• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5. Dari uraian bab-bab sebelumnya, kita mendapatkan gambaran tentang. Konteks. 5.1 Nilai Sosial dan Personal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 5. Dari uraian bab-bab sebelumnya, kita mendapatkan gambaran tentang. Konteks. 5.1 Nilai Sosial dan Personal"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 5

Konteks

D

ari uraian bab-bab sebelumnya, kita mendapatkan gambaran tentang bermacam-macam pertunjukan topeng. Topeng dipertunjukkan dengan berbagai tujuan: sebagai hiburan dan bagian dari upacara (baik komunal, individual, atau keluarga). Melihat aspek-aspek lain yang terkait dengan topeng dan pertunjukannya disebut pendekatan konteks. Konteks pada topeng menyangkut tiga permasalahan dasar: (a) fungsinya, (b) praktiknya, termasuk teknik pengaturan tempat dan waktunya, serta (c) hubungan atau peranan antara kesenian, seniman, penyelenggara, dan penontonnya. Tinjauan atas ketiga hal tersebut akan menambah pemahaman kita terhadap makna atau nilai dari suatu bentuk kesenian. Akan tetapi, dalam uraian berikut kita tidak akan membaginya atas dasar pendekatan tersebut, melainkan lebih mengungkap ketiga aspek di atas. Setelah itu, pada bagian akhir bab ini, kita akan melihat kembali bagaimana hubungan antara satu hal dengan yang lainnya. Kita mulai dengan melihat hubungan antara nilai sosial dengan nilai personal.

5.1 Nilai Sosial dan Personal

Kesenian merupakan perwujudan atau ekspresi, yang mengungkapkan isi hati dan jiwa seniman. Isi hati dan jiwa berhubungan dengan pandangan hidup, falsafah, atau kepercayaan pribadi senimannya, yang ditumbuhkan oleh atau dalam suatu lingkungan sosial. Tidak ada satu pun manusia yang dilahirkan dan dibesarkan dalam ruang kosong. Mereka selalu berada dalam suatu lingkungan sosial dan kebudayaannya. Dengan demikian, manusia dibentuk juga oleh kebudayaan. Sebaliknya, kebudayaan diciptakan atau dibangun oleh manusia. Artinya, sejak lahir manusia sudah berada dalam suatu lingkup budaya.

(2)

Lingkup budaya ini bukan hanya berbentuk material (musik, tari, arsitektur, alat-alat rumah tangga, dan lain-lain), melainkan juga fisik (cara duduk, berjalan, bekerja, dan lain-lain) dan spiritual (filsafat, nilai-nilai, kepercayaan, dan lain-lain). Jika perkembangan sosial-budaya ditentukan oleh karya atau kreativitas individu, individu pun dipengaruhi oleh sistem sosial. Jadi antara sosial sebagai satuan kelompok individu dengan personal sebagai individu yang mandiri selalu terjadi interaksi timbal-balik secara terus-menerus, seperti halnya interaksi antara budaya lokal, nasional, dan internasional.

Dalam kesenian tradisional, terdapat beberapa rumusan, norma, atau aturan yang harus ditaati. Akan tetapi, jika kita amati lebih jauh, kenyataannya tidak sesederhana itu. Seniman tradisional yang terkenal, umumnya memiliki kemampuan tampil yang khusus, bahkan sampai melahirkan ciri tersendiri. Itu berarti bahwa ia telah menciptakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih luas dari sekedar rumusan-rumusan normatif sebagai produk sosial. Ia telah melahirkan sesuatu yang baru, yang berbeda dengan yang dihasilkan oleh seniman lainnya. Kreativitas bukan hanya terdapat pada lingkungan seniman modern, melainkan juga pada seniman tradisional. Dengan demikian, karya seni tradisional berkaitan dengan dua hal utama, yakni nilai-nilai sosial atau

kultural (norma-norma) dan nilai-nilai personal (interpretasi,

penambahan-pengurangan). Kedua nilai ini sama pentingnya dalam proses interaksi seperti tersebut di atas.

Perhatikanlah dua gambar topeng Sidakarya dari Bali. Keduanya memiliki bentuk, ekspresi, nama, serta peranan yang sama. Namun keduanya tidak persis sama. Yang satu memakai taring, sedangkan yang lain tidak. Kesamaan yang umum ditentukan oleh norma-norma sosio kulturalnya. Jika norma yang mendasar itu dilanggar, kemungkinan masyarakat Bali tidak menggolongkannya sebagai topeng Sidakarya. Unsur yang tidak sama merupakan variasi yang masih dapat diterima dalam norma tradisi. Unsur itu merupakan ekspresi atau selera personal dari seorang seniman yang bisa berbeda dengan seniman lainnya. Variasi-variasi topeng Sidakarya tidak terbatas hanya pada taring, masih banyak unsur lainnya, seperti warna, tebal tipisnya garis, kumis, dan sebagainya..

Berikutnya, lihatlah gambar dua topeng tua. Hal-hal yang detail seperti ini akan lebih jelas terlihat. Jika dilihat dari satu sisi, persamaan antara kedua topeng tua ini lebih jelas dibandingkan antara kedua topeng Sidakarya (yang memakai taring dan tidak). Namun jika dipandang dari sudut lain, persamaannya justru kurang jelas terlihat. Cobalah identifikasi dan bandingkan persamaan dan perbedaan kedua topeng tua dan kedua topeng Sidakarya.

(3)

bisa diuraikan secara verbal dengan lengkap. Nilai-nilai kultural itu merupakan warisan budaya yang didapat melalui pengalaman hidup, yang sebagian terserap tanpa disadarinya. Jadi, anggota masyarakat memperoleh nilai-nilai kultural bukan melalui uraian atau petunjuk secara verbal. Karena itu, nilai atau norma budaya sebagian ada yang bisa diterangkan, dan sebagian lagi tidak. Hal ini perlu kita sadari mengingat maraknya usaha untuk merumuskan identitas budaya. Di satu sisi, budaya merupakan identitas masyarakat, kesenian adalah bagian dari identitas tersebut. Di sisi lain, identitas budaya tidak dapat dirumuskan secara terinci dan menyeluruh. Kebudayaan tidak pernah jelas seluruhnya. Masih ingatkah pembahasan pada Bab I mengenai definisi yang tumpang-tindih antara topeng, rias, boneka, dan patung? Kompleksitas batas sosial dan individual pun kurang lebih seperti itu.

