• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA CAUSALITY ORIENTATION DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MAHASISWA SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA CAUSALITY ORIENTATION DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MAHASISWA SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA CAUSALITY ORIENTATION DENGAN

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MAHASISWA SEKOLAH

TINGGI ILMU KEPOLISIAN

Desyana Kurniawan, Dewa Fajar Bintamur

Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424

E-mail: desyana.kurniawan@ui.ac.id

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara causality orientation dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa sekolah tinggi ilmu kepolisian. Pengukuran Causality Orientation menggunakan alat ukur hasil adaptasi dari alat ukur asli yang dibuat oleh Deci dan Ryan yang bernama General Causality Orientation Scale (GCOS) pada tahun 1985 dan pengukuran kesejahteraan psikologis menggunakan alat ukur hasil adaptasi Ryff Psychological Well-Being Scale (RPWBS). Responden dalam penelitian ini berjumlah 139 orang dengan menggunakan metode purposive sampling. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara autonomy orientation

dengan kesejahteraan psikologis dengan skor signifikansi, sebesar 0.000, p<0.05; terdapat hubungan yang signifikan antara controlled orientation dengan kesejahteraan psikologis dengan skor signifikansi sebesar 0.012, p<0.05; terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat negatif antara impersonal orientation dengan kesejahteraan psikologis dengan skor signifikansi sebesar 0.000, p<0.05.  

THE CORRELATION BETWEEN CAUSALITY ORIENTATION AND PSYCHOLOGICAL WELL-BEING OF STUDENT IN POLICE COLLEGE

Abstract

The purpose of this research is to study the correlation between Causality Orientation and Psychological Well-being of students enrolled in Police College The Causality Orientation was measured with an instrument that was adapted from the General Causality Orientation Scale (GCOS) that Deci and Ryan developed, while the Psychological Well-Being was measured with an instrument that was adapted from the Ryff Psychological Well-Being Scale (RPWBS). 139 people participated in this study and they were sampled using the purposive sampling method. The results of this research shows a significant correlation between autonomy orientation and Psychological Well-Being with a significance score of 0.000, p<0.05; a significant correlation between controlled orientation and Psychological Well-Being with a significance score of 0.012, p<0.05; a negative and significant correlation between impersonal orientation and Psychological Well-Being with a significance score of 0.000, p<0.05>

(2)

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara Demokrasi. Negara yang menekankan pentingnya penegakkan Hak Asasi Manusia dan Negara yang menjamin setiap warga negaranya merasakan dan memperoleh keamanan. Hal ini terbukti dari sudah sejak lama, Indonesia memiliki badan khusus yang dikenal dengan ABRI yang bertugas untuk menjaga keamanan Republik Indonesia. Salah satu bagian di dalamnya adalah Polri atau Polisi Repubrik Indonesia. Sejak masa orde baru pun telah ditekankan kepada Polri akan pentingnya memberikan pelayanan kepada masyarakat, perlindungan HAM dan Kepastian hukum (Djamin dalam Dwilaksana, 2009).

Kenyataan menunjukkan sebaliknya. Pada masa sekarang ini, eksistensi polisi khususnya di Indonesia semakin dipertanyakan oleh masyarakat, seperti performa mereka dalam menjalankan tugas yang diberikan. Performa polisi dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Pencurian, perampokan, penculikkan, dan lainnya masih sering terjadi di kalangan kita. Selain itu ada beberapa penyimpangan lain yang dilakukan oleh polisi yang bahkan sudah menjadi hal umum bagi masyarakat seperti kasus penilangan dan kasus suap. Hal tersebut menandakan bahwa mereka masih memenangkan hal-hal yang berupa materi dibandingkan menjaga integritas mereka sebagai seorang polisi.

Namun, tidak semua polisi demikian. Hal ini dibuktikan dari masih ada polisi yang dapat melakukan performa dengan baik, seperti keberhasilan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai seorang polisi. Selain itu masih ada polisi jujur dan bahkan ada beberapa polisi yang berani untuk tidak menjalankan apa yang disuruh atasannya, jika perintah yang diberikan tidak sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku. Mereka memilih untuk mempertahankan atau menjaga integritas mereka dengan konsekuensi tidak dapat naik jabatan karena tidak menjalankan perintah atasan. Dengan demikian performa polisi saat ini tidak melulu negatif, masih ada yang performanya negatif. Lalu, apa yang menyebabkan mereka melakukan tingkah laku demikian?

