. Sedangkan penyer-bukan yang dibantu oleh angin memiliki karakteristik bentuk polen yang aerodinamis, lonjong, ukuran >50 μm, dinding sel tipis, mudah menempel, dan terdiri dari 2 lapis.

Polinasi yang terjadi pada bunga pinang lebih ditentukan oleh angin (anemogami). Sedangkan penyerbukan pada tanaman kelapa dibantu serangga polinator terutama lebah madu (Miftahorrachman, 2010). Polen pinang berukuran lebih kecil dari polen kelapa sehingga kerodong yang digunakan dalam proses hibridisasi kelapa tidak dapat digunakan pada tanaman pinang. Kerodong yang digunakan dalam hibridisasi bunga pinang harus lebih tinggi ke-rapatannya (lebih kecil ukuran pori-porinya) untuk mencegah kontaminiasi polen dari luar, sehingga kemurnian buah jadinya dapat dipertanggung-jawabkan.

Butiran polen bervariasi dalam bentuk, ukuran dan karakteristik permukaan polen sebagai bagian ciri spesifik suatu spesies tumbuhan. Berdasarkan hasil penelitian tentang ukuran morfologi polen Impatiens (Balsaminaceae) ditemukan dua kelompok tipe polen, yaitu polen berbentuk subsferoidal, simetri

radial pada pandangan polar maupun pandangan ekuatorial, ujung kolpus membulat dan kelompok kedua bentuk peroblat atau oblat, simetri bilateral pada pandangan ekuatorial (Sukarsa et al., 2002). Secara sitologi, polen merupakan sel dengan tiga nukleus, yang masing-masing dinamakan inti vegetatif, inti generatif I, dan inti generatif II. Inti vegetatif inilah yang akan tumbuh menjadi tabung polen (pollen tube) bila berada pada media dengan komposisi air, garam anorganik serta sumber energi yang tepat. Sel dalam serbuk sari/polen dilindungi oleh dua lapisan (disebut intine untuk yang di dalam dan exine yang di bagian luar) yang berfungsi untuk mencegah kehilangan air (Aprianty dan Kriswianti, 2008). Daya tahan polen sangat tinggi karena memiliki exine yang keras dan secara kimia tidak mudah hancur oleh aktivitas mikroba, tingkat salinitas, kondisi basah, oksigen rendah, dan kekeringan (Aprianty dan Kriswianti, 2008).

Gambar 3. Perbedaan morfologi polen kelapa dan pinang (40x); (A) Polen kelapa, (B) Polen pinang.

Figure 3. Difference morphology of coconut and arecanut pollen (40x), (A) Coconut pollen, (B) Arecanut pollen.

KESIMPULAN

1. Polen pinang Galang Suka mulai berkecambah setelah 5 jam ditabur pada media tumbuh dan mencapai titik optimum dimulainya pengamatan setelah 10 jam ditabur pada media tumbuh dengan viabilitas 38,98%.

(9)

B. Palma Vol. 14 No. 2, Desember 2013: 132 - 141

140

2. Kriteria masak fisiologis bunga jantan pinang tidak bisa ditentukan dari jumlah rendemen polen akan tetapi bisa dilihat dari viabilitas polen yang dikoleksi. Bunga jantan yang telah masak fisiologis akan menghasilkan polen dengan viabilitas yang tinggi. Viabilitas polen dipengaruhi oleh aksesi pinang dan fase perkembangan tandan bunga jantan. Bunga jantan yang telah masak fisiologis merupakan bunga jantan yang telah pecah seludang dengan bunga jantan di ujung spikelet telah anthesis.

3. Polen pinang berbentuk bulat (oblat) dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan polen kelapa yang berbentuk lonjong.

DAFTAR PUSTAKA

Aprianty, N.M.D., dan E. Kriswiyanti. 2008. Studi variasi ukuran serbuk sari kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) dengan warna bunga berbeda. Advantage: ejournal.unud. Ac.id/ new/indeks-s.html. [diakses tanggal 14 April 2012].

Rindengan, B. 2007. Peluang pemanfaatan buah pinang untuk pangan. Buletin Palma. 33: 96-105.

BPS. 2012. Tabel ekspor menurut komoditas. Advantage: [diakses tanggal 12 April 2012].

M.C.,

and

cycle arrest and apoptosis of oral KB carcinoma cells by hydroxychavicol: roles of glutathione and reactive oxygen species. British J. Pharmacol. 135(3): 619–630.

Fine, A.M. 2000. Oligomeric proanthocyanidin complexes: History, structure, and phyto-pharma centical applications. Altern Med Rev. 5(2) : 144-151.

Khan, S.A., and A. Perveen. 2008. Germination capacity of stored pollen of morus alba (Moraceae) and their maintenance. Advantage: http://www.pakbs.org/pjbot/PDFs/40%285% 29/PJB40%285%291823.pdf. [diakses tanggal 12 April 2012].