Kesenian merupakan unsur kebudayaan yang tidak bisa didefinisikan secara jelas (“hitam-putih”). Seniman pun belum tentu dapat menerangkan seluruh makna dari karyanya sendiri. Ini tidak berarti bahwa tidak ada yang bisa diterangkan dalam kesenian. Ada yang bisa diterangkan dan ada yang tidak. Seorang penari dan koreografer terkenal, Martha Graham dari USA, pernah mengatakan bahwa tari bisa mengungkapkan sesuatu yang justru tidak bisa diungkapkan dengan kata. Pernyataan itu berlaku pula pada seni-seni lainnya, seperti seni rupa, seni musik, teater, dan sebagainya. Bahkan para penyair pun banyak yang mengatakan bahwa sekalipun medium puisi adalah kata, tetapi yang diungkapkannya melebihi arti harafiahnya (makna leksikal).

5.2 Individual dan Komunal

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, hampir tidak ada pertunjukan yang ditujukan hanya untuk kepentingan komunal atau untuk individual saja. Hal itu terjadi karena suatu pertunjukan kesenian pada umumnya melibatkan beberapa pihak. Jadi, untuk memahaminya, kita bisa melihatnya dari sisi penyelenggaraan dan tujuannya.

Gbr. 5-2: Dua topeng Tua dari Bali: serupa tapi tak Gbr. 5-1: Dua topeng Sidakarya dari Bali: “serupa

(4)

5.2.1 Individual

Perayaan khitanan atau perkawinan pada dasarnya merupakan acara perorangan, karena diselenggarakan oleh suatu (kelompok) keluarga. Yang paling berkepentingan adalah para keluarga yang sedang merayakan. Meskipun demikian, upacara khitanan atau pun perkawinan bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk mendapatkan pengakuan sosial, dan bahkan keagamaan. Ketika Si A menikah dengan Si B, misalnya, upacara pernikahannya bukan hanya untuk kepentingan mereka berdua atau hanya urusan kedua kelompok keluarganya, melainkan juga penting untuk diketahui dan diakui oleh masyarakat, serta mendapatkan pengesahan hukum (negara) dan agama.

Ketika sebuah keluarga merayakan upacara pernikahan, dalam komunitas desa umumnya terjadi kegiatan gotong-royong, misalnya dalam mendirikan panggung, pinjam-meminjam perabotan rumah tangga, dan sebagainya. Bukan hanya itu, transaksi ekonomi pun bisa pula terjadi, misalnya perhitungan uang sumbangan dari para undangan dan pembayaran grup kesenian.

Jadi, acara yang bersifat individual dapat menciptakan sebuah forum sosial atau forum adat, yang juga menyangkut masalah ekonomi, hukum, serta keagamaan. Mengenai “forum” akan dibicarakan lagi selanjutnya. Namun yang penting untuk ditegaskan di sini adalah peristiwa seperti khitanan, perkawinan, kematian, dan sebagainya, adalah acara individual. Acara itu bersumber dari keperluan perorangan, yaitu keluarga pengantin, meskipun yang terlibat dalam kegiatannya bukan hanya yang berkepentingan.

Dalam banyak tradisi, topeng merupakan seni pertunjukan untuk hiburan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pertunjukan topeng paling banyak diadakan untuk perayaan khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (seperti

Ngaben di Bali), dan sebagainya. Keluarga yang berkepentingan mengundang

grup kesenian. Mereka juga yang menanggung semua keperluan pertunjukan,, termasuk biayanya. Dalam konteks pedesaan, panggung biasanya dibuat di ruang terbuka di sekitar rumah, seperti di halaman atau lapangan. Jika yang mengadakan hajat memiliki rumah besar dengan bagian yang terbuka (seperti pendopo), pertunjukan umumnya diadakan di dalam ruangan itu. Meskipun yang menyaksikan pertunjukan adalah para undangan, orang yang tak diundang pun boleh datang untuk melihatnya.

Untuk acara seperti itu, pemain topeng umumnya adalah seniman khusus. Ada yang terbentuk dalam suatu grup, namun ada pula yang tidak. Topeng dalang di Klaten, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, misalnya, biasanya dipertunjukkan oleh para seniman wayang kulit,yang memiliki grup kesenian masing-masing.

(5)

Ketika ada tawaran mempertunjukkan topeng, mereka berkumpul menjadi satu grup. Para seniman topeng di wilayah lain, seperti di Bali, Cirebon, dan Betawi, banyak yang berbentuk grup, lengkap dengan nama grup dan pakaian seragamnya, yang biasanya dipimpin oleh pemain utamanya. Pemimpin grup itulah yang dihubungi oleh pemilik hajat untuk membuat kesepakatan pementasan, serta biaya atau sistem imbalannya.

5.2.2 Komunal

Gbr. 5-3: Kedua pengantin menaiki usungan berbentuk seperti “barong” dalam acara songkolan, arak-arakan sehari sebelum hari pernikahan.

Gbr. 5-5: Penari topeng sedang berkomunikasi dengan penonton anak-anak di dekatnya, pada

suatu pertunjukan perayaan pernikahan. Gbr. 5-4: Pertunjukan topeng Malang, Jatim, yang

(6)

Selain untuk kepentingan individual atau keluarga, ada pula pertunjukan kesenian untuk kepentingan seke-lompok masyarakat. Peristiwa yang berhubungan dengan lingkungan, siklus alam (musim), dan pertanian, umumnya menjadi kepentingan bersama. Pada masyarakat agraris, pesta tahunan menjelang dan/atau setelah panen terdapat di berbagai tempat. Dalam peristiwa itu seringkali warga setempat mengadakan pesta bersama, seperti menari bersama-sama, bergiliran, dan/atau mengun-dang suatu pertunjukan kesenian. Biayanya penyelenggaraannya pun merupakan tanggungan bersama pula. Beberapa contohnya antara lain adalah tari topeng hudoq di Kali man-tan, upacara kerja tahun di Sumatera Utara, seren tahun dan sidekah bumi di Jawa Barat, bersih desa di Jawa Tengah, dan reba di Flores. De mikian pula pesta

laut yang terdapat di banyak wilayah

pantai, merupakan acara komunal seperti halnya pesta panen.