Menurut Deci dan Ryan (1985), tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh tipe orientasi yang mereka miliki. Salah satu teori yang membahas tentang tipe orientasi seseorang adalah

Causality Orientation Theory (COT). COT merupakan salah satu mini teori dari Self-Determiantion Theory (SDT). SDT merupakan sebuah makro teori dari teori motivasi dan kepribadian yang dibuat oleh Deci dan Ryan (2000). Pada causality orientation dijelaskan bahwa setiap orang memiliki tiga tipe orientasi yang berbeda-beda. Dari tipe orientasi tersebut dapat diketahui tipe motivasi yang dimilikinya.

(3)

Motivasi adalah hal yang memulai, menggerakan, mengatur, menjaga, dan mengarahkan terjadinya suatu tingkah laku sehingga kebutuhan tercapai kearah yang ditentukan (Ciccarelli, 2009). Motivasi seseorang menjadi polisi yang akan menggerakan tingkah laku mereka ke arah tujuan atau kebutuhan yang ingin dicapai. Hal ini juga yang mempengaruhi seberapa besar usaha mereka untuk mencapai tujuan tersebut, yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja mereka.

Menurut Ciccarelli (2009), Ada 2 jenis motivasi, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah alasan seseorang melakukan tingkah laku karena mendapatkan sesuatu dari dalam diri. Sedangkan, motivasi ekstrinsik adalah alasan seseorang melakukan tingkah laku karena mendapatkan sesuatu dari luar diri. Sebagai contoh: motivasi intrinsik seseorang menjadi polisi adalah ingin mengabdi pada bangsa, ingin membela Negara, menegakkan hukum, dan sebagainya, sedangkan motivasi ekstrinsik seseorang menjadi polisi adalah punya status, memiliki kekuasaan, mendapatkan “uang tambahan”, dll.

Berbeda dengan Ciccarelli, Deci dan Ryan membagi tipe motivasi ke dalam 3 domain besar yaitu motivasi intrinsik, motivasi ekstrinsik, dan amotivation. Penjelasan mengenai motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik tidak jauh berbeda dengan yang dijelaskan oleh Ciccarelli. Namun, Deci dan Ryan menambahkan satu tipe motivasi lainnya yaitu amotivation

atau tidak adanya motivasi (Deci & Ryan, 2000).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pekerjaan sebagai seorang polisi merupakan pekerjaan dengan tuntutan yang tinggi dengan gaji yang didapatkan tidak terlalu besar. Jika orientasi mereka adalah karena factor-faktor eksternal (controlled orientation), mereka tidak akan mendapatkan kesejahteraan menjadi seorang polisi. Namun, jika orientasi yang mereka miliki merupakan orientasi autonomi, mereka akan merasa lebih bahagia dan sejahtera.

Selain mempengaruhi kinerja, tipe orientasi yang dimiliki oleh polisi dikatakan berhubungan dengan kesejahteraan psikologispolisi. Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Deci dan Ryan (2000). Pada penelitian mereka ditemukan bahwa tipe orientasi seseorang berhubungan dengan tercapainya kesejahteraan psikologis seseorang (dalam hal ini adalah polisi). Kesejahteraan psikologis merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu yaitu ketika individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus mengembangkan pribadinya.

Dengan demikian, peneliti ingin melakukan sebuah penelitian yang melihat hubungan antara causality orientation dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa Sekolah tinggi

(4)

ilmu kepolisian (STIK). Alasan peneliti memilih mahasiswa STIK karena mahasiswa STIK merupakan lulusan Akademi Polisi (AKPOL). Mereka merupakan calon pimpinan polisi masa depan. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Indonesia (seperti Maluku, Sumatra, Kalimantan, dan lainnya) dan dari satuan yang berbeda-beda seperti lalu lintas, reserse dan kriminal. Mereka juga berasal dari satuan yang berbeda-beda seperti lalu lintas, reskrim, dan lainnya. Sehingga diharapkan dapat lebih merepresentasikan keadaan polisi di Indonesia.

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena pekerjaan sebagai seorang polisi akan berdampak langsung pada masyarakat maupun negara. Jika mereka bekerja hanya karena faktor eksternal, masyarakat dan negara dapat dirugikan. Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika mereka yang ingin menjadi polisi dilatarbelakangi oleh motivasi intrinsik dengan orientasi otonomi. Selain itu, jika motivasi mereka adalah motivasi intrinsik mereka akan lebih merasa bahagia dan sejahtera menjadi seorang polisi meskipun dengan tuntutan yang tinggi. Namun penelitian ini masih merupakan penelitian awal dan bersifat umum, sehingga diharapkan akan ada penelitian selanjutnya.

Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini menjadi apakah terdapat hubungan antara Causality Orientation dan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian?. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara

Causality Orientation dan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa STIK. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritisnya yaitu hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membuktikan teori yang sudah ada dan dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan serta dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya. Manfaat praktikalnya yaitu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi bagi kepolisian di Indonesia dan masukan bagi STIK untuk dapat memberikan pengetahuan pada mahasiswanya mengenai pentingnya motivasi intrinsik bagi seseorang, (dalam hal ini khususnya polisi).

Tinjauan Teoritis Causality Orientation

Causality orientation merupakan salah satu mini teori dari self-determination theory.

Self-determination theory (SDT) merupakan sebuah teori empiris mengenai motivasi, perkembangan, dan kesejahteraan manusia (wellness) (Deci & Ryan, 2008). Causality orientation merupakan perbedaan motivasi seseorang dalam mencapai orientasi tertentu yang mengarah pada cara seseorang menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dan regulasi atau pengaturan tingkah laku mereka. Mini teori ini menjelaskan bahwa terdapat 3 tipe atau jenis

(5)

orientasi, yaitu autonomous, Controlled, dan impersonal. Dengan mengetahui tipe orientasi seseorang dapat diketahui pula tipe motivasi dan level self-determination pada diri orang tersebut dan dapat digunakan untuk memprediksi keadaan psikologis seseorang dan tingkah laku yang dihasilkan. Ketiga tipe orientasi tersebut yaitu:

1. Autonomous Orientations

Orientasi ini merupakan hasil dari pemenuhan 3 basic needs. Orientasi otonomi merupakan karakteristik dari individu yang tingkah laku atau aksi yang dilakukan atas dasar sense of volition atau atas dasar kemauannya sendiri dan sadar akan standar personal dan tujuan hidupnya. Mereka merasa bahwa mereka memiliki kebebasan untuk memilih pilihan yang ada, memiliki inisiatif, dan pengaturan diri ( self-regulated). Individu ini dapat melihat adanya kesempatan yang sesuai dengan value

dan keinginan pribadi.

Seseorang yang memiliki orientasi otonomi yang tinggi dibandingkan dengan kedua orientasi lainnya memilih lingkungan yang dapat menstimulasi motivasi intrinsik, memberikan tantangan, dan menyediakan umpan balik. Mereka cenderung menunjukan inisiatif, melihat aktifitas yang menyenangkan dan menantang bagi dirinya, dan berani bertanggung jawab atas tingkah laku yang dilakukan. individu dengan orientasi otonomi yang tinggi memiliki orientasi motivasi intrinsik

2. Controlled Orientations

Orientasi ini merupakan hasil dari memenuhi 2 needs yaitu competence dan

relatedness, namun autonomy tidak terpenuhi. Tipe orientasi ini sering kali dikorelasikan dengan tidak tercapainya well-being. Selain itu, tipe orientasi ini asosiasikan dengan tipe regulasi introjeksi. Individu yang memiliki Controlled Orientation yang tinggi biasanya merupakan individu dengan orientasi motivasi ekstrinsik karena orang dengan tipe ini melakukan tingkah laku didasarkan atas faktor eksternal.

3. Impersonal Orientations

Orientasi ini merupakan hasil dari gagalnya memenuhi tiga kebutuhan psikologis dasar dan tidak memiliki motivasi (amotivation). Hal ini berkaitan dengan terjadinya

ill-being dan tidak dapat berfungsi dengan baik, seperti terjadinya self-derogation dan rendahnya atau kurangnya tenaga hidup. Orang dengan tipe orientasi ini biasanya merasa bahwa mereka tidak memiliki kontrol atas tingkah laku mereka. Impersonal

(6)

Orientation menilai sesorang yang percaya bahwa tingkah laku yang dihasilkan dibawah kendali atau kontrol dirinya dan pencapai yang berhasil dia dapatkan selama ini adalah karena faktor keberuntungan.

Kesejahteraan Psikologis

Ryff (1989) menjelaskan kesejahteraan psikologismerupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus mengembangkan pribadinya.

Kesejahteraan psikologis terdiri atas enam dimensi psikologis dimana setiap dimensinya memiliki tantangan yang berbeda-beda untuk mecapainya (berbeda setiap orangnya) agar dengan dicapainya dimensi tersebut seseorang dapat berfungsi secara positif (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995). Berikut penejelasan mengenai keenam dimensi tersebut:

1. Penerimaan Diri (Self-acceptance)

Self-acceptance atau penerimaan diri merupakan kriteria yang paling sering disebut atau diulang-ulang dalam mencapai well-being. Hal ini merupakan fitur utama dalam mencapai kesehatan mental (mental health). Self-acceptance merupakan karakteristik dari tercapainya self-actualization (aktualisasi diri), maturity (kematangan), dan dapat berfungsi dengan optimal. Dengan kata lain jika seseorang dapat menerima dirinya (self-acceptance) maka ia dapat mencapai aktualisasi diri, matang secara psikologis dan berfungsi dengan optimal. Dengan memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri, seseorang dapat berfungsi dengan lebih positif (Ryff, 1989). Seseorang yang kesejahteraan psikologisnya tinggi memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya, dan memiliki perasaan positif tentang kehidupan masa lalu.

2. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive relations with others)

Kemampuan untuk menghargai dan mencintai orang lain dilihat sebagai komponen utama dalam mencapai kesehatan mental. Seseorang yang sudah berhasil mencapai aktualisasi diri, dijelaskan bahwa, mereka memiliki empati terhadap orang lain dan kasih sayang kepada semua orang serta mampu untuk berhubungan baik dengan orang lain. Seseorang yang memiliki hubungan positif yang baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang

(7)

lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, dan rasa sayang serta memiliki konsep memberi dan menerima dalam berhubungan dengan sesama manusia. Sebaliknya, seseorang yang hanya memiliki sedikit hubungan dekat dengan orang lain, susah untuk bersikap hangat, tidak terbuka dan memberikan sedikit perhatian terhadap orang lain berarti memiliki tingkatan yang kurang baik dalam dimensi ini (Ryff, 1989)

3. Penguasaan Lingkungan (Environmental mastery)

Environmental mastery merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memilih atau membuat lingkungan yang cocok dengan keadaan atau kondisi fisik dirinya. Seseorang yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan kemampuannya untuk memilih dan menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pibadinya, memanfaatkan secara maksimal sumber-sumber peluang yang ada di lingkungan, mampu dan berkompeten mengatur lingkungan, menggunakan secara efektif kesempatan yang ada dalam lingkungan, mampu memilih serta mampu menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai individu itu sendiri (Ryff, 1989).

4. Otonomi (Autonomy)

Dimensi ini menekankan tentang beberapa macam kualitas diri seperti self-determination, kemandirian, dll. Menurut Rogers, seseorang yang memiliki autonomi tidak melakukan suatu tindakan atas persetujuan dari orang lain melainkan karena standar personal. Otonomi sendiri merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengambil keputusan sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bersikap dengan cara yang benar, dan berperilaku sesuai dengan standar personal. Sebaliknya, individu yang terlalu memikirkan ekspektasi dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada orang lain untuk mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap mengikuti (conform) terhadap tekanan sosial, menandakan individu tersebut belum memiliki tingkat otonomi yang tidak baik (Ryff, 1989).

5. Tujuan Hidup (Purpose in life)

Seseorang dikatakan memiliki kesehatan mental apabila juga memiliki kepercayaan yang memberikan ia suatu perasaan bahwa hidup ini memiliki tujuan dan makna.

(8)

Seseorang yang berfungsi secara positif pasti memiliki makna hidup dan mengetahui makna hidupnya. Selain itu, seseorang yang memiliki kesehatan mental memiliki tujuan hidup yang baik seperti memiliki target dan cita-cita serta memiliki kepercayaan bahwa baik kehidupan di masa lalu maupun sekarang memiliki makna tertentu. Mereka juga percaya dan memegang teguh kepercayaan yang mereka miliki bahwa dengan kepercayaan mereka itu dapat membuat hidup mereka lebih berarti. Sebaliknya, seseorang yang kurang memaknai hidup, tidak memiliki tujuan dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan kurang memiliki target dan cita-cita, yang berarti mereka kurang memiliki dimensi tujuan hidup yang baik (Ryff, 1989).

6. Pengembangan Diri (Personal growth)

Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan percaya terhadap potensi diri merupakan perspektif klinis dalam melihat pengembangan diri (personal growth) yang dapat terjadi pada diri setiap orang. Sebagai contoh adalah orang yang berani mencoba pengalaman baru merupakan salah satu ciri orang yang mau mengembangkan diri. Seseorang yang baik dalam dimensi ini memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang terus tumbuh, menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang stagnan, kurang peningkatan dalam perilaku dari waktu ke waktu, merasa bosan dengan hidup dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku yang baru (Ryff, 1989).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis, antara lain:

1. Usia

Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa faktor usia memiliki pengaruh pada beberapa dimensi kesejahteraan psikologis. Pada dimensi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, dan penguasaan lingkungan mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia terutama pada usia dewasa muda hingga dewasa madya. Sedangkan dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami penurunan seiring bertambahnya usia.

(9)

2. Jenis Kelamin

Pada faktor ini, Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa wanita memiliki skor dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi yang lebih tinggi dibandingkan pria.