Lee, K.K., and J.D. Choi. 1999. The effects of Areca catechu L. extract on anti-Inflammation and anti-melanogenesis. International Journal of Cosmetic Science. 21(4): 275-284.

Mahayu, W.M. dan Miftahorrachman. 2012. Identifi-kasi sistem penyerbukan pinang Malinow-1 dan Mongkonai. Buletin Palma. 13(1): 22-26.

Meiyanto, E., R.A. Susidarti, S. Handayani, dan F. Rahmi. 2008. Ekstrak etanolik biji buah pinang (Areca catechu L.) mampu menghambat proliferasi dan memacu apoptosis sel MCF-7. Majalah Farmasi Indonesia. 19 (1): 12-19.

Micieta, K. and G. Murin. 2006. Microspore analysis for genotoxicity of a polluted environtment. Environ. Experimental Biol. 36 (1): 21- 27. Miftahorrachman. 2007. Sidik lintas plasma nutfah

pinang (Areca catechu L.) asal Provinsi Kalimantan Barat. Buletin Palma. 33: 87-95. Miftahorrachman dan I. Maskromo. 2007. Jarak

genetik sebelas aksesi plasma nutfah pinang (Areca catechu L.) asal Kalimantan Barat. Buletin Palma. 33: 78-86.

Miftahorrachman. 2009. Sidik lintas karakter Produksi dengan karakter vegetatif pada aksesi pinang Bolaang Mongondow. Buletin Palma. 37: 119-126.

__________. 2010. Sistem penyerbukan kelapa genjah Salak (Cocos nucifera L.). Buletin Palma. 39 : 111 – 118.

__________. 2012. Hubungan kekerabatan genetik empat aksesi plasma nutfah pinang asal Sulawesi Utara dan Sumatera Utara. Buletin Palma. 13(1): 17-21.

Novarianto, H. 2005. Plasma nutfah dan pemuliaan kelapa. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain. Manado. p.28 – 34.

Novarianto, H. dan K. Gaghaube. 1999. Teknik prosesing dan keragaman hasil polen dari beberapa kultivar kelapa Dalam. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain. Manado.

Nur Muhammad dan Miftahorrachman. 2012. Pengaruh pengupasan benih dan jenis mulsa terhadap kecepatan berkecambah dan daya kecambah benih pinang (Areca catechu L.). Buletin Palma. 13(2): 122-126.

Oktavia, F. dan Miftahorrachman. 2012. Pengaruh lama penyimpanan terhadap kecepatan dan daya kecambah benih pinang (Areca catechu L.). Buletin Palma. 13 (2): 122-126.

Pandin, D.S., dan E.T. Tenda. 2010. Viabilitas polen aren pada media buatan. Buletin Palma. 39: 190 – 196.

Ramirez, V.M., V.P. Tobla, P.G. Kevan, I.R. Morillo, H. Harries, M.F. Barrera, D.Z. Villareal. 2004. Mix mating strategies and pollination by insects and winds in coconut pollen (Cocos nucivera L.): ymportance in production and selection. Agricultural and Forest Entomology. 6(2): 155 – 163.

Sari, Y.N.K., E. Kriswiyanti, dan I.A. Astarini. 2010. Uji viabilitas dan perkembangan serbuk sari buah naga putih (Hylocereus undatus (Haw) Britton & Rose), merah (Hylocereus polyrhizus (Web) Britton & Rose dan Super Merah (Hylocereus costaricensis (Web) Britton & Rose) Setelah Penyimpanan. Jurnal Biologi. XIV(2): 39-44.

(10)

141

Sukarsa, A. Pudjoarianto dan N. Utami. 2002.

Morfologi dan nilai taksonomi serbuk sari Impati ens (Balsaminaceae). Floribunda. II(1): 1– 5.

Tambunan, I.R. dan I. Mariska. 2003. Pemanfaatan teknik kriopreservasi dalam penyimpanan plasma nutfah tanaman. Buletin Plasma Nutfah. (9)2:10-18.

Widiastuti, A, dan E.R. Palupi. 2008. Viabilitas serbuk sari dan pengaruhnya terhadap keberhasilan pembentukan buah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Biodiversitas. 9(1): 35-38.

Gambar

Tabel 1. Viabilitas polen pinang Galang Suka berdasarkan lama penaburan.
Gambar 1. Tandan muda bunga pinang  Figure 1. Young bunches of arecanut flower
Figure 2. Variability of arecanut flower bunches.
Figure  3.  Difference morphology of coconut and arecanut  pollen (40x), (A) Coconut  pollen,  (B)  Arecanut   pollen

Referensi

Dokumen terkait