Pelaksanaan upacara yang ber-sifat komunal melibatkan berbagai pihak. Upacara itu juga berdasar pada kepentingan banyak orang dalam komunitas yang bersangkutan. Ada pun untuk acara individual, pihak yang berkepentingan dan bertanggung jawab adalah seseorang atau suatu keluarga, termasuk yang menang gung biaya pertunjukan kesenian. Keterlibatan, partisipasi, atau tanggung jawab orang terhadap suatu peristiwa menciptakan suatu atmosfir atau energi tersendiri yang berpengaruh pada pertunjukan

Gbr. 5-7: Sekelompok anak-anak sedang menikmati acara lawakan (bodor) dari suatu

Gbr. 5-8: Acara individual biasa menjadi ajang “pasar” di mana para pedagang datang. Seorang

anak, selepas sekolah, sedang menjual benda Gbr. 5-6: Penonton “bukan undangan” melihat

pertunjukan dari samping dan belakang panggung, waktu pertunjukan wayang golek

(7)

kesenian. Penikmatan terhadap pertunjukannya pun akan berbeda antara orang yang terlibat dengan yang tidak. Energi atau atmosfir tersebut merupakan bagian dari “keindahan” dari suatu pertunjukan. Dengan demikian, ukuran keindahan atau keberhasilan suatu pertunjukan tidak semata tergantung pada keseniannya, melainkan juga pada suasana yang berasal dari keterlibatan penontonnya. Kesenian tradisional umumnya sangat peka terhadap keterlibatan penonton.

Dalam upacara kerja tahun di Tanah Karo, Sumatra Utara, terdapat acara tarian paling sedikit semalam suntuk (dahulu konon ada yang sampai tujuh hari tujuh malam). Acara itu dinamakan guro-guro aron. Muda-mudi tampil menari berpasangan secara bergantian, dan berkali-kali, dengan jenis tarian yang hampir sama. Jika tarian-tarian itu hanya dianggap sebagai tontonan seni-gerak semata, mungkin penonton akan merasa bosan. Namun karena acara itu juga melibatkan penonton sebagai penari, secara bergantian, maka acara ini menjadi sangat menarik, membuat semua yang terlibat bergairah menikmatinya sepanjang malam. Selain itu, tarian muda-mudi itu di sana-sini diselingi oleh pertunjukan sepasang penari dan penyanyi profesional

(perkolong-kolong, yang umumnya dibayar) yang mempunyai keterampilan sangat khusus.

Upacara ngarot di daerah Indramayu, Jawa Barat adalah pesta muda-mudi, seperti halnya kerja tahun di Karo. Bedanya, dalam ngarot yang menari adalah penari topeng laki-laki profesional untuk ditonton oleh para gadis yang dipestakan. Penari pertama-tama harus berjalan keliling kampung, arak-arakan, bersama para gadis itu. Setelah itu meraka berkumpul dalam suatu arena. Kemudian hampir sehari penuh sang penari menari di tengah kumpulan para gadis yang duduk bersimpuh.

Penari topeng dan para gadis sangat berdekatan dalam suatu arena panggung pertunjukan. Bahkan, terkadang penari itu terhimpit oleh mereka sehingga menyebabkan gerakan tarinya menjadi terbatas. Jika kita menganggap bahwa tari topeng itu merupakan pertunjukan yang harus dinikmati gerakannya, tempat yang sangat sempit seperti itu tidak memberi keleluasaan untuk menari. Namun, jika kita melihat pertunjukan itu sebagai suatu peristiwa bersama, di mana keterkaitan antara penari topeng dan para gadis itu merupakan kesatuan yang penting (sesuai dengan tujuannya), maka

setting seperti itulah yang justru dapat melahirkan himpunan energi atau

kekuatan bersama. Pertunjukan komunal adalah pertunjukan yang diadakan untuk kepentingan bersama, menjadi tanggung jawab bersama, dan dinikmati secara bersama-sama pula.

Dengan demikian, keberhasilan suatu pertunjukan tidak hanya diukur dari nilai estetikanya, melainkan tergantung dari konteksnya masing-masing. Jika daya (energi) atau semangat sosial merupakan hal penting dalam

(8)

ketika pertunjukan itu digunakan dalam upacara ngarot (inisiasi muda-mudi), kelengkapan upacara ngunjung (selamatan di makam), hiburan pada acara perayaan (pernikahan, khitanan), dan ketika dipertunjukkan di panggung modern yang penontonnya ditarik bayaran.

Jadi, sifat berhubungan dengan fungsi. Sebagai analogi, kita bisa

Gbr. 5-9: Puluhan jenis atraksi dari berbagai kelompok warga tampil dalam arak-arakan besar

dalam upacara sidekah bumi di Gunung Jati, Cirebon, Jabar; tampak “kapal Angkatan Laut” Gbr. 5-10: Pemain laki-laki melucu dengan

tampil sebagai perempuan dalam suatu

arak-Gbr. 5-11: “Kerbau menarik bajak” pada ritus tahuan pertanian, kebo-keboan, di Banyuwangi,

Gbr. 5-12: Penari topeng berada di tengah para gadis

kasinoman, dalam upacara

Gbr. 5-13: Tak ada batas ruang antara penonton dan pemusik—dalam pertunjukan topeng acara

(9)

peristiwa pertunjukan, maka konteks juga merupakan aspek penting yang harus dipahami. Konteks merupakan bagian yang turut menentukan makna dari suatu pertunjukan. Karena itulah, siapa yang mengadakan pertunjukan, tujuan, tempat, waktu, senimannya, dan hubungan antara seniman dengan penyelenggara, adalah aspek-aspek penting yang perlu kita ketahui.