3. Budaya

Ryff juga menemukan bahwa faktor budaya berpengaruh terhadap skor pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri.

4. Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Orang dengan status sosial yang lebih tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dibandingkan dengan orang dengan status sosial yang lebih rendah.

Profile Mahasiswa STIK

Mahasiswa STIK merupakan mahasiswa lulusan Akademi kepolisian. Pangkat yang mereka miliki minimal IPTU (Inspektur Satu). Mereka berasal dari berbagai satuan seperti Intel, Reskrim, Lantas dan berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, seperti Kalimantan, Riau, Papua, Rote, Sumatra, Sulawesi, dan lainnya. Lulusan STIK dipastikan merupakan calon pimpinan masa depan, minimal pangkat yang akan mereka peroleh adalah perwira. Dinamika Hubungan

Dinamika yang terjadi antara mahasiswa STIK, tipe orientasi yang dimiliki dengan tercapainya atau tidak tercapainya kesejahteraan psikologis adalah sebagai berikut:

Pertama merupakan tipe orientasi autonomi. Polisi dengan tipe orientasi ini biasanya memiliki motivasi intrinsik. Polisi yang memiliki motivasi intrinsik seringkali memiliki kinerja yang lebih baik. Hal ini dikarenakan, orang yang memiliki motivasi intrinsik melakukan segala sesuatunya atas dasar keinginannya sendiri dan bukan karena adanya tuntutan. Sehingga pekerjaan sebagai seorang polisi sudah cukup menyenangkan bagi dirinya, karena memang ia menyukainya. Oleh karena itu, polisi dengan tipe orientasi ini biasanya akan memiliki kesejahteraan psikologis (Deci & Ryan, 1985), karena ia merasa bahwa hidupnya adalah miliknya sendiri dan semua yang dia lakukan adalah hal yang dia sukai sehingga hidupnya akan lebih bahagia/sejahtera.

Tipe kedua merupakan orang dengan tipe orientasi dikontrol atau Controlled Orientation. Polisi yang memiliki tipe orientasi ini biasanya memiliki motivasi ekstrinsik.

(10)

Mereka mudah dikontrol ataupun terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal seperti uang dan jabatan. Sehingga orientasi mereka menjadi seorang polisi adalah karena ingin mendapatkan uang dan memperoleh jabatan yang baik. Oleh karena itu, mereka akan merasa kurang sejahtera (Deci & Ryan, 1985).

Tipe yang terakhir adalah impersonal. Polisi yang memiliki tipe orientasi Impersonal

merupakan polisi yang tidak memiliki motivasi (amotivation) (Deponte, 2004). Hidupnya hanya mengikuti arus dan tanpa tujuan. Mereka merasa memiliki kontrol yang rendah atau bahkan tidak memiliki kontrol atas tingkah laku yang mereka lakukan. Mereka tidak peduli dengan hasil maupun proses atas tingkah laku yang mereka lakukan. Hal ini menyebabkan tidak adanya self-determination dalam diri mereka, sehingga mereka cenderung merasa ill-being.

Metode Penelitian

Berdasarkan aplikasinya, penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pure research. Menurut Kumar (2005), pure research merupakan penelitian yang dilakukan untuk membuktikan teori. Berdasarkan tujuan penelitian, maka tipe penelitian ini adalah penelitian korelasional. Gravetter dan Forzano (2009) menjelaskan bahwa tujuan dari penelitian korelasional adalah untuk mengetahui dan menggambarkan asosiasi dan hubungan antar variabel. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat apakah terdapat hubungan antara causality orientation dengan kesejahteraan psikologis, sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan penelitian korelasional.

Berdasarkan kontaknya, penelitian ini termasuk ke dalam cross sectional study karena pengambilan data yang dilakukan oleh peneliti hanya satu kali. Berdasarkan periode referensi, penelitian ini termasuk ke dalam prospective study karena penelitian ini ingin melihat hubungan antara causality orientation dengan kesejahteraan psikologis pada saat ini. Desain penelitian ini jika dilihat dari sifat penelitiannya termasuk ke dalam penelitian non-eksperimental, karena penelitian ini tidak melakukan manipulasi terhadap subjek penelitian. Adapun penelitian ini merupakan penelitian lapangan terhadap kejadian yang telah berlangsung. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif karena data yang didapat oleh peneliti berupa skor yang nantinya akan diolah secara statistik dan di lakukan interpretasi.

Responden Penelitian

Responden penelitian dalam penelitian ini adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian. Karakteristik responden yang dibutuhkan dalam penelitian ini merupakan

(11)

mahasiswa sekolah tinggi ilmu kepolisian. Teknik yang digunakan dalam memilih responden dalam penelitian ini adalah purposive sampling, karena responden yang peneliti berikan kuesioner merupakan responden yang sesuai dengan apa yang peneliti butuhkan yaitu mahasiswa sekolah tinggi ilmu kepolisian.

Untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam menjawab permasalahan penelitian, maka peneliti menggunakan dua alat ukur yang digabung menjadi sebuah booklet

penelitian yang terdiri atas 3 bagian:

1. Alat ukur General Causality Orientation Scale

2. Alat ukur The Scale of Psychological Well-being

3. Data responden yang terdiri atas inisial, usia, jenis kelamin, dan satuan. Alat Ukur Penelitian

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur derajat orientasi seseorang dinamakan

General Causality Orientation Scale (GCOS). Alat ukur ini dibuat oleh Deci dan Ryan. GCOS mengukur kekuatan dari 3 orientasi yang berbeda pada diri seseorang. Ketiga orientasi tersebut dinamakan otonomi, dikendalikan, dan impersonal. Ada dua bentuk alat ukur. Pertama, terdiri atas 12 cerita dan 36 item. Bentuk yang kedua merupakan revisi dari bentuk yang pertama. Bentuk yang kedua terdiri atas 17 cerita dan 51 item. Pada penelitian ini, peneliti mengadopsi alat ukur ini dengan menggunakan bentuk yang kedua, yaitu terdiri atas 17 cerita. Setiap cerita memiliki 3 respon (A, B, dan C) yang merupakan bentuk dari dimensi otonomi, dikendalikan, dan impersonal. Skala yang digunakan pada alat ukur ini merupakan skala likert dengan 7 pilihan jawaban mulai dari sangat tidak mungkin hingga sangat mungkin.

Contoh item GCOS:

 

Anda  ditawari  posisi  baru  di  sebuah  kantor  dimana  Anda  telah  bekerja  untuk  beberapa   lama.  Pertanyaan  pertama  yang  sangat  mungkin  terlintas  di  pikiran  Anda  adalah       Impersonal:  Bagaimana  bila  saya  tidak  dapat  memikul  tanggung  jawab  yang  baru  

1   2   3   4   5   6   7   Sangat   Tidak   mungkin         Sangat     Mungkin  

Controlled:  Akankah  saya  mendapatkan  pendapatan  yang  lebih  besar  di  posisi  ini  

1   2   3   4   5   6   7   Sangat   Tidak   mungkin         Sangat     Mungkin  

(12)

Autonomy:  Saya  bertanya-­‐tanya  apakah  posisi  baru  tersebut  akan  menarik   1   2   3   4   5   6   7   Sangat   Tidak   mungkin         Sangat     Mungkin  

Setiap responden diminta untuk memberikan penilaian terhadap 3 respon tersebut dengan memikirkan seberapa mungkin respon yang ada muncul dalam pikiran mereka.

Alat ukur kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur kesejahteraan psikologis dibuat oleh Ryff dan dikenal dengan nama The Scales ofPsychological Well-Being

(Ryf, 1989). The Scales of Psychological Well-Being merupakan alat ukur self-report (lapor diri) yang di buat untuk mengukur kesejahteraan psikologis. Alat ukur ini terdiri atas 3 bentuk. Bentuk pertama yaitu, terdiri atas 84 item yang terdiri dari 6 subskala. Bentuk kedua yaitu, terdiri atas 54 item dengan masing-masing subskala 9 item. Bentuk ketiga yaitu, terdiri atas 18 item dengan masing-masing subskala terdiri atas 3 item.

Pengolahan Data

Untuk mengolah data yang ada, peneliti menggunakan:

1. Deskriptif untuk melihat gambaran umum atau persentase

2. Pearson Correlation untuk melihat skor korelasi antara 2 variabel

3. Reliability analysis untuk uji validitas dan reliabilitas.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Statistical Package for The Social Sciences untuk windows versi 17.0.

Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 127 responden laki-laki dan 12 responden perempuan. Usia mereka berkisar antara 26 tahun hingga 32 tahun. Mereka berasal dari satuan yang berbeda-beda, yaitu Inteligen, Reskrim, Densus, Sabhara, Lantas, Brimob, Polrestabes, dan Bid. Propam. Selain itu mereka juga berasal dari wilayah yang berbeda-beda, antara lain Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Bali, Jawa, Jambi, Aceh, NTT, NTB, dan lainnya.