5.3 Sakral dan Sekular

Ada pendekatan lain yang berhubungan dengan aspek personal, sosial, individual, dan komunal, yaitu dari sisi sifatnya: sekular dan sakral. Kesenian yang bersifat sekular adalah pertunjukan yang tidak terkait dengan praktik spiritual keagamaan. Adapun kesenian yang bersifat sakral adalah pertunjukan yang ditujukan untuk kepentingan spritual keagamaan.

Namun demikian, kedua pendekatan ini (sekular dan spiritual), seperti juga pendekatan-pendekatan sebelumnya, merupakan cara pandang untuk sebuah pemahaman, bukan sebagai kategori untuk mengelompokkan setiap jenis kesenian. Karena, pertunjukan kesenian yang ditujukan untuk hiburan atau ekspresi estetis seringkali memiliki pula nilai-nilai spritual. Sebaliknya, pertunjukan yang memiliki fungsi spritual seringkali juga mengandung nilai-nilai estetis atau hiburan.

Sebagai contoh dari kasus itu adalah pertunjukan barong Bali. Pada saat

barong dipertunjukkan untuk hiburan di tempat umum, pertunjukan itu bersifat

sekular. Namun ketika pertunjukan itu diadakan untuk upacara keagamaan di pura (kuil), pertunjukan itu itu menjadi sesuatu yang sakral. Barongnya (yang sudah disucikan) tetap menjadi benda sakral, meski benda itu seringkali dipertunjukkan untuk peristiwa sekular.

Contoh lainnya adalah pertunjukan topeng pajegan di Bali. Pertunjukan itu menampilkan seorang penari yang menarikan beberapa karakter (pajegan = “borongan”). Dalam upacara pendeta, topeng pajegan merupakan persyaratan atau salah satu media upacara. Menurut kategori masyarakat setempat kesenian itu disebut kesenian wali. Dalam upacara lain, topeng pajegan merupakan bagian dari kelengkapan upacara, yakni pertunjukan yang tidak wajib tetapi disarankan untuk diadakan, yang dikategorikan sebagai kesenian

bebali. Dalam konteks lain lagi, topeng pajegan merupakan kesenian sekular

ketika dipertunjukkan untuk hiburan (misalnya perayaan perkawinan), yang dikategorikan sebagai kesenian balih-balihan.

Dari contoh-contoh di atas, jelaslah bahwa sifat dan fungsi suatu jenis pertunjukan bisa berlainan antara satu konteks dengan konteks lainnya. Hal seperti ini juga terdapat di berbagai tempat. Pertunjukan hudoq Dayak, misalnya, ketika dipertunjukan dalam upacara pertanian akan berbeda dengan festival di luar negeri. Demikian pula topeng Cirebon akan berbeda sifatnya

(10)

Gbr. 5-14: Dua penari keris (membelakangi) yang siap menyerang Rangda: dalam pertunjukan

Gbr. 5-15: Topeng pajegan dalam suatu upacara ritual di serambi pura Bali.

Gbr. 5-16: Topeng pajegan dalam acara sekular, sebagai hiburan perayaan pernikahan.

(11)

membandingkannya dengan sebuah benda, jika dipakai atau ditempatkan dalam konteks yang berbeda. Misalnya, selembar kain berukuran sekitar 50 cm X 50 cm, ketika digunakan untuk membersihkan meja, kain itu berfungsi sebagai lap (serbet). Ketika dilipat dan diletakkan dalam saku, kain berfungsi sebagai sapu tangan. Ketika diikatkan di kepala, kain berfungsi sebagai ikat (kepala). Lalu, ketika digunakan sebagai penutup muka, kain itu berfungsi sebagai topeng.

Dalam Bab 1, kita telah membicarakan benda-benda kecil yang ditempelkan pada muka. Benda-benda itu bisa jadi merupakan bagian dari alat rias, yang sebelumnya memiliki fungsi berbeda. Bola ping pong yang dibelah, lalu ditempelkan pada hidung pelawak sirkus, bola itu menjadi bagian dari rias atau menjadi topeng pemakainya. Dalam Bab 2, kita juga telah mengulas topeng-topeng yang hanya berfungsi sebagai topeng pada saat dipakai. Hal itu mempertegas bahwa nilai, peran, atau kedudukan suatu jenis kesenian (atau benda) berbeda-beda tergantung dari konteksnya. Peran kesenian yang berbeda, memberi makna yang berbeda pula. Karena itu, pertunjukan kesenian dalam suatu konteks tidak dapat dinilai atas dasar pandangan konteks lainnya.

5.4 Panggung dan Forum: Tertutup dan Terbuka

5.4.1 Panggung

Gbr. 5-17: Salah seorang penari hudoq sedang diberi sesaji, pada waktu pertunjukan menjelang panen di masyarakat Dayak Modang, Kaltim.

(12)

Dalam dunia seni pertunjukan, yang disebut panggung tertutup adalah panggung yang berada dalam gedung, beratap dan berdinding. Adapun panggung terbuka adalah panggung yang seluruh atau sebagian dari tempat main dan tempat menontonnya tak beratap. Panggung terbuka yang permanen umumnya berdinding atau semacam benteng, dengan pintu atau gerbang masuk yang khusus. Pintu gerbang itu dijaga karena penonton yang ingin masuk harus memiliki karcis atau undangan. Beberapa tempat pertunjukan seperti Taman Budaya dan Art Center di kota-kota besar di Indonesia, memiliki kedua macam panggung tersebut, yang dibangun secara permanen. Namun banyak pula panggung tertutup maupun terbuka yang tidak dibangun secara permanen, yang mudah dibongkar setelah acaranya usai.

Bentuk dan bagian-bagian panggung yang lebih rinci tidak akan diuraikan

(13)

di sini. Topik itu akan dibicarakan dalam Teater dari buku-buku seri Pendidikan Nusantara. Namun demikian, ada dua jenis panggung yang perlu diketahui, yaitu prosenium dan arena. Panggung prosenium adalah panggung yang penontonnya berada di satu arah, depan panggung. Sementara itu, panggung arena adalah posisi tempat penonton berada di ketiga atau keempat arah panggung, seperti tampak pada diagram berikut.