Dari hasil pengolahan data yang dilakukan dapat dilihat bahwa orientasi otonomi memiliki nilai mean yang lebih tinggi yaitu 5.53, diurutan kedua terdapat orientasi dikendalikan dengan mean 4.70, dan terakhir orientasi impersonal dengan mean 3.43. Hal ini menandakan bahwa mahasiswa STIK memiliki orientasi otonomi yang lebih besar dibandingkan kedua orientasi lainnya. Selain itu, dari hasil pengolahan data didapatkan juga bahwa dimensi penguasaan lingkungan memiliki mean tertinggi dibandingkan dengan

(13)

dimensi lainnya, yaitu sebesar 5.14. Sedangkan, penerimaan diri memiliki mean terendah dibandingkan dengan dimensi lainnya yaitu sebesar 4.25.

Untuk hasil utama, berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan pada 139 responden, didapatkan 3 hasil yaitu: Pertama, didapatkan skor signifikansi sebesar 0.000, p<0.05 dengan r sebesar 0.459 dan r2 sebesar 21.06 untuk korelasi antara orientasi otonomi dengan kesejahteraan psikologis. Kedua, didapatkan skor signifikansi sebesar 0.012, p<0.05 dengan r sebesar 0.212 dan r2 sebesar 4.5 untuk korelasi antara orientasi dikendalikan dengan kesejahteraan psikologis. Ketiga, didapatkan skor signifikansi sebesar 0.000, p<0.05 dengan r sebesar -0.620 dan r2 sebesar 38.44 untuk korelasi antara orientasi impersonal dengan kesejahteraan psikologis.

Pembahasan

Dari pengolahan data yang sudah dilakukan terhadap 139 responden didapatkan skor signifikansi sebesar 0.000, p<0.05. Oleh karena nilai p yang didapat lebih kecil dari 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara orientasi otonomi dengan kesejahteraan psikologis. Hal ini berarti Ha diterima. Selain itu didapat pula skor r sebesar 0.459 dan r2 sebesar 21.06. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekitar 21.06 %

variabel orientasi otonomi dapat memprediksi munculnya variabel kesejahteraan psikologis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Deci dan Ryan (1985) yaitu orang dengan skor orientasi otonomi yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis, karena ia merasa bahwa hidupnya adalah miliknya sendiri dan semua yang dia lakukan adalah hal yang dia sukai sehingga hidupnya akan lebih bahagia/sejahtera. Selain itu, menurut Ryff (1989) salah satu dimensi kesejahteraan psikologis adalah adanya otonomi. Semakin seseorang memiliki autonomy dalam hidupnya, semakin tinggi skor dimensi otonomi yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis orang tersebut.

Sedangkan berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan untuk melihat hubungan antara orientasi dikendalikan dengan kesejahteraan psikologis didapatkan skor signifikansi sebesar 0.012, p<0.05. Hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara orientasi dikendalikan dengan kesejahteraan psikologis, Ha diterima. Selain itu didapat juga r sebesar 0.212 dan r2 sebesar 4.5. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekitar 4.5 % variabel orientasi dikendalikan dapat memprediksi munculnya variabel kesejahteraan psikologis.

Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Deci dan Ryan (1985) yang mengatakan bahwa seseorang yang memiliki tipe orientasi dikendalikan dapat mengurangi

(14)

kesejahteraan psikologis. Pada hasil analisis data didapatkan bahwa skor hubungan antara orientasi dikendalikan dengan kesejahteraan psikologis tidak sebesar skor hubungan antara orientasi otonomi dengan kesejahteraan psikologis yaitu sebesar 0.213. Hal ini bisa saja menandakan bahwa mahasiswa sekolah tinggi ilmu kepolisian, meskipun memiliki orientasi otonomi namun faktor-faktor eksternal dari menjadi seorang polisi membuat mereka merasa sejahtera.

Hasil pengolahan data yang dilakukan untuk melihat hubungan antara orientasi

impersonal dengan kesejahteraan psikologis didapatkan skor signifikansi sebesar 0.000, p<0.05. Oleh karena nilai p yang didapat lebih kecil dari 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan. Hal ini berarti Ha diterima. Selain itu dapat diketahui pula skor r sebesar -0.620 dan r2 sebesar 38.44. Nilai negatif disini berarti arah

hubungan yang terjadi antara orientasi impersonal dengan kesejahteraan psikologis bersifat negative. Hubungan yang bersifat negatif maksudnya yaitu semakin tinggi skor orientasi

Impersonal semakin rendah skor kesejahteraan psikologis. Selain itu dengan didapatnya hasil r2 sebesar 38.44 dapat dikatakan bahwa sekitar 38.44 % variabel orientasi impersonal dapat memprediksi munculnya variabel kesejahteraan psikologis.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Deci dan Ryan (1985) yang menemukan bahwa impersonal orientation dapat mengakibatkan tidak tercapainya well-being

atau tercapainya ill-being.

Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara causality orientation dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa STIK. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: Terdapat hubungan yang signifikan antara orientasi otonomi dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa STIK. Terdapat hubungan yang signifikan antara orientasi dikendalikan dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa STIK. Terdapat hubungan yang bersifat negatif dan signifikan antara orientasi

impersonal dengan kesejahteraan psikologis. Hubungan yang bersifat negatif berarti semakin tinggi skor orientasi impersonal, semakin rendah skor kesejahteraan psikologis seseorang, begitu pula sebaliknya.

Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan oleh peneliti untuk penelitian selanjutnya, antara lain: Pertama, pada penelitian ini jumlah subjek penelitian yang laki-laki dan perempuan sangat berbeda jauh. Peneliti menyarankan agar pada penelitian selanjutnya, jumlah subjek

(15)

laki-laki dan perempuan tidak berbeda jauh atau dipilih salah satu saja. Kedua, penelitian ini merupakan studi kasus yang diambil di mahasiswa STIK. Peneliti menyarankan untuk melakukan penelitian selanjutnya pada subjek yang berbeda atau subjek yang sama namun pada tempat yang berbeda untuk memperkaya pengetahuan mengenai hubungan antara

causality orientation dengan kesejahteraan psikologis.

Ketiga, pada penelitian ini tidak dilakukan uji coba alat ukur. Peneliti menyarankan agar pada penelitian selanjutnya dilakukan uji coba alat ukur terlebih dahulu, agar item yang digunakan untuk penelitian memang item yang memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Keempat, pada penelitian ini, pengambilan data dilakukan dalam kelas besar. Hal ini menyebabkan ada beberapa responden yang mengerjakan sambil mengobrol, main game, berdiskusi, dan lainnya. Hal ini dapat mempengaruhi data yang didapat. Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar pada penelitian selanjutnya pengambilan data sebaiknya dilakukan secara personal.

Daftar Referensi

Ciccarelli, S. K. & White, J.N. (2009). Psychology (2nd edition). Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-­‐determination in human behaviour. New York: Plenum.

Deci, E., & Ryan, R. (2000). Self-Determination Theory and the Facilitation of Intrinsic Motivation, Social Development, and Well-Being. American Psychological Association, 55, No.1, 68-78

Deci, E., & Ryan, R. (2000). The “What” and “Why” of Goal Pursuits: Human Needs and the Self-Determination of Behavior. Psychological Inquiry, 11, No.4, 227-268

Deci, E., & Ryan, R. (2008). Self-Determination Theory: A Macrotheory of Human Motivation, Development, and Health. Canadian Psychological Association, 49, No.3, 182–185

Deponte, A. (2004). Linking Motivation to Personality: Causality Orientations, Motives, dan Self-Descriptions. European Journal of Personality, No.18, 31-44

Dwilaksana, C. (2009). Menjadi Polisi yang Berhati Nurani. Jakarta:YPKIK.

Gravetter, F.J., & Forzano, L.B. (2009). Research Methods for the behavioural Sciences (4th Ed). Belmont: Wadsworth Cencage Learning

Gravetter, F.J., & Wallnau, L.B. (2009). Statistics for the Behavioural Sciences (8th Ed).

(16)

Kumar, R. (2005). Research Methodology: a step-by-step Guide for beginners (2nd Ed).

London: SAGE Publication Ltd.

Keyes, C.L.M., Shmotkin.D., Ryff, C.D. (2002). Optimizing well-being: The empirical encounter of two traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 82, 1007– 1022.

Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of

psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069–1081. Ryff, C.D. , dan Keyes, C.L.M. (1995). The Structure of Psychological Well-being Revisited.

Referensi

Dokumen terkait

SPS Pendidikan Sejarah (S3) Belum

Pemisahan fisik dalam stadia hidup ikan (life-history stages) merupakan suatu strategi dimana ikan melakukan migrasi pemijahan yang kemudian melepaskan telur dan larva pada habitat

Oleh karena itu secara implisit identitas lengkap terdakwa yang tercantum dalam halaman pertama putusan dalam perkara tindak pidana penipuan melalui transaksi elektronik yang

Pengamatan yang dilakukan pada lampu warna biru pada hari pertama adalah 15 menit dan hasil yang didapati adalah pergerakan ikan bobara untuk 5 menit awal, ikan yang

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai “Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi Pekerja di PT.STTC (Sumatra Tobacco Trading Company)

sehingga untuk mengaktifkan transistor diperlukan tegangan buka dari sinyal yang lebih besar dibanding dengan Kelas B.... • Hampir tidak