Semua jenis panggung di atas bisa merupakan panggung tertutup maupun terbuka, bangunan permanen maupun tidak permanen. Kategori panggung tertutup dan terbuka dilihat dari segi struktur bangunan (beratap dan tidak), sedangkan permanen dan tidak permanen dilihat dari pembangunan

Penonton Panggung Panggung Penonton Penonton Penon ton Penon ton Panggung Penonton Penonton Panggung Penon ton Penon ton Penon ton Penon ton Penonton Gbr. 5-19: Panggung Prosenium

Gbr. 5-20: Panggung Arena Empat Arah

(14)

konstruksinya. Sementara itu, kategori prosenium dan arena dilihat dari posisi antara panggung (tempat main) dengan tempat atau arah hadap penontonnya.

Pertunjukan-pertunjukan di masyarakat, seperti yang diadakan di halaman rumah, lapangan, pasar, dan alun-alun, umumnya merupakan panggung terbuka, yang dibangun secara temporer (tidak permanen). Walapun umumnya panggung tersebut berbentuk arena, cukup banyak pula yang berbentuk prosenium. Panggung-panggung sandiwara, ketoprak, dan wayang wong di Jawa,

bangsawan di Sumatera, mendu di Kalimantan, misalnya, banyak yang dibuat

dalam bentuk prosenium. Penonton tidak bisa melihat pertunjukan itu dengan baik dari arah samping dan belakang.

Ada tempat pertunjukan lain yang penting dibicarakan dalam dunia kesenian tradisional, yaitu panggung yang tidak didirikan secara khusus. Tempat tersebut kemudian menjadi panggung ketika diadakan pertunjukan di situ. Ingatkah diskusi kita terdahulu mengenai selembar kain yang menjadi topeng hanya ketika dipakai? Serupa itulah pula mengenai panggung itu. Halaman rumah, jalan, alun-alun, pelataran pura, bisa mendadak menjadi panggung ketika diadakan pertunjukan di situ. Penempatan alat musik, areal penari, kerumunan penonton, dapat menciptakan batas dari panggung. Meski tidak ada garis batas yang nyata antara panggung dan penonton, tapi secara konseptual akan terasa. Pada waktu kita menonton, kita akan tahu mana pemain yang masuk dan yang keluar panggung. Demikian pula, kita akan merasakan manakala ada penonton yang masuk terlalu ke dalam, melewati

batas panggung.

Dari uraian di atas, kita melihat ada dua macam panggung: pertama, adalah yang memang dibangun sebagai panggung untuk pertunjukan, dan yang kedua adalah panggung yang diciptakan oleh pertunjukannya itu sendiri. Untuk yang pertama, batasannya tetap, tidak bergerak; sedangkan yang kedua bergerak. Bentuk (lingkaran, persegi, dan sebagainya) dan ukuran besar kecilnya fleksibel tergantung dari posisi penontonnya, dan bisa berubah-ubah sepanjang pertunjukan berjalan. Contoh yang paling ekstrem untuk panggung dinamis ini adalah ketika pertunjukannya berjalan, seperti pada arak-arakan. Di situ kita bisa merasakan adanya “panggung” imajiner yang berjalan. Jadi, walau secara fisik tidak ada wujud nyata dan diam, tapi secara imajinatif itu ada dan terasa “nyata.” Imajinasi merupakan aspek yang amat penting dalam dunia kesenian.

5.4.2 Forum

Dalam peristiwa hajatan, pemilik hajat biasanya membangun panggung sementara yang beratap (setelah selesai dibongkar lagi). Bagian yang beratap itu adalah wilayah untuk pertunjukan kesenian dan penonton undangan.

(15)

Penonton umum yang tidak memiliki undangan dibebaskan berkerumun di sekitarnya. Pertunjukan seperti itu, bukan hanya diadakan di panggung terbuka, melainkan juga menjadi forum terbuka. Siapa saja mendapatkan kebebasan untuk menonton, tapi tidak berarti bahwa siapa pun bebas berada di tempat mana saja. Semua orang harus menempati ruang sesuai dengan posisinya masing-masing, meski tidak ada aturan tertulis. Masyarakat setempat umumnya memahami area mana yang sesuai dengan kedudukan dirinya.

Jika panggung terbuka memfokuskan pada konstruksi panggung dan tempat penontonnya (salah satu atau kedua atap dan dindingnya terbuka), sedangkan

forum terbuka menitikberatkan pada kebebasan penontonnya. Artinya, siapa

pun boleh menonton. Sekali lagi, “bebas terbuka untuk siapa saja” tidak berarti diperbolehkan melanggar norma yang berlaku. Setiap orang harus mengetahui posisi yang pantas untuk ditempati. Kebebasannya hanya terbatas tidak diwajibkan membawa undangan atau tiket masuk bagi penonton. Jika suatu pertunjukan hanya ditujukan bagi orang-orang tertentu—misalnya, untuk keluarga, marga, kelompok, jender (gender) tertentu, atau hanya yang memiliki tiket atau undangan—maka pertunjukan itu merupakan forum tertutup.

Dengan demikian, suatu pertunjukan bisa diadakan di panggung terbuka dalam forum terbuka maupun tertutup. Demikian pula yang diadakan di panggung tertutup bisa merupakan forum tertutup maupun terbuka. Selain yang telah diuraikan di atas pertunjukan untuk perayaan hajatan, perayaan-perayaan komunal seperti pesta panen, peringatan kemerdekaan, dan sebagainya, umumnya diadakan di panggung terbuka dan dalam forum terbuka pula. Namun demikian, pertunjukan seperti perayaan kemerdekaan yang terbuka untuk umum bisa pula diadakan di panggung tertutup. Jika misalnya pertunjukan perayaan kemerdekaan diadakan di panggung terbuka, tapi penonton yang boleh masuk hanyalah orang-orang tertentu (umpamanya saja ketika pertunjukan itu dihadiri oleh Presiden), maka forumnya menjadi tertutup).

5.5 I d e a l i s m e d a n

Ekonomi

Aspek lain yang penting untuk dipahami, yang berhubungan dengan kesenian, adalah aspek ekonomi. Kebanyakan seniman,

(16)

Gbr. 5-24: Pertunjukan siswa SMU dalam festival di Plaza Senayan: panggung tertutup,

Gbr. 5-25: Pertunjukan wayang wong Bali, yang diadakan di panggung terbuka, dan forum terbuka. Dari kiri ke kanan: Anoman, Subali, Dewi Tara, dan Sugriwa.

Gbr. 5-26: Wayang wong Cirebon, drama-tari bertopeng, yang sudah tidak hidup lagi dalam 25

(17)

baik tradi sional maupun modern, seringkali merasa direndahkan jika disebut

Gbr. 5-28: Bebing, tarian kepahlawanan, dari Kecamatan Bola, Flores, NTT, dipertunjukkan di

ruang terbuka di pinggir kampung, kemudian

Gbr. 5-27: Warilais atau sintren, dipertunjukkan di halaman terbuka oleh seniman keliling (bebarang). Selain memungut sumbangan sukarela, juga sebagai bagian dari ritus penyembuhan dan kesuburan

Gbr. 5-29: Barong Banyuwangi, Jatim, yang dipertunjukkan sambil berjalan pada arak-arakan

Gbr. 5-30: Barongsay Tionghoa, dipertunjukkan dengan atraksi akrobatis, meloncat-loncat di atas

tonggak, pada perayaan Capgome di Jakarta.

komersial, yakni minatnya hanya

didasari untuk kepentingan ekonomi. Sebagian orang menganggap bahwa kesenian adalah karya seniman yang mengekspresikan nilai-nilai (ideo-logis) melalui bentuk (rupa), bunyi (musik), gerak (tari), sastra (puisi, prosa), atau drama (teater). Namun demikian, itu bukan berarti bahwa seniman yang idealis sama sekali tidak memiliki atau membutuhkan pertimbangan ekonomi. Untuk mewujudkan karyanya, seniman

(18)

memerlukan waktu, tenaga, keahlian, serta biaya. Karena itu, dapat dimengerti jika karya seninya memerlukan imbalan material pula. Imbalan tersebut tidak selalu berupa uang, melainkan dapat pula berupa makanan, benda-benda, atau penghargaan sosial.

Sekarang, kita lihat dua kutub ekstrem. Pertama, adalah karya seni yang tidak bisa atau tidak boleh diperjualbelikan. Suatu benda seni yang dianggap sakral oleh pemiliknya (individual maupun komunal), umumnya tidak akan dijual dengan harga berapa pun. Demikian pula karya seni yang memiliki nilai sejarah, amanat leluhur (keluarga), ataupun karya yang dianggap memiliki nilai khusus oleh senimannya. Kini banyak terdapat pameran-pameran seni rupa yang disebut instalasi. Dalam pameran serupa itu, seniman mengungkapkan idenya melalui berbagai media dalam suatu ruangan yang relatif besar, yang ditata sehingga membentuk suatu kesatuan ekspresi. Penataan itu kebanyakan secara temporer, menyertakan benda-benda yang secara berdiri sendiri tidak merupakan benda seni, seperti misalnya gundukan pasir, padi, jerami, bambu batangan, kaleng rongsokan, dan sebagainya, bahkan, banyak pula yang menyertakan tarian, musik, puisi dan lain-lain. Setelah selesai pameran, seluruh penataan dibongkar, dan hilanglah pula ekspresi tersebut. Ingatkah diskusi kita mengenai rias dalam Bab 1? Instalasi serupa dengan itu, setelah usai tidak bisa dipakai lagi secara instan, seperti halnya rias setelah dihapus. Dengan demikian, seni instalasi tidak bisa dibeli, dan memang bukan untuk dijual. Seniman memamerkannya untuk kepentingan pengungkapan gagasan, dan imbalannya pun hanya berupa pengakuan, penghargaan, atau pujian dari penonton yang menyukainya; dan umpatan dari penonton yang tidak menyenanginya.

Ekstrem kedua adalah seni komersial. Seni ini menghasilkan benda untuk dijual. Agar laku dan menguntungkan, seniman harus mementingkan selera pembeli atau penonton, memperhitungkan efisiensi produksi, kecantikan pengemasan, iklan yang seluas mungkin untuk publik, dan sebagainya. Seni ini sering juga disebut seni turis, seni airport, atau dalam beberapa kasus disebut seni

pop. Bahkan sebagian seniman menganggap seni seperti itu bukan merupakan karya seni, melainkan hasil kerajinan (craft).

Di antara dua kutub ekstrem itu, terdapat beberapa tingkatan seni yang sulit untuk dikategorikan. Di sini kita tidak bermaksud untuk mengidentifikasi tingkat demi tingkat. Yang penting adalah menyadari bahwa seni yang paling ideal sekalipun mengandung unsur atau pertimbangan ekonomi. Sebaliknya, seni yang komersial bisa mengandung unsur seni (estetika). Jika tidak disenangi orang, hasil karyanya tidak akan laku. Berdasar pada pemahaman ini, jika seseorang menjual karya seninya, belum tentu seniman itu bisa disebut komersial. Begitu pula ketika suatu pertunjukan digelar dan penontonnya

(19)

dituntut untuk membayar tiket. Demikian juga sebaliknya, jika seorang seniman yang laris, banyak penggemarnya, dan menjadi kaya raya, tidak berarti bahwa ia tidak memiliki idealisme kesenian.

5.6 Arak-arakan

Mungkin Anda pernah melihat, atau bahkan turut dalam suatu pawai seperti

Gbr. 5-31: Patung-patung es dipajang di pinggir jalan menuju kuil pada suatu upacara di musim dingin di Jepang. Karya seni seperti ini bukan

Gbr. 5-32: Topeng-topeng kertas sebagai seni instalasi, karya Agus Koechink, dalam pameran seni rupa internasional, Biennale 2003 di Jakarta.

Gbr. 5-33: Topeng Rangda berjejer di toko-toko suvenir di Bali, diproduksi dalam jumlah besar, dengan harga relatif murah untuk para wisatawan.

Gbr. 5-34: Topeng-topeng plastik untuk mainan anak, diproduksi secara masal, dijual di mana-mana, secara umum tidak dianggap karya seni.

(20)

Perayaan 17 Agustus. Dalam pawai serupa itu, selain baris-berbaris atau iringan berbagai kelompok sosial, berbagai kesenian, juga biasa ditampilkan berbagai atraksi kesenian atau permainan, bahkan juga menampilkan hasil-hasil “pembangunan” seperti panen yang bagus, bangunan yang baik, pendidikan yang berhasil), patung atau topeng tokoh politik, dan poster-poster bermotokan perjuangan (seperti misalnya “Mari Kita Sukseskan Pem-bangunan,” “Selamatkan Pancasila,” “Berantas Buta Huruf,” dan lain-lain).

Yang tampil dalam pawai, kadang-kadang yang sesungguhnya—seperti misalnya anak TK dengan Ibu Gurunya, Bapak dan Ibu Tani, Dharma Wanita, pawang ular, dan lain-lain. Tapi mungkin juga yang bukan-sesungguhnya, seperti misalnya pelajar yang berpakaian petani, perawat, tentara, santri, dan lain-lain. Dengan kata lain, yang ditampilkan bukanlah dirinya sendiri, melainkan diri atau identitas orang lain, bahkan mungkin yang sebaliknya, seperti laki-laki tampil perempuan, perempuan tampil laki-laki, anak sebagai orang dewasa, orang tua sebagai anak kecil, dan sebagainya.

Arak-arakan yang dimaksud di sini adalah pawai serupa itu. Kata lain

yang biasa digunakan adalah parade, berasal dari bahasa Inggris, yang berarti

iring-iringan atau pawai dalam suatu perayaan, pesta, atau upacara. Kata lainnya

adalah karnaval, yang juga berasal dari bahasa Inggris carnival, yang berarti suatu pertunjukan di jalan atau sebuah pesta hiburan umum di ruang terbuka. Tentu saja, arak-arakan tidak hanya terdapat pada pesta-pesta perayaan 17 Agustus, peringatan Hari Jadi suatu kota, Pawai Pembangunan, Festival Pariwisata, dan sebagainya yang ada di kota-kota besar, melainkan telah lama hidup dalam budaya tradisional, di lingkungan kampung-kampung

Gbr. 5-35: Topeng-topeng kera yang dijajakan dengan kereta dorong, penjualnya memakai topeng sambil joged

diiringi rekaman musik (dangdut), untuk

Gbr. 5-37: Topeng-topeng di toko suvenir (pusat perbelanjaan Seoul, Korea).

(21)

di berbagai pelosok dunia. Sampai sekarang banyak terdapat arak-arakan yang diselenggarakan, baik untuk perayaan khitanan dan pernikahan, ritus pertanian, kelautan, maupun untuk upacara keagamaan. Upacara tabuik di Sumatera Barat (setiap bulan Muharam), pesta atau selamatan laut di berbagai wilayah pantai Nusantara, selamatan panen, perayaan-perayaan kota dan negara, sampai ke hajatan individual, banyak yang dimeriahkan dengan acara arak-arakan.

Dalam bagian sebelumnya, arak-arakan telah beberapa kali disinggung, beserta gambar-gambarnya, sebagai bagian dari upacara individual, komunal, dan forum terbuka. Sekarang kita akan melihat sedikit lebih jauh dari yang telah

Gbr. 5-38: “Silinder penghalus jalan,” dibuat dari kertas di atas becak, sebagai atraksi arak-arakan

17 Agustus (Sumedang, Jabar, 1997).

Gbr. 5-39: “Tentara dengan bedil dan tanki tempur,” semuanya buatan, pura-pura, sebagai

Gbr. 5-40: “Dukun” dengan tasbih yang dibuat dari buah-buahan: tampilan yang dibesar-besarkan dalam suatu arak-arakan, untuk menarik perhatian

Gbr. 5-42: Tabuik, upacara bulan Muharam di Padang Pariaman, Sumbar.

(22)

Gbr. 5-41: Para siswa SD dan SMP turut dalam arak-arakan ngarot dengan memakai beragam kostum: perawat, mahasiswi/wisuda, petani,

anak-Gbr. 5-44: Suatu kelompok peserta datang dengan gajah dalam upacara di tempat Gbr. 5-43: “Dewi Sri” naik kereta ditarik oleh kebo bule (“kerbau putih”) dalam

(23)

dibicarakan, terutama mengenai maknanya yang berkaitan dengan topeng. Dengan perwujudan yang berbeda dari biasanya (tertutup, terselubung, bertopeng), seseorang secara lebih bebas dapat mengungkapkan sesuatu atau prilaku yang juga berbeda dengan keadaan sehari-harinya. Dalam beberapa hal, ungkapan itu mungkin hanya sebagai hiburan atau main-main untuk menarik perhatian pengunjung semata. Tapi, kadang-kadang perwujudannya itu mengungkapkan semacam komentar sosial, baik yang berupa kritik, pujian, ataupun yang berupa “pertanyaan.” Misalnya saja, gambaran dan tulisan mengenai “Usaha Ekonomi Lemah” dalam sebuah arak-arakan di Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat, mungkin merupakan sebuah pernyataan atau permin taan masyarakat umum atau pemerintah lebih memperhatikannya; atau mung kin pula sebagai protes terhadap keterdesakan suatu kelompok dari pengusaha besar.

Pengunjung tidak bisa tahu secara persis apa sebenarnya maksud dari penampilan tersebut. Bahkan pelakunya pun sering tidak bisa menerang-kannya, sehingga tidak bisa disimpulkan yang mana yang sesungguhnya. Jadi, cukuplah di sini kita tahu bahwa peristiwa publik seperti itu, bisa menjadi instrumen untuk membuat pernyataan, pertanyaan, atau komentar sosial, dengan cara yang “halus,” tidak langsung, melainkan dengan suatu “selubung,” “tirai,” atau “penyembunyi.” Maka dari itu, kita bisa melihat tampilan seperti itu sendiri bisa berfungsi sebagai “topeng,” di mana di belakangnya ada sesuatu yang ingin disampaikan atau diminta. Adapun pemaknaannya, akan tergantung pada “terjemahan” atau interpretasi dari yang melihatnya. Interpretasi bersifat subjektif dan relatif, mengenai benar-tidaknya, tergantung dari seberapa kuat

alasan mengapa seseorang memiliki interpretasi seperti itu.

5.7 Rangkuman

Setelah kita melihat berbagai persoalan kesenian melalui 5 pendekatan di atas,

Gbr. 5-45: Cimuntu, sekelompok orang bertopeng, meminta sumbangan sukarela, beberapa hari setelah Hari Raya Idul Fitri, di Tanah Datar, Sumbar.

(24)

kini kita kembali kepada rumusan awal, yakni mengenai 3 hal utama untuk memahami konteks topeng:

(a) Fungsi, yaitu mengenai kegunaan atau peranan topeng dalam masyarakat masing-masing. Masyarakat terdiri dari berbagai lapisan. Dari diskusi kita di atas mengenai sosial dan individual, sakral dan sekular, serta idealisme (ekspresi) dan ekonomi (penghasilan), akan tampak bahwa fungsi dari suatu kesenian itu terdiri beberapa lapisan.

(b) Praktik pelaksanaan, yaitu bagaimana pertunjukan diadakan atau bagaimana topeng dibuat (dan dijual). Sama pula halnya dengan kasus butir (a) di atas, ketika kita mencoba memahami sesuatu sedikit lebih jauh

Gbr. 5-47: Festival tahunan Australia

Gbr. 5-46: Grup peserta arak-arakan yang menamakan “Usaha Ekonomi Lemah”: mungkin hanya melucu, mungkin sebagai ungkapan sosial yang meminta

(25)

daripada yang tampak selintas, kita akan melihat lapisan-lapisan makna yang berbeda. Misalnya saja, dari pendekatan panggung dan forum, yang tertutup dan terbuka. Tentu saja, pelaksanaan suatu pertunjukan disesuaikan dengan fungsinya, yaitu tujuan diadakannya acara tersebut. Karena itu, pemahaman fungsi diperlukan untuk mengerti mengapa suatu pertunjukan tersebut dilaksanakan seperti demikian.

(c) Hubungan antarunsur atau pihak yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Misalnya, untuk kasus sempit penari topeng. Apakah topeng yang dipakainya buatan sendiri, warisan leluhur, diberi atau dibeli dari orang lain, dari daerah dekat atau jauh, itu semua akan memiliki makna hubungan. Demikian pula antara penanggap (yang mengundang) dengan pemain, penonton undangan, penonton tak-diundang, dan sebagainya. Diskusi kita di atas mengenai kelima sisi itu, mengarahkan kita dalam melihat keterkaitannya satu sama lain.

Mungkin sampai sejauh ini pun, kita masih merasa kesulitan dalam melihat apa yang disebut konteks, karena tampak rumit.”Konteks” pada dasarnya adalah untuk melihat posisi sesuatu dalam keterkaitannya dengan yang lain. Kalau kamu mendengar orang mengatakan: “Isi ucapan dia benar, tapi tidak kontekstual.” Itu artinya, bukan isi perkataannya yang salah, melainkan yang dikatakannya tersebut tidak sesuai dengan situasi dan kondisinya. Kesenian serupa dengan itu, untuk memahaminya, kita harus juga mengerti konteksnya. Kita tidak bisa menilai kesenian dari satu sisi saja, seperti estetika, ekonomi, profesionalisme, dan sebagainya. Karena itu pula, dalam bab ini kita tidak membahasnya dengan cara yang sederhana, seperti mengadakan pengelom-pokan setiap jenis kesenian berdasarkan pada kategori-kategori tertentu secara rapi, agar mudah tapi salah. Namun pembahasan ini lebih mementingkan bagaimana cara memandangnya. Cobalah kita lihat lagi beberapa fenomena topeng yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Lihatlah dari pendekatan konteks atas dasar “lensa-lensa” dari bab ini. Selain itu, yang terpenting, cobalah perhatikan salah satu kasus topeng yang ada di sekitar kehidupan kita masing-masing berdasarakan pandangan konteks.

(26)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian (Ananto, 2010) menyatakan bahwa pembelajaran yang hanya berpusat pada kecerdasan intelektual tanpa menyeimbangkan sisi spiritual akan menghasilkan

Papalia (2007:427) pola asuh seperti ini, menerapkan anak untuk tidak berargumen dan bertanya pada orang dewasa serta memberitahu anak mereka bahwa mereka akan tahu lebih baik

Keselarasan yang baik akan menimbulkan kesan gerak gemulai yang menyambung dari bagian satu dengan bagian yang lainnya pada suatu benda atau dari unsur satu ke

Hubungan kelompok teman sebaya dengan kesiapan menghadapi menarche yaitu, informasi tentang menarche dapat diperoleh dari kelompok teman sebaya, apabila

Bolnik mora imeti tudi možnost spĘete infoľmacije o svoji bolezni v razgovorih preverjatí, dvome in odpoĺe razreševati, da bi se kasneje lahko aktivno vključil v dogajanje..

Mereka juga kurang peka terhadap harga apabila harga hanya dianggap sebagai sebagian kecil dari biaya total untuk memperoleh, menggunakan dan memperbaiki produk

Hal ini dapat diaplikasikan pada struktur gedung yang mempunyai subsistem yang berdeda. Dalam masalah ini, akan digunakan dua subsistem dalam satu struktur, yaitu sistem portal

Data diklasifikasikan berdasarkan jenis operasi yaitu AVR ( Aortic Valve Replacement ), MVR ( Mitral Valve Replacement ) dan DVR ( Double Valve Replacement ) dengan